Perbandingan Aktivitas Antioksidasi Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) asal Ciampea dan Cikabayan Bogor.

PERBANDINGAN AKTIVITAS ANTIOKSIDASI EKSTRAK
SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees.) ASAL CIAMPEA
DAN CIKABAYAN BOGOR

LIDYA AGUSTINA BUDIARTI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan Aktivitas
Antioksidasi Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) asal Ciampea
dan Cikabayan Bogor sebagai Antioksidan adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Lidya Agustina Budiarti
NIM G84100044

ABSTRAK
LIDYA AGUSTINA BUDIARTI. Perbandingan Aktivitas Antioksidasi Ekstrak
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) asal Ciampea dan Cikabayan Bogor.
Dibimbing
oleh
WARAS
NURCHOLIS
dan
EDY
DJAUHARI
PURWAKUSUMAH.
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) secara kimia mengandung
flavonoid dan lakton. Pada lakton, komponen utamanya adalah andrografolida,

yang juga merupakan zat aktif utama dari tanaman ini. Salah satu efek
farmakologi sambiloto adalah sebagai antioksidan. Penelitian ini membandingkan
dan menganalisis pengaruh kadar andrografolida yang terkandung dalam
sambiloto dan kadar senyawa lain yaitu flavonoid dan fenolik terhadap aktivitas
antioksidan pada sambiloto asal Ciampea dan Cikabayan Bogor. Kadar
andrografolida ekstrak metanol sambiloto asal kebun Cikabayan memiliki nilai
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak lainnya yaitu sebesar 108,4 mg/g.
Ekstrak etanol sambiloto asal Ciampea juga memiliki kadar andrografolida yang
cukup tinggi yaitu sebesar 101,31 mg/g. Berdasarkan hasil uji korelasi antara
kadar andrografolida dengan kadar flavonoid berhubungan positif sangat
signifikan. Ekstrak metanol dari sampel asal Ciampea memiliki IC50 lebih rendah
daripada ekstrak lainnya yaitu sebesar 69,93 ppm. Berdasarkan hasil uji korelasi
antara kadar IC50 dengan kadar total fenolik berhubungan negatif sangat
signifikan, yang artinya bahwa semakin rendah kadar IC50 maka semakin tinggi
kadar total fenolik, sehingga aktivitas antioksidan semakin tinggi.
Kata kunci: antioksidan, andrografolida, sambiloto

ABSTRACT
LIDYA AGUSTINA BUDIARTI. The Comparison of Antioxidative Activity of
Andrographis paniculata Nees. Extract from Ciampea and Cikabayan Bogor.

Supervised
by
WARAS
NURCHOLIS
and
EDY
DJAUHARI
PURWAKUSUMAH.
Andrographis paniculata Nees. contained of flavonoid dan lactone.
Andrographolide is the main active lactone compound which shows an
antioxidative activity. The aim of this study was to compare and analyze the
activity of andrographolide, flavonoid and phenolic compound consisted in A.
paniculata Ness. extract from Ciampea and Cikabayan Bogor, West Java. The
methanolic extract of A. paniculata Ness. from Cikabayan contained 108.4 mg/g
andrographolide, higher than the other extract. The ethanolic extract from
Ciampea contained 101.31 mg/g andrographolide. Andrographolide and flavonoid
level showed a positively significant correlation result. The methanolic extract
from Sample from Ciampea had 69.93 ppm IC50 value, lower than the other
extract. Total phenolic and IC50 value showed a negatively significant
correlation, which means that the antioxidative activity will increase as the the

IC50 value decreased.
Keywords: antioxidant, andrographolide, Andrographis paniculata Nees.

PERBANDINGAN AKTIVITAS ANTIOKSIDASI EKSTRAK
SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees.) ASAL CIAMPEA
DAN CIKABAYAN BOGOR

LIDYA AGUSTINA BUDIARTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


PRAKATA
Alhamdulillah. Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perbandingan
Aktivitas Antioksidasi Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.).
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret hingga Oktober 2014 di
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Waras Nurcholis, S. Si., M.
Si . dan bapak Drs. Edy Djauhari Purwakusumah M.Si. atas segala arahan dan
bimbingan selama penelitian ataupun penulisan skripsi ini. Penulis juga
menyampaikan banyak terimakasih atas dukungan dan motivasi terutama bagi
bapak Hilman Karyana ayah penulis dan keluarga penulis yang telah memberikan
dukungan spiritual, kepada Fatwa Muhammad Aziz, Mas Hariri, kepada rekan
sebimbingan Ajruddin, Gia, Emmy, Ayu, Dita, Sylvia, kepada staff di
laboratorium PSB, dan rekan Wisma Pelangi Izmah, Kiky, Dian, Ara, Eka, dan
semua rekan biokimia 47 yang telah membantu dan memotivasi dalam proses
penelitian dan penulisan dan untuk semua bantuan yang pernah berikan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini,
maka diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan dalam
penulisan selanjutnya. Akhir kata penulis berharap tulisan ini dapat berguna bagi

penulis maupun semua pihak demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2015

Lidya Agustina Budiarti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN


1

METODE

2

Bahan dan Alat

2

Metode Penelitian (Manurung 2013)

2

Hasil

5

Kadar Air dan Kadar Abu


5

Rendemen pada Setiap Ekstrak Sambiloto

6

Kandungan Alkaloid, Saponin, dan Tanin

7

Kadar Total Fenol

8

Kadar Komponen Bioaktif

8

Aktivitas Antioksidan


9

Pembahasan

10

Kadar Air dan Kadar Abu Ekstrak Sambiloto

10

Rendemen Ekstrak Sambiloto

10

Kandungan Alkaloid, Saponin, dan Tanin

11

Kadar Total Fenol


12

Kadar Flavonoid

13

Kadar Komponen Aktif Sambiloto

13

Aktivitas Antioksidan

14

SIMPULAN

15

SARAN


16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

35

DAFTAR TABEL
1 Keberadaan alkaloid, tanin dan saponin
2 Kadar total fenol pada setiap ekstrak sambiloto
3 Total flavonoid pada setiap ekstrak sambiloto
4 Kadar andrografolida setiap ekstrak sambiloto
5 Aktivitas antioksidan dari setiap ekstrak sambiloto
6 Hasil uji korelasi aktivitas antioksidan dengan total fenol,
flavonoid dan kadar andrografolida

7
8
8
9
9
10

DAFTAR GAMBAR
1 Kadar air simplisia
2 Kadar abu simplisia
3 Rendemen yang dihasilkan pada setiap sampel

6
6
7

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Bagan alir kerja
Rendemen ekstrak sambiloto
Kadar air sampel
Kadar abu sampel
Kadar total fenolik sampel
Kurva standar tanin
Kadar total flavonoid sampel
Kurva standar kuersetin
Aktivitas antioksidan ekstrak
Hasil uji IC50 ekstrak
Aktivitas inhibisi vitamin C
Kadar andrografolida ekstrak
Kromatogram HPLC
Hasil uji statistika dengan program SPSS 16.0

19
20
20
21
22
22
23
23
24
25
25
26
27

30

PENDAHULUAN
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) merupakan salah satu
tumbuhan yang sejak dulu sering digunakan oleh masyarakat, terutama
masyarakat di daerah Cina dan India. Daun sambiloto biasanya digunakan dengan
cara menghaluskannya dan mengambil air dari daun ini untuk diminum (Chen et
al. 2010). Ekstrak daun sambiloto dipercaya dapat mengobati berbagai macam
penyakit, seperti menurunkan demam, mengobati diare, disentri, mengobati
pembengkakan, dan memperbaiki gangguan pada sistem imun. Hingga saat ini
tanaman sambiloto masih terus diteliti khasiatnya yang dipercaya memiliki peran
penting dalam dunia kesehatan (Chen et al. 2010). Efek farmakologi sambiloto
diantaranya sebagai antioksidan, antidiabetik, antifertilitas, antiHIV–1, antiflu,
antiadhesi intraperitoneal, antimalaria, antidiare, hepatoprotektif (Chen et al.
2010).
Sambiloto secara kimia mengandung flavonoid dan lakton. Pada lakton,
komponen utamanya adalah andrografolida, yang juga merupakan zat aktif utama
dari tanaman ini. Berdasarkan penelitian lain yang telah dilakukan, kandungan
yang dijumpai pada tanaman sambiloto diantaranya adalah diterpen lakton dan
glikosidanya, seperti andrographolide, deoxyandrographolide, 11, 12-didehydro14-eoxyandrographolide, dan neoandrographolide. Flavonoid juga dilaporkan ada
terdapat pada tanaman ini. Daun dan percabangannya lebih banyak mengandung
lakton sedangkan komponen flavonoid dapat diisolasi dari akarnya (Prapanza &
Marianto 2003)
Studi ilmiah sudah banyak dilakukan untuk melihat disposisi
andrographolide berbagai organ tubuh. Pemberian sambiloto menunjukkan efek
protektif terhadap aktivitas enzim superoksida dismutase, katalase, glutationin
peroksidase, dan glutationin yang menurun dengan pemberian hexachloro
cyclohexane (BHC). Hasilnya menunjukkan adanya khasiat antioksidan dan
hepatoprotektif dari sambiloto (Trivedi & Rawal 2001).
Sumber antioksidan dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu
antioksidan sintetik dan alami. Antioksidan sintetik diperoleh dari hasil sintesa
reaksi kimia, seperti butylated hydroxyanisol (BHA) dan butylated
hydroxytoluene (BHT) sangat efektif dalam menghambat reaksi oksidasi lemak.
Akan tetapi, penggunaan antioksidan sintetik telah diketahui memiliki efek
samping yang berbahaya antara lain menyebabkan kerusakan hati. Antioksidan
alami diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami (Kikuzaki & Nakatani 1993).
Antioksidan enzimatis meliputi enzim superoksida dismutase (SOD),
katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan non-enzimatis masih dibagi
dalam 2 kelompok lagi yaitu antioksidan larut lemak seperti tokoferol, karotenoid,
flavonoid, quinon, serta antioksidan larut air seperti asam askorbat, asam urat,
protein pengikat logam, dan protein pengikat heme. Kedua jenis antioksidan
tersebut bekerja sama dalam mencegah kerusakan di dalam tubuh akibat senyawa
radikal (Miyazaki 2000).
Antioksidan non-enzimatis dapat diperoleh secara alami, yaitu dari tanaman.
Senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan dapat diprediksi dari
golongan fenolik, flavonoid, dan alkaloid, yang merupakan senyawa polar.
Flavonoid memberikan efek penghambatan pada radikal bebas yang berlebihan.

2
Hal ini berfungsi dalam mencegah efek merusak dari spesies oksigen reaktif yang
mencakup peroksidasi lipid, oksidasi sulfidril dan kelompok rentan lainnya dalam
protein.
Andrografolida yang sudah diisolasi dalam bentuk murni dapat
menunjukkan berbagai aktivitas farmakologi. Zat aktif herba ini dapat ditentukan
dengan metode gravimetrik atau dengan high performance liquid chromatography
(HPLC) (Hu & Zhou 1982). Penelitian ini akan menganalisis pengaruh kadar
andrografolida yang terkandung dalam sambiloto dan kadar senyawa lain yaitu
flavonoid dan fenolik terhadap aktivitas antioksidan pada sambiloto. Pengujian
aktivitas antioksidan dalam penelitian ini menggunakan metode DPPH (2,2
diphenyl-1-picryl-hydrazyl), DPPH tersebut dijadikan sebagai radikal bebas yang
akan ditangkap oleh senyawa aktif yang berada dalam ekstrak. DPPH merupakan
senyawa yang stabil pada suhu ruang. DPPH akan tereduksi dan kehilangan warna
violetnya menjadi warna kuning pucat (Molyneux 2004).
Menurut Januwati dan Yusron (2004) tanaman sambiloto dapat
dibudidayakan dengan baik di daerah basah (Bogor) pada lahan tanpa naungan
sampai naungan sedang (0-30 %). Penelitian ini membandingkan kadar senyawa
yang terkandung dan aktivitas antioksidasi antara sambiloto asal Ciampea Bogor
dan sambiloto asal Cikabayan Bogor. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai kendali mutu ekstrak daun sambiloto sebagai antioksidan,
bahan aktif yang berperan di dalamnya, dan hubungan kandungan bahan aktif
dengan aktivitas antioksidan.

METODE
Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat kaca, tanur,
desikator, cawan, rotavapor, spektrofotometer massa, peralatan HPLC,
spektrofotometer UV-Vis, labu Erlenmeyer, dan oven. Bahan-bahan yang
digunakan pada penelitian ini adalah daun sambiloto dari kebun Cikabayan dan
kebun Ciampea Bogor, metanol, n-heksana, etanol, etil asetat, aseton, dietil eter,
diklorometana, AlCl3, dan radikal 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH), pereaksi
Mayer, pereaksi Wagner, pereaksi Dragendorf, FeCl3, akuades, reagen fenol
Folin-Ciocalteu, NaCO3, AlCl3 10%, kalium asetat.
Metode Penelitian (Manurung 2013)
Secara umum, alur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Daun
sambiloto diambil dari kebun Cikabayan dan kebun Ciampea Bogor. Daun dicuci
dan dikeringkan di oven. Setelah itu, daun kering digiling hingga menjadi serbuk
dengan ukuran 40 mesh. Serbuk daun sambiloto yang didapatkan ditentukan kadar
air dan kadar abunya serta diekstraksi menggunakan pelarut etanol, metanol,
kloroform, dan n-heksana. Ekstrak yang didapat diuji keberadaan alkaloid,
saponin, dan tanin di dalamnya. Kadar flavonoid, dan total fenol serta aktivitas
antioksidan dari setiap ekstrak ditentukan. Kadar yang diperoleh dikorelasikan
dengan aktivitas antioksidan yang didapat untuk menentukan senyawa yang
berperan dalam aktivitas antioksidan. Ekstrak sambiloto diuji kadar
andrografolida dengan menggunakan HPLC.

3
Penentuan Kadar Air (AOAC 2007)
Cawan porselen dikeringkan di dalam oven pada suhu 105–110˚C selama 15
menit, kemudian diletakkan di dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang
hingga diperoleh bobot konstan (A). Sebanyak 2 g sampel ditimbang (B) dan
diletakkan ke dalam cawan yang telah dikeringkan tersebut. Cawan yang berisi
sampel dipanaskan di dalam oven pada suhu 105–110 ˚C selama 3–4 jam, lalu
didinginkan di dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang lagi. Tahap
ini diulangi hingga diperoleh bobot konstan (C). Kadar air dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:

Penentuan Kadar Abu (AOAC 2007)
Cawan porselen dikeringkan di dalam oven selama 30 menit pada suhu 100–
105˚C, kemudian dimasukkan ke tanur selama 30 menit dan didinginkan di dalam
desikator. Cawan ditimbang hingga diperoleh bobot konstan (A). Sebanyak 2
gram sampel diletakkan ke dalam cawan tersebut dan ditimbang (B), lalu cawan
berisi sampel dibakar menggunakan pembakar Bunsen hingga tidak berasap
selama ±20 menit dan dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur pada suhu
550˚C sampai pengabuan sempurna. Sampel yang telah diabukan didinginkan di
dalam desikator dan ditimbang (C). Kadar abu dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut:

Ekstraksi (Depkes RI 2008)
Sampel yang sudah kering dan berbentuk serbuk dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer sebanyak 50 gram dan ditambahkan pelarut sebanyak 250 mL. Pelarut
yang digunakan adalah etanol dan metanol. Ekstrak metanol yang telah diperoleh
kemudian diekstraksi lagi menggunakan n-heksana. Ekstrak yang telah didapat
dipekatkan hingga didapat ekstrak pekat.
Uji Fitokimia (Harborne 1987)
Uji alkaloid. Sebanyak 1 gram ekstrak ditambahkan 10 mL CHCl3 dan
beberapa tetes NaOH. Larutan tersebut disaring dan filtratnya ditambahkan 10
tetes H2SO4 2 M serta dikocok. Lapisan asam dipisahkan dan masing-masing
ditambahkan dengan pereaksi Mayer (positif jika terbentuk endapan putih),
pereaksi Wagner (positif jika terbentuk endapan coklat), dan pereaksi Dragendorf
(positif jika terbentuk endapan merah jingga).
Uji saponin. Sebanyak 0.1 gram ekstrak ditambahkan 10 mL air panas
kemudian disaring. Sebanyak 10 mL filtrat dikocok selama 10 menit dengan
keadaan tertutup. Jika terbentuk buih yang stabil berarti ekstrak mengandung
saponin.
Uji tanin. Sebanyak 10 mL ekstrak dipanaskan selama 10 menit. Larutan
tersebut kemudian disaring dan filtratnya ditambahkan dengan FeCl3 1%. Jika
terbentuk warna biru tua atau hijau berarti ekstrak mengandung tanin.

4
Analisis Kandungan Fenol Total (Atanassova et al. 2011)
Kandungan Fenol total diukur dengan uji Folin-Ciocalteau. Sebanyak 0,1
gram ekstrak ditimbang dan dilarutkan dalam etanol pada labu takar 10 mL.
Kemudian sebanyak 2 mL dipipet ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan aqua
bidest 5 mL, lalu ditambahkan 0,5 mL Folin-Ciocalteau dan didiamkan 5 menit.
Kemudian ditambahkan 1 mL Na2Co3 5 % dan didiamkan selama 1 jam dalam
ruang gelap. Kemudian dianalisis dengan spektrofotometer UV-VIS dengan
panjang gelombang 725 nm. Standar yang digunakan adalah asam tanat, dengan
konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm. Blanko yang digunakan adalah
campuran antara 2 mL etanol, 5 mL aqua bidest, 0,5 mL Folin-Ciocalteau, dan 1
mL Na2CO3 5 %.
Analisis Kandungan Flavonoid (Chang et al. 2002)
Total flavonoid diukur dengan uji kolometrik aluminium klorida.
Pembuatan larutan induk, ekstrak sebanyak 0,2 gram ditimbang dan ditambahkan
1 mL HMT, 20 mL aseton, 2 mL HCl. Kemudian dihidrolisis dengan cara
direfluks selama 30 menit. Lalu disaring menggunakan kertas saring, filtratnya
dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, lalu disaring. Campuran filtrat tersebut
ditambahkan aseton hingga volume menjadi 100 mL. Lalu filtrat diekstraksi
dengan etil asetat. Fase etil asetat ditampung dan ditambahkan etil asetat hingga
volume menjadi 50 mL. Larutan sampel merupakan campuran 10 mL larutan
induk, 1 mL AlCl3, kemudian ditera dengan asam glasial hingga 25 mL. Larutan
blanko yang digunakan adalah campuran 1 mL AlCl3 ditambahkan dengan asam
glasial hingga volume 25 mL. Larutan standar yang digunakan adalah kuarsetin
dengan konsentrasi 0,5 ppm, 1 ppm, 10 ppm, 20 ppm, dan 25 ppm. Pengukuran
dilakukan setelah penambahan AlCl3 selama 30 menit kemudian diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 425 nm.
Analisis Kadar Komponen Bioaktif Sambiloto Menggunakan HPLC
(Jayaprakasha et al. 2002)
Sebanyak 0,1 gram sampel ditimbang dan dilarutkan ke dalam 10 mL
metanol. Larutan disaring dengan kertas saring 0.45 m dan ditempatkan pada
vial HPLC. Sebanyak 10 L dari larutan ekstrak sampel diinjeksikan ke dalam
HPLC. Senyawa standar dibuat dengan konsentrasi 0.1%. Kondisi HPLC untuk
analisis ini digunakan jenis kolom C18 detektor UV-Vis dengan volume injeksi
10 L, elusi gradien dan suhu yang digunakan yaitu 480 C. Kadar komponen
bioaktif yang diukur adalah kadar andrografolida. Penentuan kadar andrografolida
dilakukan dengan rumus :
Kadar andrografolida =
Uji Aktivitas Antioksidan (Salazar-Aranda et. al. 2009)
Uji aktivitas antioksidan yang digunakan adalah uji penangkapan radikal
bebas 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH). Sampel dilarutkan di dalam etanol
hingga diperoleh variasi konsentrasi. Sebanyak 500µL ekstrak dan 500µL larutan
DPPH (125µM dalam etanol) ditambahkan ke dalam masing-masing sumur (96well plate). Setelah 30 menit, diukur absorbansnya pada panjang gelombang 517
nm. Kontrol positif yang digunakan adalah asam askorbat dan etanol sebagai

5
kontrol negatif. Pengukuran absorbans masing-masing sampel dengan berbagai
konsentrasi dan kontrol positif dilakukan tiga kali ulangan (triplo). Aktivitas
dihitung dengan persamaan:
Inhibisi (%)= [1-(Asampel-Akontrol)/(Ablanko-Akontrol)] x 100%
Nilai absorbansi yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk mendapatkan nilai
IC50 (Inhibition concentration 50). Nilai IC50 yang paling rendah menunjukkan
bioaktivitas antioksidan yang paling tinggi. Penentuan nilai IC50 berdasarkan
Udenigwe et al. (2009). Nilai IC50 diperoleh dari masing-masing kurva ekstrak
sampel dengan memasukkan nilai Y = 50 ke dalam persamaan regresi linear
sebagai berikut:
Y = a + bx (fungsi linier)
Y = ax2 + bx + c (fungsi kuadratik)
Y = a + b ln (x) (fungsi ln)
Keterangan:
a = konstanta
b = konstanta
x = IC50
Aktivitas antioksidan setiap ekstrak dihubungkan dengan keberadaan
senyawa andrografolid dan flavonoid dengan regresi linear. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui senyawa yang bertanggung jawab pada aktivitas antioksidan
ekstrak.
Analisis Statistik (Mattjik & Sumertajaya 2006)
Analisis data statistik dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan Analysis of Variance (ANOVA), sedangkan rancangan percobaan
yang digunakan adalah model RAL (Rancangan Acak Lengkap). Selanjutnya
dilakukan uji lanjut Duncan Test terhadap parameter yang dianalisis meliputi
hubungan perlakuan terhadap nilai IC50 serta hubungan perlakuan dengan semua
uji. Adapun model dari RAL tersebut adalah sebagai berikut:
Yij = µ + τi + εij
Dengan:
Yij = respon pengamatan ke-i ulangan ke-j
µ = rataan umum
τi = pengaruh rataan ke-i
εij = galat atau komponen acak
Selanjutnya akan ditentukan hubungan korelasi bivariate antara nilai IC50 dengan
nilai semua uji.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Kadar Air dan Kadar Abu
Kadar air ketiga sampel bernilai kurang dari 15 %. Kadar air tertinggi
dimiliki sampel asal Ciampea, yaitu 12,07 % (Gambar 1). Sampel Cikabayan
memiliki kadar air sebesar 10,01 %. Kadar air ini akan menjadi faktor koreksi
bobot pada saat penentuan rendemen. Penentuan kadar air dilakukan untuk
mengetahui ketahanan suatu bahan dalam penyimpanan. Air yang terikat secara

6
fisik dapat dihilangkan dengan pemanasan pada suhu 100-1050C (Harjadi 1993).
Pada penelitian ini, kandungan air pada sampel sambiloto dihilangkan dengan cara
pemanasan fisik menggunakan oven pada suhu 1050C.
Nilai kadar abu menunjukkan mineral yang terkandung di dalam bahan.
Kadar abu yang lebih tinggi adalah pada sampel Ciampea, yaitu sebesar 12,45 %,
sedangkan pada sampel Cikabayan sebesar 9,09 % (Gambar 2). Kadar abu yang
lebih tinggi dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi pertumbuhan, pemupukan,
waktu panen, teknik panen, dan perlakuan setelah pemanenan (Bakker & Elbersen
2005).

14

10.01 ± 0.04

12.07 ± 0.15

Kadar Air (%)

12
10
8
6
4
2
0
Asal Ciampea
Sampel Simplisia

Kadar Abu (%) bobot kering

14

Asal Cikabayan

Gambar 1 Kadar air simplisia
12.46 ± 0.88
9.09 ± 0.55

12
10
8
6
4
2
0
Asal Ciampea

Asal Cikabayan
Sampel Simplisia

Gambar 2 Kadar abu simplisia
Rendemen pada Setiap Ekstrak Sambiloto
Hasil rendemen ekstrak sambiloto asal Ciampea dan kebun Cikabayan
dengan pelarut etanol, metanol, dan n-heksana dapat dilihat pada Gambar 3.
Ekstrak metanol dari sambiloto asal Ciampea memiliki rendemen ekstrak yang
lebih tinggi dibandingkan ekstrak etanol dan n-heksana. Berdasarkan hasil

7

% Rendemen bobot kering

penelitian, ekstrak etanol dari sambiloto asal Ciampea dan Cikabayan berturutturut adalah 15,39 % dan 10,24 %, ekstrak metanol sambiloto asal Ciampea dan
Cikabayan berturut-turut adalah 22,77 % dan 11,00 %, dan ekstrak n-heksana
sambiloto asal Ciampea dan Cikabayan adalah 12.81 % dan 9.04 % (Gambar 3).
Nilai rendemen ekstrak yang tinggi menunjukkan semakin banyak senyawa yang
terekstrak dalam sampel.
30

22,77

25
20

15,39

15

11,00

10,24

12,80
9,04

10
5
0
Ciampea

Cikabayan

Ciampea

Etanol

Cikabayan

Metanol

Ciampea

Cikabayan

N-Heksana

Sampel

Gambar 3 Rendemen yang dihasilkan pada setiap sampel
Kandungan Alkaloid, Saponin, dan Tanin
Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, uji flavonoid, uji tanin,
dan uji flavonoid. Berdasarkan hasil uji fitokimia ekstrak etanol, metanol dan nheksan dari sambiloto (Tabel 1), setiap ekstrak dari sambiloto mengandung
flavonoid dan alkaloid. Keberadaan alkaloid dalam setiap ekstrak hanya terdeteksi
dari pereaksi Dragendorf. Hal ini diduga karena keberadaan alkaloid yang sangat
sedikit sehingga hanya dapat terdeteksi oleh pereaksi yang paling sensitif.
Kandungan tanin hanya terdapat pada ekstrak etanol sambiloto asal Ciampea
Bogor dan ekstrak metanol sambiloto asal Cikabayan Bogor. Pada penelitian ini
tidak ditemukan kandungan saponin pada setiap sampel. Hal ini dimungkinkan
karena keberadaan sanyawaan lain lebih dominan, sehingga keberadaan saponin
yang ditandai dengan terbentuknya busa stabil tidak terdeteksi.
Tabel 1 Hasil Pengujian Fitokimia
Uji
Flavonoid
Tanin
Saponin
Dragendorf
Mayer
Wagner

Sampel Ciampea
Etanol
+
+
+
-

Metanol
+
+
-

N-Heksana
+
+
-

Sampel Cikabayan
Etanol
+
+
-

Metanol
+
+
+
-

N-Heksana
+
+
-

8
Kadar Total Fenol
Penentuan kadar total fenol dilakukan dengan menggunakan pereaksi
Follin-Ciocalteau yang akan mengoksidasi fenolat, mereduksi asam heteropoli
menjadi suatu kompleks molybdenum-tungsten (Mo-W) berwarna biru yang
diukur pada panjang gelombang 750 nm (Schopield et al. 2001). Total fenol
dihitung berdasarkan kurva standar tanin dengan persamaan y = 0.012x + 0.016
dengan R2 = 0.991. Hasil uji menunjukkan kadar senyawaan fenolik tertinggi pada
ekstrak metanol dari kedua sampel, baik sampel berasal dari Ciampea maupun
sampel berasal dari Cikabayan yaitu masing-masing sebesar 7,63 % dan 6,02 %
(Tabel 2).
Tabel 2 Kadar total fenol pada setiap ekstrak sambiloto
Ekstrak
Total Fenol (% b/b)
Etanol
4.34a ± 0.23
Metanol
7.63b ± 0.11
n-heksana
4.71a ± 0.72
Sambiloto asal Cikabayan
Etanol
4.82a,b ± 0.49
Metanol
6.02b ± 0.84
n-heksana
3.50a ± 0.77
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa secara statistik
perlakuan ekstraksi berbeda nyata pada α = 0.05 dengan uji Duncan
Sampel
Sambiloto asal Ciampea

Kandungan Total Flavonoid
Total flavonoid dari tiap sampel diukur menggunakan pereaksi AlCl3 dan
kalium asetat. Prinsip metode ini adalah AlCl3 akan membentuk kompleks stabil
tahan-asam dengan gugus keto C-4 dan gugus hidroksil C-3 atau C-5 dari flavon
dan flavonol. AlCl3 juga akan membentuk kompleks yang stabil dalam asam
dengan gugus orto-dihidroksil pada cincin A atau B dari flavonoid (Chang et al.
2002). Total flavonoid dihitung berdasarkan kurva standar kuersetin dengan
persamaan garis y = 0.070x – 0.017 dengan besar R2 adalah 0.998. Kadar
flavonoid pada ekstrak sambiloto ini tidak terlalu tinggi, hanya berkisar 0,18
hingga 0,45 % b/b. Ekstrak yang memiliki kandungan flavonoid paling tinggi
adalah ekstrak metanol dari Cikabayan sebesar 0,45 % b/b (Tabel 3).
Tabel 3 Total flavonoid pada setiap ekstrak sambiloto
Sampel

Ekstrak

Flavonoid (% b/b)

Sambiloto Ciampea

Etanol

0.28a ± 0.03

Metanol

0.30a ± 0.03

n-heksana

0.26a ± 0.02

Etanol

0.18a ± 0.03

Metanol

0.45b ± 0.05

Sambiloto Cikabayan

n-heksana
0.24a ± 0.03
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa secara statistik
perlakuan ekstraksi berbeda nyata pada α = 0.05 dengan uji Duncan

Kadar Komponen Bioaktif
Komponen bioaktif yang dianalisis pada penelitian ini adalah kadar
andrografolida. Kadar andrografolida ekstrak etanol, metanol, dan n-heksana
sambiloto asal Ciampea dan Cikabayan dapat dilihat pada Tabel 4. Penelitian ini

9
menggunakan ekstrak sambiloto yang dilarutkan dengan metanol dengan 10x
pengenceran dan diukur dengan menggunakan HPLC. Berdasarkan hasil
penelitian, kadar andrografolida ekstrak metanol sambiloto asal kebun Cikabayan
memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak lainnya yaitu
sebesar 108,4 mg/g. Selain itu, ekstrak etanol sambiloto asal Ciampea juga
memiliki kadar andrografolida yang cukup tinggi yaitu sebesar 101,31 mg/g
(Tabel 4).
Tabel 4 Kadar andrografolida setiap ekstrak sambiloto
Kadar Andrografolida
(mg/g)
Sambiloto Ciampea
Etanol
101.31a ± 37.47
Metanol
82.94a ± 8.15
N-heksana
68.05a ± 17.28
Sambiloto Cikabayan
Etanol
77.71b ± 7.63
Metanol
108.4a ± 6.94
N-heksana
89.89a ± 10.30
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa secara statistik
perlakuan ekstraksi berbeda nyata pada α = 0.05 dengan uji Duncan
Sampel

Ekstrak

Aktivitas Antioksidan
Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH dinyatakan dalam nilai IC50
yang menunjukkan konsentrasi ekstrak yang dapat menghambat aktivitas DPPH
sebesar 50 %. Hasil uji (Tabel 5) menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari
sampel Ciampea memiliki IC50 lebih rendah daripada ekstrak lainnya yaitu
sebesar 69,93 ppm. Semakin rendah nilai IC50 suatu bahan, maka semakin tinggi
aktivitas antioksidannya. Hal tersebut disebabkan karena hanya dibutuhkan
sejumlah kecil konsentrasi sampel untuk meredam 50 % radikal bebas DPPH.
Blois (1958) diacu dalam Hanani et al. (2005) mengatakan bahwa suatu bahan
memiliki aktivitas antioksidan yang kuat apabila memiliki nilai IC50 kurang dari
200 ppm (setara dengan 200 µg/mL). Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh
menunjukkan bahwa semua ekstrak sambiloto yang telah diuji aktivitas
antioksidannya memiliki nilai IC50 kurang dari 200 ppm.
Tabel 5 Aktivitas antioksidan dari setiap ekstrak sambiloto
Sampel
Sambiloto Ciampea

Sambiloto Cikabayan

Ekstrak

IC50 (ppm)

Etanol

129.84b ± 18.56

Metanol

69.93a ± 11.52

n-heksana

142.49a ± 3.28

Etanol

155.00b ± 14.97

Metanol

117.87a ± 23.68

n-heksana
93.11a ± 5.08
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa secara statistik
perlakuan ekstraksi berbeda nyata pada α = 0.05 dengan uji Duncan

10
Tabel 6 Hasil uji korelasi aktivitas antioksidan dengan total fenol, flavonoid dan
kadar andrografolida
Antioksidan (IC50)
Signifikansi
Koefisien korelasi

Total Fenol

Flavonoid

Kadar Andrografolida

(A)

0.000*

0.210

0.670

(B)

0.943

0.524

0.345

(A)

-0.938**

-0.462

0.166

(B)
0.028
-0.245
Keterangan: *Hasil uji signifikan pada taraf 0.05
**Korelasi sangat signifikan pada taraf 0.01
A = Sampel Ciampea
B = Sampel Cikabayan

-0.358

Pembahasan
Kadar Air dan Kadar Abu Ekstrak Sambiloto
Penentuan kadar air dalam simplisia bertujuan untuk mengetahui berapa
banyak air yang masih terkandung dalam simplisia tersebut. Proses penentuan
kadar air sangat penting dilakukan pada tahap awal penelitian karena apabila
kadar air dalam sampel yang akan diuji terlalu tinggi dikhawatirkan hasil yang
diperoleh tidak terlalu baik karena masih terlalu banyak air dalam sampel tersebut.
Rendahnya kadar air dapat mencegah pencemaran mikroorganisme sehingga mutu
simplisia terjaga (Harmita 2006).
Penentuan kadar air dilakukan untuk mengetahui ketahanan suatu bahan
dalam penyimpanan. Air yang terikat secara fisik dapat dihilangkan dengan
pemanasan pada suhu 100-1050C (Harjadi 1993). Pada penelitian ini, kandungan
air pada sampel sambiloto dihilangkan dengan cara pemanasan fisik menggunakan
oven pada suhu 1050 C. Menurut Winarno (1992) dalam Ichsan (2011), persen
kadar air juga digunakan sebagai faktor koreksi perhitungan rendemen suatu
sampel, jika sampel yang digunakan memiliki lingkungan agrofisik yang berbeda,
sehingga dapat dipakai untuk memperkirakan jumlah bahan yang dibutuhkan jika
ingin mengekstraksi bahan dalam keadaan basah. Berdasarkan hasil penelitian
(Gambar 1) kadar air ketiga sampel bernilai kurang dari 15%. Kadar air tertinggi
dimiliki sampel asal Ciampea, yaitu 12,07 %. Sampel asal Cikabayan memiliki
kadar air sebesar 10,01 %. Sampel yang baik untuk disimpan dalam jangka waktu
panjang adalah sampel yang memiliki kadar air kurang dari 10 % karena dapat
terhindar dari pencemaran mikroorganisme dan jamur (Winarno 1992).
Nilai kadar abu menunjukkan mineral yang terkandung di dalam bahan.
Kadar abu yang lebih tinggi adalah pada sampel asal Ciampea, yaitu sebesar 12,45
%, sedangkan pada sampel Cikabayan sebesar 9,09 % (Gambar 2). Kadar abu
yang lebih tinggi pada sampel Cikabayan dapat disebabkan oleh perbedaan
kondisi pertumbuhan, pemupukan, waktu panen, teknik panen, dan perlakuan
setelah pemanenan (Bakker & Elbersen 2005).
Rendemen Ekstrak Sambiloto
Menurut Sembiring (2005) tanaman sambiloto dapat dibudidayakan di
daerah basah (Bogor) pada lahan tanpa naungan sampai naungan sedang (0-30 %).
Di atas naungan 30 % produksi akan menurun sekitar 50 %. Mutu ekstrak
dipengaruhi oleh mutu simplisia, peralatan yang digunakan, serta prosedur

11
ekstraksi (ukuran bahan, jenis pelarut, konsentrasi pelarut, nisbah bahan dengan
pelarut, suhu, lama ekstraksi, pemurnian, dan pengeringan ekstrak (Vijesekera
1991 dalam Sembiring 2005).
Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi dan partisi. Proses maserasi
dilakukan selama 2 x 24 jam. Menurut Nurcholis (2008), rendemen hasil ekstraksi
akan meningkat seiring dengan lamanya waktu ekstraksi. Semakin lama waktu
ekstraksi maka waktu kontak antara pelarut dengan bahan baku akan semakin
lama. Kondisi ini terus berlanjut sampai tercapai keseimbangan antara konsentrasi
senyawa dalam sampel dengan konsentrasi pelarut. Hasil rendemen ekstrak
sambiloto asal Ciampea dan kebun Cikabayan dengan pelarut etanol, metanol, dan
n-heksana dapat dilihat pada Gambar 3. Ekstrak metanol dari sambiloto asal
Ciampea memiliki rendemen ekstrak yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak
etanol dan n-heksana. Berdasarkan hasil penelitian, ekstrak etanol dari sambiloto
asal Ciampea dan Cikabayan berturut-turut adalah 15,39 % dan 10,24 %, ekstrak
metanol sambiloto asal Ciampea dan Cikabayan berturut-turut adalah 22,77 % dan
11,00 %, dan ekstrak n-heksana sambiloto asal Ciampea dan Cikabayan adalah
12.81 % dan 9.04 % (Gambar 3).
Pemilihan pelarut merupakan faktor penting dalam proses ekstraksi. Jenis
pelarut yang digunakan harus memiliki daya larut yang tinggi dan tidak berbahaya
atau beracun. Menurut Depkes (1998) dalam Sembiring (2005), pelarut yang
dipilih harus menguntungkan artinya dalam jumlah sedikit sudah dapat
melarutkan zat aktif suatu bahan dan waktu untuk menguapkan pelarut lebih
singkat sehingga kerusakan zat aktif yang tidak tahan panas dapat dikurangi.
Menurut Sembiring et al. (2009) jenis pelarut yang optimal untuk mengekstrak
sambiloto adalah etanol 70 %.
Kandungan Alkaloid, Saponin, dan Tanin
Analisis senyawa fitokimia merupakan uji pendahuluan yang bersifat
kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang
terdapat di dalam sampel yang diduga memiliki bahan bioaktif. Metabolit
sekunder yang biasanya terdapat di dalam tanaman antara lain alkaloid, flavonoid,
tanin, polifenol, saponin, terpenoid, dan lain-lain.
Hasil uji menunjukkan adanya alkaloid pada seluruh ekstrak baik pada
sampel Ciampea maupun sampel Cikabayan (Tabel 1). Namun, keberadaan
alkaloid dalam setiap ekstrak hanya terdeteksi dari pereaksi Dragendorf. Hal ini
diduga karena keberadaan alkaloid yang sangat sedikit sehingga hanya dapat
terdeteksi oleh pereaksi yang paling sensitif.
Potensi antioksidan diduga juga didasarkan atas keberadaan tanin. Tanin
merupakan senyawa yang banyak terkandung dalam teh. Hal ini diacu dari hasil
penelitian (Chen 1995 dalam Winata 2011) yang melaporkan bahwa berbagai
jenis teh memiliki aktivitas antioksidan dan aktivitas tersebut dapat menghambat
proses mutasi dan kanker, karena kemampuannya untuk membersihkan radikal
bebas dan menginduksi enzim yang bersifat antioksidan (Satria 2005). Hasil uji
menunjukkan bahwa ekstrak etanol sampel asal Ciampea dan ekstrak metanol
sampel asal Cikabayan Bogor memiliki kandungan tanin. Selain mengandung
tanin, hasil uji menunjukkan bahwa pada setiap ekstrak pada masing-masing
sampel mengandung flavonoid. Menurut Kardono (2003) dalam Ichsan (2011),
perbedaan kandungan fitokimia pada jenis tanaman yang sama sering kali dapat

12
terjadi karena beberapa faktor, yaitu jenis pelarut yang digunakan saat ekstraksi,
variasi genetik, umur tanaman, dan lingkungan atau kondisi geografis tempat
tanaman tersebut tumbuh.
Kadar Total Fenol
Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik
atau polifenolik. Senyawa fenolik tersebut bersifat multifungsional dan berperan
sebagai antioksidan karena mempunyai kemampuan sebagai pereduksi, penangkal
radikal bebas, pengkelat logam, atau pengubah oksigen singlet, menjadi bentuk
triplet (Croft 1999; Estiasih & Andiyas 2006). Oleh sebab itu kadar total fenol
dari ekstrak sambiloto dikaitkan dengan mekanisme antioksidan berdasarkan
pengkajiannya pada kemampuan penghambatan peroksidasi (aktivitas
antioksidan).
Kadar total fenol ekstrak sambiloto pada penelitian ini diukur dengan
menggunakan prinsip Folin-Ciocalteau yang didasarkan pada reaksi oksidasireduksi. Reagen Folin yang terdiri dari asam fosfomolibdat dan asam
fosfotungstat akan tereduksi oleh senyawa polifenol menjadi molybdenumtungsen (Kusumaningati 2009). Reaksi ini membentuk kompleks warna biru.
Semakin tinggi kadar fenolik pada sampel, semakin banyak molekul kromagen
(biru) yang terbentuk sehingga semakin tinggi nilai absorbansi pada sampel
tersebut. Intensitas dari warna yang dibentuk diukur pada panjang gelombang 725
nm.
Hasil pengukuran kadar fenolik (Tabel 3) menunjukkan bahwa kadar total
fenolik pada ekstrak metanol dari kedua sampel (asal Ciampea dan Cikabayan)
Kadar total fenol ekstrak etanol (4,34 % b/b) sampel Ciampea dan sampel
Cikabayan (4,82 % b/b) dan kadar total fenol ekstrak n-heksana sampel Ciampea
(4,71 % b/b) dan sampel Cikabayan (3,50 % b/b) lebih kecil dibandingkan dengan
ekstrak metanol sebesar 7,63 % b/b sampel Ciampea dan 6,02 % b/b sampel
Cikabayan. Sehingga dapat dikatakan ekstrak metanol lebih baik dalam
mengekstrak senyawa fenol dibandingkan dengan etanol dan n-heksana.
Kadar total fenol dipengaruhi oleh jenis pelarut (Mu’nisa et al. 2012). Fenol
merupakan senyawa yang bersifat polar sehingga kelarutannya paling tinggi
dalam pelarut polar. Pelarut yang bersifat polar mampu melarutkan fenol lebih
baik sehingga kadarnya dalam ekstrak menjadi tinggi (Moein dan Mahmood
2010). Menurut Przybylski et al. (2001), metanol merupakan pelarut yang paling
baik dalam mengekstrak senyawa fenol. Berdasarkan hasil penelitian ini diduga
senyawa fenolik yang terdapat dalam ekstrak sambiloto terdiri dari berbagai jenis
dengan kisaran polaritas yang luas karena dapat larut dalam metanol (polar) dan
etanol (semipolar).
Data kadar total fenolik ekstrak sambiloto diolah menggunakan uji statistika
untuk mengetahui apakah tiap perlakuan ekstraksi memberikan perbedaan yang
nyata terhadap kadar total fenolik ekstrak. Hasil uji statistika menunjukkan bahwa
pada ekstrak sambiloto asal Ciampea nilai p faktor perlakuan ekstraksi lebih kecil
dari galat 5 % (p