PAY) MITIGASI BANJIR DI EKS KARISIDENAN

ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY) MITIGASI BANJIR DI EKS KARISIDENAN SURAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh: RUSMINAH F0108113 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA JANUARI 2013

MOTTO

De ng a n m e nye b ut na m a Alla h Ya ng Ma ha Pe m ura h la g i Ma ha Pe nya ya ng

Maka nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan? (QS Ar-Rahmaan ) *Pandai-Pandailah bersyukur jika mendapat nikmat dan sabarlah saat tertimpa Musibah*

Rintangan tak dapat menghancurkanku. Setiap rintangan akan menyerah pada ketetapan hati yang kukuh (Leonardo da Vinci)

Wahai wanita muliakan dirimu dengan kesabaran, kesetiaan, kejujuran, keteguhan dan pemberani karena senyuman, cita-cita, harapan dan perananan seorang wanita tak tergantikan.

(Penulis)

Kupersembahkan karya kecilku ini untuk kepada:

1. Allah SWT

2. Bapak dan Ibuk

3. Kakak dan Adik

4. Almamater

Fakultas

Ekonomi UNS

5. Seseorang

yang telah

tertulis di Lauh Mahfuzhku

(kitab

yang

terpelihara),

imamku

yang akan yang akan

nanti

6. orang-orang terdekatku dan

di sampingku

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahn-Nya, sehingga hanya dengan bimbingan, pertolongan, dan kasih sayang-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO

PAY) MITIGASI BANJIR DI EKS KARISIDENAN SURAKARTA.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persiapan, Perencanaan, dan Pelaksanaan hingga terselesaikanya penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari peran dan bantuan berbagai pihak baik secara riil maupun meteriil. Tiada yang dapat melukiskan kebahagiaan penulis Persiapan, Perencanaan, dan Pelaksanaan hingga terselesaikanya penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari peran dan bantuan berbagai pihak baik secara riil maupun meteriil. Tiada yang dapat melukiskan kebahagiaan penulis

1. Ibu Dr. Evi Gravitiani, SE.M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktunya, tenaga, dan pikiran dalam membimbing penulis dengan penuh perhatian, kesabaran dan memberikan pengarahan yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr.Suryanto, SE.,MSi yang telah mengikuti perkembangan penelitian dengan sabar dan memberikan masukan yang berarti dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Wisnu Untoro, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Bapak Drs. Supriyono, M.Si., dan Ibu Izza Mafruhah, SE, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.

6. Seluruh Camat dan Lurah wilayah penelitian atas ijin dan bantuannya selama ini.

7. Untuk Kebahagiaanku “Bapak dan Ibuk” terimakasih atas segala kebesaran jiwa, perjuangan dan kepahlawananmu untuk hidupku. Semoga pintu rahmat, pintu ni’mat dan petunjuk terbuka bagimu selebar-lebarnya. Aamiin.

sayangnya, pengertian, cinta yang begitu besar dan tak hentinya memberi doa, nasehat, semangat, dan dukungan untuk menyelesaikan studi .

9. Keluarga Besar MEPA-UNS “khususnya kawan berpetualang dan kakak,teman,adik, yang sempat membersamaiku mengisi lembaran cerita dengan warna yang berbeda”. Saat jaya maupun underpressure bersama kalian, moment yang takkan hilang dari kenangan. Semangat selalu salam Semangat Bravo MEPA !!

10. “Putri-Putri IDAMAN”. Terimakasih atas dukungan, keceriaan dan kebersamaannya selama di Pondok Putri Idaman. See you keep in touch.*GYF2R2E2I2DAMT2NPBH*

11. Sahabat-sahabat seperjuanganku Ekonomi Pembangunan FE UNS 2008.

12. Teman-teman yang membantu proses pengumpulan data dan mendukung kelancaranya. Harjono dwi, Cuwil, Ojul, Dunk, Aci, Mb Yani, Fajar, Pika.

13. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu proses pembuatan hingga skripsi ini selesai.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta pihak-pihak yang berkepentingan. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Surakarta, Desember 2012

Tabel 4.5 Luas Wilayah Kec. Kebakkramat .................................................. 61 Tabel 4.6

Luas Wilayah Kec. Mojolaban ...................................................... 62 Tabel 4.7

Luas Wilayah Kec Tawangsari ...................................................... 63 Tabel 4.8

Luas Wilayah kec. Bayat ............................................................... 64 Tabel 4.9

Luas Wilayah Kec. Gantiwarno ..................................................... 65

Tabel 4.10 Luas Wilayah Kec. Cawas ............................................................. 66 Tabel 4.11 Luas Wilayah Kec Juwiring ........................................................... 67 Tabel 4.13 Karakteristik Responden Menurut Pendapatan per Bulan ............. 69 Tabel 4.14 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Usia ........................... 69 Tabel 4.15 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan................. 70 Tabel 4.16 Karakteristik Responden Menurut Jumlah Anggota Keluarga ...... 71 Tabel 4.17 Karakteristik Responden Menurut Persepsi Dampak Kerusakan .. 72 Tabel 4.18 Karakteristik Responden Menurut Jarak........................................ 73 Tabel 4.19 Karakteristik Responden Menurut Tinggi Genangan .................... 73 Tabel 4.20 Karakteristik Responden Menurut Intensitas Banjir ...................... 74 Tabel 4.12 Tingkat kerawanan Banjir Desa ..................................................... 77

Tabel 4.20 Tindakan Mitigasi Masyarakat ...................................................... 84 Tabel 4.21 Hasil Analisis Regresi Berganda Dengan Ordinary Least Square.. 92 Tabel 4.22 Hasil Uji t ....................................................................................... 94 Tabel 4.23 Uji Multikolinearitas dengan Metode Auxiliary Regression ......... 96 Tabel 4.24 Uji LM ARCH ................................................................................ 96 Tabel 4.25 Uji B-G Test ................................................................................... 97

Tabel 4.27 Penurunan Produksi Responden .................................................... 104 Tabel 4.28 Luas Lahan Sawah Responden ...................................................... 105 Tabel 4.29 Tingkat Kerugian (Loss Production) ............................................. 106

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Aliran Sungai Bengawan Solo ........................................................

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 36

Gambar 4.2 Sejarah Banjir 4 Kabupaten Lokasi Studi ...................................... 79

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 01 Surat Pernyataan Skripsi ................................................................

Lampiran 02 Daftar Pertanyaan (Kuisioner) ....................................................... II Lampiran 03 Data Primer .................................................................................... V

Lampiran 05 Output Uji Multikolinearitas .......................................................... X Lampiran 06 Output Uji Heteroskedastisitas ...................................................... XIII Lampiran 07 Output Uji Autokorelasi………………………………………… XIV Lampiran 08 Perhitungan Kerugian (Loss Production) ...................................... XV Lampiran 09 Tindakan Mitigasi Masyarakat………………………………… XIX

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat rentan dengan berbagai risiko. Pertanian selalu berhubungan dengan perubahan iklim, cuaca, ketergantungan lingkungan sekitar, dan menjadi salah satu bentuk aktivitas produksi manusia. Pertanian juga merupakan suatu bentuk investasi jangka panjang dari petani untuk mendapatkan keuntungan besar dari produk pertanian yang dihasilkan.

Faktor utama penentu keberhasilan dalam sektor pertanian adalah kondisi alam. Kondisi alam baru-baru ini semakin fluktuatif dan sulit diperkirakan, hal ini bisa terjadi karena adanya perubahan pola curah hujan dan iklim yang ekstrim di beberapa wilayah. Curah hujan yang berlebih dapat mengakibatkan bencana banjir. Banjir merupakan tantangan alam yang sering dihadapi petani di musim penghujan. Daerah yang memiliki curah hujan tinggi dan berpotensi terjadi bencana banjir adalah daerah-daerah di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai), contohnya beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah yang terletak antara 5 o 40'-8 o 30' LS dan antara 108 o 30'-111 o 30' BT yang termasuk dalam kawasan DAS Bengawan Solo.

Data Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo menyebutkan bahwa Sungai Bengawan Solo merupakan sungai terbesar di Pulau Jawa, terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan luas wilayah sungai ± 12% dari seluruh wilayah Pulau Jawa pada posisi 110 o 18’ BT sampai 112 o 45’ BT

Wuryorejo, Kabupaten Wonogiri dan bermuara di Laut Jawa di Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik. Wilayah Sungai merupakan suatu wilayah yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungai. Aliran Sungai Bengawan Solo dapat terlihat di Gambar 1.1 sebagai berikut:

Sumber: BBWS Surakarta

Gambar 1.1 Aliran Sungai Bengawan Solo

Bengawan Solo salah satu DAS yang sering terlanda banjir, curah hujan yang tinggi menyebabkan sungai tidak mampu menampung aliran permukaan (runoff), sehingga terjadi banjir luapan. Pada tahun 2004 terdapat 760.771,3 hektar lahan kritis di Jawa Tengah, Surakarta menempati urutan kedua di DAS Bengawan Solo (194.086,34 hektar) utamanya di wilayah Kabupaten Wonogiri (84.068,57 hektar). Wilayah rawan banjir Sungai Bengawan Solo di eks Karisidenan Surakarta adalah: Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Klaten, Surakarta dan Sragen

Tjahyono (2007) menjelaskan bahwa penduduk kabupaten dan kota tersebut sangat bergantung pada air sungai Bengawan Solo untuk berbagai

26,1% wilayah

27,5% wilayah

untuk pertanian, kegiatan pertambangan pasir, transportasi dengan perahu, kegiatan industri rumah tangga (misal batu bata). Berbagai keperluan tersebut yang paling besar (91%) adalah untuk keperluan penyediaan air untuk pertanian.

Air di hulu Sungai Bengawan Solo ditampung oleh Bendungan Serba Guna Wonogiri yang dikenal dengan Waduk Gajah Mungkur. Waduk ini menampung aliran dari beberapa sungai disekitarnya yaitu : keduang, Tirtomoyo, Temon, Alang, Wuryantoro dan Sungai Bengawan Solo sendiri. Bupati Wonogiri Begug Poernomosidi (Tim Ekspedisi; 2008:75) menjelaskan bahwa Waduk Gajah Mungkur yang di bangun tahun 1978 ini sebenarnya dirancang untuk penggunaan 100 tahun lagi, namun dengan kondisi saat ini diperkirakan usia pakai hanya tinggal 10-15 tahun lagi. Penyebab utamanya adalah tingkat sedimentasi yang berlebihan di waduk tersebut. Sedimentasi di Waduk Gajah Mungkur berasal dari erosi tanah permukaan lahan, erosi jurang, longsoran lereng, erosi tebing sungai dan erosi badan jalan. Tanaman keras yang berada di sekitar sungai yang berfungsi sebagai penahan erosi, penyerapan dan penyimpanan air, saat ini jumlahnya tidak memadai. Akibat sedimentasi secara terus menerus waduk semakin dangkal dan daya tampung airnya semakin berkurang. Berkurangnya kemampuan dan fungsi DAS tersebut mengakibatkan banjir di daerah hilir (BBWS Surakarta).

Kejadian banjir itu sangat merugikan warga, mulai dari kerugian material maupun non-material. Kerugian-kerugian yang ditimbulkan dari

(bendungan, irigasi, tanggul), rusaknya prasarana transportasi umum, rusaknya pemukiman dan pertanian (rumah tinggal, sawah, tambak, dst), kegagalan panen, gangguan kesehatan, timbulnya korban jiwa, pengungsian penduduk, terganggunya pelaksanaan pendidikan, dan pelayanan umum yang lainnya.

Catatan kejadian beserta dampak banjir yang terjadi di DAS Bengawan Solo khususnya di wilayah-wilayah yang termasuk kategori wilayah rawan banjir yang diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWS) dan Ekspedisi Kompas (2009) dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut:

Tabel 1.1 Fakta Bencana Banjir Beserta Dampaknya di Sungai Bengawan Solo

No Tahun

Keterangan

1 1863 Bengawan Solo sudah menimbulkan banjir di hulu sungai.

2 1966 Banjir bandang melanda kota eks Karisedenan Surakarta, Kabupaten Ngawi, Bojonegoro dan Lamongan. Korban jiwa 168 orang tewas. 182.000 rumah rusak. 142.000 ha lahan pertanian di 93 kecamatan terendam. Infrastruktur yang rusak antara lain 42 jembatan besar dan kecil, 19 fasilitas irigasi, 5 km rel kereta api, dan 3,8 km tanggul.

3 1982 129 desa di kecamatan di Kabupaten Bojonegoro dilanda banjir 7.298 rumah dan 917.376 ha lahan tergenang.

4 1991 27000 areal sawah, perkebunan dan pemukiman di Kabupaten Bojonegoro, Tuban dan Lamongan terendam banjir

5 1993 Daerah yang dilanda banjir meliputi 220 desa di 36 kecamatan di Kabupaten Tuban, Bojonegoro, Lamongan dan Gresik. Kerugian 200.000 petani sekitar Rp 13,29 milyar karena 15000 ha lahannya tergenang air.

6 1994 Banjir melanda Kabupaten Blora, Bojonegoro, Tuban dan Lamongan ribuan rumah terendam banjir.

7 2002

13 kecamatan di kabupaten Bojonegoro diterjang banjir.

8 2005

71 Desa di 15 kecamatan di kabupaten Bojonegoro dilanda banjir 443

ha sawah, 1.149 rumah dan 19 km jalan desa terendam di Gresik.

9 2007- 2008

Banjir besar DAS Bengawan Solo setelah tahun 1966, melanda hampir di semua wilayah yang dialiri Sungai Bengawan Solo mulai dari Kabupaten Wonogiri sampai wilayah Kabupaten Gresik.

10 2009 Cakupan banjir meluas di Sub-Das Bengawan Solo, melanda Kota Surakarta, Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo, Sragen, Klaten dan Karanganyar akibat meluapnya kali Pepe, Premulung, Gempol dan Bengawan solo.

11 2010 Di eks karisidenan Surakarta hampir di seluruh DAS Bengawan Solo dilanda banjir mulai dari Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Solo, Karanganyar dan Sragen. Kerugian per tahun 2010 di eks karisidenan Surakarta yaitu 1760 unit rumah, 260 Ha sawah, 763 m tanggul.

12 2011 Daerah yang dilanda banjir di eks karisidenan Surakarta meliputi Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Solo, Karanganyar dan Sragen. 784 unit rumah, 235 Ha sawah dan 1500 m tanggul terendam.

13 2012 DAS Bengawan Solo dan Sub-Das Bengawan Solo di seluruh wilayah DAS eks-karisidenan Surakarta terendam. Rumah tergenang air sebanyak 517 unit, sawah sebesar 6683 ha dan tanggul tenggelam 3.030 m sedangkan tanggul yang rusak 1702 m

Sumber : Kompas,2009 dan BBWS, 2009-2012

Penduduk di Wilayah DAS Bengawan Solo mayoritas bermata pencaharian di bidang pertanian sehingga bencana banjir mempunyai dampak besar terhadap perekonomian keluarga petani terkait penurunan produksi pertanian. Petani juga mengalami kesulitan untuk membiayai masa tanam berikutnya, dalam keadaan tersebut dibutuhkan tindakan mitigasi yang efektif untuk mengelola potensi risiko terutama apabila perubahan tersebut menimbulkan guncangan terhadap seluruh sektor pembangunan, yang dimaksud mitigasi yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Kerugian yang diakibatkan bencana banjir sangat besar maka penanggulangan bencana banjir diharapkan dapat dilakukan oleh anggota masyarakat secara terorganisir baik sebelum, saat, dan sesudah bencana dengan menggunakan sumber daya yang mereka miliki semaksimal mungkin. Kapasitas penanggulangan bencana lebih efektif dilakukan di tingkat komunitas, karena komunitas merupakan pihak yang pertama-tama berhadapan dengan resiko bencana (Rencana Nasional Penanggulangan bencana 2010-2014).

Banjir luapan DAS Bengawan Solo sudah seperti rutinitas tahunan yang tinggal

upaya-upaya menanggulanginya, sementara setiap tahunnya jumlah kerugian/korban banjir di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo semakin bertambah, dengan kenyataan tersebut maka tidak dapat dipungkiri bahwa upaya-upaya menanggulanginya, sementara setiap tahunnya jumlah kerugian/korban banjir di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo semakin bertambah, dengan kenyataan tersebut maka tidak dapat dipungkiri bahwa

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian mengenai analisis Willingness to pay mitigasi banjir perlu dilakukan, maka penelitian ini diberi judul “Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to pay) Mitigasi Banjir di Eks Karisidenan Surakarta”.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan, masalah yang akan dianalisis pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Daerah mana sajakah yang termasuk wilayah rawan banjir di eks

Karisidenan Surakarta?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi willingness to pay ( WTP)

untuk mitigasi banjir di eks Karisidenan Surakarta?

3. Berapa besarnya willingness to pay ( WTP) untuk mitigasi banjir di

eks Karisidenan Surakarta?

4. Berapa besarnya kerugian (Loss Production) petani akibat bencana

banjir?

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Identifikasi lokasi dan melakukan pemetaan wilayah rawan bencana banjir di eks karisidenan Surakarta.

2. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap willingness to pay untuk mitigasi banjir.

3. Menghitung besarnya willingness to pay petani untuk mitigasi banjir.

4. Menghitung besarnya Kerugian (Loss Production) petani akibat bencana banjir.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:

H asil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan serta sumbangan pemikiran terhadap instansi pemerintah terkait, seperti BP DAS, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Kesbangpolinmas, Bappeda dan lain-lain dalam menentukan kebijakan untuk mitigasi banjir di DAS Bengawan Solo.

D apat dijadikan sebagai masukan bagi masyarakat DAS Bengawan Solo agar dapat meningkatkan kesiapan terhadap kawasan rawan bencana banjir.

ebagai dokumentasi ilmiah yang berguna bagi mereka yang memiliki kesamaan dengan tujuan penelitian ini.

4. S

ebagai bahan informasi bagi pembaca penelitian ini.

TELAAH PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Konsep Bencana Banjir

a. Pengertian Banjir

Banjir merupakan fenomena alam yang biasa terjadi di suatu kawasan yang banyak dialiri oleh aliran sungai. Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan. Banjir juga dapat terjadi di sungai, ketika alirannya melebihi kapasitas saluran air, terutama di selokan sungai.

Bencana banjir menurut Dolcemascolo (dalam Harjono, 2012) dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu banjir meteorologi (meteorological drought), banjir hidrologi (hydrological drought), dan banjir pertanian (agricultural drought). Banjir meteorologi mengacu pada kesalahan perkiraan hujan akan berakhir tetapi biasanya kejadian seperti ini dianggap sebagai bencana. Jenis banjir hidrologi dan pertanian keduanya berdampak pada kehidupan manusia pada umumnya. Banjir hidrologi berhubungan dengan berkurangnya cadangan air tetapi ini tergantung juga pada permintaan lokal. Banjir pertanian mengacu pada kesalahan waktu, frekuensi dan intensitas hujan di mana hal itu akan berdampak pada sektor pertanian.

b. Penyebab Terjadinya Banjir

Penyebab terjadinya banjir menurut Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal SDA BBWS Bengawan Solo (2011) yaitu:

1) Sedimentasi, erosi dan pendangkalan sungai mengakibatkan kapasitas pengaliran penampang sungai terganggu.

2) Sedimentasi di muara sungai.

3) Pemanfaatan dataran banjir dulu sebagai penampung air banjir, sekarang dimanfaatkan sebagai pemukiman.

4) Tanaman liar yang tumbuh pada tebing kanan dan kiri sungai mengganggu kelancaran arus air banjir.

5) Bangunan pengendali banjir berupa tanggul yang ada belum sepenuhnya berfungsi, karena masih ada tanggul yang belum terbangun, sehingga air banjir melimpas ke bantaran yang tidak ada tanggulnya dan menggenangi pemukiman, sawah, jalan dan prasarana umum lainnya.

6) Kemiringan dasar sungai yang cenderung agradasi.

7) Penyempitan lebar penampang sungai.

8) Pengaruh pasang surut muka air laut di muara.

2. Manajemen Risiko Banjir

Manajemen Risiko banjir perlu diterapkan dan dikembangkan dan Manajemen Risiko banjir perlu diterapkan dan dikembangkan dan

a. Tingkat Siaga Banjir

Tingkat siaga banjir untuk mengurangi besarnya kerugian akibat banjir (Flood damage mitigation) menurut Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal SDA BBWS Bengawan Solo (2011) adalah:

1) Pemantauan/persiapan sebelum bencana banjir (Flood Prevention) meliputi: Inventarisasi bangunan sungai, kesiapan bahan

penyusunan SOP penanggulangan bencana, koordinasi dan mengaktifkan kembali posko-posko.

2) Saat terjadi banjir, hal-hal yang perlu dilakukan adalah pengamatan tinggi muka air, penyampaian berita tinggi muka air secara terus menerus, peringatan dini (Early Warning System / media) dan yang terakhir tanggap darurat.

3) Pasca banjir, tindakan-tindakan yang harus dilakukan yaitu: Inventarisasi kerusakan, membuat peta akibat banjir, evaluasi sebab-sebab terjadinya banjir, koordinasi dan membuat usulan rencana perbaikan.

b. Upaya Mengatasi Banjir

1) Upaya struktur dan nonstruktur

Upaya mengatasi masalah banjir secara menyeluruh untuk mengurangi besarnya kerugian akibat banjir (Flood damage mitigation ) menurut Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal SDA BBWS Bengawan Solo (2011) adalah sebagai berikut:

a) Upaya Struktur (conventional) (1) Mencegah meluapnya banjir sampai ketinggian tertentu

dengan tanggul. (2) Merendahkan elevasi muka air banjir dengan normalisasi,

sudetan, banjir kanal dan interkoneksi. (3) Mengurangi genangan dengan polder, pompa dan system

drainase.

b) Upaya Nonstruktur

Upaya-upaya nonstruktur antara lain meliputi: Prakiraan banjir dan peringatan dini, penanggulangan banjir (flood fighting ) atau evakuasi, pemindahan atau relokasi, pengelolaan dataran banjir (Flood plain / risk management), flood proofing terhadap bangunan, konservasi tanah dan air (penghijauan, reboisasi dan pengendalian erosi DAS), penataan ruang di DAS (daerah aliran sungai) hulu dan penataan pemukiman, penetapan sempedan sungai, informasi publik atau penyuluhan, Upaya-upaya nonstruktur antara lain meliputi: Prakiraan banjir dan peringatan dini, penanggulangan banjir (flood fighting ) atau evakuasi, pemindahan atau relokasi, pengelolaan dataran banjir (Flood plain / risk management), flood proofing terhadap bangunan, konservasi tanah dan air (penghijauan, reboisasi dan pengendalian erosi DAS), penataan ruang di DAS (daerah aliran sungai) hulu dan penataan pemukiman, penetapan sempedan sungai, informasi publik atau penyuluhan,

2) Upaya Fisik dan Nonfisik

Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo menjelaskan sinergi antara penanganan fisik dan non-fisik dalam upaya pengendalian banjir dapat diwujudkan melalui beberapa hal sebagai berikut:

a) Pengendalian tata ruang.

Pengendalian tata ruang dilakukan dengan menggunakan perencanaan penggunaan ruang sesuai dengan kemampuannya untuk mempertimbangkan permasalahan banjir, pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya serta penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang telah memperhitungkan Rencana Induk Pengembangan Wilayah Sungai.

b) Pengaturan debit banjir

Pengaturan debit banjir dilakukan melalui kegiatan penanganan fisik berupa pembangunan dan pengaturan bendungan, perbaikan sistem drainase perkotaan, normalisasi sungai dan daerah retensi banjir. Pengaturan daerah rawan banjir. Pengaturan daerah rawan banjir dilakukan dengan cara: (1) Pengaturan tata guna lahan dataran banjir (flood plain

management).

sempadan sungai, peruntukan lahan di kiri kanan sungai, penertiban bangunan di sepanjang aliran sungai.

(3) Peningkatan peran masyarakat.

Peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian banjir diwujudkan dalam:

(a) Pengembangan Sistem Peringatan Dini yang Berbasis

Masyarakat (b) Bersama-sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun dan mensosialisasikan program pengendalian banjir.

(c) Mentaati peraturan tentang pelestarian sumberdaya air antara lain tidak melakukan kegiatan kecuali dengan ijin dari pejabat yang berwenang untuk: (1))Mengubah aliran sungai. (2))Mendirikan,

mengubah

atau

membongkar bangunan-bangunan di dalam atau melintas sungai.

(3))Membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan atau cair ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut diduga akan mengganggu aliran,

(4))pengerukan atau penggalian bahan galian golongan

C dan atau bahan lainnya.

terhadap

masyarakat

(melalui Penyediaan

Rehabilitasi, rekonstruksi dan atau pembangunan fasilitas- fasilitas umum, Melakukan penyelamatan, pengungsian dan tindakan darurat lainnya dan lain-lain)

c) Pengelolaan Daerah Tangkapan Air

Pengelolaan daerah tangkapan air dalam pengendalian banjir antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan:

1) Pengaturan dan pengawasan pemanfaatan lahan (tata guna hutan, kawasan budidaya dan kawasan lindung);

2) Rehabilitasi hutan dan lahan yang fungsinya rusak;

3) Konservasi tanah dan air baik melalui metoda vegetatif,

kimia, maupun mekanis;

4) Perlindungan/konservasi kawasan - kawasan lindung.

d) Penyediaan Dana Penyediaan dana dapat dilakukan dengan cara:

1) Pengumpulan dana banjir oleh masyarakat secara rutin dan dikelola sendiri oleh masyarakat pada daerah rawan banjir.

2) Penggalangan dana oleh masyarakat umum di luar daerah

yang rawan banjir

Pemerintah Daerah.

e) Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat dan Rencana Tindak Darurat

Sistem peringatan dini datangnya banjir di WS Bengawan Solo agar lebih efektif di masa akan datang maka system peringatan dini harus berpusat secara kuat pada masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir mulai hilir sampai hulu. Dengan penerapan sistem ini, akan dapat memberikan informasi lebih dini bagi masyarakat yang kemungkinan akan terkena bencana sehingga ada kesempatan bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri atau barang-barang berharganya. Sistem tersebut harus dikembangkan secara menyeluruh sehingga dapat meyakinkan bahwa sistem tersebut dapat berfungsi ketika diperlukan dan peringatan dapat disampaikan secara segera dan mudah dimengerti oleh semua anggota masyarakat dalam berbagai kondisi dan tingkat Risiko bencana. Komponen inti sistem peringatan dini datangnya banjir harus berpusat pada masyarakat terdiri dari:

1) Penyatuan dari kombinasi elemen-elemen bottom-up dan

top-down ;

2) Keterlibatan masyarakat dalam proses peringatan dini;

3) Pendekatan multi bencana; dan

4) Pembangunan kesadaran masyarakat.

dukungan politis yang kuat, hukum dan perundang-undangan, tugas dan fungsi masing-masing institusi yang jelas serta sumber daya manusia yang terlatih. Oleh karenanya, sistem peringatan dini perlu dibentuk dan didukung sebagai satu kebijakan, sedangkan kesiapan untuk menanggapi harus diciptakan melekat dalam masyarakat.

3. Partisipasi Masyarakat

Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, apabila berjalan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pemerintah dan apabila setiap masyarakat menjalankan secara objektif dan tidak hanya mengutamakan kepentingan dirinya atau kelompoknya saja, maka kerugian yang akan timbul tidak akan berarti dibandingkan manfaatnya (Suratmo dalam

Harjono, 2012). Manfaat partisipasi masyarakat antara lain:

a. Masyarakat

mendapatkan

informasi

mengenai rencana pembangunan didaerah, sehingga dapat mengetahui dampak apa yang akan terjadi baik yang positif maupun yang negatif, dan cara menaggulangi dampak negatif yang akan dan harus dilakukan.

b. Masyarakat akan ditingkatkan pengetahuannya mengenai masalah lingkungan, pembangunan dan hubungan, sehingga pemerintah dapat menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan tanggungjawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup.

persepsinya kepada pemerintah terutama masyarakat di tempat proyek yang akan terkena dampak.

d. Pemerintah mendapatkan informasi-informasi dari masyarakat yang belum atau tidak ada dalam laporan Amdal, sehingga kebijaksanaan atau keputusan yang akan diambil akan lebih tepat.

e. Apabila masyarakat telah mengetahui cukup banyak mengenai proyek tersebut termasuk dampak (positif dan negatif) dan usaha- usaha apa saja yang akan dilakukan untuk mengurangi dampak negatif, sedangkan dari pihak pemerintah dan pemrakarsa proyek mengetahui pendapat-pendapat masyarakat serta keinginanya atau hal-hal apa yang diperlukan, sehingga salah paham atau terjadinya konflik dapat dihindari.

f. Masyarakat akan dapat menyiapkan diri untuk menerima manfaat yang akan dapat dinikmati dan apabila mungkin meningkatkan manfaat tersebut (dampak positif) dan ikut menekan atau menghindari diri terkena dampak negatif.

g. Dengan adanya ikut aktifnya masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sejak tahap penyusunan Amdal, biasanya perhatian dari instasi pemerintah yang bertanggungjawab dan pemrakarsa proyek pada masyarakat akan meningkat.

Twigg (2007) menyatakan pengurangan risiko bencana (PRB) merupakan sebuah konsep yang luas dan relatif baru. Ada beberapa definisi berbeda dari istilah ini dalam literatur teknis, tetapi PRB secara umum dipahami sebagai pengembangan dan penerapan secara luas dari kebijakan-kebijakan, strategi-strategi dan praktik- praktik guna untuk meminimalkan kerentanan dan risiko bencana di masyarakat. PRB adalah sebuah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko-risiko bencana. PRB bertujuan untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial- ekonomi terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun bahaya-bahaya lain yang menimbulkan kerentanan. Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 tahun 2004 Pasal 35 huruf b dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana. Kegiatan sebagaimana dimaksud meliputi:

a. Pengenalan dan pemantauan risiko bencana;

b. Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;

c. Pengembangan budaya sadar bencana;

d. Peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan

e. Penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana

Berbagai macam definisi dan konsep akademis yang ada dapat membingungkan. Agar operasional, lebih mudah bila kita bekerja dengan definisi-definisi luas dan karakteristik-karakteristik yang umum dipahami. Dengan pendekatan ini, sistem atau ketahanan masyarakat dapat dipahami sebagai:

a. Kapasitas untuk menyerap tekanan atau kekuatan-kekuatan yang menghancurkan, melalui perlawanan atau adaptasi.

b. Kapasitas untuk mengelola, atau mempertahankan fungsi-fungsi dan struktur-struktur dasar tertentu, selama kejadian-kejadian yang mendatangkan malapetaka.

c. Kapasitas untuk memulihkan diri atau ‘melenting balik’ setelah suatu kejadian ‘Ketahanan’ pada umumnya dipandang sebagai suatu konsep yang lebih luas daripada ‘kapasitas’ karena konsep ini memiliki makna yang lebih tinggi dari pada sekedar perilaku, strategi-strategi dan langkah-langkah pengurangan serta manajemen risiko tertentu yang biasa dipahami sebagai kapasitas.

Konsep tahan bencana masyarakat yang mayoritas petani yang tahan bencana yang mengembangkan pendekatan praktis untuk mengatasi risiko, baik secara individual maupun berkelompok. metode-metode informal untuk mengelola risiko, misalnya dengan menyimpan asset berupa hewan ternak, perhiasan, hasil-hasil pertanian ataupun melakukan pekerjaan lain diluar pekerjaan Konsep tahan bencana masyarakat yang mayoritas petani yang tahan bencana yang mengembangkan pendekatan praktis untuk mengatasi risiko, baik secara individual maupun berkelompok. metode-metode informal untuk mengelola risiko, misalnya dengan menyimpan asset berupa hewan ternak, perhiasan, hasil-hasil pertanian ataupun melakukan pekerjaan lain diluar pekerjaan

Masyarakat berpendapatan rendah memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap berbagai risiko. Goncangan yang terjadi pada kehidupannya dapat menyebabkan rumah tangganya terperosok dalam kemiskinan yang lebih parah.

5. Mitigasi Banjir

Definisi Mitigasi menurut UU No. 24 2007 tentang penanggulangan bencana banjir adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana banjir, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 2007 dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana . Kegiatan mitigasi sebagaimana dilakukan

melalui:

a. pelaksanaan penataan tata ruang;

b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan

c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern; c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern;

6. Konsep Pemetaan

Menurut definisi Esri (1990) dalam Prahasta (2005) menyebutkan bahwa Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan,

mengupdate,

memanipulasi,

menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi. Tiap daerah memiliki keunikan dan serangkaian dinamisasi potensial bahaya. Ketika diketahui wilayah tertentu diketahui memiliki kerawanan dan dihuni oleh banyak orang maka dapat segera dilakukan tindakan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan. Menurut Connors (2006) SIG dapat digunakan untuk mengakses Risiko potensial yang mungkin terjadi. SIG mengintegrasikan satuan data- data yang berbeda untuk memberikan gambaran kasar dampak bencana alam terhadap masyarakat.

Penggunaan SIG telah banyak dilakukan untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah potensi bencana, seperti yang dilakukan oleh: Wood dan Good (2004) menggunakan SIG untuk mengidentifikasi kerawanan pada bandara dan pelabuhan akibat gempa bumi dan tsunami, Rashed (2003), mengukur konteks lingkungan pada Penggunaan SIG telah banyak dilakukan untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah potensi bencana, seperti yang dilakukan oleh: Wood dan Good (2004) menggunakan SIG untuk mengidentifikasi kerawanan pada bandara dan pelabuhan akibat gempa bumi dan tsunami, Rashed (2003), mengukur konteks lingkungan pada

7. Kesediaan untuk membayar (Willingness to pay)

Valuasi metode WTP dengan cara langsung dikenal sebagai Metode Contingent Valuation (CV). Metode ini termasuk didalam metode penelitian langsung karena dilakukan dengan survey yang dicobakan untuk mengungkapkan respon seseorang secara moneter terhadap perubahan kualitas lingkungan (Tietenberg dalam Pramesi,2008). Pendekatan ini disebut penelitian contingent (tertentu) karena “metode ini mengupayakan agar seseorang menyatakan tentang bagaimana seseorang tersebut akan bertindak ketika dia dihadapkan pada berbagai kemungkinan tertentu” (Field dalam Pramesi, 2008).

Metode CV didasarkan pada konsep sederhana dimana bila ingin mengetahui nilai atas sumber daya yang tidak memiliki nilai pasar, maka bisa dilakukan dengan bertanya mengenai nilai tersebut secara langsung (Field dalam Pramesi, 2008). Metode CV biasa diterapkan pada penghitungan nilai lingkungan apabila teknik pasar tidak bisa digunakan dalam penghitungan nilai lingkungan (Irawan dalam Metode CV didasarkan pada konsep sederhana dimana bila ingin mengetahui nilai atas sumber daya yang tidak memiliki nilai pasar, maka bisa dilakukan dengan bertanya mengenai nilai tersebut secara langsung (Field dalam Pramesi, 2008). Metode CV biasa diterapkan pada penghitungan nilai lingkungan apabila teknik pasar tidak bisa digunakan dalam penghitungan nilai lingkungan (Irawan dalam

Cara paling mudah dalam melakukan metode CV adalah dengan bertanya mengenai nilai yang diberikan seseorang terhadap perubahan tertentu dalam kualitas lingkungan. Cara lain yang lebih kompleks dapat dilakukan dengan apakah seseorang mau membayar sejumlah Rp. X untuk perubahan tertentu dalam kualitas lingkungan.

Pada dasarnya metode CV menilai perubahan tertentu dalam kualitas dengan menanyakan dua jenis pertanyaan berikut (Field dalam pramesti, 2008):

a. Apakah anda bersedia membayar (WTP) sejumlah Rp. X tiap periode untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan.

b. Apakah anda bersedia menerima (WTA) sejumlah Rp. X untuk kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan

Dalam Metode CV dikenal empat macam cara untuk mengajukan pertanyaan kepada responden ( Fauzi, 2004 dalam Pramesi 2008:77), yaitu:

a. Permainan lelang (bidding game), responden diberi pertanyaan secara berulang-ulang tentang apakah mereka ingin membayar sejumlah tertentu. Nilai ini kemudian bisa dinaikkan atau diturunkan tergantung respon pada pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan dihentikan sampai niali yang tetapa diperoleh.

menyatakan nilai moneter untuk suatu proyek perbaikan lingkungan.

c. Payment Card, nilai lelang dengan cara menyatakn responden apakah mau membayar pada kisaran tertentu dari nilai yang ditentukan sebelumnya. Nilai ini ditunjukkan kepada responden dengan kartu.

d. Model referendum tertutup, responden diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak.

Analisis dengan Metode CV memiliki kelebihan dalam fleksibilitas dan mudah untuk dillaksanakn untuk menilai lingkungan yang memiliki cakupan sangat luas (Field dalam Pramesi, 2008), tetapi disamping itu, metode CV juga memiliki kesulitan tersendiri karena responden sangat potensial untuk memberikan jawaban yang bias baik berupa penilaian yang terlalu tinggi (upper estimate) maupun penilaian terlalu rendah (under estimate) terhadap perubahan kualitas lingkungan. Ada empat jenis bias yang mungkin ditimbulkan dari metode CV (Tietenberg dalam Pramesi, 2008):

a. Strategic bias, bias ini terjadi karena responden memiliki kepentingan khusus yang terkait

dengan jawaban pertanyaan tersebut. Sehingga jawaban dari responden tidak menggambarkan penilaian sebenarnya melainkan penilaian yang dipengaruhi motif untuk melindungi kepentingan mereka.

pengetahuan memadai atau tidak punya pengalamam terkait dangan atribut yang ditanyakan dalam penelitian. Akibatnya jawaban responden tidak menggambarkan penilaian sebenarnya melainkan karena ketidaklengkapan informasi.

c. Starting-poin bias, bias ini terjadi karena instrument survey yang digunakan untuk mewawancarai berupa rentang

jarak kemungkinan yang sudah dikenal. Cara untuk menjelaskan rentang jarak yang tercermin dalam kuesioner akan sangat mempengaruhi jawaban dari responden. Rentang jarak Rp. 0 sampai Rp. 100.000 mungkin akan menghasilkan

respon

yang

berbeda jika dibandingkan dengan rentang jarak Rp. 10.000 sampai Rp.100.000, meskipun sebenarnya tidak ada respon dalam rentang Rp. 0 sampai Rp. 10.000.

d. Hypothetical bias, bias ini terjadi karena pembanguan hipotesis perubahan kualitas lingkungan yang tidak sempurna sehingga rentan direspon secara tidak sempurna juga oleh responden.

8. Risiko Bencana banjir

a. Definisi Risiko banjir

UU No. 24 tahun 2007 menjelaskan bahwa Risiko bencana banjir adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana banjir pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat UU No. 24 tahun 2007 menjelaskan bahwa Risiko bencana banjir adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana banjir pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat

Dampak yang ditimbulkan dengan adanya bencana banjir adalah berkurangnya pendapatan untuk para petani; berkurangnya daya beli dari sektor pertanian; meningkatnya harga makanan pokok, naiknya tingkat inflasi, memburuknya status gizi, kelaparan, penyakit, kematian, berkurangnya sumber air minum, migrasi, meledaknya komunitas, hilangnya ternak.

b. Definisi Risiko Pertanian

Risiko adalah suatu unsur yang terdiri dari ketidaksiapan (namun dapat dikelola/di manage) terhadap segi produksi dan marketing dalam sektor pertanian (jika dilihat dari konteks sektor pertanian). Risiko tidak terlepas dari maslah ketidakpastian (uncertainty) yang mana , ketidakpastian dapat diartikan sebagai potensi permasalahan yang akan muncul dikemudian hari terutama yang berkaitan dengan pendapatan yang dapat berpengaruh dalam proses produksi jangka pendek dan perencanaan jangka panjang. Jika di hubungkan dengan masalah pertanian, pengaruh tersebut menimbulkan turunnya hasil produksi, sehingga menurunnya nilai asset baik tetap mau aset bergerak, dan mempengaruhi keputusan petani untuk tetap bekerja atau tidak. Begitu juga pada saat terjadinya ketidakstabilan situasi khususnya yang berkaitan dengan masalah kondisi iklim, cuaca, dan lingkungan sekitar yang secara signifikan

dalam keadaan tersebut dibutuhkan alat yang efektif untuk mengelola potensi Risiko terutama apabila perubahan tersebut menimbulkan guncangan terhadap seluruh sektor pembangunan, contoh: guncangan dari sektor riil ekonomi akan mempengaruhi kemampuan petani dalam mengembalikan tingkat dan kemampuan pinjaman dan kewajiban keuangan kepada pihak lembaga keuangan (creditor) , selain itu lembaga keuangan juga dihadapkan pada keputusan untuk mengurangi ekspansi kredit akibat begitu besarnya probabilitas kegagalan debitor (penerima fasilitas kredit) dalam membayar kewajibannya.

c. Macam-macam Risiko Pertanian

Ada lima faktor penyebab Risiko yang paling sering muncul di sektor pertanian dalam hal ini adalah sebagai berikut:

1) Faktor Iklim : Dingin, banjir, kemarau, salju, angin,dll

2) Faktor Sanitari : Penyakit menular, kebersihan yang berdampak pada hasil hasil pertanian terutama hasil/produk- produk jadi.

3) Faktor Geografi : Gempa, gunung meletus, erosi

4) Faktor Market, Perubahan harga di dalam negeri berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional, dan faktor manusia 4) Faktor Market, Perubahan harga di dalam negeri berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional, dan faktor manusia

Dari, ke-lima faktor tersebut ada yang bisa dikontrol dan ada yang tidak bisa dikontrol dalam pengertian menyikapi dan menghadapi risiko dan potensi risiko yang terjadi. Meskipun demikian risiko yang terjadi akan menjadi dampak yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sektor pertanian itu sendiri baik secara kuantitas maupun kualitas.

d. Strategi Menghadapi Risiko Dalam Sektor Pertanian

Pertanian merupakan salah satu usaha yang rawan terhadap dampak negatif perubahan iklim, seperti banjir yang dapat menyebabkan gagal panen, jika tidak diantisipasi dengan tepat, hal ini berpotensi melemahkan motivasi petani untuk mengembangkan usaha tani, bahkan dapat mengancam ketahanan pangan. Kemampuan petani beradaptasi terhadap perubahan iklim terkendala oleh modal, penguasaan teknologi, dan akses pasar. Pendekatan konvensional yang biasa di pakai petani dalam menghadapi risiko pertanian adalah dengan menerapkan salah satu atau kombinasi strategi produksi, pemasaran, finansial, dan pemanfaatan kredit informal. Contoh pendekatan praktis mengatasi risiko, baik secara individual maupun berkelompok yaitu menyimpan sebagian hasil panen padi dalam lumbung, menanam Pertanian merupakan salah satu usaha yang rawan terhadap dampak negatif perubahan iklim, seperti banjir yang dapat menyebabkan gagal panen, jika tidak diantisipasi dengan tepat, hal ini berpotensi melemahkan motivasi petani untuk mengembangkan usaha tani, bahkan dapat mengancam ketahanan pangan. Kemampuan petani beradaptasi terhadap perubahan iklim terkendala oleh modal, penguasaan teknologi, dan akses pasar. Pendekatan konvensional yang biasa di pakai petani dalam menghadapi risiko pertanian adalah dengan menerapkan salah satu atau kombinasi strategi produksi, pemasaran, finansial, dan pemanfaatan kredit informal. Contoh pendekatan praktis mengatasi risiko, baik secara individual maupun berkelompok yaitu menyimpan sebagian hasil panen padi dalam lumbung, menanam

1) Strategi produksi, mencakup diversifikasi atau memilih usaha tani yang pembiayaan dan atau pengelolaan produksinya fleksibel. Petani Indonesia umumnya menerapkan strategi diversifikasi usaha tani.

2) Strategi pemasaran, misalnya menjual hasil panen secara berangsur, memanfaatkan sistem kontrak untuk penjualan produk yang akan dihasilkan, dan melakukan perjanjian harga antara petani dan pembeli untuk hasil panen yang akan datang. Upaya yang banyak dilakukan petani Indonesia adalah dengan cara menjual hasil panen secara berangsur.

3) Strategi finansial, mencakup melakukan pencadangan dana yang cukup, melakukan investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi, dan membuat proyeksi arus tunai berdasarkan perkiraan biaya produksi, harga jual produk, dan produksi.

4) Pemanfaatan kredit informal, seperti meminjam uang atau barang kebutuhan pokok dari pedagang atau pemilik modal

Indonesia.

5) Menjadi peserta asuransi pertanian untuk menutup kerugian yang diperkirakan akan terjadi. Strategi ini banyak ditempuh oleh petani di negara maju dan sebagian petani di negara berkembang. Di Indonesia, asuransi pertanian formal belum berkembang. Meskipun beberapa strategi tersebut telah diterapkan oleh sebagian petani, mereka masih sulit mengatasi risiko berusaha tani.

Berdasarkan hasil laporan JRC Scientific and Technical Report kepada European Union Commision tahun 2008, adapun strategi modern yang bisa diusulkan dalam menghadapi potensi risiko dan ketidakpastian dari sektor pertanian antara lain: