Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Produk Healthy Nama NIM FoodBeras Merah Pulen di Serambi Botani, Botani Square, Bogor

ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY)
PRODUK HEALTHY FOOD BERAS MERAH PULEN
DI SERAMBI BOTANI, BOTANI SQUARE, BOGOR

RIZKIYAN FAJARESA ABDILLAH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul analisis kesediaan
membayar (willingness to pay) produk healthy food beras merah pulen di Serambi
Botani, Botani Square, Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Rizkiyan Fajaresa Abdillah
NIM H34100164

________________________
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB
harus pada perjanjian kerja sama yang terkait

ABSTRAK
RIZKIYAN FAJARESA ABDILLAH. Analisis Kesediaan Membayar
(Willingness to Pay) Produk Healthy Food Beras Merah Pulen di Serambi Botani,
Botani Square, Bogor. Dibimbing oleh HENY K. DARYANTO.
Beberapa tahun terakhir ini, konsumsi beras merah dipopulerkan sebagai
bagian dari gaya hidup sehat. Beras merah dengan konsep healthy food
merupakan salah satu produk dari Serambi Botani. Penelitian ini bertujuan untuk
menunjukkan adanya hubungan karakteristik responden dengan kesediaanya
membayar, mengetahui nilai rataan kesediaan membayar, dan mengetahui faktor
yang mempengaruhi pengunjung terhadap harga maksimal yang sanggup

dibayarkan untuk produk healthy food beras merah pulen. Hasil dari penelitian ini
yaitu hubungan karakteristik responden dan kesediaannya dalam membayar
mayoritas berjenis kelamin perempuan dengan usia separuh baya yang memiliki
jumlah anggota keluarga kecil dan berpendidikan terakhir strata 1 serta bekerja
sebagai pegawai swasta berpenghasilan > Rp 7 500 000. Nilai rataan maksimum
WTP untuk produk healthy food beras merah pulen adalah sebesar Rp 33 350 per
satu kilogram dengan standar deviasi sebesar Rp 13 000. Faktor yang paling
mempengaruhi responden dalam mengestimasi nilai WTP adalah jumlah anggota
keluarga dan kepedulian terhadap pangan sehat dan bergizi.
Kata kunci: beras merah, contingent valuation method, willingness to pay.

ABSTRACT
RIZKIYAN FAJARESA ABDILLAH. Analysis of Willingness to Pay for
Healthy Food Product of Fluffier Brown Rice in Serambi Botani, Botani Square,
Bogor. Supervised by HENY K. DARYANTO.
Several years lately, brown rice consumption has been popular as the part of
healthy life style. Brown rice with the healthy food concept was realesed in
Serambi Botani. The objectives of this research were to examine relationship
characteristics of respondents willingness to pay, identify mean value of
willingness to pay and identify factors that might influence visitors willingness to

pay the maximum price in purchasing healthy food product of fluffier brown rice.
The results of this research showed that relationships and characteristics of
respondent’s willingness to pay with the highest percentage were female by
middle age which had a small number of family members and last educated as
scholar and had a job as a private employee with revenues of > Rp 7 500 000.
The mean of maximum WTP for healthy food product of fluffier brown rice was
Rp 33 350 per kg with the value of standard deviation is Rp 13 000. The factors
that most affected respondents to estimate value of willingness to pay for healthy
food product of fluffier brown rice were number of family members and concern
for healthy and nutritious food.
Keywords: brown rice, contingent valuation method, willingness to pay

ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO
PAY) PRODUK HEALTHY FOOD BERAS MERAH PULEN DI
SERAMBI BOTANI, BOTANI SQUARE, BOGOR

RIZKIYAN FAJARESA ABDILLAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Sk.ripsi : AnalisisKesediaan Membayar (Willingness to Pay) Produk Healthy
FoodBeras Merah Pulen di Serambi Botani, Botani Square, Bogor
Nama
: Rizkiyan Fajaresa Abdillah
: H341001 64
NIM

Dr Ir HenyK. Dary t o, MEc
Pembimbing


Tanggal LuJus:

1 8 SEP 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah
kesediaan membayar konsumen, dengan judul Analisis Kesediaan Membayar
(Willingness to Pay) Produk Healthy Food Beras Merah Pulen di Serambi Botani,
Botani Square, Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Heny K. Daryanto, MEc selaku
pembimbing, Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen penguji utama dan
Anita Primaswari Widhiani, SP MSi selaku dosen penguji komisi pendidikan. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dwiko, Bapak Han,
Ibu Anna dan Ibu Erni dari Manajemen Serambi Botani yang telah mengijinkan
peneliti mengambil dan mengumpulkan data penelitian. Penghargaan juga
disampaikan kepada pengelola toko Serambi Botani Ibu Dewi beserta staff yang
memperlancar selama pengambilan data berlangsung. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Ayah, Ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih

sayangnya. Terima kasih juga tidak lupa diungkapkan atas dukungan dari temanteman Agribisnis angkatan 47 dan teman teman seperjuangan lainnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Rizkiyan Fajaresa Abdillah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

8

Manfaat Penelitian

8

Ruang Lingkup Penelitian


9

TINJAUAN PUSTAKA
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kesediaan Membayar atau Willingness to Pay
Perilaku Konsumen
Model Keputusan Konsumen
Pandangan Neoklasik tentang Nilai dan Hubungannya dengan WTP
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE

8
13
13
13
15
16
17

19
21

Lokasi dan Waktu Penelitian

21

Metode Pengumpulan Data

21

Metode Penentuan Sampel

22

Metode Pengolahan Data

23

Analisis Deskriptif

Contingent Valuation Method (CVM)
Analisis Regresi Linier Berganda
Uji Validitas
Uji Reliabilitas
Definisi Operasional
GAMBARAN UMUM
Serambi Botani
Visi dan Misi Serambi Botani
Segmenting, Targeting dan Positioning (STP) Serambi Botani
Bauran Pemasaran Serambi Botani
Healthy Food Beras Merah Pulen

23
23
24
27
27
28
29
29

29
30
30
31

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden dan Hubungannya dengan WTP
Analisis Kesediaan Membayar (WTP) Produk Healthy Food Beras Merah
Analisis Faktor yang Memperngaruhi Responden Menentukan Nilai WTP
Implikasi Manajerial

32
32
40
43
52

SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

55
56
61

RIWAYAT HIDUP

73

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Rata-rata konsumsi kalori (KKal) per kapita masyarakat Indonesia
dalam sehari menurut kelompok makanan pada tahun 2011-2013
Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi di Indonesia
pada Tahun 2010-2013.
Daftar penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini
Tabel Willingness to Pay (WTP) dan Consumers Surplus
Variabel dependen dan kategori yang diasumsikan dapat
mempengaruhi nilai WTP
Patokan angka korelasi dan hubungannya terhadap korelasi
Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dan hubungannya
terhadap kesediaan membayar
Sebaran responden berdasarkan usia dan hubungannya terhadap
kesediaan membayar
Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota dalam keluarga dan
hubungannya terhadap kesediaan membayar
Sebaran responden berdasarkan status pernikahan dan hubungannya
terhadap kesediaan membayar
Sebaran responden berdasarkan pendidikan terakhir dan
hubungannya terhadap kesediaan membayar
Sebaran responden berdasarkan pekerjaan dan hubungannya terhadap
kesediaan membayar
Sebaran responden berdasarkan pendapatan dan hubungannya
terhadap kesediaan membayar
Sebaran kesediaan membayar responden
Sebaran responden dalam kesediaannya membeli produk dalam
jangka waktu satu bulan
Sebaran responden dalam kesediaan membeli produk terhadap alasan
yang mendorong motivasi pembelian
Hasil output model summary dan ANOVA regresi linier berganda
terhadap variabel independen dan dependen
Hubungan variabel independen dan VIF
Hasil uji regresi berganda nilai WTP healthy food beras merah pulen
Alasan motivasi pembelian responden terhadap produk healthy food
beras merah pulen dalam jangka waktu dekat (satu bulan)
Sebaran pengetahuan responden akan produk healthy food beras
merah pulen dan sumber pengetahuannya.

1
2
9
18
25
26
33
34
35
37
38
39
40
41
42
42
43
44
45
53
54

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Gambar model keputusan Sumarwan
Surplus Konsumen dan Surplus Produsen
Kerangka Pemikiran Penelitian
Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin
Sebaran responden berdasarkan usia

16
19
21
33
34

6
7
8
9
10
11

Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota dalam keluarga
Sebaran responden berdasarkan status pernikahan
Sebaran responden berdasarkan pendidikan terakhir
Sebaran responden berdasarkan pekerjaan
Sebaran responden berdasarkan pendapatan
Frekuensi kumulatif responden terhadap nilai WTP

35
36
37
38
39
42

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Dokumentasi penelitian
Hasil validitas dan reliabilitas
Hasil rataan nilai WTP
Hasil output regresi linier berganda

61
62
63
64

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi besar dalam
menghasilkan bahan pangan pokok sebagai asupan kebutuhan sehari-hari
masyarakat. Bahan pangan pokok ini, bagi sebagian besar penduduk Indonesia
merupakan komponen penting dalam pemenuhan kecukupan gizi dan energi. IPB
(2000) menyebutkan bahwa beras menyumbang 60-65 persen dari total konsumsi
energi di Dunia, sedangkan di Indonesia, beras menyumbang 63 persen terhadap
kecukupan energi, 38 persen terhadap kecukupan protein, serta 21.5 persen
terhadap total kecukupan zat besi.
Tabel 1 Rata-rata konsumsi kalori (KKal) per kapita masyarakat Indonesia dalam
sehari menurut kelompok makanan pada tahun 2011-2013.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Rata-rata konsumsi per KKal
2010
2011
2012
Padi-padian
927.05
906.20
890.88
Umbi-umbian
37.05
39.76
31.66
Ikan
45.34
46.72
46.23
Daging
41.14
44.45
57.07
Telur dan susu
56.20
54.09
49.57
Sayur-sayuran
38.72
37.46
37.72
Kacang-kacangan
56.19
52.42
53.83
Buah-buahan
40.91
36.67
36.12
Minyak dan lemak
233.39
230.95
240.57
Bahan minuman
100.29
95.72
84.02
Bumbu-bumbuan
16.00
16.02
48.91
Konsumsi lainnya
59.18
56.81
32.84
Makanan jadi
273.84
285.19
265.61
Minuman beralkohol
Tembakau dan sirih
0.00
0.00
0
1925.61
1902.43
1858.97
JUMLAH
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)
Komoditi

2013
872.97
33.07
44.77
39.22
53.35
35.84
49.17
33.02
229.54
88.45
14.49
51.59
290.14
0
1835.58

Rata-rata konsumsi kalori (KKal) per kapita masyarakat Indonesia
sebagaimana dijabarkan dalam Tabel 1, padi-padian termasuk beras didalamnya,
memiliki jumlah konsumsi terbesar yakni 906.20 KKal pada tahun 2011, 890.88
KKal pada tahun 2012 dan 869.36 KKal pada tahun 2013. Hal ini menunjukkan
bahwa konsumsi padi-padian termasuk beras masih menjadi komoditi utama
dalam memenuhi asupan pangan sehari-hari masyarakat Indonesia. Angka ini
masih belum termasuk pada kelompok makanan jadi yang terbuat dari bahan padipadian atau beras seperti lontong, bubur, dan makanan olahan beras lainnya.

2

Tabel 2 Luas panen, produktivitas dan produksi tanaman padi di Indonesia pada
tahun 2010-2013.
Tahun

Luas Panen (Ha)

2010
13 253 450
2011
13 203 643
2012
13 445 524
2013
13 837 213
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)

Produktivitas
(Ton/Ha)
5.015
4.980
5.136
5.152

Produksi (Ton)
66 469 394
65 756 904
69 056 126
71 291 494

Tren penanaman tanaman penghasil beras, padi-padian, terus meningkat
tiap tahunnya. Dapat dilihat pada Tabel 2, tahun 2013 produktivitas mencapai
puncaknya yakni berjumlah 5.152 Ton/Ha, dengan total produksi 71 291 494 Ton.
Luas panennya pun bertambah dari tahun 2012, yakni 13 837 213 Ha, ini
menunjukkan bahwa program Pemerintah mengarah swasembada beras mulai
mendekati harapan. Target produksi untuk swasembada beras menurut Kementan
(2013) untuk tahun 2013 seharusnya mencapai 72 060 000 ton. Target untuk 2014,
Kementan (2013) menargetkan angka optimis produksi untuk swasembada adalah
76 570 000 ton. Hanya saja pada tahun 2011 terjadi penurunan produktivitas
tanaman padi, Kementan (2013) menduga penurunan ini diakibatkan peubahan
penggunaan lahan pertanian produktif karena bisnis properti serta akibat dari
anomali cuaca dan iklim yang tidak menentu membuat beberapa lahan produksi
gagal panen.
Pengarahan swasembada beras sudah dimulai sejak dicanangkannya
kebijakan pertanian revolusi hijau. Revolusi hijau merupakan upaya untuk
meningkatkan produksi pangan melalui usaha pengembangan teknologi pertanian.
Revolusi hijau dimulai sejak dekade1960-an dengan label “pertanian modern”.
Kegiatan pertanian modern ini meliputi penggunaan bibit unggul, penggunaan
pupuk kimia, penggunaan pestisida kimia, mekanisasi pertanian, dan penyuluhan
pertanian secara massal. Swasembada beras sejak revolusi hijau ini menjadi awal
kebiasaan konsumsi beras dalam jangka panjang, sehingga banyak anggapan,
“belum makan jika belum makan nasi” (Sugito 1995).
Menurut Yuliati et al.(2012) di Indonesia beras putih merupakan pangan
pokok yang memegang peranan yang sangat penting, karena bagi penduduk
Indonesia mengonsumsi beras putih adalah konsumsi pokok dan suatu keharusan.
Sebagaimana disampaikan pula oleh Yuliati et al. (2012), tanpa disadari banyak
orang, kebiasaan konsumsi beras putih yang terus menerus ternyata dapat
mendatangkan dampak yang kurang begitu baik bagi kesehatan. Kemudian Yuliati
et al. (2012) dalam penelitiannya juga mencantumkan hasil penelitiaan dari
Amerika Serikat yang dilakukan oleh Health Professional Follow-up Study and
The Nurses’ Health Study (NHS) dan dilaporkan pada Archives of Internal
Medicine menunjukkan bahwa asupan beras putih dalam jumlah besar berkaitan
dengan meningkatnya risiko diabetes.
Berkaitan dengan produksi beras menurut Yuliati et al. (2012) hingga saat
ini masyarakat menggolongkan beras menjadi tiga golongan yaitu beras putih
(dipisahkan lagi menjadi pulen dan pera), beras ketan, dan beras merah. Yuliati et

3

al. (2012) kemudian menjelaskan dalam penelitiannya, bahwa beras merah
merupakan jenis beras alamiah yang baik dengan kandungan yang lebih sehat
dibanding beras putih. Di dalam kulit ari beras merah terdapat kandungan vitamin,
zat besi dan unsur-unsur lain yang dibutuhkan bagi kesehatan tubuh. Di dalam
kulit ari beras merah tersebut juga kaya serat dan minyak alami. Serat tak hanya
mengenyangkan, tapi juga mencegah berbagai penyakit saluran pencernaan.
Subroto (2008) menegaskan dalam penelitiannya bahwa, dibandingkan beras putih,
beras merah mengandung lebih banyak serat sebesar 349 persen, vitamin E 203
persen, vitamin B16 185 persen, dan magnesium 219 persen.
Suardi (2005) menjelaskan bahwa beras merah selain sebagai makanan
pokok, juga diketahui sangat bermanfaat bagi kesehatan, seperti menyembuhkan
penyakit kekurangan vitamin A (rabun ayam) dan vitamin B (beri-beri). Beras
merah juga bermanfaat untuk mengatasi kekurangan gizi bagi penduduk. Suardi
(2005) juga menegaskan dalam beberapa penelitian dan pengalaman masyarakat,
dalam beras merah menunjukkan pigmen antosianin yang merupakan sumber
pewarna dari biji-bijian dan buah-buahan berperan sebagai antioksidan untuk
mencegah berbagai penyakit seperti jantung koroner, kanker, diabetes, dan
hipertensi. Namun demikian, padi beras merah yang umumnya adalah padi gogo
mempunyai produktivitas rendah serta penelitian padi beras merah belum menjadi
prioritas. Beras merah juga terbatas dipasarkan dan harganya relatif tinggi (Suardi
2005). Keunggulan dari beras merah ini masih belum banyak diketahui
masyarakat, sehingga beras putih masih menjadi kebiasaan konsumsi sehari-hari,
dan saat ini belum ada makanan pokok utama yang menggeser komoditas beras
putih walaupun mengandung risiko terhadap kesehatan.
Masih dalam isu kesehatan Sugito et al. (1995) menjelaskan bahwa beras
juga memiliki risiko, tidak hanya pada sisi kandungan butir beras, tetapi juga dari
proses on farm komoditas itu sendiri. Berawal dari produksi padi besar-besaran
pada kebijakan revolusi hijau. Disatu sisi revolusi hijau memang dapat
meningkatkan produksi pangan, namun disisi lain revolusi hijau juga berdampak
negatif terhadap kesehatan. Dampak revolusi hijau bagi kesehatan adalah
banyaknya tertinggal jejak residu dan tidak terkendali pada bahan pangan yang
dikonsumsi. Residu pestisida yang terdapat dalam bahan makanan akan
mengendap dalam tubuh manusia dan akan menimbulkan berbagai macam
penyakit terutama kanker, kerusakan saraf, dan gangguan kesadaran.
Sriyanto (2010) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa unsur kimia dan
pestisida yang terkandung dalam makanan dapat menyebabkan gangguan
kesadaran seperti sulit mengeja, membaca, menulis, membedakan warna, dan
kanker payudara pada wanita. Kasus keracunan pestisida di Indonesia mulai
muncul tahun 1995, yaitu di Brebes, Jawa Tengah, dilaporkan bahwa beberapa
buruh tani penyemprot hama bawang menderita kebutaan dan stroke sebagai
akibat keterlibatan mereka setiap hari dengan pestisida kimia, sedangkan di Tanah
Karo, Sumatera Utara, sekitar tahun 1985 banyak buruh tani yang menderita sakit
paru-paru sebagai akibat dari semprotan pestisida.
Dampak negatif yang disebabkan oleh revolusi hijau terhadap lingkungan
hidup antara lain adalah munculnya jenis hama baru yang lebih resisten terhadap
pestisida sehingga terjadi ledakan hama akibat predator alami yang ikut mati
terkena semprotan pestisida. Selain itu perubahan kondisi fisik dan kimia tanah
akibat dosis pupuk yang tinggi dan terus-menerus menyebabkan penurunan

4

kesuburan lahan yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya produktivitas lahan
dan tercemarnya kandungan air tanah (Sugito et al. 1995). Dengan demikian tidak
heran jika produksi pertanian dalam suatu lahan yang banyak menggunakan unsur
kimia akan selalu menurun produktivitasnya, akibat unsur tanah sudah tidak sehat
serta berkurang kesuburannya.
Menyadari besarnya dampak negatif
tersebut, pakar pertanian
mempelopori dan menerapkan gagasan mengenai pertanian organik, menurut
Novandari (2011) arti dari pertanian organik yaitu sistem pertanian yang secara
ekologi ramah terhadap lingkungan sehingga produksinya aman untuk dikonsumsi
manusia dan sekaligus mampu menyediakan pangan yang cukup bagi penduduk,
baik dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Sistem pertanian organik ini
bebas dari kandungan bahan kimia karena sama sekali tidak menggunakan bahan
kimia (seperti pupuk buatan, pestisida, insektisida, fungisida, dan herbisida),
melainkan menggunakan bahan-bahan alami dalam proses produksinya.
Pertanian organik sebagaimana dipaparkan oleh Novandari (2011) telah
berkembang cukup pesat di Indonesia. Novandari (2011) juga menjelaskan
berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia dari Aliansi Organik
Indonesia tahun 2011, total luas area lahan pertanian organik di Indonesia pada
2010 adalah 238 872.24 hektar. Jumlah luasan lahan organik tersebut meningkat
10 persen dari tahun 2009. Penurunan luas area lahan pertanian organik di
Indonesia terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 5.77 persen sehingga lahan
organik di Indonesia menjadi seluas 255 062.65 hektar. Penurunan lahan organik
ini terjadi karena menurunnya luas area pertanian organik yang sudah
bersertifikasi.
Kehadiran beras organik disambut gembira masyarakat yang sangat
memperhatikan kesehatan dan kelestarian lingkungan. Mereka mulai sadar bahwa
selama ini makanan yang dikonsumsi mengandung residu pupuk dan pestisida
kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Itulah sebabnya mereka mulai mencari
bahan makanan yang diproduksi secara organik sehingga aman dikonsumsi dan
sekaligus ramah lingkungan. Hal tersebut terindikasi dengan pertumbuhan pasar
organik diperkirakan mencapai 20-30 persen per tahun. Bahkan, di beberapa
Negara tertentu mencapai 50 persen per tahun. Kenaikan penjualan produk
organik disebabkan oleh alasan kesehatan, 94 persen responden di berbagai kota
besar di Eropa menyatakan bahwa mereka membeli pangan organik karena
mereka sangat peduli akan kesehatan pribadi serta anggota keluarganya, sehingga
diperkirakan permintaan beras organik akan meningkat dan peluang pasarnya
semakin lebar (Sriyanto 2010). Namun produksi yang tersedia belum mampu
memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat. Hal ini disebabkan masih
sedikitnya petani yang melakukan pertanian organik daripada non-organik
(Sulaeman 2007).
BIOcert (2006) menyebutkan bahwa daripada beras putih organik, beras
merah dikenal sebagai produk kesehatan (kaya serat alami dan untuk diet). Di
pasar produk ini selalu terlihat berdampingan dengan beras putih dan tidak asing
bagi bangsa Indonesia, meskipun beras merah juga identik dengan harga mahal
selain sebagai jenis beras yang lebih sehat. Penjualan beras merah dapat dijumpai
bersamaan dengan penjualan beras biasa di pusat pasar beras Indonesia seperti
Pasar Induk Cipinang, Jakarta, walaupun penjualan beras merah tersebut tersebar
karena kurangnya permintaan. Pada tahun 2005, beras merah adalah kontributor

5

tunggal produk pangan berserat tinggi dan merupakan pangan olahan alami yang
sehat, dengan nilai pertumbuhan sebesar 21 persen dan mencapai nilai penjualan
sebesar Rp 70 milyar. Kepopuleran beras sehat berkembang secara bertahap
sejalan dengan meningkatnya tren konsumen yang menyukai produk yang lebih
sehat, terdidik dan peduli akan jenis produk yang lebih menyehatkan.
Konsep beras merah sehat juga dapat ditemui salah satunya pada Serambi
Botani, Botani Square, Bogor. Produk ini dikenal dengan nama healthy food beras
merah pulen. Serambi Botani merupakan representasi dari gerai market modern
dengan menjual berbagai macam produk unik dan sehat hasil inovasi dari IPB
serta produk binaan UMKM dari Serambi Botani itu sendiri. Dalam pemasaran
Serambi Botani memiliki segmentasi masyarakat ekonomi menengah keatas,
sehingga wajar letak gerai Serambi Botani berada pada Mall pusat kota, tempat
rekreasi dan belanja masyarakat ekonomi menengah keatas. Healthy food beras
merah pulen memiliki konsep organik, secara ekologi aman bagi lingkungan dan
bebas dari unsur pupuk kimia dan pestisida. Hanya saja pelabelan organik belum
dilakukan sertifikasi, dan ada beberapa indikator yang belum dapat dipenuhi dari
pihak Serambi Botani, sebagai contoh air penanaman padi harus berasal dari air
pegunungan dan beberapa persyaratan lainnya, sehingga Serambi Botani hanya
menjamin kesehatan dari beras merah yang diperjualkan.
Produk healthy food beras merah pulen diproduksi oleh petani Gunung
Pancar, Sentul, yang dibina oleh salah satu dosen IPB Prof Dr Ir Ani Mardiastuti,
MSc. Benih non hibrida ini didapat dari Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc yang
kemudian ditanam dan diproduksi di daerah Sentul, Bogor. Pengemasan
dilakukan menggunakan plastik dengan teknologi vacuum sehingga udara
penyebab berkembangnya organisme pembusuk dapat dikeluarkan. Labelnya pun
sudah dilengkapi dengan tanggal batas aman konsumsi, sehingga keamanan dan
kualitasnya benar-benar terjaga. Harga premium yang ditetapkan yakni Rp 32 000
per kg. Produk juga sudah dilengkapi dengan PIRT dari dinas kesehatan dengan
No 215320101860.
Uniknya produk healthy food beras merah pulen yang ditawarkan dari
Serambi Botani adalah beras merahnya dikenal tidak terasa pera seperti beras
merah kebanyakan, tetapi lebih terasa pulen, sehingga rasanya akan lebih disukai
konsumen. Beberapa keunggulan yang ditawarkan produk yakni ramah
lingkungan menggunakan input dengan kebaikan alam, lebih aman (bebas
pestisida dan unsur kimia), lebih berkualitas dari produk organik beras merah
sejenis dengan dilengkapi grading dan quality control ketat.
Kandungan beras merah yang baik serta konsep healthy food yang
ditawarkan oleh Serambi Botani akan mempengaruhi sejauh mana sikap, minat,
serta kesediaan konsumen untuk membayar produk healthy food beras merah
pulen. Masyarakat harus bijak dalam menganalisis produk yang akan dibeli, baik
dari segi harga dan atribut healthy food beras merah pulen itu sendiri, sehingga
dibutuhkan penelitian mengenai analisis kesediaan membayar (willingness to pay)
healthy food beras merah pulen di Serambi Botani, Botani Square, Bogor.

6

Perumusan Masalah
Salah satu hasil pertanian yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia adalah beras, karena beras merupakan makanan pokok masyarakat
Indonesia. Beras merupakan komoditi yang sangat penting karena lebih dari 90 %
masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras (Sinaga 2010). Memperhatikan
keamanan dari makanan pokok merupakan hal yang sangat penting. Faktor
kesehatan dan keamanan pangan pun menjadi prioritas utamanya. Atas dasar
kesehatan pula, masyarakat mulai mempertimbangkan beras merah menjadi
pilihan makanan pokok pengganti beras putih. Hal ini mengakibatkan konsumen
mulai beralih kepada beras merah dari hasil pertanian organik (BIOcert 2006).
Manfaat yang ditimbulkan dari membiasakan diri mengkonsumsi makanan
organik antara lain mengurangi masukan bahan kimia beracun ke dalam tubuh,
meningkatkan masukan nutrisi bermanfaat seperti vitamin, mineral, asam lemak
esensial dan antioksidan, menurunkan risiko kanker, penyakit jantung, alergi dan
hiperaktivitas pada anak-anak (Suardi 2005). Harga jual beras merah organik
yang relatif lebih tinggi dari harga jual produk beras anorganik, tidak mengurangi
minat konsumen untuk mengkonsumsi beras merah organik. Menurut Winarno
(2004) peningkatan permintaan pangan organik disebabkan oleh meningkatnya
jumlah expatriate yang berada di kota-kota besar dan laju perkembangannya
didorong oleh berkembangnya masyarakat kelas menengah ke atas.
Morris (1990) menjelaskan bahwa kesuksesan dalam memasarkan suatu
barang atau jasa, setiap perusahaan harus menetapkan harganya secara tepat,
karena harga akan mempengaruhi tingkat penjualan, tingkat keuntungan, serta
market share yang dicapai perusahaan. Hal ini dikenal dengan istilah “value for
money”, “best value” dan “you get what you pay for”. Penetapan harga ini juga
penting bagi produk inovasi yang memiliki added value yang tinggi dibandingkan
dengan produk yang sudah ada, contohnya produk healthy food beras merah
organik dibandingkan dengan produk beras merah biasa.
Garretson et al. (2002) berpendapat bahwa konsumen pada umumnya
menggunakan harga dalam memberikan penilaian tentang kualitas produk.
Kualitas yang baik akan berdampak pada penjualan dan profitabilitas yang
meningkat. Konsumen tentu akan merasa lebih nyaman mengkonsumsi produk
yang lebih berkualitas. Penetapan harga pada produk yang berkualitas, produsen
biasanya memberikan harga premium dengan segmentasi konsumen dengan status
ekonomi menengah keatas. Berdasarkan studi strategic planning institute dalam
Garretson et al. (2002) ditemukan bahwa produk yang berkualitas akan lebih
menguntungkan dan memiliki market share terbesar.
Kotler (2000) dalam tulisannya menyebutkan bahwa kebanyakan produk
disediakan pada satu diantara empat tingkatan kualitas, yaitu kualitas rendah,
kualitas rata-rata atau sedang, kualitas baik, dan kualitas sangat baik. Beberapa
dari kualitas di atas dapat diukur secara objektif. Namun demikian dari sudut
pemasaran kualitas harus diukur dari sisi persepsi pembeli tentang kualitas produk
tersebut, karena persepsi setiap konsumen memiliki penilaian yang berbeda-beda.
Penilaian ini akan didasarkan pada pengetahuan lengkap konsumen terhadap
added value produk.
Teori terhadap kualitas dan harga yang berkorelasi positif juga
disampaikan oleh Schwartz dan Wilde (1985), korelasi positif ditunjukkan pada

7

hubungan antara kualitas dan harga, dalam arti semakin baik kualitas produk akan
lebih tinggi harga jualnya. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian Verhallen
dan De Nooy (1982) bahwa penyediaan produk berkualitas tinggi pada dasarnya
ditunjang oleh kenyataan bahwa konsumen cenderung semakin memperhatikan
aspek kualitas dalam melakukan pembelian produk makanan.
Pentingnya persamaan terhadap persepsi kualitas ini juga akan mengarah
bagaimana minat membayar dan minat beli konsumen akan tercipta, sehingga
perlu diketahui lebih lengkap kualitas produk yang ditawarkan. Kualitas yang
ditawarkan dari produk healthy food beras merah pulen sebagaimana disampaikan
Serambi Botani adalah: produk premium, ramah lingkungan dan bergizi,
mengurangi masukan bahan kimia beracun ke dalam tubuh, meningkatkan
masukan nutrisi bermanfaat seperti vitamin, mineral, asam lemak esensial dan
antioksidan, memiliki kadar glukosa yang rendah daripada beras putih sehingga
aman dikonsumsi penderita diabetes, berserat tinggi, menurunkan risiko kanker,
penyakit jantung, alergi dan hiperaktivitas pada anak-anak. Beberapa keunggulan
di atas seharusnya akan memberikan persepsi kualitas sangat tinggi terhadap
produk healthy food beras merah pulen. Namun harapan dan persepsi dari
konsumen atau calon pembeli berbeda-beda tergantung pada karakteristik dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam minat dan kesediaan membayar.
Penelitian Suwanda (2012) menyebutkan bahwa terdapat indikasi
konsumen Serambi Botani mayoritas adalah konsumen yang sadar terhadap
kesehatan dan lingkungan. Indikasi tersebut akan menjadi peluang besar bisnis
produk healthy food beras merah pulen terus diproduksi. Peluang ini menjadi
keuntungan bagi penjualan produk healthy food beras merah pulen, karena
pasarnya sudah tersegmentasi sesuai dengan segmentasi produknya, yakni
kalangan ekonomi menengah ke atas. Berdasarkan harga, produk healthy food
beras merah pulen yang ditetapkan yakni sebesar Rp 32 000 per kg, cukup kontras
dengan harga beras yang sudah bersertifikasi organik yakni Rp 16 000- Rp 20 000
per kg. Karena itu, produsen atau Serambi Botani perlu mengkaji mengenai
kesediaan membayar konsumen akan produk sehingga dapat menerapkan strategi
yang tepat dalam memasarkan produk healthy food beras merah pulen. Semakin
tinggi kesediaan konsumen untuk membayar lebih, maka semakin terbuka
kesempatan untuk memasarkan produk healthy food beras merah pulen berkualitas
baik dengan harga yang lebih tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana sebaran karakteristik responden terhadap kesediaan membayar
(willingness to pay) produk healthy food beras merah pulen di Serambi
Botani?
2. Berapa nilai rataan kesediaan membayar (willingness to pay) produk
healthy food beras merah pulen di Serambi Botani?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar
(willingness to pay) produk healthy food beras merah pulen di Serambi
Botani?

8

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan karakteristik responden terhadap kesediaan membayar
(willingness to pay) produk healthy food beras merah pulen di Serambi
Botani.
2. Mengestimasi nilai rataan kesediaan membayar (willingness to pay)
produk healthy food beras merah pulen di Serambi Botani.
3. Menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi nilai kesediaan
membayar (willingness to pay) produk healthy food beras merah pulen di
Serambi Botani.

Manfaat Penelitian
1. Serambi Botani, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan informasi mengenai kesediaan membayar dan menjadi bahan
pertimbangan dalam menetapkan harga.
2. Masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan rasa sadar
akan pentingnya memperhatikan panganan sehat untuk menjadi konsumsi
pokok dan menjadi pertimbangan dalam mengkonsumsi produk healthy
food beras merah pulen.
3. Bisnis makanan organik atau berkonsep healthy food, penelitian ini dapat
menjadi referensi dalam melihat peluang pasar dan dapat menjadi
pertimbangan penetapan harga produk.
4. Pemerintah, diharapkan dapat memberi gagasan baik dari segi promosi
atau penjualan produk healthy food beras merah pulen yang sarat manfaat
bagi kesehatan.
5. Pembaca, pihak institusi pendidikan serta pihak lain yang berkepentingan,
diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitianpenelelitian selanjutnya.
6. Penulis, penelitian ini berguna sebagai menambah pengetahuan dan
sebagai media dalam menerapkan ilmu yang telah dipelajari selama
kependidikan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki lingkup sejauh mana karakteristik konsumen mampu
mempengaruhi kesediaan membayar produk, berapa nilai atau harga yang mampu
konsumen bayar untuk produk kemudian faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi nilai atau harga kesediaan membayar (willingness to pay) produk.
Produk yang dipilih untuk diteliti adalah produk healthy food beras merah pulen
yang dijual di Serambi Botani Bogor.

9

TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu cara untuk memperoleh informasi mengenai penelitian yang
dilakukan adalah dengan cara mengkaji penelitian terdahulu. Penelitian terdahulu
mengenai kesediaan membayar produk healthy food beras merah pulen belum
pernah dilakukan sebelumnya. Namun ada beberapa kajian yang terkait dengan
kesediaan membayar (willingness to pay), karakteristik konsumen atau resonden
dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya dalam menentukan nilai dan
kesediaannya membayar. Berikut daftar penelitian terdahulu yang digunakan
sebagai informasi sebelum melakukan penelitian:
Tabel 3 Daftar penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini
No. Nama peneliti
1 Ameriana, Adiyoga,
Soetiarso
2

Widiastuti

3

Novandari

4

Daulay

5

Suwanda

6

Pramono

Tahun Judul penelitian
1999 Kesediaan untuk Membayar Komoditas
Sayuran dalam kaitannya dengan Kualitas
Produk dan Karakteristik Konsumen
2011 Pengaruh Sikap dan Preferensi terhadap
Kemauan Membayar Beras Kemasan pada
Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Cipinang
Melayu, Kota Jakarta
2011 Analisis Motif Pembelian dan Profil Perilaku
“Green Product Customer” (Studi pada konsumen produk pangan organik di Purwokerto)
2012 Analisis Proses Keputusan Pembelian dan
Kesediaan Konsumen untuk Membayar
(Willingness to Pay) Mie Instan Sayur di
Serambi Botani, Botani Square, Bogor
2012 Analisis Kesediaan Membayar (Willingness
To Pay) Beras Analog di Serambi Botani,
Botani Square, Bogor
2012 Analisis Willingness to Pay (WTP)
Konsumen terhadap Tahu Kita (Studi Kasus
di Joyo Swalayan, Jakarta Selatan)

Karakteristik Responden
Karakteristik responden atau konsumen pada penelitian terdahulu dapat
diklarifikasi melalui instrumen kuesioner dengan pertanyaan terbuka maupun
tertutup sesuai dengan tujuan penelitiannya. Daulay (2012) dalam menganalisis
karakteristik demografi responden dilakukan dengan analisis deskriptif. Analisis
deskriptif sebagaimana dijelaskan dalam penelitiannya, bertujuan untuk membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Karakteristik responden yang diperoleh oleh Daulay (2012) yakni mayoritas
responden berjenis kelamin perempuan yang sudah menikah berumur 17-23 tahun

10

dengan pendidikan terakhir Strata 1 dan berkerja sebagai pekerja swasta serta
berpendapatan Rp 1 000 000 – Rp 5 000 000. Tidak jauh berbeda dengan
penelitian Daulay (2012), Pramono (2012) menganalisis karakteristik konsumen
dengan analisis deskriptif. Hasil karakteristik respondennyapun tidak jauh berbeda,
yang membedakan hanya mayoritas pada usia 31-40 tahun dengan pekerjaan
wiraswasta serta memiliki pendapatan di atas Rp 4 500 000.
Widiastuti (2011) juga menganalisis karakteristik konsumen dengan
menggunakan analisis deskriptif, hanya saja perbedaan dengan Daulay (2012) dan
Pramono (2012) adalah adanya penambahan dengan analisis tabulasi. Analisis
tabulasi ini melihat seberapa kuat hubungan variabel dan kesediaannya membayar.
Hasilnyapun tidak berbeda dengan Daulay (2012) dan Pramono (2012) tetapi ada
penambahan variabel pada jumlah anggota keluarga dan pengeluaran uang untuk
membeli beras setiap bulannya. Mayoritas responden yang diperoleh memiliki
jumlah keluarga kecil ( Rp 4 500 000 sebanyak 40 orang.
Penentuan karakteristik responden Novandari (2011) juga masih
menggunakan analisis deskriptif, tetapi memiliki penambahan variabel yang
berbeda dengan penelitian lainnya, yakni variabel frekuensi konsumsi pangan
organik. Hasilnya 24 persen responden menyatakan bahwa mereka sering
mengkonsumsi produk organik dengan frekuensi konsumsi 11 sampai 25 hari
dalam satu bulan. Berbeda pula dengan penelitian dari Ameriana et al.(1999)
selain variabel karakteristik responden ditambahkan pula variabel penilaian
konsumen terhadap kualitas produk. Hasilnya kualitas produk memiliki korelasi
yang positif terhadap kesediaan membayar produk.
Kesediaan membayar (willingness to pay)
Kesediaan atau keinginan membayar menurut Fauzi (2006) dapat
didefinisikan sebagai jumlah yang dapat dibayarkan seorang konsumen untuk
memperoleh suatu barang atau jasa. Menentukan nilai kesediaan membayar mie
instan sayur, Daulay (2012) menggunakan analisis CVM. Tahap yang dilakukan
Daulay (2012) dalam penelitiannya adalah mendapatkan penawaran besarnya nilai
WTP dengan metode open-ended question kemudian memperkirakan nilai ratarata WTP. Harga yang dipasarkan terhadap mie instan sayur termasuk mahal jika
dibandingkan dengan mie instan biasa yaitu Rp 8 000 dengan selisih Rp 4 000 –
Rp 5 000 dengan netto yang sama. Hasilnya dari 100 responden, sebanyak 48
persen responden masih bersedia membayar dengan harga tersebut, bahkan 36
persen responden bersedia membayar di atasnya. Alasan yang dikemukakan
karena produk mie instan sayur memiliki manfaat yang tidak dapat dibandingkan
dengan uang, yaitu kesehatan. Namun nilai rataan WTP yang diperoleh berada di
bawah harga yang ditetapkan yakni Rp 7 990.

11

Pramono (2012) juga melakukan penelitian sejenis mengenai analisis
kesediaan membayar (willingness to pay) terhadap produk Tahu Kita. Demikian
pula dengan Daulay (2012), Pramono (2012) mengestimasikan nilai WTP
menggunakan metode CVM. Perbedaan dengan Daulay (2012), Pramono (2012)
memberikan tahap hipotesis pasar dengan membuat pasar hipotik disertai skenario
dalam penyusunan kuesioner. Kemudian mendapatkan nilai lelang dengan teknik
kartu pembayaran (payment cards) untuk mengatasi bias pada titik awal. Hasil
penelitian Pramono menjelaskan dari 100 responden secara tingkat keinginan
untuk membeli berada pada persentase 100 persen. Nilai lelang yang diperoleh
berada pada jumlah minimal Rp 8 000 – Rp 12 000 dengan nilai rataan WTP
sebesar Rp 9 595 per pack (500 gram). Namun nilai WTP ternyata lebih rendah
dari nilai harga yang ditetapkan produsen Tahu Kita yakni sebesar Rp 10 000 per
pack (500 gram).
Pengkajian willingness to pay juga dijelaskan dalam penelitian Widiastuti
(2011) mengenai pengaruh sikap dan preferensi terhadap kemauan membayar
beras kemasan pada Ibu rumah tangga di Kota Jakarta. Widiastuti (2011)
merumuskan tujuan dalam penelitiannya yakni menganilisis pada kemauan
membayar dan faktor yang mempengaruhi keputusan membayar beras kemasan
pada ibu rumah tangga di Kota Jakarta. Widiastuti (2011) juga menggunakan
metode CVM, sama halnya dengan Daulay (2012) dan Pramono (2012). Tahapan
metode dilakukan dengan sederhana jika dibandingkan dengan Pramono (2012)
yakni hanya dengan mengukur menggunakan pertanyaan tertutup (close ended
referendum election format). Pertanyaan tertutup yang diberikan juga
mencantumkan starting point harga kemudian memberikan opsi kepada konsumen
untuk kesediaannya membayar terhadap produk beras kemasan. Hasilnya dari 100
responden diketahui bahwa sebanyak 54.1 persen memutuskan mampu dan mau
membayar beras kemasan lebih dari harga normal Rp 11 000 per kilogram.
Sisanya mengaku daya belinya tidak memadai untuk membayar produk lebih
mahal, sehingga harga maksimum yang ditetapkan masih di bawah harga beras
kemasan di pasaran.
Tidak berbeda dengan penelitian sebelumnya, Suwanda (2012)
menggunakan analisis CVM dalam mengestimasi nilai kesediaan membayar beras
analog. Mirip dengan yang dilakukan Pramono (2012), Suwanda (2012) membuat
tahapan hipotesis pasar. Hipotesis pasar ini dibentuk dengan adanya isu ketahanan
pangan, yaitu adanya pasar yang menawarkan alternatif pangan sebagai upaya
diversifikasi pangan. Kemudian dilakukan metode nilai lelang (bids) dengan
teknik permainan lelang (bidding game) dimana responden ditanyakan berulangulang tentang keinginan membayar beras analog sejumlah harga tertentu. Hasilnya
dari 100 responden sebanyak 72 persen responden bersedia membayar dengan
harga yang ditetapkan yakni Rp 20 000. Sisanya sebanyak 28 persen mengaku
hanya ingin membayar beras analog sama dengan beras konvensional. Berbeda
dengan penelitian Pramono (2012) dan Daulay (2012) ternyata nilai rataan yang
diperoleh lebih besar dari harga yang ditetapkan yakni sebesar Rp 22 610 per 800
gram beras analog.
Penelitian Ameriana et al. (1999) memiliki perbedaan dalam
mengestimasikan nilai kesediaan membayar jika dibadingkan penelitian lainnya.
Ameriana et al. (1999) tidak menggunakan pendekatan langsung seperti CVM
melainkan menggunakan pendekatan tidak langsung dalam menganalisis

12

kesediaan membayar dan kaitannya dengan kualitas produk dan karakteristik
konsumen di pasar eceran Kotamadya dan Kabupaten Bandung. Pendekatan ini
dapat mengemukakan harga untuk komoditas cabai merah dan kentang yang
dikemukakan kepada konsumen secara acak. Selanjutnya berdasarkan harga yang
telah disusun, konsumen diminta untuk mengungkapkan harga maksimal yang
mampu dibayar. Alternatif harga yang digunakan pada dasarnya adalah kisaran
harga yang terjadi di pasar-pasar eceran Kotamadya dan Kabupaten Bandung.
Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 56 orang untuk komoditas cabai
merah dan 53 orang untuk komoditas kentang. Hasil penelitian menjelaskan
bahwa harga maksimal yang sanggup dibayarkan konsumen akan meningkat
sebesar Rp 94 741 per kg untuk cabai merah dan Rp 23 137 per kg untuk kentang.
Ketika pendapatan konsumen meningkat sebesar Rp 100 000 maka harga
maksimal yang sanggup dibayarkan konsumen untuk cabai dan kentang akan
meningkat masing-masing sebesar Rp 69.30 dan Rp 87.69 per kg
Tidak sedalam penelitian sebelumnya, pengestimasian kesediaan
membayar Novandari (2011) hanya mendata tingkat kesediaan membayar
konsumen terhadap harga premium produk organik. Hasil penelitian Novandari
(2011) menjelaskan bahwa dari 100 responden semuanya bersedia membayar
produk organik dengan harga premium, bahkan 24 persen responden menyatakan
bahwa mereka sering mengkonsumsi produk organik dengan frekuensi 11 sampai
25 hari dalam satu bulan. Sementara itu 13 persen responden menyatakan bahwa
setiap hari mereka mengkonsumsi produk organik, khususnya beras dari produk
organik, sedangkan sisanya masih mencoba-coba, belum mengkonsumsi dengan
tujuan jangka panjang. Novandari (2011) juga menyimpulkan motif konsumen
dalam mengambil keputusan membeli produk pangan organik adalah alasan
kesehatan. Kesediaan konsumen untuk membayar mayoritas dipengaruhi oleh
kesadaran konsumen terhadap lingkungan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar
Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar
konsumen, Daulay (2012) melakukan dengan analisis faktor. Hasil dari analisis
analisis faktor dalam penelitiannya yakni variabel jenis kelamin dan pendapatan
berpengaruh pada uji taraf nyata (α) lima persen. Hasil tersebut menjelaskan
adanya kecenderungan peluang perempuan untuk membayar mie instan sayur
lebih tinggi daripada laki-laki, peluang ini dijelaskan dengan menggunakan odds
ratio yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki peluang 0.114 kali lebih
tinggi untuk membayar harga premium mie instan sayur dengan harga Rp 8000.
Pendapatan juga memiliki pengaruh dalam konsumen menentukan besarnya
kesediaan membayar, semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi pula peluang
membayar mie instan sayur lebih tinggi. Menggunakan nilai odds ratio Daulay
(2012) mengemukakan bahwa saat pendapatan bertambah satu rupiah maka
peluang untuk membayar mie instan sayur lebih tinggi satu kali lipat
dibandingkan dengan pendapatan sebelumnya.
Menggunakan analisis yang berbeda dengan Daulay (2012), Pramono
(2012) menganalisis faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTP
menggunakan analisis regresi logistik. Hasil pada analisis regresi logistik pada
penelitiannya yakni usia, tingkat pendidikan, pengeluaran per bulan, informasi

13

kadaluarsa dan izin BPOM RI & MUI memiliki hubungan positif terhadap
besarnya nilai WTP konsumen Tahu Kita. Pada faktor usia, tingkat pendidikan
dan pengeluaran per bulan memiliki nilai yang positif artinya semakin tinggi
nilainya, semakin tinggi pula nilai kesediaan membayar yang diberikan. Faktor
izin BPOM RI dan MUI menjadi faktor yang paling berengaruh, hal ini diperjelas
Pramono (2012) dengan nilai WTP responden akan meningkat sebesar Rp 7 519
jika terdapat izin tersebut. Nilai ini merupakan nilai yang paling besar
dibandingkan faktor pengaruh yang lainnya.
Penelitian Widiastuti (2011) memiliki persamaan dengan penelitian
Pramono (2012) yakni dengan menggunakan analisis regresi logistik dalam
menganalisis faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar. Hasilnya
pendapatan per kapita dan aspek konatif berpengaruh signifikan terhadap
keputusan membayar beras kemasan. Analisis yang berbeda diakukan pada
penelitian Suwanda (2012) yakni menggunakan analisis regresi berganda.
Simpulan faktor yang mempengaruhi nilai WTP Suwanda (2012) adalah lama
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, tingkat kepedulian terhadap diversifikasi
pangan dan pengetahuan tentang beras analog.
Analisis faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar pada penelitian
Ameriana et al. (1999) juga menggunakan analisis regresi logistik, sama halnya
dengan penelitian Widiastuti (2011) dan Pramono (2012). Hasilnya persepsi
konsumen menyangkut kualitas produk dan pendapatan merupakan dua faktor
terpenting yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam menentukan
harga maksimal yang sanggup dibayarkan konsumen untuk membeli cabai dan
kentang.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis
Pemikiran teoritis yang digunakan dalam penelitian ini digunakan dari
penelusuran teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian. Adapun
pemikiran teoritis dalam penelitian akan dijelaskan dalam subbab berikut.

Kesediaan Membayar atau Willingness to Pay
Secara umum, willingness to pay (WTP) atau kemauan/ keinginan untuk
membayar didefinisikan sebagai jumlah yang dapat dibayarkan seorang konsumen
untuk memperoleh suatu barang atau jasa. Zhao dan Kling (2004) menyatakan
bahwa WTP adalah harga maksimum dari suatu barang yang ingin dibeli oleh
konsumen pada waktu tertentu. Sedangkan Horowith dan McConnell (2001)
menekankan pengertian WTP pada berapa kesanggupan konsumen untuk membeli
suatu barang. WTP menurut Simonson dan Drolet (2003) itu sebenarnya adalah
harga pada tingkat konsumen yang merefleksikan nilai barang atau jasa dan
pengorbanan untuk memperolehnya. Disisi lain penelitian Dinauli (1999), WTP
ditujukan untuk mengetahui daya beli konsumen berdasarkan persepsi konsumen.

14

Untuk memahami konsep WTP konsumen terhadap suatu barang atau jasa
harus dimulai dari konsep utilitas, yaitu manfaat atau kepuasan karena
mengkonsumsi barang atau jasa pada waktu tertentu. Setiap individu ataupun
rumah tangga selalu berusaha untuk memaksimumkan utilitasnya dengan
pendapatan tertentu, dan ini akan menentukan jumlah permintaan barang atau jasa
yang akan dikonsumsi. Permintaan menurut Perloff (2004) diartikan sebagai
jumlah barang atau jasa yang mau atau ingin dibeli atau dibayar (willingness to
buy or willingness to pay) oleh konsumen pada harga tertentu dan waktu tertentu.
Kajian PSE-KB UGM (2002) menyebutkan utilitas yang akan didapat oleh
seorang konsumen memiliki kaitan dengan harga yang dibayarkan yang dapat
diukur dengan WTP. Sejumlah uang yang ingin dibayarkan oleh konsumen akan
menunjukkan indikator utilitas yang diperoleh dari barang tersebut.
Untuk memperoleh taksiran WTP (eliciting WTP) dari suatu barang atau
jasa publik dapat digunakan metode atau teknik stated or revealed preferences
survey (survei preferensi konsumen). Metode atau teknik mengestimasi nilai WTP
dijelaskan dalam penelitian dari Pattanayak et al. (2006) yang mana dapat
dilakukan dengan metode stated preferences (SP). Stated preferences adalah suatu
metode yang digunakan untuk mengukur preferensi masyarakat atau konsumen
apabila kepada mereka diberikan alternatif atau pilihan. Pada pokoknya dalam
metode SP, konsumen diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
nilai suatu barang atau jasa. Metode SP juga dijabarkan oleh Johnson et al. (2006),
dimana metode ini menyediakan informasi yang didasarkan pada prinsip hedonic
yaitu barang atau jasa mempunyai nilai karena atribut-atributnya, yang didesain
untuk mengukur utilitas atau preferensi pokok sehingga konsisten dengan WTP
konsumen.
Dalam operasionalnya, Pattanayak et al.(2006) melakukan survei SP dengan
metode Contingent Valuation Method (CVM) atau sering juga disebut sebagai
WTP Survei, yang secara langsung dapat memperoleh nilai-nilai WTP dari
kon