Isolasi Bakteri Patogen Oportunistik Dari Tambak Undang Yang Membentuk Biofilm Dan Pengendaliannya Dengan Panas Dan Klorin

(1)

ISOLASI BAKTERI PATOGEN OPORTUNISTIK DARI TAMBAK

UDANG YANG MEMBENTUK BIOFILM DAN

PENGENDALIANNYA DENGAN PANAS DAN KLORIN

SKRIPSI

YUSNITA WAHYUNI SILITONGA

080805030

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

ISOLASI BAKTERI PATOGEN OPORTUNISTIK DARI TAMBAK UDANG YANG MEMBENTUK BIOFILM DAN PENGENDALIANNYA DENGAN

PANAS DAN KLORIN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

YUSNITA WAHYUNI SILITONGA 080805030

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

PERSETUJUAN

Judul : ISOLASI BAKTERI PATOGEN OPORTUNISTIK DARI TAMBAK UDANG YANG MEMBENTUK BIOFILM DAN PENGENDALIANNYA DENGAN PANAS DAN KLORIN

Kategori : SKRIPSI

Nama : YUSNITA WAHYUNI SILITONGA

Nomor Induk Mahasiswa : 080805030

Program Studi : SARJANA (S-1) BIOLOGI Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Komisi Pembimbing Pembimbing 2

:

Diluluskan di

Medan, Januari 2013

Pembimbing 1

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc Dr. It Jamilah, M.Sc

NIP. 19640409 199403 1 003 NIP.19631012 199103 2 003

Diketahui/Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 19630123 199003 2 001


(4)

iii

PERNYATAAN

ISOLASI BAKTERI PATOGEN OPORTUNISTIK DARI TAMBAK UDANG YANG MEMBENTUK BIOFILM DAN PENGENDALIANNYA DENGAN

PANAS DAN KLORIN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2013

YUSNITA WAHYUNI SILITONGA 080805030


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul “ISOLASI BAKTERI PATOGEN OPORTUNISTIK DARI TAMBAK UDANG YANG MEMBENTUK

BIOFILM DAN PENGENDALIANNYA DENGAN PANAS DAN KLORIN

yang merupakan syarat untuk melengkapi dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. It Jamilah M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Drs. Kiki Nurtjahja M.Sc dan Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala A Barus, M.Sc selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam kesempurnaan skripsi ini.

Ucapkan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Elimasni, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik. Ibu Dr. Nursahara pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Bapak Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU. Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc selaku kepala Laboratorium Mikrobiologi. Seluruh staf Pengajar Departemen Biologi FMIPA USU. Ibu Mizarwati S.Si selaku Ketua Panitia Seminar Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Nurhasni Muluk, Bapak Erwin, dan Ibu Rosalina Ginting selaku staf pegawai Departemen Biologi FMIPA USU.

Teristimewa penulis sampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda tercinta Marahakim Silitonga dan Ibunda tercinta Mastinar Rambe yang dengan sabar dan tiada mengenal lelah untuk mendukung pendidikan penulis hingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada saudara-saudari penulis tersayang abang Zaitun, dan kakak Tia Sima, Mas Bulan dan Siti Sumarni atas semua motivasi dan dukungannya.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada para sahabat yaitu Sirma, Rildah, Riana, Maya, Santi, Nanin, Ahri, Ummi, Zulfi, Netty, Dame, Ira, Eka, Igun, Asmi, Arta, Indri, Sister, Agnes, Pesta, Mela, Sarah, Riana, Nanin, Ummi, Pinta, Oppy, Intan, Rini, Yanti, Dini, Novi, Ayu, Dewi, Diah, Nina, Frans, Albert, Jeckmal,Ina, Desy dan Sari yang saling mendukung dan saling pengertian dari mulai penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada kakak asuh kak yayan yang telah banyak member dukungan dan motivasi kepada penulis. Kepada kakak dan abang senior stambuk 2007 dan juga kepada adik junior 2009, 2010 dan 2011. Kepada teman-teman sekos Liska Rambe, Aminah Arfah, Ana, dan Yani yang turut mendukung dan memotivasi hingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.


(6)

v

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2013

Penulis


(7)

ISOLASI BAKTERI PATOGEN OPORTUNISTIK DARI TAMBAK UDANG YANG MEMBENTUK BIOFILM DAN PENGENDALIANNYA DENGAN

PANAS DAN KLORIN

ABSTRAK

Keberadaan bakteri patogen oportunistik di tambak udang disebabkan karena tercemarnya air tambak oleh limbah industri maupun domestik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan bakteri patogen oportunistik pada tambak udang di Kota Medan, Sumatera Utara (Percut, Pantai Labu, Pantai Cermin), kemampuan bakteri tersebut membentuk biofilm serta pengendaliannya dengan menggunakan panas dan klorin. Bakteri patogen oportunistik diisolasi dari usus udang, sedimen dan air tambak udang dengan menggunakan media selektif/diferensial. Dari hasil isolasi ditemukan adanya Escherichia coli, Salmonella

sp., dan Staphylococcus sp. Untuk menguji kemampuannya dalam membentuk biofilm maka bakteri tersebut ditumbuhkan pada stainless steel dalam media SWC cair dengan rentang waktu 1, 3, 6 hari. Bakteri E. coli, Salmonella sp., dan Staphylococcus

sp. dapat membentuk biofilm pada inkubasi hari ke-1, tetapi yang paling tinggi pertumbuhannya ialah pada inkubasi hari ke-6. Jumlah sel biofilm bertambah seiring dengan lama inkubasi. E. coli memiliki jumlah sel biofilm paling tinggi yaitu 6,35 x 104 CFU/SS sedangkan yang terendah ialah Salmonella sp. yaitu 0,28 x104 CFU/SS. Pengendalian sel biofilm dengan klorin pada konsentrasi 225 ppm selama 2 menit dan panas pada suhu 100 0C selama 5 menit efektif mengendalikan sel biofilm umur 1 dan 3 hari, sedangkan umur 6 hari tidak semua dapat dikendalikan. Semakin tinggi konsentrasi klorin dan suhu yang diberikan semakin efektif kemampuannya dalam mengendalikan sel biofilm.

Kata kunci: biofilm, klorin, oportunistik, panas, stainless steel, SWC


(8)

vii

ISOLATION OF OPPORTUNISTIC PATHOGEN BACTERIA FROM SHRIMP AQUACULTURE THAT FORM BIOFILMS AND IT CONTROL BY

HEAT AND CHLORINE

ABSTRACT

The existence of opportunistic pathogen bacteria in shrimp culture is resulted by contamination shrimp water from industrial and domestic waste. The aims of this study is to know the existence of opportunistic pathogen bacteria in shrimp aquaculture around the city of Medan, Sumatera Utara (Percut, Pantai Labu, Pantai Cermin), the ability of these bacteria to form biofilms as well as its control by using of chlorine and heat. Opportunistic pathogen bacteria were isolated from the gut of shrimp, sediment and water of shrimp aquaculture by using selective/differential media. From the results of isolation found the presence of Escherichia coli, Salmonella sp., and Staphylococcus sp. To test the ability of these bacteria to form biofilms was performed on stainless steel in the SWC media with a span of 1, 3, 6 days. E. coli, Salmonella sp., and Staphylococcus sp.may form biofilms on incubation 1st day but the highest growth was on the 6th days of incubation. The number of biofilm cells grow in line with addition of incubation time. E. coli had the highest biofilm cells which was 6,35 x 104 CFU/SS, whereas the lowest biofilm number was found in Salmonella sp. which was 0,28 x 104 CFU/SS. Application of chlorine concentration of 225 ppm for 2 minutes and heat at 100 0C for 5 minutes affective in killing 1st and 3th days age biofilm cells, but not the 6th days biofilms cells. The higher the chlorine concentration and the temperature given the more effective it is to control the bacteria.

Keyword: biofilm, chlorine, heat, opportunistic, stainless steel, SWC.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN ii

PERNYATAAN iii

PENGHARGAAN iv

ABSTRAK vi

ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN vii viii x xi xii BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan 3

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Budi Daya Udang di Indonesia 4 2.2 Faktor Penyebab Penahanan dan Penolakan Produk Udang 5 2.3 Bakteri Patogen Oportunistik pada Tambak Udang 6

2.4 Sel Biofilm Bakteri 8

2.4.1 Pengendalian Sel Biofilm dengan Klorin 9 2.4.2 Pengendalian Sel Biofilm dengan Panas 10 BAB 3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat 11

3.2 Alat dan Bahan 11

3.3 Isolasi dan Penghitungan Sel Bakteri 11 3.4 Pembentukan dan Penghitungan Sel Biofilm 12 3.5 Pengendalian Sel Bakteri dengan Klorin 13 3.6 Perlakuan Panas dan Klorin untuk Pengendalian Biofilm 13 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi Bakteri Patogen Oportunistik 14 4.2 Pembentukan Sel Biofilm pada Stainless Steel 17 4.3 Pengendalian Sel Bakteri dengan Klorin 19 4.4 Pengendalian Sel Biofilm dengan Klorin 21 4.5 Pengendalian Sel Biofilm dengan Panas 23


(10)

ix

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 25

5.2 Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Jumlah sel bakteri yang diisolasi dari tambak udang 14 Tabel 2. Pengendalian sel biofilm bakteri patogen oportunistik

dengan klorin

21 Tabel 3. Pengendalian sel biofilm bakteri patogen oportunistik

dengan beberapa temperatur

23


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bakteri patogen oportunistik pada media selektif 16 Gambar 2. Pertumbuhan sel biofilm pada stainless steel 17 Gambar 3. Pengendalian sel bakteri dengan klorin 19 Gambar 4. Luas penghambatan klorin terhadap pertumbuhan bakteri 20


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Isolasi dan penghitungan sel bakteri 29 Lampiran 2. Komposisi media sea water complete (SWC) 29 Lampiran 3. pembentukan sel biofilm pada stainless steel 30

Lampiran 4. Penghitungan sel biofilm 30

Lampiran 5. Pengendalian sel bakteri dengan klorin 31 Lampiran 6. Pengendalian sel bakteri dengan panas dan klorin 31

Lampiran 7. Jumlah sel biofilm 32

Lampiran 8. Pertumbuhan bakteri pada PCA 32

Lampiran 9. Luas penghambatan klorin terhadap pertumbuhan bakteri

33 Lampiran 10 Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian 33


(14)

vi

ISOLASI BAKTERI PATOGEN OPORTUNISTIK DARI TAMBAK UDANG YANG MEMBENTUK BIOFILM DAN PENGENDALIANNYA DENGAN

PANAS DAN KLORIN

ABSTRAK

Keberadaan bakteri patogen oportunistik di tambak udang disebabkan karena tercemarnya air tambak oleh limbah industri maupun domestik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan bakteri patogen oportunistik pada tambak udang di Kota Medan, Sumatera Utara (Percut, Pantai Labu, Pantai Cermin), kemampuan bakteri tersebut membentuk biofilm serta pengendaliannya dengan menggunakan panas dan klorin. Bakteri patogen oportunistik diisolasi dari usus udang, sedimen dan air tambak udang dengan menggunakan media selektif/diferensial. Dari hasil isolasi ditemukan adanya Escherichia coli, Salmonella

sp., dan Staphylococcus sp. Untuk menguji kemampuannya dalam membentuk biofilm maka bakteri tersebut ditumbuhkan pada stainless steel dalam media SWC cair dengan rentang waktu 1, 3, 6 hari. Bakteri E. coli, Salmonella sp., dan Staphylococcus

sp. dapat membentuk biofilm pada inkubasi hari ke-1, tetapi yang paling tinggi pertumbuhannya ialah pada inkubasi hari ke-6. Jumlah sel biofilm bertambah seiring dengan lama inkubasi. E. coli memiliki jumlah sel biofilm paling tinggi yaitu 6,35 x 104 CFU/SS sedangkan yang terendah ialah Salmonella sp. yaitu 0,28 x104 CFU/SS. Pengendalian sel biofilm dengan klorin pada konsentrasi 225 ppm selama 2 menit dan panas pada suhu 100 0C selama 5 menit efektif mengendalikan sel biofilm umur 1 dan 3 hari, sedangkan umur 6 hari tidak semua dapat dikendalikan. Semakin tinggi konsentrasi klorin dan suhu yang diberikan semakin efektif kemampuannya dalam mengendalikan sel biofilm.

Kata kunci: biofilm, klorin, oportunistik, panas, stainless steel, SWC


(15)

ISOLATION OF OPPORTUNISTIC PATHOGEN BACTERIA FROM SHRIMP AQUACULTURE THAT FORM BIOFILMS AND IT CONTROL BY

HEAT AND CHLORINE

ABSTRACT

The existence of opportunistic pathogen bacteria in shrimp culture is resulted by contamination shrimp water from industrial and domestic waste. The aims of this study is to know the existence of opportunistic pathogen bacteria in shrimp aquaculture around the city of Medan, Sumatera Utara (Percut, Pantai Labu, Pantai Cermin), the ability of these bacteria to form biofilms as well as its control by using of chlorine and heat. Opportunistic pathogen bacteria were isolated from the gut of shrimp, sediment and water of shrimp aquaculture by using selective/differential media. From the results of isolation found the presence of Escherichia coli, Salmonella sp., and Staphylococcus sp. To test the ability of these bacteria to form biofilms was performed on stainless steel in the SWC media with a span of 1, 3, 6 days. E. coli, Salmonella sp., and Staphylococcus sp.may form biofilms on incubation 1st day but the highest growth was on the 6th days of incubation. The number of biofilm cells grow in line with addition of incubation time. E. coli had the highest biofilm cells which was 6,35 x 104 CFU/SS, whereas the lowest biofilm number was found in Salmonella sp. which was 0,28 x 104 CFU/SS. Application of chlorine concentration of 225 ppm for 2 minutes and heat at 100 0C for 5 minutes affective in killing 1st and 3th days age biofilm cells, but not the 6th days biofilms cells. The higher the chlorine concentration and the temperature given the more effective it is to control the bacteria.

Keyword: biofilm, chlorine, heat, opportunistic, stainless steel, SWC.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Udang merupakan salah satu komoditi ekspor yang penting bagi perekonomian Indonesia. Budi daya udang khususnya udang windu (Panaeus monodon) di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 70-an, namun pada tahun 1990-an budi daya udang di Indonesia tidak stabil bahkan mengalami penurunan yang fatal (Muliani et al., 2003). Pergantian spesies kultur P. monodon dengan P. vanname memberi harapan baru bagi industri budi daya udang Indonesia, tapi pasang surut kembali terjadi setelah itu karena munculnya penyakit udang dan penolakan negara tujuan ekspor (Kementrian Kelautan dan Perikanan 2009).

Kasus penolakan dan penahanan ekspor produk perikanan sering terjadi di Indonesia. Amerika Serikat yang dikendalikan oleh FDA (Food Drug Administration) membuka fakta bahwa sejak tahun 2003 sampai tahun 2008 ditemukan lebih dari 100 kasus penahanan produk udang setiap tahunnya, puncaknya pada tahun 2004 ditemukan sebanyak 442 kasus. Alasan penolakan produk udang tersebut sebagian besar disebabkan oleh masalah mutu dan keamanan yang dianggap tidak memenuhi persyaratan internasional seperti masalah sanitasi dan keberadaan bakteri (Rinto, 2010). Pencemaran bakteri pada produk pangan merupakan masalah serius yang harus ditangani, karena setiap pangan memiliki batas maksimum cemaran mikroba. Standar Nasional Indonesia (SNI) menetapkan jumlah mikroba yang ada pada ikan termasuk udang seperti Eschericia coli maksimum 5 x 105 /g, Salmonella sp. negatif/25 g,

Staphylococcus aureus maksimum1x103/g dan Vibrio sp. negatif/25 g (SNI, 2009). Penurunan kualitas tambak juga sering terjadi akibat tercemarnya lingkungan dengan limbah manusia dan akumulasi pakan yang berlebihan yang memberi peluang besar bagi patogen oportunistik untuk berkembang.Bakteri patogen oportunistik pada


(17)

tambak udang ialah bakteri yang secara alamiah bukan berada di perairan tambak, tetapi masuk ke tambak akibat tercemarnya lingkungan dengan limbah manusia. Beberapa diantaranya ialah, E. coli, Salmonella, S. aureus, Vibrio dan Pseudomonas

yang diduga dapat membentuk biofilm (Harish et al., 2003). Dewanti &hariyadi (1997) melaporkan bahwa beberapa bakteri patogen oportunistik seperti E. coli, Salmonella dapat membentuk biofilm pada permukaan stainless steel.

Penelitian biofilm di bidang industri pangan sudah dimulai sejak 2 dekade terakhir ini. Sekarang pun riset-riset dibidang tersebut mulai berkembang, hal ini dikarenakan potensinya yang besar sebagai sumber kontaminan yang berperan terhadap kerusakan pangan dan penyebaran penyakit. Tahap yang paling berpotensi dalam mengkontaminasi pangan adalah pada saat sanitasi. Alat-alat sanitasi yang terkontaminasi oleh mikroba jika tidak ditangani dengan cepat dapat menyebabkan masalah besar karena mikroba yang ada dapat membentuk biofilm. Donlan (2002) menyatakan bahwa jika mikroba dapat membentuk biofilm pada proses pertumbuhannya, daya tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim lebih tinggi jika dibandingkan sel planktonik.

Peningkatan ketahanan biofilm terhadap senyawa desinfektan dan suhu tinggi terjadi karena adanya mekanisme pertahanan sel biofilm. Adanya senyawa polisakarida ekstraselular yang dihasilkan biofilm dapat memberikan perlindungan sehingga biofilm tahan terhadap senyawa kimia dan suhu tinggi. Umur koloni bakteri biofilm juga merupakan faktor yang menyebabkan berbedanya ketahanan sel biofilm terhadap senyawa kimia (Yunus, 2000). Semakin lama umur biofilm semakin susah untuk dikendalikan, sehingga dalam pengendaliannya diperlukan cara khusus seperti penggunaan klorin dengan konsentrasi tinggi atau panas pada suhu tinggi.

I.2 Permasalahan

Indonesia sering mengalami kasus penolakan dan penahanan ekspor produk udang. Alasan penolakan tersebut sebagian besar disebabkan oleh masalah penurunan mutu dan keamanan akibat keberadaan mikroba pada produk udang khususnya bakteri


(18)

3

patogen oportunistik. Kehadiran bakteri patogen oportunistik terjadi akibat akumulasi limbah pada lingkungan perairan tambak udang. Beberapa bakteri patogen oportunis tersebut dikhawatirkan dapat membentuk biofilm pada permukaan substrat di perairan tambak, bagian tubuh udang dan tempat pemerosesan. Jika hal ini terjadi dibutuhkan usaha yang efektif untuk pengendaliannya.

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui keberadaan bakteri patogen oportunistik pada beberapa tambak udang di Medan dan sekitarnya.

2. Untuk mengetahui kemampuan bakteri patogen oportunistik yang diisolasi dalam membentuk biofilm.

3. Untuk mengetahui efektifitas panas dan klorin dalam pengendalian sel biofilm bakteri patogen oportunistik dari tambak udang

1.4 Hipotesis

1. Pada tambak udang ditemukan bakteri patogen oportunistik

2. Beberapa jenis bakteri patogen oportunistik dapat membentuk biofilm

3. Panas dan klorin dapat mengendalikan sel biofilm bakteri patogen oportunistik

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai acuan dan informasi mengenai kondisi tambak udang secara mikrobiologi bagi pihak-pihak terkait baik masyarakat maupun pemerintah 2. Sebagai sumber informasi mengenai pengontrolan bakteri pada saat

penanganan pemerosesan produk udang

3. Sebagai referensi awal untuk penelitian lebih lanjut dalam meningkatkan kualitas tambak udang di Sumatera Utara khususnya di bidang mikrobiologi


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Budi Daya Udang di Indonesia

Pasokan ikan dunia pada saat ini sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di perairan laut. Namun demikian, pemanfaatan sumber daya tersebut di sejumlah negara dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut di sebagian negara diperkirakan tidak dapat di tingkatkan lagi. Kecendrungan ini juga terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Oleh sebab itu, alternatif pasokan hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budi daya.

Salah satu budi daya yang paling berkembang adalah tambak udang yang biasanya berada pada daerah air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Secara umum biasanya tambak udang dikaitkan dengan pemeliharaan udang Windu, walaupun sebenarnya masih banyak spesies yang dapat dibudidayakan di tambak. Tetapi tambak lebih dominan digunakan untuk budi daya udang Windu yang merupakan salah satu produk andalan Indonesia. Produk udang yang dipasarkan berupa udang beku dan udang olahan. Produk tersebut tidak hanya dipasarkan dalam negeri saja tetapi sudah mampu bersaing secara internasional. Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009) ekspor udang merupakan masukan devisa tertinggi bagi negara Indonesia dari sektor perikanan.

Sekitar tahun 1990-an pengusaha dan petani udang Indonesia sering mengalami permasalahan mengenai kualitas udang. Permasalahan tersebut sangat kompleks mulai dari berkembangnya penyakit udang, turunnya kualitas tambak akibat senyawa toksik seperti ammonia, nitrat dan nitrit dari sisa pakan di perairan, ataupun akibat tercemarnya air dengan bakteri-bakteri patogen oportunistik yang menyebabkan


(20)

5

tingginya tingkat kontaminan pada produk. Penurunan kualitas udang tersebut menyebabkan terjadi penolakan terhadap udang asal Indonesia (Slamet, 2000).

2.2 Faktor Penyebab Penahanan dan Penolakan Produk Udang

Seiring dengan semakin meningkatnya transaksi bahan pangan, kemungkinan semakin sering ditemukannya penyakit akibat bahan pangan yang tercemar oleh bakteri dan senyawa kimia yang berbahaya. Adanya cemaran bakteri dan senyawa kimia memunculkan pemikiran untuk memproteksi produk-produk yang masuk ke suatu kawasan tertentu. Negara-negara importir produk perikanan menetapkan standar yang ketat bagi produk yang dipasarkan di negara mereka. Ada mekanisme untuk menolak bahkan memusnahkan produk-produk yang tidak sesuai dengan standar. Poin penting yang tertera dari masing-masing regulasi teknis adalah bagaimana eksportir membuktikan bahwa produk yang dipasarkan telah memenuhi persyaratan standar yang dibutuhkan. Biasanya masing-masing negara mengembangkan prosedur monitoring, pengujian maupun pemeriksaaan yang dapat menjamin bahwa produk sesuai standar yang diinginkan (Rinto, 2010).

FDA telah menetapkan kategori penyebab penolakan terhadap komoditi impor ke Amerika Serikat. Beberapa diantaranya ialah adanya bakteri patogen maupun toksin yang dihasilkan, adanya bahan asing yang seharusnya tidak terdapat pada produk dan penggunaan bahan kimia yang dilarang atau melebihi batas maksimum seperti antibiotik. Penggunaan antibiotik dapat membawa dampak serius karena masalah residu bahan antibiotik pada udang mengakibatkan timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotik (Muliani et al., 2003). Sejak tahun 2004, pemerintah Jepang mengikuti jejak Uni Eropa dengan menerapkan zero tolerance terhadap residu kloramfenikol dan nitrofuran pada impor udang. Akibatnya, beberapa kontainer udang yang diekspor dari Indonesia, ditahan atau ditolak di pelabuhan masuk karena dicurigai mengandung antibiotik tersebut (Prasojo, 2003).

Pencemaran bahan organik di tambak merangsang timbulnya penyakit udang yang disebabkan bakteri patogen dan virus. Salah satu sumber pencemar organik pada


(21)

tambak adalah pakan. Dalam ekosistem tambak, tidak semua pakan yang diberikan dapat dimakan oleh udang. Sebagian sisa pakan akan tersuspensi di dalam air dan sebagian besar lainnya akan mengendap di dasar tambak. Penguraian bahan organik sisa pakan tersebut akan memerlukan oksigen. Dengan demikian penambahan bahan organik secara langsung akan meningkatkan penggunaan oksigen di lingkungan tambak. Kondisi ini akan terus berjalan sampai titik kritis yang akan menghasilkan ammonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) yang mendukung bakteri patogen berkembang (Isdarmawan, 2005). Kehadiran bakteri patogen ke tambak disebabkan pencemaran air dari berbagai limbah seperti limbah pabrik dan limbah domestik. Beberapa jenis bakteri yang sering dijumpai karena pencemaran limbah ialah E. coli, Salmonella sp. S. aureus dan Vibrio yang merupakan bakteri patogen oportunistik (Harish et al., 2003).

2.3 Bakteri Patogen Oportunistik pada Tambak Udang

Bakteri patogen oportunistik merupakan bakteri yang secara alami bukan penghuni perairan tambak udang tapi masuk ke tambak udang melalui air yang tercemar. Kehadiran bakteri patogen oportunistik pada produk akuakultur seperti ikan, kepiting, dan udang sangat berbahaya karena produk tersebut dapat terlibat secara aktif dan pasif dalam menularkan penyakit terhadap manusia. Harish et al., (2003) melaporkan telah mengisolasi Vibrio sp., S. aureus, E. coli, dan Salmonella sp. sebagai patogen oportunistik dari lokasi pembudidayaan udang di India.

A. Vibrio sp.

Vibrio merupakan Gram-negatif berbentuk batang-koma (curve-rod) dengan satu flagel polar. Bakteri ini dapat bertahan di lingkungan laut dan darat setara berkoloni dalam saluran pencernaan, khususnya usus halus. Vibrosis merupakan penyakit udang utama di tambak akibat Vibrio harveyi. Bakteri berpendar V. harveyi

merupakan penyakit utama kematian massal udang di tambak pada tahap larva (Muliani et al., 2003).


(22)

7

B. Salmonella sp.

Salmonella sp. merupakan bakteri patogen yang sangat berbahaya, tergolong bakteri gastroenteristis yang menyebabkan demam enterik. Di dalam bahan makanan,

Salmonella sp. tidak diijinkan keberadaanya (negatif). Hal ini disebabkan oleh bahaya yang ditimbulkan oleh adanya Salmonella sp.. Keberadaan Salmonella sp. menunjukan adanya kontaminasi selama proses produksi dan kurang baiknya sistem sanitasi pada proses produksi komoditi perikanan. Adanya Salmonella sp. pada bahan pangan tidak menyebabkan perubahan warna maupun rasa, sehingga tidak terdeteksi secara visual dengan panca indra (Rinto, 2010).

C. E. coli

E. coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang tidak berkapsul. Bakteri ini umumnya terdapat dalam alat pencernaan manusia dan hewan. E. coli

mudah menyebar dengan cara mencemari air dan mengkontaminasi bahan-bahan yang bersentuhan dengannya. Kontaminasi bakteri E. coli pada makanan dan alat-alat pengolahan merupakan merupakan suatu indikasi bahwa praktek sanitasi dalam suatu industri kurang baik. Penanganan makanan secara higienis dan pemasakan dengan benar dapat mencegah infeksi E. coli (Anshari et al., 2007).

D. Staphylococcus sp.

Staphylococcus sp. termasuk bakteri Gram positif dengan ciri-ciri morfologi tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tidak motil, sebagian bersifat patogen. Bakteri ini sangat dikhawatirkan bila mengkontaminasi makanan karena dapat menghasilkan toksin yaitu enterotoksin. Dosis toksin/racun kurang dari 1.0 mikrogram dalam makanan yang terkontaminasi dapat menimbulkan gejala keracunan staphylococcal.

Tingkat racun ini dicapai apabila populasi S. aureus lebih dari 100.000 per gram.

Staphyloenterotoxicosis penyakit yang disebabkan oleh enterotoksin. Gejala penyakit ini biasanya terjadi segera setelah infeksi, dan dalam banyak kasus bersifat akut, tergantung pada kerentanan korban terhadap racun, jumlah makanan terkontaminasi yang ditelan, dan kondisi kesehatan korban secara umum (Slamet, 2000).


(23)

2.4 Sel Biofilm Bakteri

Biofilm merupakan sekumpulan bakteri beserta produk ekstraselular yang dihasilkannya dan melekat pada substrat biologi seperti sel, jaringan dan matriks polimer maupun substrat nonbiologi termasuk batu, kayu. Akibat pembentukan biofilm dapat merugikan organisme, diantaranya terakumilasinya sel biofilm bakteri pada saluran pencernaan organisme tersebut (Palmer & White, 1999).

Pembentukan biofilm merupakan proses dinamis yang memerlukan beberapa tahapan (Characklis & Marshal,1990). Biofilm terbentuk karena sel bakteri menempel pada beberapa tipe permukaan padat. Berawal dari perkembangan tahap demi tahap sehingga bakteri membentuk mikrokoloni. Mikrokoloni merupakan kelompok kecil yang pada akhirnya membentuk biofilm yang bentuknya berlapis-lapis hingga dapat diamati dengan mata telanjang.

Dalam lingkungan alami, biofilm biasanya mengandung populasi campuran bakteri dan terjadi interaksi metabolik antar galur melalui hubungan mutualistik atau komensalistik (Dunne, 2002, O’Toole, 2003). Adanya perubahan kompleksitas dan fluktuasi konsentrasi senyawa pencemar toksik dapat mengubah distribusi dan keanekaragaman spesies penyusun biofilm, dan mempengaruhi aktivitasnya (Cowan

et al., 2000). Keuntungan galur bakteri penyusun komunitas dalam biofilm tersebut antara lain mendapat perlindungan dari berbagai parameter lingkungan yang tidak sesuai serta terjaminnya ketersediaan nutrien dan kerjasama metabolik (Borriello et al., 2004). Kemampuan biofilm untuk tetap hidup dalam kondisi yang tidak sesuai menyebabkan masalah besar bila biofilm ini terbentuk dari jenis-jenis bakteri yang bersifat patogen oportunistik.

Kehadiran biofilm menyebabkan masalah yang potensial terhadap berbagai industri, salah satunya adalah industri makanan. Kekhawatiran terjadi bila bakteri patogen melekat pada alat pengolahan makanan. Kalau biofilm tidak dibersihkan, organisme yang melekat dalam perkembangannya dapat terlepas dari permukaan dan mengkontaminasi produk sebelum produksi (Frank & Koffi, 1990). Masalah yang ditimbulkan oleh adanya kontaminasi ini adalah terjadinya pembusukan makanan


(24)

9

yang akan memperpendek masa simpan (shelf-life) maupun penyebaran penyakit melalui makanan (foodborne desease) (Dunsmore, 1981, Chavalier et al., 1988).

Banyaknya masalah yang ditimbulkan biofilm pada alat pengolahan makanan menyebabkan perlunya suatu cara atau pengendalian khusus pada sel biofilm. Biasanya pengendalian biofilm dilakukan seperti halnya proses sanitasi dengan cara penambahan zat kimia atau dengan pemanasan. Sanitasi kimia dilakukan dengan menggunakan desinfektan. Tujuan penggunaan desinfektan ialah untuk mereduksi jumlah mikroorganisme patogen pada proses pengolahan pangan. Menurut Yunus (2000) desinfektan yang sesuai untuk stainless steel adalah klorin.

2.4.1 Pengendalian Sel Biofilm dengan Klorin

Sanitasi makanan merupakan kegiatan aseptik dalam persiapan, pengolahan dan penyajian makanan, pembersihan peralatan, sanitasi lingkungan kerja. Meskipun proses pembersihan telah dilakukan, belum ada jaminan bahwa cemaran mikrobiologis, terutama bakteri telah dapat dihilangkan. Oleh karena itu proses pembersihan harus diikuti dengan desinfeksi peralatan yang dipakai. Untuk mengatasi bakteri tersebut pemilihan klorin sebagai bahan desinfektan merupakan alternatif yang cukup efektif dan mudah penanganannya. Klorin biasanya ditemukan dalam kaporit (Rahmat, 2004).

Kaporit [Ca(OCl)2] merupakan persenyawaan yang banyak digunakan baik untuk keperluan rumah tangga maupun industri. Senyawa-senyawa tersebut tersedia sebagai bubuk atau larutan cair pada beberapa konsentrasi, bergantung kepada penggunaan yang dianjurkan. Produk yang mengandung 5-70 % Ca(OCl)2 digunakan sebagai sanitasi peralatan pengolahan susu dan alat sanitasi pengolahan pangan (Pelczar & Chan, 2008).

Klorinasi merupakan metode yang banyak digunakan, karena klor efektif sebagai desinfektan dan harganya terjangkau (Sururi et al., 2008). Klorinasi bertujuan untuk mengurangi dan membunuh mikroorganisme patogen yang ada di dalam air


(25)

limbah. Sumber klor yang biasa digunakan adalah kaporit [Ca(OCl)2]. Kaporit dapat membunuh mikroorganisme patogen, seperti E. coli, Legionella, Pneumophilia, Streptococcus, Fecalis, Bacillus, Clostridium, Amoeba, Giardia, Cryptosporidium,

dan Pseudomonas (Rosyidi, 2010).

2.4.2 Pengendalian Sel Biofilm dengan Panas

Selain menggunakan bahan kimia seperti klorin pengontrolan dapat juga dilakukan dengan metode fisika yaitu memanfaatkan suhu yang tinggi atau pemanasan. Sanitasi dengan menggunakan air panas lebih menguntungkan karena air panas mudah tersedia dan tidak beracun. Peralatan kecil seperti pisau, serta bagian –bagian alat pengolahan pangan dapat direndam dalam air yang dipanaskan hingga suhu 80 0C (Yunus, 2000). Tinggi rendahnya suhu mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri dapat tumbuh dalam rentang suhu minus 50 0C sampai 80 0C, tetapi bagaimanapun juga setiap spesies mempunyai rentang suhu yang pendek yang ditentukan oleh sensitifitas sistem enzimnya terhadap panas.

Aktivitas panas sering dijadikan sebagai sanitasi suatu peralatan kesehatan dan peralatan proses penanganan makanan. Dari hasil penelitian (Trisnawati, 2010) jumlah bakteri sebelum perlakuan sanitizer air panas berkisar antara 120 – 280 CFU/cm2. Sesudah perlakuan hasil pemeriksaan angka total bakteri berkisar antara 80 – 100 CFU/cm2. Hasil analisis menunjukkan bahwa proses sanitasi memberikan pengaruh p terhadpenurunan angka total bakteri.


(26)

11

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2012 sampai oktober 2012, bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah: cawan Petri, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas beaker, gelas ukur, pipet serologi, karet penghisap, spatula, hockey stick, jarum ose, autoklaf, oven, mikroskop, kotak es, Erlenmeyer, sonikator, shaker, hot plate, stainless steel (SS) (Lampiran 9).

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: sampel (air, sedimen, udang, permukaan padat) dari tambak udang daerah Percut, Pantai Labu, Pantai Cermin, media eosin methylen blue (EMB), Salmonella-Shigella agar (SSA),

plate count agar (PCA), manitol salt agar (MSA), sea water complete (SWC) padat dan cair, alkohol, tisu, akuades steril, manik-manik kaca (bola lampu yang dihaluskan), NaCl 0,9 %, detergen.

3.3 Isolasi Dan Penghitungan Sel Bakteri

Sampel diambil dari 3 lokasi tambak udang di Sumatera Utara yaitu Pantai Labu, Pantai Cermin dan daerah Percut. Pada masing-masing tambak, bakteri diisolasi dari air, sedimen, permukaan padat (batu, papan, kincir). Sampel air diambil


(27)

sebanyak 100 ml di masing-masing lokasi, dimasukkan ke dalam botol sampel kaca steril. Sedimen diambil sebanyak 100 gram dan dimasukkan ke dalam botol sampel, kemudian semua sampel disimpan dalam kotak es sampai dibawa ke laboratorium dalam waktu kurang dari 4 jam. Sampel sel biofilm diambil dengan mengikis biofilm pada bahan padat menggunakan spatula kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel.

Di laboratorium semua sampel bakteri disimpan dalam lemari es (4 0C). Dari setiap sampel dibuat pengenceran dalam NaCl 0,9 % kemudian 0,1 ml suspensi disebar pada media PCA dan media selektif/diferensial, diinkubasi selama 12-24 jam, kemudian dihitung koloni bakteri yang tumbuh pada media. Media selektif akan menghambat pertumbuhan bakteri lain. Sehingga bakteri yang tumbuh hanya bakteri yang mampu memanfaatkan media tersebut sebagai sumber nutrisi. Isolat E. coli akan tumbuh pada media EMB, Salmonella sp. pada SSA, Staphylococcus sp. pada media MSA. Jumlah sel pada masing-masing media selektif dihitung dalam CFU/ml. Isolat dimurnikan dengan penggoresan pada media SWC, kemudian koloni tunggal digores pada media SWC miring dan disimpan dalam lemari es (4 0C) sampai digunakan.

3.4 Pembentukan dan Penghitungan Sel Biofilm

Lempeng SS dipotong seluas 1 cm2, dicuci dengan deterjen pada bak sonikator lalu disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit, tekanan 1 atm, suhu 1210C kemudian dikeringkan. Lempeng ini akan digunakan untuk substrat pelekatan biofilm. Masing-masing isolat murni yang diperoleh dari tambak udang ditumbuhkan pada 50 ml media SWC dengan konsentrasi sel 108 CFU/ml, dalam labu Erlenmeyer 100 ml Setelah itu 6 lempeng SS dimasukkan ke masing-masing media pengkulturan tersebut, kemudian digoyang pada kecepatan 100 rpm, pada suhu ruang 28 0C. Pembentukan dan pertumbuhan biofilm dilihat pada periode waktu 1 hari, 3 hari dan 6 hari untuk melihat perkembangan sel.

Penghitungan sel biofilm dilakukan dengan menggunakan media PCA pada cawan Petri. Lempeng SS diangkat dari kultur dengan menggunakan pinset steril, dibilas sebanyak 3 kali dengan akuades steril hingga sel yang planktonik terlepas,


(28)

13

dimasukkan ke dalam 10 ml NaCl 0,9 % pada tabung reaksi yang ditambah dengan 0.5 g manik-manik kaca kemudian divortek selama 1 menit untuk melepas sel biofilm. Pengenceran dilakukan dengan mengambil sebanyak 0.1 ml kultur kemudian disebar pada media PCA, diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang kemudian dilakukan penghitungan, ulangan dibuat sebanyak 2 kali (Lampiran 4).

3.5 Pengendalian Sel Bakteri dengan Klorin

Untuk mengetahui kemampuan klorin dalam menghambat pertumbuhan E. coli, Staphylococcus sp. dan Salmonella sp. dilakukan uji penghambatan pertumbuhan bakteri dengan cara mengkultur bakteri kemudian bakteri tersebut disuspensikan sebanyak 108 CFU/ml (standard McFarland). Sebanyak 0,1 ml dari suspensi disebar pada media SWC diinkubasi selama 1 hari, pada suhu 28 0C. Cakram yang mengandung klorin 75, 150 dan 227 ppm diletak pada bagian tengah media yang ditumbuhi bakteri kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 28 0C. Diameter zona hambat pertumbuhan bakteri dihitung dengan mengukur selisih diameter zona bening yang terbentuk dengan dimeter cakram.

3.6 Perlakuan Panas dan Klorin untuk Pengendalian Biofilm

Perlakuan klorin terhadap sel biofilm dilakukan dengan cara lempeng SS dimasukkan ke dalam cawan Petri yang berisi klorin dengan konsentrasi 75, 150 dan 225 ppm. Lempeng SS dibiarkan selama 2 menit pada Petri kemudian diangkat dan dibilas sebanyak 3x. Sel biofilm dihitung dengan cara yang sama pada metode sebelumnya.

Perlakuan panas pada SS dilakukan dengan beberapa tahap yaitu akuades steril dipanaskan dalam gelas beaker di atas hot plate, hingga mencapai suhu 50 0C, 75 0C, dan 100 0C. Lempeng SS yang telah ditumbuhi sel biofilm dimasukkan ke dalam beaker tersebut masing-masing selama 5 menit. Es batu dimasukkan ke dalam beaker gelas agar panas tidak berkelanjutan, SS diangkat dan dibilas sebanyak 3x. Sel biofilm dihitung dengan cara yang sama pada metode sebelumnya.


(29)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi Bakteri Patogen Oportunistik

Hasil isolasi bakteri patogen oportunistik dari ketiga tambak udang yaitu Pantai Labu, Percut dan Pantai Cermin ditemukan bakteri E. coli, Satphylococcus sp. dan

Salmonella sp. tetapi bakteri Vibrio sp. tidak ditemukan (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah sel bakteri yang diisolasi dari tambak udang

Lokasi Tambak Bagian Jumlah Sel (CFU/ml)

E. coli Staphylococcus sp. Salmonella sp. Pantai Labu

Sedimen 2,27x 104 1,56x 104 0,15x 104 Air 1,32x 104 0,23x 103 0,09x 103 Usus Udang 2,44x 104 0,09x 103 0,05x 103 Percut

Sedimen 0,46x 105 0,19x 105 0,37x 104 Air 1,03x 104 0,37x 104 0,98x 103 Usus Udang 0,57x 105 0,16x 104 0,17x 103 Pantai Cermin

Sedimen 0,07x 104 0,19x 105 0,09x 104 Air 0,01x 104 0,27x 103 0,02x 104

Usus Udang - - -

Ket (-) tidak ditemukan bakteri

Tabel 1 menunjukkan bahwa sampel dari daerah Percut mengandung jumlah bakteri terbanyak jika dibandingkan dengan kedua daerah lainnya. E. coli mencapai 0,57 x 105 CFU/ml yang diisolasi dari usus udang, Staphylococcus sp. 0,19 x105 CFU/ml berasal dari bagian sedimen dan Salmonella sp. 0,37 x104 CFU/ml dari bagian sedimen. Tingginya jumlah bakteri di tambak udang daerah Percut disebabkan karena merupakan lokasi tambak yang paling dekat dengan kawasan industri, rumah penduduk, dan merupakan muara Sungai Deli yang telah tercemar oleh limbah domestik yang diduga masuk ke tambak melalui pasokan air dari sungai. Pada tambak di daerah Pantai Cermin sedikit ditemukan bakteri karena tambak tersebut merupakan tambak intensif yang penanganannya sudah cukup baik. Kunarso (1987) menyatakan bahwa adanya bakteri Salmonella sp. dan E. coli di perairan tawar dan laut berasal


(30)

15

dari limbah domestik dan industri yang bersifat organik. Laut merupakan tempat buangan akhir untuk berbagai limbah hasil kegiatan daratan, hal ini tidak terkecuali untuk limbah domestik. Tentunya ini sangat membahayakan, karena limbah domestik sangat potensial membawa berbagai jenis bakteri patogen. Menurut Darmayanti et al.,

(2009) bakteri patogen oportunistik yang hidup di perairan ketika kontak dengan tubuh manusia dapat menimbulkan infeksi dan penyakit.

Dari Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa bakteri pada sedimen lebih banyak jika dibanding dengan bakteri yang berada pada air. Hal ini disebabkan karena nutrisi atau senyawa organik lebih banyak terakumulasi pada bagian dasar perairan sehingga bakteri lebih banyak ditemukan pada bagian tersebut. Bakteri E. coli lebih banyak ditemukan pada bagian usus karena E. coli merupakan flora normal pada usus manusia dan hewan tapi dalam jumlah yang banyak bakteri ini dapat menyebabkan penyakit seperti diare (Pelczar & Chan, 2008).

Setiap isolat bakteri patogen oportunistik diremajakan pada media selektif/diferensial yang bertujuan untuk melihat kemurnian isolat. Biakan E. coli akan berwarna kilat logam kehijauan pada media EMB (Gambar 1A). Medium ini bersifat selektif terhadap mikroorganisme Gram negatif karena zat warna yang terkandung di dalamnya melancarkan efek bakteristatik terhadap bakteri Gram positif. Selama pertumbuhannya dalam medium tersebut, bakteri Gram negatif yang dapat memfermentasi laktosa akan mengambil sebagian dari zat yang terkandung di dalam medium sehingga koloninya akan tampak ungu atau gelap dibagian tengahnya (Lestari, 2008).

Indikasi adanya pertumbuhan bakteri Salmonella dan Shigella pada media SSA dapat dilihat dengan adanya perubahan media (Gambar 1 A dan B). Koloni

Salmonella sp. memiliki ciri seperti warna bening sampai buram dengan bintik hitam di tengah. Adanya bintik hitam di tengah disebabkan karena bakteri tersebut dapat menghasilkan H2S (Astuti, 2012). Kontaminasi bakteri Salmonella sp. di lingkungan laut umumnya berasal dari limbah domestik yang bersifat organik seperti sampah, tinja manusia atau hewan dan bangkai, sedangkan dari limbah industri berasal dari pengolahan bahan makanan kaleng seperti ikan, udang, kerang-kerangan dan daging.


(31)

Salmonella sp. dapat menyebabkan penyakit yang disebut salmonellosis ditandai dengan demam, sakit kepala dan mual, sehingga diupayakan setiap produk pangan bebas dari Salmonella sp. (Hatmanti et al., 2009).

Gambar 1. Bakteri patogen oportunistik pada media selektif, A) E. coli pada EMB inkubasi 2 hari, suhu 28 0C, B) Staphylococcus sp. pada MSA inkubasi 1 hari, suhu 28 0C, C) Salmonella sp. pada SSA inkubasi 1 hari, suhu 28 0C, D) Pewarnaan E. coli dengan safranin, E) Pewarnaan Staphylococcus sp. dengan metylen blue, F) Pewarnaan

Salmonella sp. dengan safranin.

Staphylococus sp. dapat dilihat pada media MSA. MSA merupakan media

yang mengandung NaCl 7,5 %, manitol dan merah fenol. Media ini terutama digunakan untuk membedakan Staphylococcus sp. yang bersifat patogen dan yang tidak patogen. Media ini mengandung kadar NaCl tinggi, sehingga akan menghambat pertumbuhan bakteri selain Staphylococcus sp. Pada umumnya S. aureus bersifat patogen akan membentuk zona kuning disebabkan oleh fermentasi manitol disertai dengan pembentukan asam (Gambar 1B). Staphylococcus sp. tidak patogen akan membentuk zona merah disebabkan oleh manitol yang tidak di fermentasikan merah fenol merupakan indikator untuk melihat adanya pembentukan asam (Lay, 1994).

A B

D E F

C


(32)

17

S. aureus sering ditemukan pada makanan yang mengandung protein tinggi. Keberadaan S. aureus dalam makanan bisa bersumber dari kulit, mulut, atau rongga hidung pengolah pangan, sehingga mudah mencemari makanan (Pelczar & Chan, 2008). Pertumbuhan bakteri S. aureus pada pangan dan olahannya dapat mengancam kesehatan masyarakat karena beberapa galur S. aureus memproduksi enterotoksin yang dapat menyebabkan kasus keracunan pangan. Pangan yang tercemar atau mengandung S. aureus enterotoksigenik sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen. Enterotoksin yang diproduksi S. aureus lebih tahan terhadap panas dibandingkan sel bakterinya (Semesta, 2011).

4.2 Pembentukan Sel Biofilm pada Stainless Steel

Pertumbuhan sel biofilm E. coli dan Staphylococcus sp. pada media SWC terus meningkat sampai inkubasi 6 hari. Jumlah sel biofilm tertinggi ditemukan pada

E. coli pada hari ke-6 yaitu 6,35 x 104 CFU/SS dan yang terendah ialah Salmonella sp. yaitu 2,8 x103 CFU/SS (Gambar 2). Menurut Dewanti & Hariyadi (1997) E. coli

memiliki kemampuan yang tinggi membentuk biofilm ketika dalam kondisi ekstrim. Asooriya & Asam (2006) melaporkan bahwa Salmonella sp. memiliki potensi paling rendah membentuk biofilm pada alat sanitasi pengolahan produk makanan laut.

0 10 20 30 40 50 60 70

ke-1 ke-3 ke-6

Ju m lah s el b iof il m x 10 3(CF U/ S S )

Waktu inkubasi (hari)

E. coli

Staphylococcus Salmonella

Gambar 2. Pertumbuhan sel biofilm pada stainless steel


(33)

Jumlah sel biofilm bakteri pada hari ke-1 ialah E. coli 0,84 x 103 CFU/SS,

Staphylococcus sp. 0,46 x 103 CFU/SS dan Salmonella sp. 0,17 x 103 CFU/SS. Jumlah ini masih cukup rendah karena pada tahap tersebut kemungkinan bakteri masih melakukan transport ke permukaan SS, proses tersebut merupakan tahap awal pembentukan biofilm. Pada tahap ini yang paling berpengaruh adalah motilitas bakteri. Cepat lambatnya pergerakan bakteri dipengaruhi oleh flagel. Menurut Mattila (2002) E. coli memiliki flagel sebagai alat motilitas untuk trasport bakteri tersebut ke permukaan sehingga jumlah biofilmnya lebih tinggi dibanding yang lain. Kebanyakan jenis Salmonella sp. juga melakukan motilitas dengan flagel (Mangalore, 2010). Berbeda dengan Staphylococcus sp. yang tidak memiliki flagel (Pelczar & Chan, 2008) sehingga motilitasnya sangat rendah, tetapi sel biofilm yang dibentuknya cukup tinggi dibanding Salmonella sp. karena Staphylococcus sp. memiliki muatan ion positif pada membran yang mempermudah bakteri tersebut menempel pada SS (Dewanti & Hariyadi, 1997).

Pertumbuhan sel biofilm E. coli dan Staphylococcus sp. dari hari ke-1 sampai hari ke-6 terus meningkat. Sel biofilm E. coli inkubasi 1 hari berjumlah 0,84 x 103 CFU/SS pada hari ke-6 menjadi 6,35 x 104 CFU/SS, sedangkan Staphylococcus sp. dari 0,46 x 103 CFU/SS menjadi 0,32 x 105 CFU/SS. Pertambahan jumlah sel biofilm

E. coli dan Staphylococcus sp. dari inkubasi 1 hari sampai 6 hari sekitar 2 log. Bertambahnya jumlah biofilm dapat terjadi karena sel biofilm tersebut mengalami pembelahan sel hanya saja proses pembelahan sel biofilm lebih lambat jika dibanding sel bakteri yang bersifat planktonik (Dewanti & Wong, 1994).

Ketersediaan nutrisi juga dapat mempengaruhi peningkatan jumlah sel biofilm. Semakin lama masa inkubasi maka jumlah nutrisi yang tersedia semakin berkurang. Pada media miskin bakteri dapat menempel pada substrat 100 kali lipat lebih tinggi jika dibanding medium kaya (Dewanti & Hariyadi, 1997). Terbatasnya nutrien mengharuskan bakteri menyesuaikan diri dalam memperoleh sumber energi, misalnya terjadinya rounding (sel menjadi bulat) dan dwarfing (mengecil ukuran dan volume) pada morfologi sel bakteri (Hood & Zottola, 1997). Dewanti & Wong (1995), menyatakan bahwa mengecilnya ukuran sel pada E. coli juga diikuti dengan meningkatnya hidrofobitas dan agregasi sel-sel menyebabkan meningkatnya massa


(34)

19

yang dapat meningkatkan peran gravitasi pada proses transport bakteri ke permukaan SS.

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa jumlah Salmonella sp. mengalami fluktuasi. Pada hari ke-3 jumlah biofilm 0,37 x 104 CFU/SS sedangkan hari ke-6 mengalami penurunan menjadi 0,28 x 104 CFU/SS. Kemungkinan penurunan jumlah biofilm terjadi karena sebagian dari sel biofilm mengalami kematian dan sel anakan yang dihasilkan bakteri tersebut terlepas dari komunitas biofilm. Lepasnya sel anakan bisa terjadi jika ekstrapolisakarida yang dihasilkan sel biofilm tidak bisa menyelubungi sel anakan yang dihasilkan.

4.3 Pengendalian Sel Bakteri dengan Klorin

Klorin merupakan dasinfektan yang sering digunakan dalam sanitasi alat pengolahan makanan. Klorin mampu menghambat dan membunuh bakteri dalam hitungan menit sehingga penggunaanya lebih efektif untuk mengendalikan bakteri. Kemampuan klorin dalam menghambat pertumbuhan bakteri dapat dilihat dari diameter zona bening yang terbentuk pada media (Gambar 3).

Gambar 3. Pengendalian sel bakteri E. coli dengan klorin A) 75 ppm, B) 150 ppm, C) 225 ppm

A B C


(35)

Pada perlakuan klorin 75 ppm zona bening yang terbentuk ialah E. coli 63 mm,

Staphylococcus sp. 33 mm dan Salmonella sp. 94 mm. Konsentrasi klorin 150 ppm zona bening yang terbentuk ialah E. coli 113 mm, Staphylococcus sp. 82 mm, dan

Salmonella sp. 120 mm. Zona bening yang terbentuk pada konsentrasi klorin 225 ppm ialah E. coli 134 mm, Staphylococcus sp. 150 mm dan Salmonella sp. 143 mm (Gambar 4). 0 20 40 60 80 100 120 140 160

75 150 225

L ua s zo na be ni ng ba kt er i ( m m )

Konsentrasi klorin (ppm)

E. coli

Staphylococcus Salmonella

Zona bening terbentuk karena bakteri yang terpapar dengan klorin mengalami kematian. Semakin tinggi konsentrasi klorin yang diberikan maka diameter zona bening yang terbentuk semakin besar karena lebih banyak bakteri yang terhambat pertumbuhannya.

Menurut Rosyidi (2008) klor mampu membunuh mikroorganisme patogen seperti bakteri dengan cara memecah ikatan kimia pada molekulnya seperti merubah struktur ikatan enzim, bahkan merusak struktur kimia enzim. Ketika enzim pada mikroorganisme terpapar dengan klorin, satu atau lebih dari atom hidrogen akan diganti oleh ion klor. Hal ini dapat menyebabkan berubahnya ikatan kimia pada enzim tersebut atau bahkan memutus ikatan kimia enzim, sehingga enzim pada mikroorganisme tidak dapat berfungsi dengan baik sehingga sel atau bakteri akan mengalami kematian.

Gambar 4. Luas penghambatan klorin terhadap pertumbuhan bakteri


(36)

21

Menurut Yunus (2000) kemampuan klorin dalam mengendalikan bakteri dapat melalui persenyawaannya dengan protein membran sel yang membentuk N-kloro yang kemudian melalui metabolisme sel mengakibatkan kematian organisme. Efek bakterisidal dari hipoklorit berlangsung dalam 2 fase, pertama penetrasi bahan aktif germisidal ke dalam bakteri, dan reaksi bahan kimia tersebut dengan protoplasma sel untuk membentuk kompleks toksik (senyawa N-kloro) yang dapat merusak organisme. Diduga senyawa toksik ini dapat menghambat proses pertumbuhan sel biofilm.

4.4 Pengendalian Sel Biofim dengan Klorin

Konsentrasi klorin mempengaruhi kemampuannya dalam mengendalikan sel biofilm. Selain itu faktor yang mempengaruhi dalam pengendalian biofilm adalah umur sel biofilm tersebut. Penggunaan klorin pada konsentrasi tinggi lebih efektif membunuh sel biofilm dibanding dengan konsentrasi rendah. Dapat dilihat dari E. coli yang diberi perlakuan klorin dengan konsentrasi 150 ppm bakteri masih ditemukan pada media yaitu 0,31 x 103 CFU/SS tapi pada konsentrasi 225 ppm E. coli

tidak tumbuh lagi (Tabel 2).

Tabel 2. Pengendalian sel biofilm bakteri patogen oportunistik dengan klorin

Bakteri Konsentrasi klorin (ppm)

Jumlah sel biofilm (CFU/SS) Hari ke-1 Hari ke-3 Hari ke-6

E. coli

0 0,84 x 104 0,95 x 104 6,35 x 104 75 6,15 x 102 0,54 x 104 9,95 x 103 150 0,31 x 103 0,11 x 103 3,15 x 103

225 - - 0,05 x 104

Staphylococcus sp.

0 0,46 x 103 0,56 x 104 0,32 x 105 75 2,22 x 102 0,01 x 104 4,85 x 103 150 0,85 x 102 0,03 x 103 1,45 x 103

225 - - 0,15 x 103

Salmonella sp.

0 0,17 x 103 0,37 x 104 0,28 x 104 75 0,83 x 102 0,08 x 104 2,05 x 103 150 0,65 x 102 0,25 x 103 1,45 x 103

225 - - 0,15 x 103

Ket (-) tidak ditemukan bakteri


(37)

Konsentrasi desinfektan sangat berpengaruh terhadap densitas biofilm pada pelat SS. Yunus (2000) menyatakan bahwa sanitasi menggunakan klorin 200 ppm memberikan persentasi penurunan dibanding dengan menggunakan klorin 100 ppm. Dewanti & Hariyadi (1997) menyatakan bahwa senyawa klorin dengan konsentrasi 200 ppm mampu membunuh sel biofilm Salmonella blockly inkubasi 2 hari pada permukaan SS.

Pengendalian sel biofilm dengan klorin pada konsentarasi 225 ppm masih kurang efektif untuk sel biofilm umur 6 hari . Hal ini dapat disebabkan karena biofilm lebih stabil pada inkubasi hari ke-6, sehingga pengendalian dengan klorin sulit. Terbentuknya beberapa lapis biofilm (multilayer) menyebabkan senyawa klorin tidak bisa menembus bagian dalam. Menurut Bal’a et al., (1998) desinfeksi pada sel biofilm hanya terjadi pada bagian terluar karena sulit masuk ke bagian terdalam biofilm, padahal semua sisi biofilm berpeluang menjadi kontaminan sehingga diperlukan pengendalian khusus. Pada hari ke-6 jumlah nutrisi juga semakin terbatas. Dewanti & Hariyadi (1997) menyatakan terbatasnya nutrien dalam medium pertumbuhan menyebabkan laju pertumbuhan sel yang lambat. Laju pertumbuhan yang rendah dapat meningkatkan ketahanan bakteri biofilm terhadap senyawa antibiotik, dan juga ketahananya terhadap desinfektan.

Kaporit ketika dilarutkan dalam air akan berubah menjadi asam hipoklorit (HOCl) dan ion hipoklorit (OCl-) yang memiliki sifat desinfektan. HOCl dan ion OCl- disebut klor yangbersifat sangat reaktif terhadap berbagai komponen sel bakteri. Klor mampu melakukan reaksi hidrolisis dengan berbagai komponen kimia bakteri seperti peptidoglikan, lipid dan protein yang dapat menimbulkan kerusakan fisiologis dan mekanisme seluler bakteri. Klor aktif dapat melakukan inaktifasi kerja enzim dengan cara merubah ikatan kimia atau bahkan memutus ikatan kimia enzim. Klor juga dapat mengganggu proses sintesis protein bakteri dengan memodifikasi basa purin dan pirimidin yang mampu menyebabkan kecacatan genetis bakteri (Rosyidi, 2008).

Sel biofilm menghasilkan ekstrapolisakarida untuk membantu proses penempelan pada SS. Selain membantu proses penempelan ekstrapolisakarida juga berfungsi melindungi biofilm. Ekstrapolisakarida menyelubungi biofilm sehingga


(38)

23

dapat menghalangi penetrasi desinfektan seperti klorin terhadap biofilm. Selain menghalangi penetrasi, kehadiran senyawa ekstrapolisakarida yang sebagian besar merupakan senyawa organik, akan menghambat mekanisme kerja senyawa klorin. Yunus (2000) menyatakan bahwa salah satu kelemahan penggunaan senyawa klorin sebagai desinfektan adalah mampu diinaktivasi oleh senyawa organik.

4.5 Pengendalian Sel Biofilm dengan Panas

Pengendalian bakteri dengan panas merupakan cara yang paling aman jika dibanding dengan cara lain seperti penggunaan senyawa kimia karena panas tidak memberikan efek toksik bagi lingkungan. Sel biofilm dapat dikendalikan dengan suhu tinggi. Perlakuan biofilm pada suhu 100 0C menyebabkan kematian biofilm umur 1 hari. Sedangkan biofilm umur 3 dan 6 hari hanya sebagian sel biofilm yang mati dengan perlakuan panas tersebut (Tabel 3).

Tabel 3. Pengendalian sel biofilm bakteri patogen oportunistik dengan beberapa temperatur

Bakteri Tinggi Suhu Jumlah sel biofilm (CFU/SS) Hari ke-1 Hari ke-3 Hari ke-6

E. coli

Suhu ruang 0,84 x 103 0,95 x 104 6,35 x 104 50 0C 0,85 x 102 9,25 x 103 2,73 x 103 75 0C 0,03 x 102 0,78 x 103 0,98 x 103 100 0C - 0,14 x 103 2,95 x 102

Staphylococcus sp.

Suhu ruang 0,46 x 103 0,56 x 104 0,32 x 105 50 0C 3,25 x 102 0,39 x 104 2,97 x 104 75 0C 0,81 x 102 0,08 x 104 1,08 x 104 100 0C - 0,02 x 104 0,95 x 103

Salmonella sp.

Suhu ruang 0,17 x 103 0,37 x 104 0,28 x 104 50 0C 0,16 x 103 0,35 x 104 2,51 x 102 75 0C 0,34 x 102 0,05 x 104 0,95 x 102 100 0C - 0,05 x 103 0,06 x 102 Ket (-) tidak ditemukan bakteri

Sel biofilm E. coli inkubasi 1 hari berjumlah 0,84 x 103 setelah dipanaskan pada suhu 100 0C semua sel biofilm dapat dikendalikan. Sama halnya dengan Staphylococcus sp. dan Salmonella sp. semua sel biofilm juga dapat dikendalikan. Pada inkubasi 3 hari E.


(39)

coli berjumlah 0,95 x 104 setelah dipanaskan pada suhu 100 0C sel biofilm menjadi 0,14 x 103. Staphylococcus sp. umur 3 hari berjumlah 0,56 x 104 setelah diperlakukan dengan suhu 100 0C menjadi 0,02 x 104 sedangkan Salmonella sp. masih berjumlah 0,05 x 103 walaupun dipanaskan pada suhu 100 0C. Perlakuan panas pada suhu 100 0C terhadap sel biofilm inkubasi 3 hari menyebabkan penurunan jumlah sel bakteri sekitar 1 log.

Pada inkubasi 6 hari sel biofilm lebih susah dikendalikan dapat dilihat dari jumlah sel biofilm yang masih ada walaupun sudah dikendalikan dengan suhu 100 0C.

E. coli masih ada sebanyak 2,95 x 102, Staphylococcus sp. berjumlah 1,08 x 104 sedangkan Salmonella sp. sebanyak 0,06 x 102. Makin banyak jumlah dan makin tua umur sel biofilm tersebut maka makin susah untuk mengendalikannya. Menurut Astuti (2012) ketahanan sel bakteri terhadap panas bergantung kepada banyak faktor yaitu sensifitas bakteri terhadap panas, jumlah sel, suhu, dan waktu yang digunakan selama pemanasan. Menurut Dewanti & Wong (1995) sel biofilm susah dikendalikan juga disebabkan karena adanya ekstrapolisakarida yang menyelubungi biofilm. Lapisan ekstrapolisakarida tersebut menghambat panas untuk kontak langsung dengan biofilm walaupun menggunakan suhu tinggi, panas tidak bisa membunuh semua biofilm tapi yang rusak ialah senyawa ekstrapolisakarida dan sebagian biofilm yang dekat dengan permukaan.

Setiap bakteri dapat tumbuh pada rentang suhu tertentu. Peningkatan suhu dapat menyebabkan proses lisis dan kematian sel. Suhu tinggi mampu membunuh sel bakteri dengan cara mengganggu aktivitas dan kerja enzim bakteri tersebut. Enzim berfungsi sempurna pada suhu optimum, bila suhu menyimpang dari suhu optimum maka aktivitas enzim menurun. Panas dapat merusak enzim karena enzim tersusun dari protein yang sangat mudah terdenaturasi oleh panas. Kisaran suhu tidak hanya mempengaruhi aktivitas enzim, namun mempengaruhi sifat fisik membran. Permeabilitas membran sel tergantung pada kandungan dan jenis lipid bakteri (Lay, 1994).


(40)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa tambak udang di daerah Percut, Pantai Labu dan Pantai Cermin tercemar oleh bakteri patogen oportunistik E. coli, Staphylococcus sp. dan Salmonella sp., tetapi tidak ditemukan

Vibrio sp.. Diantara tambak udang tersebut daerah yang paling tinggi cemaran bakteri patogen oportunistiknya adalah daerah Percut. E. coli, Staphylococcus sp. dan

Salmonella sp. dapat membentuk sel biofilm pada stainless steel. Dari ketiga isolat tersebut yang paling berpotensi membentuk biofilm ialah E. coli. Pengendalian sel biofilm dengan klorin pada konsentrasi 225 ppm selama 2 menit dan panas pada suhu 100 0C selama 5 menit efektif mengendalikan sel biofilm umur 1 dan 3 hari, sedangkan umur 6 hari tidak semua dapat dikendalikan, sehingga dibutuhkan konsentrasi klorin dan panas yang lebih tinggi. Makin tinggi suhu dan konsentrasi klorin yang diberikan makin efektif mengendalikan sel biofilm.

5.2 Saran

Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai pengendalian sel biofilm dengan cara biologis seperti penggunaan beberapa bakteri probiotik atau ekstrak tumbuhan yang memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan sel biofilm bakteri patogen oportunistik, karena penggunaan bakteri probiotik dan ekstrak tumbuhan lebih ramah terhadap lingkungan.


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, M., Hafiluddin & R. Farid. 2007. Analisis jumlah bakteri dan keberadaan E. Coli pada pengolahan ikan teri nasi di PT. Kelola Mina Laut Unit Sumenep. Madura: Fakultas pertanian Unijoyo. hlm. 94.

Astuti, T. 2012. Studi kandungan bakteri Salmonella sp. pada minuman susu telur madu jahe (STMJ) di Taman Kota Damay Kecamatan Kota Gorontalo. Skripsi. Gorontalo: FKM. Universitas Negeri Gorontalo. hlm. 8.

Asooriya, S.P. & K.A. Asam. 2006. A prilimunary study on the presence of biofilm on food contact surface in selected Sri Lanka fish and shrimp processing factories. J. Aquat. Sci. 11 : 77-79.

Bal’a, M.F.A., I. Jamilah & D.L. Marshall. 1998. Attachment of Aeromonas hydrophyla to stainless steel surface. Food Environ. Sanit. 18: 642-645. Borriello, G., E. Werner, F. Roe, A.M. Kim, G.D. Ehrlich & S. Stewart. 2004. Oxygen

limitation contributes to antibiotic tolerance of Pseudomonas aeruginosa in biofilm. Antimicrob Agents Chemother. 48: 2659-2664.

Chavalier, M.W., C.D. Cauthon & R.G. Lee,. 1988. Factor promoting survival of bacteria in chlorinated water supplies. Appl. Environ. Microbiol. 54: 649-654.

Characklis, W.G. & K.C. Marshall. 1990. Biofilms. New York: John Wiley & Sons. hlm. 192-195.

Darmayanti, D.H. Kunarso & Ruyitno. 2009. Dinamika bakteri indikator pencemaran di Perairan Estuari Cisadane. Oseanologi Limnologi Indones. 35: 273-290. Cowan, S.E., E. Gilbert, D. Liepmann & J.D. Keasling. 2000. Commensal interactions

in a dual-species biofilm exposed to mixed organic compounds. Appl. Environ. Microbiol. 66: 4481-4485.

Dunne, W.M. 2002. Focus bacterial adhesion seen any good biofilm lately. Clin. Microbiol. Rev. 15: 155-166

Dunsmore, D.G. 1981. Design and peforrnance of systems for cleaning product contact surfaces of food equipment. J. Food Prot. 44: 220-240.

Dewanti, R. & A.C.L. Wong 1995. Influence of culture conditions on biofilm formation by Escherichia coli O157:H7. J. Food Microbiol. 26: 147-164. Dewanti, R. & Hariyadi. 1997. Pembentukan biofilm bakteri pada permukaan padat.

Bul Teknol dan Industri Pangan. 8: 71-74.


(42)

27

Donlan, R.M. 2002. Biofilms microbial life on surfaces. Emerging Infec Diseases. 8: 881-890.

Frank, J.F. & R. A. Kofti. 1990. Surface adherent growth of Listeria monocytogenes

associated with increased resistance to surfactant sanitizers and heat. J. Food Prot. 53: 550-554.

Harish, R., K.S. Nisha & A.A.M. Hatha. 2003. Prevalence of oportunistic shrimp farm adjoining Vambanadu lake, Kerala, India. Asian Fisheries Science. 16: 187-189.

Hatmanti, A.N. Ruyitno & J. Dewi. 2009. Screening bakteri penghambat untuk bakteri penyebab penyakit pada budi daya ikan kerapu dari Perairan Banten dan Lampung.Makara Sains. 13: 81-83.

Hood, S.K. & E.A. Zottola. 1997. Growt media and surface conditioning influence the adherence of Pseudomonas fragi, Salmonella thyphimurium, and Listeria monocytogenes bacteria to stainless stell. J. Food Protec. 60: 1034-1039. Isdarmawan, N. 2005. Kajian tentang pengaturan luas dan waktu degradasi limbah

tambak dalam upaya pengembangan tambak berwawasan lingkungan di Kecamatan Wonokorto Kabupaten Pekalongan. Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. hlm. 6.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan perikanan dalam angka. Jakarta Pusat Data Statistik dan Informasi. hlm. 28.

Kunarso, D.H. 1987. Beberapa catatan tentang bakteri Salmonella. J. Oseana. 12: 79-90.

Lestari, D. 2008. Isolasi dan seleksi Bacillus sp. untuk biokontrol pada tambak udang. Skripsi. Bogor: Biologi FMIPA. IPB. hlm. 4-7.

Lay, B.W. 1994. Analisis mikroba di laboratorium. Jakarta: Rajawali Press. hlm. 111. Mangalore, I. 2010. FAO expert workshop on the aplication of biosecurity measures

to control Salmonella contamination in sustainable aquaculture. J. Fisheries Aquac. 97: 19-25.

Mattila, K. 2002. Biofilm on stainless steel exposed to process water. Finland: microbiology University of Helsinki. hlm. 9-10.

Muliani, E., Susiangsih & Nurbaya. 2003. Pengaruh komposisi jenis dan rasio bakteri probiotik terhdap perubahan kualitas air dan kelangsungan hidup (udang windu) dalam skala laboratorium, J. Penelt. Pert. Indones. 9:83-87.

O’Toole, G.A. & C.M. Thien-Fach. 2001. Mechanism of biofilm resistence to antimicrobial agents. Trends Microb. 9: 34-37.


(43)

Pelczar M.J. & E.C.S. Chan. 2008. Dasar-dasar mikrobiologi. Jilid I. Jakarta: Universitas Indonesia Press. hlm. 35.

Prasojo, T. 2003. Survival bakteri patogen pada udang selama pengolahan dan penetapan rencana HACCP untuk produksi udang beku. Bogor: IPB. hlm 6-7. Rahmat, B. 2004. Pengaruh beberapa konsentrasi kaporit terhadap angka lempeng total pada desinfeksi alat makan. Skripsi. Banyumas: Fakultas Keperawatan Banyumas. hlm. 43- 46.

Rinto. 2010. Kajian penolakan produk perikanan Indonesia ke Amerika Serikat. Skripsi. Palembang: Teknologi Hasil Perikanan. Universitas Sriwijaya. hlm. 35-39.

Rosyidi, M.B. 2010. Pengaruh breakpoint chlorination (BPC) terhadap jumlah bakteri koliform dari limbah cair rumah sakit umum daerah Sidoarjo. Skripsi. Surabaya: FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh November. hlm. 3-6.

Semesta, F.M. 2011. Tingkatan cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi dari pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat berdasarkan jumlah total mikroorganisme Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 23.

Slamet. 2000. Cemaran mikrobiologis udang tambak segar di Jawa Barat. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 9-12.

Sururi, R.M., Rachmawati, S.D.J. & M. Sholichah. 2008. Perbandingan efektifitas klor dan ozon sebagai desinfektan pada sampel air dari unit filtrasi instalasi PDAM Kota Bandung. Prosiding seminar nasional sains dan teknologi. Universitas Lampung.

Trisnawati, I.N. 2010. Pengaruh perlakuan sanitizer air panas pada peralatan penyajian terhadap penurunan angka total bakteri dan coliform di bangsal geriatri RSUP Dr. Kariadi Semarang. Skripsi. Semarang: UNDIP. hlm. 29. SNI 7388. 2009. Batas maksimum cemaran mikroba pada pangan.

Yunus, L. 2000. Pembentukan biofilm oleh Salmonella blockey pada permukaan

stainless steel serta pengaruh sanitasi terhadap pembentukan kembali biofilm baru. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 12-15.


(44)

29

LAMPIRAN

FLOWSHEET

Lampiran 1. Isolasi dan penghitungan sel bakteri

Lampiran 2. Komposisi media sea water completed (SWC)

Air laut 750 ml

Aquadest 250 ml

Bacto pepeton 5 g Yeast ekstrak 1 g

Gliserol 3 ml

Bacto agar 15 g

sampel

air dan sedimen usus udang air dan sedimen

dilakukan pengenceran dan 0,1 ml disebar pada media selektif dihitung jumlah bakteri yang di dimurnikan pada media SWC

ditimbang sebanyak 1gram

0,1 ml disebar pada dihitung jumlah bakteri yang di inginkan dimurnikan pada media SWC

dilakukan pengenceran

0,1ml disebar pada media PCA

dihitung semua jenis bakteri yang tumbuh


(45)

Lampiran 3. Pembentukan sel biofilm pada staninles steel

Stainles steel (SS) di potong seluas 1 cm2 Dicuci dengan deterjen dalam sonikator Disterilkan dengan autoklaf

Masing-masing isolat murni dimasukkan

kedalam Erlenmeyer yang telah berisi media SW Disamakan kekeruhannya dengan standart Mc farland

Lempeng SS dimasukkan ke masing-masing media pengkulturan

Pembentukan biofilm dilihat pada periode 1hari, 3 hari dan 6 hari untuk melihat perkembangan sel

Lampiran 4. Penghitungan sel biofilm

Diangkat dari kultur

Dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang berisi 50 ml Nacl 0,9 %

Ditambahkan dengan 0,5 gram manik-manik kaca

Divorteks untuk melepas sel biofilm selama 1 menit

Diambil sebanyak 0,1 ml dan disebar pada media PCA

Diinkubasi selama 24 jam dan dihitung jumlah bakter

isolat bakteri

hasil

lempeng stainles steel

hasil


(46)

31

Lampiran 5. Pengendalian sel bakteri dengan klorin

Disuspensikan sebanyak 108 CFU/ml Sebanyak 0,1 ml disebar pada media SWC Diinkubasi selama 24 jam, suhu 28 0C

Cakram yang mengandung klorin 75, 150 dan 225 ppm diletak pada bagian tengah media yang ditumbuhi bakteri

Diinkubasi selama 24 jam, suhu 28 0C Dihitung zona bening yang terbentuk

Lampiran 6. Pengendalian sel biofilm dengan panas dan klorin

pengendalian panas

dipanaskan aquades steril pada suhu 50, 75, 100 0 C pada dimasukkan SS yang ditumbuhi bakteri selama 5 masukkan es batu agar panas tidak berkelanjutan

dihitung sel biofilm

klorin dimasukkan klorin kedalam beaker konsentrasi 75, 150, 225 dimasukkan SS yang ditumbuhi bakteri selama 2 menit

dihitung sel biofilm isolat bakteri

hasil


(47)

Lampiran 7. Jumlah sel biofilm

Jenis Bakteri Hari Jumlah Sel Biofilm (CFU/SS)

U1 U2 Rata-rata

E. Coli

ke-1 ke-3 ke-6

9,7 x 102 7,4 x 102 8,4 x 102 1,03 x 104 8,7 x 103 9,5 x 103 7,4 x 104 5,3 x 104 6,35 x 104

Staphylococcus sp.

ke-1 ke-3 ke-6

3,9 x 102 5,4 x 102 4,6 x 102 4,4 x 103 6,7 x 103 5,6 x 103 38 x 103 26 x 103 32 x 103

Salmonella sp.

ke-1 ke-3 ke-6

2,1 x 102 1,3 x 102 1,7 x 102 3,9 x 103 3,4 x 103 3,7 x 103 2.1 x 103 3,2 x 103 2.8 x 103 Lampiran 8. Pertumbuhan bakteri pada PCA

A) jumlah Staphylococcus sp. hari ke-3, B) jumlah Salmonella sp. hari ke-3, C) jumlah E. coli hari ke-3, D) jumlah Staphylococcus sp. setelah perlakuan klorin, E) jumlah Salmonella sp. setelah perlakuan klorin, F) jumlah E. coli

setelah perlakuan klorin.

B C

D A

E F


(48)

33

Lampiran 9. Luas penghambatan klorin terhadap pertumbuhan bakteri

Jenis Bakteri Konsentrasi Klorin (ppm) Luas Zona Bening (mm)

E. Coli

75 150 225

63 113 134

Staphylococcus sp.

75 150 225

33 82 150

Salmonella sp.

75 150 225

94 120 143

Lampiran 10. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian

A) sonikator, B) manik-manik kaca, C) lempeng stainless steel, D) media SWC, E) pengendalian biofilm pada SS dengan klorin F) pengendalian biofilm pada SS dengan panas, G) water bath shaker, H) vortex, I) kultur bakteri

A B

C

D E F

G H I


(1)

Pelczar M.J. & E.C.S. Chan. 2008. Dasar-dasar mikrobiologi. Jilid I. Jakarta: Universitas Indonesia Press. hlm. 35.

Prasojo, T. 2003. Survival bakteri patogen pada udang selama pengolahan dan penetapan rencana HACCP untuk produksi udang beku. Bogor: IPB. hlm 6-7. Rahmat, B. 2004. Pengaruh beberapa konsentrasi kaporit terhadap angka lempeng total pada desinfeksi alat makan. Skripsi. Banyumas: Fakultas Keperawatan Banyumas. hlm. 43- 46.

Rinto. 2010. Kajian penolakan produk perikanan Indonesia ke Amerika Serikat. Skripsi. Palembang: Teknologi Hasil Perikanan. Universitas Sriwijaya. hlm. 35-39.

Rosyidi, M.B. 2010. Pengaruh breakpoint chlorination (BPC) terhadap jumlah bakteri koliform dari limbah cair rumah sakit umum daerah Sidoarjo. Skripsi. Surabaya: FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh November. hlm. 3-6.

Semesta, F.M. 2011. Tingkatan cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi dari pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat berdasarkan jumlah total mikroorganisme Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 23.

Slamet. 2000. Cemaran mikrobiologis udang tambak segar di Jawa Barat. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 9-12.

Sururi, R.M., Rachmawati, S.D.J. & M. Sholichah. 2008. Perbandingan efektifitas klor dan ozon sebagai desinfektan pada sampel air dari unit filtrasi instalasi PDAM Kota Bandung. Prosiding seminar nasional sains dan teknologi. Universitas Lampung.

Trisnawati, I.N. 2010. Pengaruh perlakuan sanitizer air panas pada peralatan penyajian terhadap penurunan angka total bakteri dan coliform di bangsal geriatri RSUP Dr. Kariadi Semarang. Skripsi. Semarang: UNDIP. hlm. 29. SNI 7388. 2009. Batas maksimum cemaran mikroba pada pangan.

Yunus, L. 2000. Pembentukan biofilm oleh Salmonella blockey pada permukaan stainless steel serta pengaruh sanitasi terhadap pembentukan kembali biofilm baru. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 12-15.


(2)

LAMPIRAN FLOWSHEET

Lampiran 1. Isolasi dan penghitungan sel bakteri

Lampiran 2. Komposisi media sea water completed (SWC)

Air laut 750 ml

Aquadest 250 ml

Bacto pepeton 5 g Yeast ekstrak 1 g

Gliserol 3 ml

Bacto agar 15 g

sampel

air dan sedimen usus udang air dan sedimen

dilakukan pengenceran dan 0,1 ml disebar pada media selektif dihitung jumlah bakteri yang di dimurnikan pada media SWC

ditimbang sebanyak 1gram

0,1 ml disebar pada dihitung jumlah bakteri yang di inginkan dimurnikan pada media SWC

dilakukan pengenceran

0,1ml disebar pada media PCA

dihitung semua jenis bakteri yang tumbuh


(3)

Lampiran 3. Pembentukan sel biofilm pada staninles steel

Stainles steel (SS) di potong seluas 1 cm2 Dicuci dengan deterjen dalam sonikator Disterilkan dengan autoklaf

Masing-masing isolat murni dimasukkan

kedalam Erlenmeyer yang telah berisi media SW Disamakan kekeruhannya dengan standart Mc farland

Lempeng SS dimasukkan ke masing-masing media pengkulturan

Pembentukan biofilm dilihat pada periode 1hari, 3 hari dan 6 hari untuk melihat perkembangan sel

Lampiran 4. Penghitungan sel biofilm

Diangkat dari kultur

Dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang berisi 50 ml Nacl 0,9 %

Ditambahkan dengan 0,5 gram manik-manik kaca

Divorteks untuk melepas sel biofilm selama 1 menit

Diambil sebanyak 0,1 ml dan disebar pada media PCA

Diinkubasi selama 24 jam dan dihitung jumlah bakter

isolat bakteri

hasil

lempeng stainles steel


(4)

Lampiran 5. Pengendalian sel bakteri dengan klorin

Disuspensikan sebanyak 108 CFU/ml Sebanyak 0,1 ml disebar pada media SWC Diinkubasi selama 24 jam, suhu 28 0C

Cakram yang mengandung klorin 75, 150 dan 225 ppm diletak pada bagian tengah media yang ditumbuhi bakteri

Diinkubasi selama 24 jam, suhu 28 0C Dihitung zona bening yang terbentuk

Lampiran 6. Pengendalian sel biofilm dengan panas dan klorin

pengendalian panas

dipanaskan aquades steril pada suhu 50, 75, 100 0 C pada dimasukkan SS yang ditumbuhi bakteri selama 5 masukkan es batu agar panas tidak berkelanjutan

dihitung sel biofilm

klorin dimasukkan klorin kedalam beaker konsentrasi 75, 150, 225 dimasukkan SS yang ditumbuhi bakteri selama 2 menit

dihitung sel biofilm isolat bakteri


(5)

Lampiran 7. Jumlah sel biofilm

Jenis Bakteri Hari Jumlah Sel Biofilm (CFU/SS)

U1 U2 Rata-rata

E. Coli

ke-1 ke-3 ke-6

9,7 x 102 7,4 x 102 8,4 x 102 1,03 x 104 8,7 x 103 9,5 x 103 7,4 x 104 5,3 x 104 6,35 x 104 Staphylococcus sp.

ke-1 ke-3 ke-6

3,9 x 102 5,4 x 102 4,6 x 102 4,4 x 103 6,7 x 103 5,6 x 103 38 x 103 26 x 103 32 x 103 Salmonella sp.

ke-1 ke-3 ke-6

2,1 x 102 1,3 x 102 1,7 x 102 3,9 x 103 3,4 x 103 3,7 x 103 2.1 x 103 3,2 x 103 2.8 x 103 Lampiran 8. Pertumbuhan bakteri pada PCA

A) jumlah Staphylococcus sp. hari ke-3, B) jumlah Salmonella sp. hari ke-3, C) jumlah E. coli hari ke-3, D) jumlah Staphylococcus sp. setelah perlakuan klorin, E) jumlah Salmonella sp. setelah perlakuan klorin, F) jumlah E. coli setelah perlakuan klorin.

B C

D A


(6)

Lampiran 9. Luas penghambatan klorin terhadap pertumbuhan bakteri Jenis Bakteri Konsentrasi Klorin (ppm) Luas Zona Bening (mm)

E. Coli

75 150 225

63 113 134 Staphylococcus sp.

75 150 225

33 82 150 Salmonella sp.

75 150 225

94 120 143

Lampiran 10. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian

A B

C

D E F