Study on induction and maturation of somatic embryos of Jatropha Curcas L initiated from different types of explants and plant growth regulators

(1)

i

STUDI INDUKSI DAN PENDEWASAAN EMBRIO

SOMATIK JARAK PAGAR (

Jatropha curcas

L.)

DENGAN BERBAGAI JENIS EKSPLAN DAN ZAT

PENGATUR TUMBUH

ERWIN AL HAFIIZH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Studi Induksi dan Pendewasaan Embrio Somatik Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) dengan Berbagai Jenis Eksplan dan Zat Pengatur Tumbuh” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

. Bogor, Agustus 2012

Erwin al Hafiizh NIM A253090121


(4)

(5)

v

ABSTRACT

ERWIN AL HAFIIZH. Study on induction and maturation of somatic embryos of Jatropha Curcas L. initiated from different types of explants and plant growth regulators. Supervised by DARDA EFENDI and TRI MUJI ERMAYANTI.

Jatropha curcas L. is a potential plant for biodiesel. This plant produces seeds containing oil from 33 to 60%. However, up to now, there are lack of high-quality of clones and limited research in the plant breeding. Therefore, an alternative method is needed including the application of biotechnology. Propagation of plants through somatic embryogenesis is not only helps to obtain a large number of plants throughout the year, but also it can be used as a good tool for genetic improvement of crops through genetic engineering. This study was aimed to induce somatic embryogenesis using different type of explants and several concentrations of plant growth regulators, as well as to study the development of the somatic embryos. Hypocotil and leaf used as explants were obtained from 1week-old seedling germinated on MS medium. Young embryos and embryo axis from immature and mature fruits were also used as explants for the induction of somatic embryos. After surface sterilization, explants were cultured on solid MS medium containing 3% of sucrose, 0; 0.5; 1; 1.5; 2; 2.5; 3; 4 or 5 mgL-1 of Picloram or 0; 0.5; 1; 1.5; 2 or 2.5 mg L-1 of 2,4-D. Cultures were incubated in the dark, at a temperature of 26±2°C, for 8 weeks. The results showed that embryo axis explants from mature fruit produced somatic embryos in globular, heart, torpedo and cotyledonary stages 6 weeks after culture (WAC) in the medium containing 2.5 mg/l of Picloram, whereas in medium containing 3, 4, or and 5 mg/l of Picloram, the somatic embryos were found after more than 7 WAC. Somatic embryos formed either directly or indirectly. Proliferation and maturation can be performed in solid or liquid MS medium without growth regulators and in liquid MS with the addition of 2.5 mg L-1 of Picloram with 3% of sucrose and B5 vitamin.


(6)

(7)

vii

RINGKASAN

ERWIN AL HAFIIZH. Studi Induksi dan Pendewasaan Embrio Somatik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Berbagai Jenis Eksplan dan Zat Pengatur Tumbuh. Dibimbing oleh DARDA EFENDI dan TRI MUJI ERMAYANTI.

Jatropha curcas L. merupakan salah satu tanaman non pangan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai biodisel. Tanaman ini dapat menghasilkan biji dengan kandungan minyak mencapai 33-60%. Kendala yang dihadapi adalah kurangnya klon-klon bermutu tinggi dan pemuliaan tanaman yang belum maksimal, sehingga mempengaruhi produktivitas. Oleh karena itu diperlukan metode alternatif dengan penerapan bioteknologi untuk peningkatan produksi. Propagasi tanaman melalui embriogenesis somatik tidak hanya membantu untuk mendapatkan jumlah tanaman besar sepanjang tahun, tetapi juga dapat digunakan sebagai metode yang baik untuk perbaikan genetik tanaman melalui rekayasa genetika. Pada penelitian ini dilakukan dua kegiatan yaitu (1) induksi embrio somatik dari berbagai jenis eksplan J. curcas komposit IP3-P dan genotipe Dompu dan (2) proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik. Penelitian dilakukan pada bulan November 2010 – Januari 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang tepat mengenai jenis eksplan dan konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin yaitu Picloram dan 2.4-D dalam media induksi yang didukung dengan kajian mengenai struktur dan perkembangan embrio somatik secara morfologi dan anatomi.

Induksi embrio somatik dapat diinisiasi dari berbagai jenis eksplan J. curcas komposit IP-3P dan aksesi Dompu. Eksplan hipokotil dan daun ditanam dari kecambah berumur 1 minggu setelah tanam pada media MS, sedangkan eksplan kotiledon, embrio muda, aksis embrio muda dan aksis embrio tua, serta aksis embrio buah masak langsung ditanam setelah disterilisasi pada media MS padat yang ditambahkan zat pengatur tumbuh picloram 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0; 2.5; 3.0; 4.0 dan 5.0 mg/L dan 2.4-D 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mg/L, dengan sukrosa 30% dan vitamin Gamborg B5. Kultur diinkubasi di tempat gelap, pada suhu 26±2°C, selama 8 minggu.

Eksplan dari J. curcas komposit IP3-P (hipokotil, daun, kotiledon dan aksis embrio tua) dan eksplan dari J. curcas aksesi Dompu (embrio muda dan aksis embrio muda) yang diinduksi pada media MS yang mengandung picloram atau 2.4-D tidak dapat membentuk kalus embriogenik maupun embrio somatik. Kalus yang terbentuk merupakan kalus meremah dan kompak. Pertumbuhan kalus tertinggi ditunjukkan pada eksplan hipokotil yang dapat mencapai skor 5 pada media yang mengandung picloram 1.0 dan 2.0 mgL-1, 7 minggu setelah tanam (MST), sedangkan pertumbuhan kalus terendah ditunjukkan pada eksplan embrio muda pada media yang mengandung 2.4-D 1 mg/L-1 dengan skor 3.0.

Induksi somatik dari eksplan aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dapat membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik. Embrio somatik terbentuk pada media yang mengandung 2.5 mgL-1 Picloram dan terbentuk 6 MST dengan jumlah 2 fase globular dan 5 fase torpedo. Jumlah eksplan yang membentuk embrio somatik hanya 10%. Perkembangan tahap


(8)

viii

globular dan torpedo menjadi kotiledon terbentuk pada 8 MST. Pada media yang mengandung 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 mg/L-1 picloram dan 0.5; 1.0; 1.5; 2.0; 2.5 mg/L-1 2.4-D tidak membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik.

Pada penelitian yang menggunakan eksplan aksis embrio buah masak dengan konsentrasi picloram yang ditingkatkan menghasilkan kalus embriogenik dan embrio somatik di media yang mengandung 2.5 mg/L-1 picloram pada 6 MST, sedangkan pada media dengan 3.0; 4.0; dan 5.0 mg/ L-1. Picloram embrio somatik terbentuk 7 MST. Embrio somatik terbentuk secara langsung pada media dengan 3.0; 5.0 mg/L-1 picloram dan tidak langsung pada media 2.5; 4.0; dan 5.0 mg/ L-1 picloram.

Kalus embriogenik dan embrio somatik pada media MS padat dan cair tanpa zat pengatur tumbuh, serta media MS cair dengan penambahan 2.5 mg/L-1 picloram mengalami proliferasi dan pendewasaan dengan peningkatan jumlah embrio somatik dan perkembangan embrio somatik dari fase globular ke fase jantung, torpedo dan kotiledon. Pada media cair embrio somatik sampai membentuk tahap kotiledon, sedangkan pada media padat sampai berkecambah.

Kata kunci: Embriogenesis somatik, embrio somatik, aksis embrio buah masak, Picloram, 2.4-D


(9)

ix

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

xi

STUDI INDUKSI DAN PENDEWASAAN EMBRIO

SOMATIK JARAK PAGAR (

Jatropha curcas

L.)

DENGAN BERBAGAI JENIS EKSPLAN DAN ZAT

PENGATUR TUMBUH

ERWIN AL HAFIIZH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

xii


(13)

xiii

Judul Tesis : Studi Induksi dan Pendewasaan Embrio Somatik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Berbagai Jenis Eksplan dan Zat Pengatur Tumbuh

Nama : Erwin Al Hafiizh NIM : A253090121

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Darda Efendi, M.Si

Ketua Anggota

Dr. Tri Muji Ermayanti

Mengetahui,

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.


(14)

(15)

xv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang merupakan syarat untuk mendapat gelar Magister di Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan judul “Studi Induksi dan Pendewasaan Embrio Somatik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Berbagai Jenis Eksplan dan Zat Pengatur Tumbuh”. Dengan terselesaikannya penulisan tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Darda Efendi, MSi dan Dr. Tri Muji Ermayanti selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan arahannya selama perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan tesis ini.

2. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc selaku Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman dan seluruh dosen dan karyawan atas bimbingan dan bantuannya yang tidak ternilai kepada penulis.

3. Dr. Dewi Sukma selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tesis ini.

4. Dr. Dini Dinarty selaku kepala Laboratorium Kultur Jaringan 3, Institut Pertanian Bogor dan seluruh karyawan atas bantuan dan kerjasamanya dalam penelitian.

5. Bapak dan Ibu tercinta atas doa dan restunya yang senantiasa menyertai penulis agar selalu diberikan kemudahan dan kebaikan.

6. Istri dan anak tercinta atas doa dan motivasi selama saya menempuh pendidikan.

7. Teman-teman S2 PBT angkatan 2009 (Nur arifin, Deni Dwiguna, Asep Rodiansah, Yogo Nugroho, Purbo Kurniawan, Consti, Jose Maria, Juwartina Ida Royani, Rahmah, Karlina Sahruddin, Ernila, Vina Novita, Fitri dan Winda) atas kebersamaan dan kekompakan selama ini.

8. Keluarga besar Puslit Bioteknologi-LIPI: Dr. Ir. Witjaksono M.Sc selaku kepala Puslit Bioteknologi-LIPI Cibinong, Dr. Kepala Bidang Biologi Sel dan Jaringan beserta staf dan rekan-rekan di kelompok penelitian Biak Sel dan Jaringan tanaman ( Deritha E Rantau, SP,


(16)

xvi

Dyah Retno Wulandari, MSi, Andri Fadilah Martin, MSi, Betalini MSi, Rudiyanto, SP, Evan Maulana, A.Md, Lutvinda Ismanjani)

9. Teman-teman seperjuangan dan semua pihak atas bantuan dan motivasinya selama pelaksanakan penelitian dan penyusunan tulisan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2012


(17)

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1975 sebagai anak kedua dari pasangan Hasan Bisri dan Alm. Djuhariah. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SDN 03 Jakarta Timur tahun 1988, SMPN 222 Jakarta Timur tahun 1991 dan SMAN 67 Jakarta Timur tahun 1994. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Teknologi Indonesia, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Program Studi Bioteknologi. Semenjak tahun 2007 diterima bekerja di Pusat Penelitian Bioteknologi - LIPI Cibinong hingga sekarang. Tahun akademik 2009/2010 penulis tercatat sebagai mahasiswa pada Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman.


(18)

(19)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. v

DAFTAR GAMBAR ……… vii

DAFTAR LAMPIRAN ……… ix

PENDAHULUAN ……… 1

A.Latar Belakang ………... 1

B. Tujuan Penelitian ……….. 4

C.Hipotesis ……… 4

D.Manfaat Penelitian ……… 5

E. Ruang Lingkup Penelitian ………. 5

TINJAUAN PUSTAKA ……….. 9

A.Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) ……….. 9

B. Kultur Jaringan ……….. 12

C.Zat Pengatur Tumbuh ……… 14

D.Embriogenesis Somatik ………. 16

BAHAN DAN METODE ………. 21

A.Tempat dan Waktu ……….………… 21

B. Bahan dan Alat ………. 21

C.Metode Percobaan ………. 21

1. Induksi Embrio Somatik ………. 21

a). Induksi embrio somatik dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP-3P ……… 21

Sterilisasi dan inisiasi kecambah ………. 21


(20)

ii

b). Induksi embrio somatik dari aksis embrio muda dan embrio

muda J. curcas aksesi Dompu ……….……… 23

Sterilisasi ……….. 23

Induksi embrio somatik ………... 23

c). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dengan picloram dan 2.4-D ………. 25

d). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dengan picloram ……….…….. 26

2. Proliferasi dan Pendewasaan Kalus Embriogenik .………... 28

a). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media padat ………. 28

b). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media cair ……… 28

D.Analisis Statistik ………... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 31

1. Induksi Embrio Somatik ………. 31

a). Induksi embrio somatik dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP-3P ……… 31

b). Induksi embrio somatik dari aksis embrio muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu ……….. 37

c). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu dengan picloram dan 2.4-D …….…. 43

d). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu dengan picloram ………... 47

2. Proliferasi dan Pendewasaan Kalus Embriogenik ……… 52

a). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media padat ………. 52

b). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media cair………... 55


(21)

iii

PEMBAHASAN UMUM ………. 59

SIMPULAN DAN SARAN ………. 69

Simpulan ……… 69

Saran ……….. 69

DAFTAR PUSTAKA ……….. 71


(22)

(23)

v

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Penelitian J. curcas dengan teknik kultur jaringan dengan berbagai metode regenerasi dan jenis eksplan ………..…….

14

2. Pengaruh picloram terhadap persentase pertumbuhan kalus dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP3-P …………...………

32

3. Pengaruh picloram terhadap skor pertumbuhan kalus dari berbagai

eksplan J. curcas komposit IP3-P .………..

34

4. Pengaruh picloram terhadap morfologi kalus yang terbentuk dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP3-P………

36

5. Pengaruh auksin terhadap presentase pertumbuhan kalus dari eksplan aksis muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu …...…

39

6. Pengaruh auksin terhadap skor pertumbuhan kalus dari eksplan aksis muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu ………

41

7. Pengaruh picloram terhadap morfologi kalus yang terbentuk dari eksplan aksis embrio muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu ………

42

8. Pengaruh ZPT terhadap persentase pertumbuhan kalus dari eksplan aksis buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu ………

43

9. Pengaruh ZPT terhadap skor pertumbuhan kalus dari eksplan aksis

buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu ………. 44

10. Pengaruh ZPT terhadap morfologi kalus dan jumlah embrio somatik yang terbentuk dari eksplan aksis embrio buah masak hijau J. curcas

aksesi Dompu ……….. 45

11. Pengaruh picloram terhadap skor pertumbuhan kalus, persentase eksplan membentuk embrio somatik dan waktu pembentukan embrio

somatik pada 8 MST ………... 50

12. Pengaruh picloram terhadap tipe embriogenesis dan tahap embrio somatik yang terbentuk dari eksplan aksis buah masak hijau J. curcas

aksesi Dompu pada 8 MTS ………. 51

13. Pengaruh media MS tanpa zat pengatur tumbuh terhadap pembentukan embrio somatik pada 2 minggu setelah subkultur ………...

55


(24)

(25)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir kegiatan penelitian ………... 7

2. Keragaan tanaman dan buah jarak pagar (Jatropha curcas L.) komposit

IP3-P .……….. 9

3. Eksplan J.curcas komposit IP3-P a) eksplan daun, b) eksplan hipokotil, c) eksplan aksis embrio dan d) eksplan kotiledon ………

22

4. Eksplan a) aksis embrio muda dan b) embrio muda ………

23

5. Skor perkembangan kalus dari eksplan daun……….. 24

6. Sumber eksplan a) buah jarak masak hijau dan b) aksis buah masak

hijau (tanda panah) ……….………. 25

7. Pertumbuhanan kalus dari eksplan daun J. curcas komposit IP3-P …. 35

8 Kalus remah J. curcas komposit IP3-P yang terbentuk pada media MS yang mengandung 1.5 mgL-1 picloram pada 6 MST. ….……… 36

9. Embrio somatik J. curcas aksesi Dompu yang terbentuk pada 8 MST

dari eksplan aksis embrio buah masak ……….…… 46

10. Pembentukan embrio somatik J. curcas aksesi Dompu secara langsung dan tidak langsung ………..……….

48

11. Tahapan perkembangan embrio somatik J. curcas aksesi Dompu … 54

12. Proliferasi dan pendewasaan embrio somatik J. curcas aksesi Dompu

pada media cair 4 MST…..………... 56

13. Embrio somatik J. curcas aksesi Dompu pada berbagai tahap pertumbuhan yang berbeda pada media MS cair + 2.5 mgL-1 picloram . 57

14. Irisan membujur dari berbagai fase perkembagan embrio somatik yang berasal dari eksplan aksis embrio buah masak aksesi Dompu pada

media pendewasaan MS tanpa zat pengatur tumbuh ………….…….. 58

15. Skema diagram alir sistem embriogenesis J. curcas yang dihasilkan


(26)

(27)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Komposisi Media Murashige and Skoog dan Media Gamborg ……….. 77


(28)

(29)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan energi dunia saat ini sebagian besar dipenuhi dari bahan bakar fosil yang tidak terbarukan yaitu minyak bumi dan batubara. Kebutuhan energi ini akan terus meningkat hingga tahun-tahun mendatang seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi dunia. Menurut laporan

International Atomic Energy Agency (IAEA), bahwa pada tahun 2025 kebutuhan energi akan meningkat hingga 50% dari total kebutuhan energi pada tahun 2007. Kebutuhan tersebut diperkirakan akan terus meningkat, sedangkan cadangan energi ini semakin menipis, sehingga habisnya energi tinggal menunggu waktu (Lemhanas 2007).

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak, pemerintah berperan aktif menanggulangi masalah tersebut. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan biofuel dengan membentuk tim nasional pengembangan bahan bakar nabati (BBN) sebagai upaya untuk mendukung pengembangan bahan bakar nabati dengan menerbitkan blue print dan road map untuk mewujudkan pengembangan BBN tersebut. Selain itu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbarui sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak. Ditambah dengan penerbitan Instruksi Presiden No 1 tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels), sebagai energi alternatif. Sumber energi alternatif itu diantaranya jarak pagar dan kelapa sawit untuk biodisel, serta sagu, sorgum, jagung, ubi kayu dan ubi jalar untuk bioetanol.

Jarak pagar (Jatropha curcas L.), merupakan tanaman asli daerah tropis Amerika yang termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae (Heller 1996). Di Indonesia jarak pagar dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah. Tanaman ini dilaporkan dapat menghasilkan biji dengan kandungan minyak berkualitas tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai biodisel (Heller 1996). Biodisel Jatropha


(30)

2

meningkatkan kualitas pembakaran, bersih, ramah lingkungan dan biaya produksi yang rendah.

Meskipun pengembangan tanaman jarak pagar hingga saat ini kurang maksimal sebagai sumber energi alternatif, tidak berarti upaya untuk mengeksplorasi, mempelajari dan mengembangkan tanaman ini tidak perlu dilakukan. Mengingat manfaatnya yang cukup besar, maka berbagai kegiatan penelitian telah dilakukan. Hal yang menjadi perhatian saat ini adalah potensi produksi tanaman. Untuk dapat dikembangkan dan memberikan nilai ekonomi tinggi, diperlukan jarak pagar yang memiliki potensi produksi tinggi.

Sejumlah upaya pemuliaan tanaman jarak pagar telah mulai dilakukan sejak tahun 2006 melalui penelitian ex vitro maupun in vitro, baik oleh instansi pemerintah maupun swasta. Permasalahan penanaman J. curcas di Indonesia adalah kurangnya klon-klon yang bermutu tinggi. Adanya variasi yang sangat besar pada benih, menyebabkan kapasitas dan konsentrasi minyak berbeda. Ketidakseragaman matangnya buah menambah biaya produksi dan tidak tahannya terhadap penyakit serta serangga hama yang dapat mempengaruhi produktivitas. Permasalahan lainnya adalah viabilitas benih rendah, perkecambahan rendah, perakaran yang sedikit dan stek vegetatif yang lambat (Heller 1996 dan Openshaw 2000). Tanaman yang diperbanyak dengan stek mempunyai umur lebih pendek, kurang toleran terhadap kekeringan dan kurang resisten terhadap penyakit (Heller 1996).

Mengingat manfaatnya yang besar, sejumlah bahan tanaman berkualitas diperlukan untuk penggunaannya di masa depan. Dengan demikian, peningkatan produksi melalui penerapan bioteknologi tanaman dapat dirasakan. Mikropropagasi J. curcas telah banyak diteliti dengan menggunakan berbagai jaringan yang berbeda dari tanaman yang tumbuh di lapang, tetapi pada semua kasus, jumlah pertumbuhannya rendah sehingga aplikasinya kurang, maka diperlukan teknologi baru dalam teknik kultur jaringan yang berguna untuk mendapatkan bibit yang lebih banyak dan seragam, yaitu digunakan regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik (Jha et al. 2007).

Propagasi tanaman melalui embriogenesis somatik tidak hanya membantu untuk mendapatkan sejumlah besar tanaman sepanjang tahun, tetapi juga dapat


(31)

3

digunakan sebagai strategi yang baik untuk perbaikan genetik tanaman melalui rekayasa genetika, penyimpanan jangka pendek maupun jangka panjang (Bhansali, 1990). Beberapa penelitian tanaman J. curcas dengan metode embriogenesis (Sardana et al. 2000; Jha et al. 2007; Kalimuthu et al. 2007) telah dilakukan dengan menggunakan eksplan daun dan berbagai zat pengatur tumbuh, namun kemampuan membentuk sel embriogenik dan planlet masih rendah.

Keberhasilan embriogenesis melalui kultur in vitro dipengaruhi beberapa faktor diantaranya: genotipe eksplan, jenis eksplan yang digunakan, kondisi fisiologis tanaman donor (Jimenes & Viktor 2001), jenis dan kondisi fisik medium, lingkungan dan zat pengatur tumbuh (Zhang et al. 2000). Untuk induksi kalus embriogenik, kultur umumnya ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi.

Zat pengatur tumbuh merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan embriogenesis somatik, diantaranya auksin dan sitokinin (Chen & Chang 2001). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik (Bhojwani & Razdan, 1996) dan picloram dapat digunakan untuk induksi embriogenesis Pisum sativum L dan

Soybean dari embrio dan tunas apikal (Kysely et al. 1987; Kysely dan Jacobsen, 1990). Oleh karena itu zat pengatur tumbuh auksin (2.4-D dan picloram) dan sitokinin (kinetin) diperkirakan dapat juga dipergunakan untuk embriogenesis jarak pagar dari berbagai jaringan tertentu.

Penggunaan eksplan yang bersifat merismatik umumnya memberikan keberhasilan yang lebih tinggi dalam pembentukan embrio somatik. Eksplan yang digunakan dapat berupa daun, hipokotil, kotiledon, embrio zigotik muda, aksis embrio muda dan dewasa. Keberhasilan induksi embrio somatik dari berbagai jenis eksplan telah dilaporkan pada banyak spesies tanaman, seperti jarak pagar dengan menggunakan eksplan daun (Jha et al. 2007), aksis embrio dan kotiledon (Nindita 2010), kentang dengan eksplan daun (Oggema et al. 2007), kacang tanah dengan eksplan aksis embrio dan daun (Pacheco et al. 2007), sorgum dengan eksplan embrio zigotik muda (Grootboom et al. 2008), jeruk dengan eksplan daun, batang, kotiledon, dan embrio zigotik dewasa (Kiong et al. 2008), kopi dengan eksplan daun (Herrera et al. 2008), dan lain-lain.


(32)

4

Embrigenesis somatik merupakan pilihan perbanyakan vegetatif secara in vitro. Selama ini penelitian embriogenesis J. curcas sudah dilakukan dengan berbagai macam metode regenerasi, tetapi keberhasilannya relatif rendah dan masih mengalami kesulitan dalam meregenerasikan menjadi planlet. Nidita (2010) melaporkan bahwa keberhasilan embriogenesis somatik J. curcas

komposit IP3-P dari eksplan aksis embrio dan kotiledon pada media MS yang mengandung 1 mgL-1 picloram masih relatif rendah dan mengalami kesulitan dalam proliferasi dan pendewasaannya menjadi planlet. Keberhasilan embriogenesis somatik ditentukan oleh pemilihan jaringan yang tepat sebagai sumber eksplan, selain juga ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya genotipe dan jenis eksplan, serta komposisi zat pengatur tumbuh dalam media. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tentang metode regenerasi embriogenesis somatik yang tepat, efisien dan praktis, seperti penggunaan berbagai genotipe dan jenis eksplan J. curcas, dan zat pengatur tumbuh.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Mempelajari pengaruh taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh picloram dan 2,4-D pada media MS dengan jenis eksplan hipokotil, daun, kotiledon, aksis embrio tua, embrio muda, aksis embrio muda, dan aksis embrio buah masak terhadap pembentukan kalus embriogenik dan embrio somatik secara in vitro. 2. Mempelajari pengaruh media MS padat dan cair dengan penambahan zat

pengatur tumbuh picloram terhadap proliferasi dan pendewasaan embrio somatik.

C. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Pembentukan kalus embriogenik dan embrio somatik J. curcas dapat diinduksi dengan zat pengatur tumbuh picloram dan 2.4-D pada konsentrasi tertentu pada media MS.


(33)

5

2. Pembentukan kalus embriogenik dan embrio somatik dapat diinduksi dari jaringan hipokotil, daun, kotiledon, aksis embrio masak, embrio muda, aksis embrio muda dan aksis embrio buah masak hijau J. curcas.

3. Pendewasaan dan perkecambahan embrio somatik dapat diinduksi dengan media MS padat dan cair dengan zat pengatur tumbuh picloram pada konsentrasi tertentu.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Diperoleh informasi jenis eksplan yang terbaik dalam induksi embrio somatik J. curcas komposit IP3-P dan aksesi Dompu.

2. Diperoleh informasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang terbaik dalam induksi embrio somatik J. curcas komposit IP3-P dan aksesi Dompu. 3. Diperoleh informasi media terbaik dalam induksi embrio somatik J. curcas

komposit IP3-P dan aksesi Dompu.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan 2 kelompok percobaan, dengan total 6 percobaan yaitu:

1. Induksi embrio somatik

a). Induksi embrio somatik dilakukan dari J. curcas komposit IP3-P pada media MS dengan penambahan picloram (0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1. Eksplan yang digunakan adalah hipokotil dan daun yang berasal dari kecambah berumur 1 minggu setelah tanam pada media MS; eksplan kotiledon dan aksis embrio tua.

b). Induksi embrio somatik dari eksplan embrio muda dengan ukuran 0.7-1.0 cm dan aksis embrio muda J. curcas aksesi Dompu, dengan penambahan picloram (0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1) dan 2,4-D (0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1).

c). Induksi embrio somatik dari eksplan aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu, dengan penambahan picloram (0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1) dan 2,4-D (0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1).


(34)

6

d). Induksi embrio somatik dari eksplan aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu. Percobaan ini dirancang untuk optimasi konsentrasi auksin berdasarkan hasil Percobaan 1c.

2. Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik. Kalus embriogenik dan embrio somatik disubkultur ke media MS padat dengan 2.5 mgL-1 picloram, kemudian pada 2 MST disubkultur ke media MS cair dengan penambahan 0 atau 2.5 mgL-1 picloram.


(35)

7

Gambar 1. Diagram alir kegiatan penelitian

Planlet

A. J. curcas komposit IP3-P

- Eksplan : Daun, hipokotil, kotiledon dan aksis embrio tua. - ZPT: picloram 0; 0.5; 1.0; 1,5; 2.0 & 2.5 mgL-1.

Embrio Somatik

II. Proliferasi dan Pendewasaan Embrio Somatik

- Eksplan: embrio somatik

- ZPT: picloram 0 dan 2.5 mgL-1

Tanaman J. curcas

I. Induksi embrio somatik

C. J. curcas aksesi Dompu

- Eksplan : Aksis embrio buah masak hijau

- ZPT: picloram ; 2.4-D @ 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 & 2.5 mgL-1)

D. J. curcas aksesi Dompu

- Eksplan : Aksis embrio buah masak hijau - ZPT: picloram 2.5; 3.0, 4.0 & 5.0 mgL-1

B. J. curcas aksesi Dompu

- Eksplan : Embrio muda dan aksis embrio muda.

- ZPT: picloram ; 2.4-D @ 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 & 2.5 mgL-1

MS padat

ZPT: picloram 0 dan 2.5 mgL-1 MS cair


(36)

(37)

9

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Jarak pagar (Jatropha curcas L.), merupakan tumbuhan perdu dan banyak tumbuh di daerah tropis serta banyak ditanam sebagai tanaman pagar pekarangan. Tanaman ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, karena penyebarannya yang luas. Hal ini terbukti dari aneka ragam nama daerahnya. Menurut Kusuma (2009), tanaman jarak pagar memiliki beberapa nama daerah antara lain jarak budeg, jarak gundul, arak cina (Jawa); baklawah, nawaih (NAD); dulang (Batak); jarak kosta (Sunda); jarak kare (Timor); peleng kaliki (Bugis); kalekhe paghar (Madura); jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa Tenggara); dan jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi). Keragaan salah satu komposit jarak pagar yang tumbuh di Indonesia IP3-P tertera pada Gambar 2.

Gambar 2. Keragaan tanaman dan buah jarak pagar (Jatropha curcas L.) komposit IP3-P.


(38)

10

Jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu. Klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Hambali et al. 2006).

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Klasis : Dicotyledoneae Ordo : Euphorbiales Familia : Euphorbiaceae Genus : Jatropha

Spesies : Jatropha curcas L.

Jarak pagar tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 500 mdpl. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman jarak pagar adalah 625 mm/tahun, namun tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan antara 300-2.380 mm/tahun. Kisaran suhu yang sesuai untuk tanaman jarak adalah 20-26°C. Pada daerah dengan suhu terlalu tinggi (di atas 35°C) atau terlalu rendah (di bawah 15°C) pertumbuhannya terhambat, kadar minyak dalam biji berkurang dan berubah komposisinya (Hambali et al. 2006).

Tanaman jarak pagar termasuk perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris dan bila terluka mengeluarkan getah. Daunnya biasanya berlekuk 3-5, terkadang ada yang sampai 7. Lekukan dangkal atau agak dalam. Panjang helaiannya 10-19 cm, urat daun menjari, warna helaian daun hijau muda sampai hijau masak polos. Kedudukan daun berselang-seling, sekilas seperti berhadapan melingkari batang (spiral). Bunganya muncul di bagian ujung batang, pada ketiak daun. Panjang tangkai bunga 3-12 cm. Bunga jantan dan betina terpisah, terdapat di ujung-ujung tangkai bunga. Bunga betina sedikit lebih besar dibandingkan dengan jantan. Bunganya berwarna kuning kehijauan (Prana 2006).

Tumbuhan ini dikenal tahan kekeringan karena mempunyai sistem perakaran yang kuat serta dapat hidup pada berbagai jenis dan tekstur tanah. Oleh sebab itu, tanaman ini sangat cocok ditanam di lahan kering dan berfungsi sebagai tanaman penahan erosi. Di kepulauan Comoro, Papua New Guinea dan Uganda tanaman jarak digunakan sebagai tanaman pendukung pada tanaman vanila,


(39)

11

sedangkan di Kuba digunakan sebagai tanaman pelindung untuk tanaman kopi (Khatri dan Gandhi 2011). Saat ini tanaman jarak banyak dikembangkan di lahan-lahan kritis dan tidur yang belum dimanfaatkan. Hal lain yang membuat tanaman ini berpotensi untuk dikembangkan karena sebagai penghasil minyak nabati yang bukan merupakan bahan baku untuk kebutuhan pangan, sehingga tidak terjadi persaingan kebutuhan bahan baku pangan dengan bahan baku energi (Hambali et al. 2006). Tanaman ini juga dapat dimanfaatkan sebagai minyak pelumas, bahan baku pembuatan sabun, bahan baku dalam industri insektisida, fungisida dan molluskasida, untuk obat anti tumor, dan untuk ekorestorasi di semua jenis tanah marginal (Heller 1996; Prabakaran dan Sujatha, 1999; Lin et al. 2003).

Saat ini biji jarak mendapat perhatian sebagai sumber bahan bakar hayati untuk mesin diesel karena kandungan minyaknya. Biji jarak pagar mengandung 20-40% minyak nabati, namun bagian biji (tanpa cangkang) dapat mengandung 45-60% minyak kasar (Heller 1996). Komposisi asam lemak dari 11 kultivar jarak pagar, menunjukkan bahwa asam lemak yang dominan adalah asam oleat, asam linoleat, asam stearat, dan asam palmitat (Heller 1996). Komposisi asam oleat dan asam linoleat bervariasi, sementara dua asam lemak lainnya, merupakan asam lemak jenuh relatif tetap.

Berbagai teknologi telah dihasilkan oleh para peneliti di Indonesia, mulai dari pengumpulan aksesi plasma nutfah (telah terkumpul 591 aksesi), pelepasan komposit (IP1-P, IP1-M, IP2-P, IP2-M, IP2-A, IP3-P, IP3-M dan IP3-A), budidaya tanaman (teknologi pembibitan, pemupukan pengendalian hama, penyakit dan gulma, pasca panen dan pengembangan alat pengolah biji jarak (Syakir 2010).

Aksesi dan komposit J. curcas yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah aksesi Dompu dan komposit IP3-P. Aksesi Dompu merupakan salah satu aksesi yang toleran kekeringan dan memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi yaitu 30-37% dengan bobot biji 2.0-2.23 gr, sedangkan komposit IP3-P merupakan hasil seleksi rekuren dari populasi IP2-P dan IP2-A yang memiliki potensi produksi 2.3-2.6 ton/ha/tahun untuk tahun pertama dan dapat mencapai 8-9 ton/ha pada tahan ke empat. Hasil ini jauh melampaui potensi produksi IP2 yang hanya sekitar 6.0-6.5 ton/ha pada tahun yang sama.


(40)

12

Kandungan minyak dari produksi IP3-P adalah sebesar 36% dan tanaman ini sudah mulai berproduksi 14 minggu setelah pemindahan ke lapangan (Hasnam 2007).

B. Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode perbanyakan vegetatif tanaman yang dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, sel, sekelompok sel, jaringan atau organ, kemudian menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap (Gunawan 1992). Cara ini sering disebut in vitro, karena bagian tanaman tersebut ditumbuhkan dalam tabung inkubasi atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya di dalam laboratorium pada kondisi aseptik dan disebut juga perbanyakan mikro sebab tanaman yang dihasilkan berupa tanaman kecil (Kyte & Kleyn 1990).

Prinsip yang mendasari teknik kultur jaringan disebut dengan “totipotensi sel” yaitu bahwa setiap sel mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang membentuk jaringan, organ dan akhirnya menjadi individu baru yang lengkap apabila ditumbuhkan dalam media dan lingkungan yang sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik atau sarana fisiologis tertentu sehingga dapat membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai (Doyle & Griffiths 1999). Walaupun secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, yang mengekspresikan keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik.

Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu organogenesis dan embriogenesis somatik. Organogenesis adalah suatu proses membentuk dan menumbuhkan tunas dari jaringan meristematik (Gunawan 1992; Pardal 2002). Menurut Watimena (2006), regenerasi eksplan menjadi organ dan plantlet dapat diperoleh melalui jalur organogenesis langsung dan organogenesis tidak langsung. Organogenesis langsung terjadi tanpa melalui pembentukan kalus, sedangkan organogenesis tidak langsung diawali dengan pembentukan kalus, lalu muncul organ pada kalus. Embriogenesis adalah proses pembentukan embrio tanpa melalui fusi gamet,


(41)

13

tetapi berkembang dari sel somatik (Williams & Maheswara 1986). Jalur embriogenesis somatik lebih mendapat perhatian karena bibit dapat berasal dari satu sel somatik sehingga bibit yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan melalui jalur organogenesis. Di samping itu, sifat perakarannya sama dengan bibit asal biji.

Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu singkat, bebas dari patogen dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Adapun tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman melalui metode kultur jaringan adalah pembuatan media, pemilihan atau isolasi bahan tanam (eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi (George & Sherrington 1994; Pierik 1997). Melalui metode ini dapat dibuktikan bahwa bagian tanaman yang diisolasi dan dipelihara secara aseptik dalam media buatan yang cocok mampu membelah dan berdiferensiasi sehingga membentuk individu baru yang lengkap seperti tanaman asalnya, baik melalui tahap multiplikasi, organogenesis ataupun emriogenesis (Pierik 1997).

Keberhasilan metode kultur jaringan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk pembentukan kalus, tunas dan akar, penggunaan media yang cocok sebagai sumber nutrisi, dan kondisi lingkungan tempat kultur di inkubasi. Meskipun pada perinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan, sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian meristematik, misalnya: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya. Jaringan meristem terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil, sehingga jaringan ini selalu membelah dan mudah tumbuh membentuk jaringan atau organ baru.


(42)

14

Pada saat ini, teknologi kultur jaringan tanaman telah dimanfaatkan untuk penyediaan bibit tanaman penghasil biodisel, antara lain jarak pagar, kelapa sawit dan Brassica napus (Zou et al. 1995). Teknik regenerasi in vitro jarak pagar digunakan dengan memanfaatkan fleksibilitas kemampuan sel/totipotensi dan tergantung dari kemampuan dasar sel alami maupun yang diperoleh melalui proses induksi. Sistem perbanyakan tanaman tersebut dapat dikelompokkan menjadi regenerasi langsung dan tidak langsung. Penelitian kultur jaringan jarak pagar telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai metode regenerasi dan jenis eksplan (Mukherjee et al. 2011) (Tabel 1).

Tabel 1. Penelitian J. curcas dengan teknik kultur jaringan dengan berbagai metode regenerasi dan jenis eksplan.

No. Jenis eksplan Metode regenerasi Pustaka

1. Buku Perbanyakan tunas Kalimuthu et al. (2007)

2. Daun Regenerasi embrio somatik Sardana et al. (2000)

3. Daun Embriogenesis somatik Jha et al. (2007)

4. Daun Tunas advebtif Deore dan Johnson

(2008) 5. Daun dan

hipokotil Kalus dan kultur suspensi

Soomro dan Memon. (2007)

6. Embrio muda Organogenesis tidak langsung Varshney dan Johnson (2010)

7. Epikotil

Organogenesis langsung dan diferensiasi tunas melalui kalus

Qin et al. (2004)

8. Kotiledon Induksi embrio somatik Kalimuthu et al. (2007) 9. Mata tunas Organogenesis langsung Datta et al. (2007) 10. Mata tunas

aksilar Regenerasi tunas langsung

Shrivastava dan Banerjee (2008)

11.

Mata tunas aksilar dan daun

Perbanyakan tunas adventif Sujatha et al. (2005)

12. Pucuk tunas Organogenesis dan perakaran

tunas Rajore dan Batra (2005)

13. Tunas aksilar Perbanyakan tunas Thepsamran et al. (2007) 14. Tunas apikal Induksi tunas melalui

pembentukan kalus Purkayastha et al. (2010)

C. Zat Pengatur Tumbuh

Perkembangan dan pertumbuhan tanaman dalam teknik kultur jaringan tanaman tidak lepas dari peran hormon yang dihasilkan secara endogen maupun


(43)

15

zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media kultur. Menurut Pierik (1997), senyawa-senyawa lain yang memiliki karakteristik sama dengan hormon, tetapi diproduksi secara eksogen dikenal sebagai zat pengatur tumbuh, sedangkan menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat mengubah proses fisiologi tumbuhan.

Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman dan dapat menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis, dan morfologis (Gaba, 2005). Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan tanaman tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman (Satyavathi et al. 2004).

Zat pengatur tumbuh ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu auksin, sitokinin, giberelin dan inhibitor. Zat pengatur tumbuh yang tergolong auksin adalah Indol Asam Asetat (IAA), Indol Asam Butirat (IBA), Naftalen Asam Asetat (NAA) dan 2.4-Diklorofenoksiasetat (2.4-D). Zat pengatur tumbuh yang termasuk golongan sitokinin adalah Kinetin, Zeatin dan Bensil Aminopurin (BAP), sedangkan golongan giberelin adalah GA1, GA2, GA3, GA4, dan golongan inhibitor adalah fenolik dan asam absisik.

Zat pengatur tumbuh golongan auksin menurut Pierik (1997), umumnya berperan merangsang pemanjangan sel, terutama di daerah meristem, pembelahan sel dan pembentukan akar adventif. Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun kehadirannya dibutuhkan dalam meningkatkan embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin yang rendah meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan konsentrasi auksin yang tinggi merangsang pembentukan kalus, mencegah morfogenesis, mempercepat dan memperbanyak jumlah embrio somatik yang terbentuk.

Peran auksin pada embriogenesis somatik antara lain untuk inisiasi embriogenesis somatik, induksi kalus embriogenik, proliferasi kalus embriogenik dan induksi embrio somatik (Utami et al. 2007). Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus


(44)

16

embriogenik. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil adenin (BA) atau kinetin secara bersamaan (Bhojwani dan Razdan 1996).

Golongan auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam embriogenesis somatik. Raemakers et al. (1995) melaporkan keberhasilan embriogenesis somatik dari 65 spesies tanaman dikotil, pada media tanpa zat pengatur tumbuh mencapai 17 spesies, pada media yang mengandung auksin mencapai 29 spesies dan 25 spesies pada media yang mengandung sitokinin. Diantara zat pengatur tumbuh auksin yang digunakan adalah 2.4-D (49%), NAA (27%), IAA (6%), picloram (5%) dan Dicamba (5%), sedangkan sitokinin yang digunakan adalah BAP (57%), kinetin (37%), zeatin (3%) dan thidiazuron (3%) (Raemaker et al. 1995).

Selain golongan auksin, zat pengatur tumbuh yang sering digunakan adalah golongan sitokinin. Sitokinin berperan dalam meningkatkan pembelahan sel serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Di dalam kultur jaringan, sitokinin berperan dalam proliferasi dan morfogenesis pucuk. Golongan sitokinin yang sering dipergunakan dalam kultur jaringan adalah BAP (6-Benzylaminopurine). Menurut George dan Sherrington (1984), BAP merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. Menurut Noggle dan Fritz (1983), BAP memiliki struktur yang mirip dengan kinetin dan juga aktif dalam pertumbuhan dan proliferasi kalus, sehingga BAP merupakan sitokinin yang paling aktif.

D. Embriogenesis Somatik

Embrio tumbuhan terbentuk melalui proses embriogenesis, baik sebagai kelanjutan dari proses pembuahan (embrio zigotik) maupun melalui proses induksi dari sel-sel somatik (embrio somatik). Pada saat perkembangan embrio, setidaknya ada beberapa tahap yang dapat diamati secara visual, yaitu fase globular, triangular, jantung, dan torpedo. Tahap perkembangan selanjutnya setelah terbentuk kotiledon adalah tahap maturasi dan germinasi (George et al. 2008).


(45)

17

Embriogenesis somatik berlangsung melalui tahap yang serupa dengan embriogenesis zigotik, dan dapat diperoleh secara langsung dari eksplan jaringan, atau secara tidak langsung melalui kultur sel somatik atau kultur kalus. Embrio somatik adalah struktur yang harus melalui tahap diferensiasi, sehingga proses diferensiasi dan metabolisme yang menyertainya dapat ditingkatkan.

Mikropropagasi dalam kultur jaringan dapat dilakukan melalui jalur organogenesis dan embriogenesis somatik. Pada organogenesis, proses pembentukan pucuk dan atau akar adventif berkembang dari dalam massa kalus yang berlangsung setelah periode pertumbuhan kalus (Hartman et al. 1990), sedangkan embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Williams & Maheswara 1986), sedangkan menurut Zulkarnain (2009), embriogenesis somatik adalah proses perkembangan embrio lengkap dari sel-sel vegetatif atau sel-sel somatik yang diperoleh dari berbagai sumber eksplan yang inisiasi dan diferensiasinya tidak melibatkan proses seksual.

Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai calon meristem akar dan meristem tunas. Mikropropagasi melalui embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu lebih singkat. Regenerasi tumbuhan melalui embriogenesis somatik lebih menguntungkan dari organogenesis, karena tumbuhan yang diregenerasikan dari embrio somatik dapat berkembang dari sel tunggal, sehingga mengurangi variasi somaklonal (Endress 1997). Embrio somatik memiliki kemampuan pertumbuhan dan perkembangan seperti embrio zigotik, sehingga sangat efisien untuk digunakan dalam studi perkembangan, manipulasi genetik dan benih sintetis (Kumari et al. 2000). Selain itu, embrio somatik juga diketahui mengakumulasi produk penyimpanan, seperti protein dan lipid yang dapat digunakan dalam pengembangan produksi metabolit tanaman secara in vitro (Preil dan Beck 1991).

Di samping keuntungan, terdapat beberapa kendala dalam penerapan embriogenesis, yaitu peluang terjadi mutasi lebih tinggi, metode lebih sulit, ada penurunan daya morfogenesis dari kalus embriogenik karena subkultur berulang


(46)

18

serta memerlukan penanganan yang lebih intensif karena kultur lebih rapuh. Namun demikian, variasi yang dihasilkan sering dianggap menguntungkan karena dapat digunakan sebagai sumber keragaman genetik (gene pool) (Purnamaningsih, 2002).

Embrio somatik biasanya dapat diinisiasi dari jaringan juvenil atau jaringan meristematik. Eksplan yang digunakan dapat berupa daun muda, embrio muda, ujung tunas, kotiledon, dan hipokotil. Tetapi respon eksplan sangat tergantung dari genotip tanaman. Jadi untuk spesies tanaman yang berbeda, hanya jaringan tertentu yang dapat digunakan untuk inisiasi embrio somatik (Gray, 2005).

Induksi embriogenesis somatik dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Embrio somatik dapat langsung terbentuk dari eksplan daun, batang, protoplas maupun dari mikrospora. Pada tahap ini, sel-sel pada eksplan tersebut telah mengalami determinasi untuk membentuk embrio dan hanya memerlukan kondisi yang sesuai untuk ekspresinya. Embriogenesis langsung secara in vitro

umumnya terjadi pada sel-sel eksplan yang masih muda (jaringan meristematik), sedangkan embriogenesis tak langsung terjadi pada sel-sel yang telah mengalami diferensiasi, pembelahan sel, dan transformasi menjadi sel embriogenik. Sel-sel embriogenik yang akan menjadi embrio adalah sel-sel yang berukuran kecil, dengan isi sitoplasma yang penuh atau tanpa vakuola. Pada pembentukan embrio somatik secara tidak langsung, pembentukan embrio terjadi melalui fase kalus terlebih dahulu atau melalui kultur suspensi. Proses embriogenesis somatik secara tidak langsung memerlukan media yang lebih kompleks, antara lain diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh untuk menginduksi dediferensiasi dan reinisiasi pembelahan sel dari sel-sel yang telah terdiferensiasi sebelum sel-sel dapat mengekspresikan kompetensi embriogeniknya (Jimenez 2001).

Tahapan dalam proses embriogenesis somatik adalah induksi kalus embriogenik, pendewasaan, perkecambahan, dan hardening (tahap aklimatisasi) (Purnamaningsih 2002). Pada tahap induksi kalus embriogenik, kultur umumnya ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi dibandingkan keperluan auksin pada pertumbuhan sel normal (Kiyosuke et al. 1983). Dari berbagai hasil penelitian


(47)

19

menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik. Zat pengatur tumbuh tersebut merupakan auksin sintetis yang cukup kuat dan tahan terhadap degradasi karena reaksi enzimatik dan fotooksidasi. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil adedin (BA) atau kinetin secara bersamaan (Bhojwani dan Razdan, 1989). Auksin yang tinggi diperlukan untuk tahap awal induksi kalus embriogenik, sedangkan untuk tahap proliferasi dibutuhkan auksin yang rendah atau tanpa auksin.

Tahap pendewasaan adalah tahap perkembangan dari struktur globular membentuk kotiledon dan primordia akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pendewasaan adalah tahap yang paling sulit. Pada tahap ini sering digunakan media tanpa auksin (Pierik 1987), media dengan konsentrasi auksin rendah (Purnamaningsih 2002), media dengan konsentrasi auksin dan sitokinin yang sangat rendah dapat menginduksi pembentukan embrio bipolar yang selanjutnya berkembang membentuk planlet (Ammirato 1984).

Tahap perkecambahan adalah fase di mana embrio somatik membentuk tunas dan akar. Pada media perkecambahan, konsentrasi zat pengatur tumbuh sitokinin yang digunakan sangat rendah atau tanpa zat pengatur tumbuh. Menurut Mariska et al. (2001), pada tahap perkecambahan sering ditambahkan GA3.

Tahap hardening, yaitu tahap aklimatisasi bibit embrio somatik dari kondisi in vitro ke lingkungan baru di rumah kaca. Aklimatisasi dilakukan setelah embrio berkecambah dan diperoleh plantlet yang siap untuk dipindahkan ke lapangan. Aklimatisasi plantlet hasil dilakukan dengan menurunkan kelembaban dan peningkatan intensitas cahaya.

Menurut Namasivayam (2007) pembentukan embrio somatik dapat dipengaruhi oleh genotipe, jaringan dan tahap perkembangan eksplan, dan kondisi kultur seperti keseimbangan zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen, kondisi osmotik dan perubahan pH. Penggunaan eksplan yang bersifat merismatik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang digunakan dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil. Sumber nitrogen dan gula yang terdapat dalam komposisi media berperan penting dalam induksi dan perkembangan embriogenesis somatik. Nitrogen merupakan faktor utama dalam


(48)

20

morfogenesis secara in vitro yang berfungsi untuk inisiasi dan perkembangan embrio, sedangkan gula berfungsi sebagai sumber karbon dan mempertahankan osmotik media. Menurut Chen dan Chang (2001) zat pengatur tumbuh yang paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik adalah auksin dan sitokinin.


(49)

21

BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Penelitian ini berlangsung dari bulan November 2010 sampai Januari 2012.

B. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih Jatropha curcas L. komposit IP3-P Pakuwon, Sukabumi dan aksesi Dompu dari SBRC IPB, Kebun Jarak pagar PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, Cibinong. Eksplan yang digunakan adalah hipokotil, daun, kotiledon, embrio muda, aksis embrio muda, aksis embrio tua dan aksis embrio dari buah masak. Media kultur adalah MS (Murashige dan Skoog) (Lampiran 1) dan zat pengatur tumbuh 2,4-D dan Picloram. Alat yang digunakan adalah peralatan kultur dan sterilisasi.

C. Metode Percobaan

Pada penelitian ini dilakukan 6 percobaan yang dibagi dalam 2 kelompok percobaan utama yaitu: 1. Induksi embrio somatik (4 percobaan) dan 2. Proliferasi dan pendewasaan embrio somatik (2 percobaan).

1 . Induksi Embrio Somatik

a). Induksi embrio somatik dari berbagai jenis eksplan J. curcas komposit IP3-P

Sterilisasi dan inisiasi kecambah

Tahapan ini bertujuan untuk menyediakan sumber eksplan in vitro dalam induksi kalus embriogenik. Proses sterilisasi meliputi: biji yang telah dikupas direndam dengan mankozeb 2.4% selama 30 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir. Sterilisasi selanjutnya dilakukan di Laminar Air flow Cabinet

dengan merendam biji yang sudah dikupas dalam alkohol 70% selama 1 menit sambil dikocok. Alkohol dibuang, lalu biji direndam dalam Na-hipoklorit 25% selama 15 menit, lalu dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali. Kemudian biji


(50)

22

direndam kembali dalam larutan Na-hipoklorit 20% selama 30 menit, kemudian dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali. Setelah proses sterilisasi dilakukan, biji diletakkan di cawan petri steril, kemudian dipotong menjadi dua bagian. Bagian yang tidak terdapat embrio dibuang, sedangkan bagian yang terdapat embrio ditanam pada media Murashige dan Skoog (MS) tanpa zat pengatur tumbuh (ZPT), dan dibiarkan tumbuh selama satu minggu tanpa subkultur.

Induksi kalus embriogenik

Eksplan hipokotil dan daun diambil dari kecambah berumur 1 minggu setelah tanam pada media MS, sedangkan aksis embrio tua dan kotiledon berasal dari biji yang telah dikupas dan disteril. Hipokotil dan daun dipotong-potong dengan ukuran 0.5 cm, aksis embrio tua (± 0.3 cm) dan kotiledon (± 0.5 cm) (Gambar 3), kemudian ditanam pada media MS padat dengan sukrosa 3% yang ditambahkan zat pengatur tumbuh picloram 0.0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 dan 2.4 D 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1. Kultur diinkubasi di tempat gelap, pada suhu 26±2°C, selama 8 minggu.

Gambar 3. Eksplan J. curcas komposit IP3-P a) eksplan daun, b) eksplan hipokotil, c) eksplan aksis embrio dan d) eksplan kotiledon

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi zat pengatur

b a

d c


(51)

23

tumbuh dengan 6 taraf yaitu: 0.0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 Picloram, sedangkan faktor kedua adalah jenis eksplan dengan 4 taraf yaitu: daun, hipokotil, aksis tua dan kotiledon. Setiap perlakuan diulang 10 kali, tiap botol berisi 2 eksplan sehingga totalnya yaitu 240 satuan percobaan.

b). Induksi embrio somatik dari aksis embrio muda dan embrio muda J.

curcas aksesi Dompu

Sterilisasi

Pada sterilisasi aksis embrio muda dan embrio muda (Gambar 4), buah berukuran 27-30 mm direndam dalam larutan Na-hipoklorit 25% selama 30 menit, kemudian larutan Na-hipoklorit dibuang dan buah dipotong kemudian embrio muda dipisahkan dari endosperm. Setelah terpisah embrio muda berukuran 11.5-15.0 mm dipindahkan ke media perlakuan.

Gambar 4. Eksplan a) aksis embrio muda dan b) embrio muda.

Induksi kalus embriogenik

Eksplan aksis embrio buah muda dan embrio muda ditanam pada media perlakuan setelah biji disterilisasi yaitu pada media MS padat dengan sukrosa 3% yang ditambahkan zat pengatur tumbuh picloram 0.0; 0.5; 1.0; 1,5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 dan 2.4 D 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1. Kultur diinkubasi ditempat gelap, pada suhu 26±2°C, selama 8 minggu.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi zat pengatur tumbuh dengan 11 taraf yaitu: 0.0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 picloram dan 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 2.4-D, sedangkan faktor kedua adalah jenis eksplan dengan 2 taraf yaitu: aksis embrio muda dan embrio muda. Setiap

2 mm 2 mm


(52)

24

perlakuan diulang 8 kali, tiap botol berisi 2 eksplan, sehingga totalnya yaitu 176 satuan percobaan.

Pengamatan percobaan 1a dan 1b dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kalus yang terbentuk mulai dari 1-8 minggu. Pengamatan meliputi :

1. Jumlah eksplan membentuk kalus

Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 minggu setelah tanam (MST).

Persentase eksplan membentuk kalus =

Σ eksplan berkalus X 100%

Σ eksplan yang digunakan 2. Pertumbuhan kalus

Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan dilakukan dengan sistem skoring (Gambar 5).

Skoring pertumbuhan kalus:

Skor 1: eksplan tidak membentuk kalus Skor 2 : 1-25% kalus menutupi eksplan Skor 3 : 26-50% kalus menutupi eksplan Skor 4 : 51-75% kalus menutupi eksplan Skro 5 : 76-100% kalus menutupi eksplan

Gambar 5. Skor perkembangan kalus dari eksplan daun a) skor 1, b) skor 2, c) skor 3, d) skor 4, dan e) skor 5.

a b


(53)

25

3. Morfologi kalus (struktur dan warna).

Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat struktur dan warna kalus.

4. Jumlah eksplan membentuk embrio somatik Persentase eksplan membentuk embrio somatik =

Σ eksplan membentuk embrio somatik X 100% Σ eksplan yang berkalus

c). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dengan picloram dan 2.4-D

Eksplan aksis embrio buah masak ditanam pada media perlakuan setelah biji disterilisasi (Gambar 6), pada media MS padat dengan sukrosa 3% yang ditambahkan zat pengatur tumbuh picloram 0.0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL -1

dan 2.4 D 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1. Kultur diinkubasi di tempat gelap, pada suhu 26±2°C, selama 8 minggu.

Gambar 6. Sumber eksplan a) buah jarak masak hijau dan b) aksis embrio buah masak hijau (tanda panah).

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 faktor yaitu konsentrasi zat pengatur tumbuh dengan 11 taraf yaitu: 0.0; 0.5; 1; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 Picloram dan 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 2.4-D. Setiap perlakuan diulang 10 kali, tiap botol berisi 2 eksplan, sehingga totalnya yaitu 110 satuan percobaan.

Pengamatan dilakukan untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan kalus yang terbentuk 1-8 minggu.

Pengamatan meliputi :

1. Jumlah eksplan membentuk kalus

Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST.

b a


(54)

26

Persentase eksplan membentuk kalus =

Σ eksplan berkalus X 100%

Σ eksplan yang digunakan 2. Pertumbuhan kalus

Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Pengamatan dilakukan dengan sistem skoring.

Skoring pertumbuhan kalus:

Skor 1: eksplan tidak membentuk kalus Skor 2 : 1-25% kalus menutupi eksplan Skor 3 : 26-50% kalus menutupi eksplan Skor 4 : 51-75% kalus menutupi eksplan Skor 5 : 76-100% kalus menutupi eksplan

3. Morfologi kalus (struktur dan warna)

Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat struktur dan warna kalus.

4. Jumlah eksplan membentuk embrio somatik Persentase eksplan membentuk embrio somatik =

Σ eksplan membentuk embrio somatik X 100% Σ eksplan yang berkalus

5. Histodiferensiasi (irisan tentang tahap-tahap perkembangan embrio somatik)

d). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dengan picloram

Eksplan aksis embrio buah masak ditanam pada media perlakuan setelah biji disterilisasi, pada media MS padat dengan sukrosa 3% yang ditambahkan zat pengatur tumbuh picloram 2.5; 3.0; 4.0 dan 2.5 mgL-1. Kultur diinkubasi di tempat gelap, pada suhu 26±2°C, selama 8 minggu.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 1 faktor yaitu konsentrasi picloram, dengan 4 taraf yaitu: 2.5; 3.0; 4.0 dan 2.5 mgL-1. Setiap perlakuan diulang 3 kali, tiap Petri dish berisi 6 eksplan, sehingga totalnya 12 satuan percobaan.

Pengamatan dilakukan untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan kalus yang terbentuk mulai dari 1-8 minggu.


(55)

27

Pengamatan meliputi :

1.Persentase eksplan membentuk kalus

Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Persentase eksplan membentuk kalus =

Σ eksplan berkalus X 100%

Σ eksplan yang digunakan 2. Pertumbuhan kalus

Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Pengamatan dilakukan dengan sistem skoring.

Skoring perkembangan kalus:

Skor 1: eksplan tidak membentuk kalus Skor 2 : 1-25% kalus menutupi eksplan Skor 3 : 26-50% kalus menutupi eksplan Skor 4 : 51-75% kalus menutupi eksplan Skro 5 : 76-100% kalus menutupi eksplan 3. Morfologi kalus (struktur dan warna)

Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat struktur dan warna kalus.

4. Jumlah eksplan membentuk embrio somatik Persentase eksplan membentuk embrio somatik =

Σ eksplan membentuk embrio somatik X 100% Σ eksplan yang berkalus

5. Histodiferensiasi (irisan tentang tahap-tahap perkembangan embrio somatik dari globular, hati, torpedo dan kotiledon)

Pengamatan secara mikroskopik dengan membuat irisan contoh menurut metode parafin (Sass, 1951) (Lampiran 2), hanya dilakukan untuk embrio somatik yang terbentuk yaitu dengan irisan membujur. Pembuatan preparat melalui beberapa tahapan, yaitu fiksasi, dehidrasi, infiltrasi pemblokan, embedding, pengirisan dan staining (pewarnaan). Pewarna yang dipergunakan adalah fast green.


(56)

28

2. Proliferasi dan Pendewasaan Kalus Embriogenik

a). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media padat

Kalus embriogenik dan embrio somatik yang terbentuk pada media Picloram atau 2.4-D disubkultur ke media MS padat tanpa zat pengatur tumbuh dengan penambahan 3% sukrosa, vitamin Gamborg B5 dan phytagel 2 g/L-1.

b). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media cair

Kalus embriogenik dan embrio somatik yang terbentuk pada media dengan penambahan picloram atau 2.4-D disubkultur ke media MS padat tanpa zat pengatur tumbuh dengan penambahan 3% sukrosa, vitamin Gamborg B5 selama 2 minggu, kemudian disubkultur ke media cair tanpa atau dengan penambahan 2.5 mgL-1 picloram.

Pengamatan meliputi :

1.Jumlah kalus embriogenik

2.Jumlah embrio somatik yang terbentuk 3.Jumlah embrio somatik yang bertunas 4.Deskripsi histodiferensiasi

D. Analisis Statistik

Percobaan 1a dan 1b menggunakan percobaan acak lengkap dengan dua faktor, sedangkan percobaan 1c dan 1d menggunakan percobaan acak lengkap dengan satu faktor. Data dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan. Perlakuan yang berpengaruh nyata kemudian diuji lanjut dengan menggunakan Duncan’s multiple range test (DMRT) dengan tingat kepercayaan 5%. Data skoring diuji menggunakan uji peringkat Kruskal Wallis (Walpole 1995).

Model statistik percobaan acak lengkap dengan dua faktor (percobaan 1a dan 1b) menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), yaitu:

Yijk= μ + αi+ βj+ (αβ)ij+ εijk Dimana,


(57)

29

Yijk = Nilai pengamatan pada faktor pertama taraf ke-1 faktor kedua taraf ke-j dan ulangan ke-k

μ = Rataan umum

αi = Pengaruh utama Faktor pertama βj = Pengaruh utama Faktor kedua

(αβ)ij = Pengaruh interaksi faktor pertama ke-i dan faktor kedua ke-j εijk = Pengaruh galat untuk pengamatan taraf ke (i,j,k)

Model statistik percobaan acak lengkap dengan satu faktor (percobaan 1c dan 1d) menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), yaitu:

Yij= μ + τi + εij Dimana,

i = 1,2…,r dan j=1,2…,r

Yijk = Nilai pengamatan pada faktor pertama taraf ke-1 dan ulangan ke-j μ = Rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i


(58)

(59)

31

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Induksi Embrio Somatik

a). Induksi embrio somatik dari berbagai jenis eksplan J. curcas komposit IP3-P

Penambahan picloram ke dalam media perlakuan belum mampu menginduksi embrio somatik namun hanya mampu menginduksi pembentukan kalus non embriogenik pada keempat jenis eksplan dengan persentase jumlah eksplan membentuk kalus mencapai 100% pada 4 MST, sedangkan pada media tanpa picloram, kalus yang terbentuk berkisar antara 0-85%. Persentase pembentukan kalus tertinggi pada media tanpa picloram terjadi pada eksplan hipokotil mencapai 85% pada 7 MST, sedangkan terendah pada eksplan aksis embrio. Pada media ini, semua eksplan aksis embrio tidak membentuk kalus (Tabel 2). Eksplan aksis embrio pada media tanpa picloram cenderung membentuk tunas dan akar, ini disebabkan aksis tersusun dari calon batang dan akar yang dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman dewasa apabila ditanam pada media yang sesuai.

Kalus non embriogenik mulai terbentuk pada eksplan daun, hipokotil, aksis embrio tua, dan kotiledon pada 1 MST. Pada media MS yang mengandung 2.0 mgL-1 picloram, jumlah persentase eksplan yang membentuk kalus dari eksplan hipokotil mencapai 100%, sedangkan eksplan daun mencapai 65%, aksis 25% dan kotiledon 0%. Eksplan hipokotil dan daun lebih responsif dalam pembentukan kalus karena eksplan hipokotil mempunyai jaringan yang lebih muda dan merismatik karena berasal dari eksplan yang diambil dari kecambah berumur 1 minggu, sedangkan eksplan aksis embrio tua dan kotiledon berasal dari biji yang sudah tua. Jaringan merismatik terdiri dari sel-sel yang selalu membelah dengan dindingnya yang tipis dan mudah tumbuh membentuk jaringan atau organ baru.


(60)

32

Tabel 2. Pengaruh picloram terhadap persentase eksplan membentuk kalus dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP3-P

Jenis Eksplan

Konsentrasi Picloram

(mg/l)

Persentase pertumbuhan kalus (%)

1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST

Daun

0 0 0 10 10 10 10 10 10

0.5 20 65 75 100 100 100 100 100

1.0 35 95 100 100 100 100 100 100

1.5 70 100 100 100 100 100 100 100

2.0 65 95 100 100 100 100 100 100

2.5 55 95 100 100 100 100 100 100

Hipokotil

0 0 0 50 55 60 60 85 85

0.5 20 70 100 100 100 100 100 100

1.0 65 100 100 100 100 100 100 100

1.5 75 100 100 100 100 100 100 100

2.0 100 100 100 100 100 100 100 100

2.5 70 100 100 100 100 100 100 100

Aksis embrio tua

0 0 0 0 0 0 0 0 0

0.5 0 65 100 100 100 100 100 100

1.0 10 100 100 100 100 100 100 100

1.5 20 100 100 100 100 100 100 100

2.0 25 100 100 100 100 100 100 100

2.5 30 100 100 100 100 100 100 100

Kotiledon

0 0 10 20 30 30 30 30 30

0.5 0 75 100 100 100 100 100 100

1.0 0 90 100 100 100 100 100 100

1.5 5 95 100 100 100 100 100 100

2.0 0 100 100 100 100 100 100 100

2.5 0 100 100 100 100 100 100 100


(61)

33

Persentase eksplan yang dapat membentuk kalus pada 1 MST bervariasi tergantung pada jenis eksplan dan konsentrasi picloram yang digunakan, yaitu berkisar 0-100%. Jenis eksplan dan konsentrasi picloram yang ditambahkan pada media MS sangat mempengaruhi kecepatan terjadinya induksi kalus. Zat pengatur tumbuh dalam media kultur merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan induksi kalus dari jaringan eksplan yang dikulturkan. Zat pengatur tumbuh picloram merupakan golongan auksin mempunyai peran penting dalam induksi pembentukan kalus.

Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata antara taraf konsentrasi picloram dan jenis eksplan terhadap skor pertumbuhan kalus pada 1-8 MST. Pertumbuhan kalus pada 3 MST dapat mencapai skor 4 (51-75% kalus menutupi eksplan) pada eksplan hipokotil, sedangkan eksplan daun, aksis embrio tua dan kotiledon hanya mencapai skor 3 (26-50% kalus menutupi eksplan). Pada 6 MST pertumbuhan kalus untuk setiap jenis eksplan mencapai lebih dari 50% kalus menutupi eksplan. Skor kalus rata-rata tertinggi ditunjukkan pada eksplan hipokotil yang dapat mencapai skor 5 (76-100% kalus menutupi eksplan) pada semua media yang mengandung picloram pada 5 MST (Tabel 3). Ini menunjukkan bahwa picloram dengan konsentrasi 0.5-2.5 mgL-1 pada 5 MST dapat menginduksi pertumbuhan kalus dari eksplan hipokotil mencapai maksimum, walaupun skor pertumbuhan kalus di media yang mengandung picloram pada eksplan tersebut tidak berbeda nyata. Skor pertumbuhan kalus dari eksplan hipokotil mencapai pertumbuhan yang maksimum pada 5.MST.


(62)

(63)

31

Tabel 3. Pengaruh picoram terhadap skor pertumbuhan kalus dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP3-P

Keterangan: Hasil analisis dengan uji Kruskal-Wallis, berbeda nyata pada 0.01<P<0.05, berbeda sangat nyata pada P<0.01 Jenis

Eksplan

Konsentrasi Picloram

(mg/l)

Skor pertumbuhan kalus

1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST

Daun

0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0

0.5 1.0 2.0 2.0 3.0 3.5 4.0 5.0 5.0

1.0 1.0 2.0 3.0 3.0 3.5 4.0 5.0 5.0

1.5 2.0 3.0 3.0 4.0 4.0 5.0 5.0 5.0

2.0 2.0 2.0 3.0 4.0 4.0 5.0 5.0 5.0

2.5 2.0 2.0 3.0 3.0 4.0 4.0 5.0 5.0

P-value 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

Hipokotil

0 1.0 1.0 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0

0.5 1.0 2.0 2.0 3.0 5.0 5.0 5.0 5.0

1.0 2.0 3.0 3.0 4.0 5.0 5.0 5.0 5.0

1.5 2.0 3.0 3.5 4.5 5.0 5.0 5.0 5.0

2.0 2.0 3.0 4.0 4.5 5.0 5.0 5.0 5.0

2.5 2.0 3.0 4.0 4.5 5.0 5.0 5.0 5.0

P-value 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

Aksis embrio

tua

0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0

0.5 1.0 2.0 3.0 4.0 4.0 5.0 5.0 5.0

1.0 1.0 2.0 3.0 4.0 4.0 5.0 5.0 5.0

1.5 1.0 3.0 3.0 4.0 4.0 5.0 5.0 5.0

2.0 1.0 2.0 3.0 4.0 4.0 5.0 5.0 5.0

2.5 1.0 2.0 3.0 4.0 4.0 5.0 5.0 5.0

P-value 0.430 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

Kotiledon

0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0

0.5 1.0 2.0 2.0 3.0 4.0 4.0 5.0 5.0

1.0 1.0 2.0 3.0 3.0 4.0 5.0 5.0 5.0

1.5 1.0 2.0 3.0 3.0 4.0 4.0 5.0 5.0

2.0 1.0 2.0 3.0 3.0 4.0 4.0 5.0 5.0

2.5 1.0 2.0 3.0 3.0 4.0 5.0 5.0 5.0

P-value 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000


(64)

(65)

35

Kalus yang dihasilkan pada media yang mengandung picloram pada 1 MST adalah kalus non embriogenik yang remah, sedangkan kalus pada media tanpa zpt merupakan kalus kompak (Tabel 4). Pembentukan kalus pada jaringan yang dilukai umum terjadi pada tumbuhan. Ini menunjukkan bahwa hormon endogen berperan dalam induksi kalus. Terbentuknya kalus terjadi pada bagian bekas pelukaan (Gambar 7a), kemudian berlanjut dengan pertumbuhan kalus sebagai akibat dari proliferasi sel-sel penyusun kalus, sehingga menutup sebagian permukaan bekas pelukaan (Gambar 7b). Hal ini sesuai dengan pendapat Utami et al. (2007) yang menyatakan bahwa terjadinya kalus di tempat pelukaan bertujuan untuk menutup luka. George dan Sherington (1984) menyatakan bahwa pemotongan atau pelukaan pada sel tumbuhan akan merangsang pembelahan sel, selanjutnya pembelahan ini akan menginisiasi kalus. Terbentuknya kalus remah disebabkan karena penggunaan picloram yang merupakan zat pengatur tumbuh golongan auksin yang menyebabkan proliferasi sel secara cepat, sedangkan kalus kompak terbentuk karena mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras.

Gambar 7. Pertumbuhan kalus dari eksplan daun J. curcas komposit IP3-P a) pertumbuhan kalus (panah) pada bagian luka 2 MST dan b) pertumbuhan kalus 5 MST.

Pertumbuhan kalus mulai menurun pada 6 MST, hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan kalus yang melambat dengan tidak bertambahnya volume kalus dan mulai terjadinya perubahan warna menjadi putih kekuningan sampai menjadi coklat serta hitam. Kalus yang terbentuk di media yang mengandung picloram merupakan kalus remah dan tidak membentuk kalus embriogenik (Gambar 8).

a b


(66)

36

Tabel 4. Pengaruh picloram terhadap morfologi kalus yang terbentuk dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP3-P

Jenis Eksplan

Konsentrasi

Picloram (mg/l) Morfologi kalus

Eksplan membentuk Embrio Somatik (%)

Daun

0 Kompak, putih 0

0.5 Remah, putih 0

1.0 Remah, putih 0

1.5 Remah, putih kekuningan 0

2.0 Remah, putih kecoklatan 0

2.5 Remah, putih kecoklatan 0

Hipokotil

0 Kompak, putih 0

0.5 Remah, putih 0

1.0 Remah, putih 0

1.5 Remah, putih 0

2.0 Remah, putih kekuningan 0

2.5 Remah, putih kecoklatan, 0

Aksis

0 Tidak membentuk kalus 0

0.5 Remah, putih 0

1.0 Remah, putih 0

1.5 Remah, putih 0

2.0 Remah, putih 0

2.5 Remah, putih kehitaman 0

Daun kotiledon

0 Kompak, putih 0

0.5 Remah, putih kekuningan 0

1.0 Remah, putih kekuningan 0

1.5 Remah, putih kecoklatan 0

2.0 Remah, putih kecoklatan 0

2.5 Remah, putih kecoklatan 0

Gambar 8. Kalus remah J. curcas komposit IP3-P yang terbentuk pada media MS yang mengandung 1.5 mg/L-1 picloram pada 6 MST. a) kalus dari daun, b) kalus dari hipokotil, c) kalus dari aksis dan d) kalus dari kotiledon.

Eksplan daun, hipokotil, aksis embrio dewasa dan kotiledon yang diinduksi di media MS dengan penambahan picloram tidak dapat membentuk embrio somatik sampai dengan 8 MST. Eksplan tersebut merupakan eksplan yang


(67)

37

bersifat merismatik, karena daun dan hipokotil berasal dari kecambah yang berumur 1 MST, sedangkan aksis embrio dewasa dan kotiledon tersusun dari jaringan muda calon pembentukan akar, batang dan daun. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah golongan auksin yaitu picloram dengan konsentrasi 0-2.5 mg/L-1 yang dapat mendorong pembentukan embrio somatik. Tidak terbentuknya embrio somatik pada keempat jenis eksplan tersebut, diduga disebabkan oleh keseimbangan zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen di dalam media yang dapat mempengaruhi ekspresi gen, sehingga gen-gen yang berperan dalam embriogenesis tidak dapat menginduksi embrio somatik. Hasil penelitian ini berbeda dengan Nindita (2010) yang menunjukkan bahwa aksis embrio tua dan kotiledon pada media MS yang mengandung 1.0 mgL-1 picloram dapat membentuk embrio somatik. Pembentukan embrio somatik dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya aksesi, jaringan dan tahap perkembangan eksplan, serta hormon endogen yang dapat mempengaruhi respon tanaman yang bergantung pada kondisi kultur seperti konsentrasi hormon eksogen, kondisi osmotik, perubahan pH, asam amino dan konsentrasi unsur hara makro dan mikro (Namasivayam 2007).

b). Induksi embrio somatik dari eksplan aksis embrio muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu

Semua media MS dengan penambahan picloram atau 2.4-D mampu menginduksi kalus non embriogenik pada 2 MST. Eksplan aksis embrio muda mulai membentuk kalus 1 MST pada media yang mengandung picloram dan 2.4-D, sedangkan eksplan embrio muda 1 MST membentuk kalus pada media yang mengandung picloram. Respon pembentukan kalus dari eksplan embrio muda lebih cepat terjadi pada media yang mengandung picloram dibandingkan dengan media yang mengandung 2.4-D, ini menunjukkan bahwa picloram mampu menginduksi dan memproliferasi sel dengan cepat dibanding 2.4-D (Tabel 5). Kecepatan pembentukan dan proliferasi setiap eksplan akan berbeda tergantung pada zat pengatur tumbuh dan jenis eksplan yang digunakan.

Pada eksplan aksis embrio muda, persentase pembentukan kalus dapat mencapai 100% pada 3 MST, sedangkan dengan eksplan embrio muda pada 5 MST. Pembentukan kalus pada aksis embrio muda dipengaruhi oleh stres yang


(68)

38

diakibatkan dari irisan pada eksplan dan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media, sedangkan pada embrio muda dipengaruhi oleh umur eksplan atau tahap perkembangan embrio. Hal ini sesuai dengan penelitian Varshney dan Johnson (2010) yang menyatakan bahwa persentase pembentukan kalus dari eksplan embrio muda J. curcas yang berukuran 0.2-0.9 cm pada media MS yang mengandung 0.5 mgL-1 IBA dan 1.0 mgL-1 BAP dapat mencapai 10-30%, sedangkan pada eksplan embrio muda yang berukuran 1.1-1.5 cm dapat mencapai 100% pada 4 MST.


(1)

(2)

(3)

Lampiran 1 Komposisi Media Murashige and Skoog dan Media Gamborg

Komposisi Media Murashige and Skoog dan Media Gamborg

Bahan Kimia MS

(mgL-1)

B5 (mgL-1)

(NH4)2SO4 - 134

NH4 NO 1650 -

KNO3 1900 2500

CaCl2 . 2H2O 440 150

MgSO4 . 7H2O 370 250

KH2 PO4 170 -

NaH2PO4 . H2O - 150

FeSO4 . 7H2O 27.8 27.8

Na2EDTA 37.3 37.3

MnSO4 . 4H2O 22.3 -

MnSO4 . H2O - 10.0

ZnSO2 . 7H2O 8.6 2.0

H3BO3 6.2 3.0

KI 0.83 0.75

Na2MoO4 . 2H2O 0.25 0.25

CuSO4 . 5H2O 0.025 0.025

CoCl2 . 6H2O 0.025 0.025

Myi-inositol 100 100

Niacin 0.5 1.0

Pyridoxine-HCl 0.5 1.0

Thiamine-HCl 0.1 10.0

Glycine 2.0 -


(4)

Lampiran 2 Metode Parafin (Sass, 1951) yang Dimodifikasi.

1. Fiksasi. Organ tanaman yang akan diamatidipotong dan dimasukkan ke dalam larutan fixative (misalnya FAA) dan diletakkan dalam vaccum, selama minimal 24 jam.

2. Dehidrasi. Penghilanga air yang ada dalam jaringan tanaman, dilanjutkan ethanol 70% sampai dengan larutan ethanol 95% sample masih di dalam vaccum. Masing-masing tahap dehidrasi dilakukan selama minimal 3 jam (tergantung pada jenis jaringan).

a) Ethanol 70% b) Ethanol 95% c) Ethanol absolute d) Ethanol : Xylol = 3 : 1 e) Ethanol : Xylol = 1 : 1 f) Ethanol : Xylol = 1 : 3 g) Xylol I

h) Xylol II

3. Infiltrasi. Pada tahap ini, material yang telah direndam dalam xylol diberi serbuk parafin secara perlahan-lahan sampai jenuh. Selanjutnya material dimasukkan dalam inkubator (±60 0C) untuk infiltrasi selanjutnya. Masing-masing tahap di bawah ini minimal 3 jam.

a) Buang larutan xylol : parafin ¼ bagian dan ganti dengan parafin ¼ bagian b) Buang larutan xylol : parafin ½ bagian dan ganti dengan parafin ½ bagian c) Buang larutan xylol : parafin ¾ bagian dan ganti dengan parafin ¾ bagian d) Buang larutan xylol : parafin 1 bagian dan ganti dengan parafin 1 bagian Catatan: parafin yang baik memiliki titik leleh (56-58)°C

4. Embedding. Tahap ini dilakukan dengan meletakkan material ke dalam parafin cair dan biarkan hingga membeku, dengan tujuan untuk memudahkan dalam memotong material. Peletakkan material sesuai dengan jenis irisan yang diamati.


(5)

5. Pengirisan. Sebelum dilakukan pengirisan, terlebih dahulu object glass diolesi dengan haupt adhesive atau glycerin. Selanjutnya preparat yang telah diiris diletakkan pada bject glass, ditetesi sedikit air dan diletakkan di atas hot plate. 6. Pewarnaan

a) Xylol I (3 menit) b) Xylol II (3 menit)

c) Ethanol : Xylol = 1 : 3 (3 menit) d) Ethanol : Xylol = 1 : 3 (3 menit) e) Ethanol : Xylol = 3 : 1 (3 menit) f) Ethanol absolute (3 menit) g) Ethanol 95% (3 menit) h) Ethanol 70% (3 menit) i) Safranin 1% (1-24 jam) j) Ethanol 70% (3 menit) k) Ethanol 70% (3 menit) l) Ethanol 95% (3 menit) m) Ethanol absolute (3 menit) n) Fast green 2%

o) Ethanol absolute p) Ethanol absolute

q) Ethanol : Xylol = 3 : 1 (3 menit) r) Ethanol : Xylol = 1 : 1 (3 menit) s) Ethanol : Xylol = 1 : 3 (3 menit) t) Xylol I (3 menit)

u) Xylol II (3 menit)


(6)