Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) dengan Kombinasi Penyamak Krom dan Nabati

PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) DENGAN
KOMBINASI PENYAMAK KROM DAN NABATI

TRI UTAMI HASTUTI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penyamakan Kulit
Ikan Tuna (Thunnus sp.) dengan Kombinasi Penyamak Krom dan Nabati” adalah
benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis
saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014
Tri Utami Hastuti
NIM F34090028

ABSTRAK
TRI UTAMI HASTUTI. Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) dengan
Kombinasi Penyamak Krom dan Nabati. Dibimbing oleh ONO SUPARNO.
Penyamakan kulit merupakan cara untuk mengubah kulit mentah yang
bersifat labil (mudah rusak oleh pengaruh fisik, kimia dan biologis) menjadi kulit
yang stabil terhadap pengaruh tersebut. Penyamakan kombinasi adalah
penyamakan dengan dua atau lebih bahan penyamak, dengan tujuan saling
melengkapi karena setiap bahan penyamak memiliki kekurangan dan kelebihan
masing-masing untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Penyamakan dengan
krom memiliki beberapa kelebihan diantaranya kulit yang dihasilkan bersifat
lemas, tahan terhadap panas tinggi, dan kuat tarik tinggi. Penggunaan bahan
penyamak nabati dalam penyamakan kulit akan memengaruhi sifat-sifat fisik,
yakni kuat tarik, kuat sobek, maupun sifat-sifat fisik lainnya. Penelitian ini
dilakukan untuk menentukan pengaruh jenis dan konsentrasi bahan penyamak
nabati terhadap sifat fisik dan organoleptik kulit ikan tuna pada penyamakan
kombinasi kulit ikan tuna, menentukan jenis bahan dan konsentrasi penyamak

nabati yang terbaik untuk penyamakan kulit ikan tuna, menentukan sifat-sifat kulit
tuna yang dihasilkan, dan menghitung nilai tambah kulit ikan tuna hasil samak
kombinasi. Bahan penyamak yang digunakan adalah krom dengan konsentrasi
sebesar 8% dan bahan penyamak nabati (mimosa, gambir, dan quebracho) dengan
konsentrasi masing-masing (10%, 15%, dan 20%). Respon yang diamati pada
penelitian ini adalah peningkatan ketebalan, suhu kerut, kuat tarik, kuat sobek,
perpanjangan putus dan sifat-sifat organoleptik kulit yang dihasilkan. Berdasarkan
hasil penelitian bahwa jenis bahan penyamak nabati berpengaruh nyata terhadap
semua variabel sifat fisik, yaitu ketebalan, suhu kerut, kuat sobek, kuat tarik, dan
perpanjangan putus. Konsentrasi berpengaruh nyata terhadap suhu kerut, dan kuat
sobek. Pemilihan perlakuan terbaik yaitu gambir dengan konsentrasi 20% yang
dikombinasikan dengan krom 8% menghasilkan kulit dengan mutu terbaik,
peningkatan ketebalan kulit, kuat sobek 84.77 N/mm, kuat tarik 22.68 N/mm2, dan
perpanjangan putus 57.38%. Uji organoleptik menunjukkan bahwa warna yang
dihasilkan kulit samak dengan menggunakan gambir lebih terlihat menarik dan
alami, serta lebih halus, sehingga pada pengaplikasiannya dapat digunakan
sebagai alas sofa maupun jaket.
Kata kunci : kulit ikan tuna, penyamakan kombinasi, krom, nabati
ABSTRACT
TRI UTAMI HASTUTI. Tanning of Tuna’s Skin (Thunnus sp.) With

Combination Tanning of Chrome and Vegetable Tannages. Supervised by ONO
SUPARNO.
Tanning is a way to change unstable rawhide (easily damaged by physical,
chemical and biological effects) into a stable leather against those effects.

Combination tanning method was a tanning process using two or more tannages in
order to complete each other advantages and disadvantages to obtain leather with
desired characteristics. Tanning using chrome would increase the flexibility,
resistency of high temperature and tensile strength of leather. While vegetable
tannage used in tanning gave an effect on physical quality on leather, including
tensile strength, tear strength and other characteristics. The main purpose of this
study were determined the effect of type and concentration of vegetable tannage
on physical and organoleptic characteristics of skin tannage in the tanning
process, to decide the best type and concentration of tannage for tanning, and to
decide the characteristic of the leather. Tannages used were chrome with a
concentration of 8% and vegetable tannages (mimosa, gambier, quebracho) with
concentrations of 10%, 15% and 20%. The observed reponses in this study were
thickness, shrinkage temperature, tensile strength, tear strength, elongation at
break, and organoleptic characteristics. Based on the study, gambier with 20%
concentration combined with 8% chrome produced the best quality of leather,

highest increase thickness, tear strength of 84.76 N/mm, tensile strength of 22.68
N/mm2 and elongation at break of 57.38%. Organoleptic test showed that the
colours produced by gambier looked more attractive, natural, finer texture, so that
can be applied for material in sofa or jacket manufacture.
Key words: tuna’s skin, combination tanning, chrome, vegetable

PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) DENGAN
KOMBINASI PENYAMAK KROM DAN NABATI

TRI UTAMI HASTUTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

Judul Skripsi : Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) dengan
Kombinasi Penyamak Krom dan Nabati
Nama
: Tri Utami Hastuti
NIM
: F34090028

Disetujui oleh

Prof Dr Ono Suparno, STP, MT
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan limpahan rahmat-Nya, sehingga penyusunan skripsi berjudul “Penyamakan
Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp.) dengan Kombinasi Penyamak Krom dan Nabati”
berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan
selama April sampai Desember 2013 ini adalah proses penyamakan kulit ikan
tuna. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada:
1. Prof Dr Ono Suparno, STP, MT, selaku Pembimbing Akademik atas
perhatian dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi
2. Bapak Ir Moh. Najikh selaku CEO, Bapak Pebru Yuwono, Ibu Sapta
Rahardja dan seluruh Staff atas kesediaan dan bimbingannya selama
menjalankan program capstone praktik lapang di PT Kelola Mina Laut.
3. Ayahanda tercinta Wisarno (Alm), Ibunda Supriyati, kakak-kakakku
Wiryawan Suraji dan Rahmat Pratomo beserta keluarga besar atas doa,

semangat, dan kasih sayangnya
4. Keluarga besar TIN 46 atas keceriaan dan kenangan indah yang tak
terlupakan
5. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014
Tri Utami Hastuti

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


3

Ruang Lingkup Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Kulit

3

Kulit Ikan Tuna

4

Penyamakan


5

Penyamakan Krom

6

Penyamakan Nabati

8

METODE

9

Waktu dan Tempat

9

Bahan


9

Alat

10

Prosedur Penelitian

10

Prosedur Pengujian

13

Prosedur Perhitungan Nilai Tambah

13

Prosedur Analisis Data

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

14

Persiapan Bahan Baku

14

Ketebalan Kulit

15

Suhu Kerut

16

Kuat Sobek

18

Kuat Tarik

20

Perpanjangan Putus

21

Uji Organoleptik

23

Nilai Tambah

24

SIMPULAN DAN SARAN

25

Simpulan

27

Saran

27

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

44

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Prosedur penyamakan krom
Prosedur penyamakan nabati
Prosedur perhitungan nilai tambah
Hubungan mutu kulit hasil penyamakan terhadap jenis bahan penyamak
dan konsentrasi yang digunakan
Perhitungan nilai tambah kulit samak

11
12
13
24
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Struktur histologi kulit secara umum
Model rantai ikatan silang intramolekuler dan intermolekuler pada
protein kolagen
Ikatan antara zat penyamak krom dengan kolagen
Perubahan gugus amina dan karboksil pada kondisi isoelektrik
Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi yang
digunakan terhadap peningkatan ketebalan
Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap
nilai suhu kerut
Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap
nilai kuat sobek
Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap
nilai kuat tarik
Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap
nilai perpanjangan putus

4
5
6
8
16
18
19
20
22

DAFTAR LAMPIRAN
1

Foto bahan penelitian yang digunakan
Foto peralatan yang digunakan
Prosedur analisa kadar tanin
Prosedur uji sifat fisik kulit
Analisis uji T kadar tanin bahan penyamak nabati
Tabel anova respon variabel ketebalan (α = 0.05) dan tabel uji lanjut
Duncan
7 Tabel anova respon variabel suhu kerut (α = 0.05) dan tabel uji lanjut
Duncan
8 Tabel anova respon variabel kuat sobek (α = 0.05) dan tabel uji lanjut
Duncan
9 Tabel anova respon variabel kuat tarik (α = 0.05) dan tabel uji lanjut
Duncan
10 Tabel anova respon variabel perpanjangan putus (α = 0.05) dan tabel
uji lanjut Duncan
11 Foto kulit hasil penyamakan kombinasi
12 Syarat mutu kulit lapis domba/kambing samak kombinasi (krom-nabati)
(SNI 1989)

2
3
4
5
6

30
31
32
33
36
37
38
39
40
41
42
43

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kulit merupakan salah satu komoditi yang memiliki potensi yang tinggi
dan salah satu produk ekspor potensial Indonesia dari sektor peternakan yang
permintaannya terus meningkat. Pada umumnya kulit yang dimanfaatkan adalah
kulit yang berasal dari hewan darat seperti kerbau, sapi, dan domba. Sebagai
alternatif dapat digunakan kulit yang berasal dari ikan. PT Kelola Mina Laut yang
merupakan perusahaan berbasis pengolahan ikan tercatat per harinya
menghasilkan limbah berupa kulit sebesar 3.4% dari jumlah produksi 7 ton ikan
tuna (Hastuti 2012).
Kulit akan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah yang tinggi dan
mutu yang baik apabila dilakukan pengolahan; salah satunya adalah dengan
penyamakan. Menurut Said (2012) perkembangan penyamakan kulit dapat
dikatakan sangat signifikan. Pertumbuhan di sektor hulu misalnya, dari 37 unit
pabrik berskala besar pada tahun 1975, hingga akhirnya kemudian telah menjadi
67 unit pabrik pada tahun 2007 yang lalu, dan saat ini kulit ikan tersamak
merupakan produk yang sangat potensial untuk dikembangkan. Penyamakan
adalah suatu proses memodifikasi protein dalam kulit, sehingga ketahanan
terhadap panas, pendegradasian enzimatis, dan kekuatan termo mekanikalnya
lebih stabil (Krishnaraj 2010). Dalam industri penyamakan kulit terdapat tiga
proses, yaitu proses basah (beam house operations), proses penyamakan
(tanning), pasca penyamakan, dan penyelesaian akhir (finishing).
Penyamakan dengan krom yang merupakan penyamakan yang umum
dilakukan karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya kulit yang dihasilkan
akan lebih lemas, tahan terhadap panas yang tinggi dan kuat tariknya lebih tinggi.
Namun demikian, penyamakan mineral tersebut juga berkontribusi terhadap
masalah pencemaran lingkungan (Fathima 2003). Saat ini banyak studi yang
melakukan riset terhadap teknologi pengurangan penggunaan krom saat
penyamakan untuk mengurangi bahaya toksisitas yang dihasilkan.
Penyamakan kombinasi merupakan sistem penyamakan yang sifatnya
lebih reaktif (Madhan 2006). Penyamakan krom dan nabati pada hasil akhirnya
akan menghasilkan produk akhir yang memiliki sifat lebih baik dari satu jenis
penyamakan. Penyamakan nabati adalah proses penyamakan dengan bahan
penyamak yang berasal dari tumbuhan alami yang mengandung kadar tanin yaitu
senyawa polifenol di dalamnya. Penggunaan bahan penyamak nabati dalam
penyamakan kulit akan memengaruhi mutu fisik, yaitu feel/handle yang lebih
lembut, daya serap air yang baik, dan warna yang lebih menarik (Madhan 2006).
Penggunaan bahan penyamak nabati juga dapat mereduksi penggunaan krom yang
diketahui memiliki limbah yang berbahaya bagi lingkungan maupun makhluk
hidup sekitarnya. Dari segi ekonomis penggunaan penyamak nabati lebih murah
dan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan penyamak krom. Dengan
demikian penyamakan kombinasi yang didahului dengan penyamak krom dan
dilanjutkan dengan penyamak nabati diharapkan akan menghasilkan kulit yang
memiliki suhu kerut yang tinggi, feel/handle yang lebih lembut, daya serap yang

2

baik, dan warna yang menarik, sehingga hasil akhirnya dapat diaplikasikan
sebagai alas sofa maupun bahan jaket kulit.
Penelitian serupa sebelumnya telah dilakukan oleh Alfindo (2009) yaitu
penyamakan kulit ikan tuna menggunakan kombinasi penyamak krom dan
mimosa menghasilkan produk akhir kulit yang memiliki kuat tarik dan kuat sobek
yang baik pada konsentrasi 15%, yaitu untuk kuat tarik sebesar 372.09 kgf/cm2
dan kuat sobek 61.51 kgf/cm. Pada penelitian tersebut hanya dilakukan pada satu
jenis bahan penyamak nabati yaitu mimosa. Penelitian yang dilakukan saat ini
menggunakan tiga jenis penyamak nabati yang berbeda yaitu mimosa, gambir dan
quebracho. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian adalah 10%, 15% dan
20%, hal tersebut digunakan dengan alasan pada penelitian sebelumnya yang
menggunakan konsentrasi 5 – 15% terlihat respon yang diteliti terus meningkat,
sehingga dibutuhkan verifikasi apakah konsentrasi 15% merupakan konsentrasi
maksimum dari bahan penyamak nabati.
Pada penelitian ini konsentrasi yang digunakan pada penyamakan krom
adalah sebesar 8% dan dimulai dari basisitas 33% seperti pada umumnya (Basaran
2006). Hal tersebut disebabkan pada tingkat basisitas tersebut kekuatan ikatannya
bersifat sedang sehingga penetrasi pada kolagen kulit lebih baik, dan akan
berakhir pada basisitas 50 – 66%, semakin tinggi persentase krom yang masuk ke
dalam kulit yang akan disamak maka semakin signifikan sifat fisik kulit yang
akan dihasilkan (Krishnaraj 2010). Jenis bahan penyamak nabati serta konsentrasi
yang digunakan pada proses penyamakan kombinasi ini diharapkan mampu
menghasilkan mutu kulit samak yang terbaik.

Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh jenis bahan penyamak nabati yang digunakan dan
perbedaan konsetrasinya serta interaksi keduanya terhadap respon
peningkatan ketebalan, suhu kerut, kuat tarik, kuat sobek, perpanjangan putus
serta sifat organoleptik yang dihasilkan?
2. Perlakuan manakah yang memberikan mutu kulit terbaik dari respon tersebut?
3. Bagaimanakah sifat kulit hasil penyamakan pada kondisi perlakuan terbaik?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh jenis dan
konsentrasi bahan penyamak nabati terhadap sifat fisik dan organoleptik kulit ikan
tuna pada proses penyamakan kombinasi kulit ikan tuna, menentukan jenis bahan
dan konsentrasi penyamak nabati yang terbaik untuk penyamakan kulit ikan tuna,
menentukan sifat-sifat kulit samak ikan tuna yang dihasilkan, dan menghitung
nilai tambah kulit ikan tuna hasil samak kombinasi.

3

Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan bermanfaat sebagai penentu kondisi terbaik dari
proses tanning dengan pemilihan bahan penyamak nabati dan konsentrasi yang
terpilih dari produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, kondisi proses terpilih
dalam tahap tanning dapat dijadikan sebagai acuan dalam menyesuaikan antara
tingkat kesempurnaan proses tanning dengan mutu produk yang ingin dicapai.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada penyamakan kulit ikan yang merupakan
limbah kulit ikan tuna yang dihasilkan oleh PT Kelola Mina Laut, Gresik, Jawa
Timur dengan jenis spesies Thunnus albacore (tuna sirip kuning). Kulit yang
diambil adalah kulit bagian perut hingga punggung yang memiliki ketebalan ratarata seragam. Proses yang dilakukan adalah penyamakan kombinasi menggunakan
penyamak krom dan dilanjutkan dengan bahan penyamak nabati. Bahan
penyamak yang digunakan adalah mimosa, gambir dan quebracho dengan
konsentrasi masing-masing 10%, 15%, dan 20%. Hasil percobaan kemudian
dianalisis sifat-sifat fisiknya meliputi ketebalan, suhu kerut, kuat sobek, kuat tarik,
perpanjangan putus, serta uji organoleptik.

TINJAUAN PUSTAKA
Kulit
Kulit merupakan lapisan terluar dari struktur tubuh makhluk hidup yang
berfungsi sebagai pelindung dari pengaruh-pengaruh luar, seperti panas, perlakuan
mekanis, kimiawi, serta merupakan alat penghantar suhu (Suardana et al. 2008).
Secara histologis, kulit dapat dibagi atas tiga lapisan yaitu lapisan epidermis,
lapisan corium atau cutis, dan lapisan subcutis, seperti dapat dilihat pada Gambar
1. Lapisan epidermis adalah lapisan paling luar dari kulit, yang berfungsi sebagai
penghalang antara binatang dengan lingkungannya (Covington 2009). Histologis
lapisan ini masih dibagi atas empat lapisan yang prinsipnya berangsur-angsur dari
sel-sel yang paling aktif dalam metabolisme sampai pada sel tanduk yang keras.
Lapisan epidermis pada kulit selalu ditutupi oleh lendir yang dihasilkan oleh selsel tubuhnya.

4

Gambar 1. Struktur histologi kulit secara umum (Said 2000)
Lapisan corium atau cutis adalah bagian pokok tenunan kulit yang dapat
diubah menjadi kulit samak. Corium sebagian besar tersusun atas serat-serat
tenunan pengikat. Dalam derma terdapat tiga tipe tenunan pengikat yaitu tenunan
kolagen, elastin, dan reticular. Lapisan subcutis adalah tenunan pengikat longgar
yang menghubungkan corium dengan bagian-bagian lain dari tubuh. Pada
penyamakan kulit lapisan ini harus dipisahkan dari corium (Said 2012).
Kulit sebagian besar tersusun atas jaringan protein yang mudah rusak
apabila berada dalam kondisi segar. Protein penyusun kulit sebagian besar
tersusun oleh jaringan ikat terutama kolagen, elastin, dan retikulum. Kolagen
merupakan jaringan ikat terbanyak, kemudian retikulum dan yang paling sedikit
adalah elastin (Mustakim et al. 2006). Jaringan ikat terutama kolagen jika bereaksi
dengan bahan penyamak akan mengubah sifat fisik kulit lebih tahan terhadap
pengaruh lingkungan maupun mikroorganisme.
Kulit memiliki dua buah gugus fungsi bermuatan yang berbeda jenis, yakni
karboksilat (COO-) dan amino (NH3+). Kedua gugus fungsi tersebut akan aktif
pada kondisi lingkungan berbeda. Gugus fungsi karboksilat akan aktif dalam
suasana asam, sedangkan gugus fungsi amino aktif dalam suasana basa.
Perbedaan ini harus disesuaikan dengan jenis bahan penyamak yang digunakan.
Proses pengikatan tanning agent terhadap gugus fungsi tidak akan terjadi dalam
muatan tidak sesuai, sehingga proses penyamakan tidak akan berlangsung
(Covington 2009).

Kulit Ikan Tuna
Kulit hewan pada umumnya mempunyai sifat-sifat alami yang sangat
bervariasi. Faktor yang menyebabkan adanya variasi diantaranya adalah faktor
umur, keturunan, lingkungan hidup, dan faktor pemeliharaan. Sifat kulit pada
daerah satu dan lainnya pun berbeda, misalnya tebal kulit hewan pada umumya
dibagi atas beberapa daerah yaitu krupon, kepala dan leher, ekor dan perut, serta
kaki. Kulit ikan khususnya kulit ikan tuna tidak terdapat pembagian daerah yang
jelas, tebal kulit dari bagian depan kearah ekor menipis, demikian juga secara
lateral dari daerah tulang punggung ke arah perut. Kepadatan jaringan serat

5

kolagen pun tidak sama pada daerah satu dan lainnya (Alfindo 2009). Dilihat dari
segi warna kulit ikan tuna memiliki warna yang gelap dan semakin memudar
warnanya ke arah perut, kulit ikan tuna juga memiliki sisik yang halus.
Kulit ikan secara kimiawi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
konstituen non protein dan konstituen protein. Konstituen non protein yang
penting adalah lipid, karbohidrat, mineral, enzim dan vitamin. Kandungan dari
kulit ikan sendiri yaitu air 70%, protein 27%, abu 2%, dan lemak 1%. Senyawa
organik terdiri dari 40-90% pada sisik ikan dan selebihnya merupakan kolagen
(Nagai et al. 2004).

Penyamakan
Penyamakan adalah proses memodifikasi struktur kolagen, komponen
utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau
bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit
tersebut, sehingga kulit menjadi tahan terhadap gangguan mikroorganisme
(Suparno et al. 2005). Pada proses penyamakan kulit, serabut kolagen yang satu
dengan yang lain membentuk berkas serabut, berkas serabut dapat membentuk
cabang. Cabang berkas serabut yang satu dengan yang lainnya saling membentuk
anyaman dan terbentuk sudut jalinan (wave angle). Gambaran model rantai ikatan
silang pada protein kolagen secara lengkap disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Model rantai ikatan silang intramolekuler dan intermolekuler
pada protein kolagen (Anonim, 1995)
Dalam praktiknya, penyamakan dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap
prapenyamakan, penyamakan, dan pasca penyamakan. Setiap tahapan proses
tersebut terdiri atas bagian-bagian proses yang saling terkait satu sama lain.
Prapenyamakan terdiri atas proses washing, liming, fleshing, deliming, bating, dan
pickling. Kegagalan salah satu tahapan proses akan menyebabkan kegagalan
proses yang lain, sehingga mutu produk akhir proses penyamakan tersebut juga
akan menyimpang (Purnomo 2002).

6

Penyamakan Krom
Penyamakan terbagi atas beberapa jenis, yaitu penyamakan mineral,
penyamakan nabati, penyamakan sintetik, serta penyamakan kombinasi.
Penyamakan mineral menggunakan garam-garam yang berasal dari logam-logam
alumunium, zirkonium, besi, kobalt, dan yang terpenting adalah kromium.
Keuntungan yang didapat dari penyamakan yang menggunakan jenis mineral
garam krom adalah menghasilkan penyamakan yang lebih cepat, murah, serta
mudah dilakukan pewarnaan dalam proses akhirnya dengan berbagai warna, kulit
yang dihasilkan juga memiliki sifat fisik yang baik, yaitu derajat stabilitas dan
suhu kerut yang tinggi (Karthikeyan 2007).
Zat penyamak krom dalam bentuk kromium sulfat basa (Cr(SO4OH)
berkaitan dengan kolagen kulit dan membentuk ikatan silang seperti ditunjukkan
pada Gambar 3.

1.
2.
3.

Keterangan :
Reaksi antara zat penyamak dengan gugus karboksil dan protein
Sulfat yang terikat oleh krom digantikan oleh ion OH- yang ditambahkan
untuk meningkatkan daya fiksasi
Selama pengeringan terjadi penyempurnaan ikatan sehingga ikatan menjadi
stabil dengan pengeluaran ion OH-

Gambar 3. Ikatan antara zat penyamak krom dengan kolagen (Thorstensen 1993)

7

Thorstensen (1993) dalam Prihandoko (2009) menyatakan bahwa terdapat
tiga reaksi dalam proses penyamakan mineral, yaitu :
1.
Pelarutan garam krom (Cr2(SO4)3) ke dalam air, sehingga membentuk
senyawa lain yaitu Cr(SO4OH). Reaksinya sebagai berikut :
Cr2(SO4)3 + 2H2O
2.

Untuk meningkatkan daya fiksasi, perlu ditambahkan sodium format,
sehingga terjadi pergantian antara sulfat yang terikat dalam garam krom
oleh OH- (hidroksi) dengan reaksi sebagai berikut :
Cr2(SO4)3 + 3Na2CO3 + H2O

3.

2Cr(SO4OH) + 2H2SO4

2Cr(OH3) + 3Na2SO4 + CO2

Kation kromium bereaksi dengan anion gugus karboksil dari asam amino
protein.
Ikatan molekul air (H2O) dengan atom krom (Cr) terjadi karena atom
oksigen (O) dalam molekul H2O yang menyumbang dua elektron (e) untuk
digunakan bersama antara grup aquo dan atom Cr. Maka Oksigen (O) dalam H2O
menjadi bersifat positif dengan proses koordinasi. Muatan ini menyebabkan
proton dibebaskan dari molekul H2O. Dengan terbentuk grup hidroksil ke dalam
kompleks krom karena pembebasan sebuah proton (protolysis), maka terbentuklah
senyawa hidroksil (Prihandoko 2009).
Pada penyamakan krom pengaturan pH sangatlah penting. Semakin banyak
asam dalam kompleks maka akan terjadi proses masking yang menyebabkan
reaktivitas garam krom kompleks menjadi berkurang, berkurangnya reaktivitas
garam krom kompleks menyebabkan zat penyamak dapat meresap ke dalam
jaringan kulit sehingga penyamakan tidak hanya terjadi di permukaan kulit saja
tetapi dapat tersamak hingga ke dalam bagian kulit. Jumlah asam yang digunakan
pada proses penyamakan kulit harus tepat, karena apabila jumlah asam terlalu
banyak maka akan terjadi rapid tanning yang memungkinkan garam krom
bereaksi dengan permukaan kulit secara cepat sehingga menutup penetrasi krom
ke dalam jaringan kulit begitu pula apabila asam yang digunakan terlalu sedikit
maka garam krom tidak akan sampai ke dalam jaringan kulit (Gumilar 2010).
Pada penyamakan krom digunakan Chromosal-B sebagai bahan penyamak
krom. Reaksi garam-garam krom dengan grup karboksilat dari protein kulit
(kolagen) menjadikan kulit tersebut memiliki stabilitas hidrotermal tinggi, yaitu
memiliki suhu kerut (Ts) lebih tinggi daripada 100oC, dan tahan terhadap
mikroorganisme (Suparno 2005). Setelah penyamakan krom, kulit hewan yang
telah disamak disebut wet blue atau blue crust (Covington 1997). Kulit wet blue
merupakan produk setengah jadi, dan proses lebih lanjut dari kulit wet blue dapat
menghasilkan kulit lapis, kulit jaket, pakaian, kulit sarung tangan, dan lain lain.

8

Penyamakan Nabati
Penyamak nabati (condensed vegetable tannages) seperti mimosa, gambir,
dan quebracho yang juga digunakan pada penelitian ini merupakan bahan
penyamak non mineral yang dihasilkan dari sumberdaya alam terbarukan dan
bersifat ramah lingkungan (Suparno 2005). Penyamakan nabati mulai digunakan
dan berkembang seiring dengan isu bahwa penyamakan mineral yang umum
dilakukan berkontribusi terhadap masalah pencemaran, khususnya di negaranegara berkembang.
Penyamak nabati adalah polifenol dengan bobot molekul antara 500-3000.
Diantara bahan yang dianggap penting secara komersial sebagai sumber tanin
antara lain batang, kayu, ranting, daun, buah, dan akar (Escuer 2012). Mimosa
dihasilkan dari kayu dan kulit kayu Acacia mangium Willd; gambir berasal dari
daun dan ranting pohon Uncaria gambir, dan quebracho berasal dari kayu
Schinopsis lorentzii dan S. balansea. Tanin yang terkandung dalam penyamak
nabati diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tanin terkondensasi dan tanin
terhidrolisis (Gutterres 2007). Tanin yang terkandung mempunyai sifat
diantaranya adalah kemampuannya untuk berikatan dan mengendapkan protein
sehingga terbentuk suatu senyawa kompleks yang tidak larut. Sifat ini sangat
berguna bagi industri penyamakan kulit karena reaksi antara protein dengan tanin
ini merupakan reaksi utama dalam penyamakan kulit.
Terdapat dua gugus yang paling penting di dalam kolagen kulit hewan
yang berperan dalam proses penyamakan kulit yaitu –NH2 dan COOH. Pada
keadaan isoelektrik gugus tersebut berubah menjadi –NH3+ dan COO-, hal tersebut
ditunjukkan pada Gambar 4. Gugus amina (NH3+) inilah yang akan berikatan
dengan tanin yang terdapat dalam penyamak.

Gambar 4. Perubahan gugus amina dan karboksil pada kondisi isoelektrik
(Radiman, 1990)
Reaksi antara tanin dengan protein yang terdapat pada kulit mentah terdiri
atas beberapa fase yaitu :
1. Pada fase pertama dari penyamakan terjadi reaksi antara –NH3+ dari kulit
mentah dan anion zat penyamak oleh ionisasi zat penyamak.
L – OH
NH3+ + LO-

H+ + LO-NH3OL

dengan L adalah gugus zat penyamak.
Tidak seluruh –NH3+ dari kolagen kulit mentah dapat bereaksi dengan tanin,
tetapi masih ada yang terikat dengan anion dari kolagen –COO-. Agar seluruh
–NH3+ dapat bereaksi, pH lingkungan harus diatur yaitu berkisar antara pH 1-2,
dengan cara melakukan pemikelan saat prapenyamakan.

9

2. Pada fase kedua terjadi pengikatan semipolar

3. Pada fase ketiga terjadi reaksi fisik yaitu adsorpsi tanin yang terkandung
dalam zat penyamak nabati yang digunakan oleh serat-serat kulit. Tanin
yang mempunyai besar molekul pada kisaran tertentu mempunyai daya
adsorpsi yang besar.
Kandungan yang dimiliki dari jenis bahan penyamak nabati yang berbeda
memiliki nilai yang berbeda pula, mimosa memiliki kadar tanin sebesar 57%,
quebracho 55% dan yang terendah gambir sebesar 54% (Suparno 2005).
Penyamakan nabati menghasilkan kulit samak yang berisi dan mudah dibentuk
serta mempunyai kemampuan menyerap air yang baik. Selain itu kulit hasil
penyamakan nabati memiliki tekstur yang lebih halus dan lembut dilihat dari
tekstur, tetapi kekurangannya ketahanan fisik terhadap panas yang dimiliki kurang
baik dibandingkan dengan penyamakan krom. Untuk melengkapi sifat kulit yang
akan dihasilkan dilakukanlah penyamakan kombinasi antara penyamakan krom
dan penyamakan nabati.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama delapan bulan sejak April - Desember 2013.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyamakan Kulit, Laboratorium
Bioindustri Departemen Teknologi Industri Pertanian; Laboratorium Rekayasa
Desain Bangunan Kayu Departemen Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian
Bogor.

Bahan
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit ikan
tuna yang berasal dari spesies Thunnus albacore (tuna sirip kuning) dari PT
Kelola Mina Laut, Gresik, Jawa Timur. Bahan baku ini disimpan dan diawetkan
dengan menggunakan garam dan disimpan dalam kondisi beku. Bahan yang
digunakan pada proses penyamakan adalah aquades, krom dengan basisitas 33%,
bahan penyamak nabati (mimosa, gambir, dan quebracho), natrium klorida, asam

10

sulfat, asam formiat, natrium bikarbonat, sertan ND (dispersing agent), minyak
ikan, dan minyak sintetik untuk proses fatliquoring. Bahan-bahan penelitian dapat
dilihat pada Lampiran 1.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah molen (drum putar),
shaker, jar, pH meter, pisau, talenan, erlenmeyer 250 mL, labu ukur 100 mL, pipet
volumetrik, termometer, thickness gauge, baumeter, kompor listrik, toggle dryer,
utility tensile machine (Instron), pengukur suhu kerut dan alat uji tarik dengan
merk “Zwick/Roell”. Foto alat-alat yang digunakan dalam proses dapat dilihat
pada Lampiran 2.
Prosedur Penelitian
Penelitian Pendahuluan
Tahapan yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah pengukuran
kadar tanin dari tiga bahan penyamak nabati yang digunakan, yakni mimosa,
gambir, dan quebracho. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melihat
besaran nilai tanin yang terkandung pada bahan-bahan penyamak nabati tersebut.
Metode analisis kadar tanin yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3.
Sebelum masuk ke dalam proses penyamakan dilakukan terlebih dahulu tahap
prapenyamakan yang di dalamnya meliputi liming, deliming, bating, dan pickling.
Penelitian Utama
a. Penyamakan Krom
Kulit pikel dipotong dengan ukuran 7 × 7 cm2. Hasil dari pemotongan
tersebut kemudian diukur ketebalannya di lima titik berbeda dengan menggunakan
alat thickness gauge. Kulit pikel kemudian dicuci, ditambahkan air 70% dan NaCl
6% dengan mengukur derajat baume (6-10 ºBѐ), dan dilakukan pengaturan pH.
Hal tersebut dilakukan karena untuk penyamakan krom dibutuhkan pH maksimal
3. Pada tahap berikutnya proses penyamakan dimasukkan asam sulfat dengan
konsentrasi 0.2% dan asam formiat dengan konsentrasi 0.1% yang telah
diencerkan dengan aquades dengan perbandingan 1:10, kemudian ditambahkan
bahan penyamak krom basisitas 33% dengan konsentrasi sebesar 8% lalu diputar
menggunakan shaker selama 1 jam. Terakhir ditambah dengan 0.25% natrium
bikarbonat yang telah dilakukan pengenceran 1:5 yang dimasukkan secara
bertahap setiap 30 menit sekali dan dijalankan selama 120 menit hingga pH
mencapai 3.2 - 3.8. Proses penyamakan krom secara lebih jelas tersaji pada Tabel
1. Larutan sisa penyamakan krom yang telah selesai dilakukan kemudian
dikeluarkan dari jar dan kulit didiamkan selama semalam. Setelah itu, kulit
dilanjutkan dengan penyamakan lanjutan dengan menggunakan bahan penyamak
nabati.

11

Tabel 1. Prosedur penyamakan krom (Suparno 2005)
Proses

Bahan
Kimia

Penyamakan Natrium
Klorida
Air

Basifikasi

Jumlah
(%)

Temperatur Waktu
(oC)
(menit)

6
70

20

Keterangan

15

Diukur
densitas
(derajat
baume) dan
pH
Diencerkan
dengan air
1:10

Asam
Sulfat
Asam
Formiat

0.2
0.1

25

120

Cr2O3

8

25

60

33%
basisitas

Natrium
Bikarbonat

0.25

30

30

Diencerkan
dengan air
1:5
Dilakukan
pengulangan
setiap
30
menit
hingga pH
3.2 – 3.8,
selama 120
menit

Drain
Hang
to
drain (horse
overnight)

b. Penyamakan Nabati
Kulit hasil proses penyamakan krom dilanjutkan dengan penyamakan
nabati. Penyamak nabati yang digunakan adalah mimosa, gambir, dan quebracho
dengan konsentrasi masing-masing yang digunakan 10%, 15%, dan 20%. Kulit
hasil penyamakan krom yang telah dicuci dengan air 200% kemudian
ditambahkan sertan ND (dispersing agent) 2% untuk kemudian dimasukkan
bahan penyamak nabati diputar selama 120 menit. Proses selanjutnya dilakukan
fiksasi dengan ditambahkan asam formiat 0.25% dan dilakukan pengecekan pH
3.5 dan kemudian larutan di-drain. Pada tahap akhir dilakukan tahap peminyakan
(fatliquoring) yang berfungsi untuk menghasilkan kulit dengan tekstur yang lebih
lembut, dengan menambahkan air 150% dengan suhu 40oC yang dilakukan selama
10 menit, selanjutnya ditambahkan bahan fatliquor berupa minyak ikan dan

12

minyak sintetik (fatliquoring agent) masing masing sebanyak 3% kemudian
diputar selama 90 menit. Fiksasi kemudian dilakukan selama 2 × 20 menit hingga
mencapai pH 3.6 – 3.8. Selanjutnya ditambahkan air 300% untuk mencuci kulit
dari sisa bahan penyamak selama 10 menit. Setelah dicuci, kulit kemudian
dibentangkan selama semalam dan dikeringkan selama 1-2 hari pada toggle dryer.
Proses penyamakan nabati secara lebih jelas tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Prosedur penyamakan nabati (Suparno 2008)
Proses
Bahan
Jumlah
Durasi
kimia
Depickling
(Pengaturan
pH)

Penyamakan

Fiksasi

Air

200 %

Garam
(NaCl)

10 %

20 menit

Diukur derajat
baume
(6-10
ºBѐ)

Natrium
Bikarbonat

0.75%

3 × 15 menit

Diencerkan
dengan air 10
kali
Dicek pH (4.5)

30 menit

Dicek pH (4.5)

Sertan ND 2 %
(Dispersing
Agent)
Penyamak
Nabati

10%,
20%

Asam
Formiat

0.25 %

15%, 120 menit
3 × 10 menit Diencerkan
+ 60 menit
dengan air 3
kali
Diukur pH (3.5)

Drain
Pencucian

Keterangan

Cairan
dikeluarkan
air

300 %

10 menit

Drain

Dicek pH (3.5)
Cairan
dikeluarkan

Horse up

Semalam

Kulit
disampirkan

Pengeringan

1-2 hari

Kulit
dibentangkan
pada
toggle
dryer

13

Prosedur Pengujian
Respon yang diamati pada penelitian ini meliputi perubahan ketebalan, suhu
kerut, kuat sobek, kuat tarik, perpanjangan putus (elongasi), serta sifat
organoleptik (warna dan tekstur). Kuat tarik dan perpanjangan putus diuji dengan
prosedur SLP 6, suhu kerut (Ts) dengan prosedur SLP 18, ketebalan dengan
prosedur SLP 4, kuat sobek dengan prosedur SLP 7 dan sifat organoleptik kulit
berupa warna dan feel/handle yang diuji oleh panelis. Prosedur pengujian terhadap
sifat fisik kulit dapat dilihat pada Lampiran 4.

Prosedur Perhitungan Nilai Tambah
Analisis nilai tambah kulit hasil samak kombinasi ditentukan melalui
metode Hayami (1987) dengan prosedur yang terlihat pada Tabel 3. Informasi
yang dihasilkan melalui metode Hayami berupa : (a) nilai tambah (Rp), (b) rasio
nilai tambah (%) yang menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk, (c)
balas jasa tenaga kerja (Rp) yang menunjukkan besarnya upah uang yang diterima
oleh tenaga kerja langsung, (d) bagian tenaga kerja (%) yang menunjukkan
persentase imbalan tenaga kerja dari nilai tambah, (e) keuntungan (Rp) yang
menunjukkan bagian yang diterima pengusaha dan (f) tingkat keuntungan (%)
yang menunjukkan persentase nilai tambah. Prosedur perhitungan nilai tambah
tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Prosedur perhitungan nilai tambah (Hayami 1987)
Keluaran (output) Masukan (input) dan Harga
1 Output/produk total (ft2/produksi)
A
2
2 Input bahan baku (ft /produksi)
B
3 Input tenaga kerja (HOK)
C
4 Faktor konversi
D = A/B
5 Koefisien tenaga kerja
E = C/B
2
6 Harga output (Rp/ ft )
F
7 Upah tenaga kerja (Rp/HOK)
G
Penerimaan dan keuntungan
8 Harga input bahan baku (Rp/ ft2)
H
2
9 Sumbangan input lain (Rp/ ft )
I
10 Nilai output (Rp/ ft2)
J=DXF
2
11 Nilai tambah (Rp/ ft )
K=J-H-I
Rasio nilai tambah (%)
I% = K/J X100%
2
12 Pendapatan tenaga kerja (Rp/ ft )
M=EXG
Pangsa tenaga kerja (%)
N% = M/K X 100%
13 Keuntungan (Rp/ ft2)
O=K-M
Tingkat keuntungan (%)
P% = O/J X 100%

14

Prosedur Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan untuk analisis data hasil
penyamakan kombinasi kulit tuna adalah rancangan percobaan faktorial acak
lengkap dengan dua kali ulangan. Faktor yang diteliti terdiri atas dua faktor
yang masing-masing faktor terdiri atas tiga taraf, yaitu (A) jenis bahan
penyamak nabati (mimosa, gambir, dan quebracho) dan (B) konsentrasi yang
digunakan (10%, 15%, dan 20%). Model linear aditif dari rancangan percobaan
faktorial acak lengkap dapat dirumuskan sebagai berikut :
Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + εijk
dengan:
Yijk
peubah yang diukur
µ
nilai rata-rata yang sebenarnya
Ai
jenis bahan penyamakan nabati (mimosa, gambir, quebracho)
Bj
konsentrasi bahan penyamak (10%, 15%, dan 20%)
ABij pengaruh keterkaitan antara faktor A dan faktor B
Εijk
kesalahan karena anggota ke-k dari faktor ke-i dan faktor ke-j
Selanjutnya, data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah menggunakan
analisis ragam dengan menggunakan program statistika SPSS versi 17.00 dengan
perhitungan mengacu pada rancangan percobaan yang digunakan. Jika hasilnya
berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Uji tersebut
bertujuan untuk melihat perbedaan pengaruh tiap faktor maupun kombinasi
antarfaktor.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Bahan Baku
Karakterisasi bahan baku penyamak nabati dilakukan untuk mengetahui
kandungan kadar tanin yang terdapat dalam bahan penyamak tesebut. Kadar tanin
merupakan parameter yang penting. Nilai kadar tanin yang dihasilkan dari
pengukuran yang telah dilakukan adalah mimosa memiliki kadar tanin sebesar
25.26%, quebracho 22.98%, dan gambir 17.24%. Kadar-kadar tersebut lebih
rendah dibandingkan dengan literatur yaitu mimosa memiliki kadar tanin sebesar
57%, quebracho 55% dan yang terendah gambir sebesar 54% (Suparno 2005).
Kadar tanin yang rendah dapat disebabkan bahan penyamak nabati yang
digunakan bukanlah bahan penyamak murni hasil ekstrasi langsung dari tanaman
asalnya. Kadar dan sifat tanin berbeda-beda pada setiap jenis tanaman bergantung
pada jenis dan umur tanaman, serta tempat tumbuhnya (Syafii 2000).
Nilai kadar tanin yang telah diperoleh untuk melihat pengaruh beda
nyatanya dilakukan analisis uji T. Dari hasil analisis yang dilakukan dapat

15

diketahui bahwa untuk pasangan variabel bahan penyamak gambir dan quebracho
tidak berbeda nyata, begitu pula dengan pasangan variabel gambir dan mimosa.
Tetapi untuk pasangan variabel quebracho dan mimosa nilai T yang diperoleh
berada dalam rentang T tabel sehingga dapat dikatakan berbeda nyata. Nilai kadar
tanin dan analisis uji T dapat dilihat pada Lampiran 5.
Persiapan bahan baku juga dilakukan pada kulit tuna pikel yang akan
dilakukan penyamakan. Sebelum masuk penelitian utama, terlebih dahulu
dilakukan tahap prapenyamakan yang di dalamnya meliputi liming, deliming,
bating, dan pickling. Setelah proses pemikelan dihitung ketebalan dan suhu kerut
untuk melihat peningkatannya setelah dilakukan proses penyamakan. Hasil yang
diperoleh adalah ketebalan kulit pikel sebesar 0.88 mm dengan suhu kerut 53oC.
Kulit yang telah dipikel kemudian dilakukan penyamakan menggunakan bahan
penyamak krom dan dihitung kembali peningkatan ketebalan dan suhu kerutnya.
Ketebalan kulit yang telah disamak krom meningkat menjadi 0.92 mm, dan suhu
kerutnya menjadi 95oC. Hasil tersebut menunjukkan bahwa setiap tahapan proses
yang dilakukan memberikan pengaruh terhadap pengaruh fisik kulit yang
dihasilkan, yaitu peningkatan ketebalan dan suhu kerut.
Ketebalan Kulit
Proses penyamakan akan memengaruhi karakteristik kulit. Kulit yang
setelah dilakukan proses penyamakan akan sangat berbeda dengan kulit mentah
dari segi organoleptik, fisik, dan kimia. Perbedaan yang sangat terlihat adalah
ketebalannya. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya ikatan kimia antara bahan
penyamak dengan kulit pada proses penyamakan.
Berdasarkan analisis ragam (anova), nilai signifikansi untuk faktor bahan
sebesar 0.024 (< 0.05), sehingga efek faktor bahan berpengaruh secara signifikan
terhadap ketebalan. Data ini digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengujian
lanjutan untuk mengetahui interaksi terbaik dari faktor bahan penyamak yang
digunakan. Nilai signifikansi untuk faktor konsentrasi sebesar 0.088 (> 0.05),
sehingga efek faktor konsentrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
ketebalan. Selain itu interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi juga
memberikan signifikansi sebesar 0.335 (> 0.05), sehingga interaksi antara faktor
bahan dan konsentrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketebalan.
Faktor konsentrasi dan interaksi antara bahan dan konsentrasi yang digunakan
yang dihasilkan pada kesimpulan anova tidak ada pengaruh yang nyata, maka uji
lanjut duncan tidak berlaku.
Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat perbedaan dari faktor yang
berpengaruh nyata pada uji sebelumnya. Uji tersebut menunjukkan bahwa jenis
bahan mimosa dan gambir secara signifikan masuk ke dalam subset yang berbeda
(mimosa masuk ke dalam subset 1 dan gambir ke dalam subset 2). Hal tersebut
berarti kedua bahan tersebut memberi efek yang berbeda nyata terhadap
ketebalan. Tabel anova dan uji lanjut Duncan dari respon ketebalan kulit dapat
dilihat pada Lampiran 6.
Jenis bahan penyamak mimosa dan gambir memberikan efek yang berbeda
nyata, peningkatan ketebalan pada kulit yang telah disamak dengan kulit pikel
perbedaan yang terlihat cukup besar. Berdasarkan penelitian ini, jenis bahan
penyamak nabati gambir memiliki pengaruh yang paling baik diantara yang

16

lainnya. Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi yang
digunakan terhadap peningkatan ketebalan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Hubungan antara jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi
terhadap peningkatan ketebalan kulit samak ikan tuna
Jenis bahan penyamak gambir mengalami peningkatan yang berbeda nyata
dari konsentrasi 10 – 20%, dan pada konsentrasi tertinggi persentase pertambahan
ketebalan mencapai 30.55% dari kulit pikel 0.9 mm meningkat menjadi 1.2 mm
setelah dilakukan penyamakan. Apabila dibandingkan dengan kulit kambing yang
disamak menggunakan penyamak kombinasi krom dan nabati, kulit samak
tersebut sudah sesuai karena persyaratan rata rata ketebalan kulit adalah 0.7 – 1.2
mm dengan toleransi 5% (BSN 1989).
Gambir memiliki bobot molekul yang paling rendah di antara bahan
penyamak lain yang digunakan yaitu 520, sedangkan bobot molekul mimosa
adalah 1600-1700 dan quebracho 2400. Pada suasana basa, bahan penyamak
nabati yang tergolong ke dalam tanin terkondensasi, akan terdispersi, menjadi
mudah teroksidasi, dan membentuk warna merah (Thorstensen 1993). Tanin
tersebut akan terpenetrasi ke dalam kolagen kulit. Kecepatan absorbsi partikel
berbanding lurus dengan cairan atau pelarutnya dengan besar kecilnya partikel,
semakin kecil partikel akan semakin mudah larut (Joenoes 2002). Gambir bereaksi
sangat cepat dalam menyamak kulit mentah dengan mengisi gugus protein yang
bebas sehinga peningkatan ketebalannya lebih tinggi dibandingkan dengan
penyamak nabati lainnya. Bahan penyamak gambir menghasilkan hasil kulit
samak yang lebih lembut dan feel/handle yang lebih tipis. Berbeda dengan kulit
yang disamak menggunakan gambir, kulit yang dihasilkan dari penyamakan yang
menggunakan jenis bahan penyamak mimosa dan quebracho memiliki
karakterstik kulit yang lebih kaku.
Suhu Kerut
Kulit ketika dipanaskan akan mengalami pengerutan seiring dengan
berjalannya waktu. Suhu kerut (Ts) merupakan suhu pada saat kulit mengalami

17

pengerutan paling besar akibat pengaruh panas atau pada saat kulit mengerut 0,3%
dari panjang awalnya (SLTC 1996).
Berdasarkan analisis ragam (anova), nilai signifikansi untuk faktor bahan
penyamak nabati sebesar 0.004 (< 0.05), sehingga faktor bahan berpengaruh
secara signifikan terhadap suhu kerut. Nilai signifikansi untuk faktor konsentrasi
sebesar 0.014 (< 0.05), sehingga faktor konsentrasi berpengaruh secara signifikan
terhadap suhu kerut. Interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi memberikan
signifikansi sebesar 0.332 (> 0.05), sehingga interaksi antara faktor bahan dan
konsentrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap suhu kerut. Tabel anova
dan uji lanjut Duncan dari respon suhu kerut dapat dilihat pada Lampiran 7.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bahan penyamak quebracho
memberi efek yang paling berbeda nyata terhadap suhu kerut. Dilihat dari
konsentrasinya, berdasarkan uji lanjut Duncan, nilai konsentrasi 10% dan 20%
pada jenis bahan penyamak nabati quebracho tersebut memberikan efek yang
berbeda nyata terhadap suhu kerut.
Hasil pengujian suhu kerut menunjukkan nilai suhu kerut untuk kulit yang
disamak menggunakan bahan penyamak quebracho pada konsentrasi 20%
memiliki nilai tertinggi yaitu 92oC terlihat sekali peningkatannya seiring
penambahan konsentrasi, yaitu pada konsentrasi 10% yang hanya 90.30oC. Hal
tersebut menunjukkan suhu kerut akan meningkat seiring dengan semakin
banyaknya konsentrasi bahan penyamak yang ditambahkan.
Kulit yang disamak dengan menggunakan penyamak krom akan
menghasilkan kulit dengan suhu kerut tinggi. Hasil penelitian pendahuluan
menunjukkan bahwa nilai suhu kerut penyamakan krom adalah 95oC. Nilai suhu
kerut yang dimiliki oleh kulit yang disamak krom lebih besar dibandingkan
dengan bahan penyamak lainnya, karena penyamak krom memiliki elektron
valensi sebanyak 3+ yang dapat berikatan dengan COO- pada kolagen kulit.
Menurut Thorstensen (1993) reaksi antara penyamak krom dan kolagen kulit akan
meningkatkan stabilitas kulit dengan adanya ikatan silang yang terjadi, sehingga
struktur kulit yang awalnya terpisah menjadi bergabung bersama menjadi struktur
yang lebih kuat.
Setelah disamak kembali dengan menggunakan bahan penyamak nabati,
nilainya justru menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya efek
penyamakan akibat dari proses pencucian menggunakan soaking agent. Selain itu,
pada proses akhir tahapan fatliquoring minyak yang terdifusi dan mengisi rongga
di dalam jaringan serat kulit yang menyebabkan struktur serat kulit saling
berjauhan juga dapat menyebabkan nilai suhu kerut berkurang (Covington 2009).
Hubungan antara nilai suhu kerut dengan konsentrasi dari beberapa bahan
penyamak nabati ditunjukkan pada Gambar 6.

18

Gambar 6. Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap
nilai suhu kerut kulit samak ikan tuna
Kuat Sobek
Kuat sobek adalah besarnya gaya maksimal yang diperlukan untuk
menyobek kulit hingga sobek yang dinyatakan dalam N/mm. Nilai kuat sobek
kulit akan berbeda apabila tebal kulitnya berbeda; semakin tebal kulit samak yang
dihasilkan, maka nilai kekuatan sobek yang dihasilkan akan semakin kecil dan
sebaliknya semakin tipis kulit samak maka nilai kekuatan sobeknya akan semakin
besar. Kulit yang tipis mempunyai serat kolagen yang longgar sehingga
mempunyai daya sobek yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kulit yang
lebih tebal. Perbedaan ketebalan kulit yang diukur setelah kulit dikondisikan
mempunyai korelasi yang positif dengan kekuatan sobek kulit (Manich et al.
1999).
Berdasarkan analisis ragam (anova), nilai signifikansi untuk faktor bahan
sebesar 0.000 (< 0.05), sehingga efek faktor bahan penyamak yang digunakan
berpengaruh secara signifikan terhadap kuat sobek. Nilai signifikansi untuk faktor
konsentrasi sebesar 0.001 (< 0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa efek faktor
konsentrasi berpengaruh secara signifikan terhadap kuat sobek. Selain itu,
interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi juga memberikan signifikansi
sebesar 0.031 (< 0.05), sehingga interaksi antara faktor bahan dan konsentrasi
berpengaruh secara signifikan terhadap kuat sobek. Tabel anova dan uji lanjut
Duncan dari respon kuat sobek dapat dilihat pada Lampiran 8.
Dari hasil analisis uji lanjut Duncan dapat terlihat bahwa dari bahan
penyamak dilihat bahwa jenis bahan mimosa secara signifikan masuk ke dalam
subset yang berbeda (mimosa masuk ke dalam subset 1, sedangkan quebracho dan
gambir ke dalam subset 2). Hal tersebut berarti bahan mimosa tersebut memberi
efek yang signifikan terhadap kuat sobek.

19

Nilai kadar tanin pada mimosa yang lebih rendah dibandingkan jenis
penyamak lainnya memberikan pengaruh nyata yang negatif terhadap kuat sobek
pada kulit samak. Hal tersebut disebabkan ketebalan kulit samak yang
menggunakan bahan penyamak mimosa memiliki persentase peningkatan
ketebalan yang paling rendah dibandingkan dengan bahan penyamak gambir dan
quebracho. Febianti (2011) menyebutkan bahwa nilai kuat sobek yang dihasilkan
dipengaruhi oleh ketebalan kulit, arah serat kolagen, sudut antar serat dengan
lapisan grain dan lokasi sampel pada kulit. Ketebalan kulit memengaruhi nilai
kuat sobek karena kulit yang tebal memiliki tenunan serat-serat kolagen yang
berikatan lebih banyak. Haines dan Barlow (1975) di dalam Fahroji (2010)
menambahkan bahwa sudut yang kecil antara jalinan serat-serat kolagen terhadap
permukaan grain kulit memungkinkan gaya tarik dapat didistribusikan lebih
menyebar ke seluruh sumbu jalinan serat, sehingga kuat sobek menjadi semakin
besar.
Dari variabel konsentrasi dapat dilihat bahwa ketiga nilai konsentrasi secara
signifikan masuk ke dalam subset yang berbeda, yang berarti ketiga nilai
konsentrasi tersebut memberikan efek yang signifikan terhadap kuat sobek.
semakin tinggi konsentrasi yang ditambahkan pada bahan penyamak maka
semakin tinggi pula nilai kekuatan sobek yang dihasilkan. Hubungan antara nilai
kuat sobek dengan konsentrasi dari beberapa jenis bahan penyamak yang
digunakan ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Hubungan jenis bahan penyamak nabati dengan konsentrasi terhadap
nilai kuat sobek kulit samak ikan tuna
Peningkatan nilai kuat sobek juga dipengaruhi oleh jenis bahan penyamak
yang digunakan, kulit yang disamak nabati lebih padat dan berisi dibandingkan
dengan kulit yang disamak menggunakan krom. Pada tahap penyamakan ulang,
molekul zat penyamak akan mengisi sebagian besar ruang kosong yang terdapat di
antara berkas se