Ekologi Dan Etnobotani Pohon Penghasil Damar Pada Suku Anak Dalam Di Taman Nasional Bukit Duabelas

EKOLOGI DAN ETNOBOTANI POHON PENGHASIL
DAMAR PADA SUKU ANAK DALAM DI TAMAN
NASIONAL BUKIT DUABELAS

RANA RIO ANDHIKA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ekologi dan etnobotani
pohon penghasil damar pada Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit
Duabelas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016

Rana Rio Andhika
NIM G353124081

RINGKASAN
RANA RIO ANDHIKA. Ekologi dan Etnobotani Pohon Penghasil Damar pada
Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas. Dibimbing oleh
MUHADIONO dan IWAN HILWAN.

Damar dalam penelitian ini dihasilkan pohon famili Dipterocarpaceae dan
Burseraceae. Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) bermukim di Taman Nasional
Bukit Duabelas (TNBD) memanfaatkan damar untuk bahan bakar obor, obat,
ritual dan perekat. TNBD merupakan areal pelestarian hutan terkait erat kearifan
lokal masyarakat SAD. Informasi ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar
masih terbatas, selanjutnya penelitian bertujuan menginventarisasi pohon
penghasil damar, mengungkap kearifan lokal SAD memanfaatkan pohon
penghasil damar, mengkaji komposisi vegetasi di zona pemanfaatan TNBD,
karakter edafik habitat pohon penghasil damar serta strategi konservasi tumbuhan

agar berkelanjutan.
Penelitian dilaksanakan bulan April-Juni 2014 di zona pemanfaatan TNBD
wilayah Sarolangun. Analisis vegetasi menggunakan metode nested sampling.
Data etnobotani penghasil damar diperoleh melalui wawancara, observasi
partisipasi aktif dan dokumentasi menggunakan teknik snowball
sampling.Identifikasi sifat tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB Dramaga Kab. Bogor.
Identifikasi tumbuhan penghasil damar menggunakan Buku Pedoman Identifikasi
Dipterocarpaceae Sumatera dan sebagian sampel tumbuhan dikirim ke Herbarium
Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Analisis data dengan Indeks
Nilai Penting dan Indeks of Cultural Significance. Karakteristik tanah mencirikan
keberadaan pohon penghasil damar ditentukan dengan analisis komponen utama
(AKU). Kemiripan karakteristik tanah antar habitat pohon tersebut ditentukan
dengan analisis Hirarki Gabungan Klaster (HGK) menggunakan software
XLSTAT 2014.
Hasil penelitian menyatakan terdapat 14 spesies tumbuhan penghasil damar,
yaitu Canarium pilosum A.W. Benn., Hopea dryobalanoides Miq., H.
mengarawan Miq., Dipterocarpus baudii Korth., D. hasseltii Blume, Santiria
laevigata Blume, Sa. Dacryodifolia Koch., Shorea bracteolata Dyer, S. retinodes
Sloot., S. cf. singkawang Burck, S. leprosula Miq., S. multiflora (Burck) Sym.,

Parashorea malaanonan Merr. dan Dacryodes rugosa (Blume) H.J.Lam. Jenis
pohon penghasil damar mendominansi zona pemanfaatan adalah H.
dryobalanoides (INP=10,37%) dan C. pilosum (INP=10,25%). Keberadaan P.
malaanonan (Pasir=29,69%), Da. rugosa (Pasir=63,34%), H. mengarawan
(Pasir=44,66%) dan Sa. dacryodifolia (Pasir=32,69%) dicirikan kuat oleh kadar
pasir tanah. Analisis komponen utama menunjukkan keberadaan S. bracteolate
dicirikan kuat oleh rasio C/N (13,52%). Keberadaaan S. retinodes dicirikan oleh
pH tanah (6,5) dan rasio C/N (9,49%). Keberadaan C. pilosum dicirikan oleh
kapasitas tukar kation (KTK=23 me/100g) dan karbon organik (C-org=4,94%),
selanjutnya keberadaan S.cf. singkawang dicirikan kuat oleh nitrogen (N=0,4%)
dan C-org (4,94%). Analisis HGK menunjukkan kemiripan karakteristik tanah
habitat S. cf. singkawang, S. retinodes dan H. mengarawan pada unsur Ca (0,4-0,5

me/100g), kandungan Na (0,1-0,13 me/100g) dan KB (5-6 %). Kemiripan
karakteristik tanah habitat H. dryobalanoides, Sa. dacryodifolia dan P.
malaanonan pada unsur N total (0,15-0,21 %), Rasio C/N (9-10%), K (0,1-0,17
me/100g) dan C-org (1,51-1,91 %).
Pemanfaatan penghasil damar oleh masyarakat SAD terbagi atas tujuh
kategori yaitu sebagai sumber bahan bangunan, bahan pengobatan, pangan
sekunder, bahan baku peralatan, bahan kerajinan, sarang lebah madu, dan

penghasil damar. Masyarakat SAD menggunakan damar untuk sumber bahan
bakar, pengobatan, perekat dan ritual adat. Jenis S. cf. singkawang berkategori
ICS tertinggi (152), karena kulit batang sangat dibutuhkan masyarakat SAD untuk
bahan baku obor. Selanjutnya pelestarian tumbuhan penghasil damar melalui dua
kebijakan yaitu kebijakan adat pemanfaatan tumbuhan dan pengelolaan lanskap
hutan. Strategi konservasi C. pilosum dengan cara mempertahankan habitat dan
intensitas pemanfaatan, karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat SAD dan
ketersediaan jenis cukup di zona pemanfaatan. Strategi konservasi H.
dryobalanoides, dengan cara mempertahankan habitat dan meningkatkan
intensitas pemanfaatan, karena ketersediaan jenis cukup dan intensitas
pemanfaatan menurun. Strategi konservasi H. mengarawan dan Da. rugosa
dengan cara budidaya dan tetap mempertahankan intensitas pemanfaatan, karena
ketersediaan jenis dan intensitas penggunaan rendah. Strategi konservasi jenis D.
baudii, D. hasseltii, Sa. dacryodifolia, S. laevigata, S. bracteolata, S. leprosula, S.
multiflora, S. retinodes, S. cf.singkawang dan P. malaanonan dengan cara
budidaya dan menurunkan intensitas pemanfaatan, karena ketersediaan jenis
rendah dan intensitas pemanfaatan tinggi.
Kata kunci: damar, ekologi, etnobotani dan suku anak dalam

SUMMARY

RANA RIO ANDHIKA Ecology and Ethnobotany Trees of Dammar on
Community Anak Dalam Tribe in Bukit Duabelas National Park. Supervised by
MUHADIONO and IWAN HILWAN.
Dammar is produced by Dipterocarpaceae and Burseraceae trees. Anak
Dalam Tribe community, who settled in Bukit Duabelas National Park, are
utilizing dammar torches for fuel, medicine, rituals and adhesives. Bukit Duabelas
National Park was a forest conservation area closely related to local wisdom of
Anak Dalam Tribe. According to ecological Information and ethnobotany dammar
producing trees are still limited. The research aims was to inventory the dammar
producing plants, exposing local wisdom Anak Dalam Tribe, reviewing the
composition of the vegetation in the utilization zone Bukit Duabelas National
Park, characteristic of dammar habitat soil producing trees and plants conservation
strategy is needed.
The research was conducted from April to June 2014 in the utilization zone
Bukit duabelas National Park, Sarolangun. Vegetation analysis was carried out
using nested sampling method. Ethnobotany trees data of dammars collected
through interviews, observation and documentation passive participation using
snowball sampling technique. Soil analysis was carried out in the Laboratory of
the Department of Soil Science and Land Resources Faculty of Agriculture, Bogor
Agricultural University, Bogor. Identification of dammar trees was carried out

using Dipterocarpaceae identification Handbook Sumatera, and parts of plant
samples were sent to Herbarium of Bogoriense, Indonesian Institute of Sciences,
Cibinong. Data analysis was performed using importance value index (IVI) and
index of cultural significance (ICS). Soil characteristics were characterize by the
presence of dammar producing trees, which was determined by principal
component analysis (PCA). Similarities between soil habitats characteristics of the
trees were determined by the analysis hierarchy cluster (AHC) using XLSTAT
2014 software.
Total 14 species of plants producing dammar were observed, namely
Canarium pilosum A.W. Benn., Hopea dryobalanoides Miq., H. mengarawan
Miq., Dipterocarpus baudii Korth., D. hasseltii Blume, Santiria laevigata Blume,
Sa. Dacryodifolia Koch., Shorea bracteolata Dyer, S. retinodes Sloot., S. cf.
singkawang Burck, S. leprosula Miq., S. multiflora (Burck) Sym., Parashorea
malaanonan Merr. dan Dacryodes rugosa (Blume) H.J.Lam. Dominant of
dammar were H. dryobalanoides (IVI=10.37%) and C. pilosum (IVI=10.25%).
The existence of P. malaanonan (Sand=29.69%), Da. rugosa (Sand=63.34%), H.
mengarawan (Sand=44.66%) and Sa. dacryodifolia (Sand=32.69%) was
confirmed by sand contents. The results of PCA showed the presence of S.
bracteolata strong characterized by C/N ratio (13.52%). While the existence of S.
retinodes was more characterized by soil pH (6.5) and C/N ratio (9.49%). The

existence of C. pilosum was characterized by cation exchange capacity (23
me/100g) and organic carbon (4.94%), then the presence of S. cf. singkawang was
more strongly characterized by nitrogen (0.4%), and organic carbon (4.94%). The
results showed similarities of soil characteristics of S. cf. singkawang, S. retinodes
and H. mengarawan with the elements Ca (0.4-0.5 me/100 g), Na content (0.1-

0.13 me/100 g) and base saturation (5-6%). Resemblance of soil characteristics of
H. dryobalanoides, Sa. dacryodifolia and P. malaanonan were the total nitrogen
elements (0.15-0.21%), ratio of C/N (9-10%), calium (0.1-0.17 me/ 100 g) and
carbon organic (1.51-1.91%).
The utilization of producing resin producer by Anak Dalam community
is divided into seven categories, namely as a source of building materials,
medicine, food secondary raw materials equipment, craft materials, honeycomb,
and producer of resin. Anak Dalam community uses resin as a source of fuel,
medicine, adhesive and traditional rituals. The species of S. cf.singkawang was in
highest category of ICS (152), because the bark was used by Anak Dalam Tribe
community for raw materials of torch. Furthermore, the preservation of the trees
dammar was through two policies, which is customs policy of plant utilization and
management of forest landscapes. The conservation strategy of C. pilosum was
needed to maintain habitat and intensity of the use, because it was needed by the

community and sufficient availability of dammar was needed by Anak Dalam
tribe in the utilization zone. The conservation strategy of H. dryobalanoides, is
necessary through maintain habitat and increase the intensity of utilization,
because the availability of sufficient dammar and intensity of use were decreases.
The species conservation strategy of H. mengarawan and Dacryodes rugosa were
needed cultivating and retaining the intensity of use, due to the availability of
those species and intensity of use was low. The species conservation strategy of D.
baudii, D. hasseltii, Sa. dacryodifolia, S. laevigata, S. bracteolata, S. leprosula, S.
multiflora, S. retinodes, S. cf.singkawang and P. malaanonan was needed to
reduce the intensity of cultivation and utilization due to low availability and high
intensity of use.
Keywords: dammar, ecology, ethnobotany, anak dalam tribe.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EKOLOGI DAN ETNOBOTANI POHON PENGHASIL
DAMAR PADA SUKU ANAK DALAM DI TAMAN
NASIONAL BUKIT DUABELAS

RANA RIO ANDHIKA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sulistijorini, M.Si

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April – Juni 2014 ini ialah
pohon penghasil damar, dengan judul ekologi dan etnobotani pohon penghasil
damar pada masyarakat Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc selaku
Ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Iwan Hilwan, MS selaku anggota pembimbing,
Dr. Ir. Sulistijorini M.Si selaku Penguji luar komisi dan Dr. Ir. Miftahudin, M.Si
selaku Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan yang telah memberi saran untuk
perbaikan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bepa Betaring sebagai Temenggung dan selaku kepala adat Masyarakat
SAD, pihak Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Sarolangun, Jambi yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Maret 2016
Rana Rio Andhika

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

v

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN

1

2 TINJAUAN PUSTAKA

4

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Teknik Pengumpulan Data
Analisis Data

11
11
11
11
13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Floristik Zona Pemanfaatan
Karakteristik Tanah
Pengetahuan Masyarakat Suku Anak Dalam
Pemanfaatan Pohon Penghasil Damar
Pemanfaatan Damar
Pelestarian Pohon Penghasil Damar
Strategi Konservasi Pohon Penghasil Damar

16
16
20
25
26
31
35
37

5 SIMPULAN DAN SARAN

39

DAFTAR PUSTAKA

40

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

74
DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Daftar klasifikasi damar di Benua Asia
Kriteria nilai SDR strata pohon penghasil damar
Kriteria ICS jenis pohon penghasil damar
Analisis strategi konservasi tumbuhan
Komposisi jenis penghasil damar tingkat pohon di zona pemanfaatan
TNBD Tahun 2014
Komposisi jenis penghasil damar tingkat tiang di zona pemanfaatan
TNBD Tahun 2014
Komposisi jenis penghasil damar tingkat sapihan di zona pemanfaatan
TNBD Tahun 2014
Komposisi jensi penghasil damar tingkat semai di zona pemanfaatan
TNBD Tahun 2014
Nilai kontribusi karakteristik tanah habitat pohon penghasil damar di
zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014

9
14
14
15
17
18
19
20
22

10 Inventarisasi pohon penghasil damar yang berguna bagi masyarakat
SAD di TNBD wilayah Kabupaten Sarolangun Tahun 2014
11 Strategi konservasi pohon penghasil damar di zona pemanfaatan TNBD
Tahun 2014

27
38

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka alur penelitian ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar
pada masyarakat SAD di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014
2 Peta zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD)
3 Peta lokasi pengambilan sampel pohon penghasil damar
4 Petak contoh pengumpulan data vegetasi zona pemanfaatan TNBD
5 Histogram kerapatan jenis penghasil damar pada empat tingkat
pertumbuhan di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014
6 Biplot AKU karakteristik tanah terhadap pohon penghasil damar di
zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014
7 Dendrogram kluster tanah habitat pohon penghasil damar di zona
pemanfaatan TNBD Tahun 2014
8 Pengelompokan jenis berdasarkan bagian pohon yang berguna bagi
masyarakat SAD di TNBD wilayah Kabupaten Sarolangun Tahun 2014
9 Nilai kepentingan budaya SAD terhadap pohon penghasil damar di
TNBD wilayah Kabupaten Sarolangun Tahun 2014
10 Pengelompokan jenis berdasarkan kegunaan bagian non damar
11 Pengelompokan jenis damar berdasarkan kegunaan

3
6
11
12
20
21
24
28
29
30
33

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Kunci identifikasi tekstur tanah
Dokumentasi penelitian di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014
Penilaian kualitas, intensitas dan eksklusivitas tumbuhan berguna
Perhitungan INP floristik tingkat pohon di zona pemanfaatan TNBD
Tahun 2014
Perhitungan INP floristik tingkat tiang di zona pemanfaatan TNBD
Tahun 2014
Perhitungan INP floristik tingkat sapihan di zona pemanfaatan TNBD
Tahun 2014
Perhitungan INP floristik tingkat semai di zona pemanfaatan TNBD
Tahun 2014
Kandungan tanah habitat pohon penghasil damar di zona pemanfaatan
TNBD Tahun 2014
Daftar kategori nilai kandungan unsur tanah
Nilai kontribusi variabel unsur tanah habitat pohon penghasil damar di
zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014
Perhitungan ICS pohon penghasil damar pada masyarakat SAD di
TNBD wilayah Sarolangun Tahun 2014
Titik koordinat habitat pohon penghasil damar dan lokasi plot sampling
di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014

46
47
51
53
57
60
63
66
67
68
69
72

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia
setelah Brazil dan Zaire (Setyowati 2003). Provinsi Jambi memiliki kawasan
konservasi hutan seluas 676.120 ha atau kira-kira 3,4% total luas hutan Indonesia
tersisa saat ini. Hutan merupakan sumberdaya alam bermanfaat ekologi dan
ekonomi bagi masyarakat. Sumber daya hutan dikelola dan dimanfaatkan secara
optimal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Manfaat tersebut tidak
berlangsung lama apabila hutan terus dieksploitasi berupa kayu dan dikonversi
tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Konversi lahan hutan
menjadi perkebunan, pemukiman penduduk dan penambangan batu bara
mengganggu keseimbangan ekosistem hutan (Ita 2013).
Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) merupakan salah satu kawasan
konservasi hutan tropis basah berada di Provinsi Jambi terletak di Kabupaten
Sarolangun, Tebo dan Batanghari. Kawasan konservasi tersebut merupakan rumah
Suku Anak Dalam (SAD) dengan luas areal 8,9% total luas kawasan hutan Jambi
tersisa saat ini. TNBD memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi, antara lain
hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang menunjang kehidupan masyarakat lokal
SAD sebagai sumber bahan obat, kerajinan tangan, pendapatan dan bahan rumah
tangga (BKSDA 2009). Pengelolaan HHBK masih terabaikan dan kurang
perhatian masyarakat umum, karena kurang penelitian dan informasi tentang nilai
ekonomi dan manfaat HHBK tersebut. Supriyadi (2012), SAD masih sulit menjual
damar karena harga jual rendah dan tidak sesuai beban mencari damar di hutan
terdegradasi.
Damar merupakan jenis HHBK dimanfaatkan masyarakat SAD bermukim
di kawasan TNBD dan sekitarnya. Menurut Langenheim (2003), Damar
dihasilkan pohon famili Dipterocarpaceae dan Burseraceae. Andhika et al.
(2015) mengemukakan, bahwa masyarakat SAD memanfaatkan 22 jenis getah
tumbuhan dalam memenuhi kebutuhan hidup di hutan. Tiga jenis diantaranya
termasuk kategori damar Conggol (Hopea dryobalanoides), Meranti batu
(Parashorea aptera) dan Meranti bungo (Shorea cf. singkawang). Menurut Sager
(2008), masyarakat SAD memungut damar di hutan untuk bahan bakar obor
penerangan.
Hutan TNBD bukan sekedar memiliki biodiversitas tinggi tetapi juga
berkaitan erat dengan kearifan lokal masyarakat SAD yang berkembang dari
nenek moyang terdahulu. Kearifan lokal menurut Keraf (2002) adalah semua
bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman dan wawasan serta adat kebiasaan
atau etika yang menuntun perilaku manusia di komunitas ekologis. TNBD penting
sebagai areal pelestarian ekosistem jasa lingkungan bagi kelangsungan makhluk
hidup sekitar hutan tersebut, maka perlu dilakukan identifikasi dan penggalian
pengetahuan berbagai potensi untuk kemaslahatan bersama secara berkelanjutan.
Lokasi ini dipilih karena tempat potensial melakukan penelitian ekologi dan
etnobotani.
Kajian pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat mendapat
perhatian meningkat dalam tiga dasawarsa terakhir. Hal ini dimotivasi keinginan

2
mencari fakta empiris tentang kehandalan masyarakat lokal mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan (Colfer et al, 2000; Colfer
2005). Stimulus konservasi tumbuhan berkaitan dengan nilai manfaat ekonomi,
nilai ekologi, sosial budaya, maupun nilai religi atau kepercayaan masyarakat
lokal (Zuhud 2009). Sasmita (2009), mengungkapkan kearifan lokal SAD
berpedoman hukum adat yang diakui dan diberlakukan bersama.
Seiring modernisasi dikhawatirkan mempengaruhi perubahan sosio-budaya
SAD mengancam punah kearifan lokal SAD untuk generasi berikut
memanfaatkan dan melestarikan hutan di TNBD. Keterbatasan informasi kearifan
lokal SAD berkaitan konservasi tradisional tumbuhan penghasil damar dan
komposisi jenis tersebut belum memunculkan apresiasi pengembangan potensi
serta tindakan konservasi. Berdasarkan latar belakang tersebut dilakukan kajian
ilmiah ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar masyarakat SAD
Sarolangun di TNBD, Provinsi Jambi.
Perumusan Masalah
1.

2.

Rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
Keterbatasan dokumentasi ekologi dan etnobotani tumbuhan penghasil damar
bermanfaat bagi SAD di TNBD. Bagaimana ekologi dan etnobotani jenis
tumbuhan penghasil damar?
Keterbatasan dokumentasi kearifan lokal SAD dalam konservasi jenis
tumbuhan penghasil damar. Bagaimana konservasi tiap jenis tumbuhan
penghasil damar berdasarkan kearifan lokal SAD ?
Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan:
1. Menginventarisasi pohon penghasil damar yang dimanfaatkan SAD.
2. Mengkaji komposisi floristik penghasil damar.
3. Mengkaji karakter tanah habitat pohon penghasil damar.
4. Mengungkap kearifan lokal SAD berkaitan konservasi tradisional pohn
penghasil damar.
5. Mengkaji strategi konservasi pohon penghasil damar secara berkelanjutan.
Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan bermanfaat sebagai:
1. Dokumentasi ilmiah ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar SAD
Sarolangun di TNBD, Jambi,
2. Sumber informasi dan acuan pertimbangan bagi pemerintah merumuskan
kebijakan strategi konservasi pohon penghasil damar.
3. Sumber informasi karakterisik tanah habitat pohon penghasil damar untuk
budidaya pohon penghasil damar.

3
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada ekologi dan etnobotani penghasil
damar masyarakat SAD di zona pemanfaatan TNBD wilayah Kabupaten
Sarolangun. Kerangka alur penelitian disajikan pada Gambar 1.

Keanekaragaman hayati TNBD

Potensi HHBK

Pohon penghasil damar

Kajian ekologi

Kajian etnobotani

Analisis vegetasi dan Karakter tanah

Snowball sampling

Komposisi jenis

Konservasi lokal SAD

Strategi konservasi

Pelestarian jenis

Gambar 1 Kerangka alur penelitian ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar
pada masyarakat SAD di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Suku Anak Dalam
Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) disebut juga Orang dalam, Orang
rimba dan Sanak, merupakan suku asli hidup nomaden di kawasan hutan di
Provinsi Jambi. Secara garis besar, komunitas SAD dibagi tiga kelompok besar,
yaitu masyarakat SAD Bukit Duabelas, jalan lintas dan selatan Bukit Tigapuluh.
Hutan adalah tempat berburu, meramu, ritual penyembuhan penyakit, upacara
kelahiran, upacara perkawinan dan kematian (Sager 2008).
Pada dasarnya, masyarakat SAD menganggap tabu menambah harta benda
yang tidak termasuk kebutuhan pokok atau memiliki barang yang menyulitkan
untuk berpindah-pindah. (Weintre 2003). Setyowati (2003) juga menyebutkan
busana laki-laki memakai cawot (cawat) sedangkan wanita memakai kain panjang
(kemben). Laki-laki memakai celana disebut cawat, terbuat dari kulit kayu terap
(Artocarpus elasticus) untuk menutupi kemaluan. Sedangkan pakaian perempuan
pemakaiannya ada dua tahapan. Pertama, khusus bagi perempuan belum menikah,
kulit kayu menutupi dada sampai lutut atau betis, kedua, bagi perempuan sudah
menikah, kulit kayu menutupi bawah dada atau pusar sampai lutut. Semenjak
mengenal kain, laki-laki masyarakat SAD memakai cawat dari kain dan
perempuan memakai kain panjang. Pakaian tradisional memudahkan bergerak
cepat di hutan untuk mengejar binatang buruan atau untuk menghindari dari halhal yang berbahaya.
Masyarakat SAD memiliki kepercayaan kepada banyak Dewa yang
memberi kekuatan, petunjuk, kesehatan, musibah, penyakit dan makanan, seperti
Dewo Silumon (pohon bambu), dewa gajah (dewa gejoh), dewa harimau (dewo
mato merego), dewa beruang, dewa burung gading dll. Meraka percaya bahwa
bukan manusia saja memiliki jiwa, tetapi juga hewan, tumbuhan, batu, air, bahkan
pelangi. Masyarakat SAD mematuhi pantangan dan larangan dewa yang
diwariskan nenek moyang.
Mata pencaharian masyarakat SAD adalah menyadap getah hutan,
menangkap (ikan dan labi-labi), berburu (babi dan kera), meramu damar, buah
hutan, dan mengumpul rotan di hutan TNBD. Mereka biasanya menanam ubi
kayu (Manihot esculenta) dan ubi rambat (Ipomoea batatas) di sekitar
pemukiman untuk memenuhi pangan pokok. Permasalahan kesehatan masyarakat
SAD adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), kulit, malaria dan cacingan.
ISPA disebabkan oleh kesukaan merokok. Penyakit cacingan dan kulit juga
diamati disebabkan oleh tingkat kebersihan tempat tinggal. Menurut SAD
kematian merupakan kesialan dan teguran dewa sehingga harus pindah mencari
pemukiman baru setelah dilakukan ritual besale, salah satu ritual adat untuk
menyembuhkan orang sakit dipimpin oleh dukun dengan memanggil dewa. Besale
dilakukan jika penggunaan bahan obat hutan belum menyembuhkan. Hal ini
merupakan langkah terakhir memohon pertolongan kepada dewa. Kepercayaan
SAD, jika ada salah satu anggota keluarga sakit, maka anggota lain bisa ketularan.
Pencegahan, orang sakit harus besesandingon (diasingkan) dengan cara dibuatkan
pondok terpisah dari pondok keluarga. Tanda orang sakit biasanya tidur sepanjang
hari dan kurang nafsu makan (Sager 2008).

5
Pemukiman di hutan dengan sudung (rumah SAD) sebagai tempat berteduh
dari hujan, sebagian menggunakan atap serdang dan rumbia, dinding terbuka dan
beralas kayu. Tradisi nomaden terbagi dua yaitu tradisi belangun dan bemalom.
Istilah belangun merupakan adat masyarakat SAD berupa perpindahan tempat
tinggal, disebabkan ada kematian anggota kelompok masyarakat SAD. Bertujuan
agar orang ditinggalkan tidak berlarut kesedihan dan pergi dari kesialan. Bemalom
(merantau) adalah kegiatan perpindahan masyarakat SAD meramu dan berburu
untuk persediaan bahan makanan sebelum masa panen ladang.
Dalam kehidupan berkelompok, SAD memiliki sistem lembaga adat yang
sering disebut penghulu adat bertugas untuk mengurus dan memimpin kelompok
SAD dengan menetapkan serta menyetujui hukum adat melalui sidang adat.
Berdasarkan tugas dan wewenang, struktur penghulu adat SAD terdiri: Tuo
Tengganai merupakan sebutan untuk pensiunan temenggung yang cukup tinggi
pengetahuan mengenai aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat SAD. Tuo
tengganai juga bertugas menasehati temenggung jika terdapat khilaf temenggung
melaksanakan kebijakan adat. Temenggung dan Wakil Temenggung, temenggung
bertugas memimpin dan bertanggung jawab terhadap seluruh anggota kelompok.
Jika temenggung berhalangan hadir, maka digantikan oleh wakil temenggung.
Depati bertugas kepanjangan tangan dari temenggung karena jika masalah masih
bisa diselesaikan depati, maka depati yang menyelesaikan masalah tersebut. Menti
bertugas mengumpulkan orang pada suatu acara dan menyampaikan informasi
berupa pengumuman, berita, panggilan dan pesan kepada kelompok masyarakat
SAD. Mangku bertugas menimbang keputusan dalam sidang adat (pemangku
adat) dan menetapkan keputusan adil dalam sengketa serta menyelesaikan
masalah terkait hukum. Debalang batin, tugas debalang adalah mengawal
tumenggung dan menjaga keamanan kelompok masyarakat SAD serta eksekutor
terhukum mati.
Masyarakat SAD memiliki lembaga diluar struktur kepenghuluan adalah
dukun dan jenang. Dukun terbagi dua yaitu dukun godong dan dukun. Dukun
Godong adalah pemimpin spiritual Orang Rimba dalam upacara pernikahan,
pengobatan, penentuan lahan ladang dan upacara adat lainnya. Sedangkan dukun
hanya bertugas membantu bersalin dan mengobati penyakit perut, demam, serta
kulit. Peran dan pengaruh dukun kadang-kadang mereka merangkap sebagai
temenggung. Jenang adalah Orang desa (bukan SAD) diwariskan dari masa
lampau menjadi penghubung antara SAD dengan orang luar dan pemerintah
setempat (Sager 2008).
Gambaran Umum TNBD
Letak dan Topografi
Secara geografis TNBD terletak di antara 102o31’37” sampai 102o48’27”
Bujur Timur dan antara 1o44’35” sampai 2o03’15” Lintang Selatan. Secara
administratif TNBD terletak di Kecamatan Maro Sebo Ulu dan Batin XXIV,
Kabupaten Batanghari serta Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun dan
Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo (Gambar 1). Kawasan TNBD memiliki
luas sebesar 60.500 Ha, sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Batanghari +
41.259 Ha (70%), sisanya berada di Kabupaten Tebo + 12.483 Ha (20%) dan
Kabupaten Sarolangun + 6.758 Ha (10%).

6
Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) merupakan salah satu kawasan
hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi. Secara umum, memiliki
topografi yang bervariasi mulai dari datar, bergelombang, dan perbukitan dengan
ketinggian 50-438 m dpl. Karakteristik habitat pada zona pemanfaatan meliputi
curah hujan berkisaran 3294-3669 mm/tahun tergolong tinggi, kelembaban udara
(88-99%), suhu udara harian (28-31°C), suhu tanah harian (26-29°C). Jenis tanah
mendominasi kawasan TNBD adalah Podzolik dan Latosol (Departemen
Kehutanan 2009).Ada 12 bukit utama yang terdapat di TNBD yaitu Bukit Kuaran,
Bukit Sungai Punai/Punai Banyak, Bukit Berumbung, Bukit Lubuk Semah, Bukit
Sungai Keruh Mati, Bukit Panggang, Bukit Enau, Bukit Terenggang, Bukit Pal,
Bukit Suban, Bukit Tiga Beradik dan Bukit Bitempo.

Gambar 2

Peta zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) (Sumber:
BKSDA 2009)

Daerah aliran sungai penting di sekitar kawasan meliputi Sub DAS Air
Hitam Anak S. Tembesi, Sub DAS Jelutih, Serengam Anak S. Tembesi, Sub DAS
Kejasung Kecil, Kejasung Besar, Sungkai, Makekal Anak S. Tabir, Sub DAS
Bernai dan Seranten Anak Tabir. Pengelolaan TNBD dikembangkan dalam enam
sistem zonasi kawasan, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona religi,
zona tradisional dan zona rehabilitasi (BKSDA 2009). Zona pemanfaatan
merupakan area perkebunan agroforestri masyarakat SAD yang tidak boleh
diperjualbelikan dan sumber hayati digunakan untuk kebutuhan. Zona tersebut
memiliki topografi datar, bergelombang dan perbukitan dengan ketinggian 70-90
m dpl. Sylviani (2008) melaporkan sebagian flora terdapat di TNBD antara lain
bulian (Eusideroxylon zwagerii), meranti (Shorea spp.), tenggeris/kempas
(Koompassia excelsa), jelutung (Dyera costulata), jernang (Daemonorops draco),

7
rotan (Calamus spp.), bambu (Gigantochloa spp.), kemenyan (Sytrax benzoin),
balam (Palaquium spp.), bua bunto (Ochanostachys amentacea), jamur dan
pandan (Pandanus spp.).
Konsep Ekologi Tumbuhan
Ekologi tumbuhan adalah bagian ilmu yang mencoba mempelajari
hubungan timbal balik antara tumbuhan dengan lingkungan habitat. Istilah ekologi
pertama kali digunakan oleh Reither dan Haeckel pada tahun 1869. Ekologi
tumbuhan sekarang lebih menekankan pada studi aspek-aspek kegunaan alam
(Setiadi dan Tjondronegoro 1989). Ekologi tumbuhan mempelajari hubungan
timbal balik lingkungan abiotik dan biotik dengan tumbuhan yang terjadi di alam
dengan tidak melakukan percobaan untuk melahirkan solusi terhadap
permasalahan alam yang terjadi (Irwan 2012). Lingkungan biotik meliputi
asosisasi, distribusi, kompetisi, parasit, dekomposer, detrivus, manusia, hewan,
simbiosis dengan mahkluk hidup lainya, struktur dan komposisi vegetasi,
sedangkan lingkungan abiotik meliputi topografi (ketinggian, latitude dan
kelerengan lokasi), iklim (curah hujan, angin, kelembaban udara dan suhu udara),
air, api, intensitas cahaya, radiasi, atmosfir dan tanah.
Berdasarkan atas komposisi jenis organisme yang dikaji, ekologi
digolongkan dua kelompok sebagai berikut (Setiadi dan Tjondronegoro 1989):
1 Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies tumbuhan secara
individu yang berinteraksi dengan lingkungan biotik dan abiotik, contohnya
ekologi manusia, ekologi serangga, dan ekologi tumbuhan.
2 Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok tumbuhan yang
bergabung dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam area tertentu,
contohnya ekologi hutan, ekologi laut dan ekologi pesisir.
Konsep Etnobotani
Sejarah penelitian etnobotani diprakarsai oleh catatan C. Columbus dengan
menemukan tembakau dan pemanfaatannya di Kuba pada tahun 1492 (Cummins
1992). Richard spruce, seorang ahli eksplorasi tumbuhan dan etnobotani Inggris,
pada tahun 1851 mengungkapkan pemanfaatan Banisteriopsis caapi sebagai
penghasil zat halusinogen oleh suku Indian, Amazone (Schultes 1983). Data
etnobotani adalah data tentang pengetahuan botani masyarakat dan organisasinya
bukan data botani taksonomi (Walujo 2004).
Etnobotani secara sederhana didefinisikan sebagai sebagai kajian interaksi
manusia dengan keanekaragaman jenis tumbuhan (Cotton 1996; Martin 1995).
Faham ini memadukan dalam satu ranah etnologi dan botani yang harus mampu
saling mengisi dan menguatkan (Walujo 2009). Pengertian etnobotani harus
mampu menungkapkan keterkaitan hubungan budaya masyarakat, terutama
tentang persepsi dan konsepsi masyarakat dalam memahami sumberdaya nabati di
sekitar tempat bermukim.
Etnobotani menurut Cotton (1996); Purwanto (2006); Waluyo (2008)
merupakan ilmu interdisipliner dengan pendekatan holistik hubungan manusia
dengan keanekaragaman jenis tumbuhan. Hubungan kultural, keanekaragaman

8
hayati, dan lingkungan dapat bersifat menguntungkan tetapi juga merugikan.
Aspek interdisipliner meliputi etnofarmakologi, etnomedisional, etnogynaekologi,
etnopediatrik, etnoortopedik, etnooptalmologi, etnoagrikultur, etnotoksikologi,
etnomusikologi, etnoekologi, etnofitokimia, etnolinguistik, etnokosmetika dan
lain-lain. Sedangkan Rifai (1998), berpendapat etnobotani sebagai cabang ilmu
yang mempelajari hubungan budaya manusia dengan alam nabati sekitarnya,
dalam hal ini lebih diutamakan persepsi dan konsepsi budaya kelompok
masyarakat yang dipelajari dalam sistem pengetahuan anggotanya terhadap
tumbuhan dalam lingkungan hidupnya.
Konsep Damar
Damar merupakan jenis resin yang dihasilkan tumbuhan dari anggota famili
Dipterocarpaceae dan Burseraceae. Damar merupakan salah satu hasil hutan dari
getah pohon yang membeku akibat perlukaan organ dan kontaminasi udara
(Langenheim 2003). Hill (2006) menggolongkan resin menjadi tiga kelompok
yaitu hard resin, gum resin dan oleoresin. Damar termasuk kelompok Hard resin
yang sedikit mengandung minyak essensial, berwujud padatan, mudah rapuh,
tanpa bau dan rasa. Menurut Gianno (1986), damar adalah material solid atau
semi solid terdiri komponen kompleks bersifat tidak larut air dan kloral hidrat
yang larut menggunakan pelarut organik (alkohol dan terpentin).
Produksi cairan damar di sel parenkim yang terdapat di korteks, empulur
batang, parenkim floem dan parenkim xilem akar. Sel parenkim mengelilingi
saluran damar yang dilindungi sel-sel epitelium. Di dalam saluran, cairan damar
mendapat tekanan fisiologis dan mekanis, sehingga apabila saluran damar
terpotong dan dilukai, maka sekresi cairan damar tersebut keluar, selanjutnya
membeku jika terkontaminasi udara (Sutrian 2011). Damar berperan bagi
tumbuhan untuk melindungi dan menutupi bagian yang terluka dari serangan
hama pengerek kayu dan penyakit, sehingga terhambat memasuki lubang luka
tumbuhan (Newman et al. 1999).
Damar telah diperdagangkan di antara pulau-pulau Asia Tenggara sejak
sekitar tahun 3000 SM. Ekspor pertama ke Eropa dan Amerika dimulai sekitar
tahun 1830-an. Saat ini, Indonesia adalah negara penghasil damar mata kucing
(Shorea javanica) terbesar di dunia yang ditanam dan diproduksi di Krui,
Lampung. Daerah ini memproduksi sekitar 10.000 ton damar mata kucing setiap
tahun, yang mencakup lebih dari 80 % produksi damar nasional. Semula damar
digunakan untuk bahan bakar obor, pewarna batik tulis dan dupa serta melapisi
bagian sambungan kapal agar tahan air. Sejak abad ke 18 M, damar digunakan
dalam industri cat, tinta, pernis dan bahan tambahan pembuatan soda (Beer 2005).
Secara komersil damar sebagai sumber bahan baku cat, pernis, industri linoleum,
farmasi kosmetik dan makanan (Wardah 2005). Damar dimanfaatkan untuk bahan
baku, antara lain cat, tinta, pernis, dan bahan tambahan pangan (Edriana et al.
2004; Lakerveld 2007). Damar mengandung senyawa bioaktif teridentifikasi
sebagai vulgarol B; 3,4-secodamar-4(28)-en- 3-oic acid; dan (7R,10S)-2,6,10trimetil-7-epoksi-2,11-dodecadiene (Mulyono et al. 2012).
Berdasarkan tinjauan pustaka diperoleh 18 kelompok damar di Asia yang
dihasilkan oleh jenis anggota famili Dipterocarpaceae dan Burseraceae.
Informasi selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

9
Tabel 1 Daftar klasifikasi damar di Benua Asia
No.

Damar

Jenis penghasil
- Balanocarpus
heimii
- Shorea hypochra

3

Damar
penak
Damar
temak
Damar sal

- S. robusta

- Malaysia dan
Indonesia
- Malaysia dan
Indonesia
- India

4

Damar kala

- S. tumbuggaia

- India

5

Damar putih

- Vatica indica

- India

6

Damar
hitam

- C. strictum

- India

7

- S. wiesneri

- Indonesia

8

Damar
batavian
Damar deras

- Hopea odorata

- Myanmar

9

Damar laos

- S. obtuse
- Dipterocarpus
alatus

- Asia Tenggara

10

Damar
filipina

- D. grandiflorus
- D. gracilis

11

Damar
keruing

-

1
2

12

13

Damar
mersawa

Damar
kapur

- Anipsoptera
megistocarpa
-

14

Damar mata
kucing

D. chartaceus
D. sublamellatus
D. kerii
D. caudiferus
D. crinitus
D. verrucosus
D. kunstleri
D. elongatus

-

A. costata
A. grossivenia
A. marginata
Dryobalanops
aromatic
Dr. oblongifolia
Dr. lanceolata
H. micrantha
H. celebica
H. gregaria

Asal tumbuhan

- Asia Tenggara

- Asia Tenggara

Kegunaan
- Bahan baku pernis
dan cat
- Bahan baku pernis
dan cat
- Bahan baku cat,
bahan upacara adat
India dan pernis
- Bahan baku cat dan
pernis
- Bahan baku cat, obat
bronkitis, diare dan
rematik dan pernis
- Bahan baku pernis,
cat dan bahan
upacara adat India
- Bahan baku pernis
dan cat
- Bahan baku pernis
dan cat
- Bahan penerangan,
dempul, cat, pernis
dan penguat aroma
parfum.
- Dempul, pelarut
parfum dan penguat
aroma parfum
- Pernis, penguat dan
pelarut aroma parfum

- Kalimantan
- Sumatera dan
Kalimantan
- Kalimantan
Barat dan
Tenggara
- Asia Tenggara

- Pernis,bahan dasar
penguat dan pelarut
aroma parfum

- Indonesia

- Kalimantan

- Bahan baku pernis
dan cat

- Malaysia dan
Indonesia
Sulawesi

- Bahan baku pernis
dan cat

10
Tabel 1 Daftar klasifikasi damar di Benua Asia (lanjutan)
No.

15

Damar
-

Jenis penghasil
S. javanica
H. mengarawan
H. dryobalanoides
H. intermedia
S. koordersii
H. griffithii
H globosa
H. myrtifolia
S. bracteolata

16

Damar
kedontang
Damar siput

17

Damar buah

- S. gibbosa

18

Damar Batu

- S. eximia

- S. faguetiana

Asal tumbuhan
- Sumatera

Kegunaan

- Sumatera

- Malaysia dan
Indonesia
- Malaysia dan
Indonesia
- Malaysia dan
Indonesia
- Indonesia

- Bahan baku pernis
dan cat
- Bahan baku pernis
dan cat
- Bahan baku pernis
dan cat
- Bahan baku pernis
dan cat

Sumber: Hill 2006; Langenheim 2003; Gianno 1986; Mulyono 2010 ;Sumadiwangsa dan
Gusmailina 2006.

Damar kelulut dan damar siput dikumpulkan dari sarang serangga. Damar
kelulut adalah gumpalan damar yang dikumpulkan dari berbagai tumbuhan
penghasil damar dan digunakan oleh lebah untuk membentuk propolis (lem lebah).
Propolis bersifat lengket pada suhu ruangan atau di atasnya (25 °C). Sementara
jika lebih rendah, akan menjadi keras dan rapuh. Warna propolis tergantung warna
damar yang dominan terkumpul. Fungsi propolis bagi Lebah adalah mencegah
pertumbuhan bakteri di sarang. Dengan demikian propolis merupakan produk
simbiosis komensalisme antara tumbuhan penghasil damar dan lebah madu.
Damar siput adalah gumpalan damar yang berbentuk rongga seperti cangkang
siput pada batang-batang pohon hutan dan diduga sisa dari sarang larva kumbang
(Langenheim 2003). Getah damar mata kucing (S. javanica) mengandung sekitar
67 senyawa, dan dapat dikategorikan menjadi empat golongan, yaitu karbon
tetrasiklik (30 senyawa, 49,57%), pentasiklik (3 senyawa, 2,56%), senyawa C15
(11 senyawa, 17,09%), dan golongan lainnya (23 senyawa, 18,26%). Komponen
terbesar dalam damar mata kucing adalah senyawa brasikasterol, yaitu sekitar
20% (Mulyono et al. 2012).

11

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan bulan April-Juni 2014. Lokasi penelitian di zona
pemanfaatan TNBD wilayah Sarolangun, Jambi. Penentuan lokasi penelitian
dengan metode purposive sampling (disesuaikan dengan tujuan penelitian dan
sampel yang mewakili populasi). Lokasi pengambilan sampel disajikan pada
Gambar 3.

Zona pemanfaatan

TNBD

Gambar 3 Peta lokasi pengambilan sampel pohon penghasil damar
Alat dan Bahan
Perlengkapan teknis maupun non teknis penelitian adalah kamera, perekam
suara, panduan wawancara semi terstruktur, kertas label, kertas koran, tali ukur,
tali tambang, kardus, karung, peta, GPS, soil tester, sasak, plastik, skop tanah,
alkohol 70%, tali rafia, simpul, buku identifikasi pohon, laptop, etiket gantung dan
alat tulis.
Teknik Pengumpulan Data
Kajian Ekologi
Pengumpulan data vegetasi. Data vegetasi diperoleh menggunakan
kombinasi metode jalur dan garis berpetak (nested sampling) di lokasi zona
pemanfaatan TNBD (Soerianegara dan Indrawan 2002). Total plot berjumlah 35
plot (1,4 ha). Jalur plot dengan arah rintis mendaki dan menurun perbukitan. Data
tersebut meliputi keanekaragaman jenis tumbuhan, diameter batang jenis, jumlah
individu dan luas bidang dasar setiap jenis. Ilustrasi plot ditunjukkan pada
Gambar 4.

12

Gambar 4

Petak contoh pengumpulan data vegetasi zona pemanfaatan TNBD.
Petak ukur (20 m x 20 m) untuk tingkat pohon (diameter > 20 cm), petak
ukur (10 m x 10 m) untuk tingkat tiang (diameter 7 – 20 cm), petak ukur
(5 m x 5 m) untuk tingkat sapihan (tinggi ≥ 150 cm, diameter 2-7 cm) dan
petak ukur (2 m x 2 m) untuk tingkat semai ( tinggi < 150 cm, diameter <
2 cm).

Identifikasi sifat tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan untuk
menentukan tekstur dan sifat kimia tanah. Kandungan unsur hara diidentifikasi
termasuk kategori unsur makro essensial (Rasio C/N, C-org, P, N-total, Ca, Mg, K
dan Na). Lokasi pengambilan sampel tersebut di habitat lima jenis pohon
penghasil damar dengan INP tertinggi dan lima jenis ICS tertinggi. Menurut
Rugayah et al. (2004) bahwa pengambilan sampel tanah berjarak 1 m dari jenis
pohon dengan kedalaman 20 cm secara acak di empat titik dengan masing-masing
sebanyak 1 kg, kemudian dicampur dan diaduk sampai merata, selanjutnya sampel
diambil sebanyak 0,5 kg sehingga mewakili sampel tanah lokasi tersebut. Data pH
tanah diukur menggunakan soil tester di habitat pohon penghasil damar. Analisis
kandungan sampel tanah di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB Dramaga Kabupaten Bogor. Tekstur
tanah ditentukan menggunakan diagram segitiga dan Tabel identifikasi tekstur
tanah berdasarkan persentase pasir, debu dan liat (Lampiran 1).
Kajian Etnobotani
Pengumpulan data etnobotani. Data diperoleh melalui wawancara,
observasi partisipasi dan dokumentasi (Martin 1995) untuk mengetahui informasi
inventarisasi jenis pohon penghasil damar dan kearifan lokal SAD dalam aktivitas
pemanfaatan serta pelestarian pohon tersebut. Wawancara secara mendalam dan
bebas bertanya kepada informan menggunakan panduan terkait jenis tumbuhan
penghasil damar (Cunningham 2001). Pemilihan informan menggunakan teknik
snowball sampling, menentukan informan berikutnya berdasarkan rekomendasi
temenggung (informan kunci) (Sugiyono 2011).
Observasi partisipasi adalah pengamatan langsung kegiatan SAD
memanfaatkan damar dan melestarikan pohon penghasil damar (Purwanto 2003).
Pengambilan dokumentasi berupa foto (Lampiran 2), rekaman wawancara dan
sampel tumbuhan terlebih dahulu meminta izin kepada informan.
Identifikasi jenis tumbuhan. Identifikasi pohon penghasil damar dilakukan
di lokasi penelitian menggunakan buku pedoman identifikasi pohon
Dipterocarpaceae Sumatera (Newman et al. 1999). Jenis tumbuhan belum
teridentifikasi dibuat herbarium, selanjutnya dikirim ke pihak Herbarium

13
Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Sampel dikoleksi dari
lapangan disemprot spritus menggunakan sprayer sampai merata. Kemudian
sampel dibungkus dengan kertas koran, selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong
plastik berukuran 60 cm x 40 cm dan disiram spritus sampai merata. Sampel
disusun dan ditekan dengan sasak. Selanjutnya pengeringan sampel dengan oven
pada suhu 40-50°C selama 24 jam (jenis tumbuhan). Pengeringan segera
dilakukan, jika terlambat mengakibatkan sampel rontok dan rusak. Pencatatan
data lapangan dilengkapi dokumentasi foto habitus dan organ penciri jenis.
Analisis Data
Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi untuk menentukan indeks nilai penting (INP) jenis
tumbuhan di zona pemanfaatan. INP merupakan jumlah persentase parameter
kuantitatif relatif (kerapatan, frekuensi dan dominansi) (Setiadi dan
Tjondronegoro 1989). Secara matematis, INP (fase pohon dan tiang) = KR + FR
+DR, INP (fase sapihan dan semai) = KR + FR. Nilai KR, FR dan DR dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut (Cox 1972).
Kerapatan jenis (Kᵢ) (ind/ha)
umla in ivi u suatu enis

Luas seluru peta onto

Frekuensi jenis (Fᵢ)
umla peta itemu an suatu enis

umla seluru peta onto
Dominasi jenis (Dᵢ) (m²/ha)
i ang asar suatu enis

Luas peta onto

Kerapatan relatif jenis (KR)

100


Frekuensi relatif jenis (FR)

100


Dominasi relatif jenis (DR)

100


Summed dominance ratio (SDR) adalah nilai perbandingan persentase INP
terhadap jumlah parameter kuantitatif penyusun INP. Nilai SDR menunjukkan
persentase dominansi dan tingkat ketersediaan jenis di ekosistem. Secara
matematis, untuk fase pohon dan tiang dirumuskan sebagai berikut (Cox 1972).

Untuk fase sapihan dan semai dirumuskan:
Dalam menentukan kategori nilai SDR jenis pohon penghasil damar berdasarkan
Tabel 2.

14
Tabel 2 Kriteria nilai SDR strata pohon penghasil damar
No.

SDR (%)

Kategori

1
≥5
2
3,5 – 4,9
3
≤ 3,49
Sumber: Heriyanto (2004)

Tinggi
Sedang
Rendah

Analisis Karakteristik Tanah
Analisis Komponen Utama (AKU) dan Hirarki Gabungan Klaster (HGK)
menggunakan software XLSTAT 2014. AKU untuk menentukan karakteristik
tanah yang mencirikan keberadaan jenis pohon penghasil damar. Analisis HGK
untuk mengetahui kemiripan karakteristik tanah antar habitat tumbuhan penghasil
damar. Menentukan kategori status konservasi setiap tumbuhan penghasil damar
versi IUCN 2015 pada website www.redlist.iucn.org.
Analisis Kepentingan Budaya
Analisis untuk menentukan nilai kepentingan budaya masyarakat SAD
terhadap tumbuhan penghasil damar menggunakan Indeks of Cultural
Significance (ICS) (Cunningham 2001). Rumus ICS sebagai berikut (Turner
1988):
n

S ∑ q i e nᵢ
i 1

Keterangan: ICS = Indeks kepentingan budaya; q = Nilai kualitas; i = Nilai
intensitas; e = Nilai eksklusivitas; nᵢ = Menunjukkan urutan pemanfaatan
tumbuhan yang kesekiannya.
Dimana, ICS menunjukkan persamaan jumlah nilai kepentingan suatu jenis
tumbuhan dari penggunaan ke-satu (i) hingga terakhir (n). Nilai kualitas
ditentukan dengan memberikan skor atau nilai kegunaan suatu jenis, nilai
intensitas menunjukkan intensitas penggunaan dari jenis tumbuhan dan nilai
eksklusivitas menunjukkan nilai kesukaan tingkat kebutuhan tumbuhan
tergantung budaya SAD (Lampiran 3). Menentukan kategori ICS jenis pohon
penghasil damar menggunakan Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3 Kriteria ICS jenis pohon penghasil damar
No.

ICS

Kategori

1
≥ 50
Tinggi
2
25 – 49,5
Sedang
3
1 – 24,5
Rendah
Sumber: modifikasi dari Turner (1988)

Analisis Strategi Konservasi
Strategi konservasi merupakan kebijakan memanfaatkan dan melestarikan
tumbuhan berdasarkan hasil analisis perbandingan kategori SDR terhadap ICS
jenis untuk menentukan kategori tindakan konservasi. Analisis strategi konservasi
menggunakan Tabel 4 berikut ini.

15
Tabel 4 Analisis strategi konservasi tumbuhan
No.

Kategori pembanding

1

SDR
Tinggi/sedang

ICS
Rendah

2

Tinggi/sedang

Tinggi/sedang

3

Rendah

Tinggi/sedang

4

Rendah

Rendah

Tindakan konservasi
mempertahankan habitat dan
meningkatkan intensitas pemanfaatan
mempertahankan habitat dan intensitas
pemanfaatan jenis
membudidayakan dan menurunkan
intensitas pemanfaatan
membudidayakan dan mempertahankan
intensitas pemanfaatan

Sumber: modifikasi dari Batoro (2012)
Catatan: jika damar saja yang dimanfaatkan dari pohon maka tetap dipertahankan
intensitas pemanfaatan walaupun nilai SDR tergolong rendah.

16

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Floristik Zona Pemanfaatan
Komposisi floristik merupakan daftar jenis tumbuhan pada suatu komunitas.
Daftar floristik berguna sebagai parameter vegetasi untuk mengetahui jenis dalam
suatu komunitas (Fachrul 2007). Data komposisi jenis diperlukan untuk strategi
dan usaha konservasi jenis tumbuhan dalam suatu komunitas (Kainde 2011).
Persentase INP merupakan perjumlahan tiga parameter kuantitatif untuk
menyatakan ketersediaan, penyebaran dan penguasaan jenis di suatu ekosistem
(Cox 1972). Pada vegetasi tingkat pohon terdapat 107 jenis dengan kerapatan
jenis total 314 pohon/ha. Pohon yang dominan di zona pemanfaatan adalah
medang labu (Litsea tomentosa), selanjutnya pohon yang kodominan adalah terap
(Artocarpus elasticus), selanjutnya diikuti balam merah (Palaquium gutta) dengan
urutan nilai INP 13,31%, 11,73% dan 10,76%. Berdasarkan perhitungan INP
tingkat pohon, famili dipterocarpaceae cukup tersedia di zona pemanfaatan
TNBD. Ashton (1998) menyatakan, habitat alami famili Dipterocarpaceae adalah
hutan yang telah mencapai klimaks dalam proses suksesi. Oleh karena itu
keberadaan jenis dari famili tersebut merupakan indikator kestabilan hutan.
Kerapatan ketiga jenis tersebut adalah 14 individu/ha (data selengkapnya pada
Lampiran 4).
Nilai kerapatan individu adalah perbandingan jumlah pohon terhadap luas
suatu area. Kerapatan menunjukkan ketersediaan jenis pada satu hektar (ha) luas
area tertentu. Nilai frekuensi adalah perbandingan jumlah plot yang terdapat suatu
jenis terhadap jumlah keseluruhan plot. Frekuensi menggambarkan penyebaran
dan kehadiran suatu jenis di area tertentu. Nilai dominasi diperoleh dari
perbandingan luas bidang dasar batang terhadap luas keseluruhan plot. Dominasi
menggambarkan tingkat penguasaan tumbuhan pada satu hektar (ha) luasan area
tertentu (Cox 1972). Berdasarkan wawancara dan observasi partisipasi diperoleh
14 jenis pohon penghasil damar yang dimanfaatkan Suku Anak Dalam (SAD) di