Efektivitas sanitaiser komersial untuk menginaktivasi bakteri patogen dan biofilm

EFEKTIVITAS SANITAISER KOMERSIAL UNTUK
MENGINAKTIVASI BAKTERI PATOGEN DAN BIOFILM

CYNTHIA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Sanitaiser
Komersial Untuk Menginaktivasi Bakteri Patogen dan Biofilm adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Cynthia
NIM F24090123

ABSTRAK
CYNTHIA. Efektivitas Sanitaiser Komersial Untuk Menginaktivasi Bakteri
Patogen dan Biofilm. Dibimbing oleh RATIH DEWANTI-HARIYADI.
Penyakit bawaan pangan menjadi masalah kesehatan baik di negara maju
maupun berkembang. Penyakit bawaan pangan adalah penyakit yang
ditransmisikan melalui makanan dan disebabkan oleh bakteri patogen, bakteri
pembusuk, virus, parasit atau kontaminan kimia. Tujuan penelitian ini adalah
mengevaluasi efektivitas sanitaiser komersial untuk menginaktivasi bakteri
patogen dan biofilm Salmonella Typhimurium dan Staphylococcus aureus.
Sanitaiser komersial yang digunakan dalam penelitian ini adalah sanitaiser tunggal
(quats, PAA) dan sanitaiser kombinasi (X, Y, Z). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sanitaiser X dan Z pada konsentrasi 0.015 % merupakan sanitaiser yang
paling efektif dalam mereduksi S. Typhimurium dan sanitaiser X pada konsentrasi
0.005 % merupakan sanitaiser yang paling efektif dalam mereduksi S. aureus.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa sanitaiser X merupakan sanitaiser

yang paling efektif dalam mereduksi biofilm kedua bakteri uji dengan kisaran
nilai reduksi sebesar 3.94-5.02 log CFU/cm2.
Kata kunci: penyakit bawaan pangan, sanitaiser komersial, patogen, biofilm

ABSTRACT
CYNTHIA. The Effectiveness of Commercial Sanitizers Against Pathogenic
Bacteria and Biofilm. Supervised by RATIH DEWANTI-HARIYADI.
Foodborne diseases are considered an emergent public health problem in
both developed and developing countries. It can be defined as diseases commonly
transmitted through food and caused by pathogenic bacteria, spoilage bacteria,
virus, parasite or chemical contaminants. The objective of this study is to evaluate
the effectiveness of commercial sanitizers against pathogenic bacteria and
biofilms Salmonella Typhimurium and Staphylococcus aureus. Commercial
sanitizers used in this study are single sanitizers (quats, PAA) and combination
sanitizers (X, Y, Z). The study shows that sanitizer X and Z in concentration
0.015 % are the most effective sanitizer against S. Typhimurium and sanitizer X in
concentration 0.005 % is the most effective sanitizer against S. aureus. In
addition, the study shows that sanitizer X is the most effective sanitizer against
biofilm with the range of reduction is 3.94-5.02 log CFU/cm2.
Keywords: foodborne diseases, commercial sanitizers, pathogen, biofilm


EFEKTIVITAS SANITAISER KOMERSIAL UNTUK
MENGINAKTIVASI BAKTERI PATOGEN DAN BIOFILM

CYNTHIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Efektivitas Sanitaiser Komersial Untuk Menginaktivasi Bakteri
Patogen dan Biofilm

Nama
: Cynthia
NIM
: F24090123

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Feri Kusnandar, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian

dan penyusunan skripsi dengan baik. Judul skripsi ini adalah “Efektivitas
Sanitaiser Komersial Untuk Menginaktivasi Bakteri Patogen dan Biofilm”.
Selesainya kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Mama dan Papa tercinta yang telah dan selalu memberikan kasih sayang,
semangat dan dukungan doa. Terima kasih juga kepada adik terkasih, Jordy,
atas perhatian dan dukungan doanya.
2. Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc selaku dosen pembimbing skripsi dan
pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan, arahan, masukan,
kepercayaan, dukungan moril dan materil bagi penulis sehingga karya ilmiah
ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Dr Siti Nurjanah, STP MSi dan Dr Nur Wulandari, STP MSi selaku dosen
penguji atas kesediaan waktu dan masukan yang membangun.
4. PT Kevin Chemindo Anugerah yang telah memberikan dukungan dana dan
bahan dalam penelitian ini.
5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
memberikan ilmu dan bimbingan bagi penulis.
6. “Tim Biofilm” Dini, ka Yuda, ka Ian dan mba Desty atas semangat, dukungan,
kegembiraan dan kebersamaan selama penelitian.
7. Sahabat-sahabat terkasih Mila, Dhini, Umi, Dian, Syarah, Haphiro, Ichi dan

Rini atas dukungan, masukan, keceriaan dan kebersamaan selama penulis
menjalani masa perkuliahan.
8. Teknisi Laboratorium Mikrobiologi SEAFAST CENTER, mba Ariyanti dan
mas Yerris, yang telah memberikan masukan, dukungan dan semangat kepada
penulis selama penelitian.
9. Teman-teman ITP 46 atas kebersamaan yang dilalui selama di ITP.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat berkontribusi dalam
memperkaya ilmu pengetahuan, terutama di bidang pangan. Terima kasih.

Bogor, Februari 2014
Cynthia

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


METODE

3

Bahan

3

Alat

3

Metode Penelitian

3

Prosedur Analisis Data

7


HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN

7
16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN


21

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1 Karakteristik larutan stok sanitaiser komersial
2 Analisis statistik untuk reduksi S. Typhimurium dan S. aureus
3 Analisis statistik untuk reduksi densitas biofilm

8
12
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4
5
6
7

Tahapan penelitian
Reduksi S. Typhimurium oleh sanitaiser komersial tunggal
Reduksi S. aureus oleh sanitaiser komersial tunggal
Reduksi S. Typhimurium oleh sanitaiser komersial kombinasi
Reduksi S. aureus oleh sanitaiser komersial kombinasi
Reduksi densitas biofilm S. Typhimurium
Reduksi densitas biofilm S. aureus

4
9
9
10
10
15
15

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Konfirmasi S. Typhimurium pada pewarnaan Gram dan media selektif
Konfirmasi S. aureus pada pewarnaan Gram dan media selektif
Larutan stok sanitaiser komersial
Data jumlah dan log reduksi S. Typhimurium
Data jumlah dan log reduksi S. aureus
Perhitungan volume NB dan larutan stok sanitaiser komersial yang
diperlukan pada berbagai konsentrasi
Data densitas dan log reduksi densitas biofilm
Hasil analisis uji ANOVA dan Duncan untuk reduksi S. Typhimurium
Hasil analisis uji ANOVA dan Duncan untuk reduksi S. aureus
Hasil analisis uji ANOVA dan Duncan untuk reduksi biofilm
S. Typhimurium
Hasil analisis uji ANOVA dan Duncan untuk reduksi biofilm S. aureus

21
21
21
22
23
24
24
25
26
27
28

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Selama dua dekade terakhir, penyakit bawaan pangan (foodborne disease)
menjadi masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang
(WHO 2007). Berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention
(CDC), jumlah kasus penyakit bawaan pangan yang terjadi di Amerika Serikat
pada tahun 2009-2010 dilaporkan sebanyak 29,444 kasus orang sakit dan 23 kasus
orang meninggal dunia (CDC 2013). Menurut Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia (BPOM RI), jumlah kasus penyakit bawaan pangan
yang terjadi di Indonesia pada tahun 2011 dilaporkan sebanyak 6,901 kasus orang
sakit dan 11 kasus orang meninggal dunia (BPOM 2012).
Penyakit bawaan pangan adalah penyakit akibat mengonsumsi pangan yang
telah terkontaminasi oleh mikroba patogen, mikroba pembusuk, virus, parasit atau
bahan kimia (WHO 2003). Kontaminasi dapat terjadi pada berbagai tahap, mulai
dari tahap produksi pangan hingga konsumsi (“farm to fork”). Mikroba patogen
yang berpotensi menyebabkan penyakit bawaan pangan, antara lain Salmonella,
Listeria monocytogenes, Escherichia coli O157:H7 dan Staphylococcus aureus
(CDNANZ 1997, WHO 2003). Sebagian besar kasus penyakit bawaan pangan
yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2009-2010 disebabkan oleh bakteri
patogen, seperti Salmonella (243 kasus) dan Staphylococcus (19 kasus) (CDC
2013). Salmonella enterica serovar Enteritidis dan Typhimurium merupakan
bakteri patogen yang paling umum menyebabkan penyakit bawaan pangan
(Braden 2006). Selain Salmonella, Staphylococcus aureus merupakan salah satu
bakteri yang sering menyebabkan penyakit bawaan pangan karena memproduksi
enterotoksin (Loir et al. 2003).
Menurut US Food and Drug Administration (FDA) (2009), terdapat lima
faktor utama penyebab penyakit bawaan pangan. Faktor-faktor tersebut antara lain
pangan berasal dari sumber yang tidak aman, higiene personal yang kurang,
proses pemasakan yang tidak tepat dari segi suhu dan waktu, penyimpangan suhu
penyimpanan pangan (berada pada danger zone) dan kontaminasi dari peralatan.
Berdasarkan data kasus penyakit bawaan pangan yang terjadi di Amerika Serikat,
peralatan pangan yang terkontaminasi berkontribusi sebesar 16 % atau berada
pada peringkat ketiga setelah penyimpangan suhu penyimpanan pangan (36 %)
dan higiene pekerja yang kurang (19 %) (FDA 2009).
Mikroorganisme yang menempel pada pemukaan peralatan yang kontak
dengan pangan secara mudah dapat berpindah ke bahan pangan dan menimbulkan
penyakit (Todd et al. 2007). Mikroba tersebut juga dapat membentuk biofilm pada
permukaan peralatan pangan sehingga berpotensi menyebabkan penyakit bawaan
pangan. Biofilm merupakan aggregasi dari mikroorganisme yang menempel dan
tumbuh pada suatu permukaan (Costerton dan Steward 2001). Menurut Parsek
dan Singh (2003), mikroba patogen dan mikroba pembusuk dapat membentuk
biofilm. Biofilm bersifat lebih resisten terhadap senyawa antimikroba karena
biofilm memiliki lapisan pelindung (polimer ekstraseluler) yang dapat mencegah
atau mengurangi kontak dengan senyawa antimikroba (O’Toole dan Kaplan
2000).

2
Untuk mencegah terjadinya penyakit bawaan pangan akibat kontaminasi
mikroba pada peralatan pangan, perlu dilakukan upaya pembersihan dan sanitasi
peralatan pangan. Pembersihan (cleaning) adalah penghilangkan cemaran atau
kotoran dari permukaan area obyek (Roday 1999), sedangkan sanitasi adalah
reduksi mikroorganisme sampai ke tingkat yang aman bagi kesehatan (BSN
2011). Sanitasi peralatan pangan umumnya dilakukan setelah pembersihan dan
menggunakan sanitaiser food grade.
Sanitaiser adalah bahan kimia yang digunakan untuk menghambat atau
mencegah pertumbuhan mikroba (Rossoni dan Gaylarde 2000). Sanitaiser dapat
membunuh mikroba dengan berbagai cara, seperti bereaksi dengan dinding sel,
bereaksi dengan membran sel yang mengakibatkan kebocoran sel, mengganggu
replikasi DNA dan menginaktifkan enzim-enzim intraseluler (Denyer dan Steward
1998). Menurut Lawrence dan Bennet (2001), sanitaiser untuk peralatan yang
kontak dengan pangan harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu memiliki
spektrum aktivitas yang luas (efektif terhadap bakteri Gram negatif, Gram positif,
kapang, kamir, virus dan parasit), mampu mereduksi mikroba sebanyak 99.999 %
(5 log) dalam waktu 30 detik pada suhu 25 0C, tidak bersifat toksik, kompatibel
dengan bahan kimia lain, tetap aktif baik sebelum maupun sesudah diencerkan
dengan air sadah, ekonomis dan tidak merusak lingkungan. Efektivitas sanitaiser
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jumlah dan lokasi mikroorganisme,
ketahanan mikroorganisme, waktu kontak, faktor kimia dan fisik (pH, suhu, RH,
kesadahan air), keberadaan senyawa organik (lemak, karbohidrat, protein) dan
biofilm (Rutala et al. 2008).
Industri pangan umumnya menggunakan berbagai jenis sanitaiser komersial
untuk mensanitasi peralatan pangan. Jenis sanitaiser tunggal yang banyak
digunakan oleh industri pangan adalah senyawa klorin, senyawa iodin, senyawa
amonium kuaterner, asam organik, asam peroksi dan gabungan asam peroksi
dengan asam organik (Simoes et al. 2010). Sanitaiser tunggal di atas telah
disetujui oleh US FDA sebagai sanitaiser untuk peralatan yang kontak dengan
pangan (CFR 2011). Selain sanitaiser tunggal, terdapat pula sanitaiser kombinasi.
Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi efektivitas sanitaiser komersial baik
dalam bentuk tunggal maupun kombinasi untuk menginaktivasi bakteri patogen
dan biofilm pada peralatan pangan yang terbuat dari bahan stainless steel.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi efektivitas sanitaiser komersial
baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi untuk menginaktivasi bakteri dan
biofilm Salmonella Typhimurium dan Staphylococcus aureus.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mengetahui efektivitas berbagai sanitaiser
komersial dalam menginaktivasi bakteri dan biofilm Salmonella Typhimurium
dan Staphylococcus aureus, khususnya yang terbentuk pada peralatan pangan
yang terbuat dari bahan stainless steel.

3

METODE
Bahan
Bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur Salmonella
enterica serovar Typhimurium yang diisolasi dari udang (Dewanti-Hariyadi dan
Hartini 2006) dan Staphylococcus aureus ATCC 25923. Kedua kultur diperoleh
dari Laboratorium Patogen SEAFAST CENTER IPB.
Bahan yang digunakan adalah sanitaiser komersial dari PT Kevin Chemindo
Anugerah, berupa sanitaiser tunggal (Quaternary Ammonium Compounds/quats,
Peracetic Acid/PAA) dan sanitaiser kombinasi (X, Y, Z). Sanitaiser X, Y dan Z
mengandung 2 atau 3 komponen sanitaiser tunggal di atas dengan proporsi
tertentu. Sanitaiser X mengandung komponen aktif quats, PAA dan coconut fatty
acid; sanitaiser Y mengandung komponen aktif quats, PAA dan bahan pembersih
asam; dan sanitaiser Z mengandung komponen aktif quats dan PAA. Selain itu,
bahan lainnya yang digunakan adalah cotton bud, tusuk gigi, aluminium foil, pelat
stainless steel tipe 304 berukuran 1x1 cm yang diperoleh dari CV Halilintar
Mekanika, akuades, spiritus, alkohol 70 %, kristal violet, lugol, alkohol 96 %,
safranin, minyak imersi, KH2PO4, CaCl2, H2SO4 pekat, BaSO4, deterjen komersial,
Tween 80 (Merck), Na-heksametafosfat (Sigma Aldrich) dan kalsium alginat
(Sigma Aldrich).
Media yang digunakan adalah Tryptone Soy Agar/TSA (Oxoid), Tryptone
Soy Broth/TSB (Oxoid), Nutrient Broth/NB (Oxoid), Brain Heart Infusion/BHI
Broth (Oxoid), Xylose Lysine Deoxycholate Agar/XLDA (Oxoid), Triple Sugar
Iron Agar/TSIA (Difco), Lysine Iron Agar/LIA (Difco), Baird Parker Agar/BPA
dan buffer penetralisasi Letheen Broth (Scharlau).

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung reaksi, erlenmeyer,
gelas piala, labu takar, cawan petri, bunsen, jarum ose bulat, jarum ose tusuk,
pipet tetes, pipet mohr, sudip, pinset, kaca preparat, gelas objek, mikroskop,
mikropipet, tips, neraca analitik, autoklaf, oven, sentrifuse, spektrofotometer,
inkubator goyang, inkubator 37 0C, inkubator 55 0C, hot plate, magnetik stirer,
vortex dan refrigerator.

Metode Penelitian
Penelitian ini terbagi atas dua tahap. Penelitian tahap I bertujuan untuk
mengevaluasi efektivitas dari lima sanitaiser komersial dalam menginaktivasi
bakteri patogen dengan metode MIC (minimum inhibitory concentration).
Berdasarkan hasil penelitian tahap I, dipilih dua sanitaiser komersial untuk
digunakan pada tahap selanjutnya. Penelitian tahap II bertujuan untuk
mengevaluasi efektivitas dari dua sanitaiser komersial terpilih dalam
menginaktivasi biofilm pada permukaan pelat stainless steel. Tahapan penelitian
secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1.

4
Tahap I :
1. Konfirmasi kultur bakteri uji
2. Persiapan inokulum
3. Persiapan larutan stok sanitaiser komersial
4. Uji efektivitas 5 jenis sanitaiser komersial terhadap bakteri patogen

Dua sanitaiser komersial terpilih

Tahap II :
1. Persiapan inokulum bakteri uji
2. Persiapan larutan sanitaiser komersial
3. Persiapan pelat stainless steel
4. Pembentukan biofilm pada pelat stainless steel
5. Uji efektivitas 2 jenis sanitaiser komersial terhadap biofilm
Gambar 1 Tahapan penelitian
Konfirmasi Kultur Bakteri Uji
Kultur bakteri uji diterima dalam bentuk kering beku dalam ampul gelas.
Sebelum digunakan, kultur awetan tersebut disegarkan terlebih dahulu pada media
BHI Broth. Sebanyak 1 mL medium BHI Broth dipipet secara aseptik ke dalam
ampul. Campuran tersebut kemudian diinokulasikan dalam 5 mL medium BHI
Broth dan diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Setelah kultur berumur
24 jam, sebanyak 1 ose kultur tersebut diinokulasikan dalam medium TSA miring
dan diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Kultur ini digunakan sebagai
kultur stok dan disegarkan setiap dua minggu sekali. Uji kemurnian atau
konfirmasi kultur Salmonella Typhimurium dilakukan dengan pewarnaan Gram
dan menumbuhkan kultur pada media selektif XLDA, TSIA dan LIA (FDA 2011),
sedangkan uji kemurnian Staphylococcus aureus dilakukan dengan pewarnaan
Gram dan menumbuhkan kultur pada media selektif BPA yang telah ditambahkan
egg yolk tellurite (FDA 2001).
Persiapan Inokulum (modifikasi Yuliatin 2008)
Sebanyak 1 ose kultur pada TSA miring diinokulasikan dalam medium TSB
dan diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam sehingga diperoleh kultur dengan
populasi sekitar 109 CFU/mL. Setelah diinkubasi, kultur tersebut diencerkan
dengan larutan fisiologis KH2PO4 hingga pengenceran 10-4. Sebanyak 1 mL kultur
dengan populasi 104 CFU/mL kemudian diinokulasikan dalam 9 mL medium TSB
sehingga diperoleh kultur sebanyak 103 CFU/mL. Kultur tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu 37 oC hingga mencapai fase akhir log atau diperkirakan
populasi kultur mencapai 109 CFU/mL. Berdasarkan penelitian Hartini (2005),
S. Typhimurium mencapai fase akhir log setelah diinkubasi selama 20 jam dan
berdasarkan penelitian Dwintasari (2010), S. aureus mencapai fase akhir log
setelah diinkubasi selama 24 jam. Bakteri yang digunakan untuk uji aktivitas
antibakteri harus berada pada fase akhir log karena pada fase tersebut biasanya sel

5
melakukan adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan
dimana laju metabolisme sel akan menurun agar nutrien yang terbatas tersebut
tidak cepat habis sehingga sel akan memiliki resistensi tertinggi terhadap senyawa
antibakteri (Purwoko 2009).
Setelah fase akhir log tercapai, kultur dipanen dengan cara disentrifus dingin
pada suhu 4 oC, kecepatan 3500 rpm selama 15 menit untuk memisahkan massa
sel dengan medium pertumbuhan. Bagian supernatan dibuang, sedangkan bagian
endapan ditambahkan 9 mL larutan fisiologis sehingga diperoleh kultur dengan
populasi sebanyak 109 CFU/mL. Kultur tersebut kemudian dibandingkan
kekeruhannya dengan larutan standar McFarland 0.5 pada kertas warna putih yang
diberi garis hitam sebagai kontras. Larutan standar McFarland 0.5 diasumsikan
setara dengan populasi kultur sebanyak 1-2x108 CFU/mL (CLSI 2012). Kultur
yang telah setara kekeruhannya dengan larutan standar McFarland 0.5 kemudian
diencerkan hingga diperoleh populasi kultur sebanyak 107 CFU/mL.
Persiapan Larutan Standar McFarland 0.5 (CLSI 2012)
Sebanyak 0.5 mL BaCl2 1.175 % dicampur dengan 99.5 mL H2SO4 1 % dan
diukur nilai OD (Optical Density) pada panjang gelombang 625 nm. Nilai OD-nya
harus berada pada kisaran 0.08-0.13. Larutan standar ini dapat disimpan selama
enam bulan pada suhu ruang dan dalam kondisi ruang yang gelap.
Persiapan dan Karakterisasi Larutan Stok Sanitaiser Komersial
Sanitaiser komersial diterima dalam bentuk cair dan dibuat larutan stoknya
pada konsentrasi 1 %. Pelarut yang digunakan adalah akuades. Larutan stok
sanitaiser komersial kemudian diamati karakteristik fisiknya secara visual.
Uji Efektivitas Sanitaiser Komersial Terhadap Bakteri Patogen dengan
Metode MIC (modifikasi Puro 2012)
Sebanyak 6 buah tabung reaksi disiapkan, 1 buah tabung untuk kontrol
positif dan 5 buah tabung untuk sampel uji. Medium NB, larutan stok sanitaiser
komersial dan kultur bakteri ditambahkan secara berurutan ke dalam tabung reaksi.
Untuk memperoleh larutan sanitaiser komersial dengan konsentrasi tertentu,
sejumlah larutan stok sanitaiser dipipet secara aseptik ke dalam tabung reaksi
yang sudah berisi sejumlah medium NB. Perhitungan jumlah larutan stok
sanitaiser komersial yang diperlukan (Lampiran 6) menggunakan rumus
pengenceran sebagai berikut.
M1 x V1 = M2 x V2
Keterangan:
M1 = konsentrasi larutan stok sanitaiser komersial (%)
M2 = konsentrasi sanitaiser komersial yang diinginkan (%)
V1 = volume larutan stok sanitaiser komersial yang diperlukan (mL)
V2 = volume total campuran NB, sanitaiser dan kultur bakteri (mL)
Jumlah awal kultur bakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah sekitar
10 CFU/mL (CLSI 2012). Volume total campuran ketiga bahan adalah 5 mL.
Tabung kontrol positif berisi campuran medium NB dan kultur bakteri. Tabung
yang telah berisi ketiga bahan tersebut kemudian divortex dan diinkubasi dalam
inkubator bergoyang pada suhu 37 0C, kecepatan 130 rpm selama 24 jam. Setelah
5

6
itu, dilakukan pengenceran serial dan pemupukan dengan metode tuang
menggunakan medium TSA serta diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 0C.
Untuk tabung kontrol positif, dilakukan pemupukan saat kontak 0 dan 24 jam.
Koloni yang terbentuk dihitung dan dilaporkan sebagai colony forming unit per
mL (CFU/mL). Perhitungan penurunan/reduksi jumlah bakteri uji menggunakan
rumus berikut.

= log CFU/mL kontrol – log CFU/mL perlakuan

Persiapan Pelat Stainless Steel dan Swab Kalsium Alginat
Pelat SS tipe 304 berukuran 1x1 cm diberi tanda pada salah satu bagian
sisinya agar dapat terdeteksi bila pelat terbalik saat pengambilan sampel. Pelat
tersebut direndam dalam larutan deterjen komersial selama 1 jam, disikat, dibilas
dengan akuades dan dicelupkan dalam alkohol 70 %. Pelat SS yang telah
dibersihkan kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 55 0C sampai pelat benarbenar kering dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit
(modifikasi Marques et al. 2007).
Swab kalsium alginat dibuat dengan cara menyambungkan tusuk gigi dan
cotton bud, kemudian swab direndam dalam larutan alginat 1 %, direndam dalam
CaCl2.2H2O 1 % dan disterilisasi pada suhu 121 0C selama 15 menit (modifikasi
Yunus 2000).
Pembentukan Biofilm dan Uji Efektivitas Sanitaiser Komersial Terpilih
Terhadap Biofilm (modifikasi Dewanti-Hariyadi 1995)
Sebanyak 1 mL kultur kerja dengan populasi sekitar 107 CFU/mL
diinokulasikan dalam erlenmeyer 300 mL yang berisi 100 mL medium 1/5 TSB
dan 10 buah pelat SS sehingga diperoleh jumlah awal bakteri sekitar 105 CFU/mL.
Erlenmeyer tersebut kemudian diinkubasi dalam inkubator bergoyang pada suhu
kamar (28-30 0C), kecepatan 70 rpm selama 48 jam. Pelat SS yang mengandung
biofilm berumur 48 jam kemudian diambil secara aseptik dengan pinset dan
dikontakkan dengan 10 mL larutan sanitaiser komersial pada konsentrasi tertentu
selama 2 menit di dalam cawan petri steril (dua buah pelat untuk setiap perlakuan).
Pelat SS kemudian dikontakkan dengan 10 mL buffer penetralisasi letheen broth
selama 2 menit di dalam cawan petri steril dan dibilas dengan larutan fisiologis
KH2PO4. Buffer penetralisasi letheen broth tersusun atas komponen pepton,
ekstrak daging, lesitin dan NaCl. Untuk kontrol, pelat dikontakkan dengan larutan
fisiologis selama 2 menit di dalam cawan petri steril. Sel biofilm yang masih
menempel pada bagian sisi atas pelat kemudian diseka sebanyak 3 kali dengan
swab kalsium alginat. Swab tersebut kemudian direndam dalam 9 mL larutan
fisiologis yang telah diberi 1 mL Na-heksametafosfat 0.1 % dan divortex selama 1
menit. Setelah itu, dilakukan pengenceran serial dan pemupukan dengan metode
tuang menggunakan medium TSA serta diinkubasi pada suhu 37 0C selama 48
jam. Koloni yang terbentuk dihitung dan dilaporkan sebagai CFU/cm2.
Perhitungan reduksi biofilm uji menggunakan rumus yang sama seperti rumus
untuk reduksi bakteri sel plantonik di atas.

7
Perhitungan densitas biofilm yang terbentuk menggunakan rumus berikut.

Keterangan:
N = total densitas biofilm
C = jumlah seluruh koloni yang dihitung
n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua
d = pengenceran pertama atau yang terkecil

Prosedur Analisis Data
Seluruh data hasil penelitian disajikan dalam bentuk x ± SD dan diolah
secara statistik menggunakan program SAS (Statistical Analysis Software) versi 9.1
dengan uji ANOVA (Analysis of Variance) yang dilanjutkan dengan uji berbeda
nyata Duncan pada taraf signifikansi 95 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Konfirmasi Kultur S. Typhimurium dan S. aureus
S. Typhimurium dan S. aureus yang digunakan dalam pengujian terlebih
dahulu diuji kemurniannya. Uji kemurnian atau konfirmasi bertujuan untuk
mengetahui bahwa bakteri uji yang digunakan tidak terkontaminasi dengan bakteri
lain. Konfirmasi kultur S. Typhimurium dilakukan dengan pewarnaan Gram dan
menggunakan media selektif XLDA, TSIA dan LIA, sedangkan konfirmasi kultur
S. aureus dilakukan dengan pewarnaan Gram dan menggunakan media selektif
BPA yang telah ditambahkan egg yolk tellurite.
Dari Lampiran 1, terlihat hasil pewarnaan Gram kultur S. Typhimurium
adalah sel berwarna merah (Gram negatif) dan berbentuk batang dengan penataan
bergerombol. Selain itu, terlihat pula koloni yang tumbuh pada ketiga media
selektif merupakan koloni tipikal, yaitu koloni yang tumbuh pada media XLDA
berwarna pink dengan titik hitam dibagian tengah yang lebih dominan; koloni
yang tumbuh pada media TSIA berwarna merah (hasil goresan) dan kuning (hasil
tusukan) serta memproduksi H2S (berwarna hitam); koloni yang tumbuh pada
media LIA berwarna ungu (hasil goresan dan tusukan), memproduksi H2S
(berwarna hitam) dan tidak memproduksi gas. Kedua hasil di atas menunjukkan
bahwa bakteri uji merupakan S. Typhimurium (FDA 2011, Fardiaz 1989).
Dari Lampiran 2, terlihat hasil pewarnaan Gram kultur S. aureus adalah sel
berwarna ungu (Gram positif) dan berbentuk bulat dengan penataan bergerombol.
Selain itu, terlihat pula koloni yang tumbuh pada media BPA yang telah
ditambahkan egg yolk tellurite merupakan koloni tipikal, yaitu koloni berwarna
hitam dan terdapat zona bening di sekitarnya. Kedua hasil di atas menunjukkan
bahwa bakteri uji merupakan S. aureus (FDA 2001, Fardiaz 1989).

8
Karakteristik Larutan Stok Sanitaiser Komersial
Tabel 1 menunjukkan karakteristik dari kelima larutan stok sanitaiser
komersial dengan parameter warna, aroma dan busa. Larutan stok quats berwarna
bening, tidak beraroma dan menghasilkan busa yang sangat banyak. Quats
umumnya digunakan untuk mensanitasi lantai, dinding dan peralatan pangan yang
tidak membutuhkan tahap pembilasan (Giese 1991). Larutan stok PAA berwarna
bening, beraroma sangat asam karena terbentuk dari reaksi penggabungan antara
hidrogen peroksida dengan asam asetat (FDA 1986) dan menghasilkan busa yang
sedikit. PAA dapat diaplikasikan tanpa tahap pembilasan (Srey et al. 2012).
Larutan stok sanitaiser X berwarna bening, tidak beraroma dan menghasilkan busa
yang sangat banyak. Hal ini disebabkan komponen aktif paling dominan penyusun
sanitaiser ini adalah quats dengan komposisi tertentu. Larutan stok sanitaiser Y
berwarna bening, tidak beraroma dan menghasilkan busa yang banyak. Larutan
stok sanitaiser Z berwarna bening, beraroma asam dan menghasilkan busa yang
agak banyak. Hal ini disebabkan komponen aktif paling dominan penyusun
sanitaiser ini adalah PAA dengan komposisi tertentu.
Tabel 1 Karakteristik larutan stok sanitaiser komersial
Sanitaiser

Pelarut

Quats
PAA
X
Y
Z

Akuades
Akuades
Akuades
Akuades
Akuades

Parameter larutan stok sanitaiser
Warna
Aroma
Busa
Bening
Tidak berbau
++++
Bening
Sangat asam
+
Bening
Tidak berbau
++++
Bening
Tidak berbau
+++
Bening
Asam
++

Keterangan:
+
: sedikit
++
: agak banyak
+++
: banyak
++++
: sangat banyak
Pengaruh Sanitaiser Komersial Terhadap Bakteri Patogen
Pengukuran aktivitas antibakteri dari sanitaiser komersial uji dilakukan
dengan metode MIC. MIC atau konsentrasi minimum penghambatan merupakan
salah satu faktor penting dalam memilih suatu sanitaiser karena menunjukkan
efektivitas sanitaiser dalam mereduksi mikroba (Andrew 2001). Dari Gambar 2,
Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5 terlihat jumlah log S. Typhimurium dan
S. aureus yang tereduksi akibat aktivitas antibakteri dari sanitaiser komersial yang
diuji. Konsentrasi sanitaiser komersial yang digunakan adalah 0.005, 0.010, 0.015,
0.020 dan 0.025 %. Pemilihan kisaran konsentrasi di atas mengacu pada
konsentrasi sanitaiser yang umumnya digunakan pada peralatan pangan, yaitu 200
ppm untuk quats dan 150-200 ppm untuk PAA (Gaulin et al. 2011).
Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan jumlah log S. Typhimurium dan
S. aureus yang tereduksi oleh dua jenis sanitaiser komersial tunggal. Dari Gambar
2, terlihat bahwa pada kisaran konsentrasi yang diaplikasikan, quats mampu
mereduksi 0.17-9.02 log CFU/mL dan PAA mampu mereduksi 0.17-9.32 log
CFU/mL S. Typhimurium. Selain itu, quats mampu mereduksi 4.43-9.27 log

9
CFU/mL dan PAA mampu mereduksi 0.59-9.43 log CFU/mL S. aureus (Gambar
3). Dari Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat pula bahwa sanitaiser tunggal yang
paling efektif dalam mereduksi S. Typhimurium dan S. aureus adalah PAA. Hal
ini didukung dengan hasil analisis statistik pada Tabel 2 yang menunjukkan
bahwa penggunaan PAA pada konsentrasi 0.010 % tidak berbeda nyata dengan
quats pada konsentrasi 0.020 % dalam mereduksi S. Typhimurium dan
penggunaan PAA pada konsentrasi 0.010 % tidak berbeda nyata dengan quats
pada konsentrasi 0.015 % dalam mereduksi S. aureus. Dengan kata lain, PAA
lebih efektif dibandingkan quats dalam mereduksi S. Typhimurium dan S. aureus
karena konsentrasi yang dibutuhkan lebih rendah.
PAA merupakan senyawa yang dibentuk melalui reaksi penggabungan
antara hidrogen peroksida dan asam asetat dengan ciri, yaitu memiliki aroma asam
yang kuat, pH yang rendah (2.8) dan kapasitas oksidasi yang kuat (FDA 1986).
Mekanisme PAA dalam menginaktivasi mikroba, yaitu PAA akan menggangu
permeabilitas dinding sel¸ mendenaturasi protein serta mengoksidasi ikatan sulfur
pada protein, enzim dan metabolit lainnya (Block 2001). Keunggulan sanitaiser
ini adalah tetap efektif terhadap keberadaan senyawa organik, tidak terpengaruh
oleh perubahan suhu dan memiliki spektrum aktivitas yang luas, sedangkan
kelemahannya adalah bersifat korosif, tidak stabil bila diencerkan serta dapat
mengiritasi kulit, mata dan membran mukosa (Block 2001, Rodgers et al. 2004).
9,32

log reduksi (log CFU/mL)

10,00
8,00

9,32

9,02

9,32

9,02

9,32

6,90

6,00

4,00
2,00
0,17

0,17

0,46

0,00

0.005

0.010

0.015

0.020

0.025

Konsentrasi (%)
Quats

PAA

Gambar 2 Reduksi S. Typhimurium oleh sanitaiser komersial tunggal
9,43

log reduksi (log CFU/mL)

10,00
8,00

9,43

9,27

9,27

9,43

9,27

9,43

6,98

6,00
4,43
4,00

2,00
0,59
0,00
0.005

0.010

0.015

0.020

0.025

Konsentrasi (%)
Quats

PAA

Gambar 3 Reduksi S. aureus oleh sanitaiser komersial tunggal

10
9,29

10,00

9,23

9,29

9,23

9,29

9,23

log reduksi (log CFU/mL)

8,53
8,00

7,52

7,02

6,00

4,00
2,00
0,35 0,13 0,06

0,18

0,23

0,46

0.005

0.010

0.015

0.020

0,00
0.025

Konsentrasi (%)
Sanitaiser X

Sanitaiser Y

Sanitaiser Z

Gambar 4 Reduksi S. Typhimurium oleh sanitaiser komersial kombinasi
10,00

9,29

9,29

9,29 9,46 9,39

9,29 9,46 9,39

9,29 9,46 9,39

0.015

0.020

0.025

log reduksi (log CFU/mL)

8,69
8,00
6,00
4,00
2,21

2,00
0,26 0,26
0,00
0.005

0.010

Konsentrasi (%)
Sanitaiser X

Sanitaiser Y

Sanitaiser Z

Gambar 5 Reduksi S. aureus oleh sanitaiser komersial kombinasi
Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan jumlah log S. Typhimurium dan
S. aureus yang tereduksi oleh tiga jenis sanitaiser komersial kombinasi. Dari
Gambar 4, terlihat bahwa pada kisaran konsentrasi yang diaplikasikan, sanitaiser
X mampu mereduksi 0.35-9.29 log CFU/mL, sanitaiser Y mampu mereduksi
0.13-7.52 log CFU/mL dan sanitaiser Z mampu mereduksi 0.06-9.23 log CFU/mL
S. Typhimurium. Selain itu, sanitaiser X mampu mereduksi 9.29 log CFU/mL,
sanitaiser Y mampu mereduksi 0.26-9.46 log CFU/mL dan sanitaiser Z mampu
mereduksi 0.26-9.39 log CFU/mL S. aureus (Gambar 5). Dari Gambar 4 dan
Gambar 5 terlihat pula bahwa sanitaiser kombinasi yang paling efektif dalam
mereduksi S. Typhimurium adalah sanitaiser X dan sanitaiser Z, sedangkan
sanitaiser yang paling efektif dalam mereduksi S. aureus adalah sanitaiser X.
Hasil analisis statistik pada Tabel 2 menunjukkan bahwa penggunaan sanitaiser X
pada konsentrasi 0.015 % tidak berbeda nyata dengan sanitaiser Z pada
konsentrasi 0.015 % dalam mereduksi S. Typhimurium dan penggunaan sanitaiser
X pada konsentrasi 0.005 % tidak berbeda nyata dengan sanitaiser Z pada
konsentrasi 0.015 % dalam mereduksi S. aureus. Dengan kata lain, sanitaiser X

11
sama efektifnya dengan sanitaiser Z dalam mereduksi S. Typhimurium, tetapi
lebih efektif dibandingkan sanitaiser Z dalam mereduksi S. aureus karena
konsentrasi yang dibutuhkan lebih rendah.
Menurut Lehmann (1988), kombinasi yang dilakukan antar sanitaiser dapat
memberikan tiga jenis pengaruh, yaitu sinergis, additive dan antagonis. Pengaruh
sinergis terjadi jika dengan kemampuan membunuh mikroba yang sama,
konsentrasi sanitaiser kombinasi yang digunakan lebih rendah dibandingkan
konsentrasi sanitaiser yang digunakan secara individu, sedangkan pengaruh
antagonis terjadi jika sanitaiser yang satu menghambat kerja sanitaiser lainnya.
Pengaruh sinergis diduga terdapat pada sanitaiser X. Hal ini didukung dengan
hasil analisis statistik pada Tabel 2 yang menunjukkan bahwa penggunaan
sanitaiser X pada konsentrasi 0.005 % tidak berbeda nyata dengan quats pada
konsentrasi 0.015 % dan PAA pada konsentrasi 0.010 % dalam mereduksi
S. aureus. Dengan kata lain, sanitaiser X lebih efektif dibandingkan quats dan
PAA dalam mereduksi S. aureus karena konsentrasi yang dibutuhkan lebih
rendah. Sanitaiser X tersusun atas komponen aktif quats, PAA dan coconut fatty
acid. Coconut fatty acid ditambahkan dalam jumlah yang sedikit dengan tujuan
untuk coating sehingga akan memperlambat penguapan PAA. Berdasarkan MSDS
(Material Safety Data Sheet) (2009), suhu penyimpanan PAA tidak boleh diatas
86 0F atau 30 0C karena suhu tinggi dapat menyebabkan dekomposisi.
Sanitaiser Y tersusun atas komponen aktif quats, PAA dan bahan pembersih
asam. Tujuan penambahan asam pada sanitaiser Y adalah untuk menjadikan
sampel ini sebagai produk “2 in 1”, artinya produk ini selain berfungsi sebagai
sanitaiser, juga berfungsi sebagai bahan pembersih. Dari Gambar 4 dan Gambar 5,
terlihat bahwa sanitaiser Y kurang efektif dalam mereduksi S. Typhimurium dan
S. aureus. Penambahan asam menyebabkan efektivitas quats (salah satu
komponen penyusun) menjadi berkurang sehingga efektivitas sanitaiser Y pun
menjadi berkurang. Marriott (1999) menjelaskan efektivitas quats berkurang pada
pH kurang dari 6.
Tabel 2 menunjukkan jumlah log S. Typhimurium dan S. aureus yang
tereduksi oleh lima jenis sanitaiser komersial serta hasil analisis data tersebut
secara statistik. Dari Tabel 2 terlihat bahwa dari kelima jenis sanitaiser komersial
yang diuji, PAA pada konsentrasi 0.010 % paling efektif dalam mereduksi
S. Typhimurium dan S. aureus dengan nilai log reduksi masing-masing sebesar
9.32 log CFU/mL dan 9.43 CFU/mL. Walaupun PAA pada konsentrasi tersebut
mampu mereduksi S. Typhimurium paling banyak, hasil analisis statistik pada
Tabel 2 menunjukkan bahwa penggunaan PAA pada konsentrasi 0.010 % tidak
berbeda nyata dengan quats pada konsentrasi 0.020 %, sanitaiser X pada
konsentrasi 0.015 % dan sanitaiser Z pada konsentrasi 0.015 % dalam mereduksi
S. Typhimurium. Hal di atas berlaku juga untuk reduksi S. aureus dimana hasil
analisis statistik menunjukkan bahwa penggunaan PAA pada konsentrasi 0.010 %
tidak berbeda nyata dengan quats pada konsentrasi 0.015 %, sanitaiser X pada
konsentrasi 0.005 % dan sanitaiser Z pada konsentrasi 0.015 % dalam mereduksi
S. aureus.

12
Tabel 2 Analisis statistik untuk reduksi S. Typhimurium dan S. aureus
Sanitaiser

Quats

PAA

X

Y

Z

Konsentrasi
penggunaan
(%v/v)
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025

Reduksi bakteri (log CFU/mL)
S. Typhimurium
0.17 ± 0.01d
0.46 ± 0.02d
6.90 ± 0.40c
9.02 ± 0.09a
9.02 ± 0.09a
0.17 ± 0.08d
9.32 ± 0.05a
9.32 ± 0.05a
9.32 ± 0.05a
9.32 ± 0.05a
0.35 ± 0.19d
7.02 ± 1.05c
9.29 ± 0.03a
9.29 ± 0.03a
9.29 ± 0.03a
0.13 ± 0.10d
0.18 ± 0.08d
0.23 ± 0.10d
0.46 ± 0.04d
7.52 ± 2.74bc
0.06 ± 0.03d
8.53 ± 1.17ab
9.23 ± 0.18a
9.23 ± 0.18a
9.23 ± 0.18a

S. aureus
4.43 ± 0.33d
6.98 ± 0.14c
9.27 ± 0.01a
9.27 ± 0.01a
9.27 ± 0.01a
0.59 ± 0.37f
9.43 ± 0.15a
9.43 ± 0.15a
9.43 ± 0.15a
9.43 ± 0.15a
9.29 ± 0.01a
9.29 ± 0.01a
9.29 ± 0.01a
9.29 ± 0.01a
9.29 ± 0.01a
0.26 ± 0.19f
2.21 ± 0.21e
9.46 ± 0.19a
9.46 ± 0.19a
9.46 ± 0.19a
0.26 ± 0.02f
8.69 ± 0.90b
9.39 ± 0.09a
9.39 ± 0.09a
9.39 ± 0.09a

Keterangan:
a
Data yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 0.05

Dari Tabel 2, terlihat bahwa quats dan sanitaiser X lebih efektif dalam
mereduksi S. aureus (Gram positif), sedangkan PAA dan sanitaiser Z efektif
mereduksi baik S. aureus (Gram positif) maupun S. Typhimurium (Gram negatif).
Sanitaiser X mengandung komponen quats yang lebih dominan sehingga lebih
efektif dalam mereduksi bakteri Gram positif, sedangkan sanitaiser Z
mengandung komponen PAA yang lebih dominan sehingga efektif mereduksi
bakteri Gram positif dan negatif. Block (2001) menjelaskan bahwa PAA memiliki
spektrum aktivitas antibakteri yang luas sehingga efektif terhadap bakteri Gram
positif dan negatif, sedangkan Marriott (1999) menjelaskan bahwa quats lebih
efektif dalam menginaktivasi bakteri Gram positif. Mekanisme quats dalam
menginaktivasi mikroba, yaitu quats akan membentuk lapisan (film) yang
menyebabkan kerusakan dinding sel sehingga terjadi kebocoran pada organ
internal dan penghambatan enzim. Keunggulan quats adalah tidak berbau, tidak
berwarna, stabil pada suhu tinggi, tidak bersifat korosif, tidak mengiritasi kulit,
relatif stabil terhadap keberadaan senyawa organik dan daya penetrasinya baik
sehingga dapat digunakan untuk permukaan peralatan yang berpori (Walker dan

13
LaGrange 1991), sedangkan kelemahannya adalah efektivitas berkurang pada pH
kurang dari 6, tidak kompatibel dengan deterjen anionik dan tidak dapat
membunuh spora bakteri (hanya menghambat pertumbuhan) (Marriott 1999).
Dari Tabel 2, terlihat pula bahwa S. aureus lebih peka terhadap kelima
sanitaiser komersial dibandingkan S. Typhimurium. Hal ini ditunjukkan dari nilai
log reduksi S. aureus yang lebih besar dan konsentrasi sanitaiser komersial yang
dibutuhkan untuk mereduksi S. aureus lebih rendah. S. aureus lebih peka terhadap
sanitaiser karena bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang sebagian besar
tersusun atas lapisan peptidoglikan dan asam teikoat sehingga mudah dilewati
oleh komponen yang bersifat hidrofilik, sedangkan bakteri Gram negatif memiliki
dinding sel yang lebih kompleks karena terdapat membran luar yang melindungi
lapisan peptidoglikan, yaitu lipopolisakarida (LPS) (Purwoko 2009). Suliantari
(2009) menjelaskan bahwa perbedaan struktur dinding sel berpengaruh pada
ketahanan mikroba terhadap perlakuan bahan antimikroba dan bagian penting dari
dinding sel adalah lapisan peptidoglikan. Lapisan in berfungsi untuk melindungi
sel bakteri dari perubahan kondisi lingkungan dan faktor-faktor luar yang dapat
menyebabkan kerusakan membran sel dan akhirnya mengakibatkan kematian sel.
Suliantari (2009) juga menjelaskan bahwa pada bakteri Gram positif, senyawa
antimikroba dapat langsung masuk dan mengisi lapisan peptidoglikan, kemudian
berikatan dengan protein dan selanjutnya menyebabkan sel bakteri mengalami
lisis, sedangkan pada bakteri Gram negatif, senyawa antimikroba masuk melalui
porin yang terdapat pada lapisan luar (LPS), kemudian masuk ke lapisan
peptidoglikan dan membentuk ikatan dengan protein. Oleh karena itu, bakteri
Gram positif lebih mudah diinaktivasi dibandingkan bakteri Gram negatif.
Berdasarkan hasil analisis statistik pada Tabel 2, ditetapkan bahwa sanitaiser
X dan sanitaiser Z akan digunakan pada tahap selanjutnya untuk mereduksi
biofilm. Sanitaiser X dan sanitaiser Z dipilih karena kedua sanitaiser ini
merupakan sanitaiser kombinasi. Lehmann (1988) menjelaskan bahwa sanitaiser
kombinasi memiliki beberapa manfaat, yaitu dapat memperluas spektrum aktivitas
antimikroba sehingga spektrum tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh suatu
sanitaiser akan dipenuhi oleh sanitaiser lainnya dan dapat menghasilkan pengaruh
sinergis.
Pengaruh Sanitaiser Komersial Terhadap Biofilm
Sebelum dilakukan uji efektivitas sanitaiser komersial terhadap biofilm
S. Typhimurium dan S. aureus, terlebih dahulu dilakukan pembentukan biofilm.
Costerton et al. (1995) mendeskripsikan biofilm sebagai sel-sel mikroorganisme
yang menempel pada permukaan dan terperangkap di dalam polimer ekstraseluler
(EPS/extracellular polymeric substances) yang diproduksi oleh mikroba tersebut.
EPS dapat tersusun atas polisakarida, protein, fosfolipid, lipid dan asam nukleat
(Jahn dan Nielsen 1998, Sutherland 2001). Menurut Tsuneda et al. (2003),
komponen utama penyusun EPS adalah protein dan polisakarida (75-89 %).
Faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan biofilm adalah strain bakteri,
karakteristik permukaan bahan dan bakteri, serta dan kondisi lingkungan (nutrisi,
pH, suhu) (Chae dan Schraft 2000, Donlan 2002).
Pembentukan biofilm dalam penelitian ini dilakukan pada pelat stainless
steel tipe 304 dengan media 1/5 TSB dan waktu inkubasi selama 48 jam. SS tipe
304 yang tersusun atas kromium (16-18 %) dan nikel (8-13 %) merupakan SS

14
yang paling umum digunakan sebagai bahan peralatan di industri pangan
(kontainer, pipa, dll) (Faille dan Carpentier 2009). Pemilihan media pertumbuhan
biofilm mengacu pada penelitian Yunus (2000) yang menunjukkan bahwa
densitas biofilm yang terbentuk pada pelat SS dengan media 1/5 TSB lebih
banyak dibandingkan pada media TSB. Pemilihan waktu inkubasi mengacu pada
penelitian Meira et al. (2012) yang menunjukkan bahwa waktu inkubasi yang
ideal untuk membentuk biofilm adalah 48 jam. Berdasarkan penelitian Meira et al.
(2012), diketahui bahwa jumlah biofilm S. aureus strain S28 yang terbentuk pada
pelat SS setelah diinkubasi selama 24 jam sekitar 4.0 log CFU/cm2, setelah
diinkubasi selama 48 jam sekitar 5.0 log CFU/cm2 dan setelah diinkubasi selama
72 jam sekitar 3.9 log CFU/cm2. Ronner dan Wong (1993) menjelaskan bahwa
dibutuhkan minimum 5.0-6.0 log CFU/cm2 untuk membentuk biofilm.
Gambar 6 dan Gambar 7 menunjukkan jumlah log biofilm S. Typhimurium
dan S. aureus yang tereduksi oleh dua jenis sanitaiser komersial kombinasi.
Sanitaiser yang digunakan adalah sanitaiser X dan sanitaiser Z dengan konsentrasi
uji sebesar 0.125, 0.25, 0.5 dan 1 %. Dari Gambar 6, terlihat bahwa pada kisaran
konsentrasi yang diaplikasikan, sanitaiser X mampu mereduksi 5.02 log CFU/cm2
dan sanitaiser Z mereduksi 1.68-4.70 log CFU/cm2 biofilm S. Typhimurium.
Selain itu, sanitaiser X mampu mereduksi 1.65-3.94 log CFU/cm2 dan sanitaiser Z
mereduksi 0.72-2.73 log CFU/cm2 biofilm S. aureus (Gambar 7).
Dari Gambar 6 dan Gambar 7, terlihat pula bahwa sanitaiser yang paling
efektif dalam mereduksi S. Typhimurium dan S. aureus adalah sanitaiser X. Hal
ini didukung dengan hasil analisis statistik pada Tabel 3 yang menunjukkan
bahwa penggunaan sanitaiser X pada konsentrasi 0.125 % tidak berbeda nyata
dengan sanitaiser Z pada konsentrasi 0.5 % dalam mereduksi biofilm
S. Typhimurium dan sanitaiser X pada konsentrasi 1 % paling efektif dalam
mereduksi S. aureus. Dengan kata lain, sanitaiser X lebih efektif dibandingkan
sanitaiser Z dalam mereduksi biofilm S. Typhimurium karena konsentrasi yang
dibutuhkan lebih rendah.
Sanitaiser X mengandung komponen quats yang lebih dominan sehingga
sanitaiser ini bersifat lebih efektif dalam mereduksi biofim. Menurut McEldowney
dan Fletcher (1987), quats merupakan sanitaiser sekaligus surfaktan kationik
sehingga quats memiliki kemampuan pembersihan (cleaning) dan sanitasi.
Mekanisme quats dalam mereduksi biofilm, yaitu quats sebagai deterjen (bahan
pembersih) akan melarutkan EPS yang diproduksi oleh biofilm sehingga
sanitaiser memperoleh akses untuk kontak dengan sel bakteri, selanjutnya quats
sebagai sanitaiser akan bereaksi dengan dinding sel bakteri dan menyebabkan
kebocoran sel (Simoes et al. 2006, Grinstead 2009). Simoes et al. (2006)
menjelaskan bahwa langkah penting untuk mencegah pembentukan biofilm adalah
mengaplikasikan pembersihan yang dilanjutkan dengan sanitasi. Berdasarkan
hasil penelitian Pan et al. (2006), diketahui bahwa Listeria monocytogenes dalam
bentuk biofilm bersifat resisten terhadap sanitaiser peroksi asetat, quats dan
klorin, tetapi ketika lapisan pelindungnya (EPS) larut oleh bahan pembersih maka
tidak terjadi sifat resisten terhadap sanitaiser tersebut. O’Toole dan Kaplan (2000)
menjelaskan bahwa biofilm bersifat lebih resisten terhadap senyawa antimikroba
karena memiliki lapisan pelindung (EPS) yang dapat mencegah atau mengurangi
kontak dengan senyawa antimikroba.

15

log reduksi (log CFU/cm 2 )

6,00
5,02

5,02

5,02

5,00

4,70

5,02

4,70

3,71

4,00
3,00
1,68

2,00

1,00
0,00
0,125

0,250

0,500

1,000

Konsentrasi (%)
Sanitaiser X

Sanitaiser Z

Gambar 6 Reduksi densitas biofilm S. Typhimurium
3,94

log reduksi (log CFU/cm 2 )

4,00

2,90

2,73

3,00
2,21
2,00

1,00

1,65

1,53
1,01

0,72

0,00
0,125

0,250

0,500

1,000

Konsentrasi (%)
Sanitaiser X
Sanitaiser Z

Gambar 7 Reduksi densitas biofilm S. aureus
Tabel 3 Analisis statistik untuk reduksi densitas biofilm
Sanitaiser

X

Z
a

Konsentrasi penggunaan
(%v/v)
0.125
0.250
0.500
1.000
0.125
0.250
0.500
1.000

Reduksi densitas biofilm
(log CFU/cm2)
S. Typhimurium
S. aureus
5.02 ± 0.18a
1.65 ± 0.66cd
5.02 ± 0.18a
2.21 ± 0.33bc
5.02 ± 0.18a
2.90 ± 0.07b
5.02 ± 0.18a
3.94 ± 0.19a
1.68 ± 0.05c
0.72 ± 0.62d
3.71 ± 0.86b
1.01 ± 0.36d
4.70 ± 0.11a
1.53 ± 0.31cd
4.70 ± 0.11a
2.73 ± 0.08b

Data yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 0.05

16
Dari Tabel 3, terlihat bahwa biofilm yang dibentuk oleh S. aureus lebih sulit
direduksi dibandingkan biofilm yang dibentuk oleh S. Typhimurium, baik oleh
sanitaiser X maupun sanitaiser Z. Hasil penelitian Rossoni dan Gaylarde (2000)
menunjukkan bahwa biofilm S. aureus bersifat lebih resisten terhadap peroksi
asetat dibandingkan bakteri lainnya. Biofilm yang dibentuk oleh S. aureus bersifat
lebih resisten terhadap sanitaiser karena diduga adanya pengaruh kandungan
natrium klorida dan glukosa dari medium TSB. Berdasarkan hasil penelitian
Moretro et al. (2003), diketahui biofilm yang dihasilkan oleh Staphylococcus
memiliki karakteristik yang lebih tebal karena adanya natrium klorida dan glukosa.
Oleh karena itu, dibutuhkan konsentrasi bahan pembersih dan sanitaiser yang
lebih tinggi untuk mereduksi biofilm S. aureus karena biofilm yang terbentuk
lebih tebal.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari kelima jenis sanitaiser komersial yang diuji, sanitaiser X dan Z pada
konsentrasi 0.015 % merupakan sanitaiser yang paling efektif dalam
menginaktivasi S. Typhimurium dengan nilai reduksi masing-masing sebesar 9.29
log CFU/mL dan 9.23 log CFU/mL, sedangkan sanitaiser X pada konsentrasi
0.005 % merupakan sanitaiser yang paling efektif dalam menginaktivasi S. aureus
dengan nilai reduksi sebesar 9.29 log CFU/mL. Selain itu, S. aureus bersifat lebih
peka terhadap sanitaiser komersial dibandingkan dengan S. Typhimurium karena
dinding sel bakteri Gram positif lebih mudah dimasuki oleh sanitaiser. Dalam hal
mereduksi biofilm S. Typhimurium dan S. aureus, sanitaiser X lebih efektif
dibandingkan sanitaiser Z. Hal ini disebabkan sanitaiser X mengandung
komponen quats yang lebih dominan. Quats merupakan sanitaiser sekaligus
surfaktan kationik sehingga quats dapat melarutkan EPS yang dibentuk biofilm
dan membuat mikroba menjadi lebih sensitif terhadap sanitaiser.

Saran
Penelitian lebih lanjut terkait topik efektivitas sanitaiser komersial dalam
menginaktivasi bakteri patogen dan biofilm dapat diarahkan pada pengkajian
residu sanitaiser komersial terhadap kesehatan manusia. Selain itu, dapat pula
dilakukan penelitian mengenai evaluasi efektivitas sanitaiser komersial untuk
menginaktivasi bakteri pembusuk.

17

DAFTAR PUSTAKA
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Laporan tahun 2011
[Internet]. [diunduh 2013 Februari 11]. Tersedia pada: http://www.pom.go.
id /ppid/rar/LAPTAH_ 2011.pdf.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI Rekomendasi nasional kode
praktis-prinsip umum higiene pangan [Internet]. [diunduh 2013 Februari 11].
Tersedia pada: http://pkpp.ristek.go.id/_assets/upload/docs/302_doc_2. pdf.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Surveillance for
foodborne disease outbreaks United States 2009-2010. 62(3):41-47.
[CDNANZ] Communicable Disease Network Australia and New Zealand. 1997.
Foodborne disease: towards reducing foodborne illness in Australia
[Internet]. [diunduh 2013 Februari 11]. Tersedia pada: http://www.health.
gov.au/internet/main/publishing.nsf/content/cda-cditechfoodborne.htm/$FIL
E/foodbrne.pdf.
[CFR] Code of Federal Regulations. 2011. Indirect food additives: adjuvants,
production aids, and sanitizers: substances utilized to control the growth of
microorganism. Washington DC: US FDA.
[CLSI] Clinical and Laboratory Standards Institute. 2012. Methods for dilution
antimicrobial susceptibility tests for bacteria that grow aerobically;
approved standard-ninth edition. 32(2):52.
[FDA] Food and Drug Admin