in vitro callus and shoot induction of “mahkota dewa” by manipulation of plant growth regulators and explant

(1)

INDUKSI KALUS DAN TUNAS SECARA

in vitro

TANAMAN MAHKOTA DEWA DENGAN

MANIPULASI ZAT PENGATUR

TUMBUH DAN EKSPLAN

MENA MENTARY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

INDUKSI KALUS DAN TUNAS SECARA

in vitro

TANAMAN MAHKOTA DEWA DENGAN

MANIPULASI ZAT PENGATUR

TUMBUH DAN EKSPLAN

MENA MENTARY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis ini yang berjudul:

INDUKSI KALUS DAN TUNAS SECARA in vitro TANAMAN MAHKOTA DEWA DENGAN MANIPULASI ZAT PENGATUR

TUMBUH DAN EKSPLAN

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan dari Komisi Pembimbing saya, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lainnya.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2006

Mena Mentary A155014031


(4)

ABSTRAK

MENA MENTARY. 2006. Induksi Kalus dan Tunas secara in vitro Tanaman Mahkota Dewa dengan Manipulasi Zat Pengatur Tumbuh dan Eksplan. Dibimbing

oleh GUSTAF ADOLF WATTIMENA dan MUHAMMAD MACHMUD.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh taraf konsentrasi BA dan NAA dalam menginduksi tunas mahkota dewa (Phaleria macrocarpa

[Scheff.] Boerl.) dengan eksplan biji, mengevaluasi pengaruh taraf konsentrasi 2,4-D dan BA dalam menginduksi kalus mahkota dewa dengan eksplan daun dan biji, dan mengevaluasi pengaruh taraf konsentrasi NAA dan BA dalam menginduksi kalus mahkota dewa dengan eksplan daun dan biji. Tiga percobaan dilakukan di laboratorium Biologi Molekuler Seluler Tanaman, Pusat Ilmu Hayat dan Bioteknologi IPB. Setiap percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Percobaan I (induksi tunas) terdiri dari 16 kombinasi perlakuan NAA dan BA pada media MS. Percobaan II (induksi kalus) terdiri dari 9 kombinasi perlakuan 2,4-D dan BA pada media MS. Enam kombinasi perlakuan NAA dan BA pada media MS untuk percobaan III (induksi kalus). Percobaan I menggunakan eksplan biji, sedangkan percobaan II dan III menggunakan eksplan daun dan biji.

Pembentukan tunas mahkota dewa pada kultur in vitro dapat dihasilkan dengan menambahkan kombinasi konsentrasi BA dan NAA ke media dasar MS. Hasil terbaik yaitu pada perlakuan BA tunggal, tanpa NAA. Konsentrasi BA terbaik untuk pertunasan pada penelitian ini yaitu 2.5 mg/l. Kombinasi konsentrasi ZPT 2,4-D dan BA mampu menginduksi terbentuknya kalus eksplan biji dan daun. Pada eksplan daun, perlakuan terbaik yaitu 2.5 mg/l 2,4-D + 0.5 mg/l BA dan 5.0 mg/l 2,4-D + 0.5 mg/l BA. Pada eksplan biji, kombinasi konsentrasi terbaik dalam menginduksi kalus yaitu 10.0 mg/l 2,4-D + 5.0 mg/l BA. Kombinasi konsentrasi NAA dan BA mampu menginduksi terbentuknya kalus pada eksplan daun dan biji. Pada eksplan daun, perlakuan terbaik yaitu 20.0 mg/l NAA tanpa BA dan 20.0 mg/l NAA + 0.5 mg/l BA. Pada eksplan biji, kombinasi konsentrasi terbaik dalam menginduksi kalus yaitu 20.0 mg/l NAA + 0.5 mg/l BA dan 20.0 mg/l NAA + 1.0 mg/l BA.


(5)

ABSTRACT

MENA MENTARY. 2006. in vitro Callus and Shoot Induction of “Mahkota Dewa” by Manipulation of Plant Growth Regulators and Explant. Supervised by GUSTAF ADOLF WATTIMENA and MUHAMMAD MACHMUD.

The objective of this research was to study the effects of auxin and cytokinin in in vitro callus and shoot induction of “mahkota dewa” (Phaleria macrocarpa). Three experiments used Complete Randomized Design for shoot induction (experiment I) and callus induction (experiment II and III). Shoot induction experiment consisted of 16 combinations of BA (0.0, 2.5, 5.0, and 7.5 mg/l) and NAA (0.0, 0.5, 1.0, and 1.5 mg/l) using MS basal medium and seed as explant. The callus induction experiment consisted of MS basal medium with nine combinations of 2,4-D (2.5, 5.0, and 10.0 mg/l) and BA (0.0, 0.5, and 1.0 mg/l) and six combinations of NAA (20.0 and 40.0 mg/l) and BA (0.0, 0.5, and 1.0 mg/l). Experiment II and III using leaf and seed as explants in separated experiment. within MS medium.

The result of experiment I showed that shoots can be produced in MS basal medium with combinations BA and NAA. The best combination of auxin and cytokinin for shoot induction was BA 2.5 mg/l. For callus induction using leaf explants was 2,4-D 2.5 mg/l + BA 0.5 mg/l and 20.0 mg/l NAA without BA, and for seed explants was 2,4 -D 10.0 mg/l + BA 5.0 mg/l and NAA 20.0 mg/l + BA 0.5 mg/l but it is not significantly with NAA 20.0 mg/l + BA 1.0 mg/l.


(6)

Judul Tesis : Induksi Kalus dan Tunas secara in vitro Tanaman Mahkota Dewa dengan Manipulasi Zat Pengatur Tumbuh dan Eksplan Nama Mahasiswa : Mena Mentary

NIM : A155014031

Program Studi : Agronomi

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. G. A. Wattimena, M.Sc Dr. Ir. H. M. Machmud, M.Sc, APU

Ketua anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S i. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.


(7)

PRAKATA

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan April 2005 ini ialah perbanyakan in vitro dan induksi kalus, dengan judul Induksi Kalus dan Tunas secara in vitro Tanaman Mahkota Dewa dengan Manipulasi Zat Pengatur Tumbuh dan Eksplan. Selama proses penelitian dan penulisan karya ilmiah ini, penulis memperoleh dukungan, sokongan, bantuan, serta saran profesional dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. G. A. Wattimena, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dari Institut Pertanian Bogor, Bapak Dr. Ir. H. M. Machmud, M.Sc. APU selaku pembimbing anggota dari Balai Penelitian Bioteknologi (Balitbio) Sumberdaya Genetik, Balitbang Departemen Pertanian C imanggu-Bogor, serta Bapak Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc selaku penguji luar komisi dari Institut Pertanian Bogor.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Diklat Agribisnis Tanaman Pangan dan Tanaman Obat (BBDATPO) Ketindan, Jawa Timur-BPSDMP Departemen Pertanian, Ibu Nia Dahniar, S.P serta kru laboran (Pak Asep, Sarah, dan Iri) Laboratorium Biologi Molukuler Seluler Tanaman Pusat Penelitian Sumber daya Hayati dan Bioteknologi IPB, Lusiana Tatipatta S.P, M.Si., Catur Wasonowati, S.P, M.Si., Risa S.P, M.Si., Ir. Nurbaiti, Nila Hayati, S.P, dan rekan-rekan Forsca (Forum Mahasiswa Pascasarjana Agronomi IPB).

Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, Suami, serta seluruh keluarga yang telah memberikan do’a yang tak pernah putus, dukungan dan bantuan setiap saat, serta kasih sayang yang tulus dan mulia. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat kepada mereka.

Besar harapan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2006


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 April 1978 dari Ayah Damman Huri, BBA dan Ibu Rasyidah. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 85 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian. Pada tahun 2001 penulis lulus kemudian melanjutkan studi di Program Pascasarjana IPB dan diterima di Program Studi Agronomi.

Tahun 2003 penulis diterima sebagai pegawai Departemen Pertanian dan ditempatkan di Balai Besar Diklat Agribisnis Tanaman Pangan dan Tanaman Obat (BBDATPO) Ketindan, Badan Pengembangan SDM Pertanian (BPSDMP) yang bertempat di Lawang, Malang. Awal Februari tahun 2005 penulis menikah dengan Muhammad Riza Akbar.


(9)

DAFTAR ISI

halaman

PRAKATA DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ………... 4

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Mahkota Dewa ... 5

Manfaat dan Kandungan Kimia ... 6

Arti Ekonomi ... 7

Perbanyakan Tanaman secara in vitro ... 8

Zat Pengatur Tumbuh ... 16

Induksi Kalus ... 22

Induksi Tunas ... 25

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

Bahan Penelitian ………... 27

Metode Penelitian ……… 27

Pembuatan Media Perlakuan ………... 28

Percobaan I: Pengaruh Taraf Konsentrasi BA dan NAA dalam Menginduksi Tunas Mahkota Dewa dengan Eksplan Biji .………... 28

Percobaan II: Pengaruh Taraf Konsentrasi 2,4-D dan BA dalam Menginduksi Kalus Mahkota Dewa dengan Eksplan Daun dan Biji ... .…………. 30

Percobaan III: Pengaruh Taraf Konsentrasi NAA dan BA dalam Menginduksi Kalus Mahkota Dewa dengan Eksplan Daun dan Biji ……….. 31

HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan I Hasil ………... 36

Kondisi Umum ... 36

Pembahasan ... 40

Percobaan II Hasil ………... 44

Kondisi Umum ... 44


(10)

Percobaan III

Hasil ………... 59

Kondisi Umum ... 59

Pembahasan ………... 70

Pembahasan Umum ... 74

SIMPULAN DAN SARAN ... 81

DAFTAR PUSTAKA

………

82


(11)

INDUKSI KALUS DAN TUNAS SECARA

in vitro

TANAMAN MAHKOTA DEWA DENGAN

MANIPULASI ZAT PENGATUR

TUMBUH DAN EKSPLAN

MENA MENTARY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

INDUKSI KALUS DAN TUNAS SECARA

in vitro

TANAMAN MAHKOTA DEWA DENGAN

MANIPULASI ZAT PENGATUR

TUMBUH DAN EKSPLAN

MENA MENTARY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(13)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis ini yang berjudul:

INDUKSI KALUS DAN TUNAS SECARA in vitro TANAMAN MAHKOTA DEWA DENGAN MANIPULASI ZAT PENGATUR

TUMBUH DAN EKSPLAN

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan dari Komisi Pembimbing saya, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lainnya.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2006

Mena Mentary A155014031


(14)

ABSTRAK

MENA MENTARY. 2006. Induksi Kalus dan Tunas secara in vitro Tanaman Mahkota Dewa dengan Manipulasi Zat Pengatur Tumbuh dan Eksplan. Dibimbing

oleh GUSTAF ADOLF WATTIMENA dan MUHAMMAD MACHMUD.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh taraf konsentrasi BA dan NAA dalam menginduksi tunas mahkota dewa (Phaleria macrocarpa

[Scheff.] Boerl.) dengan eksplan biji, mengevaluasi pengaruh taraf konsentrasi 2,4-D dan BA dalam menginduksi kalus mahkota dewa dengan eksplan daun dan biji, dan mengevaluasi pengaruh taraf konsentrasi NAA dan BA dalam menginduksi kalus mahkota dewa dengan eksplan daun dan biji. Tiga percobaan dilakukan di laboratorium Biologi Molekuler Seluler Tanaman, Pusat Ilmu Hayat dan Bioteknologi IPB. Setiap percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Percobaan I (induksi tunas) terdiri dari 16 kombinasi perlakuan NAA dan BA pada media MS. Percobaan II (induksi kalus) terdiri dari 9 kombinasi perlakuan 2,4-D dan BA pada media MS. Enam kombinasi perlakuan NAA dan BA pada media MS untuk percobaan III (induksi kalus). Percobaan I menggunakan eksplan biji, sedangkan percobaan II dan III menggunakan eksplan daun dan biji.

Pembentukan tunas mahkota dewa pada kultur in vitro dapat dihasilkan dengan menambahkan kombinasi konsentrasi BA dan NAA ke media dasar MS. Hasil terbaik yaitu pada perlakuan BA tunggal, tanpa NAA. Konsentrasi BA terbaik untuk pertunasan pada penelitian ini yaitu 2.5 mg/l. Kombinasi konsentrasi ZPT 2,4-D dan BA mampu menginduksi terbentuknya kalus eksplan biji dan daun. Pada eksplan daun, perlakuan terbaik yaitu 2.5 mg/l 2,4-D + 0.5 mg/l BA dan 5.0 mg/l 2,4-D + 0.5 mg/l BA. Pada eksplan biji, kombinasi konsentrasi terbaik dalam menginduksi kalus yaitu 10.0 mg/l 2,4-D + 5.0 mg/l BA. Kombinasi konsentrasi NAA dan BA mampu menginduksi terbentuknya kalus pada eksplan daun dan biji. Pada eksplan daun, perlakuan terbaik yaitu 20.0 mg/l NAA tanpa BA dan 20.0 mg/l NAA + 0.5 mg/l BA. Pada eksplan biji, kombinasi konsentrasi terbaik dalam menginduksi kalus yaitu 20.0 mg/l NAA + 0.5 mg/l BA dan 20.0 mg/l NAA + 1.0 mg/l BA.


(15)

ABSTRACT

MENA MENTARY. 2006. in vitro Callus and Shoot Induction of “Mahkota Dewa” by Manipulation of Plant Growth Regulators and Explant. Supervised by GUSTAF ADOLF WATTIMENA and MUHAMMAD MACHMUD.

The objective of this research was to study the effects of auxin and cytokinin in in vitro callus and shoot induction of “mahkota dewa” (Phaleria macrocarpa). Three experiments used Complete Randomized Design for shoot induction (experiment I) and callus induction (experiment II and III). Shoot induction experiment consisted of 16 combinations of BA (0.0, 2.5, 5.0, and 7.5 mg/l) and NAA (0.0, 0.5, 1.0, and 1.5 mg/l) using MS basal medium and seed as explant. The callus induction experiment consisted of MS basal medium with nine combinations of 2,4-D (2.5, 5.0, and 10.0 mg/l) and BA (0.0, 0.5, and 1.0 mg/l) and six combinations of NAA (20.0 and 40.0 mg/l) and BA (0.0, 0.5, and 1.0 mg/l). Experiment II and III using leaf and seed as explants in separated experiment. within MS medium.

The result of experiment I showed that shoots can be produced in MS basal medium with combinations BA and NAA. The best combination of auxin and cytokinin for shoot induction was BA 2.5 mg/l. For callus induction using leaf explants was 2,4-D 2.5 mg/l + BA 0.5 mg/l and 20.0 mg/l NAA without BA, and for seed explants was 2,4 -D 10.0 mg/l + BA 5.0 mg/l and NAA 20.0 mg/l + BA 0.5 mg/l but it is not significantly with NAA 20.0 mg/l + BA 1.0 mg/l.


(16)

Judul Tesis : Induksi Kalus dan Tunas secara in vitro Tanaman Mahkota Dewa dengan Manipulasi Zat Pengatur Tumbuh dan Eksplan Nama Mahasiswa : Mena Mentary

NIM : A155014031

Program Studi : Agronomi

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. G. A. Wattimena, M.Sc Dr. Ir. H. M. Machmud, M.Sc, APU

Ketua anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S i. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.


(17)

PRAKATA

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan April 2005 ini ialah perbanyakan in vitro dan induksi kalus, dengan judul Induksi Kalus dan Tunas secara in vitro Tanaman Mahkota Dewa dengan Manipulasi Zat Pengatur Tumbuh dan Eksplan. Selama proses penelitian dan penulisan karya ilmiah ini, penulis memperoleh dukungan, sokongan, bantuan, serta saran profesional dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. G. A. Wattimena, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dari Institut Pertanian Bogor, Bapak Dr. Ir. H. M. Machmud, M.Sc. APU selaku pembimbing anggota dari Balai Penelitian Bioteknologi (Balitbio) Sumberdaya Genetik, Balitbang Departemen Pertanian C imanggu-Bogor, serta Bapak Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc selaku penguji luar komisi dari Institut Pertanian Bogor.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Diklat Agribisnis Tanaman Pangan dan Tanaman Obat (BBDATPO) Ketindan, Jawa Timur-BPSDMP Departemen Pertanian, Ibu Nia Dahniar, S.P serta kru laboran (Pak Asep, Sarah, dan Iri) Laboratorium Biologi Molukuler Seluler Tanaman Pusat Penelitian Sumber daya Hayati dan Bioteknologi IPB, Lusiana Tatipatta S.P, M.Si., Catur Wasonowati, S.P, M.Si., Risa S.P, M.Si., Ir. Nurbaiti, Nila Hayati, S.P, dan rekan-rekan Forsca (Forum Mahasiswa Pascasarjana Agronomi IPB).

Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, Suami, serta seluruh keluarga yang telah memberikan do’a yang tak pernah putus, dukungan dan bantuan setiap saat, serta kasih sayang yang tulus dan mulia. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat kepada mereka.

Besar harapan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2006


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 April 1978 dari Ayah Damman Huri, BBA dan Ibu Rasyidah. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 85 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian. Pada tahun 2001 penulis lulus kemudian melanjutkan studi di Program Pascasarjana IPB dan diterima di Program Studi Agronomi.

Tahun 2003 penulis diterima sebagai pegawai Departemen Pertanian dan ditempatkan di Balai Besar Diklat Agribisnis Tanaman Pangan dan Tanaman Obat (BBDATPO) Ketindan, Badan Pengembangan SDM Pertanian (BPSDMP) yang bertempat di Lawang, Malang. Awal Februari tahun 2005 penulis menikah dengan Muhammad Riza Akbar.


(19)

DAFTAR ISI

halaman

PRAKATA DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ………... 4

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Mahkota Dewa ... 5

Manfaat dan Kandungan Kimia ... 6

Arti Ekonomi ... 7

Perbanyakan Tanaman secara in vitro ... 8

Zat Pengatur Tumbuh ... 16

Induksi Kalus ... 22

Induksi Tunas ... 25

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

Bahan Penelitian ………... 27

Metode Penelitian ……… 27

Pembuatan Media Perlakuan ………... 28

Percobaan I: Pengaruh Taraf Konsentrasi BA dan NAA dalam Menginduksi Tunas Mahkota Dewa dengan Eksplan Biji .………... 28

Percobaan II: Pengaruh Taraf Konsentrasi 2,4-D dan BA dalam Menginduksi Kalus Mahkota Dewa dengan Eksplan Daun dan Biji ... .…………. 30

Percobaan III: Pengaruh Taraf Konsentrasi NAA dan BA dalam Menginduksi Kalus Mahkota Dewa dengan Eksplan Daun dan Biji ……….. 31

HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan I Hasil ………... 36

Kondisi Umum ... 36

Pembahasan ... 40

Percobaan II Hasil ………... 44

Kondisi Umum ... 44


(20)

Percobaan III

Hasil ………... 59

Kondisi Umum ... 59

Pembahasan ………... 70

Pembahasan Umum ... 74

SIMPULAN DAN SARAN ... 81

DAFTAR PUSTAKA

………

82


(21)

DAFTAR TABEL

halaman 1 Rekapitulasi uji F pengaruh NAA dan BA terhadap pembentukan

tunas dari eksplan biji mahkota dewa ………... 36 2 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap saat inisiasi primordial

tunas dari eksplan biji mahkota dewa ………... 37 3 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap jumlah tunas dari

eksplan biji mahkota dewa ………... 38 4 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap jumlah daun dari

eksplan biji mahkota dewa ………... 41 5 Rekapitulasi uji F pengaruh 2,4-D dan BA terhadap pembentukan

kalus eksplan daun mahkota dewa ……… 45 6 Rekapitulasi uji F pengaruh 2,4-D dan BA terhadap pembentukan

kalus eksplan biji mahkota dewa ……… 46 7 Pengaruh kombinasi 2,4-D dan BA terhadap perubahan warna

eksplan daun mahkota dewa ……….. 47

8 Pengaruh kombinasi 2,4-D dan BA terhadap perubahan warna

eksplan biji mahkota dewa ……… 48

9 Pengaruh kombinasi 2,4-D dan BA terhadap saat inisiasi kalus

eksplan daun mahkota dewa ……….. 49

10 Pengaruh kombinasi 2,4-D dan BA terhadap saat inisiasi kalus

eksplan biji mahkota dewa ……… 49

11 Pengaruh kombinasi 2,4-D dan BA terhadap perkembangan kalus

eksplan daun mahkota dewa ……….. 51

12 Pengaruh kombinasi 2,4-D dan BA terhadap perkembangan kalus

eksplan biji mahkota dewa ……… 52

13 Pengaruh kombinasi 2,4-D dan BA terhadap viabilitas kalus eksplan

daun mahkota dewa ……….. 53

14 Pengaruh kombinasi 2,4-D dan BA terhadap viabilitas kalus eksplan

biji mahkota dewa ……… 54

15 Pengaruh kombinasi 2,4-D dan BA terhadap bobot basah kalus

eksplan daun mahkota dewa ……….. 55

16 Pengaruh kombinasi 2,4 -D dan BA terhadap bobot kering kalus

eksplan daun mahkota dewa ……….. 55

17 Pengaruh kombinasi 2,4-D dan BA terhadap bobot basah kalus

eksplan biji mahkota dewa ……… 56

18 Pengaruh kombinasi 2,4 -D dan BA terhadap bobot kering kalus

eksplan biji mahkota dewa ……… 56

19 Rekapitulasi uji F pengaruh NAA dan BA terhadap pembentukan kalus eksplan daun mahkota dewa ……… 60 20 Rekapitulasi uji F pengaruh NAA dan BA terhadap pembentukan

kalus eksplan daun mahkota dewa ……… 61 21 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap perubahan warna

eksplan daun mahkota dewa ……….. 62

22 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap perubahan warna


(22)

23 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap saat inisiasi kalus

eksplan daun mahkota dewa ……….. 64

24 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap saat inisiasi kalus

eksplan biji mahkota dewa ……… 64

25 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap perkembangan kalus

eksplan daun mahkota dewa ……….. 65

26 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap perkembangan kalus

eksplan biji mahkota dewa ……… 66

27 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap viabilitas kalus eksplan

daun mahkota dewa ……….. 67

28 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap viabilitas kalus eksplan

biji mahkota dewa ……… 68

29 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap bobot basah kalus

eksplan daun mahkota dewa ……….. 69

30 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap bobot kering kalus

eksplan daun mahkota dewa ……….. 69

31 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap bobot basah kalus

eksplan biji mahkota dewa ……… 69

32 Pengaruh kombinasi NAA dan BA terhadap bobot kering kalus


(23)

DAFTAR GAMBAR

halaman 1 Perdu mahkota dewa dan buah mahkota dewa ……….. 6 2 Rumus bangun dan berat molekul NAA, 2,4-D, dan BA ... 21 3 Skoring perubahan warna eksplan daun ………... 33 4 Skoring perubahan warna eksplan biji ………. 33 5 Skoring perkembangan kalus pada eksplan daun ………..…. 34 6 Skoring perkembangan kalus pada eksplan biji ……… 34 7 Skoring viabilitas kalus pada eksplan daun ………... 35 8 Skoring viabilitas kalus pada eksplan biji ………. 35 9 Tunas yang terbentuk pada 16 perlakuan ……….. 39 10 Interaksi BA dan NAA terhadap jumlah tunas mahkota dewa pada

12 MST, 14 MST, dan 16 MST ……… 39

11 Interaksi NAA dan BA terhadap jumlah daun mahkota dewa pada

12 MST, 14 MST, dan 16 MST ……… 40

12 Histogram rata-rata tinggi tanaman ……….. 40

13 Skema pertumbuhan kalus ……… 72

14 Eksplan daun dengan satu ujung berkalus ………. 73 15 Eksplan daun dengan dua ujung berkalus ………. 73 16 Sistem kontrol ZPT pada aliran informasi dari DNA ke protein ….. 75 17 Peran ZPT pada pascatranslasi ……….. 76 18 Model dugaan keberadaan auksin dalam mempengaruhi aktivitas

enzim hingga menghasilkan suatu produk akhir ………… 77 19 Model dugaan keberadaan senyawa penghambat dalam

mempengaruhi aktivitas enzim ……….. 78 20 Nisbah auksin – sitokinin dalam proses morfogenesis ……….. 79


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman 1 Tahapan Pekerjaan Kultur Jaringan Tanaman ... 87

2 Diagram Alir Penelitian ……….. 88

3 Pembuatan Larutan Stok untuk Medium Murashige dan Skoog .... 89 4 Pembuatan Larutan Stok untuk Zat Pengatur Tumbuh …………... 89 5 Tabel sidik ragam pengaruh BA dan NAA terhadap saat inisiasi

primordia tunas mahkota dewa ………... 90 6 Tabel sidik ragam pengaruh BA dan NAA terhadap jumlah tunas

mahkota dewa ………. 90

7 Tabel sidik ragam pengaruh BA dan NAA terhadap jumlah daun

mahkota dewa ………. 91

8 Tabel sidik ragam pengaruh BA dan NAA terhadap tinggi tanaman mahkota dewa ………... 91 9 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4 -D dan BA terhadap perubahan

warna eksplan daun mahkota dewa pada media kalus I …………. 92 10 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4-D dan BA terhadap saat inisiasi

kalus eksplan daun mahkota dewa pada media kalus I …………... 93 11 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4-D dan BA terhadap perkembangan

kalus eksplan daun mahkota dewa pada media kalus I

………... 94

12 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4-D dan BA terhadap viabilitas kalus eksplan daun mahkota dewa pada media kalus I …………... 95 13 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4-D dan BA terhadap bobot basah

kalus eksplan daun mahkota dewa pada media kalus I …………... 96 14 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4-D dan BA terhadap bobot kering

kalus eksplan daun mahkota dewa pada media kalus I …………... 96 15 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4 -D dan BA terhadap perubahan

warna eksplan biji mahkota dewa pada media kalus I ……… 97 16 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4-D dan BA terhadap saat inisiasi

kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus I ………. 98 17 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4-D dan BA terhadap perkembangan

kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus I

……… 99

18 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4-D dan BA terhadap viabilitas kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus I ………. 100 19 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4-D dan BA terhadap bobot basah

kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus I ………. 101 20 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4-D dan BA terhadap bobot kering

kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus I ………. 101 21 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap perubahan

warna eksplan daun mahkota dewa pada media kalus II ………… 102 22 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap saat inisiasi


(25)

23 Tabel sidik ragam pengaruh 2,4-D dan BA terhadap perkembangan kalus eksplan daun mahkota dewa pada media kalus II

………... 104

24 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap viabilitas kalus eksplan daun mahkota dewa pada media kalus II …………... 105 25 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap bobot basah

kalus eksplan daun mahkota dewa pada media kalus II …………. 106 26 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap bobot kering

kalus eksplan daun mahkota dewa pada media kalus II …………. 106 27 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap perubahan

warna biji mahkota dewa pada media kalus II ……… 107 28 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap saat inisiasi

kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus II ……… 108 29 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap perkembangan

kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus II

………... 109

30 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap viabilitas kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus II ………... 110 31 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap bobot basah

kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus II ……… 111 32 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap bobot kering


(26)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] merupakan tanaman asli Indonesia yang diperkirakan berasal dari Papua (Irian Jaya), jika dilihat dari sinonim nama botani dari mahkota dewa (Phaleria papuana).

Tanaman ini termasuk famili Thymelaeacae (Dalimartha 2003). Tanaman mahkota dewa digolongkan ke dalam tanaman obat dan saat ini telah menyebar hampir ke seluruh Indonesia, walaupun belum dibudidayakan secara khusus. Tanaman ini umumnya tumbuh liar di hutan -hutan, di kebun sebagai tanaman peneduh, atau di pekarangan sebagai tanaman hias.

Pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka memerlukan penanganan yang cukup serius, karena berbagai permasalahan muncul, seperti masalah yang berkaitan dengan sumber daya alam, sumber daya manusia, pengolahan, modal, serta pemasaran. Meningkatnya pemakaian obat tradisional mengakibatkan peningkatan penggunaan tanaman obat, tetapi hal ini tidak diimbangi dengan budidaya dan pelestarian plasma nutfah. Tanaman mahkota dewa belum dibudidayakan dengan baik dan bermutu rendah.

Permasalahan yang muncul adalah salah satu mata rantai agribisnis yang mencakup hubungan antara penyediaan komoditas pertanian sebagai bahan baku (input) dengan kegiatan agroindustri. Komoditas dalam hal ini adalah mahkota dewa, yang diupayakan penyediaan dalam jumlah banyak dan berkesinambungan. Sekarang ini mahkota dewa cenderung diperbanyak dengan biji, walaupun ada juga yang memperbanyak dengan cangkok.

Pembibitan mahkota dewa yang diperbanyak dengan biji, dilakukan selama lebih kurang tiga bulan. Biji tidak dapat digunakan untuk bahan baku obat, karena dipakai kembali untuk penanaman. Permasalahan lain yang timbul yaitu keharusan penggunaan bahan baku obat yang seragam, terutama kandungan kimia tanaman mahkota dewa.

Perbanyakan dengan biji merupakan perbanyakan generatif yang nantinya dapat menyebabkan tingkat keragaman yang sangat tinggi (Griffiths et al. 1996). Dengan kata lain perbanyakan dengan biji dapat menyebabkan kandungan kimia


(27)

berubah. Tanaman mahkota dewa dapat diperbanyak melalui biji dan cangkokan. Kedua cara tersebut mempunyai kekurangan-kekurangan seperti tidak seragam, tergantung musim, tidak bebas penyakit, serta membutuhkan waktu yang lama.

Perbanyakan klonal secara in vitro dapat membuka jalan untuk mengatasi kekurangan-kekurangan perbanyakan secara biasa. Dalam budidaya apapun, masalah bahan tanam sangat penting, karena bibit yang kurang baik akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil. Penggunaan teknik in vitro dengan metode kultur jaringan akan mengatasi kendala-kendala yang umumnya dijumpai pada teknik-teknik budidaya dengan pembiakan generatif ataupun vegetatif yang dapat dikatakan sebagai teknik konvensional. Penelitian tentang budidaya mahkota dewa, terutama pada aspek pembibitan serta perbanyakan tanaman tersebut dengan teknik in vitro belum banyak dilakukan.

Pembibitan akan lebih efisien dan ekonomis dengan teknik in vitro; dalam waktu satu tahun dapat dihasilkan ribuan bibit dari sedikit bahan tanam yang digunakan. Dengan metode kultur yang tepat, bahan eksplan yang baik, dan kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tepat, akan didapat hasil perbanyakan dengan kualitas plantlet yang baik serta dalam jumlah banyak dalam waktu singkat tanpa tergantung musim.

Teknik kultur jaringan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan -permasalahan tersebut. Pembibitan dilakukan dalam waktu lebih cepat, seragam, dan menggunakan bahan tanam yang sedikit, sehingga biji mahkota dewa juga dapat digunakan sebagai bahan baku obat. Keberhasilan teknik kultur jaringan ini sangat ditentukan oleh jenis bahan tanam, medium, dan zat pengatur tumbuh yang digunakan.

Kemajuan ilmu kimia menyebabkan orang mengenal susunan molekul hormon tumbuhan yang dikenal dengan zat pengatur tumbuh (ZPT), sehingga dapat dimanfaatkan dalam kultur jaringan untuk memacu terbentuknya jaringan tertentu dari organ dengan ukuran kecil sebagai bahan tanam (eksplan) maupun sel-sel kalus yang belum terdiferensiasi.

Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan zat pengatur tumbuh antara lain jenis yang akan digunakan, konsentrasi, urutan


(28)

penggunaan, dan periode masa induksi kultur seperti yang dikemukakan oleh Gunawan (1995).

Berdasarkan konsep George dan Sherrington (1984) bahwa untuk induksi kalus tanaman dikotil diperlukan auksin dengan konsentrasi tinggi dan tetap memerlukan sitokinin pada konsentrasi sangat rendah. Induksi tunas diperlukan sitokinin dengan konsentrasi tinggi dan auksin pada konsentrasi rendah, ada juga induksi tunas dapat dihasilkan dengan penggunaan sitokinin tunggal tanpa auksin. Kultur in vitro tanaman mahkota dewa sejauh ini belum ada penelitian ataupun literatur mengenai hal tersebut. Namun demikian, untuk menentukan konsentrasi auksin dan sitokinin yang diperlukan pada penelitian ini mengacu kepada tanaman lain yang mendekati kesamaan walaupun tidak sefamili. Penelitian kultur in vitro

tanaman lain dengan famili yang sama dengan mahkota dewa yaitu Thymeleaceae juga tidak ditemukan.

Aplikasi teknik in vitro pada tanaman mahkota dewa akan sangat bermanfaat pada aspek pembibitan yang cepat, sehat, dan tersedia berkesinambungan. Selain itu aspek penting dari teknik in vitro adalah senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan melalui kultur kalus. Aspek ini yang nantinya akan berperan dalam bidang agroindustri bidang fitofarmaka dari komoditi mahkota dewa sebagai tanaman obat unggulan Indonesia.

Tujuan

Tujuan penelitian ini yaitu:

1. Mengevaluasi pengaruh taraf konsentrasi BA dan NAA dalam menginduksi tunas mahkota dewa dengan eksplan biji.

2. Mengevaluasi pengaruh taraf konsentrasi 2,4-D dan BA dalam menginduksi kalus mahkota dewa dengan eksplan daun dan biji.

3. Mengevaluasi pengaruh taraf konsentrasi NAA dan BA dalam menginduksi kalus mahkota dewa dengan eksplan daun dan biji.


(29)

Hipotesis

1. Terdapat interaksi antara taraf BA dan NAA dalam menginduksi tunas mahkota dewa dengan eksplan biji.

2. Terdapat interaksi antara taraf 2,4-D dan BA dalam menginduksi kalus mahkota dewa dengan eksplan daun dan biji.

3. Terdapat interaksi NAA dan BA dalam menginduksi kalus mahkota dewa dengan eksplan daun dan biji.


(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Mahkota Dewa

Taksonomi dan Morfologi

Klasifikasi botani mahkota dewa menurut Balitbang Depkes (1999) yaitu: Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Thymelaeales Famili : Thymelaeacae Genus : Phaleria

Spesies : Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.

Mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] termasuk famili

Thymelaeaceae dan memiliki sinonim P. papuana Warb. var. wichnannii (val.) Back. Nama daerah Mahkota Dewa adalah Simalakama (Melayu), Makutadewa, Makuto Mewo, Makuto Ratu, Makuto Rojo (Jawa). Nama simplisia tanaman ini adalah Phaleriae fructus yang berarti buah mahkota dewa (Dalimartha 2003). Nama asing tanaman ini adalah pau (dari bahasa Cina) dan Crown of God

(Inggris).

Mahkota dewa merupakan perdu menahun (Gambar 1) yang tumbuh subur di tanah yang gembur dan subur pada ketinggian 10 - 1200 m dpl. Perdu ini tumbuh tegak setinggi 1 - 2,5 m bahkan ada yang lebih dari 2,5 m. Karakteristik tanaman ini adalah batang bulat, permukaan kasar, warna coklat, berkayu dan bergetah, serta percabangan simpodial. Tanaman ini memiliki daun tunggal, letak berhadapan, bertangkai pendek, bentuk lanset atau jorong, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin , warna hijau tua, panjang 7 - 10 cm, dan lebar 2 - 5 cm.

Berbunga sepanjang tahun letak tersebar di batang atau ketiak daun, bentuk tabung, berukuran kecil, berwarna putih dan harum. Bentuk buah tanaman ini adalah bulat dengan diameter 3-5 cm, permukaan licin, beralur, berwarna hijau pada waktu masih muda dan merah setelah masak (Gambar 1).


(31)

Daging buah berwarna putih, berserat, dan berair. Biji bulat, keras, berwarna coklat. Akar tanaman mahkota dewa adalah tunggang berwarna kuning kecoklatan. Bijinya bersifat racun sedangkan buahnya berkhasiat menghilangkan gatal (antipruritas) dan anti kanker. Daun dan biji digunakan untuk pengobatan penyakit kulit seperti eksim dan gatal-gatal (Dalimartha 2003).

(a) (b)

Gambar 1 Perd u Mahkota Dewa (a) dan Buah Mahkota Dewa (b).

Manfaat dan Kandungan Kimia

Fitokimia merupakan suatu studi mengenai senyawa yang bersifat aktif farmakologis yang terkandung pada tumbuh-tumbuhan, merupakan penelitian dasar yang sangat penting untuk mengetah ui khasiat dan kegunaannya. Penelitian dapat meliputi ekstraksi, isolasi, dan skrining fitokimia. Harbone (1987) menyatakan bahwa skrining dimaksudkan untuk mengetahui jenis/golongan kandungan aktif yang terdapat di dalam suatu tanaman, seperti alkaloid, glikosida, minyak atsiri, dan steroid.

Kandungan kimia tanaman mahkota dewa belum banyak terungkap. Namun demikian ada beberapa penelitian tentang fitokimia, bahwa daun mahkota dewa mengandung antihistamin, alkaloid, saponin, dan polifenol (lignan). Kulit buah mengandung alkaloid, saponin, dan flavonoid. Zat antihistamin yang terkandung dalam mahkota dewa ini yang berguna untuk mencegah berbagai penyakit alergi seperti biduran, gatal, salesma, dan sesak napas. Hal ini telah dibuktikan oleh beberapa penelitian medis dan masyarakat luas yang telah membuktikan secara empiris.

Alkaloid ada yang bersifat antitumor, antara lain yaitu alkaloid pirosilisin, isokinolin, benzofenantridin, indol, sefalotaksus, dan kompetensi (Sutaryadi


(32)

1991). Senyawa aktif dari golongan terpen bersifat iritasi dan karsinogen, seperti croton oil dari Croton tiglium. Forbol yang diisolasi dari Croton berkhasiat sebagai antileukimia.

Kandungan kimia mahkota dewa terdiri atas alkaloid, fenol, tanin, flavonoid, saponin, sterol/terpen. Senyawa toksik yang terdapat dalam buah mahkota dewa adalah lignan dengan rumus molekul C6H20O6 dan telah diketahui

strukturnya (Widowati 2004). Batang mahkota dewa terbukti secara empiris bisa mengobati penderita kanker tulang. Penyakit yang dapat disembuhkan dengan daun mahkota dewa antara lain lemah syahwat, disentri, alergi, dan tumor. Bijinya beracun, oleh karena itu dianjurkan sebagai obat oles untuk aneka penyakit kulit. (Harmanto 2005).

Harmanto (2005) dalam bukunya juga menyatakan bahwa dalam

pengobatan alternatif, mahkota dewa terbukti bisa mengobati berbagai penyakit berbahaya pada manusia, seperti kanker, tumor, diabetes, asam urat, gangguan ginjal, lever, penyakit kulit, menurunkan kolesterol, menambah stamina, dan menghilangkan ketergantungan narkoba. Ekstrak mahkota dewa juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit pada hewan piaraan.

Mahendra (2005) menyatakan bahwa kandungan buah Mahkota dewa terdiri dari golongan alkaloid, tanin, flavonoid, fenol, saponin, lignan, minyak astiri, dan sterol. Senyawa lignan baru yang terdapat pada ekstrak daging buah mahkota dewa berfungsi sebagai antikanker dan antioksidan. Rumus molekul lignan baru tersebut adalah C6H20O6 dan berstruktur 5{4(4methoxyphenyl tetrahydrofuro

-[3,4 – C] furan-1-yl)-benzene-1,2,3, triol}.

Arti Ekonomi Mahkota Dewa

Tanaman mahkota dewa merupakan salah satu tanaman yang memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan menjadi bahan obat, karena tanaman tersebut diketahui mempunyai khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Buah mahkota dewa dapat langsung digunakan dalam bentuk simplisia, yaitu buah dipotong kecil-kecil tanpa terkena bijinya, selanjutnya dioven ataupun dijemur dengan panas matahari. Simplisia tersebut langsung dapat digunakan setelah direbus. Pembuatan simplisia ini bisa dibuat dari daun dan buah.


(33)

Pengolahan hasil mahkota dewa dalam bentuk lain yaitu dalam bentuk serbuk dari buah dan biji, kapsul, tablet, dan liquid yang biasanya dicampur dengan madu. Sisi ekonomi lain yang penting dari mahkota dewa yaitu produksi bahan obat untuk spektrum luas yang mengacu pada suatu proses Agroindustri fitofarmaka, akan menyebabkan suatu keharusan persediaan bahan baku tanaman dengan jumlah sangat besar dalam waktu relatif cepat yang nantinya dapat mengimbangi kontinuitas agroindustri.

Pengembangan obat tradisional ke arah fitofarmaka memiliki peluang pasar yang sangat besar. Selama ini obat-obat fitofarmaka yang berada di pasaran masih kalah bersaing dengan obat paten. Oleh karena itu Sjamsuhidayat (1996) menyatakan bahwa kegiatan yang berkaitan dengan upaya pengembangan tanaman obat meliputi: 1) pemetaan ekonomis flora alami, 2) seleksi dan pembuktian keaslian spesies tanaman, 3) pengumpulan data etnomedik dan etnobotanik, 4) percobaan pemuliaan untuk pengembangan varietas dengan hasil tinggi, 5) budidaya tanaman skala menengah, 6) penelitian kimia kandungan tanaman, 7) penelitian analisis kimia kandungan bahan aktif, 8) penelitian farmakologi dan toksikologi, 9) pembuatan ekstrak tanaman skala pilot plan, 10) standardisasi ekstrak, 11) formulasi ekstrak ke bentuk sediaan obat, 12) penelitian toksisitas terhadap formulasi, dan 13) penelitian analisis produk formulasi.

Perbanyakan Tanaman secara in vitro

Teknik Kultur Jaringan

Kultur jaringan dalam bahasa Inggris disebut tissue culture. Tissue berarti jaringan yaitu sekumpulan sel dengan bentuk dan fungsi yang sama. Culture

berarti kultur yaitu budidaya. Teknik kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi atau mengambil bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, kemudian menumbuhkannya dalam kondisi

aseptic (bebas hama dan penyakit). Selanjutnya bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan menjadi tanaman lengkap (Nugroho & Sugito 1996).

Gunawan (1995) mendefinisikan kultur jaringan dengan suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik yang kaya akan nutrisi


(34)

serta ZPT dalam wadah tertutup yang tembus cahaya agar bagian -bagian tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman lengkap.

Teknik kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan secara in vitro. Pada mulanya teknik kultur jaringan ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran teori totipotensi sel. Akan tetapi berkembang untuk penelitian di bidang fisiologi tanaman dan biokimia.

Menurut Gamborg (1982) kultur jaringan merupakan sejumlah teknik untuk menumbuhkan organ, jaringan, dan sel tanaman. Jaringan dapat dikulturkan secara aseptic dalam medium hara. Kemudahan dalam melakukan kultur tergantung pada jenis tanaman dan asal jaringan.

Prinsip biologi kultur organ dan kultur jaringan, pertama kali diperkenalkan oleh Haberlandt, seorang ahli fisiologi Jerman pada tahun 1902, dengan cara menanam sel pada media buatan, akan tetapi sel tersebut gagal tumbuh. Kemudian tahun 1934, White dari Amerika Serikat berhasil menumbuhkan akar tomat secara

in vitro dengan menambahkan ekstrak ragi dan thiamin. Tahun 1939 White, Goutheret, dan Noubecort melaporkan hasil penelitian mereka yang berhasil menumbuhkan jaringan kalus tanaman dalam suatu media sintetis (Hartman & Kester 1983).

Kultur jaringan menggunakan dasar teori seperti yang telah dikemukakan oleh Schwann dan Schleiden, yaitu bahwa sel memiliki kemampuan otono m atau mampu tumbuh mandiri, bahkan memiliki kemampuan totipotensi. Totipotensi sel merupakan kemampuan setiap sel, pada bagian manapun dari sel tersebut diambil, apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Nugroho & Sugito 1996).

Totipotensi didefinisikan secara sederhana yaitu kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan berkembang bila tersedia lingkungan luar yang sesuai (Mantell

et al. 1985). Seperti juga teori yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli botani pada permulaan abad ke-20 bahwa sel atau jaringan pada tanaman pada dasarnya dapat ditanam terpisah dalam suatu kultur in vitro.

Sekarang ini teknik kultur jaringan tidak hanya dimanfaatkan untuk perbanyakan, tetapi juga untuk tujuan lain seperti mempro duksi senyawa metabolit sekunder, mendapatkan tanaman bebas penyakit terutama virus,


(35)

pemuliaan tanaman bebas penyakit terutama virus, pemuliaan tanaman seperti melalui polinasi in vitro, manipulasi jumlah kromosom, penyelamatan embryo,

membuat tanaman haploid dengan kultur polen, kultur oval, pembuatan tanaman hibrida somatik melalui fusi protoplasma (fusi intraspesifik dan interspesifik), transfer DNA atau organel untuk suatu sifat yang dikehendaki.

Beberapa metode yang ditempuh dalam perbanyakan secara in vitro yaitu: perbanyakan tunas dari mata tunas aksilar dan pembentukan adventif atau somatik embrio adventif, yang meliputi morfogenesis langsung dan morfogenesis tidak langsung (Wattimena 1992). Morfogenesis langsung terjadi karena pembentukannya terjad i langsung dari bagian jaringan eksplan. Morfogenesis tidak langsung karena pembentukannya terjadi setelah melalui tahap pembentukan kalus.

Metode yang pertama yaitu multiplikasi (perbanyakan) tunas dari mata tunas aksilar lebih banyak digunakan dalam usaha perbanyakan tanaman. Telah banyak penelitian yang dilakukan, membuktikan bahwa metode tersebut lebih cepat dalam hal perbanyakan tanaman dan sedikit penyimpangan genetik bahkan tidak terjadi penyimpangan genetik. Morfogenesis tidak langsung yang melalui pembentukan kalus, tingkat penyimpangan genetik yang lebih tinggi dan waktu perbanyakan yang lebih lama.

Syarat awal untuk menerapkan metode kultur jaringan sebagai suatu cara perbanyakan pada suatu tanaman yaitu : (1) kecepatan organogenesis atau embriogenesis untuk pembentukkan plantlet tinggi, (2) plantlet yang dihasilkan secara in vitro harus mampu bertahan di lapang dan penampakan di lapang seperti yang diharapkan atau lebih baik, (3) penggunaan kultur jaringan dapat memberikan keuntungan lebih dibanding sistem perbanyakan secara konvensional, dan (4) sifat -sifat atau karakteristik yang diinginkan harus dapat dipertahankan (Brown & Sommer 1982).

Pemanfaatan teknik kultur in vitro dalam bidang agronomi telah dikemukakan oleh Gunawan (1995) antara lain yaitu membantu perbanyakan vegetatif tanaman dalam rangka penyediaan bibit dari induk superior, membersihkan bahan tanaman/bibit dari virus yang ada dalam tubuh induk, membantu proses konservasi dan preservasi plasma nutfah tanaman dan produksi


(36)

persenyawaan kimia untuk keperluan farmasi dan pewarna untuk industri makanan dan kosmetik di dalam kultur sel.

Menurut George dan Sherrington (1984) ada 2 (dua) macam kemungkinan pertumbuhan tanaman in vitro yaitu pertumbuhan terorganisasi dan pertumbuhan tak terorganisasi. Pertumbuhan terorganisasi terjadi pada bagian-bagian tanaman (organ) seperti titik tumbuh (meristem) pucuk atau akar, daun yang baru/mulai muncul, kuncup bunga, dan buah-buah kecil yang dikulturkan.

Pertumbuhan tak terorganisasi jarang terjadi di alam, seringkali terjadi ketika potongan-potongan tanaman yang dikulturkan secara in vitro. Jaringan -jaringan yang kemudian terbentuk, kekurangan beberapa struktur khas yang dapat dikenali dan hanya berisi sejumlah sel berbeda jenis yang ditemukan pada tanaman lengkap yang selanjutnya disebut kalus.

Organogenesis dari eksplan membentuk tunas melalui kalus atau tanpa kalus tergantung dari ZPT, jenis eksplan, jenis tanaman, dan media yang digunakan. Jenis dan konsentrasi ZPT yang ditambahkan, akan mempengaruhi ZPT yang terkandung dalam jaringan dan selanjutnya akan membentuk arah perkembangan organogenesis dari eksplan. Auksin dan sitokinin merupakan kelompok ZPT yang penting untuk meregenerasikan tanaman dari eksplan. Regenerasi tanaman dapat dilakukan secara langsung atau melalui dua tahap yaitu media induksi kalus dan media induksi tunas adventif.

Eksplan dan Regenerasi Tanaman

Eksplan diartikan sebagai bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur (Gunawan 1988). Eksplan yang ditanam dalam media yang sesuai dapat beregenerasi melalui proses organogenesis. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan eksplan yang tepat adalah pemilihan bagian tanaman sebagai sumber eksplan sebelum dikulturkan (Gunawan 1992).

Pemilihan eksplan yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan suatu tanaman. Jenis eksplan yang digunakan sangat bervariasi tergantung dari spesies, kultivar, dan tujuan yang hendak dicapai. Apabila informasi yang jelas mengenai spesies atau kultivar tanaman yang akan dikulturkan tidak tersedia, dapat dipakai informasi dari spesies atau kultivar yang kekerabatannya paling dekat.


(37)

Bentuk pertumbuhan yang berkembang dari eksplan atau inokulum yang dipakai tergantung pada 2 (dua) hal yaitu potensi genetik tanaman yang dibiakkan serta lingkungan fisik dan kimia tempat tanaman tersebut dibiakkan. Secara umum semua spesies tanaman dapat diperbanyak secara kultur jaringan jika telah diketahui kebutuhan hara, hormon tanaman, dan cara pembiakannya (Hartmann & Kester 1983).

Sumber eksplan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan arah perkembangan morfogenetik. Pemilihan eksplan perlu dipertimbangkan tujuan dari kulturnya. Untuk mendapatkan kalus dan/atau organogenesis, sebaiknya daun berikut tulang daun juga dipergunakan, tetapi pada beberapa spesies terdapat perbedaan dalam kemampuan membentuk tunas adventif (Gunawan 1992).

Murashige (1974) menyatakan bahwa musim ketika eksplan diambil, kualitas tanaman secara keseluruhan, kondisi aseptik media dan eksplan, ukuran dan umur fisiologis tanaman mempengaruhi keberhasilan regenerasi. Keberhasilan kultur jaringan akan lebih besar apabila eksplan yang digunakan masih mempunyai sifat meristematik.

Pemilihan ukuran eksplan juga memerlukan perhatian khusus, tergantung pada tujuan pembiakkan. Apabila ukuran eksplan terlalu kecil (< 20 mm) akan menyebabkan daya tahan tanaman berkurang. Sedangkan ukuran eksplan yang terlampau besar (> 20 mm) menyebabkan eksplan mudah terkontaminasi.

Selanjutnya menurut Katuuk (1989) potongan jaring an atau organ yang dikulturkan dinamakan eksplan. Oleh karena kecilnya potongan jaringan tersebut maka teknik perbanyakan tanaman cara ini dinamakan mikropropagasi. Mikropropagasi terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu mikropropagasi material vegetatif (kultu r meristem, kultur pucuk, kultur tunas adventif, kultur kalus, kultur sel/suspensi, dan kultur protoplas) dan mikropropagasi material reproduktif (kultur polen/anther, kultur ovari dan ovul, kultur embrio, dan kultur biji).

Mikropropagasi mempunyai urutan kerja sesuai dengan perkembangan eksplan (Katuuk 1989). Hartmann dan Kester (1983) telah memisahkan 5 (lima) tahap kegiatan dihubungkan dengan perkembangan eksplan, antara lain yaitu tahap persiapan (tahap 0), tahap inisiasi (tahap I), tahap multiplikasi (tahap II), tahap perakaran/Pre-transplant (tahap III), dan tahap aklimatisasi (tahap IV).


(38)

Regenerasi tanaman melalui kultur jaringan dapat diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu pembentukan tunas samping (aksilar), pembentukan tunas adventif (langsung dari organ maupun dari jaringan kalus) dan embriogenesis somatik (Gunawan 1988). Jaringan muda secara umum mudah membentuk kalus (Gamborg & Shyluk 1981). Regenerasi tunas secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai bagian tanaman seperti batang, tunas pucuk, kotiledon, akar, embrio (Evans et al. 1981), umbi, bulb, buah, dan bagian -bagian bunga (Gamborg & Shyluk 1981), serta daun (Lee et al. 1994). Regenerasi terjadi melalui perimbangan auksin dan sitokinin yang tepat.

Eksplan harus disterilkan sebelum dikulturkan, begitu pula dengan alat dan media yang digunakan harus disterilkan dan disimpan dalam kondisi aseptik (George & Sherrington 1984). Gunawan (1988) menyatakan bahwa beberapa jenis bahan yang digunakan untuk proses sterilisasi eksplan antara lain kalsium hipoklorit, natrium hipoklorit, alkohol, benlate, dan HgCl.

Faktor yang sangat menentukan regenerasi tunas adalah jenis dan konsentrasi ZPT, serta tipe dan umur eksplan. Menurut Hartmann & Kester (1983) ada 5 (lima) tipe regenerasi vegetatif dalam kultur jaringan yaitu kultur meristem, kultur pucuk, inisiasi tunas adventif, organogenesis, dan embryogenesis. Penggunaan teknik in vitro untuk tujuan perbanyakan vegetatif merupakan bidang yang paling maju.

Pelestarian plasma nutfah in vitro mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan cara in situ. Keuntungan tersebut antara lain yaitu hemat dalam pemakaian ruang, dapat menyimpan tanaman langka yang hampir punah, dapat digunakan untuk tanaman yang tidak menghasilkan biji, bebas dari segala gangguan hama dan penyakit, serta dapat disimpan dalam keadaan bebas penyakit (Wattimena 1992).

Medium Kultur Jaringan

Keberhasilan penggunaan metoda kultur jaringan sangat bergantung pada medium yang digunakan. Medium kultur jaringan tanaman tidak hanya terdiri atas unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan unsur karbon yang biasanya dari atmosfer melalui fotosintesis (Karjadi 1996). Seperti dinyatakan juga oleh George dan Sherrington


(39)

(1984) bahwa keberhasilan metode kultur jaringan sangat ditentukan oleh media yang digunakan. Bahan -bahan yang ditambahkan pada media kultur tergantung dari jenis dan fase pertumbuhan tanaman yang dikulturkan (Hartmann & Kester 1983).

Telah difahami bahwa media kultur in vitro mengandung bahan-bahan esensial. Bahan esensial terdiri atas air, garam -garam anorganik, sumber karbon dan energi, vitamin, dan zat pengatur tumbuh tanaman. Nitrogen diperlukan tanaman dalam bentuk NO3- dan NH4+. Ketersediaan nitrogen dalam bentuk NH4+

lebih besar daripada NO3-, dengan perbandingan mendekati 4 : 1. NH4+ didapat

dari senyawa NH4+OH yang merupakan salah satu bahan yang terkandung dalam

komposisi media MS (Lampiran 3). Unsur P diambil oleh tanaman dalam bentuk H2PO4- yang berasal dari KH2PO4 pada media MS. K dibutuhkan tanaman dalam

bentuk garam anorganik. S dan Mg pada media MS tersedia dalam senyawa Mg2SO4.7 H20. Ca pada media MS dalam bentuk garam CaCl.2H20. Unsur –

unsur mikro yang diperlukan terdapat pada larutan stok C, E, dan F pada komposisi media MS (Lampiran 3). Vitamin pada larutan stok G dan H.

Komposisi formulasi dari suatu medium, menurut Wetherell (1982), harus mengandung hara esensial makro dan mikro serta sumber tenaga dan biasanya ditambah ZPT serta agar-agar. Tiap tanaman membutuhkan 6 (enam) unsur hara makro yaitu nitrogen, kalium, magnesium, kalsium, belerang, dan fosfor serta 7 (tujuh) unsur hara mikro yaitu besi, mangan, seng, tembaga, boron, molibden, dan khlor dalam bentuk ikatan kimia dan perbandingan yang sesuai.

Banyak formulasi medium yang ada, masing-masing berbeda dalam hal kuantitas maupun kualitas komponennya. Salah satu formulasi yang banyak digunakan adalah Murashige & Skoog (MS) yang telah ditemukan dan dipublikasi oleh Toshio Murashige dan Skoog pada tahun 1962. Formulasi dasar mineral dari MS ternyata dapat digunakan untuk sejumlah besar spesies tanaman dalam perbanyakan in vitro.

Medium kultur yang memenuhi syarat adalah medium yang mengandung hara makro dan mikro dalam kadar serta perbandingan tertentu, serta sumber tenaga (umumnya digunakan sukrosa). Seringkali mengandung satu atau dua macam vitamin dan zat perangsang tumbuh. Pierik (1987) menyatakan bahwa


(40)

sukrosa merupakan sumber karbon terbaik. Konsentrasi sukrosa yang sering digunakan berkisar antara 1 – 5%.

Sumber karbon yang dapat digunakan adalah sukrosa, glukosa, ataupun fruktosa. Gunawan (1992) menyatakan bahwa vitamin yang sering digunakan dalam media kultur adalah thiamin (B1), asam nikotinat (B3), dan piridoksin (B6).

Penambahan myo-inositol juga dapat memperbaiki pertumbuhan dan morfogenesis tanaman. Gula pasir cukup memenuhi syarat untuk mendukung pertumbuhan kultur (Gunawan 1988). Gula berperan sebagai sumber energi dan berfungsi mengatur tekanan osmotik media. Pada media MS, setengah dari potensial osmotiknya disebabkan oleh gula (George & Sherrington 1984).

Bhojwani dan Razdan (1983) menyatakan bahwa sukrosa yang diautoklaf mempunyai pengaruh yang lebih baik daripada sukrosa yang disterilisasi dengan filter. Selama diautoklaf ternyata sukrosa mengalami hidrolisis menjadi bentuk gula yang kegunaannya lebih efisien. Proses ini terjadi karena kerja enzim invertase yang terdapat dalam dinding sel (Burstorm 1957) atau enzim ekstraseluler yang dilepaskan (Street 1977).

Kondisi Fisik Media

Kepadatan media merupakan kondisi fisik media yang memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman pada kultur in vitro. Kepadatan media dapat berarti media berbentuk padat atau cair. Komposisi kimia antara media padat dan cair adalah sama, yang membedakan adalah penambahan agar-agar sebagai bahan pemadat pada media padat.

Media Murashige dan Skoog (MS) merupakan salah satu jenis media tanam yang banyak digunakan dalam teknik kultur jaringan. Terdapat dua bentuk media tanam yang sering digunakan yaitu media padat dan media cair. Menurut Wattimena et al. (1992) beberapa keuntungan penggunaan media padat yaitu apabila menggunakan eksplan berukuran kecil maka akan mudah terlihat, eksplan berada di atas permukaan media sehingga tidak memerlukan alat bantu untuk aerasi serta tunas dan akar akan tumbuh teratur pada medium yang diam.

Pierik (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan dan diferensiasi organ berbeda sama sekali antara medium cair dengan medium padat. Pada medium cair cenderung membentuk kalus, sedangk an tunas-tunas hampir tidak ada yang


(41)

terbentuk, berlawanan dengan pembentukan tunas-tunas tersebut pada medium padat.

Media padat umumnya lebih disukai dalam kultur organ bahkan cenderung menambah kalus (Stone 1963; Baker & Kinnaman 1973, diacu dalam Bhojwani & Razdan 1983). Menurut Quak (1977) pada media padat konsentrasi agar-agar yang biasa dipakai berkisar antara 0,6 – 0,8%. Agar-agar tidak dicerna oleh enzim tanaman dan tidak bereaksi dengan senyawa-senyawa penyusun media (George & Sherrington 1984). pH media kultur secara umum berkisar antara 5.8 – 6.0.

Kisaran pH tersebut mempengaruhi tekanan osmotik dan memungkinkan pertukaran kation dan anion dari garam-garam anorganik antara media tanam dan sel tanaman. Garam merupakan suatu zat yang dihasilkan karena bersatunya anion dari asam dengan kation dari basa, sedangkan ion H+ dari asam dan ion OH- dari basa bersenyawa merupakan air. pH juga mempengaruhi aktivitas enzim, pada pH tertentu suatu enzim mengubah substrat menjadi hasil akhir. Perubahan pH dapat membalik aktivitas enzim menjadi pengubah hasil akhir menjadi substrat (Dwidjoseputro 1994).

Zat Pengatur Tumbuh

Wattimena (1988) menyatakan bahwa di dalam tubuh tanaman terdapat senyawa khusus pembentuk organ seperti gula, pati, protein, asam-asam organik, asam amino, dan asam nukleat. Selain senyawa-senyawa tersebut, tanaman juga mengandung senyawa-senyawa pendorong dimulainya proses -proses biokimia. Senyawa ini berfungsi sebagai zat pemicu (trigger substances). Zat pemicu tersebut lebih dikenal dengan fitohormon.

Definisi fitohormon menurut Wattimena (1988) yaitu senyawa organik bukan nutrisi tanaman yang aktif dalam jumlah kecil (10-6 – 10-5 M), disintesis pada bagian tertentu tanaman dan umumnya ditranslokasi ke bagian lain dimana zat tersebut menimbulkan respons biokimia, fisiologi, dan morfologi. Fitohormon merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (< 1 mM) mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman.


(42)

Semua hormon tanaman sintetik yang mempunyai sifat fisiologis dan biokimia yang serupa dengan hormon tanaman adalah zat pengatur tumbuh (Wattimena 1992). Dengan demikian, termasuk dalam zat pengatur tumbuh adalah fitohormon dan fitohormon sintetik. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi ZPT yang berada di dalam eksplan. Dengan demikian hal ini akan tergantung dari ZPT endogen dan ZPT eksogen yang diserap dari media tumbuh.

Reinert dan Bajaj (1977) berpendapat bahwa rediferensiasi organ dapat dimanipulasi dengan sasaran utamanya pada pengaruh interaksi hormon tanaman dan unsur ZPT. Interaksi yang tidak kentara antara kelompok-kelompok hormon tumbuh auksin, sitokinin, gibberelin, absisik, dan ethilen baik secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau dalam kombinasi sinergis telah memberikan suatu wawasan hubungan timbal balik keberadaan sel-sel yang berbeda, jaringan dan organ-organ, dalam perkembangan tanaman secara terintegrasi.

ZPT bertindak secara sinergis dalam tindakannya sebagai penyebab respons, seperti yang dinyatakan Gardner et al. (1991). Dalam kultur jaringan, ada 2 (dua) golongan ZPT yang sangat penting, yaitu auksin dan sitokinin. ZPT tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, kultur jaringan, dan kultur organ (Karjadi 1996).

Respons tanaman terhadap ZPT tergantung dari fase pertambahan dan perkembangan tanaman serta genotipe tanaman (Wattimena 1992). ZPT memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan ZPT antara lain yaitu jenis ZPT yang digunakan, konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu (Gunawan 1995).

Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari ZPT yang berada di dalam eksplan. Jadi dalam hal ini tergantung dari ZPT endogen dan eksogen yang diserap dari media tumbuh. Auksin dan sitokinin merupakan kelompok ZPT yang penting untuk meregenerasikan tanaman dari eksplan. Regenerasi tanaman dapat dilakukan secara langsung atau melalui 2 (dua) tahap yaitu media induksi kalus dan media induksi tunas adventif.


(43)

George dan Sherrington (1984) menggambarkan suatu keseimbangan auksin dan sitokinin dalam proses morfogenesis eksplan dalam kultur jaringan yang merupakan perluasan dari konsep Skoog dan Miller pada tahun 1957. Beberapa konsep tersebut yaitu embriogenesis memerlukan nisbah auksin -sitokinin yang tinggi, pembentukan kalus dari tanaman dikotil tetap memerlukan sitokinin disamping auksin yang tinggi. Pada tanaman monokotil pembentukan kalus hanya membutuhkan auksin yang tinggi tanpa sitokinin, pembentukan tunas adventif di samping memerlukan sitokinin dalam taraf konsentrasi yang tinggi tetap diperlukan juga auksin dalam konsentrasi rendah, proliferasi tunas aksilar hanya memerlukan sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi tanpa auksin atau auksin dalam konsentrasi sangat rendah, dan pembentukan akar pada stek in vitro hanya memerlukan auksin tanpa sitokinin atau sitokinin dalam konsentrasi yang rendah sekali.

Wattimena (1988) mengklasifikasi ZPT menjadi 6 (enam) golongan, yaitu auksin, gibberelin, sitokinin, asam absisik (ABA), etilen, dan retardan. Senyawa-senyawa poliamin (putresin, spermidin, spermin), polifenolik dan alkohol berantai panjang (triakontanol) sering digolongkan ke dalam ZPT yang sangat penting dalam kultur jaringan, yaitu auksin dan sitokinin.

Auksin

Auksin ditemukan oleh Frits Went pada tahun 1962 dari asal kata auxein

(bahasa Yunani yang berarti meningkatkan). Auksin tersebut diketahui sebagai asam indolasetat (IAA). Kemudian kelompok hormon dan zat pengatur tumbuh lain yang menimbulkan respons fisiologi seperti yang dihasilkan oleh IAA digolongkan dalam kelompok auksin. Zat pengatur tumbuh yang digolo ngkan auksin antara lain yaitu: asam α-naftalenasetat (NAA), asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D), asam metil-4-klorofenoksiasetat (MCPA), asam 2-naftalosiasetat (NOA), asam 4-klorofenoksiasetat (4 -CPA), asam p

-klorofenoksiasetat (PCPA), asam 2,4,5-tri-klorofenoksiasetat (2,4,5-T), dan asam 3,6-dikloroanisik (dikamba), asam 4-amino -3,5,6-trikloropikolinik (pikloram).

Peran auksin sangat banyak berdasarkan laporan -laporan penelitian, antara lain yaitu membesarkan sel, meningkatkan kandungan asam nukleat sel, mempercepat sintesis protein, meningkatkan dan mempercepat proses


(44)

pembentukan dan degradasi sel, sebagai efektor alosterik beberapa enzim, dan menginduksi terjadinya kalus. Selain itu, peran auksin secara umum pada tanaman yaitu pembelahan sel, dominan si apikal, pembentukan akar baru, pembentukan tunas, dan pembentukan buah partenokarpi (Davies 1995; Wattimena 1988).

Peran auksin yang pertama (Wetherell 1982) adalah merangsang pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman, dan menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru. Peran auksin yang kedua adalah merangsang pembentukan akar. Beberapa eksplan memproduksi auksin secara alami dalam jumlah cukup, tetapi kebanyakan membutuhkan tambahan, paling tidak auksin yang tidak stabil. Penambahan auksin dalam jumlah yang lebih besar, atau penambahan auksin yang lebih stabil, misalnya NAA atau 2,4 -D cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus pada kultur in vitro dan menghambat regenerasi pucuk tanaman.

Menurut Wattimena et al. (1992) auksin terutama untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel, pertumbuhan akar, bersama-sama dengan sitokinin dapat mengatur tipe morfogenesis yang dikehendaki. Selain itu, auksin dalam kultur in vitro

berperan dalam pembentukan kalus, khlorofil, morfogenesis akar dan tunas, serta embriogenesis. Bentuk-bentuk auksin yang biasa ditambahkan ke dalam media kultur adalah 2,4-D, IBA, NAA, dan IAA.

Sitokinin

Sitokinin pertama kali ditemukan oleh Carlos Miller pada tahun 1954, yang pada saat itu menemukan bahwa sitokinin merupakan senyawa sangat aktif yang terbentuk dari hasil penguraian sebagian DNA tua sperma ikan hering atau DNA yang diautoklaf yang menyebabkan kalus tembakau secara terus menerus. Pada tahun 1958 Thimann dari universitas Harvard (diacu dalam Wetherell 1982), menemukan bahwa hormon-hormon sitokinin mampu mengatasi pengaruh dominansi apikal dan berhasil membuktikan bahwa kinetin memacu pertumbuhan tunas lateral. Sitokinin alami ditemukan lebih dari 30 jenis dan terdapat dalam bentuk sitokinin bebas sebagai glukosida atau ribosida. Sitokinin alami yang paling banyak digunakan dalam kultur in vitro yaitu zeatin dan 2-iP (N6-(2-isopentyl) adenin).


(45)

Sitokinin sintetik dapat dibuat dari senyawa-senyawa kimia yang analog dengan sitokinin alami dan mempunyai aktivitas sitokinin yang tinggi. Sitokinin sintetik yang banyak digunakan dalam kegiatan kultur in vitro yaitu kinetin, BA (6-benzyladenin), PBA, 2Cl-4PU, 2,6Cl-4PU, dan thidiazuron. Secara terminologi, sitokinin berfungsi dengan aktivitas yang berkaitan dengan proses pembelahan sel (sitokinesis). Namun demikian masih banyak lagi peran sitokinin, antara lain yaitu menstimulir pembelahan sel, proliferasi kalus, pembentukan tunas, mendorong proliferasi meristem ujung, menghambat pembentukan akar, mendorong pembentukan klorofil pada kalus. Peran sitokinin secara umum pada tanaman yaitu menghambat penuaan, transport zat hara, mendorong proses morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi, pembukaan stomata, pembungaan, dan pembentukan buah partenokarpi (Davies 1995; Wattimena 1988).

Sitokinin digunakan untuk merangsang pembentukan tunas dan memecah dormansi sel (Hartmann & Kester 1983). Selain itu sitokinin juga merupakan ZPT yang berperan dalam mendorong pembelahan sel. Sitokinin alami oleh tanaman adalah zeatin. Sedangkan kelompok sitokinin sintetik yang biasa digunakan diantaranya adalah BA (Wattimena 1988). Regenerasi terjadi melalui perimbangan auksin dan sitokinin yang tepat.

Sitokinin merupakan turunan dari basa adenin, berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan jaringan, morfogenesis (Gunawan 1988), menghambat pembentukan protein dan khlorofil serta menghambat penuaan (senescence) (Wattimena 1988). Semakin tinggi konsentrasi sitokinin maka semakin banyak tunas terbentuk, tetapi pertumbuhan masing -masing tunas terhambat (George & Sherrington 1984; Wattimena 1988; dan Pierik 1987).

Sitokinin bersama-sama auksin diperlukan untuk menginduksi kalus tanaman dikotil, sedangkan untuk tanaman monokotil sitokinin tidak terlalu penting dan pada tanaman ini auksin diperlukan dalam jumlah yang lebih besar (George 1993). Murashige (1974) menyatakan dalam penggunaan ZPT termasuk auksin dan sitokinin harus diperhatikan macam dan konsentrasinya karena ZPT merupakan komponen organik media yang paling kritis. Sitokinin merupakan ZPT


(46)

yang berperan dalam semua fase perkembangan tanaman, dari pembelahan dan pembesaran sel sampai pembentukan bunga dan buah (Skoog & Amstrong 1970).

Penelitian ini menggunakan ZPT NAA dan 2,4-D dari golongan auksin dan BA dari golongan sitokinin. Hal ini didasarkan pada studi pustaka yang memaparkan berbagai penelitian yang menggunakan ketiga ZPT ini pada berbagai kultur jaringan tanaman. Selain itu ada alasan lain untuk menggunakan NAA, BA, dan 2,4-D yaitu adanya sifat ataupun karakter ketiga ZPT tersebut yang cenderung stabil dan tahan terhadap proses sterilisasi dengan autoklaf (Davies 1995).

NAA (Nafthalene Acetic Acid) dan 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetat)

NAA merupakan salah satu auksin sintetik dengan rumus kimia C12H10O2

(Gambar2). 2,4-D juga merupakan auksin sintetik dengan rumus kimia C8H6Cl2O3

(Gambar 2). Auksin sintetik yaitu terdiri atas IAA, IBA, NAA, dan herbisida yang bersifat auksin seperti 2,4 -D, 2,4,5-T, Dicamba, Tordon, 4-CPA, dan Picloram. Peran fisiologis auksin secara umum pada tanaman yaitu mendorong

CH2COO

NAA (BM: 186.21 g/mol)

O CH2COOH

Cl

Cl

2,4 -D (BM: 221.04 g/mol)

CH2

NH

N

N

BA (BM: 225.26 g/mol)


(47)

perpanjangan sel, pembelahan sel, differensiasi jaringan xilem dan fluem, pembentukan akar, pembungaan pada Bromeliaceae, pembentukan bunga betina pada tanaman dioecious, dominan apikal, respons tropisme serta menghambat pengguguran daun, bunga, dan buah (Wattimena 1988).

Guna menginduksi kalus yang bersifat embrionik, ZPT yang biasa digunakan adalah 2,4 -D, kinetin, zeatin, IAA, NAA, BA, dan picloram (Monnier 1990). Auksin 2,4-D merupakan auksin sintetik yang tidak mempunyai ciri-ciri indol, tetapi mempunyai gugus asam asetat yang mempunyai keaktivan biologis seperti IAA. Senyawa 2,4-D merupakan jenis auksin yang paling aktif meskipun untuk beberapa kasus pembentukkan kalus embriogenik NAA (Monnier 1990) dan picloram (George 1993) lebih efektif. Picloram dan 2,4-D dalam konsentrasi tinggi digunakan sebagai herbisida (Wattimena 1988; Hartana 1992).

BA (Benzil Adenin)

BA merupakan sitokinin sintetik dengan rumus kimia C12H11N5 (Gambar 2).

Peran BA secara umum pada tanaman secara fisiologis yaitu mendorong pembelahan sel, morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi, pembukaan stomata, pembungaan, dan pembentukan buah partenokarpi (Wattimena 1988). Peran BA pada kultur in vitro

yaitu dapat menginduksi tunas, baik bersama-sama auksin ataupun penggunaan BA secara tunggal. Selain itu BA bersama – sama auksin juga berpengaruh terhadap pembentukan kalus tanaman dik otil, akan tetapi konsentrasi yang digunakan lebih rendah dari pada auksin.

BA merupakan sitokinin yang paling banyak dipakai dalam kultur jaringan (Zaerr & Mapes 1982; Hu & Wang 1983). Hal ini disebabkan BA lebih stabil, tidak mahal, segera tersedia dan paling efektif digunakan dibandingkan jenis sitokinin lainnya. Zaerr dan Mapes (1982) menyatakan bahwa suksesnya penggunaan BA untuk menghasilkan plantlet dibandingkan dengan penggunaan sitokinin alami diduga disebabkan oleh kemampuan jaringan tanaman untu k memetabolisme hormon-hormon alami lebih cepat dibandingkan dengan ZPT sintetik lainnya.


(48)

Induksi Kalus

Kultur kalus dapat dihasilkan dari sejumlah besar organ tanaman yang beragam seperti akar, tunas, dan daun, atau tipe spesifik sel seperti endosperm dan polen. Untuk inisiasi kalus, secara aseptik transfer eksplan ke dalam media semi solid dan secara halus menekan eksplan ke dalam medium agar sehingga tercipta suatu kontak yang baik. Produksi kalus pada medium agar juga dapat diinduksi dengan penggunaan auksin tunggal, seperti 2,4-D 0.4 µM. Walaupun begitu penambahan sitokinin ke medium juga dapat mendorong proliferasi tunas.

Suatu kombinasi konsentrasi auksin yang tinggi dan konsentrasi sitokinin yang rendah dapat mendorong terbentuknya kalus. Kalus morfogenik yang dihasilkan tanaman tahunan sering menginginkan penggunaan organ sel yang aktif secara mitotic seperti tunas pucuk ataupun bagian meristem yang diisolasi (Dixon 1985). Menurut George dan Sherrington (1984) pemanfaatan teknik kultur jaringan dengan kultur kalus adalah salah satu cara untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder.

Pengaruh ZPT dalam pembentukan kalus telah banyak dibuktikan oleh banyak hasil penelitian, selain itu pengaruh ini juga telah terbukti dalam produksi metabolit sekunder. Kadar alkaloid tertinggi diperoleh pada media MS dengan kombinasi perlakuan 2,4-D 10-6 M dan 10-8 M (Ladd et al. 1992). Hasil penelitian Mukhri et al. (1985) bahwa kalus didapat pada media perbanyakan temulawak secara in vitro. Media yang digunakan adalah media Ringed and Nitsch yang diperkaya dengan BA, NAA, dan 2,4 -D. Kalus didapat pada media yang mengandung 10 mg/l BA dan 15 mg/l NAA. Kalus yang terbentuk akan menghasilkan tunas, akar, embrioid, dan kalus jika dipindahkan ke media yang mengandung 10 mg/l BA dan 1 mg/l 2,4-D.

Eksplan yang telah dipilih dan diisolasi dari tanaman induk dikulturkan dalam medium semi padat yang ditambahkan auksin dengan konsentrasi yang relatif cukup tinggi, dengan atau tanpa sitokinin. Kalus yang terbentuk selanjutnya dipindahkan ke medium dengan auksin rendah untuk merangsang pembentukan struktur yang terorganisir. Tunas dan akar akan terbentuk dari bagian meristematik, pada bagian permukaan dari kalus.


(49)

Sebelum dilakukan regenerasi kalus, kadangkala dilakukan pemecahan kalu s untuk dikulturkan ke medium baru dengan tujuan meningkatkan pembelahan sel. Apabila kalus sudah mencukupi, kemudian diregenerasikan membentuk tunas. Perbanyakan tanaman melalui kalus ini akan menghasilkan tanaman dengan genetik yang bervariasi (Wattimena 1992).

Banyak laporan tentang bagaimana kemampuan jaringan eksplan membentuk kalus dan laju pertumbuhan kalus dapat berbeda-beda. Dari hasil pengujian diketemukan bahwa kemampuan jaringan membentuk kalus dan laju pertembuhan kalus tergantung pada medium, zat pengatur tumbuh yang digunakan, serta faktor lainnya. Menurut Tiara et al. (1997), diacu dalam

Wattimena (1992) kalus yang dihasilkan dari jaringan tanaman dari varietas -varietas yang memiliki hubungan yang cukup dekat juga dapat berbeda dalam tekstur, warna, dan kemampuan morfogenesisnya.

Kalus primer merupakan kalus yang terbentuk dari eksplan pada tahap inisiasi. Kalus embriogenik umumnya diperoleh dari embrio benih, nuselus, atau jaringan meristematik lainnya seperti primordia bunga. Kalus umumnya mudah terbentuk pada media semi padat dengan tambahan auksin pada konsentrasi yang relatif tinggi, salah satu yang banyak digunakan adalah 2,4-D.

Perkembangan kalus menjadi embriogenik tidak memerlukan auksin dan bahkan dapat menghambat pada beberapa jenis jaringan yang memiliki kemampuan embriogenetik tinggi. Kalus yang dihasilkan ada yang memiliki kemampuan embriosomatik dan ada yang sama sekali tidak memiliki kemampuan morfogenetik karena eksplan yang dikulturkan juga mengandung sel atau jaringan yang mampu mengadakan morfogenesis (disebut sebagai sel yang kompeten) dan ada yang tidak (sel tidak kompeten). Sel yang kompeten menjadi sel embriogenik ini bergantung pada kesesuaian medium yang digunakan terutama jenis dan konsentrasi ZPT yang tepat.

Faktor genotipe secara keseluruhan mempengaruhi pola pembentukan organ adventif dari kalus. Kemampuan membentuk tunas dan akar secara terpisah atau embriogenesis dari kalus berbeda antar famili maupun genera. Pembentukan embrio (embriogenesis) dan pengembangan dari embrio pada umumnya memerlukan taraf auksin yang berbeda. Embrio terbentuk dari sel meristematik


(50)

yang mempunyai isi sitoplasma yang penuh (tanpa vakuola). Kisaran ZPT untuk induksi kalus juga dengan kisaran yang sama dengan rata-rata 10.9 µM (≈2.03 mg).

Hasil penelitian Sondahl dan Sharp pada tahun 1977 bahwa eksplan daun

Coffea arabica ditanam pada medium MS + Kinetin 22 µM (≈ 0,43 mg) + 2,4 D 2

µM (≈ 4,862 mg) dapat membentuk kalus dan pada medium MS + Kinetin 2,5 µM (≈ 0,538 mg) + NAA 0,5 µM (≈ 0,09 mg) dapat membentuk tunas dan embrio genesis somatik (Ammirato 1982; Tisserat 1985). Embriogenesis somatik Coffea arabica dari eksplan daun dikulturkan dalam medium MS + kinetin (20 µM) + 2,4 D (5 µM).

Embriogenesis somatik secara langsung menggunakan medium dasar+ kinetin atau B4 (10 – 20 µM) + 2,4 D (0.5 µM) (Sondahl et al. 1984, diacu dalam Wattimena 1992). Pengkalusan eksplan batang tanaman jeruk dilakukan pada medium MS + ME 500 mg /l + BA (4.4 x 10-4) + NAA (5.4 x 10- 4). Segmen daun jeruk yang dijadikan eksplan dikulturkan dalam medium kalus yaitu MS + Kinetin (1.16 µM) + NAA (13.44 µM) + 2,4 D (1.13 µM). Medium pemeliharaan kalus yaitu MS + NAA (2.26 mM). Kemudian untuk menginduksi pembentukan tunas yaitu medium MS + BA (1.1 µM) + NAA (0.5 µM) + ME 500 mg/l (Roy & Vardi 1984, diacu dalam Evans et al. 1984).

Induksi Tunas

Pembentukan tunas secara langsung bergantung pada bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan dan spesies tanaman yang dikulturkan. Pada beberapa spesies, tunas adventif dapat terbentuk dari berbagai organ tanaman seperti daun, batang, petal, atau akar. Sementara pada spesiesspesies lain hanya dari organ -organ tertentu seperti potongan umbi (bulb), embrio atau kecambah (Wattimena 1992).

Produksi tunas adventif in vitro lebih umum dan lebih mudah untuk mengendalikan daripada perkembangan embriosomatik dari eksplan yang dikulturkan (Dixon 1985). Kemampuan membentuk tunas adventif secara langsung dari jaringan eksplan tiap tanaman membentuk tunas secara in vitro


(51)

dapat dilihat dari kemampuannya diperbanyak secara vegetatif di lapangan (in vivo).

Pada beberapa jenis tanaman, kemampuan membentuk tunas melalui kultur aseptik lebih mudah jika dibandingkan secara in vivo, seperti pada tanaman

Chrysanthemum morifolium yang mampu membentuk tunas secara langsung dari jaringan daun petiol, batang, bagian pedikel bunga atau tunas bunga yang masih muda. Pembentukan tunas secara langsung dari jaringan umumnya terjadi pada tanaman dikotil, namun tidak umum pada tanaman monokotil (Wattimena 1992).

George dan Sherrington (1984) membuat kisaran ZPT untuk induksi tunas adventif secara tidak langsung dari tanaman dikotil yaitu NAA dengan kisaran 0.5 - 26.9 µM dengan rata-rata 6.9 µM (≈ 1.3 mg). Eksplan biji kopi yang dikulturkan pada medium B5 + B4 (1 µM) + IAA (2,5 µM), akan membentuk daun dari kotiledon. Eksplan buku tunggal dikulturkan pada medium B5 + BA (25 - 50 µM) + IAA (10 µM) akan membentuk tunas (Sondahl et al. 1984, diacu dalam Wattimena 1992).

Konsentrasi BA untuk induksi kalus yaitu 0.4 - 4.7 µM dengan rata-rata 1.9 µM (≈ 0.43 mg) dan untuk induksi tunas adventif selang konsentrasi BA yaitu 0.05 - 44.4 µM dengan rata-rata 14.5 µM (≈ 3.265 mg/l) (Ammirato 1982; Tisserat 1985).


(1)

(17.36%)

NAA BA

NAA x BA Galat Total KK 41.28%

(17.85%)

1 2 2 24 29

0.024 0.759 0.962 2.466 4.210

0.024 0.380 0.481 0.103

0.23 tn 3.69 * 4.68 *

0.6359 0.0400 0.0192

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1%, tn = tidak nyata, dan (……) = transformasi (x + 0.5)1/2.

Lampiran 25 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap bobot basah kalus eksplan daun mahkota dewa pada media kalus II

Sumber

Keragaman dB JK KT Fhitung Pr > F

NAA BA NAA x BA

Galat Total KK 51.58%

1 2 2 24 29

0.024 0.726 0.007 1.011 1.114

0.024 0.036 0.003 0.042

0.56tn 0.86tn 0.08tn

0.4623 0.4354 0.9262

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1%, dan tn = tidak nyata.

Lampiran 26 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap bobot kering kalus eksplan daun mah kota dewa pada media kalus II

Sumber

Keragaman dB JK KT Fhitung Pr > F

NAA BA NAA x BA

Galat Total KK 50.77%

1 2 2 24 29

0.003 0.001 0.0001

0.024 0.0278

0.003 0.001 0.0001

0.001

2.86tn 0.67tn 0.10tn

0.1037 0.5227 0.9095

Keterangan: * = berbeda ny ata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1%, dan tn = tidak nyata.


(2)

Lampiran 27 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap perubahan warna eksplan biji mahkota dewa pada media kalus II

Sumber

Keragaman dB JK KT Fhitung Pr > F

NAA BA NAA x BA

Galat Total KK 36.76%

(15.87%)

1 2 2 24 29

0.084 0.538 0.351 1.719 2.692

0.084 0.269 0.176 0.072

1.17 t n 3.76* 2.45 t n

0.2910 0.0380 0.1075

NAA BA NAA x BA

Galat Total KK 24.36%

(11.39%)

1 2 2 24 29

0.306 0.185 1.094 1.257 2.842

0.306 0.093 0.547 0.052

5.85 * 1.77 t n 10.45**

0.0235 0.1923 0.0005

NAA BA NAA x BA

Galat Total KK 23.75%

(11.28%)

1 2 2 24 29

0.521 0.168 1.147 1.271 3.108

0.521 0.084 0.574 0.053

9.84** 1.59 t n 10.83**

0.0045 0.2256 0.0004

NAA BA NAA x BA

Galat Total KK 19.64%

(8.66%)

1 2 2 24 29

0.314 0.375 0.016 0.771 1.476

0.314 0.188 0.008 0.032

9.79** 5.84** 0.25 t n

0.0046 0.0086 0.7827

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1%, tn = tidak nyata, dan (……) = transformasi (x + 0.5)1/2.

2 MST

3 MST

4 MST


(3)

Lampiran 28 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap saat inisiasi kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus II

Sumber

Keragaman dB JK KT Fhitung Pr > F

NAA BA NAA x BA

Galat Total KK 18.03%

(4.93%)

1 2 2 24 29

0.047 0.567 0.491 0.640 1.744

0.047 0.283 0.491 0.032

1.48 tn 8.85** 15.33**

0.2383 0.0018 0.0009

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1%, tn = tidak nyata, dan (……) = transformasi Log X.


(4)

Lampiran 29 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap perkembangan kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus II

Sumber

Keragaman dB JK KT Fhitung Pr > F

NAA BA

NAA x BA Galat Total KK 23.72% (8.39%) 1 2 2 24 29 0.068 0.440 0.034 0.305 0.847 0.068 0.220 0.017 0.013 5.33* 17.33** 1.33 tn

0.0298 0.0001 0.2824

NAA BA

NAA x BA Galat Total KK 44.55% (15.01%) 1 2 2 24 29 0.004 0.792 0.060 1.065 1.921 0.004 0.396 0.030 0.044

0.09 tn 8.93**

0.68 tn

0.7673 0.0013 0.5160

NAA BA

NAA x BA Galat Total KK 39.37% (13.13%) 1 2 2 24 29 0.026 0.580 0.028 0.794 1.428 0.026 0.290 0.014 0.033

0.79 tn 8.77**

0.42 tn

0.3829 0.0014 0.6631

NAA BA

NAA x BA Galat Total KK 48.41% (15.91%) 1 2 2 24 29 0.003 0.919 0.016 1.231 2.170 0.003 0.460 0.008 0.051

0.06 tn 8.96**

0.16 tn

0.8078 0.0012 0.8549

NAA BA

NAA x BA Galat Total KK 53.26% (23.16%) 1 2 2 24 29 0.528 0.029 0.820 3.812 5.190 0.528 0.015 0.410 0.159

3.32 tn 0.09 tn 2.58 tn

0.0808 0.9120 0.0964

NAA BA

NAA x BA Galat Total 1 2 2 24 0.600 0.115 0.033 2.712 0.600 0.057 0.017 0.113 5.31* 0.51 tn 0.15 tn

0.0301 0.6079 0.8641 5 MST 3 MST 9 MST 13 7 MST 11


(5)

KK 32.11% (16.05%)

29 3.460

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1%, tn = tidak nyata, dan (……) = transformasi (x + 0.5)1/2.

Lampiran 30 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap viabilitas kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus II

Sumber

Keragaman dB JK KT Fhitung Pr > F

NAA BA

NAA x BA Galat Total KK 107.2%

(47.21%)

1 2 2 24 29

0.016 4.167 0.627 8.958 13.767

0.016 2.083 0.313 0.373

0.04 tn 5.58* 0.84 tn

0.8385 0.0102 0.4442

NAA BA

NAA x BA Galat Total KK 86.38%

(40.11%)

1 2 2 24 29

0.091 2.942 0.967 7.641 11.641

0.091 1.471 0.483 0.318

0.29 tn 4.62* 1.52 tn

0.5973 0.0201 0.2394

NAA BA

NAA x BA Galat Total KK 74.19%

(31.36%)

1 2 2 24 29

0.004 1.119 1.773 4.822 7.718

0.004 0.559 0.887 0.201

0.02 tn 2.78 tn 4.41 tn

0.8871 0.0818 0.0233

NAA BA

NAA x BA Galat Total KK 60.00%

(29.22%)

1 2 2 24 29

0.306 2.526 1.185 5.050 9.067

0.306 1.262 0.593 0.210

1.45 tn 6.00**

2.82 tn

0.2396 0.0077 0.0797

NAA BA

NAA x BA Galat Total KK 54.89%

1 2 2 24 29

0.260 3.441 1.182 4.875 9.758

0.206 1.721 0.591 0.203

1.28 tn 8.47**

2.91 tn

0.2689 0.0016 0.0740 5 MST

9 MST

13 7 MST


(6)

(27.73%)

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1%, tn = tidak nyata, dan (……) = transformasi (x + 0.5)1/2.

Lampiran 31 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap bobot basah kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus II

Sumber

Keragaman dB JK KT Fhitung Pr > F

NAA BA NAA x BA

Galat Total KK 38.60%

(12.96%)

1 2 2 24 29

0.175 0.158 0.029 0.763 0.125

0.175 0.079 0.014 0.032

5.51* 2.49tn 0.45tn

0.0275 0.1045 0.6414

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1%, tn = tidak nyata, dan (……) = transformasi (x + 0.5)1/2.

Lampiran 32 Tabel sidik ragam pengaruh NAA dan BA terhadap bobot kering kalus eksplan biji mahkota dewa pada media kalus II

Sumber

Keragaman dB JK KT Fhitung Pr > F

NAA BA NAA x BA

Galat Total KK 33.77%

(5.45%)

1 2 2 24 29

0.008 0.0003

0.005 0.053 0.066

0.008 0.0002

0.003 0.002

3.61tn 0.08tn 1.22tn

0.0695 0.9269 0.3119

Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1%, tn = tidak nyata, dan (……) = transformasi (x + 0.5)1/2.