Proses Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan Bagian Atas Sepatu

PROSES PEMINYAKAN (FATLIQUORING) PADA PROSES
PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp) UNTUK
BAHAN BAGIAN ATAS SEPATU

ANDRIAN SAPUTRA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Proses Peminyakan
(Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan
Bagian Atas Sepatu” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014
Andrian Saputra
NIM F34090147

ABSTRAK
ANDRIAN SAPUTRA. Proses Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan
Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan Bagian Atas Sepatu. Dibimbing oleh
ONO SUPARNO.
Peminyakan (fatliquoring) merupakan salah satu proses yang terdapat pada
proses penyamakan, yaitu proses penetrasi bahan peminyak ke dalam ruang
kosong antar serat-serat di dalam kulit. Proses ini mampu mengubah sifat fisik
yang dimiliki oleh kulit, yaitu membuat kulit menjadi lebih lembut, elastis,
fleksibel dan menghasilkan permukaan kulit yang mulus. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan peminyak dan jenis peminyak
yang digunakan terhadap sifat fisik kulit samak ikan tuna untuk bahan bagian atas
sepatu. Jenis bahan peminyak yang digunakan adalah alami dan sintetis,
sedangkan dosis bahan peminyak yang digunakan adalah 3%, 6%, 9%, 12% dan
15%. Respon yang diuji meliputi peningkatan tebal, suhu kerut, kekuatan sobek,

kekuatan tarik, perpanjangan putus dan organoleptik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jenis bahan peminyak berpengaruh nyata dalam
meningkatkan kekuatan sobek dan perpanjangan putus secara signifikan. Faktor
dosis yang tersarang pada jenis bahan peminyak berpengaruh nyata dalam
meningkatkan suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik dan perpanjangan putus
secara signifikan. Tidak ada satu faktor pun yang berpengaruh nyata dalam
peningkatan tebal. Kondisi terbaik dicapai oleh bahan peminyak sintetis dengan
dosis 3%. Nilai sifat fisik yang dihasilkan adalah peningkatan tebal sebesar 32.4%,
suhu kerut sebesar 125oC, kekuatan sobek sebesar 95.3 N/mm, kekuatan tarik
sebesar 27.9 N/mm2, perpanjangan putus sebesar 45.3%, berwarna alami coklat
tua merata, bagian permukaan yang halus dan tingkat kelenturan yang baik.
Kata kunci: peminyakan, bahan peminyak, sifat fisik, kulit ikan tuna
ABSTRACT
ANDRIAN SAPUTRA. Fatliquoring Process on Tuna’s Skin (Thunnus sp) Tanning
for Shoe Upper Leather. Supervised by ONO SUPARNO.
Fatliquoring is part of tanning process, which penetrate the fatliquoring
agent into leather’s empty cells. This process can change the physical properties
of leather, which make it softer, more elastic, flexible and give smooth grain
surface. This research was conducted to observe the influence of fatliquor
addition on physical characteristics of tuna’s skin for the shoe upper. Responses

measured were thickness, shrinkage temperature, tear strength, tensile strength,
elongation at break and organoleptic properties. The types of fatliquor agent used
in this study were natural and synthetic, and the dosages were 3%, 6%, 9%, 12%
and 15%. Based on this research, the types of fatliquoring agent significantly
affected the tear strength and elongation at break. The dosages of fatliquor which
was nested in the type of fatliquor agent significantly affected the shrinkage
temperature, tear strength, tensile strength, and elongation at break. There was

no factor that significantly affected the thickness increase. The best condition in
this research was reached by synthetic fatliquoring agent with dosage of 3%. The
best condition gave thickness increase of 32.4%, shrinkage temperature of 125oC,
tear strength of 95.3 N/mm, tensile strength of 27.9 N/mm2, elongation at break of
45.3%, with a good natural brown colour, smooth of feel/handle and good
elasticity.
Key words: fatliquoring, fatliquoring agent, physical properties, tuna skin

PROSES PEMINYAKAN (FATLIQUORING) PADA PROSES
PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp) UNTUK
BAHAN BAGIAN ATAS SEPATU


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Proses Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan
Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan Bagian Atas Sepatu
Nama
: Andrian Saputra
NIM
: F34090147

Disetujui oleh


Prof Dr Ono Suparno, STP, MT
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan limpahan rahmat-Nya, sehingga penyusunan skripsi berjudul “Proses
Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp)
untuk Bahan Bagian Atas Sepatu” berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat
dalam penelitian dilaksanakan selama April sampai Agustus 2014.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada:
1. Departemen Teknologi Industri Pertanian atas bantuan penelitian berupa dana

dan berbagai fasilitas yang telah diberikan selama penelitian.
2. Prof Dr Ono Suparno, STP, MT, selaku Pembimbing Akademik atas perhatian
dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi.
3. Bapak Nurhadi selaku Manager PT Lautan Niaga Jaya atas bantuan yang telah
diberikan selama penelitian.
4. Ayahanda tercinta Mukhni, Ibunda Nurmahlina, adik-adikku Megayana Putri
dan Nur Alam Saputra beserta keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih
sayangnya.
5. Amira atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya.
6. Keluarga besar TIN 46 atas keceriaan dan kenangan indah yang tak
terlupakan.
7. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014
Andrian Saputra

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL


xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah


2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Kulit


3

Kulit Ikan Tuna

4

Penyamakan

4

Peminyakan

5

METODE PENELITIAN

7

Waktu dan Tempat


7

Bahan

7

Alat

7

Prosedur Penelitian

7

Penelitian Pendahuluan

7

Penelitian Utama


7

Prosedur Pengujian

9

Prosedur Analisis Data

9

Penentuan Perlakuan Terbaik

10

Analisis Nilai Tambah

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Peningkatan Tebal

10

Suhu Kerut

11

Kekuatan Sobek

12

Kekuatan Tarik

15

Perpanjangan Putus

17

Uji Organoleptik

20

Penentuan Perlakuan Terbaik

21

Nilai Tambah

22

SIMPULAN DAN SARAN

24

Simpulan

24

Saran

24

DAFTAR PUSTAKA

25

RIWAYAT HIDUP

51

DAFTAR TABEL
1
2

Hubungan mutu kulit hasil peminyakan terhadap jenis bahan peminyak
dan dosis yang digunakan
Perhitungan nilai tambah kulit samak

21
22

DAFTAR GAMBAR
1
2

Struktur histologi kulit secara umum (Said 2000)
Model rantai ikatan silang intramolekuler dan intermolekuler pada
protein kolagen (Anonim 1995)
3 Proses sulfatasi – hidrolisis trigliserida dan reaksi asam sulfat dengan
hidroksil dari gliserol (Covington 2009)
4 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan
peminyak terhadap nilai suhu kerut kulit samak ikan tuna
5 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek
kulit samak ikan tuna
6 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan
peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna
7 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan
peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna
8 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan tarik
kulit samak ikan tuna
9 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan
peminyak terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak ikan tuna
10 Skema alat ukur suhu kerut (SLTC 1996)
11 Bentuk dan dimensi sampel uji kekuatan tarik dan perpanjangan putus
(SLTC 1996)
12 Bentuk dan ukuran sampel untuk uji kekuatan sobek (mm) (SLTC
1996)

3
5
6
12
13
14
16
18
19
35
36
37

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Gambar/foto bahan penelitian yang digunakan dan penjelasan produk
bahan peminyak
Gambar/foto peralatan penelitian yang digunakan
Proses penyamakan krom (Suparno 2005)
Proses penyamakan nabati (Suparno et al. 2008)
Prosedur uji sifat fisik kulit
Tabel data dan analisis ragam (α = 0,05) pada respon peningkatan tebal
Tabel data dan analisis ragam (α = 0,05) pada respon suhu kerut
Tabel data, analisis ragam (α = 0.05) dan uji lanjut Duncan pada respon
kekuatan sobek
Tabel data dan analisis ragam (α = 0.05) pada respon kekuatan tarik
Tabel data, analisis ragam (α = 0.05) dan uji lanjut Duncan pada respon
perpanjangan putus
Foto kulit hasil penyamakan kombinasi

28
30
32
33
35
38
39
40
41
42
43

12 Prosedur pemilihan perlakuan terbaik
13 Prosedur perhitungan nilai tambah (Hayami 1987)
14 Syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing (SNI 2009)

44
49
50

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan tuna merupakan salah satu komoditi bidang perikanan terbesar di
Indonesia. Fillet ikan tuna merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari
kegiatan pengolahan ikan tuna. Hasil samping dari pengolahan tersebut adalah
kulit mentah ikan tuna. Sebagian besar hasil samping mengalami proses
pengolahan menjadi produk kerupuk kulit ikan yang relatif bernilai rendah.
Berdasarkan hal ini maka perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan nilai tambah
dari hasil samping tersebut. Salah satu usaha pengembangan yang dapat dilakukan
adalah dengan melakukan proses penyamakan terhadap kulit mentah ikan tuna.
Melalui proses penyamakan, maka akan dihasilkan kulit samak ikan tuna. Kulit
samak yang dihasilkan selanjutnya dapat diolah menjadi berbagai produk yang
dapat menunjang kegiatan manusia seperti tas, dompet, sepatu, ikat pinggang dan
berbagai produk lainnya.
Dibutuhkan beberapa tahapan proses yang harus dilakukan untuk mengubah
kulit mentah menjadi kulit samak. Tahapan proses yang dilalui meliputi tahap
prapenyamakan, penyamakan dan pascapenyamakan. Tahap prapenyamakan
merupakan tahap yang dilakukan untuk mempersiapkan kulit mentah menjadi
kulit siap samak (kulit pikel). Tahap penyamakan merupakan tahap inti dari proses
penyamakan. Inti dari proses penyamakan adalah memasukkan bahan penyamak
ke dalam kulit mentah sehingga terjadi proses yang mampu mengubah kulit
mentah menjadi kulit samak. Selanjutnya tahap pascapenyamakan (finishing)
merupakan tahap yang dilakukan setelah tahap inti berlangsung. Hal ini bertujuan
untuk menyempurnakan proses yang terjadi pada tahap penyamakan (inti). Setiap
tahapan proses perlu dilakukan secara seksama agar didapatkan kulit samak yang
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Salah satu tahap penting yang perlu
dilakukan pada proses pascapenyamakan adalah tahap peminyakan (fatliquoring).
Purnomo (2002) menjelaskan bahwa peminyakan merupakan bagian dari proses
penyamakan kulit yang bertujuan untuk memasukkan molekul minyak ke dalam
ruang kosong yang terdapat di antara serat-serat kulit. Melalui proses tersebut,
maka akan dihasilkan perubahan sifat penting kulit, antara lain kulit menjadi lebih
lunak, lentur, liat, mulur, lembut dan halus, sehingga mudah untuk diolah lebih
lanjut.
Minyak yang digunakan pada proses peminyakan merupakan minyak yang
telah mengalami proses sulfatasi atau sulfitasi. Minyak hasil sulfatasi atau sulfitasi
banyak digunakan karena dapat menghasilkan dispersi minyak yang baik dan
tidak sensitif terhadap asam (Etherington dan Roberts 2011). Berbagai minyak
yang biasa digunakan pada proses peminyakan berasal dari minyak hewan dan
nabati. Saat ini juga telah banyak dikembangkan berbagai jenis bahan peminyak
sintetis yang mampu menghasilkan sifat fisik kulit samak yang tidak jauh berbeda
dengan jenis bahan peminyak alami. Setiap jenis bahan peminyak memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penggunaan bahan peminyak dengan
jenis dan dosis yang tepat mampu menghasilkan kulit samak yang lebih lunak,
lentur, liat, mulur, lembut dan halus sehingga dapat diolah lebih lanjut serta
mampu meningkatkan efisiensi terhadap penggunaan bahan peminyak.
Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terhadap pengaruh

2
jenis dan dosis bahan peminyak yang digunakan terhadap sifat fisik kulit ikan tuna
untuk bahan bagian atas sepatu.
Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh jenis dan perbedaan dosis bahan peminyak yang
digunakan terhadap respon peningkatan tebal, suhu kerut, kekuatan sobek,
kekuatan tarik, perpanjangan putus (elongasi) dan sifat organoleptik yang
dihasilkan?
2. Perlakuan manakah yang memberikan mutu kulit terbaik dari respon tersebut?
3. Bagaimanakah sifat kulit hasil peminyakan pada kondisi perlakuan terbaik?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh jenis dan dosis
bahan peminyak terhadap sifat fisik dan organoleptik kulit samak ikan tuna untuk
bahan bagian atas sepatu, menentukan perlakuan jenis dan dosis bahan peminyak
yang terbaik untuk bahan bagian atas sepatu, dan menentukan sifat-sifat fisik kulit
samak ikan tuna bahan bagian atas sepatu yang dihasilkan.
Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan bermanfaat sebagai penentu kondisi terbaik dari
proses peminyakan dengan pemilihan bahan jenis peminyak dan dosis yang
terpilih dari produk kulit samak yang dihasilkan. Oleh karena itu, kondisi proses
terpilih dalam tahap peminyakan dapat dijadikan sebagai acuan dalam
menyesuaikan antara tingkat kesempurnaan proses penyamakan dengan mutu
produk bahan bagian atas sepatu yang ingin dicapai.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada proses peminyakan yang merupakan bagian
dari tahapan pascapenyamakan. Bahan baku kulit ikan tuna yang digunakan
merupakan limbah industri fillet ikan tuna yang dihasilkan oleh PT Lautan Niaga
Jaya, Muara Baru, Jakarta Utara. Bagian kulit yang digunakan terdiri atas bagian
perut hingga punggung yang memiliki rata-rata ketebalan antara 0.5 – 2.0 mm.
Proses yang dilakukan pada penelitian ini meliputi prapenyamakan, penyamakan
dan pascapenyamakan. Tahap prapenyamakan dilakukan untuk mengkonversi
kulit mentah menjadi kulit pikel siap samak. Tahap penyamakan kombinasi
dilakukan dengan menggunakan bahan penyamak krom 8% dan penyamak gambir
20%. Setelah tahap penyamakan selesai, dilakukan tahap pascapenyamakan
dengan melakukan proses peminyakan dengan dua jenis bahan peminyak berupa
bahan peminyak alami dan sintetis, serta lima taraf dosis bahan peminyak yang
terdiri atas 3%, 6%, 9%, 12% dan 15%. Hasil proses peminyakan kemudian
dianalisis sifat-sifat fisiknya yang meliputi peningkatan tebal, suhu kerut,
kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan putus serta uji organoleptik yang
meliputi warna, feel/handle dan kelenturan.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Kulit
Suardana et al. (2008) menyatakan bahwa kulit merupakan lapisan terluar
dari struktur makhluk hidup. Kulit berfungsi sebagai lapisan yang melindungi
tubuh dari pengaruh-pengaruh luar secara langsung, seperti panas, perlakuan
mekanis, kimiawi serta merupakan alat pengantar suhu. Covington (2009)
menyatakan bahwa secara histologis, kulit terdiri atas tiga lapisan utama, yaitu
lapisan epidermis, lapisan dermis (corium atau cutis) dan lapisan hipodermis
(subcutis). Lapisan epidermis merupakan lapisan paling luar dari kulit. Lapisan ini
berfungsi sebagai penghalang antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Lapisan dermis (corium atau cutis) merupakan bagian pokok tenunan kulit yang
dapat diubah menjadi kulit samak. Lapisan ini sebagian besar tersusun atas seratserat tenunan pengikat. Lapisan ini terdiri atas tiga tipe tenunan pengikat, yaitu
tenunan kolagen, elastin dan retikular. Lapisan hipodermis (subcutis) adalah
tenunan pengikat longgar yang menghubungkan lapisan dermis dengan bagianbagian lain dari tubuh. Said (2012) menyatakan bahwa pada penyamakan kulit,
lapisan ini harus dipisahkan dari dermis karena sebagian besar lapisan hipodermis
terdiri atas sisa daging. Struktur histologis kulit secara umum dapat dilihat di
Gambar 1.

Gambar 1 Struktur histologi kulit secara umum (Said 2000)
Kulit mentah sebagian besar tersusun atas jaringan protein yang mudah
rusak akibat pengaruh fisik, kima maupun biologi. Protein penyusun kulit
sebagian besar tersusun atas kolagen, elastin dan retikular. Kolagen merupakan
jaringan ikat terbanyak, disusul oleh elastin dan retikular. Mustakim et al. (2006)
menyatakan bahwa adanya reaksi bahan penyamak yang berikatan dengan
kolagen menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik kulit mentah yang semula mudah
rusak dan tidak stabil menjadi kulit samak yang lebih stabil dan tahan lama.
Kulit memiliki dua buah gugus fungsi bermuatan yang berbeda jenis, yaitu
karboksilat (COO-) dan amino (NH3+). Kedua gugus fungsi tersebut akan aktif
pada kondisi lingkungan berbeda. Gugus fungsi karboksilat akan aktif dalam
suasana asam, sedangkan gugus fungsi amino aktif dalam suasana basa.
Covington (2009) menjelaskan bahwa perbedaan ini harus disesuaikan dengan
jenis bahan penyamak yang akan digunakan. Proses pengikatan tanning agent

4
(bahan penyamak) terhadap gugus fungsi tidak akan terjadi dalam muatan yang
tidak sesuai.
Kulit Ikan Tuna
Pada dasarnya setiap kulit hewan dapat digunakan sebagai bahan baku
industri penyamakan, termasuk ikan. Kulit hewan pada umumnya memiliki sifatsifat alami yang bervariasi. Berbagai faktor yang menyebabkan adanya variasi
pada kulit hewan adalah faktor umur, keturunan, lingkungan hidup dan faktor
pemeliharaan. Sebagai contoh adalah ketebalan kulit yang berbeda pada setiap
bagian kulit. Pada kulit hewan besar (contoh: sapi dan kambing), ketebalan dibagi
atas beberapa daerah, yaitu krupon, kepala dan leher, ekor dan perut, serta kaki.
Berbeda dengan hewan besar, kulit ikan tuna tidak memiliki bagian yang cukup
jelas. Alfindo (2009) menyatakan bahwa kulit ikan tuna berwarna gelap pada
bagian tulang punggung dan semakin memudar ke arah perut. Ketebalan kulit ikan
tuna dari bagian kepala ke arah ekor semakin menipis, demikian juga secara
vertikal dari daerah tulang punggung ke arah perut. Kepadatan jaringan serat
kolagen pun beragam di setiap bagian. Menurut Oosten (1969) serta Nagai dan
Takeda (2004), secara kimiawi kulit ikan terdiri atas dua komponen utama, yaitu
komponen protein dan nonprotein. Komponen nonprotein terdiri atas lipid,
karbohidrat, mineral, enzim dan vitamin. Umumnya kulit ikan mengandung air
(69.9%), protein (26.9%), mineral (2.5%) dan lemak (0.7%).
Penyamakan
Penyamakan merupakan proses memodifikasi struktur kolagen dengan cara
mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan penyamak
lainnya) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut,
sehingga kulit menjadi tahan terhadap gangguan mikroorganisme (Suparno et al.
2005). Penyamakan secara sederhana bertujuan untuk mengubah kulit mentah
yang memiliki sifat tidak stabil, yaitu mudah rusak karena pengaruh biologis,
fisika dan kimia, menjadi kulit samak yang memiliki sifat stabil dan tahan
terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Purnomo (2002) menjelaskan bahwa
mekanisme yang dilakukan adalah dengan memasukkan bahan penyamak ke
dalam jaringan serat kulit sehingga terjadi ikatan kimia antara serat kolagen dan
bahan penyamak.
Terdapat tiga tahapan utama dalam proses penyamakan kulit, yaitu
prapenyamakan, penyamakan dan pascapenyamakan. Prapenyamakan merupakan
proses yang dilakukan terhadap kulit mentah agar siap untuk disamak. Proses
tersebut meliputi penghilangan bagian yang tidak diinginkan (epidermis dan
hipodermis) melalui proses perendaman, pengapuran (liming), pembuangan
bagian lain yang tidak penting seperti sisik, daging dan lendir (fleshing),
pembuangan kapur (deliming), pelumatan (bating), dan pemikelan (pickling).
Dilanjutkan proses penyamakan, yaitu sebuah proses penyerapan tanning agent
oleh substansi kulit sehingga terjadi perubahan dari kulit mentah menjadi kulit
samak. Setelah proses penyamakan selesai, maka dilakukan proses finishing yang
meliputi peminyakan, pengeringan, pengecatan, pementangan dan peregangan.
Judoamidjojo (1982) dan Purnomo (2002) menjelaskan bahwa seluruh proses
dilakukan dalam upaya memperbaiki kualitas dan rupa kulit samak. Setiap
tahapan proses harus dilakukan secara sempurna. Kegagalan yang terjadi pada

5
salah satu proses menyebabkan kegagalan pada proses selanjutnya sehingga kulit
samak yang dihasilkan tidak tersamak secara sempurna.
Pada proses penyamakan kulit, serabut kolagen yang satu dengan yang lain
membentuk berkas serabut dan kemudian membentuk cabang berkas serabut.
Cabang berkas serabut yang satu dengan yang lainnya kemudian saling
membentuk anyaman dan terbentuk sudut jalinan (wave angle). Gambaran model
rantai ikatan silang pada protein kolagen secara lengkap disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Model rantai ikatan silang intramolekuler dan intermolekuler pada
protein kolagen (Anonim 1995)
Peminyakan
Proses peminyakan (fatliquoring) merupakan bagian dari proses
penyamakan kulit. Proses ini bertujuan untuk memasukkan molekul minyak ke
dalam ruang kosong yang terdapat di antara serat-serat kulit. Masuknya molekul
minyak memberikan perubahan terhadap sifat-sifat fisik kulit samak, antara lain
kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur, lembut dan permukaan rajahnya lebih halus
(Purnomo 2002). Peminyakan juga bertujuan untuk melicinkan serat-serat kulit
sehingga membuat serat kulit tidak menempel antara satu dengan yang lainnya,
kemudian terjadi peningkatan pada kekuatan/daya tarik, peningkatan elastisitas
kulit dan penurunan daya serap air (Rachmi 1992).
Covington (2009) menjelaskan bahwa tujuan utama dari proses peminyakan
bukanlah membuat kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur dan lemas. Tujuan utama
dari proses peminyakan adalah mencegah struktur serat kulit saling berikatan
kembali pada saat proses pengeringan. Ketika proses pengeringan berlangsung,
kulit samak mengering secara perlahan. Pada kondisi tersebut air yang yang
berada di antara serat-serat kulit secara perlahan menghilang. Hilangnya air
menyebabkan struktur jaringan serat perlahan berdekatan, kemudian saling
berikatan. Seiring berjalannya waktu, ikatan tersebut akan semakin kuat. Hal ini
dapat menyebabkan kulit sama menjadi keras dan kaku. Hal tersebut
menyebabkan nilai mutu kulit samak yang tidak sesuai dengan standar sehingga
perlu dilakukan pencegahan dengan cara melakukan proses peminyakan.
Etherington dan Roberts (2011) menjelaskan bahwa penambahan minyak
terhadap kulit menyebabkan terjadinya pengaturan terhadap perbedaan
pengkerutan antara bagian grain (bagian yang terdapat arah serat kulit/dermis)
dengan corium selama proses pengeringan kulit. Puntener (1996) menjelaskan
bahwa selama proses peminyakan terjadi ikatan yang kuat secara fisis antara
molekul minyak dan jaringan kulit sehingga menyebabkan sulitnya minyak
migrasi dari kulit.
Bahan yang digunakan pada proses peminyakan disebut bahan peminyak
(fatliquoring agent). Bahan peminyak merupakan minyak, lemak, lilin, alami atau

6
sintetis dan berbagai produk tambahan yang digunakan sehingga bahan tersebut
dapat larut di dalam air. Salah satu cara untuk membuat bahan memiliki sifat
tersebut adalah dengan melakukan modifikasi secara kimia, yaitu menambahkan
material yang mampu larut dalam air. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah
menambahkan asam sulfat atau asam sulfit (Leafe 1999).
Minyak tersulfatasi atau minyak tersulfitasi (biasa disebut dengan bahan
peminyak atau fatliquor) merupakan minyak yang secara umum digunakan pada
proses peminyakan karena mampu memberikan kemampuan mendispersi minyak
secara baik dan kurang sensitif terhadap asam. Bahan peminyak biasa dibuat dari
berbagai jenis minyak, seperti minyak hewan dan minyak nabati (Sharphouse
1995). Metode yang paling umum digunakan untuk melakukan modifikasi secara
kimia untuk pembuatan bahan peminyak adalah sulfatasi. Sulfatasi merupakan
proses pencampuran bahan yang akan direaksikan dengan agen sulfatasi/sulfonasi.
Bernardini (1983) dan Pore (1976) menjelaskan bahwa pereaksi yang biasa
digunakan pada proses sulfatasi antara lain asam sulfat (H2SO4), sulfur trioksida
(SO3), NH2SO3H dan CISO3. Berikut adalah contoh proses sulfatasi dalam
pembuatan bahan peminyak (Gambar 3).

Gambar 3 Proses sulfatasi – hidrolisis trigliserida dan reaksi asam sulfat dengan
hidroksil dari gliserol (Covington 2009)
Secara umum bahan peminyak dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu
bahan peminyak anionik, kationik, amfoterik dan nonionik. Bahan peminyak
anionik merupakan bahan peminyak yang dihasilkan dari proses sulfatasi atau
sulfitasi. Bahan peminyak kationik merupakan bahan peminyak yang berasal dari
minyak mentah yang diemulsikan dengan bahan emulsi kationik seperti
ammonium quarternari. Bahan peminyak amfoterik merupakan bahan peminyak
yang berasal dari minyak mentah yang diemulsikan dengan reagen amfoterik.
Bahan peminyak nonionik merupakan bahan peminyak hasil emulsifikasi dengan
senyawa kondensasi etilen oksida (Covington 2009).

7

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama enam bulan sejak April – September 2014.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyamakan Kulit Leuwikopo,
Laboratorium Bioindustri, Laboratorium Teknologi Kimia Departemen Teknologi
Industri Pertanian, dan Laboratorium Rekayasa Bangunan Kayu Departemen
Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit ikan
tuna dan bahan peminyak (fatliquor agent). Kulit ikan tuna berasal dari PT Lautan
Niaga Jaya, Muara Baru, Jakarta Utara. Bahan baku disimpan dan diawetkan
dalam kondisi beku. Bahan yang digunakan pada proses penyamakan adalah
aquades, krom dengan basisitas 33%, bahan penyamak gambir, natrium klorida,
asam sulfat, asam formiat, natrium bikarbonat, Sertan ND (dispersing agent), serta
bahan peminyak (fatliquor agent) alami dan sintetis. Bahan peminyak yang
digunakan merupakan bahan peminyak dengan merk Quimser, Barcelona dengan
kode produk Seroil CMT (alami) dan Seroil FO (sintetis). Quimser (2014)
menjelaskan bahwa bahan peminyak dengan kode produk Seroil CMT dan Seroil
FO sama-sama mampu menghasilkan kulit samak yang sangat lembut dengan berat
kulit yang cukup ringan. Foto bahan-bahan penelitian dan penjelasan terkait bahan
peminyak dapat dilihat pada Lampiran 1.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah molen (drum putar), shaker,
jar, pH meter, pisau, talenan, erlenmeyer 250 ml, labu ukur 100 ml, pipet
volumetrik, termometer, thickness gauge, baumeter, kompor listrik, toggle dryer,
utility tensile machine (UTM Instron), alat pengukur suhu kerut dan alat uji tarik
dengan merk “Zwick/Roell”. Foto alat-alat yang digunakan dalam proses dapat
dilihat pada Lampiran 2.

Prosedur Penelitian
Penelitian Pendahuluan
Tahapan yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah proses
pembuatan kulit pikel pada tahap prapenyamakan. Selanjutnya dilakukan proses
penyamakan kombinasi dengan bahan penyamak krom 8% dan penyamak gambir
20%. Kemudian dilakukan proses peminyakan dengan dosis bahan peminyak yang
digunakan terdiri atas 0%, 5% dan 15%. Hal ini dilakukan agar diketahui
pengaruh dosis bahan peminyak terhadap sifat-sifat fisik kulit samak ikan tuna.
Penelitian Utama
1. Prapenyamakan
Tahap prapenyamakan merupakan tahap awal untuk menyiapkan kulit
mentah menjadi kulit siap samak. Prapenyamakan terdiri atas proses pengapuran
(liming), penghilangan daging (fleshing), penghilangan kapur (deliming),
pelumatan (bating), dan pemikelan (pickling). Kulit mentah dicuci bersih

8
kemudian dimasukkan ke dalam molen. Selanjutnya dilakukan pencampuran
bahan pembantu penyamakan sesuai dengan dosis yang dibutuhkan pada tiap
proses. Satuan penambahan dosis adalah persen (%) yang dihitung dari bobot total
kulit yang akan disamak. Sebagai contoh, apabila dibutuhkan air sebanyak 100%
dan NaCl sebanyak 8% dari bobot total kulit sebanyak 1000 gram, maka air yang
dibutuhkan adalah 100% dari 1000, yaitu 1000 ml, sedangkan NaCl yang
dibutuhkan adalah 8% dari 1000, yaitu 80 gram.
Dilakukan proses liming dengan mencampurkan air sebanyak 300%,
Ca(OH)2 (kapur) sebanyak 5% dan Na2S sebanyak 3%, lalu dimasukkan ke dalam
molen dan diputar selama 120 menit, kemudian didiamkan selama 16 jam 15
menit. Dilakukan fleshing sampai bersih sehingga tidak ada lagi daging dan
komponen lain (jaringan lemak, dan sebagainya) selain kulit yang tersisa. Kulit
dicuci dengan air mengalir, kemudian dilakukan proses deliming untuk
menghilangkan kapur yang masih terdapat di dalam kulit. Deliming dilakukan
dengan mencampurkan air sebanyak 200% dan 100%, ammonium sulfat sebanyak
0.5% dan 2% serta natrium bisulfat sebanyak 0.2%. Proses tersebut dilakukan di
dalam molen selama 2 x 15 menit. Selanjutnya dilakukan proses bating dengan
menggunakan enzim (rindol RNN) sebanyak 0.15% dan degressing agent
sebanyak 0.05%, dan dilakukan selama 10 menit. Memasuki tahap pickling,
seluruh cairan dibuang kemudian diganti dengan cairan baru yang merupakan
campuran dari air sebanyak 200%, NaCl sebanyak 10%, Regresol LP sebanyak
0.2% dan natrium format sebanyak 0.5%. Sebelum dimasukkan, dilakukan
pengaturan derajat Baumé melalui pengaturan air dan garam (penambahan atau
pengurangan) dengan nilai yang digunakan berkisar antara 6 – 10, kemudian
diproses selama 10 – 15 menit. Derajat Baumé (oBé) pada penelitian ini adalah 9
o
Bé. Selanjutnya dilakukan pengaturan pH dengan menambahkan larutan asam
yang telah mengalami proses pengenceran dengan perbandingan 1:10. Asam
formiat ditambahkan sebanyak 0.8% kemudian diproses selama 2 x 20 menit.
Setelah selesai, ditambahkan asam sulfat sebanyak 1.2%, kemudian diproses
selama 3 x 30 menit + 90 menit dengan rentang pH akhir berkisar antara 2.9 – 3.1.
2.

Penyamakan krom
Kulit pikel mengalami penyamakan kombinasi, yaitu proses penyamakan
dengan menggunakan dua bahan penyamak berbeda. Penelitian ini menggunakan
bahan penyamak krom dan nabati. Penyamakan diawali dengan pemotongan kulit
pikel dengan ukuran 7 cm x 7 cm. Selanjutnya dilakukan pengukuran ketebalan di
lima titik permukaan kulit pikel dengan menggunakan alat thickness gauge dan
pengukuran suhu kerut. Kemudian dimasukkan ke dalam molen bersih berupa air
sebanyak 200%, NaCl 10% (Baumé 6 – 10), lalu diproses selama 15 menit.
Selanjutnya dilakukan penambahan asam formiat sebanyak 0.1% dan asam sulfat
sebanyak 0.2%, lalu diproses selama 4 x 30 menit dengan pengenceran 1:10 dan
rentang pH antara 2.0 – 3.2. Material bahan penyamak krom (Cr2O3) kemudian
ditambahkan sebanyak 8% dengan lama proses 60 menit. Setelah selesai,
dimasukkan natrium bikarbonat yang telah mengalami pengenceran 1:5 sebanyak
0.25%. Proses ini dilakukan selama 4 x 30 menit dengan rentang pH antara 3.2 –
3.8 dan suhu 30oC. Cairan dibuang lalu dilakukan proses netralisasi dengan
mencampurkan air sebanyak 300% (40oC) dan natrium bikarbonat sebanyak 2%
dengan rentang pH 3.7 – 3.9. Setelah selesai, kulit samak krom dicuci dengan air

9
mengalir lalu didiamkan selama satu malam. Metode penyamakan krom di atas
merupakan metode yang dilakukan oleh Suparno (2005). Proses penyamakan
krom secara lebih jelas tersaji pada Lampiran 3.
3.

Penyamakan nabati dan peminyakan
Bahan penyamak nabati yang digunakan adalah gambir (Uncaria gambir).
Dilakukan proses depickling (pengaturan pH) dengan mencampurkan air sebanyak
200%, NaCl 10% (Baumé 6-10), kemudian diproses selama 20 menit. Selanjutnya
ditambahkan natrium bikarbonat sebanyak 0.75% dengan pengenceran 1:10
selama 3 x 15 menit dan pH 4.5. Setelah selesai, ditambahkan Sertan ND
sebanyak 2% selama 30 menit dan pH 4.5, serta gambir sebanyak 20% selama 2 x
60 menit. Cairan dibuang kemudian dilakukan proses pencucian kulit di dalam
molen selama 15 menit. Kulit memasuki tahap pascapenyamakan berupa
penambahan bahan peminyak alami dan sintetis yang masing-masing sudah
dilarutkan ke dalam air bersuhu 80oC, kemudian diproses di dalam molen selama
60 menit. Jumlah dosis bahan peminyak yang dimasukkan terdiri atas 3%, 6%, 9%,
12% dan 15%. Proses fiksasi dengan menggunakan asam formiat sebanyak 0.25%
selama 3 x 10 + 60 menit dengan pengenceran 1:3 dan pH 3.5. Cairan dibuang,
kemudian kulit dicuci dengan air mengalir (pH 3.5). Selanjutnya kulit disampirkan
di kuda-kuda penyampir selama satu malam, lalu dikeringkan di toggle dryer
selama 1 – 2 malam. Selanjutnya dilakukan proses pengujian yang meliputi
perubahan ketebalan, suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan
putus, dan uji organoleptik. Metode penyamakan nabati dan peminyakan di atas
merupakan metode yang pernah dilakukan oleh Suparno et al. (2008). Proses
penyamakan nabati dan peminyakan secara lebih jelas tersaji pada Lampiran 4.

Prosedur Pengujian
Terdapat dua parameter yang diamati, yaitu parameter sifat-sifat fisik dan
sifat organoleptik kulit samak. Respon yang diamati pada parameter sifat-sifat
fisik kulit samak meliputi perubahan ketebalan, suhu kerut, kekuatan sobek,
kekuatan tarik, dan perpanjangan putus (elongasi). Respon yang diamati pada
parameter organoleptik kulit samak meliputi warna, feel/handle dan kelenturan.
Setiap pengujian dilakukan dengan menggunakan prosedur yang berbeda. Pada
pengujian sifat-sifat fisik kulit samak, prosedur yang digunakan adalah SLP 4
untuk pengujian ketebalan, SLP 18 untuk pengujian suhu kerut, SLP 7 untuk
pengujian kuat sobek, SLP 6 untuk pengujian kuat tarik dan perpanjangan putus.
Pada pengujian organoleptik kulit samak, dilakukan penilaian secara visual untuk
respon warna dan feel/handle, serta penilaian secara skala ordinal untuk respon
kelenturan. Prosedur pengujian dapat dilihat pada Lampiran 5.
Prosedur Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Tersarang (Nested Design) dengan dua faktor dan dua kali ulangan.
Faktor yang diamati adalah jenis bahan peminyak dan dosis bahan peminyak yang
tersarang pada jenis bahan peminyak. Jenis bahan peminyak yang digunakan,
yaitu bahan peminyak alami (A1) dan bahan peminyak sintetis (A2). Kemudian
dosis bahan peminyak (fatliquor) yang digunakan, yaitu 3% (B1), 6% (B2), 9%
(B3), 12% (B4), dan 15% (B5). Model matematikanya adalah sebagai berikut:

10
Yijk = µ + Ai + Bj(i) + єijk
Keterangan:
Yijk
= pengamatan pada ulangan ke-k, jenis ke-i dan dosis ke-j
µ
= rataan umum
Ai
= pengaruh jenis bahan pada taraf ke-i
Bj(i)
= pengaruh dosis pada taraf ke-j pada Ai
єijk
= galat eksperimen
Selanjutnya data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan
menggunakan program statistika SPSS versi 16.0 trial version dengan perhitungan
analisis ragam yang mengacu pada rancangan percobaan yang digunakan. Jika
hasil analisis ragam menyatakan adanya pengaruh nyata, maka pengolahan data
dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Uji Duncan). Uji Duncan
bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari setiap faktor.
Penentuan Perlakuan Terbaik
Data hasil penelitian yang didapatkan kemudian dipilih satu jenis perlakuan
yang terbaik. Proses pemilihan perlakuan terbaik tersebut menggunakan metode
berupa penilaian. Tiap parameter hasil akan dijadikan sebagai kriteria dengan
bobot yang berbeda-beda. Prosedur penilaian selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 12.
Analisis Nilai Tambah
Analisis nilai tambah dari kulit samak hasil proses peminyakan dilakukan
dengan menggunakan metode Hayami (1987). Prosedur selengkapnya dari metode
Hayami dapat dilihat pada Lampiran 13.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Peningkatan Tebal
Proses penyamakan mampu memberikan pengaruh terhadap karakterisitik
kulit samak. Kulit mentah yang dikonversi menjadi kulit samak akan mengalami
perubahan sifat fisik, kimia, maupun organoleptik. Salah satu perubahan yang
sangat terlihat adalah peningkatan tebal kulit. Tebal kulit berubah akibat adanya
reaksi antara bahan penyamak dan kolagen kulit yang menyebabkan efek
penambahan volume pada kulit.
Hasil pengujian terhadap respon peningkatan tebal kulit (Lampiran 6)
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tebal sebesar 31 – 33%, yang semula
berada di kisaran 0.5 – 2.0 mm menjadi 0.65 – 2.5 mm. Peningkatan tersebut
sudah memenuhi SNI (BSN 2009) untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki –
kulit kambing dengan nilai tebal kulit minimal sebesar 0.5 mm. Berdasarkan
analisis ragam (anova), didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar
0.062 (> 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.186 (> 0.05). Hasil tersebut
menyatakan bahwa faktor jenis dan dosis tersarang tidak berpengaruh nyata
terhadap nilai peningkatan tebal kulit. Karena hasil analisis ragam menyatakan

11
bahwa faktor-faktor tersebut tidak memberikan pengaruh nyata, maka uji lanjut
Duncan tidak perlu dilakukan. Hasil data dan analisis ragam dapat dilihat di
Lampiran 6.
Proses peminyakan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan
tebal kulit samak karena proses ini merupakan reaksi fisik. Pada proses
peminyakan terjadi pengisian ruang serat kosong antar kulit. Hal ini jelas berbeda
dengan proses penyamakan yang merupakan reaksi kimia antara bahan penyamak
dengan kolagen kulit. Thorstensen (1993) dan Suparno et al. (2011) menyatakan
bahwa adanya reaksi ikatan antara bahan penyamak dan kolagen kulit
menyebabkan terjadinya peningkatan tebal kulit. Pada proses penyamakan kulit
terjadi penumpukan serabut kolagen yang membentuk anyaman sehingga
menyebabkan peningkatan tebal kulit. Penggunaan bahan penyamak nabati yang
salah satu sifatnya adalah memberikan efek pertambahan volume pada kulit samak
menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan tebal kulit. Hal ini juga
diperkuat oleh pendapat Joenoes (2002) yang menyatakan bahwa gambir bereaksi
sangat cepat dalam menyamak kulit mentah dengan mengisi gugus protein yang
bebas, sehingga peningkatan tebal kulit menjadi lebih tinggi bila dibandingkan
dengan bahan penyamak nabati yang lain.
Suhu Kerut
Kulit samak akan mengalami pengerutan dalam rentang waktu tertentu
apabila terpapar oleh panas. Semakin besar suhu panas dan lamanya waktu yang
dialami oleh kulit samak pada saat terpapar, maka kulit samak akan semakin
mengerut. Suhu kerut atau shrinkage temperature (Ts) merupakan suhu pada saat
kulit mengerut sebanyak 0.3% dari panjang awalnya (SLTC 1996). Yahua et al.
(2011) menjelaskan bahwa suhu kerut merupakan suhu saat kulit mulai mengerut
di dalam air atau media panas lainnya.
Hasil pengujian suhu kerut (Lampiran 7) menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan suhu kerut seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak dari
setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Secara berurutan nilai suhu kerut
meningkat dari kisaran 124oC – 127oC. Nilai suhu kerut terbesar dimiliki oleh
sampel dengan jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar
127oC, sedangkan nilai suhu kerut terkecil dimiliki oleh sampel dengan jenis
bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 124.5oC. Berdasarkan
analisis ragam didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar 0.838 (>
0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.001 (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan
bahwa hanya faktor dosis tersarang yang berpengaruh nyata terhadap nilai suhu
kerut.
Pada faktor dosis tersarang (Gambar 4), dapat dilihat bahwa nilai suhu kerut
berkisar antara 124oC – 127oC. Nilai suhu kerut terbesar dihasilkan oleh bahan
peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 127oC, sedangkan nilai suhu
kerut terkecil dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai
sebesar 124.5oC. Meski didapatkan hasil yang berbeda nyata pada faktor dosis
tersarang, uji lanjut Duncan pada dosis tersarang tidak dapat dilakukan karena
yang menjadi faktor utama pada rancangan percobaan yang digunakan adalah
faktor jenis bahan peminyak. Faktor dosis yang tersarang pada bahan peminyak
alami sudah pasti berbeda dengan faktor dosis yang tersarang pada bahan
peminyak sintetis. Faktor dosis yang tersarang pada bahan peminyak alami akan

12
tetap tersarang pada bahan peminyak alami dan tidak akan pernah pindah ke jenis
bahan peminyak sintetis. Hal ini menyebabkan tidak akan ada interaksi yang
terjadi antara dosis yang tersarang pada setiap bahan peminyak. Rancangan inilah
yang menjadi dasar dari rancangan percobaan tersarang (nested design). Tabel
data dan analisis ragam dari respon suhu kerut dapat dilihat pada Lampiran 7.
Peningkatan suhu kerut terjadi akibat proses penyamakan. Hal ini diperkuat
dengan pendapat Thorstensen (1993) dan Suparno et al. (2011) yang menyatakan
bahwa penggunaan bahan penyamak selama proses penyamakan menghasilkan
reaksi ikatan antara bahan penyamak dan kolagen. Reaksi tersebut mampu
meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit dengan adanya ikatan silang yang terjadi,
sehingga struktur kulit yang semula terpisah kemudian bergabung bersama
menjadi struktur yang lebih kuat. Suhu kerut tidak akan meningkat apabila jumlah
krom pada kulit prapenyamakan tinggi. Jika kandungan krom rendah, maka akan
terjadi peningkatan suhu kerut. Schröpfer dan Meyer (2012) menjelaskan bahwa
meski terjadi peningkatan suhu kerut pada penambahan bahan peminyak, akan
tetapi peningkatan suhu kerut secara dominan disebabkan oleh adanya
peningkatan derajat crosslinking yang diikuti dengan peningkatan stabilitas
hidrotermal. Proses prapenyamakan juga mampu memberikan pengaruh terhadap
stabilitas hidrotermal kulit. Hasil penelitian Brown et al. (2012) menunjukkan
bahwa proses pelepasan bulu (unhairing) dapat mempengaruhi struktur kolagen
dari kulit. Perbedaan struktur kolagen inilah yang menyebabkan stabilitas
hidrotermal dari kulit menjadi ikut berbeda.
130

Suhu Kerut (oC)

125
Konsentrasi

120

3%
6%

115

9%
110
12%
105

15%

100
Alami

Sintetis
Jenis Bahan Peminyak

Gambar 4 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan
peminyak terhadap nilai suhu kerut kulit samak ikan tuna
Kekuatan Sobek
Kekuatan sobek (tear strength) merupakan besarnya gaya maksimal yang
dibutuhkan untuk merobek kulit (ikatan kolagen) tiap mm ketebalan sampel. Kuat
sobek juga dapat diartikan sebagai suatu besaran yang menentukan seberapa baik
suatu material/sampel mampu menahan gaya sobekan. Secara sederhana kekuatan

13
sobek menunjukkan batas maksimal yang dapat diterima oleh kulit untuk dapat
sobek.
Hasil pengujian kekuatan sobek (Lampiran 8) menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan nilai kekuatan sobek seiring dengan peningkatan dosis bahan
peminyak dari setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Nilai kekuatan sobek
terbesar dihasilkan oleh sampel jenis bahan peminyak alami pada dosis 15%
dengan nilai sebesar 156.3 N/mm, sedangkan nilai terkecil dimiliki oleh sampel
jenis bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 76.1 N/mm.
Berdasarkan analisis ragam, didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis
sebesar 0.005 (< 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.000 (< 0.05). Hasil
tersebut menyatakan bahwa faktor jenis dan dosis tersarang berpengaruh nyata
terhadap respon kekuatan sobek.
Pada faktor jenis bahan peminyak (Gambar 5), nilai kekuatan sobek yang
dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis (121.8 N/mm) lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis bahan peminyak alami (114 N/mm). Dari hasil uji
lanjut Duncan didapatkan dua grup berbeda, yaitu grup A yang merupakan bagian
dari jenis bahan peminyak sintetis dengan nilai sebesar 121.8 N/mm, dan grup B
yang merupakan bagian dari jenis bahan peminyak alami dengan nilai sebesar 114
N/mm. Perbedaan kode grup menyatakan bahwa hasil yang didapatkan adalah
berbeda nyata. Hal ini secara jelas menyatakan bahwa jenis bahan peminyak alami
berbeda nyata dengan jenis bahan peminyak sintetis, sehingga hasilnya berbeda
nyata terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak.

Kekuatan Sobek (N/mm)

140
130
120
110
100
90
80
Alami

Sintetis
Jenis Bahan Penyamak

Gambar 5 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek
kulit samak ikan tuna
Pada faktor dosis tersarang (Gambar 6), terlihat jelas bahwa peningkatan
nilai kekuatan sobek meningkat seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak
yang digunakan. Hasil serupa juga dinyatakan oleh Nurdiansyah (2012) serta
Pahlawan dan Kasmudjiastuti (2012) yang menyatakan bahwa pertambahan dosis
bahan peminyak menyebabkan peningkatan nilai kekuatan sobek. Nilai kekuatan
sobek terbesar dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai

14
sebesar 156.3 N/mm, dan nilai terkecil dihasilkan oleh bahan peminyak alami
pada dosis 3% dengan nilai sebesar 76.1 N/mm. Nilai tersebut sudah melewati
batas SNI (BSN 2009) untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit
kambing dengan nilai minimal sebesar 150 N/cm atau 15 N/mm. Tabel data,
analisis ragam dan uji lanjut Duncan dari respon kekuatan sobek dapat dilihat di
Lampiran 8.
Suparno dan Wahyudi (2012) menyatakan bahwa nilai kekuatan sobek
sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tebal kulit, sudut antar serat dengan
lapisan grain, arah serat kolagen dan lokasi sampel pada kulit. Selain itu,
keberhasilan proses pengapuran (liming) dan pelumatan (bating) menjadi kunci
peningkatan kekuatan sobek. Proses liming dan bating menyebabkan tenunan serat
kolagen terbuka. Apabila proses liming dan bating dilakukan secara berlebihan,
maka tenunan serat kolagen akan terbuka lebar dan terurai. Apabila proses liming
dan bating dilakukan dengan kurang sempurna, maka tenunan serat kolagen tidak
akan terbuka sehingga menyebabkan sulitnya penetrasi bahan penyamak ke dalam
kulit.
180

Kekuatan Sobek (N/mm)

160
140
Konsentrasi
3%

120
100

6%
80
9%
60
12%
40
15%
20
0
Alami

Sintetis
Jenis Bahan Peminyak

Gambar 6 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan
peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna
Purnomo (2002) menjelaskan bahwa kulit yang tebal memiliki tenunan serat
kolagen yang berikatan lebih banyak dan menumpuk, berbeda dengan kulit yang
tipis yang memiliki tenunan serat kolagen yang longgar. Perbedaan tersebut
menyebakan gaya yang dibutuhkan untuk menyobek kulit tebal lebih besar jika
dibandingkan dengan kulit tipis. Penambahan bahan peminyak menyebabkan nilai
kekuatan sobek meningkat. Hal ini disebabkan oleh penetrasi molekul minyak ke
dalam ruang kosong antar serat kolagen sehingga molekul minyak melapisi setiap
tenunan serat kolagen. Tenunan serat kolagen yang terlapisi oleh bahan peminyak
menjadi lebih lemas dan elastis. Serat kolagen yang elastis menyebabkan kulit
lebih sulit untuk disobek sehingga dibutuhkan gaya yang lebih besar dari biasanya
meski ketebalan kulit tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Hal inilah yang
menyebabkan nilai kekuatan sobek dari kulit samak meningkat.

15
Kekuatan Tarik
Kekuatan tarik (tensile strength) merupakan besar gaya maksimal yang
dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus tiap mm2 sampel kulit. Kekuatan
tarik merupakan salah satu respon penting pada mutu kulit samak. Nilai kekuatan
tarik yang tidak memenuhi standar akan menyebabkan kulit mudah pecah atau
retak. Hasil pengujian kekuatan tarik (Lampiran 9) menunjukkan bahwa nilai
kekuatan tarik mengalami penurunan seiring dengan peningkatan dosis bahan
peminyak pada setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Nilai kekuatan tarik
terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai
sebesar 27.9 N/mm2, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bahan
peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 14.9 N/mm2. Berdasarkan
analisis ragam, didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar 0.117 (>
0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar 0.000 (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan
bahwa hanya faktor dosis tersarang yang berpengaruh nyata terhadap nilai
kekuatan tarik.
Pada faktor dosis tersarang (Gambar 7), terlihat bahwa nilai kekuatan tarik
menurun seiring dengan pertambahan dosis bahan peminyak. Nilai kekuatan tarik
terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai
sebesar 27.9 N/mm2, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bahan
peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 14.9 N/mm2. Pada faktor
dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak sintetis, meski terjadi
penurunan nilai kekuatan tarik, akan tetapi penurunan pada dosis 9% terlalu besar,
yaitu dengan nilai 15.6 N/mm2. Seharusnya nilai kekuatan tarik pada dosis 9%
berada di antara nilai 21 N/mm2 (dosis 6%) dan 18.6 N/mm2 (dosis 12%). Hal ini
disebabkan oleh sampel uji yang dibuat berasal dari bagian kulit yang tidak terlalu
tebal sehingga nilai kekuatan tarik yang dihasilkan menjadi sangat kecil. Selain
tebal kulit, keberadaan kolagen pada sampel uji juga mempengaruhi nilai
kekuatan tarik. Besar kemungkinan bahwa jumlah kolagen pada sampel uji tidak
lebih banyak dibandingkan dengan kulit lainnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil
ulangan pertama dan kedua pada pengujian kekuatan tarik (Lampiran 9). Tebal
kulit yang tidak seragam dapat menyebabkan jumlah bahan penyamak yang terikat
oleh kolagen menjadi berbeda. Meski dengan jumlah bahan penyamak yang sama,
akan tetapi karena terjadi perbedaan jumlah kolagen, maka pengikatan bahan
penyamak antara kulit yang satu dan lainnya akan berbeda. Perbedaan tersebut
menyebabkan nilai-nilai sifat fisik yang dihasilkan berbeda pula. Penggunaan
bahan peminyak dengan dosis 3% sudah memenuhi nilai batas SNI (BSN 2009)
untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki – kulit kambing dengan nilai
minimal sebesar 16 N/mm2. Tabel data dan analisis ragam dari respon kekuatan
tarik dapat dilihat di Lampiran 9.

16

Kekuatan Tarik (N/mm2)

30
25
20

Konsentrasi
3%

15

6%
9%

10
12%
5

15%

0
Alami

Sintetis
Jenis Bahan Peminyak

Gambar 7 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan
peminyak terhadap nilai keku