Efektivitas Campuran Fag Litik Spesifik pada EPEC K1.1 dan Salmonella P38 sebagai Biokontrol terhadap Penyakit Diare

EFEKTIVITAS CAMPURAN FAG LITIK SPESIFIK PADA
EPEC K1.1 DAN Salmonella P38 SEBAGAI BIOKONTROL
TERHADAP PENYAKIT DIARE

DEBI ARIVO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas campuran fag
litik spesifik pada EPEC K1.1 dan Salmonella P38 sebagai biokontrol terhadap
penyakit diare adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, April2015
Debi Arivo
NIM P051110051

RINGKASAN
DEBI ARIVO. Efektivitas Campuran Fag Litik Spesifik pada EPEC K1.1 dan
Salmonella P38 sebagai Biokontrol terhadap Penyakit Diare. Dibimbing oleh SRI
BUDIARTI dan IMAN RUSMANA.
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) merupakan salah satu bakteri
penyebab diare di negara berkembang terutama banyak menyerang bayi dan
balita. Bakteri EPEC umumnya ditemukan dalam tanah dan air yang menjadi
salah satu penyebab dari foodborne disease dan waterborne disease. Mekanisme
penyebaran foodborne disease dan waterborne disease terjadi akibat cemaran
patogen penyebab penyakit berada dalam makanan dan air sehingga dapat
menyebabkan penyakit infeksi bila dikonsumsi oleh manusia atau hewan. Selain
bakteri EPEC, diare pun dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen lainnya,
salah satunya adalah Salmonella. Salmonella dapat menyebabkan penyakit pada
manusia dengan sindrom gastroenteritis. Bakteri EPEC dan Salmonella
merupakan bakteri penyebab gastroenteritis yang banyak ditemukan di Indonesia

mencemari makanan atau minuman. Beberapa studi melaporkan bahwa galur
Salmonella enteritidis yang diisolasi dari penderita diare di Indonesia resisten
terhadap antibiotik ciproflosaksin dan norflosaksin, S. Typhi resisten terhadap
kloramfenikol, streptomisin, dan tertrasiklin. Dilaporkan bakteri EPEC K1.1 yang
diisolasi dari penderita diare di Depok resisten terhadap antibiotik tetrasiklin dan
ampisilin. Adanya bakteri yang resisten terhadap antibiotik jika mencemari
makanan dan minuman akan menyebabkan penyakit diare dan mempersulit
pengobatan, sehingga diperlukan biokontrol alami yang ramah lingkungan dan
dapat mengatasi bakteri patogen tersebut. Biokontrol alami yang dimaksud adalah
fag litik yang dapat melisiskan sel bakteri. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
diaplikasikan sebagai biokontrol pencemaran air dan makanan sehingga dapat
mencegah penyakit diare akibat infeksi EPEC dan Salmonella.
Fag litik EPEC diisolasi dari limbah cair rumah tangga di daerah Babakan
Raya, Darmaga Bogor. Isolat fag litik yang diperoleh dimurnikan dan dibiakkan,
selanjutnya diamati morfologinya, dilakukan kuantifikasi fag litik, ditentukan
kisaran inangnya, diuji aktivitas campuran fag litik dalam melisis sel EPEC K1.1
dan Salmonella P38, diuji kestabilan penyimpanannya dalam bufer dengan
kondisi suhu yang berbeda, dan dilakukan karakterisasi protein fag litik.
Pada penelitian ini, diperoleh empat isolat fag litik yaitu: FBd1, FBd2, FBd3
dan FBd4 yang didapat dari titik pengambilan sampel yang berbeda. Konsentrasi

fag litik kemudian diukur dengan cara menghitung plak yang terbentuk (Plaque
Forming Unit (PFU)). Fag litik FBd3 memiliki konsentrasi tertinggi, yaitu 3.4 x
106 PFU/mL. Kuantifikasi plak menunjukkan bahwa FBd3 memiliki kemampuan
infeksi terkuat terhadap bakteri EPEC K1.1, sehingga lebih efektif dalam
menginfeksi sel EPEC K1.1 dibandingkan ketiga isolat lainnya. Hal ini
memungkinkan peluang FBd3 untuk dapat diaplikasikan sebagai biokontrol
terhadap penyakit diare.
Uji kisaran inang bertujuan untuk mengetahui spesifisitas fag dalam melisis
sel bakteri yang menjadi inangnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fag litik
FBd3 bersifat spesifik terhadap bakteri EPEC K1.1. Spesifisitas inang FBd3

menunjukkan dugaan bahwa di permukaan sel bakteri EPEC K1.1 memiliki
reseptor-reseptor yang spesifik terhadap fag litik FBd3 yang tidak dimiliki oleh
bakteri lainnya.
Berdasarkan pengamatan morfologi fag litik pada Transmission Electron
Microscope (TEM), FBd3 termasuk kedalam famili Phodoviridae. Morfologi
kepala ikosahedral berdiameter 57.14 nm, ekor pendek non kontraktil berdiameter
12.5 nm dan panjang ekor 33.3 nm. FR38 termasuk kedalam famili Siphoviridae
dengan kepala berbentuk heksagonal ikosahedral berdiameter 72.7 nm, ekor non
kontraktil dengan panjang 100 nm dan berdiameter sebesar 18.2 nm.

Kepala dan ekor fag terdiri dari protein. Protein penyusunnya bervariasi
dan memiliki fungsi yang berbeda. Fungsi tersebut meliputi perlindungan fag
terhadap ketahanannya di lingkungan dan berperan pada proses replikasi sampai
menyebabkan lisis pada bakteri inang. Variasi berat molekul protein dari fag litik
FBd3 dan fag litik FR38 dapat diketahui melalui SDS-PAGE. Variasi berat
molekul protein tersebut mengindikasikan protein-protein penyusun fag litik.
Berat molekul fag litik FBd3 berkisar antara 33 kDa-106.7 kDa. Berat molekul
protein fag litik FR38 berkisar antara 11.4 kDa-133 kDa. Fag litik FR38 memiliki
pita protein lebih banyak dibandingkan dengan fag litik FBd3, hal ini
mengindikasikan bahwa variasi protein penyusun kapsid dan ekor pada fag litik
FR38 lebih banyak dibandingkan dengan fag litik FBd3.
Pengujian efek bufer dan suhu penyimpanan terhadap kestabilan fag litik
menunjukkan bahwa FBd3 lebih stabil disimpan pada bufer ringers pada suhu 4
o
C, hal ini ditunjukkan dengan penurunan plak hanya sebesar 28.94% setelah 9
hari penyimpanan dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang menunjukkan
penurunan plak yang lebih tinggi. Adanya ion Ca2+ dan Mg2+ yang terkandung
dalam bufer Ringers secara bersamaan dapat mempengaruhi viabilitas fag di
lingkungan. Selain itu, penyimpanan fag litik pada suhu 4 oC dapat menghambat
denaturasi protein fag litik dan menghambat proses oksidasi protein yang akan

mengubah bentuk protein yang berpengaruh terhadap kemampuannya dalam
melisis bakteri.
Pengujian efektivitas fag litik dalam melisis bakteri bertujuan agar dapat
diketahui dengan tepat waktu yang dibutuhkan fag dalam mengontrol
berkembangbiaknya bakteri inang. Pengujian efektivitas dilakukan dengan cara
penginfeksian campuran dengan mencampurkan fag litik FBd3 dan FR38 dengan
bakteri inang EPEC K1.1 dan Salmonella P38 kedalam satu medium kultur, serta
penginfeksian tanpa campuran dilakukan dengan menginfeksikan masing-masing
fag litik FBd3 terhadap bakteri EPEC K1.1 dan FR38 terhadap bakteri Salmonella
P38 kedalam masing-masing medium kultur. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penginfeksian dengan campuran fag mampu menurunkan populasi bakteri
EPEC K1.1 sebesar 44.93% dan bakteri Salmonella P38 sebesar 56.09% setelah 8
jam inkubasi pada suhu 37 oC. Penginfeksian tanpa campuran fag mampu
menurunkan populasi bakteri EPEC K1.1 dan Salmonella P38 lebih besar secara
berturut-turut yaitu 49.28% dan 67.12% setelah 8 jam inkubasi pada suhu 37 oC.
Hasil analisis statistik dengan t-tes menunjukkan bahwa penginfeksian campuran
fag litik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan penginfeksian tanpa
campuran fag litik (P>0.05), sehingga penginfeksian campuran fag litik sama
efektifnya dengan penginfeksian tanpa campuran fag litik. Hal ini
mengindikasikan bahwa penginfeksian campuran fag litik dapat digunakan


sebagai biokontrol untuk menurunkan pertumbuhan bakteri EPEC K1.1 dan
Salmonella P38 penyebab penyakit diare.
Kata kunci: Lytic phage, cocktail phage, Salmonella, EPEC.

SUMMARY
DEBI ARIVO. Effectiveness of EPEC K1.1 and Salmonella P38 lytic
phages cocktail as a biocontrol of diarrheal disease. Under direction of SRI
BUDIARTI and IMAN RUSMANA.
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) is one of pathogenic bacteria
causing diarrheal disease transmitted by contaminated water and food. It
commonly attacks babies under five years old in a developing country. The
mechanism of foodborne and waterborne disease distribution occurs when
pathogenic bacteria contaminating water and food are consumed by humans.
Besides EPEC, diarrheal disease can be caused by Salmonella. These bacteria are
the most common causing diarrheal disease in Indonesia. Some study reported
that strains of Salmonella enteritidis isolated from diarrheal patient in Indonesia
are resistance to chiprofloxacin, and norfloxacin. S. typhi is resistance to
chloramphenicol, streptomycine, tetracycline, and trimetropime-sulfometoxazole.
EPEC K1.1 isolated from diarrheal patient in Depok is resistance to tetracycline

and amphicillin. The distribution of antibiotic resistant bacteria will make serious
problem to control the diseases. Application of lytic phage can be a good solution
to reduce antibiotics resistant pathogenic bacteria. The aim of this research was to
study the effectiveness of EPEC K1.1 and Salmonella P38 lytic phages cocktail to
lyse both EPEC and Salmonella cells.
Lytic phages were isolated from domestic waste at Babakan Raya, Darmaga
Bogor. Lytic phages were determined by their plaque morphology, phage
structure, host range, activity to lyse bacterial host cells, stability of phage on
different buffer conditions, and protein characterization.
This reseach obtained four phage isolates classified based on plaque
morphology. The phage isolates were FBd1, FBd2, FBd3, and FBd4. The plaque
forming units analysis showed that FBd3 had the highest concentration phage than
the others. It had phage concentration of 3.4 x 106 PFU/mL. Phage FBd3 was
more effective to infect EPEC K1.1 than the other phage isolates. So that phage
FBd3 can be applied as a biocontrol against diarrheal disease.
Determination of phage host range showed that FBd3 was a specific phage
to EPEC K1.1. The specificity of FBd3 to EPEC K1.1 due to specific receptors of
EPEC K1.1 surface to FBd3 phage.
Based on observations by Transmission Electron Microscope, the
morphology of phage FBd3 is icosahedral head with 57.14 nm in diameter and has

short non-contractile tail with 33.3 nm in length. Whereas phage FR38 is
icosahedral head with 72.7 nm in diameter and has long non-contractile tail with
18.2 nm in length. Based on their characteristics and according to International
Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) FBd3 and FR38 phages were grouped
into Phodoviridae and Siphoviridae respectively.
The effectiveness of phage infection assay showed that the phages could
reduce cell population of EPEC K1.1 and Salmonella P38 after 8 hours of phage
inoculation. Cocktail phages could reduce 44.93% of EPEC K1.1 and 56.09% of
Salmonella P38, whereas treatment with single phage infection could reduce
49.28% of EPEC K1.1 and 67.12% of Salmonella P38 cells after 8 hours of
incubation. However, statistical analysis usingt-test showed that both treatments

of cocktail phage and single phage were not significantly different (P>0.05). It
means that both treatments were equally effective to reduce the bacteria. So that
treatment of phage cocktail can be used as a biocontrol against diarrheal disease.
Lytic phage FBd3 had good storage stabillity in Ringers buffer at low
temperature (4 oC), it showed that plaque of phage FBd3 was decreased up to
28.94% after 9 days of storage. Lytic phage storage at low temperature can
inhibits protein denaturation of the phage affecting to phage viability.
Capsid and tail of phage consists of protein. The protein contained in lytic

phage is vary and has different functions. Protein characterization of FBd3 and
FR38 phages by SDS-PAGE indicated that the phages had different size of
protein. FBd3 has protein with molecular weight of 33 kDa, 49 kDa, 57 kDa, 77
kDa, and 106.7 kDa. FR38 phage has protein with molecular weight of 11.4 kDa,
19.6 kDa, 23 kDa, 33 kDa, 58.3 kDa, 77 kDa, 94.5 kDa, and 133 kDa. It indicates
that FR38 lytic phage has more different type of proteins composition than FBd3
lytic phage.
Keywords: Lytic phage, cocktail phage, Salmonella, EPEC.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

EFEKTIVITAS CAMPURAN FAG LITIK SPESIFIK PADA

EPEC K1.1 DAN Salmonella P38 SEBAGAI BIOKONTROL
TERHADAP PENYAKIT DIARE

DEBI ARIVO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar komisi pada Ujian Tesis : Dr drh Sri Murtini, MSi

Judul Tesis : Efektivitas Campuran Fag Litik Spesifik pada EPEC K1.1 dan
Salmonella P38 sebagai Biokontrol terhadap Penyakit Diare

Nama
: Debi Arivo
NIM
: P051110051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr dr Sri Budiarti
Ketua

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Bioteknologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Suharsono, DEA

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:31 Maret 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 sampai Agustus 2014 ini
berjudul ―Efektivitas Campuran Fag Litik Spesifik pada EPEC K1.1 dan
Salmonella P38 sebagai Biokontrol terhadap Penyakit Diare‖. Penelitian ini
bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis PPSHB
Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium TEM Eijkman Jakarta.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Dr. Sri Budiarti selaku
ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si selaku
anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,
saran, nasihat, serta solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis
selama melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Selain itu,
penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu Dr. Drh. Sri Murtini, M.Si
selaku penguji luar komisi pada ujian tesis, dan Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA
selaku Ketua Program Studi Bioteknologi IPB atas bantuan, motivasi, dan
nasehat selama menempuh pendidikan di Pascasarjana IPB. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia melalui program Beasiswa Unggulan DIKTI atas kepercayaannya
telah memberikan beasiswa untuk menempuh pendidikan di Pascasarjana IPB
dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk bantuan dana
penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitiannya dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Asnita Dewi dan Teteh
Pipit selaku teknisi di laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis, PPSHB
IPB, Pak Pras selaku teknisi di laboratorium di Biologi Tumbuhan, IPB dan Pak
Jaka selaku teknisi di laboratorium Mikrobiologi, IPB. Terima kasih juga kepada
Mbak Ita selaku peneliti di laboratorium TEM dan Histologi, Lembaga Eijkman
Jakarta. Mba Hamtini atas bantuannya selama ini, dan teman-teman tim
bakteriofag, program studi, beda program studi, dan satu tempat penelitian yang
tidak bisa disebutkan satu-persatu. Selaksa cinta dan terima kasih penulis
persembahkan untuk Ibu, Bapak, kakakku, dan adikku atas perhatian, dukungan,
dan doa yang senantiasa diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015
Debi Arivo

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

XVI

DAFTAR GAMBAR

XVI

DAFTAR LAMPIRAN

XVI

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Diare
Karakteristik EPEC
Karakteristik Salmonella
Penelitian dan Aplikasi Fag Litik

3
3
4
5
6

3 METODE PENELITIAN
Kerangka Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Prosedur Penelitian

8
8
9
9
9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

13
13
19

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

24
24
25

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL

1 Isolasi fag litik dengan inang bakteri EPEC K1.1
13
2 Hasil kuantifikasi fag litik dengan inang bakteri EPEC K1.1 dan Salmonella
P38
14
3 Konsentrasi protein fag litik melalui uji Bradford
16

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Diagram alir tahapan metode penelitian
Pola keragaman plak fag litik
Spesifisitas inang fag litik EPEC K1.1
Morfologi fag litik dengan Transmission Electron Microscope
Pita protein fag litik melalui SDS-PAGE
Kestabilan fag litik dalam bufer pada suhu dingin dan suhu ruang
Efektivitas campuran fag dalam melisis bakteri inang
Efektivitas tanpa campuran fag dalam melisis bakteri inang
Persen penurunan jumlah bakteri setelah diinfeksi fag litik`

8
14
15
16
17
17
18
19
19

DAFTAR LAMPIRAN
1 Total plate Count (TPC) bakteri EPEC K1.1 dan Salmonella P38
2 Komposisi bufer SM dan bufer ringers
3 Diagram alir tahapan pewarnaan gel dengan Silver Stain

31
31
32

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Enteropathogenic Eschericia coli (EPEC) merupakan salah satu bakteri
penyebab diare di negara berkembang yang terutama banyak menyerang bayi dan
balita (Ngunyen et al. 2006). Bakteri EPEC umumnya ditemukan dalam tanah dan
air serta dapat mencemari makanan (Jay et al. 2006). Bakteri EPEC akan melekat
pada mukosa usus dan menyebabkan kerusakan sehingga menyebabkan hilangnya
kemampuan mukosa usus dalam menyerap air, elektrolit, dan nutrisi sehingga
menyebabkan diare (Kaper et al. 2004). Diare merupakan salah satu foodborne
disease dan waterborne disease. Mekanisme penyebaran foodborne disease dan
waterborne disease terjadi akibat patogen penyebab penyakit berada dalam
makanan dan air yang tercemar sehingga dapat menyebabkan infeksi bila
terminum atau termakan oleh manusia atau hewan (Jay et al. 2006). Selain bakteri
EPEC, diare pun dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen lainnya seperti;
Shigella, Salmonella dan Campylobacter (Zein et al. 2004). Salmonella dapat
menyebabkan penyakit pada manusia dengan sindrom gastroentritis (Carey et al.
2006). European Food Safety Authority (EFSA) (2014) melaporkan bahwa
penduduk di beberapa negara kawasan Eropa pada pertengahan tahun 2007 hingga
tahun 2013 telah terinfeksi oleh Salmonella enteritidis melalui kontaminasi telur.
Kebanyakan jenis Salmonella tinggal di saluran pencernaan hewan dan ditularkan
kepada manusia melalui konsumsi makanan asal hewan (Echeverry 2007). Jika
telur yang terkontaminasi Salmonella tidak dimasak dengan baik kemudian
dikonsumsi oleh manusia maka dapat menimbulkan penyakit diare.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan pada penderita diare selain
menimbulkan efek samping yang berbahaya juga dapat beresiko timbulnya
resistensi bakteri terhadap antibiotik (Saga danYamaguchi 2009). Budiarti (1998)
melaporkan bahwa bakteri EPEC K1.1 yang telah diisolasi bersifat resisten
terhadap tetrasiklin dan ampisilin. Oliveira et al. (2006) menyatakan beberapa
isolat Salmonella yang diisolasi dari bangkai ayam bersifat multi resisten terhadap
antibiotik kanamisin, enroflosaksin, neomisin, fosfomisin, sulfonamid dan
nitrofurantoin. Kusumaningrum et al. (2012) melaporkan bahwa beberapa isolat
Salmonella yang diisolasi dari produk segar berupa ayam potong, daging sapi,
daging giling, ikan dan sayuran yang berasal dari pasar tradisional dan
supermarket di Bogor menunjukkan resistensi terhadap antibiotik kloramfenikol,
eritromisin, tetrasiklin, sulfametoksazole dan streptomisin. Resistensi antibiotik
tidak hanya terjadi pada bakteri patogen saja, tetapi juga pada bakteri sebagai flora
normal. Budiarti (2011) melaporkan bahwa E.coli yang bertindak sebagai flora
normal di usus diisolasi dari feses bayi, balita dan dewasa bersifat resisten
terhadap antibiotik. Adanya bakteri EPEC dan Salmonella yang resisten terhadap
antibiotik akan mempersulit pengobatan, sehingga diperlukan biokontrol alami
yang ramah lingkungan dan dapat mengatasi perkembangan bakteri patogen
tersebut.
Fag litik memberikan suatu metode alami dan non toksik untuk mereduksi
dan mengontrol pertumbuhan bakteri patogen manusia karena fag adalah bagian
dari gastrointestinal dan ekosistem lingkungan (Ackerman dan Dubow 1987;

2
Hagens dan Loessner 2010). Terapi menggunakan campuran fag litik dapat
memberikan solusi untuk menanggulangi penyakit diare dan lebih aman
dibandingkan dengan menggunakan obat-obatan. Terapi menggunakan fag litik
lebih menguntungkan karena mampu melisis bakteri target yang spesifik
dibandingkan dengan antibiotik (Gu et al. 2012).
Banyak studi telah melaporkan tentang penggunaan fag sebagai pengganti
antibiotik untuk menanggulangi pertumbuhan bakteri patogen. Penggunaan fag
Listex P100 untuk menanggulangi pencemaran Listeria monocytogenes pada
produk makanan mentah dan siap saji telah diijinkan oleh Food and Drug
Administration (FDA) dan Departement of Agriculture’s Food Safety and
Inspectin Service (USDA) di Amerika Serikat (Soni et al. 2010). Selain itu,
Sartika et al. (2012) melaporkan bahwa pemberian fag litik FR38 untuk
mereduksi cemaran Salmonella P38 pada tikus tidak menunjukkan adanya
kelainan pada fungsi hati, ginjal, dan hematologi darah dan dinyatakan aman
secara in vivo. Budiartiet al. (2011) melaporkan isolat fag litik FB4 dapat melisis
bakteri EPEC K1.1 resisten antibiotik sebesar 85% selama 24 jam. Fag litik FA9
yang diisolasi dari lingkungan perairan dapat melisiskan Photobacterium
damselaer esisten antibiotik (Novianty et al. 2014). Penggunaan campuran fag
yang terdiri dari SP15, SP21, dan SP22 dapat mereduksi E. coli patogen pada
saluran pencernaan tikus (Tanji et al. 2005). Fu et al. (2010) melaporkan
penggunaan campuran fag dapat mereduksi bakteri Pseudomonas aeruginosa
yang membuat biofilm pada peralatan medis yang dapat menyebabkan infeksi
terhadap pasien. Penggunaan campuran fag spesifik terhadap bakteri
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus dapat efektif
menyembuhkan pasien luka bakar (Merabishvili et al. 2009). Campuran fag tidak
hanya digunakan dalam dunia medis saja, Leverentz et al. (2004) melaporkan
penggunaan campuran fag dapat mereduksi bakteri Listeria monocytogenes yang
menginfeksi pada buah melon madu. Selain itu, campuran fag digunakan pada
pakan ayam untuk mereduksi bakteri Salmonella dan Campylobacter (Goode et
al. 2003).
Fag litik memiliki pertumbuhan yang optimal agar dapat melisis sel inang,
sehingga diperlukan lingkungan yang sesuai agar fag litik dapat menginfeksi sel
inang dan bereplikasi dengan baik (Chandra et al. 2011). Adanya faktor
lingkungan seperti suhu dan bufer diduga berpengaruh terhadap kerusakan
struktur elemen seperti kepala, ekor, protein, dan perubahan struktur DNA
sehingga mempengaruhi produksi fag litik. Listya (2012) melaporkan bahwa fag
litik FR38 memiliki kestabilan terbaik pada suhu 27 oC dan 37 oC, serta stabil
pada penyimpanan di dalam bufer SM.
Penelitian efektivitas campuran fag litik spesifik pada EPEC K1.1 dan
Salmonella P38 penyebab penyakit diare belum pernah dilakukan, sehingga
penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui kemampuan campuran fag litik
sebagai biokontrol terhadap penyakit diare.

3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas campuran fag
litik spesifik pada bakteri EPEC K1.1 dan Salmonella P38 dalam melisis
inangnya.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi biokontrol pencemaran air dan
makanan sehingga dapat mencegah penyakit diare.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi isolasi dan pemurnian fag litik EPEC
K1.1, perbanyakan fag litik EPEC K1.1 dan fag litik FR38, pengujian kisaran
inang fag litik EPEC K1.1, pengamatan morfologi fag litik EPEC K1.1 dan fag
litik FR38 dengan menggunakan Transmission Electron Microscope (TEM),
karakterisasi protein fag litik EPEC K1.1 dan fag litik FR38, efek bufer dan suhu
penyimpanan terhadap kestabilan fag litik EPEC K1.1, dan aktivitas fag litik
EPEC K1.1 dan fag litik FR38 dalam melisis sel inang.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Diare
Penyakit diare adalah penyakit yang ditandai dengan tinja atau feses
berubah menjadi lembek atau cair dengan kandungan air tinja lebih banyak dari
pada biasanya atau dengan frekuensi lebih dari tiga kali dalam 24 jam yakni lebih
dari 200 gram (Simadribata 2007). Penyakit ini merupakan salah satu foodborne
disease dan waterborne disease yang sering terjadi di negara berkembang dan
dapat menimbulkan kematian apabila tidak ditangani dengan baik. Penyakit diare
merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di
seluruh dunia yang menyebabkan sekitar satu biliun kejadian sakit dan 3-5 juta
kematian setiap tahunnya (Thapar dan Sandreson 2004). Pada tahun 2009,
penyakit diare menyebabkan lebih dari 1.5 juta kematian pada anak-anak berumur
dibawah 5 tahun (WHO 2009). Di Indonesia, diperkirakan ditemukan penderita
diare sekitar 60 juta kejadian setiap tahunnya yang sebagian besar (70-80%) dari
penderita ini adalah anak balita (Widoyono 2008).
Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang
menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan
perdarahan dalam feses. Pada dasarnya, mekanisme terjadinya diare akibat bakteri
enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa
kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus (Zein et al. 2004). Faktor resiko penyebab penyakit diare
yang paling banyak diteliti adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini
berkaitan dengan sanitasi meliputi sarana air bersih (SAB), jamban, kualitas

4
bakterologis air, Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL), dan kondisi rumah
(Adisasmito 2007).
Karakteristik EPEC
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) merupakan bakteri berbentuk
batang, gram negatif, anaerob fakultatif, menghasilkan protease ekstraseluler,
tidak membentuk spora, metabolisme fermentatif, dan bersifat motil dengan
memiliki flagella peritrikus (Gomes et al. 2004). Bakteri EPEC didefinisikan
sebagai E. coli yang termasuk serogroup yang secara epidemiologi merupakan
patogen, tetapi mekanisme virulensinya tidak terkait dengan ekskresi atau
dihasilkannya enterotoxin E. coli yang khas. Bakteri EPEC termasuk dalam
famili Enterobacteriaceae yang sering menyebabkan penyakit diare pada bayi
(Infantile diarrhoea). Istilah EPEC dikemukakan oleh Neter pada tahun 1950-an
berdasarkan pada uji serotipe (Nataro dan Kaper 1998; Ngunyen et al. 2006).
Diare berair umumnya disebabkan oleh perlekatan bakteri dan perubahan
integritas usus secara fisik. Diare berdarah disebabkan oleh perlekatan bakteri dan
proses perusakan jaringan yang akut. Faktor virulensi yang dimiliki oleh suatu
bakteri merupakan kemampuan suatu bakteri patogen untuk menyebabkan suatu
penyakit. Faktor virulensi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu faktor virulensi
yang memungkinkan bakteri untuk melakukan kolonisasi, seperti; pili, fagella,
motilitas, kemotaksis dan protease ekstraseluler, serta faktor virulensi yang
mengakibatkan kerusakan pada inang dengan memproduksi eksotoksin dan
endotoksin (Ju Wu et al. 2008).
Patogenitas bakteri EPEC diperlukan faktor virulensi dalam tiap tahapnya
yang berperan untuk mengalahkan sistem pertahanan inang. Berdasarkan pada
perannya, faktor virulensi EPEC yang terlibat dalam proses patogenitasnya
dibedakan menjadi dua, yaitu faktor virulensi pasif yang berperan dalam
mempertahankan diri dari sistem pertahanan inang dan faktor virulensi aktif yang
berperan untuk melemahkan dan menghancurkan sistem pertahanan inang. Bakteri
EPEC bersifat patogenik yang menyerang dan membuat radang lapisan dari usus
kecil dan usus besar, selanjutnya membentuk luka dan menghancurkan mikrofili
saluran pencernaan (Kaper et al. 2004).
Bakteri EPEC biasanya diperoleh dengan meminum air yang tercemar atau
memakan makanan yang tercemar seperti sayuran, unggas, dan produk-produk
susu. Bakteri EPEC menyebabkan penyakit yang bersifat foodborne disease dan
waterborne disease (CDC 2003). Sel EPEC yang melekat pada sel inang
menyebabkan terjadinya kerusakan aktin dan mikrofili sel-sel mukosa yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan mukosa untuk mengabsorbsi air hingga
terjadi diare (Kaper et al. 2004).

Karakteristik Salmonella
Bakteri Salmonella merupakan anggota famili dari Enterobacteriaceae,
merupakan bakteri gram negatif, anaerob fakultatif, tidak berspora, uji oksidase
negatif, uji katalase positif dan berbentuk batang. Habitat normalnya adalah di
dalam saluran pencernaan (Cox 2000; Mirzaie et al. 2010 ). Lebih dari 2000

5
serotip Salmonella adalah patogen, salah satunya yaitu penyebab gastroenteritis
atau lebih dikenal dengan diare. Bakteri Salmonella memiliki dosis infektif 104
sampai 108 sel dengan lama inkubasi 5-72 jam, normal 12-36 jam (Sørensen
2006). Sebagian orang yang terinfeksi Salmonella enteritidis umumnya menderita
diare (Blackburn dan McClure 2003). Salmonella secara alami hidup di saluran
gastrointestinal hewan baik yang terdomestikasi maupun yang liar. Infeksi bakteri
Salmonella Pada manusia dapat mengakibatkan penyakit dengan gangguan pada
bagian saluran pencernaan atau gastroenteritis dan penyakit akibat infeksi
Salmonella disebut salmonellosis (Marriot 1999; Forshell dan Wierup 2006).
Bakteri Salmonella masuk melalui makanan yang dicerna dalam lambung dan
berkoloni di ileum dan kolon, kemudian masuk kedalam epitel usus dan terjadi
proliferasi epitel (Zein et al. 2004).
Salmonella menyebabkan jutaan kasus penyakit salmonellosis pada manusia
dan hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan di seluruh
dunia (Nogrady et al. 2008). Faktor virulensi yang menyebabkan patogenitas
Salmonella yaitu lipopolisakarida (LPS) dan pili (Cogan dan Humprey 2003).
Salmonella akan menginvasi usus halus inang dan akan berkembang di sel epitel.
Salmonella akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan reaksi radang dan
akumulasi cairan di dalam usus. Salmonella akan berkembang di sel epitel dan
menghasilkan enterotoksin yang akan mengganggu sekresi air dan elektrolit
sehingga menyebabkan diare (Jones et al. 2008). Enterotoksin yang dimiliki
Salmonella dapat merusak mukosa yang dapat menyebabkan ulkus sehingga feses
yang dihasilkan tidak hanya lebih encer tetapi disertai dengan darah.
Pada pertengahan tahun 1980-an, infeksi yang disebabkan oleh bakteri S.
Enteritidis yang mengkontaminasi telur mewabah hingga di sekitar timur laut
Amerika Serikat. Kemudian pada dekade berikutnya, menyebar hingga ke daerah
barat dan timur Amerika Serikat. Salmonella enteritidis yang menginfeksi
manusia menyebabkan penyakit diare (Blackburn dan McClure 2003). Adanya
penyebaran penyakit ini dikaitkan dengan kontaminasi telur oleh S. enteridis
(Galis et al. 2013). Cooper (1994) melaporkan Salmonella dapat menyebabkan
penyakit salmonellosis dengan jumlah kurang dari 103 CFU/gr makanan.
Penyebab utama infeksi oleh S. enteridis adalah berasal dari makanan yang diolah
menggunakan hewan yang terinfeksi, kurang dimasak dan makanan yang
terkontaminasi sebelum dikonsumsi (Chandra et al. 2011). Umumnya bakteri
Salmonella tinggal di saluran usus hewan dan ditularkan kemanusia melalui
kontaminasi makanan yang berasal dari hewan. S. enteridis dapat menginfeksi
ovarium ayam yang sehat dan mencemari telur sebelum cangkang terbentuk.
Siapa pun dapat terinfeksi oleh penyakit salmonellosis, terutama orang tua, balita,
dan orang dengan sistem imun yang rendah. Pada orang-orang ini, sejumlah kecil
S. enteridis dapat menyebabkan penyakit yang parah (Nogrady 2008).

Penelitian dan Aplikasi Fag Litik
Bakteriofag atau disebut juga dengan fag merupakan virus yang
menginfeksi bakteri, bersifat parasit obligat intraseluler yang berkembangbiak di
dalam bakteri dan menggunakan beberapa atau semua mesin biosintetik inang
untuk perbanyakannya (Goodridge et al. 2003). Fag ditemukan oleh Frederick W.

6
Twort di Inggris pada tahun 1915 dan Felix d’Herelle dari Pasteur Institute pada
tahun 1917. Fenomena yang diamati Twort yaitu bahwa koloni bakteri kadangkala
terjadi lisis. Sifat tersebut dapat ditularkan dari satu koloni ke koloni lainnya.
Kemudian Twort berkesimpulan bahwa agen penyebab lisis adalah virus.d’Herelle
menemukan hal yang sama pada tahun 1917, sehingga diberi nama fenomena
Twort-d’Herelle (Pelczar dan Chan 2007).
Umumnya fag berukuran 24-200 nm. T4 merupakan jenis fag dengan
ukuran terbesar dengan panjang 200 nm dan lebar 80-100 nm. Semua fag terdiri
dari struktur kepala yang dapat bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Kepala
bertindak sebagai pelindung penutup yang membungkus asam nukleat. Beberapa
fag memiliki ekor yang melekat pada kepala fag. Ekor berbentuk seperti tabung
hampa yang dapat dilewati oleh asam nukleat pada proses infeksi. Pada ujung
ekor, seperti pada T4 terdapat plat dasar dan terdapat serat ekor yang melekat
berjumlah satu atau lebih. Plat dasar dan serat ekor dilibatkan dalam pengikatan
fag ke sel bakteri (Goodridge et al. 2003). Fag banyak digunakan dalam berbagai
aplikasi sebagai metode pengendalian biologis, karena fag hanya dapat bereplikasi
didalam sel inang (Doyle et al. 2007).
Fag dapat ditemukan secara luas di alam, dan dapat diisolasi dari tanah,
limbah, perairan, jaringan tubuh yang terinfeksi penyakit, dan pada kotoran (Tan
et al. 2008). Fag yang sangat umum di lingkungan dengan konsentrasi besar telah
terdeteksi berada di sampel limbah cairan, yaitu sebesar 2.5 x 108 fag dalam 1 ml
air (Ashelford et al. 2003). Berdasarkan sistem klasifikasi The International
committee on Taxonomy of viruses (ICTVdB Index of Viruses 2000), dimasukkan
kedalam ordo Caudovirales dengan ciri memiliki ds-DNA dan berekor. Jika fag
tersebut berekor kontraktil maka dimasukkan ke dalam famili Myoviridae, jika fag
tersebut berekor pendek maka dimasukkan ke dalam famili Podoviridae, dan jika
fag tersebut berekor seperti tabung yang meruncing maka dimasukkan ke dalam
famili Siphoviridae.
fag dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fag litik dan fag lisogenik. fag litik
dikenal bersifat virulen, sedangkan fag lisogenik dikenal dengan fag temperate
(Thiel 2004). Fag litik melakukan infeksi terdiri dari 5 tahap, yaitu tahap adsorpsi,
tahap penetrasi, tahap sintesis, tahap pematangan dan tahap lisis. Fag litik yang
menginfeksi sel inang akan membentuk sejumlah fag baru kemudian akan melisis
sel inang dan kemudian menginfeksi sel lainnya (Tortora et al. 2006). Pada tahap
adsorpsi, serat ekor fag akan mengenali dan mengikat reseptor spesifik pada
permukaan sel inang. Reseptor dapat berupa LPS, flagela, pili, karbohidrat, atau
protein membran dinding sel (Cogan dan Humprey 2003). Ekor fag dapat
menembus sel bakteri karena memiliki enzim lisozim yang dapat merusak struktur
permukaan membran sel bakteri, sehingga fag dapat menyuntikkan materi
genetiknya kedalam sel bakteri (Guttman et al. 2005).
Penemuan dan penelitian fag telah banyak dilakukan sejak Ernest Hanbury
Hankin melakukan pengamatan pertama kali terhadap aktivitas fag yang
menginfeksi Vibrio cholerae di India pada tahun 1896 (Skurnik dan Strauch
2006). Terapi fag telah digunakan untuk melawan penyakit infeksi pada kulit,
tulang, saluran gastrointestinal, dada, abdomen, kepala, leher, dan sistem organ
tubuh lainnya. Pada tahun 1990-an, industri yang bergerak dibidang bioteknologi
mulai menyelidiki terapi fag di negara-negara barat. Terapi menggunakan fag

7
lebih menguntungkan, karena lebih spesifik, akurat, dan lebih kuat dibandingkan
dengan antibiotik (Guet al. 2012).
Banyak studi telah melaporkan tentang aplikasi penggunaan fag dalam
mereduksi pertumbuhan bakteri patogen atau sebagai pengganti antibiotik untuk
penyembuhan infeksi bakteri patogen. Pada tahun 1921, Bruynoghe dan Maisin
menginjeksikan fag pertama kali pada pasien yang terinfeksi bakteri
Staphylococcus dan berhasil menurunkan panas pasien setelah 48 jam (Abedon et
al. 2011). Gu et al. (2012) melaporkan bahwa campuran fag litik yang terdiri dari
GH-K1, GH-K2, dan GH-K3 dapat melisis Klabsiella dan lebih efektif
dibandingkan dengan menggunakan satu jenis fag saja. Selain itu campuran fag
juga dapat mengurangi frekuensi mutasi Klabsiella sehingga campuran fag
berpotensi sebagai agen terapeutik unggul terhadap bakteri multi resisten
antibiotik. Penggunaan campuran fag yang terdiri dari SP15, SP21, dan SP22
dapat mereduksi E. coli yang resisten antibiotik dilaporkan oleh Tanji et al.
(2005). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Fu et al. (2009), penggunaan
campuran fag dapat mereduksi bakteri Pseudomonas aeruginosa yang membuat
biofilm pada peralatan medis yang dapat menyebabkan infeksi pada pasien.
Pengobatan P. aeruginosa terkait penyakit ostitis kronis telah dilaporkan oleh
Wright et al. (2009) dengan menggunakan campuran fag yang mengandung enam
fag pada 105 PFU diaplikasikan langsung ketelinga pasien. Kemudian diamati
setelah 6 jam pasca perawatan, kemudian pada hari ke 7, 24, dan 42 menunjukkan
hasil yang cukup signifikan. Penggunaan campuran fag dapat dikonsepkan
sebagai upaya untuk memperluas utilitas formulasi fag, dan untuk mencegah
perkembangan fag yang resisten terhadap bakteri mutan selama perawatan
individu (Chan et al. 2013). Aplikasi fag terhadap biokontrol pencemaran
makanan diantaranya fage spesifik Salmonella dan Campylobacter yang diberikan
pada pakan ayam (Goode et al. 2003), fag spesifik Lactococcus garviae dan
Pseudomonas plecoglossicida yang diberikan pada ikan (Park dan Nakai 2003).
Secara in vivo di Bangladesh telah diaplikasikan fag spesifik E. coli patogen
dalam bentuk tablet pada air minum untuk sanitasi air (Ochman dan Selander
1984). Penelitian penggunaan fag spesifik E.coli secara oral aman dilakukan pada
manusia telah dilaporkan oleh Bruttin dan Brussow (2005). Penelitian infektivitas
fag litik pada EPEC resisten antibiotik dari pasien penderita diare di Indonesia
telah dilaporkan oleh Budiarti et al. (2011), fag mampu melisiskan sel EPEC
K1.1yang resisten terhadap antibiotik tetrasiklin dan ampisilin sebesar 84%
setelah 24 jam.
Fag dapat ditemukan pada bahan makanan, sehingga hal tersebut
memungkinkan fag dapat digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan
kontaminasi patogen Salmonella dari makanan (Doyle 2007). Produk fag yang
telah dikomersilkan dan penggunaannya telah diizinkan oleh Food drug
Association (FDA) adalah LISTEX TM P100 yang diaplikasikan pada makanan
seperti; keju, daging unggas, ikan, sayuran telah diaplikasikan di Netherland,
Eropa, dan Amerika Serikat (Soni dan Nannapaneni 2010). Fag litik BFC-1
adalah produk campuran fag untuk pengobatan infeksi bakteri Pseudomonas
aeruginosa dan Staphylococcus aureus yang sering menginfeksi pasien luka
bakar. Penggunaannya dengan cara menyemprotkan menggunakan syringe spray
pada area yang terinfeksi (Merabishvili et al. 2009).

8

3 METODE
Kerangka Penelitian
Tahapan metode yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada gambar
1. yang terdiri dari peremajaan isolat EPEC K1.1 dan Salmonella P38, isolasi dan
purifikasi fag litik EPEC K1.1, produksi/ perbanyakan fag litik EPEC K1.1 dan
fag litik FR 38, kuantifikasi fag litik EPEC K1.1 dan fag litik FR38,uji kisaran
inang fag litik EPEC K1.1, pengamatan morfologi fag litik EPEC K1.1 dan fag
litik FR38 melalui TEM, karakterisasi protein fag litik EPEC K1.1 dan fag litik
FR38, efek bufer dan perbedaan suhu penyimpanan terhadap kestabilan fag litik
EPEC K1.1, efektivitas lisis sel bakteri EPEC K1.1 dan bakteri Salmonella P38
oleh fag litik EPEC K1.1 dan fag litik FR38,.
Peremajaan isolat EPEC K1.1 dan Salmonella P38
Isolasi dan purifikasi fag litik EPEC K1.1
1.
2.
3.
4.

Pengambilan Sampel
Filtrasi Sampel
Pencawanan
Pemurnian Fag

Perbanyakan fag litik EPEC K1.1 dan fag litik FR38

Kuantifikasi fag litik EPEC K1.1 dan fag litik FR38
Uji spesifisitas inang fag litik EPEC K1.1
Pengamatan morfologi fag litik EPEC K1.1 dan fag litik Salmonella
FR38 melalui TEM
Karakterisasi protein fag litik EPEC K1.1 dan fag litik Salmonella FR38
Efek bufer dan suhu penyimpanan terhadap kestabilan fag litik EPEC K1.1

Efektivitas lisis sel bakteri EPEC K1.1 dan bakteri Salmonella P38 oleh fag
litik EPEC K1.1 dan fag litik FR38
Gambar 1 Diagram alir tahapan metode penelitian

9
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2013 sampai dengan Agustus
2014. Pengambilan sampel fag litik berasal dari daerah Babakan Raya dan Sungai
Ciapus, Bogor. Penelitian bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hewan, Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB serta Laboratorium
TEM Eijkman Jakarta.

Bahan
Seluruh isolat yang digunakan adalah koleksi Ibu Dr. dr. Sri Budiarti terdiri
dari bakteri EPEC K1.1 yang diperoleh dari anak-anak penderita diare di Depok,
Salmonella P38 diperoleh dari anak-anak penderita diare di Puskesmas Sindang
Barang Bogor, dan fag litik FR38 yangmenginfeksi Salmonella P38. Sampel
untuk isolasi fag litik dengan inang EPEC K1.1 berupa limbah cair rumah tangga
dari daerah Babakan Raya, dan air sungai Ciapus, Darmaga Bogor.

Prosedur Penelitian
Peremajaan Isolat Bakteri
Sebanyak 1 lup bakteri EPEC K1.1 dan bakteri Salmonella P38 resisten
antibiotik masing-masing ditumbuhkan dengan mengunakan metode kuadran pada
media Eosin Metylen Blue Agar (EMBA) (OxoidTM) dan Salmonella Shigella
Agar (SSA) (OxoidTM), kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.
Koloni tunggal yang terbentuk diambil dan ditumbuhkan pada media agar-agar
miring SSA untuk bakteri Salmonella P38 dan pada media agar-agar miring NA
untuk bakteri EPEC K1.1, lalu diinkubasi pasa suhu 37 oC selama 24 jam. Hasil
biakan disimpan untuk digunakan sebagai stok bakteri.

Isolasi Fag Litik EPEC K1.1
Pengambilan sampel. Sampel yang digunakan untuk isolasi fag adalah
limbah cair rumah tangga (LCRT) yang diambil di daerah Babakan Raya, dan air
sungai Ciapus, Darmaga Bogor. Sampel diambil sebanyak 5-10 mL menggunakan
botol steril. Kemudian sampel dilakukan homogenisasi dan kemudian dilakukan
filtrasi.
Filtrasi sampel. Filtrasi sampel menggunakan metode Pitt dan Gaston
(1995) yang dimodifikasi. Sebanyak 1 mL sampel LCRT yang telah dicuplik
diencerkan kedalam 9 mL media NB, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
3.000 rpm selama 20 menit, kemudian sampel disaring menggunakan membran
millipore 0.45 μm. Filtrat hasil saringan sebanyak 4.5 mL kemudian dicampurkan
dengan 0.5 mL kultur EPEC K1.1 OD600=1 (109 CFU/mL) dan ditambahkan 5 ml
Nutrien Broth (NB) (DifcoTM). Kemudian campuran diinkubasi selama 24 hingga

10
48 jam di dalam Water Bath shaker pada suhu 37 oC. Kultur tersebut kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm pada suhu 4 oC selama 15 menit.
Supernatan diambil dengan syringe dan difiltrasi dengan menggunakan membran
millipore 0.22 µm. Supernatan yang telah difiltrasi dimasukkan kedalam tabung
steril.
Pencawanan. Dilakukan dengan menggunakan metode agar dua lapis atau
Double layer Plaque Technique. Sebanyak 100 µL stok fag litik EPEC K1.1
diencerkan kedalam bufer Ringers dengan serial pengenceran 10-1 sampai 10-6.
Kemudian masing-masing serial pengenceran fag litik diambil sebanyak 100 µL
dan masing-masing dicampurkan dengan 100 µL bakteri EPEC K1.1 OD600=1
kedalam tabung mikro steril baru dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30
menit. Campuran ditambahkan dengan 7 mL soft agar yang bersuhu 47 oC,
dituang pada media NA. Inkubasi dilakukan pada suhu 37 oC selama 24 jam dan
kemudian diamati plak yang terbentuk (Atterbury et al. 2007).
Pemurnian fag. Plak yang terbentuk diambil menggunakan pipet pasteur
dan dilakukan pengayaan (enrichment) agar plak yang dihasilkan semakin banyak.
Plak dipindahkan ke dalam 10 mL kultur Bakteri EPEC OD600=1 dan diinkubasi
selama 24 jam, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm pada suhu 4
o
Cselama 20 menit, filtrat fag kemudian disaring menggunakan membran
millipore 0,22 µm. Hasil saringan berupa filtrat fag kemudian dilakukan
pencawanan. Plak hasil pencawanan yang terbentuk kemudian diambil dan
dimasukkan kedalam bufer Ringers. Suspensi fag divortex dan dibiarkan selama
5-10 menit pada suhu ruang, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm,
suhu 4 oC selama 20 menit sebanyak 2 kali ulangan. Supernatan difiltrasi
menggunakan membran filter millipore 0.22 µm dan kemudian disimpan sebagai
stok fag (Goodridge et al. 2003; Merabishvili et al. 2009).

Perbanyakan FagLitik Bakteri EPEC K1.1 dan Fag Litik FR38
Sebanyak masing-masing 10 mL kultur bakteri Salmonella P38 dan EPEC
K1.1 pada media NB OD600=1 (Salmonella P38=108 CFU/mLdan EPEC
K1.1=109 CFU/mL) disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm, suhu 4 oC selama 20
menit. Pelet yang terbentuk masing-masing diinfeksikan dengan 100 µL fag litik
FR38 koleksi ibu Dr. dr. Sri Budiarti dan 100 µL fage litik EPEC K1.1. Masingmasing campuran diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit, lalu campuran
tersebut masing-masing ditambahkan 10 mL media NB dan diinkubasi selama 24
jam pada suhu 37 oC. Kemudian masing-masing kultur disentrifugasi pada
kecepatan 3000 rpm, suhu 4 oC selama 20 menit. Supernatan yang terbentuk
diambil dengan syringe dan difiltrasi dengan membran filter 0.22 µm. Masingmasing Supernatan yang telah difiltrasi dimasukkan kedalam tabung steril dan
disimpan (Clokie dan Kropinski 2009).

11
Kuantifikasi Fag Litik dengan Plaque Forming Unit (PFU/mL)
Kuantifikasi fag diukur dengan cara menghitung jumlah plak yang terbentuk
(Plaque Forming unit (PFU/ mL)). Masing-masing stok fag litik EPEC K1.1 dan
fag litik FR38 diencerkan sampai dengan 108, kemudian dari masing-masing
pengenceran isolat fag tersebut diambil 100 µL ditambahkan dengan 100 µL
kultur bakteri EPEC K1.1 dan Salmonella P38 yang telah diinkubasi selama 24
jam pada media NB dengan OD600=1. Suspensi diinkubasi selama 30 menit pada
suhu 37 oC. Sebanyak 7 mL soft agar bersuhu 47oC dicampurkan, selanjutnya
masing-masing dituang ke media NA, diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.
Kemudian diamati pembentukan plak (Zona bening) dan dihitung jumlahnya
(Clokie dan Kropinsky 2009).
Rumus jumlah fag
Jumlah fag/mL= (Jumlah Fag/Plated) x (1/mLplated) X Faktor Pengenceran

Penentuan Spesifisitas Inang Fag Litik EPEC K1.1
Penentuan kisaran inang fag litik EPEC K1.1 dilakukan dengan menguji
dengan menggunakan beberapa jenis bakteri. Masing-masing sebanyak 100 μL
kultur bakteri EPEC K1.1, Salmonella P38, Salmonella P84, Bacillus pumilus,
Photobacterim damselae, dan Proteus mirabilis yang telah ditumbuhkan di media
NB pada fase eksponensial masing-masing dicampurkan dengan 100 μL stok fag
litik EPEC K1.1. Kemudian masing-masing diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30
menit. Masing-masing bakteri yang telah dicampurkan dengan fag litik EPEC
K1.1 dilakukan dengan double layer plaque technique. Diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 24 jam dan dilihat plak yang terbentuk (Phumkhachorn dan
Rattanachaikunsopon 2010).

Pengamatan Morfologi Fag Litik dengan Transmission Electron Microscope
(TEM)
Fag litik yang masih segar dalam bufer Ringers diteteskan sebanyak 5 µL
pada grid (400 mesh) menggunakan mikropipet, ditunggu selama 20 detik,
kemudian dikeringkan dengan kertas saring. Sebanyak 5 μL uranil asetat 2%
diteteskan ke atas grid dan ditunggu selama 1 menit. Grid dikeringkan dengan
menggunakan kertas saring dan dibiarkan selama 20 menit agar benar-benar
kering. Grid-grid EM diletakkan pada holder, dibiarkan hingga kering. Setelah
spesimen kering diperiksa dengan menggunakan mikroskop elektron transmisi
model JEOL JEM-1010 dengan perbesaran10000x-100000x (Carey et al. 2006).

12
Analisis Berat Molekul Protein FagLitik EPEC K1.1 dan FagLitik FR38
Untuk mengukur kadar protein pada stok fage litik dilakukan dengan
menggunakan metode Bradford (1976), sehingga akan diketahui konsentrasi
protein pada sampel. Sedangkan untuk mengetahui berat molekul protein fag litik
dianalisis dengan menggunakan Sodium Dodesyl Sulphate-Poly Acrilamide Gel
Electrophoresis (SDS-PAGE). Marker yang digunakan adalah PageRulerTM
Prestained Protein Ladder dengan berat molekul berturut-turut adalah 10, 17, 28,
34, 48, 55, 72, 95, 130, dan 180 kDa. Konsentrasi gel pemisah sebesar 12%
poliakrilamida yang ditempatkan pada bagian bawah. Konsentrasi gel pengumpul
sebesar 7.5% poliakrilamida yang diletakkan di bagian atas setelah gel pemisah
sudah padat. Fag litik dan marker masing-masing dicampurkan dengan bufer
sampel dengan perbandingan 4:1 (4 bagian sampel dan 1 bagian bufer sampel).
Campuran disentrifugasi pada kecepatan 1000 rpm, suhu ruang, selama 20 menit
dan dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit, dimasukkan ke dalam sumur
gel dengan volume 45 μL. Elektroforesis dijalankan dengan arus 20 mA dan
tegangan 50 volt selama 3.5 jam. Elektroforesis diakhiri pada saat pewarna sampel
mencapai batas 0.5 cm hingga 1 cm dari bagian bawah gel. Setelah elektroforesis
berakhir, gel diangkat dari lempengan kaca dan dilakukan dengan pewarnaan
silver stain.

Pengaruh Bufer dan Suhu Penyimpanan terhadap Kestabilan FagLitik
EPEC K1.1
Plak-plak fag litik EPEC K1.1 di dalam media agar dua lapis dimurnikan
dengan cara memindahkan plak yang terbentuk menggunakan pipet pasteur. Plak
tersebut kemudian dicampurkan dengan bufer Ringers dan bufer Saline
Magnesium (SM) (Lampiran 2). Untuk kontrol, digunakan Nutrien Broth (NB).
Masing-masing suspensi fag divortex dan dibiarkan selama 5-10 menit pada suhu
ruang. Masing-masing suspensi tersebut kemudian disentrifugasi pada kecepatan
3000 rpm pada suhu 4oC, kemudian masing-masing difiltrasi menggunakan
membran millipore 0.22 µm (Phumkhachorn dan Rattanachaikunsopon 2010).
Kemudian dilakukan Double Layer Plaque Technique untuk mengetahui
konsentrasi fag litik. Setelah itu masing-masing filtrat fag pada buffer Ringers,
buffer SM, dan pada media NB disimpan pada suhu ruang (25 oC) dan