Penentuan konsentrasi Krom dan Gambir pada penyamakan kulit Ikan Tuna (Thunnus albacore)

PENENTUAN KONSENTRASI KROM DAN GAMBIR PADA
PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus albacore)

JONATHAN PURBA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penentuan Konsentrasi
Krom dan Gambir Pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus albacore)” adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014

Jonathan Purba
NIM F34100129

ABSTRAK
JONATHAN PURBA. Penentuan Konsentrasi Krom dan Gambir Pada
Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus albacore). Dibimbing oleh ONO
SUPARNO.
Penyamakan dengan krom merupakan salah satu jenis penyamakan yang
paling banyak digunakan oleh seluruh industri kulit di dunia karena kelebihannya
dalam penyamakan kulit, seperti memiliki stabilitas hidrotermal yang tinggi dan
sifat fisik yang baik. Namun, kerugian yang ditimbulkan juga telah menarik
perhatian industri kulit yang ada di dunia karena penyamakan krom menghasilkan
limbah yang sifatnya beracun. Oleh karena itu, penyamakan kombinasi dilakukan
untuk mengurangi pemakaian krom. Penyamakan kombinasi menggunakan krom
dan nabati akan menghasilkan kulit dengan sifat fisik yang lebih baik dan limbah
krom yang lebih sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
konsentrasi bahan penyamak krom dan gambir terhadap sifat fisik dan organoleptik

pada penyamakan kombinasi kulit ikan tuna dan menentukan kombinasi
konsentrasi terbaik antara kedua bahan penyamak, serta menentukan sifat-sifat kulit
tuna yang dihasilkan. Bahan penyamak yang digunakan berupa krom dengan
konsentrasi 1%, 3%, 5%, 7% dan gambir sebesar 20% dan 30%. Parameter yang
diamati adalah peningkatan tebal, suhu kerut, kuat sobek, kuat tarik, perpanjangan
putus, dan sifat organoleptik kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi
krom berpengaruh signifikan terhadap semua parameter sifat fisik, konsentrasi
gambir berpengaruh signifikan terhadap semua parameter sifat fisik kecuali suhu
kerut. Interaksi antara konsentrasi krom dan gambir juga terlihat pada beberapa
parameter, seperti peningkatan tebal, kuat tarik, dan perpanjangan putus.
Kombinasi terbaik dihasilkan oleh kulit dengan konsentrasi gambir 20% dan krom
5%. Peningkatan tebal yang dihasilkan sebesar 31.2%, kuat sobek 141.6 kg/cm,
kuat tarik 163.6 kg/cm2, dan perpanjangan putus 38.9%. Uji organoleptik
menunjukkan warna kulit samak cenderung lebih cerah, feel/handle yang lebih baik,
dan tingkat kelemasan yang baik, sehingga kulit dapat digunakan untuk produk
seperti ikat pinggang.
Kata kunci: penyamakan kombinasi, konsentrasi krom, konsentrasi gambir
Kata kunci: biodiesel, kajian keekonomian, pavinblock, spent bleaching earth

ABSTRACT

JONATHAN PURBA. Determination of Chrome and Gambir Amount on Tuna
Fish Skin (Thunnus albacore )Tanning. Supervised by ONO SUPARNO.
Chrome tanning is one type of tanning that is most widely used by all leather
manufacture in the world because of its excellence on leather tanning, like high
hydrothermal stability, good physical properties, and so on. However, the loss that
was showed has become worldwide concern because chrome tanning produced
toxic waste. Therefore, combination tanning was used to reduce usage of chrome.
Combination tanning using chrome and vegetable tanner will produce better

physical properties leather and less chrome waste. The objectives of this study were
to determine the effect of chrome amount and gambir amount on physical and
organoleptic properties in the combination tanning of tuna skin tannage and to
decide the best amount combination of the two tannage, also to determine the
properties of the tuna leather. The used tannages were chrome with amounts of 1%,
3%, 5%, 7%, and gambir with amounts of 20% and 30%. The observed parameters
increased in thickness, shrinkage temperature, tear strength, tensile strength,
elongation at break, and organoleptic properties. The results show that chrome
amount has significant effect to all physical properties parameters, gambir amount
has significant effect to all physical properties parameters except shrinkage
temperature. Interaction between chrome and gambir amount was also showed on

some parameters, like thickness, tensile strength, and elongation at break.
According to this study, the best combination was showed by the leather with 20%
of gambir and 5% of chrome. Increased thickness that was showed was 31.2%, tear
strength was 141.6 kg/cm, tensile strength was 163.2 kg/cm2, and elongation at
break was 38.9%. Organoleptic tests of the leather showed brighter color, better
“handle”, and better flexibility. So, this kind of leather can be used for a product
such as belt.
Keywords: combination tanning, chrome amount, gambir amount

PENENTUAN KONSENTRASI KROM DAN GAMBIR PADA
PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus albacore)

JONATHAN PURBA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian


DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Penentuan Konsentrasi Krom dan Gambir Pada Penyamakan Kulit
Ikan Tuna (Thunnus albacore)
Nama
: Jonathan Purba
NIM
: F34100129

Disetujui oleh

Prof Dr Ono Suparno, STP, MT
Pembimbing

Diketahui oleh


Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala
berkat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi berjudul “Penentuan
Konsentrasi Krom dan Gambir Pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus
albacore)” berhasil diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan teristimewa kepada:
1. Prof Dr Ono Suparno, STP, MT selaku Pembimbing Akademik atas perhatian
dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi.
2. Kedua orang tua Mulia Purba dan Erniwaty Saragih, serta abang Arnando
Purba dan Hinton Purba yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada
penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Andrian Saputra, Hafizah Khaerina, Rayza Pranadipa, dan Mawardi
Kartasasmita selaku rekan sebimbingan atas bantuan dan dukungan selama
penelitian dan proses penyelesaian skripsi.
4. Keluarga besar TIN 47, khususnya golongan P4, atas dukungan, semangat, dan

kenangan yang tak terlupakan.
5. Keluarga besar Komisi Kesenian PMK IPB 47 atas dukungan, semangat, dan
doa kepada penulis.
6. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2014

Jonathan Purba

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Bahan
Alat
Metode Penelitian
Penelitian Pendahuluan
Penelitian Utama
Prosedur Pengujian
Analisis Data
Penentuan Perlakuan Terbaik
Analisis Nilai Tambah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengujian Sifat Fisik
Peningkatan Tebal
Suhu Kerut
Kuat Sobek
Kuat Tarik
Perpanjangan Putus
Uji Organoleptik
Penentuan Perlakuan Terbaik
Nilai Tambah

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

x
x
x
1
1
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4

4
7
7
7
7
8
8
8
10
12
15
17
20
21
21
23
23
24
24


DAFTAR TABEL
1. Prosedur penyamakan krom
2. Prosedur penyamakan nabati
3. Hubungan konsentrasi krom dan konsentrasi gambir yang digunakan
terhadap mutu kulit hasil penyamakan
4. Perhitungan nilai tambah kulit samak

5
6
20
22

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Penampang ikan tuna
4
Hubungan antara konsentrasi gambir terhadap peningkatan tebal kulit samak 9
Hubungan antara konsentrasi krom terhadap peningkatan tebal kulit samak 9
Interaksi antara konsentrasi gambir dan krom terhadap peningkatan tebal
kulit samak
10
5. Hubungan antara konsentrasi krom terhadap suhu kerut kulit samak
11
6. Reaksi antara krom dan asam karboksilat pada kolagen kulit
11
7. Reaksi antara polifenol dan asam karboksilat pada kolagen kulit
12
8. Hubungan antara konsentrasi gambir terhadap kuat sobek kulit samak
13
9. Hubungan antara konsentrasi krom terhadap kuat sobek kulit samak
14
10. Hubungan antara konsentrasi gambir terhadap kuat tarik kulit samak
15
11. Hubungan antara konsentrasi krom terhadap kuat tarik kulit samak
16
12. Interaksi antara konsentrasi gambir dan krom terhadap kuat tarik
kulit samak
16
13. Hubungan antara konsentrasi gambir terhadap perpanjangan putus
kulit samak
18
14. Hubungan antara konsentrasi krom terhadap perpanjangan putus
kulit samak
18
15. Interaksi antara konsentrasi gambir dan krom terhadap perpanjangan putus
kulit samak
19
16. Skema alat ukur suhu kerut
28
17. Skema sampel uji kuat tarik
29
18. Bentuk dan ukuran sampel untuk uji kuat sobek (mm)
30

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.

Gambar/foto bahan penelitian yang digunakan
Gambar/foto peralatan penelitian yang digunakan
Prosedur uji sifat fisik kulit
Foto hasil kulit samak kombinasi
Data, tabel anova (α=0,05), dan tabel uji lanjut Duncan parameter
peningkatan tebal kulit samak

26
27
28
31
32

6. Data, tabel anova (α=0,05), dan tabel uji lanjut Duncan parameter
suhu kerut kulit samak
7. Data, tabel anova (α=0,05), dan tabel uji lanjut Duncan parameter
kuat sobek kulit samak
8. Data, tabel anova (α=0,05), dan tabel uji lanjut Duncan parameter
kuat tarik kulit samak
9. Data, tabel anova (α=0,05), dan tabel uji lanjut Duncan parameter
elongasi kulit samak
10. Prosedur pemilihan perlakuan terbaik
11. Prosedur perhitungan nilai tambah
12. Syarat mutu kulit lapis domba/kambing samak kombinasi (krom-nabati)

33
34
35
36
37
38
39

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyamakan merupakan suatu proses yang dilakukan untuk mengubah kulit
mentah menjadi kulit samak yang lebih stabil. Perubahan ini terjadi karena adanya
ikatan cross-linking antara protein pada kulit dengan bahan penyamak pada saat
penyamakan berlangsung sehingga kulit mentah yang semula mudah membusuk
atau tidak stabil menjadi lebih tahan terhadap mikroorganisme dan juga lebih stabil.
Selain itu, penyamakan juga menyebabkan kulit menjadi lebih tahan terhadap panas.
Penggunaan kulit ikan tuna dalam proses penyamakan ini merupakan salah
satu upaya untuk memanfaatkan limbah kulit ikan tuna yang dihasilkan oleh
industri berbasis produk olahan ikan. Menurut Hastuti (2012), salah satu
perusahaan berbasis pengolahan ikan yang ada di Jawa Timur mampu
menghasilkan ikan tuna sebanyak 7 ton dengan limbah kulit sebesar 3,4% dari
jumlah produksi tersebut.
Saat ini, sebagian besar industri kulit yang ada di Indonesia atau dunia masih
menggunakan krom (III) sulfat sebagai bahan penyamaknya. Penggunaan bahan
penyamak krom yang merupakan salah satu jenis bahan penyamak mineral
dianggap lebih memudahkan dari segi prosesnya. Kulit samak yang dihasilkan
memiliki karakteristik yang lebih baik dan kegunaan yang lebih luas (Suparno et al.
2008). Namun, di balik semua keuntungan yang diperoleh dari penyamakan krom,
proses penyamakan menggunakan bahan penyamak krom tersebut juga
menghasilkan limbah yang berbahaya. Limbah hasil penyamakan krom yang akan
memberikan dampak negatif pada lingkungan kini telah menjadi perhatian bagi
sebagian industri yang ada di dunia (Musa et al. 2010). Tegtmeyer dan Kleban
(2013) mengatakan bahwa garam krom (III) dapat teroksidasi dalam kondisi
tertentu, termasuk pada saat penyamakan, menjadi bentuk heksavalen atau garam
krom (VI). Kromium (VI) diketahui memiliki sifat toksik yang akut untuk manusia
dan hewan. Selain itu, harga garam kromium (III) naik secara intensif dan
kemungkinan akan terus bertambah di masa depan karena terbatasnya sumber
kromium yang dapat didaur ulang (Zhaoyang et al. 2008)
Penyamakan nabati memiliki keuntungan dari segi kompatibilitas dengan
kulit, stabil, dan lebih ramah lingkungan (Musa et al. 2010). Selain itu, bahan
penyamak nabati mudah didapatkan dan cocok untuk berbagai jenis kulit. Bahan
penyamak nabati berasal dari tanaman yang mengandung zat penyamak yaitu tanin.
Contoh penyamak nabati yang umum digunakan adalah mimosa (dari kulit kayu
akasia), quebracho, dan gambir (Suparno et al. 2008). Namun, kulit yang disamak
menggunakan bahan penyamak nabati cenderung kurang lembut dan kaku (Musa
et al. 2010). Oleh karena itu, proses penyamakan tuna yang akan dilakukan
menggunakan bahan penyamak mineral dan nabati untuk menghasilkan kulit samak
yang lebih baik.
Penelitian sejenis telah dilakukan oleh Alfindo (2009) dan Hastuti (2014).
Pada penelitian Alfindo (2009), penyamakan kulit ikan tuna menggunakan bahan
penyamak mineral (krom) dan nabati (mimosa) dengan konsentrasi krom sebesar
10% dan mimosa sebesar 5%, 10%, dan 15%. Hastuti (2014) melakukan penelitian
serupa dengan konsentrasi krom sebesar 8% dan nabati yang terdiri atas mimosa,

2
quebracho, dan gambir dengan konsentrasi masing – masing sebesar 10%, 15%,
dan 20%.
Hasil penelitian Alfindo (2009) menunjukkan bahwa kulit samak kombinasi
krom dan mimosa dengan konsentrasi krom 10% dan mimosa 15% memiliki hasil
yang paling baik untuk parameter kuat tarik dan kuat sobek dengan nilai masing –
masing sebesar 372,1 kg/cm2 dan 61,5 kg/cm, sedangkan konsentrasi mimosa 5%
memiliki hasil yang paling baik untuk parameter perpanjangan putus dengan nilai
42,2%. Hasil penelitian Hastuti (2014) menunjukkan bahwa kulit samak kombinasi
krom dan gambir dengan konsentrasi krom 8% dan gambir 20% memiliki hasil
yang paling baik berdasarkan parameter peningkatan tebal, kuat tarik, perpanjangan
putus, dan suhu kerut. Peningkatan tebal kulit sebesar 30,6%, lalu kuat sobek
sebesar 86,5 kg/cm, kuat tarik sebesar 231,4 kg/cm2, dan perpanjangan putus
sebesar 57,4%.
Berdasarkan kedua hasil penelitian tersebut, kulit samak kombinasi yang
dihasilkan memiliki sifat fisik yang baik, namun konsentrasi krom yang digunakan
masih cukup tinggi. Penggunaan krom akan terlalu banyak apabila digunakan pada
kulit mentah dalam jumlah yang sangat besar. Karena itu, penelitian ini
menggunakan bahan penyamak krom dengan konsentrasi yang lebih rendah, yaitu
1%, 3%, 5%, dan 7%. Kulit samak krom tersebut dikombinasikan dengan bahan
penyamak nabati yaitu gambir dengan konsentrasi 20% dan 30%. Konsentrasi 20%
disesuaikan dengan penelitian Hastuti (2014), yang menghasilkan kombinasi
konsentrasi bahan penyamak terbaik yaitu krom 8% dan gambir 20%. Konsentrasi
30% digunakan untuk melihat apakah respon yang ditunjukkan tetap meningkat
atau tidak.

Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh perbedaan konsentrasi bahan penyamak krom dan
bahan penyamak gambir dan interaksi keduanya terhadap peningkatan tebal,
suhu kerut, kuat sobek, kuat tarik, dan elongasi putus serta sifat organoleptik
yang dihasilkan?
2. Perlakuan manakah yang memberikan mutu terbaik dari respon peningkatan
tebal, suhu kerut, kuat sobek, elongasi putus, dan sifat organoleptik?
3. Bagaimanakah sifat kulit hasil penyamakan pada kondisi perlakuan terbaik?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi bahan
penyamak krom (1%, 3%, 5%, dan 7%) dan gambir (20% dan 30%) terhadap sifat
fisik dan organoleptik kulit tuna pada proses penyamakan kombinasi kulit ikan tuna,
menentukan kombinasi konsentrasi bahan penyamak terbaik antara krom dan
gambir terhadap mutu fisik dan organoleptik ikan tuna, dan menentukan sifat – sifat
kulit samak ikan tuna yang dihasilkan.

3
Manfaat Penelitian
Penentuan kondisi terbaik dari proses penyamakan menggunakan dua macam
bahan penyamak dengan konsentrasi yang berbeda akan memberikan kemudahan
dalam produksi kulit samak dengan mutu yang baik. Penentuan konsentrasi krom
akan menentukan apakah penggunaan bahan penyamak krom masih dapat
dikurangi atau tidak. Oleh karena itu, kondisi proses yang terpilih dalam tahap
penyamakan dapat dijadikan sebagai acuan untuk mendapatkan produk dengan
tingkat kesempurnaan atau mutu kulit samak sesuai dengan yang ingin dicapai serta
sebagai acuan apakah penggunaan krom dapat diminimasi atau tidak.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada penyamakan limbah kulit ikan tuna yang
dihasilkan oleh PT Lautan Niaga Jaya, Jakarta. Jenis ikan tuna yang diteliti adalah
ikan tuna dengan spesies Thunnus albacore (tuna sirip kuning). Proses yang
dilakukan meliputi prapenyamakan dan penyamakan kombinasi menggunakan
penyamak krom dan dilanjutkan dengan penyamak gambir. Masing-masing bahan
penyamak menggunakan konsentrasi yang berbeda. Konsentrasi bahan penyamak
krom yang digunakan masing – masing sebesar 1%, 3%, 5%, dan 7%, sedangkan
konsentrasi penyamak gambir yang digunakan masing – masing sebesar 20% dan
30%. Hasil percobaan kemudian dianalisis sifat – sifat fisik dan kimiawinya
meliputi peningkatan tebal, suhu kerut, kuat sobek, kuat tarik, perpanjangan putus,
dan uji organoleptik.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama empat bulan sejak tanggal 10 April – 18 Juli
2014. Penelitian dilaksanakan di beberapa laboratoria, yaitu Laboratorium
Penyamakan Kulit Leuwikopo, Laboratorium Bioindustri Departemen Teknologi
Industri Pertanian, dan Laboratorium Rekayasa Desain Bangunan Kayu
Departemen Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan
Bahan baku yang digunakan terdiri atas dua macam, yaitu bahan baku utama
dan bahan baku pendukung. Bahan baku utama yang digunakan terdiri atas
beberapa macam, yaitu kulit ikan tuna spesies Thunnus albacore (ikan tuna sirip
kuning) dari PT Lautan Niaga Jaya, Muara Baru, Jakarta. Bagian kulit yang
digunakan dapat dilihat pada bagian yang ditunjuk pada Gambar 1. Bahan
penyamak mineral yang digunakan berupa krom dengan basisitas 33% dan bahan
penyamak nabati berupa gambir. Bahan baku pendukung yang digunakan selama
proses penyamakan terdiri atas: aquades, natrium klorida, natrium bikarbonat, asam

4
sulfat, asam formiat, dan sertan ND (dispersing agent). Bahan – bahan yang
digunakan pada proses prapenyamakan meliputi, kalsium (II) hidroksida, natrium
sulfida, air, enzim Rindol RNN, Degreasing 606, Regressol LP, dan natrium formiat.
Gambar beberapa bahan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 1. Penampang ikan tuna
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi molen, shaker, jar, kertas
pH, pisau, talenan, labu erlenmeyer 250 ml, labu ukur 500 ml, pipet Mohr,
termometer, thickness gauge, baumeter, pemanas listrik, toggle dryer, universal
testing machine (Instron), pengukur suhu kerut dan tensile strength tester. Gambar
dari alat – alat tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.
Metode Penelitian
Penelitian Pendahuluan
Pada tahapan pendahuluan, kulit tetap disamak kombinasi seperti biasa.
Proses penyamakan kulit ikan diawali dengan proses penyamakan dengan krom lalu
dilanjutkan dengan penyamakan dengan gambir. Konsentrasi yang digunakan pada
proses penyamakan terdiri atas 1% dan 7% untuk bahan penyamak krom,
sedangkan konsentrasi yang digunakan untuk bahan penyamak gambir adalah 20%
dan 30%. Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang nyata
apabila proses penyamakan menggunakan bahan penyamak krom dengan
konsentrasi yang berbeda. Proses penyamakan kombinasi tersebut diawali dengan
proses prapenyamakan yang terdiri atas liming, fleshing, deliming, bating, dan
pickling.
Penelitian Utama
1. Penyamakan Krom
Setelah melewati proses prapenyamakan, kulit pikel dipotong dengan ukuran
7 × 7 cm2. Kulit hasil potongan diukur tebalnya pada lima titik yang berbeda.
Sampel yang diukur tebalnya sebanyak dua buah. Kulit pikel dimasukkan ke dalam
larutan air garam dengan konsentrasi air sebanyak 200% dan NaCl sebanyak 10%
yang sebelumnya telah diukur derajat Baumé-nya sebesar 8-9 oBé. Pengaturan pH
dilakukan agar kulit berada pada pH 3. Pengaturan pH dilakukan dengan cara
memasukkan asam formiat sebanyak 0,1% dan asam sulfat sebanyak 0,2% yang
masing – masing telah diencerkan dengan aquades dengan perbandingan 1:10.

5
Pengaturan pH dilakukan sebanyak 4 kali dalam waktu 2 jam. Apabila pH sudah
berada di angka 3, krom dimasukkan dengan konsentrasi masing – masing sebesar
1%, 3%, 5%, dan 7%. Proses penyamakan dilakukan dengan pengadukan selama 1
jam dengan kecepatan 150 rpm. Kemudian natrium bikarbonat sebanyak 0,25%
yang dilarutkan aquades dengan perbandingan 1:5 dimasukkan secara bertahap tiap
30 menit selama 2 jam hingga pH mencapai angka 3,2 - 3,8. Proses ini dilakukan
pada suhu 30oC sehingga jika shaker tidak memiliki pemanas, sampel dipanaskan
terlebih dahulu hingga suhu ±35oC. Prosedur penyamakan krom selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Prosedur penyamakan krom
Proses
Bahan
Dosis Suhu
Waktu Keterangan
o
kimia
(
C)
(menit)
(% dari bobot
sampel)
Penyamakan
NaCl
10
Diukur densitas
(oBé) dan pH

Basifikasi

H2O
H2SO4
HCOOH

200
0,2
0,1

20
25

15
120 Diencerkan
dengan air 1 : 10

Cr2O3
NaHCO3

1,3,5,7
0,25

25
30

60 33% basisitas
30 Diencerkan
dengan air 1:5
Dilakukan
pengulangan
setiap 30 menit
hingga pH 3.2 –
3.8, selama 120
menit

Drain
Horse Up
Sumber: modifikasi dari Suparno (2005)
Netralisasi
Setelah cairan dari dalam jar dibuang, kulit samak dinetralisasi terlebih
dahulu. Proses netralisasi dilakukan dengan cara kulit direndam dengan campuran
aquades sebanyak 200% dan natrium bikarbonat sebanyak 2%. Suhu air yang
digunakan adalah 40oC. Proses ini dilakukan selama satu jam hingga pH sekitar 4,
kemudian kulit dipentang selama satu malam untuk dilanjutkan ke proses
berikutnya.
2. Penyamakan Nabati
Proses penyamakan nabati diawali dengan perendaman kulit dengan larutan
aquades dan NaCl dengan konsentrasi masing – masing sebesar 200% dan 10% atau
hingga derajat Bé larutan sebesar 8-9 selama 10 menit sambil diputar dengan shaker.
Kemudian natrium bikarbonat dengan konsentrasi 0,75% yang telah dilarutkan

6
dengan aquades dengan perbandingan 1:10 dimasukkan ke dalam jar yang telah
berisi kulit dan larutan garam. Proses tersebut dilakukan secara bertahap sebanyak
3 kali. Tiap tahap dilakukan dengan waktu selama 10 menit. Proses pemberian
larutan natrium bikarbonat dilakukan hingga pH pada sampel naik menjadi 4,5.
Kemudian kulit ditambahkan dengan sertan ND (dispersing agent) sebanyak 2%
dan diputar selama 30 menit. Proses berikutnya adalah penyamakan nabati, yakni
gambir sebanyak 20% dan 30% ditambahkan. Penambahan gambir dilakukan
sebanyak dua tahap, sehingga jumlah gambir yang dimasukkan dibagi dua. Waktu
pemutaran yang digunakan untuk tiap tahap adalah 1 jam. Setelah proses
penyamakan selesai, fiksasi kulit dilakukan menggunakan asam formiat sebanyak
0,25% yang telah diencerkan dengan aquades dengan perbandingan 1:3. Fiksasi
dilakukan hingga pH kulit sebesar 3,5. Setelah pH sesuai, cairan dikeluarkan dan
kulit dicuci menggunakan air sebanyak 300% selama 10 menit. Setelah dicuci, kulit
dipentang selama satu malam dan dikeringkan pada toggle dryer selama satu hari.
Prosedur penyamakan nabati selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Prosedur penyamakan nabati
Proses
Bahan
Dosis (% dari
Waktu
Keterangan
kimia
bobot sampel)
Depickling
H2 O
200%
(Pengaturan
Diukur
derajat
pH)
NaCl
10%
20 menit
Baumé (6-10 oBé)
NaHCO3

0,75%

3 × 15
menit

Penyamakan

Sertan ND

2%

30 menit

20%, 30%

120 menit

Fiksasi

Penyamak
nabati
(gambir)
HCOOH

0,25%

3 × 10
menit + 60
menit

300%

10 menit

Drain
Pencucian
Drain

H2 O

Horse up
Pengeringan

Sumber: Suparno et al. (2008)

semalam
1-2 hari

Diencerkan
dengan air 10 kali
Dicek pH (4,5)
Dicek pH (4,5)

Diencerkan
dengan air 3 kali
Diukur pH (3,5)
Cairan
dikeluarkan
Dicek pH (3,5)
Cairan
dikeluarkan
Kulit disampirkan
Kulit
dibentangkan
pada toggle dryer

7
Prosedur Pengujian
Parameter yang diamati pada penelitian ini terdiri atas enam macam, yaitu
peningkatan tebal, suhu kerut, kuat sobek, kuat tarik, perpanjangan putus (elongasi),
dan sifat organoleptik (warna dan tekstur). Peningkatan ketebalan diukur dengan
prosedur SLP 4, suhu kerut (Ts) dengan prosedur SLP 18, kuat tarik dan
perpanjangan putus diukur dengan SLP 6, kuat sobek dengan prosedur SLP 7 dan
sifat organoleptik kulit diuji dengan panelis (SLTC 1996). Prosedur pengujian tiap
parameter dapat dilihat pada Lampiran 3.
Analisis Data
Analisis data hasil penelitian menggunakan rancangan percobaan faktorial
acak lengkap dengan dua kali ulangan. Faktor yang diteliti ada dua dengan jumlah
taraf masing – masing sebanyak empat dan dua. Faktor pertama yaitu konsentrasi
bahan penyamak krom (1%, 3%, 5%, dan 7%). Faktor kedua yaitu konsentrasi
bahan penyamak gambir (20% dan 30%). Model rancangan percobaan faktorial
acak lengkap dapat dirumuskan sebagai berikut:
Yijk = µ + Gi + Kj + GKij + εijk
dengan:
Yijk = respon pengamatan konsentrasi bahan penyamak krom taraf ke-i dan
konsentrasi bahan penyamak gambir taraf ke-j
µ
= nilai rata – rata pengamatan
Gi = konsentrasi bahan penyamak gambir (20%, 30%)
Kj = konsentrasi bahan penyamak krom (1%, 3%, 5%, 7%)
GKij = pengaruh interaksi antara faktor G dan faktor K
εijk = kesalahan karena anggota ke-k dari faktor ke-i dan faktor ke-j
Data yang dihasilkan diolah dengan analisis ragam menggunakan program
SPSS 16.0 (Trial) dengan perhitungan yang mengacu pada rancangan percobaan.
Uji Duncan dilakukan jika hasil berpengaruh nyata. Uji tersebut digunakan untuk
mengetahui besar signifikansi perbedaan antara taraf satu dengan yang lain dan
interaksi antara dua faktor.
Penentuan Perlakuan Terbaik
Data hasil penelitian yang didapatkan kemudian dipilih satu jenis perlakuan
yang terbaik. Proses pemilihan perlakuan terbaik tersebut menggunakan metode
berupa penilaian. Tiap parameter hasil akan dijadikan sebagai kriteria dengan bobot
yang berbeda – beda. Prosedur penilaian selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
10.
Analisis Nilai Tambah
Analisis nilai tambah dari kulit samak kombinasi dilakukan dengan
menggunakan metode Hayami (1987). Prosedur selengkapnya dari metode Hayami
dapat dilihat pada Lampiran 11.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan. Hasil penelitian
pendahuluan menunjukkan bahwa kedua konsentrasi bahan pada kedua jenis bahan
penyamak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada sifat fisik kulit samak
untuk beberapa parameter. Beberapa parameter yang diamati pada penelitian
pendahuluan adalah peningkatan tebal, suhu kerut, dan kuat sobek.
Parameter yang diamati pada penelitian ini antara lain peningkatan tebal, suhu
kerut, kuat sobek, kuat tarik, elongasi, dan organoleptik. Tebal kulit pikel yang
digunakan berkisar antara 0,6-1,6 mm. Keragaman tebal kulit yang digunakan
disebabkan terbatasnya kulit mentah yang akan digunakan untuk penelitian,
sehingga sulit untuk mencari kulit mentah dengan tebal seragam. Hasil kulit samak
kombinasi ikan tuna dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hasil Pengujian Sifat Fisik
Peningkatan Tebal
Kulit mentah yang telah melewati proses penyamakan akan lebih kuat sifat
fisiknya dibandingkan dengan kulit yang belum disamak. Selain memperkuat sifat
fisik, proses penyamakan juga mampu meningkatkan tebal kulit. Hal ini
menunjukkan bahwa bahan penyamak mampu mengisi kulit sehingga tebal kulit
meningkat.
Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA), faktor konsentrasi gambir dan
konsentrasi krom memiliki pengaruh yang nyata terhadap peningkatan tebal kulit.
Selain itu, interaksi antara konsentrasi gambir dan krom juga terlihat berpengaruh
secara nyata pada peningkatan tebal kulit. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk
melihat seberapa signifikan perbedaan yang diberikan oleh tiap taraf pada faktor –
faktor tersebut.
Pada faktor konsentrasi gambir, hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa
kedua taraf yang digunakan pada faktor tersebut saling berbeda nyata. Pengaruh
konsentrasi gambir terhadap peningkatan tebal kulit dapat dilihat pada Gambar 2.
Kulit samak dengan konsentrasi gambir 30% memiliki peningkatan tebal lebih
tinggi dibandingkan kulit samak dengan konsentrasi gambir 20%. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan gambir dengan konsentrasi 30% masih mampu
untuk mengisi kulit. Data tebal awal dan tebal akhir kulit dapat dilihat pada
Lampiran 5.
Salah satu kelebihan dari penyamak nabati adalah kelebihannya dalam
mengisi kulit samak. Gambir yang merupakan salah satu jenis penyamak nabati
mengandung tanin yang akan berikatan dengan serat kolagen. Tanin tersebut akan
berpenetrasi ke dalam kulit dan mengisi gugus protein yang bebas, sehingga terjadi
peningkatan tebal kulit (Thorstensen 1993). Semakin banyak jumlah tanin yang
masuk, semakin banyak juga gugus protein bebas yang terisi sehingga peningkatan
tebalnya juga semakin tinggi. Hal ini yang menyebabkan kulit yang disamak
dengan konsentrasi gambir 30% memiliki peningkatan tebal yang lebih besar
dibandingkan kulit yang disamak dengan konsentrasi gambir 20%.

9

Peningkatan Tebal (%)

40
35
30
25
20
15
10
5
0
20

30

Konsentrasi Gambir (%)

Gambar 2. Hubungan antara konsentrasi gambir terhadap peningkatan tebal kulit
samak
Pada faktor konsentrasi krom, hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa
tiap taraf berada pada subset/kelompok yang berbeda, sehingga dapat disimpulkan
tiap konsentrasi berbeda nyata. Pengaruh konsentrasi krom terhadap peningkatan
tebal kulit dapat dilihat pada Gambar 3. Kulit samak dengan konsentrasi krom 7%
memiliki peningkatan tebal tertinggi dibandingkan kulit samak dengan konsentrasi
krom yang lain.
45

Peningkatan Tebal (%)

40
35
30
25
20
15
10
5
0
1

3

5

7

Konsentrasi Krom (%)

Gambar 3. Hubungan antara konsentrasi krom terhadap peningkatan tebal kulit
samak
Hasil interaksi antara konsentrasi gambir dan krom (Gambar 4) menunjukkan
peningkatan terkecil dihasilkan oleh kulit samak dengan konsentrasi krom 1% dan
konsentrasi gambir 20%, sedangkan peningkatan terbesar dihasilkan oleh kulit
samak dengan konsentrasi krom 7% dan konsentrasi gambir 30% dengan besar
peningkatan 48,73%. Hasil uji peningkatan tebal kulit selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran 5.

Peningakatan Tebal (%)

10
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Konsentrasi
Gambir (%):
20

30

1

3

5

7

Konsentrasi Krom (%)

Gambar 4. Interaksi antara konsentrasi gambir dan krom terhadap peningkatan
tebal kulit samak
Selain faktor konsentrasi penyamak, peningkatan tebal juga dipengaruhi oleh
tebal awal kulit pikel. Pada penelitian ini, kulit tidak melewati proses shaving dan
buffing sehingga tebal kulit yang digunakan beragam dari tipis hingga tebal. Kulit
dengan tebal awal 1,8 – 2 mm mengalami peningkatan tebal yang rendah, yaitu
hanya 5-7% atau dengan tebal akhir 1,9 – 2,1 mm. Hal ini menunjukkan bahwa
bahan penyamak kurang mengisi kulit pikel dengan tebal yang cukup tinggi. Oleh
karena itu, pengaturan tebal awal kulit sangat diperlukan agar tebal kulit yang
dihasilkan dapat meningkat dengan lebih baik.
Suhu Kerut
Suhu kerut merupakan salah satu uji yang digunakan untuk mengetahui
stabilitas hidrotermal sebuah kulit samak. Sampel yang diuji suhu kerutnya yaitu
sampel kulit pikel dan kulit hasil samak kombinasi. Hasil pengujian menunjukkan
kulit pikel memiliki suhu kerut 70,3oC, sedangkan kulit yang hanya disamak nabati
memiliki suhu kerut 89,9oC. Setelah dikombinasi dengan bahan penyamak krom,
suhu kerut kulit samak meningkat hingga di atas 100oC. Berdasarkan Gambar 5,
dapat dilihat bahwa suhu kerut kulit samak kombinasi yang dihasilkan berkisar
antara 104 – 127,3oC. Hasil analisis ragam dengan nilai α (0,05) menunjukkan
bahwa suhu kerut dipengaruhi oleh faktor konsentrasi krom, namun tidak
dipengaruhi oleh faktor konsentrasi gambir dan interaksi diantara keduanya. Suhu
kerut tertinggi dihasilkan oleh kulit samak dengan konsentrasi krom 7%.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kulit samak dengan konsentrasi krom
1% paling berbeda nyata terhadap kulit samak dengan konsentrasi krom yang
lainnya untuk parameter suhu kerut. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh kulit
dengan konsentrasi krom 3%, yakni berbeda nyata dengan kulit samak dengan
konsentrasi krom lainnya. Kulit samak dengan konsentrasi krom 5% dan 7% tidak
berbeda nyata antara satu sama lain pada parameter ini. Hasil pengujian suhu kerut
dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 6.

11
140

Suhu Kerut (oC)

120
100
80
60
40
20
0
1

3

5

7

Konsentrasi Krom (%)

Gambar 5. Hubungan antara konsentrasi krom terhadap suhu kerut kulit samak
Hasil pengujian menunjukkan suhu kerut kulit tersamak kombinasi
mengalami peningkatan tiap peningkatan konsentrasi krom. Suhu kerut yang
dihasilkan antara kulit samak kombinasi yang disamak menggunakan gambir 20%
dan 30% juga mengalami peningkatan, namun peningkatan yang terjadi tidak
signifikan. Suhu kerut terendah dihasilkan oleh kulit samak dengan konsentrasi
krom 1% dan konsentrasi gambir 20% dengan rata – rata sebesar 104oC, sedangkan
suhu kerut tertinggi dihasilkan oleh kulit samak dengan konsentrasi krom 7% dan
konsentrasi gambir 30% dengan rata – rata sebesar 127,3oC.
Penyamakan krom memberikan stabilitas hidrotermal yang tinggi, sehingga
suhu kerut 110oC pada kulit samak mudah didapatkan (Covington 2009). Pada hasil
pengujian, kulit samak kombinasi memiliki suhu kerut antara 104 – 127,5oC.
Stabilitas hidrotermal yang tinggi ini dipengaruhi oleh adanya ikatan silang yang
terjadi antara penyamak krom dan kolagen kulit, yakni Cr3+ yang terdapat pada
penyamak krom mampu berikatan dengan COO- pada kolagen kulit. Ikatan silang
yang terjadi berupa ikatan ionik yaitu ikatan kovalen. Hal ini menyebabkan
kekuatan ikatan sangat kuat sehingga mampu menahan panas hingga suhu 100oC
(Mann dan McMillan 2005). Hasil reaksi yang terjadi antara krom dan kolagen
dapat dilihat Gambar 6.
Pada penyamakan gambir (nabati), ikatan silang yang terjadi berupa ikatan
hidrogen. Ikatan hidrogen memiliki kekuatan yang lebih lemah jika dibandingkan
dengan ikatan kovalen. Hal ini lah yang menyebabkan kulit yang hanya disamak
dengan gambir memiliki suhu kerut di bawah 100oC atau sekitar 85oC (Mann dan
McMillan 2005). Hasil reaksi antara polifenol (gambir) dan kolagen pada
penyamakan gambir dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 6. Reaksi antara krom dan asam karboksilat pada kolagen kulit
(Covington 2009)

12

Gambar 7. Reaksi antara polifenol dan asam karboksilat pada kolagen kulit
(Covington 2009)
Stabilitas hidrotermal kulit samak juga dipengaruhi oleh jenis dan jumlah
bahan penyamak yang berikatan dengan protein kulit (Covington 2009). Hal ini
yang menyebabkan kulit samak kombinasi yang menggunakan krom sebanyak 1%
hanya memiliki rata – rata suhu kerut 104oC, sedangkan kulit samak kombinasi
yang menggunakan krom sebanyak 3 – 7% memiliki rata – rata suhu kerut yang
lebih tinggi, yaitu 116 – 127,3oC. Suhu kerut merupakan suhu pada saat struktur
kolagen pada kulit mengalami pengerutan. Pengerutan terjadi karena putusnya
anyaman serabut kolagen akibat kondisi ekstrim seperti pemanasan pada suhu
tinggi (Astrida et al. 2008).
Menurut Brown et al. (2012), proses prapenyamakan juga mampu
memberikan pengaruh terhadap stabilitas hidrotermal kulit. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa salah satu perbedaan dalam proses prapenyamakan, yaitu
proses pelepasan bulu (unhairing), dapat mempengaruhi stabilitas hidrotermal kulit.
Pada proses pelepasan bulu dan pengapuran (liming), terjadi peristiwa pemutusan
jembatan S-S dari cistine menjadi cisteine yang terdapat di dalam protein keratin
pada bulu. Peristiwa ini akan menyebabkan bulu yang terdapat pada kulit menjadi
terlepas secara sempurna dari kulit (Mann dan McMillan 2005). Jika proses tersebut
tidak berjalan dengan tepat, ada kemungkinan protein keratin tidak terlepas dengan
sempurna dari kulit atau kolagen pada kulit menjadi terlalu terbuka, sehingga
penyamak tidak dapat berikatan dengan kolagen secara sempurna. Hal inilah yang
dapat menyebabkan stabilitas hidrotermal dari kulit menjadi ikut berbeda.
Kuat Sobek
Kuat sobek merupakan besarnya gaya yang dibutuhkan untuk memutuskan
ikatan kolagen dalam kulit hingga kulit tersobek tiap mm ketebalan sampel. Kuat
sobek juga dapat diartikan sebagai suatu besaran yang menentukan seberapa baik
suatu material/sampel mampu menahan gaya sobekan. Kulit yang lebih tebal akan
memiliki daya sobek yang lebih besar dibandingkan kulit yang tipis.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor konsentrasi gambir dan krom
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kekuatan sobek kulit. Interaksi antara
kedua faktor tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Hasil analisis ragam dapat
dilihat pada Lampiran 7.

13
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kedua taraf pada faktor
konsentrasi gambir saling berbeda nyata terhadap kekuatan sobek kulit.
Berdasarkan Gambar 8, nilai kuat sobek yang dihasilkan kulit samak dengan
konsentrasi gambir 20% lebih besar dibandingkan dengan kulit samak dengan
konsentrasi gambir 30%.
Gambir memiliki berat molekul yang lebih rendah dibandingkan bahan
penyamak nabati lainnya yang umum digunakan, yaitu sebesar 520. Menurut
Rohim (2000), konsentrasi bahan penyamak memiliki hubungan terhadap jumlah
molekul tanin dari bahan penyamak. Konsentrasi bahan penyamak yang rendah
memiliki jumlah molekul tanin yang rendah, sehingga bahan penyamak dapat
berpenetrasi secara merata ke dalam kulit. Jumlah molekul tanin yang terlalu sedikit
juga menyebabkan ikatan silang dengan protein yang terbentuk menjadi tidak kuat,
sehingga daya samak menjadi rendah. Pada konsentrasi bahan penyamak yang
tinggi, jumlah molekul tanin yang dimiliki ada banyak dan daya samaknya tinggi.
Namun, daya penetrasi bahan penyamak tersebut menjadi rendah sehingga bagian
kulit yang tersamak dengan maksimal hanya permukaannya saja. Selain itu,
pengaturan pH yang kurang tepat dapat menyebabkan bahan penyamak tidak dapat
berpenetrasi ke dalam kulit dengan baik sehingga bagian dalam kulit tidak tersamak
dengan sempurna. Hal inilah yang menyebabkan kulit yang disamak menggunakan
konsentrasi gambir 30% memiliki kekuatan sobek yang lebih rendah dibandingkan
konsentrasi gambir 20%.
120

Kuat Sobek (kg/cm)

100

80
60
40
20
0
20

30

Konsentrasi Gambir (%)

Gambar 8. Hubungan antara konsentrasi gambir terhadap kuat sobek kulit samak
Gutteres (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa proses absorpsi
tanin yang dilakukan oleh kulit selama penyamakan juga dipengaruhi oleh suhu dan
lama proses penyamakan. Berdasarkan hasil penelitiannya, proses penyamakan
dengan suhu yang lebih tinggi mampu menyebabkan kulit melakukan absorpsi
terhadap zat penyamak lebih banyak dibandingkan dengan proses penyamakan
dengan suhu yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan, jika proses penyamakan
menggunakan konsentrasi gambir 30% dengan suhu yang lebih tinggi, ada
kemungkinan jumlah zat penyamak yang terabsorpsi akan lebih banyak.
Hasil untuk faktor kedua, yaitu konsentrasi krom, menunjukkan tiap taraf
pada faktor tersebut ada yang saling berbeda nyata namun ada juga yang tidak
berbeda nyata. Pengaruh konsentrasi krom terhadap kekuatan sobek terbagi ke

14
dalam dua subset/kelompok. Kulit samak dengan konsentrasi krom 1% termasuk
ke dalam subset yang pertama, sedangkan kulit samak dengan konsentrasi krom 5%
dan 7% termasuk ke dalam subset yang kedua. Kulit samak dengan konsentrasi
krom 3% masuk ke dalam subset pertama dan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa
kulit samak dengan taraf pertama, yaitu konsentrasi krom 1%, berbeda nyata
dengan taraf ketiga dan keempat, yaitu konsentrasi krom 5% dan 7%. Kulit samak
dengan taraf kedua, yaitu konsentrasi krom 3%, tidak berbeda nyata dengan taraf
lainnya.
Hasil pengujian (Lampiran 7) menunjukkan nilai kuat sobek kulit yang
dihasilkan berkisar antara 86,7 – 141,6 kg/cm. Berdasarkan Gambar 9, kuat sobek
tertinggi dihasilkan oleh kulit samak dengan konsentrasi krom 5%. Kekuatan sobek
kulit mengalami penurunan pada konsentrasi krom 7%.
140

Kuat Sobek (kg/cm)

120
100
80
60
40
20
0
1

3

5

7

Konsentrasi Krom (%)

Gambar 9. Hubungan antara konsentrasi krom terhadap kuat sobek kulit samak
Kekuatan sobek kulit dipengaruhi oleh perubahan struktur kulit dan
banyaknya protein kolagen yang terbuka dalam kulit (Rohim 2000). Serat kolagen
pada kulit akan mengalami kontraksi/pelonggaran pada saat pengapuran dan
pengikisan protein, sehingga kekuatan sobek kulit akan mengalami penurunan.
Dengan adanya ikatan antara kolagen dengan krom, serabut – serabut kolagen akan
berikatan kuat sehingga kekuatan sobeknya pun meningkat. Semakin banyak
jumlah krom yang digunakan, maka semakin banyak serat kolagen yang berikatan
kuat, sehingga nilai kekuatan sobeknya pun semakin tinggi.
Purnomo (1985) mengatakan bahwa tebal berpengaruh terhadap kuat sobek
kulit. Kulit yang tebal memiliki tenunan serat kolagen yang berikatan lebih banyak,
sedangkan kulit yang tipis memiliki serat kolagen yang lebih longgar sehingga
kekuatan sobeknya lebih rendah. Sampel kulit yang digunakan untuk menguji
kekuatan sobek dengan konsentrasi 7% cenderung lebih tipis jika dibandingkan
dengan sampel dengan konsentrasi 5%. Hal ini lah yang menyebabkan kekuatan
sobek kulit mengalami penurunan pada konsentrasi 7%.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Febianti (2011) mengatakan bahwa arah
serat kolagen memiliki pengaruh terhadap kekuatan sobek kulit. Sampel dengan
arah serat tegak lurus kulit memiliki kuat sobek lebih besar dibandingkan sampel
dengan arah serat sejajar kulit. Namun, arah serat tidak terlalu berpengaruh dalam
pengujian ini. Hal ini disebabkan arah serat kulit ikan tuna yang cenderung acak

15
atau tidak teratur sehingga kekuatan sobek antara kulit yang arah seratnya sejajar
perut dan tegak lurus perut tidak seimbang.
Kuat Tarik
Kuat tarik merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui
kekuatan kulit. Untuk membuat kulit tertarik hingga putus, dibutuhkan suatu gaya
dengan besaran tertentu yang kemudian disebut dengan kuat tarik. Kuat tarik
dipengaruhi oleh ketebalan kulit dan juga arah serat dari kulit. Besar kuat tarik kulit
samak memiliki standar sesuai dengan SNI karena parameter ini menentukan sifat
fisik dari kulit.
Hasil uji kuat tarik menunjukkan besar kuat tarik kulit yang dihasilkan
berkisar antara 166,6-276,7 kg/cm2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
faktor konsentrasi gambir dan konsentrasi krom memiliki pengaruh yang nyata
terhadap kuat tarik kulit samak. Selain itu, hasil interaksi antara konsentrasi gambir
dan konsentrasi krom juga memiliki pengaruh yang nyata terhadap kuat tarik kulit
samak. Hasil uji kuat tarik selengkapknya dapat dilihat pada Lampiran 8.
Uji lanjut Duncan untuk faktor konsentrasi gambir menunjukkan kedua
konsentrasi yang digunakan saling berbeda nyata terhadap kuat tarik kulit.
Berdasarkan Gambar 10, kulit samak dengan konsentrasi gambir 30% memiliki
kuat tarik yang lebih tinggi dibandingkan kulit samak dengan konsentrasi gambir
20%. Hasil ini berbeda jika dibandingkan dengan hasil uji kuat sobek, yakni kulit
samak dengan konsentrasi gambir 30% memiliki kuat sobek lebih kecil daripada
kulit samak dengan konsentrasi gambir 20%. Perbedaan ini kemungkinan
disebabkan karena sampel kulit dengan konsentrasi gambir 30% masih cukup
mampu menahan beban pada saat uji kuat tarik.

Kuat Tarik (kg/cm2)

250
200

150
100
50
0
20

30

Konsentrasi Gambir (%)

Gambar 10. Hubungan antara konsentrasi gambir terhadap kuat tarik kulit samak
Uji lanjut Duncan untuk faktor konsentrasi krom menunjukkan tiap taraf
memberikan pengaruh yang saling berbeda antar satu sama lain. Keempat
konsentrasi krom yang digunakan berada pada subset yang berbeda, sehingga tiap
konsentrasi krom yang digunakan pada uji kuat tarik saling berbeda nyata. Pada
Gambar 11, terlihat bahwa kulit samak dengan konsentrasi krom 7% memiliki kuat
tarik tertinggi dibandingkan kulit samak dengan konsentrasi krom yang lainnya.

16
300

Kuat Tarik (kg/cm2)

250
200
150
100
50
0
1

3

5

7

Konsentrasi Krom (%)

Gambar 11. Hubungan antara konsentrasi krom terhadap kuat tarik kulit samak
Berdasarkan hasil interaksi antara konsentrasi gambir dan krom yang tersaji
dalam Gambar 12, nilai kuat tarik tertinggi dihasilkan oleh kulit samak dengan
konsentrasi krom 7% dan konsentrasi gambir 20% sebesar 276,7 kg/cm2. Nilai ini
sudah melewati batas SNI (1989) untuk kulit domba samak kombinasi dengan besar
kuat tarik minimum 75 kg/cm2.
300

Kuat Tarik (kg/cm2)

250
200

Komposisi
Gambir (%):

150
20
100

30

50
0
1

3

5

7

Konsentrasi Krom (%)

Gambar 12. Interaksi antara konsentrasi gambir dan krom terhadap kuat tarik kulit
samak
Sama seperti kuat sobek, kulit memiliki kuat tarik yang lebih kuat setelah
disamak. Hal ini disebabkan karena adanya ikatan silang antara serat kolagen kulit
dengan bahan penyamak krom dan juga gambir.
Keberhasilan bahan penyamak berpenetrasi ke dalam kulit dipengaruhi oleh
beberapa hal. Salah satunya adalah pada proses prapenyamakan. Pada proses
prapenyamakan, terdapat dua proses yang menentukan bahan penyamak akan
mampu berpenetrasi dengan baik ke dalam kulit atau tidak. Proses tersebut adalah
pengapuran (liming) dan pelumatan (bating). Menurut O’Flaherty et al. (1956),
pada proses pengapuran, epidermis akan menjadi longgar dan bulu kulit akan
mudah untuk dilepaskan. Selain itu, tenunan serat kolagen juga akan terbuka pada
proses ini sehingga bahan penyamak dapat berpenetrasi ke dalam kulit. Pada proses
pelumatan, tenunan serat kolagen juga akan dibuka secara sempurna. Jika proses
liming dan bating terlalu berlebihan, tenunan kulit akan terlalu terbuka sehingga

17
kekuatan tarik akan berkurang. Jika proses tersebut kurang sempurna, tenunan kulit
juga tidak akan terbuka secara sempurna. Semakin banyak bahan penyamak krom
yang digunakan, semakin banyak ikatan silang yang terjadi sehingga kekuatan tarik
kulit akan semakin besar.
Pada sampel untuk uji kuat tarik dengan konsentrasi krom 5%, tebal kulit
yang dimiliki cukup kecil. Tebal kulit yang cukup kecil menunjukkan bahwa
tenunan kolagen yang terdapat di dalam kulit tersebut tidak terlalu banyak. Pada
proses prapenyamakan, semua sampel diproses secara bersamaan, sehingga ada
kemungkinan terjadi pengapuran yang berlebihan pada kulit dengan tebal awal
yang lebih kecil. Hal ini mengakibatkan pembukaan tenunan serat kolagen terlalu
berlebihan pada kulit tersebut. Tenunan serat kolagen yang terlalu terbuka
menyebabkan kekuatan tarik kulit sangat lemah. Meskipun telah disamak dengan
bahan penyamak dengan jumlah yang banyak, peningkatan kekuatan tariknya juga
tidak terlalu besar. Hal ini yang menyebabkan kulit samak dengan konsentrasi krom
5% memiliki kekuatan tarik yang lebih kecil dibandingkan kulit samak dengan
konsentrasi krom 3%.
Perpanjangan Putus
Perpanjangan putus suatu kulit menunjukkan tingkat keelastisan kulit.
Perpanjangan putus dinyatakan dengan besarnya perpanjangan yang dihasilkan
kulit saat kulit ditarik hingga putus dibagi dengan panjang awal kulit (dinyatakan
dalam %). Kulit yang memiliki nilai perpanjangan putus yang tinggi menunjukkan
kulit tersebut sangat elastis dan tidak mudah sobek. Namun, kulit yang terlalu
elastis juga tidak bagus sehingga SNI untuk kulit kambing samak kombinasi
mengatur nilai perpanjangan putus maksimum sebesar 25%.
Hasil analisis ragam menunjukkan faktor konsentrasi gambir dan konsentrasi
krom memiliki pengaruh yang signifikan terhadap elongasi kulit. Selain itu, hasil
interaksi antara faktor konsentrasi gambir dan krom juga memiliki pengaruh yang
nyata terhadap elongasi kulit. Hasil analisis ragam dan pengujian elongasi kulit
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kedua konsentrasi gambir yang
digunakan saling berbeda nyata terhadap perpanjangan putus kulit. Berdasarkan
Gambar 13, kulit samak dengan konsentrasi gambir 30% memiliki nilai
perpanjangan putus lebih rendah dibandingkan dengan kulit samak dengan
konsentrasi gambir 20%. Hal ini disebabkan karena peningkatan tebal pada kulit
seiring dengan penambahan konsentrasi gambir. Peningkatan konsentrasi gambir
yang digunakan untuk penyamakan menyebabkan kulit menjadi kaku akibat
banyaknya ikatan silang yang terjadi antara kolagen dengan tanin (Hastuti 2014).
Kulit yang semakin kaku menyebabkan penurunan elastisitas kulit, sehingga besar
elongasinya pun mengalami penurunan.

18

Perpanjangan Putus (%)

56
48
40
32
24
16
8
0
20

30

Konsentrasi Gambir (%)

Gambar 13. Hubungan antara konsentrasi gambir terhadap perpanjangan putus
kulit samak
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan konsentrasi krom terbagi ke dalam 3
kelompok/subset yang berbeda. Kulit samak dengan konsentrasi krom 1% dan 5%
berada pada subset yang sama, sehingga kedua konsentrasi ini tidak berbeda nyata
terhadap elongasi kulit. Kulit samak dengan konsentrasi krom 3% dan 7% berada
pada dua subset yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi krom 3%
berbeda nyata terhadap konsentrasi krom 1%, 5%, dan 7% terhadap parameter
elongasi. Hal serupa juga ditunjukkan pada konsentrasi krom 7%. Berdasarkan
Gambar 14, kulit samak dengan konsentrasi krom 7% memiliki nilai perpanjangan
putus tertinggi dibandingkan dengan kulit samak dengan konsentrasi krom lainnya.

Perpanjangan Putus (%)

64
56
48
40
32
24
16
8
0
1

3

5

7

Konsentrasi Krom (%)

Gambar 14. Hubungan antara konsentrasi krom terhadap perpanjangan putus kulit
samak
Berdasarkan Gambar 15, nilai perpanjangan putus tertinggi dihasilkan oleh
kulit samak dengan konsentrasi gambir sebesar 20% dan krom sebesar 7%. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah tanin yang lebih sedikit menyebabkan kulit menjadi
cenderung tidak kaku dan penggunaan krom yang lebih banyak menyebabkan kulit
menjadi lebih lemas. Kedua hal tersebut menyebabkan elastisitas kulit menjadi
tinggi sehingga nilai elongasinya pun semakin tinggi.

19
Pada sampel dengan konsentrasi gambir 20% dan krom 5% (Gambar 15),
elongasi kulit mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena sampel yang
digunakan memiliki tebal awal yang cukup kecil sehingga berpengaruh juga
terhadap ke