Kehidupan Buruh Perempuan Perkebunan Di Desa Sukaluwei, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Deli Serdang
Mastauli Siregar, Keterlibatan Ibu Bekerja...
KEHIDUPAN BURUH PEREMPUAN PERKEBUNAN
DI DESA SUKALUWEI, KECAMATAN BANGUN PURBA,
KABUPATEN DELI SERDANG
Mazdalifah
Abstract: Woman labour’s plantation life is too hard. They have many activity; they do
themselves to handle they daily activity. Most of them have low knowledge about
nutrition, development of child education, and how to create the harmonic
communication. The problem solving this case are intending to increase the knowledge
and awereness the woman labour. Goverment, NGO, and people have responsibility to
develop their life.
Keywords: labour, plantation, knowledge
PENDAHULUAN
Propinsi Sumatera Utara memiliki lahan
perkebunan yang amat luas. Perkebunan
merupakan sektor utama untuk menghasilkan
devisa negara. Disamping itu, perkebunan
merupakan lahan penyedia lapangan pekerjaan,
baik laki-laki maupun perempuan. Hasil sensus
tahun 1990 menunjukkan bahwa tenaga kerja di
Sumatera Utara terdiri dari 51,1% laki-laki dan
48,1% perempuan (Pemda Sumut, 1991).
Hasil di atas menunjukkan bahwa
perempuan turut berperan dalam memberikan
kontribusi ekonomi bagi keluarga. Kondisi ini
dapat dijumpai di beberapa perkebunan seperti, di
PTPN II, PTPN III, PTPN IV, atau di perkebunan
milik swasta seperti LONSUM, dan PT. Indah
Poncan di desa Sukaluwei Kecamatan Bangun
Purba Kabupaten Deli Serdang. Dalam konteks
ini, perempuan khususnya ibu rumah tangga
bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL) dan
buruh pabrik ramling (pengolahan karet).
Pilihan sebagai buruh disebabkan karena
dua alasan, antara lain: Pertama, penghasilan
suami (umumnya bekerja sebagai karyawan
perkebunan) tidak mencukupi. Kondisi ini
kemudian menyebabkan istri harus bekerja guna
memenuhi ekonomi keluarga. Kedua, pekerjaan
tersebut relatif mudah dan dapat dilakukan siapa
saja.
Pekerjaan
sebagai
buruh
tidak
membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan
tinggi, atau dapat dikatakan hanya membutuhkan
tenaga. Umumnya perempuan dan ibu rumah
tangga di desa Sukaluwei berpendidikan rendah
(tamatan SD), sehingga mereka tidak mempunyai
pilihan selain bekerja sebagai buruh.
Kehidupan sebagai buruh di perkebunan
merupakan pilihan yang cukup berat pada saat
ini. Arus globalisasi yang menerjang membuat
kehidupan buruh perkebunan, khususnya buruh
perempuan menjadi semakin termarginalisasi.
Sesungguhnya, tidak banyak orang yang
mengetahui bagaimana buruh perempuan di
perkebunan menjalani kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu, tulisan ini berupaya memberi
gambaran lengkap, tentang kehidupan perempuan
yang bekerja sebagai buruh.
Sebagai representasi buruh perkebunan,
penulis coba mengangkat kehidupan buruh
perempuan di PT. Indah Poncan, tepatnya di desa
Sukaluwei Kecamatan Bangun Purba Kabupaten
Deli Serdang. Hal yang menarik di lokasi ini
adalah adanya dua jenis buruh. Pertama, buruh
perempuan yang bekerja sebagai buruh harian
lepas pada perkebunan dengan tugas utama
membabat, merumput, membersihkan parit, dan
sebagainya. Kedua, buruh perempuan yang
bekerja di Pabrik pengolahan karet (pabrik
ramling) dengan tugas utama mencuci dan
menjemur lembaran karet untuk di ekspor ke luar
negeri. Pada umumnya, buruh perempuan ini
telah berkeluarga, sehingga penulis merasakan
unik dan beratnya peran ganda yang harus
mereka jalankan.
PEMBAHASAN
Kehidupan Buruh Perempuan Perkebunan
Secara tradisional, ada tiga peranan
utama perempuan Indonesia yang dapat
diidentifikasikan, antara lain; rumah tangga dan
pendapatan yang berkaitan dengan kegiatan
rumah tangga, reproduksi dan produksi sosial
yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan dan
kesejahteraan anak, serta kerja sosial yang
menunjang status keluarga. Kini selain ketiga
Mazdalifah adalah Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU Medan
19
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, September 2007, Volume II, No. 1
aspek tradisional di atas, perempuan juga
seringkali (karena terpaksa untuk dapat
memenuhi kebutuhan rumah tangga) bekerja di
luar rumah, mencari kerja di pasaran yang ada
(Herawati dan Vitayala, 1990).
Demikian pula dengan hasil temuan di
Desa Sukaluwei, kaum perempuan harus bekerja
guna membantu perekenomian keluarga sebagai
buruh di perkebunan dan pabrik. Buruh
perempuan di perkebunan menjalani kehidupan
dan aktifitas sehari-hari dengan penuh kesibukan.
Mereka dituntut untuk pandai membagi waktu
antara pekerjaan dan rumah tangga, agar
keduanya berjalan dengan lancar. Aneka
pekerjaan mereka jalani dengan penuh ketekunan
demi keluarga dan anak-anak.
Menjadi karyawan perkebunan, dalam
hal ini lebih tepat dengan sebutan “memburuh”,
merupakan altrnatif yang dilakukan untuk bebas
dari himpitan pengeluaran yang kerap lebih besar
dari penghasilan mereka sendiri. Penghasilan
mereka yang rendah tidak mampu menopang
pemenuhan berbagai kebutuhan hidup (Berutu,
1992).
Pekerjaan
membabat,
merumput,
memupuk, membersihkan parit, mencuci, dan
menjemur lembaran karet merupakan jenis-jenis
pekerjaan yang sering mereka lakukan. Sebagai
buruh perkebunan, mereka berangkat pukul 6.30
pagi dan pulang ke rumah pukul 15.00. Sebelum
berangkat meninggalkan rumah, mereka harus
menyelesaikan terlebih dahulu pekerjaan rumah
tangga, seperti mencuci, memasak, dan
membersihkan rumah. Setelah semuanya
dipersiapkan,
buruh
perempuan
dapat
meninggalkan beban domestiknya. Sementara itu,
buruh perempuan yang bekerja di pabrik dibagi
atas dua shift. Shift pagi aktif bekerja mulai
pukul 06.30 dan selesai pukul 11.00. Shift sore
aktif bekerja mulai pukul 17.00 dan seleai pukul
10.00 malam.
Hampir sama dengan buruh yang bekerja
di perkebunan, buruh pabrik tersebut juga harus
menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum
berangkat kerja. Pekerjaan tersebut diselesaikan
agar mereka dapat meninggalkan rumah dengan
tenang. Karena telah berkeluarga, buruh
perkebunan harus mengombinasikan pekerjaan
sebagai buruh dengan tugas rumah tangga, dan
membaginya dengan seluruh anggota keluarga.
Meskipun demikian, porsi terbesar tetap menjadi
tanggung jawab perempuan.
20
Hasil penelitian Sukesi (1999) pada
buruh pemetik kopi mendeskripsikan aktifitas
buruh sebagai berikut: Para perempuan bangun
pagi (shubuh), melakukan sholat shubuh,
menyiapkan makan pagi, minuman dan bekal
untuk dibawa ke perkebunan, kemudian menyapu
halaman. Pada saat suling kebun berbunyi pukul
06.00, para buruh harus berkumpul di halaman
kantor perkebunan untuk menerima pengarahan
kerja. Sebagian buruh pulang tengah hari, tetapi
buruh petik dan sortasi pulang pukul 16.00.
Setelah istirahat sebentar, para buruh perempuan
melakukan pekerjaan rumah tangga seperti
memasak, mencuci pakaian, dan mencuci
peralatan rumah tangga.
Buruh perempuan yang merangkap
sebagai ibu rumah tangga merupakan motor
penggerak kelangsungan hidup bagi keluarganya.
Dengan demikian, mereka harus bergerak
menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Lebih
lanjut, Gartijah (1990) menyebutkan bahwa hal
yang paling utama bagi buruh perempuan adalah
mempersiapkan bontot untuk suami, untuk
dirinya, untuk anaknya yang dititip di pajak bebi,
dan sarapan untuk anak yang sekolah.
Selanjutnya penelitian Gartijah (1990)
mengungkapkan bahwa pengasuhan anak-anak
yang masih kecil diserahkan kepada balai
penitipan anak (pajak bebi), kepada anak yang
lebih tua, atau kepada neneknya. Bila keluarga
dekat tidak ada, mereka menggunakan jasa
pengasuh amatir dari tetangga dengan memberi
imbalan berupa uang. Penelitian ini juga
menemukan bahwa perkembangan anak-anak
cenderung mengarah kepada tingkah laku
pesimistis dikarenakan semenjak kecil anak
ditinggal bekerja oleh ibunya.
Selain aktifitas utama sebagai istri, ibu,
dan pencari nafkah dalam rumah tangga, buruh
perempuan juga merupakan bagian dari anggota
masyarakat. Sebagai pemeluk agama Islam,
mereka tidak pernah lepas dari kegiatan
keagamaan yang dilakukan di desa Sukaluwei.
Misalnya, mereka mengikuti pengajian di Mesjid
yang
secara
rutin
setiap
minggu
menyelenggarakan ceramah dengan topik
tertentu, dimana hal ini dapat menambah
pengetahuan mereka tentang agama. Kemudian,
ada juga kegiatan seperti pengajian wirid yaasin
yang lebih banyak diselenggarakan dari rumah ke
rumah. Kegiatan ini mereka ikuti karena adanya
anggapan bahwa dengan mengaji dari rumah ke
rumah selain dapat mempererat tali silaturrahim
Universitas Sumatera Utara
Mazdalifah, Kehidupan Buruh Perempuan Perkebunan...
di antara mereka dan dengan warga lain, juga
dapat mengurangi stress atau beban kehidupan
yang mereka alami.
Aktifitas
yang
demikian
padat
mengakibatkan
buruh
perempuan
sering
meninggalkan rumah dan keluarga mereka.
Frekuensi pertemuan dengan keluarga (suami dan
anak) menjadi sangat terbatas, komunikasi
keluarga berjalan dengan seadanya. Apabila
mereka memiliki sisa waktu, praktis waktu
tersebut digunakan untuk mengerjakan pekerjaan
rumah tangga. Kondisi ini mengakibatkan
anggota keluarga, khususnya perkembangan anak
usia balita sering terabaikan.
Pertengkaran antar suami dan istri, atau
antar istri dan anak yang sudah besar sering
terjadi. Bagi masyarakat di sekitar perkebunan
Desa Sukaluwei, kondisi seperti ini dapat
dimaklumi, mengingat kasus semacam itu juga
sering dialami oleh keluarga lainnya. Bagi
mereka pertengkaran semacam itu wajar saja
terjadi, karena kehidupan yang semakin berat,
suami dan istri sibuk bekerja untuk memenuhi
biaya hidup dan pendidikan anak.
Penelitian Ratnauli (1989) menunjukkan
bahwa buruh perkebunan di Desa Keluwei
merupakan keturunan kuli kontrak yang
didatangkan dari jawa. Mayoritas karyawan
perkebunan memiliki jumlah anak yang cukup
banyak. Dengan kehidupan ekonomi yang sangat
rendah, mereka melakukan skala prioritas dalam
kehidupan keluarga. Penelitian tentang upah
buruh perempuan yang disponsori oleh
AKATIGA menujukkan bahwa tingkat upah
yang berlaku hanya memenuhi 75% kebutuhan
fisik minimum bagi buruh lajang dan hanya
memenuhi 30% kebutuhan keluarga dengan dua
anak (Indraswari dan Thamrin, 1995).
Selanjutnya, mereka lebih mendahulukan
kebutuhan sandang dan pangan daripada
pendidikan anak. Kondisi ini menyebabkan
pendidikan anak menjadi terabaikan. Orang tua
tidak mampu melanjutkan pendidikan formal
anak ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini
semakin dipicu oleh lingkungan, dimana pihak
perkebunan menerima anak usia lanjutan sebagai
pekerja. Menurut mereka pendidikan tidak begitu
penting, karena pihak perkebuanan bersedia
menampung mereka sebagai buruh harian.
Kondisi pendidikan anak-anak di desa
Sukeluwei hampir sama dengan gambaran di
atas, dimana banyak anak-anak yang tidak
melanjutkan sekolahnya karena ketiadaan biaya.
Gaji sebagai buruh tidak mencukupi untuk
menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih
tinggi. Rata-rata pendidikan anak berhenti di
jenjang SMP atau SMA. Jarang sekali ditemukan
keluarga yang dapat menyekolahkan anak hingga
ke jenjang perguruan tinggi. Hal lain yang sering
ditemukan adalah masalah perawatan kesehatan
dan keluarga. Utamanya, perawatan kesehatan
diri dan gizi buruh perempuan itu sendiri dan
anaknya. Anak mereka tidak mendapatkan
makanan dengan gizi yang baik sehingga sering
mengalami sakit. Pengetahuan mereka tentang
jenis-jenis makanan yang bergizi dapat dikatakan
kurang. Makanan yang disuguhkan untuk
keluarga hanya apa adanya saja, tanpa ada
pertimbangan tentang nilai gizi yang dikandung.
Berdasarkan gambaran di atas, dapat
dilihat bahwa buruh perempuan hampir tidak
memiliki kesempatan untuk memikirkan menu
atau jenis makanan apa yang harus disajikan
untuk keluarga. Yang paling penting bagi mereka
adalah tersedianya makanan, selama mereka
meninggalkan rumah. Hasil tanaman di sekitar
pekarangan seperti daun ubi, genjer, kangkung,
atau labu sering dimanfaatkan untuk hidangan
sehari-hari. Lauk ikan asin dan telur adalah
makanan yang paling sering dikonsumsi karena
harganya relatif murah. Umumnya, mereka tidak
memikirkan apakah makanan yang dikonsumsi
bergizi baik atau tidak, yang paling penting
adalah makanan tersedia dalam jumlah yang
cukup untuk seluruh anggota keluarga.
Selain masalah anak, buruh perempuan
di perkebunan menghadapi permasalahan yang
berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan
di tempat kerja mereka. Hasil penelitian Emy
(1905) menemukan bahwa buruh perempuan di
perkebunan menghadapi gangguan kesehatan
karena aktifitas monoton dalam bekerja.
Misalnya buruh perempuan sebagai penampi dan
pemilih biji, mereka hanya duduk berjam-jam
untuk memilih biji dan sekali-sekali mereka
berdiri. Kondisi ini menyebabkan mereka banyak
menderita sakit pinggang. Pihak perusahaan juga
tidak menyediakan sarana kamar mandi atau WC,
sehingga mereka seringkali menahan keinginan
buang air kecil. Hal-hal seperti ini amat mudah
memicu timbulnya penyakit pada diri perempuan
seperti timbulnya infeksi saluran kemih, dan
penyakit lain.
Buruh perkebunan yang umumnya hidup
di pedesaan sering mengalami ketidakadilan
seperti gambaran di atas. Kepatuhan buruh
21
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, September 2007, Volume II, No. 1
perempuan dalam bekerja telah dimanfaatkan
oleh perusahaan, seperti yang dialami oleh buruh
perempuan pabrik gula di kota kecil di Jawa
Tengah. Umumnya menghadapi permasalahan
seputar perlakuan di pabrik, tuntutan kerja yang
semakin meningkat, padahal imbalannya sangat
sedikit (Marcoes, 1995). Lebih lanjut hasil
penelitian Indraswari dan Thamrin pada buruh
garmen (1995) mengungkapkan bahwa pihak
perusahaan lebih leluasa melalaikan penyediaan
fasilitas penyelamatan kerja. Pengadaan masker
sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah
buruh yang ada.
Kondisi yang hampir sama dijumpai pada
buruh perempuan perkebunan di Desa Sukaluwei
dan di pabrik ramling. Pihak perusahaan tidak
menyediakan sarung tangan, sepatu bot, ataupun
masker yang berfungsi sebagai pengaman kerja.
Minimnya penyediaan fasilitas penyelamatan
kerja
dikhawatirkan
akan
menimbulkan
gangguan kesehatan bagi buruh perempuan. Pada
pekerjaan tertentu seperti meracun, ketiadaan
22
masker
pelindung
dapat
mengakibatkan
gangguan kesehatan bagi buruh perempuan.
PENUTUP
Berbagai penjelasan di atas menunjukkan
bahwa kehidupan buruh perempuan di
perkebunan sangat berat. Tantangan ke depan
adalah bagaimana meningkatkan kualitas hidup
mereka agar lebih baik. Hal ini tentu saja
memerlukan bantuan berbagai pihak baik dari
pemerintah, NGO atau lembaga lainnya.
Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan kegiatan dalam bentuk pertemuan,
seperti penyuluhan, ceramah atau pelatihan yang
dapat
meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan.
Apabila
buruh
perempuan
memiliki pengetahuan dan ketrampilan, maka
buruh akan dapat menjadi motor penggerak
dalam membangun kehidupan keluarga yang
lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
Mazdalifah, Kehidupan Buruh Perempuan Perkebunan...
DAFTAR PUSTAKA
Berutu, Maria Krisna. 1992. Kondisi Ekonomi Rumah Tangga Karyawan Wanita Perkebunan. FISIP
USU, Skripsi tidak diterbitkan
Erawaty, Emy, 1995, Sistem Jaringan Kerja Karyawan Harian Lepas Wanita dan Aspek
Kehidupannya. Skripsi (S-1) Tidak diterbitkan. Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara.
Gartijah, Teti. 1990. Sosialisasi Anak Pada Masyarakat Perkebunan. Skripsi (S-1) Tidak diterbitkan.
Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Indraswari, Thamrin. 1999. Potret kerja Buruh Perempuan: Tinjauan pada Agroindustri Tembakau
Ekspor di Jember, dalam Tanah, Buruh, dan Usaha kecil. Bandung: Akatiga.
Marcoes, Lies (Ed.). 1995. Tenaga Pendamping Lapangan (TPL) Perempuan Peran Strategis namun
Marginal. Jakarta: Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW).
Noerhadi, Toety Herawaty dan Vitayala, Aida. 1990. Dinamika Perempuan Indonesia. Jakarta: Pusat
pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW).
RJF, Ratnauli. 1989. Kehidupan Sosial Karyawan Umum Suku Bangsa Jawa Perkebunan Karet dan
Pengaruhnya terhadap pendidikan Formal Ana. Skripsi (S-1) Tidak diterbitkan. Medan:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Sayogya, Pujiwati dan Sayogyo. 1982. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
23
Universitas Sumatera Utara
KEHIDUPAN BURUH PEREMPUAN PERKEBUNAN
DI DESA SUKALUWEI, KECAMATAN BANGUN PURBA,
KABUPATEN DELI SERDANG
Mazdalifah
Abstract: Woman labour’s plantation life is too hard. They have many activity; they do
themselves to handle they daily activity. Most of them have low knowledge about
nutrition, development of child education, and how to create the harmonic
communication. The problem solving this case are intending to increase the knowledge
and awereness the woman labour. Goverment, NGO, and people have responsibility to
develop their life.
Keywords: labour, plantation, knowledge
PENDAHULUAN
Propinsi Sumatera Utara memiliki lahan
perkebunan yang amat luas. Perkebunan
merupakan sektor utama untuk menghasilkan
devisa negara. Disamping itu, perkebunan
merupakan lahan penyedia lapangan pekerjaan,
baik laki-laki maupun perempuan. Hasil sensus
tahun 1990 menunjukkan bahwa tenaga kerja di
Sumatera Utara terdiri dari 51,1% laki-laki dan
48,1% perempuan (Pemda Sumut, 1991).
Hasil di atas menunjukkan bahwa
perempuan turut berperan dalam memberikan
kontribusi ekonomi bagi keluarga. Kondisi ini
dapat dijumpai di beberapa perkebunan seperti, di
PTPN II, PTPN III, PTPN IV, atau di perkebunan
milik swasta seperti LONSUM, dan PT. Indah
Poncan di desa Sukaluwei Kecamatan Bangun
Purba Kabupaten Deli Serdang. Dalam konteks
ini, perempuan khususnya ibu rumah tangga
bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL) dan
buruh pabrik ramling (pengolahan karet).
Pilihan sebagai buruh disebabkan karena
dua alasan, antara lain: Pertama, penghasilan
suami (umumnya bekerja sebagai karyawan
perkebunan) tidak mencukupi. Kondisi ini
kemudian menyebabkan istri harus bekerja guna
memenuhi ekonomi keluarga. Kedua, pekerjaan
tersebut relatif mudah dan dapat dilakukan siapa
saja.
Pekerjaan
sebagai
buruh
tidak
membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan
tinggi, atau dapat dikatakan hanya membutuhkan
tenaga. Umumnya perempuan dan ibu rumah
tangga di desa Sukaluwei berpendidikan rendah
(tamatan SD), sehingga mereka tidak mempunyai
pilihan selain bekerja sebagai buruh.
Kehidupan sebagai buruh di perkebunan
merupakan pilihan yang cukup berat pada saat
ini. Arus globalisasi yang menerjang membuat
kehidupan buruh perkebunan, khususnya buruh
perempuan menjadi semakin termarginalisasi.
Sesungguhnya, tidak banyak orang yang
mengetahui bagaimana buruh perempuan di
perkebunan menjalani kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu, tulisan ini berupaya memberi
gambaran lengkap, tentang kehidupan perempuan
yang bekerja sebagai buruh.
Sebagai representasi buruh perkebunan,
penulis coba mengangkat kehidupan buruh
perempuan di PT. Indah Poncan, tepatnya di desa
Sukaluwei Kecamatan Bangun Purba Kabupaten
Deli Serdang. Hal yang menarik di lokasi ini
adalah adanya dua jenis buruh. Pertama, buruh
perempuan yang bekerja sebagai buruh harian
lepas pada perkebunan dengan tugas utama
membabat, merumput, membersihkan parit, dan
sebagainya. Kedua, buruh perempuan yang
bekerja di Pabrik pengolahan karet (pabrik
ramling) dengan tugas utama mencuci dan
menjemur lembaran karet untuk di ekspor ke luar
negeri. Pada umumnya, buruh perempuan ini
telah berkeluarga, sehingga penulis merasakan
unik dan beratnya peran ganda yang harus
mereka jalankan.
PEMBAHASAN
Kehidupan Buruh Perempuan Perkebunan
Secara tradisional, ada tiga peranan
utama perempuan Indonesia yang dapat
diidentifikasikan, antara lain; rumah tangga dan
pendapatan yang berkaitan dengan kegiatan
rumah tangga, reproduksi dan produksi sosial
yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan dan
kesejahteraan anak, serta kerja sosial yang
menunjang status keluarga. Kini selain ketiga
Mazdalifah adalah Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU Medan
19
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, September 2007, Volume II, No. 1
aspek tradisional di atas, perempuan juga
seringkali (karena terpaksa untuk dapat
memenuhi kebutuhan rumah tangga) bekerja di
luar rumah, mencari kerja di pasaran yang ada
(Herawati dan Vitayala, 1990).
Demikian pula dengan hasil temuan di
Desa Sukaluwei, kaum perempuan harus bekerja
guna membantu perekenomian keluarga sebagai
buruh di perkebunan dan pabrik. Buruh
perempuan di perkebunan menjalani kehidupan
dan aktifitas sehari-hari dengan penuh kesibukan.
Mereka dituntut untuk pandai membagi waktu
antara pekerjaan dan rumah tangga, agar
keduanya berjalan dengan lancar. Aneka
pekerjaan mereka jalani dengan penuh ketekunan
demi keluarga dan anak-anak.
Menjadi karyawan perkebunan, dalam
hal ini lebih tepat dengan sebutan “memburuh”,
merupakan altrnatif yang dilakukan untuk bebas
dari himpitan pengeluaran yang kerap lebih besar
dari penghasilan mereka sendiri. Penghasilan
mereka yang rendah tidak mampu menopang
pemenuhan berbagai kebutuhan hidup (Berutu,
1992).
Pekerjaan
membabat,
merumput,
memupuk, membersihkan parit, mencuci, dan
menjemur lembaran karet merupakan jenis-jenis
pekerjaan yang sering mereka lakukan. Sebagai
buruh perkebunan, mereka berangkat pukul 6.30
pagi dan pulang ke rumah pukul 15.00. Sebelum
berangkat meninggalkan rumah, mereka harus
menyelesaikan terlebih dahulu pekerjaan rumah
tangga, seperti mencuci, memasak, dan
membersihkan rumah. Setelah semuanya
dipersiapkan,
buruh
perempuan
dapat
meninggalkan beban domestiknya. Sementara itu,
buruh perempuan yang bekerja di pabrik dibagi
atas dua shift. Shift pagi aktif bekerja mulai
pukul 06.30 dan selesai pukul 11.00. Shift sore
aktif bekerja mulai pukul 17.00 dan seleai pukul
10.00 malam.
Hampir sama dengan buruh yang bekerja
di perkebunan, buruh pabrik tersebut juga harus
menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum
berangkat kerja. Pekerjaan tersebut diselesaikan
agar mereka dapat meninggalkan rumah dengan
tenang. Karena telah berkeluarga, buruh
perkebunan harus mengombinasikan pekerjaan
sebagai buruh dengan tugas rumah tangga, dan
membaginya dengan seluruh anggota keluarga.
Meskipun demikian, porsi terbesar tetap menjadi
tanggung jawab perempuan.
20
Hasil penelitian Sukesi (1999) pada
buruh pemetik kopi mendeskripsikan aktifitas
buruh sebagai berikut: Para perempuan bangun
pagi (shubuh), melakukan sholat shubuh,
menyiapkan makan pagi, minuman dan bekal
untuk dibawa ke perkebunan, kemudian menyapu
halaman. Pada saat suling kebun berbunyi pukul
06.00, para buruh harus berkumpul di halaman
kantor perkebunan untuk menerima pengarahan
kerja. Sebagian buruh pulang tengah hari, tetapi
buruh petik dan sortasi pulang pukul 16.00.
Setelah istirahat sebentar, para buruh perempuan
melakukan pekerjaan rumah tangga seperti
memasak, mencuci pakaian, dan mencuci
peralatan rumah tangga.
Buruh perempuan yang merangkap
sebagai ibu rumah tangga merupakan motor
penggerak kelangsungan hidup bagi keluarganya.
Dengan demikian, mereka harus bergerak
menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Lebih
lanjut, Gartijah (1990) menyebutkan bahwa hal
yang paling utama bagi buruh perempuan adalah
mempersiapkan bontot untuk suami, untuk
dirinya, untuk anaknya yang dititip di pajak bebi,
dan sarapan untuk anak yang sekolah.
Selanjutnya penelitian Gartijah (1990)
mengungkapkan bahwa pengasuhan anak-anak
yang masih kecil diserahkan kepada balai
penitipan anak (pajak bebi), kepada anak yang
lebih tua, atau kepada neneknya. Bila keluarga
dekat tidak ada, mereka menggunakan jasa
pengasuh amatir dari tetangga dengan memberi
imbalan berupa uang. Penelitian ini juga
menemukan bahwa perkembangan anak-anak
cenderung mengarah kepada tingkah laku
pesimistis dikarenakan semenjak kecil anak
ditinggal bekerja oleh ibunya.
Selain aktifitas utama sebagai istri, ibu,
dan pencari nafkah dalam rumah tangga, buruh
perempuan juga merupakan bagian dari anggota
masyarakat. Sebagai pemeluk agama Islam,
mereka tidak pernah lepas dari kegiatan
keagamaan yang dilakukan di desa Sukaluwei.
Misalnya, mereka mengikuti pengajian di Mesjid
yang
secara
rutin
setiap
minggu
menyelenggarakan ceramah dengan topik
tertentu, dimana hal ini dapat menambah
pengetahuan mereka tentang agama. Kemudian,
ada juga kegiatan seperti pengajian wirid yaasin
yang lebih banyak diselenggarakan dari rumah ke
rumah. Kegiatan ini mereka ikuti karena adanya
anggapan bahwa dengan mengaji dari rumah ke
rumah selain dapat mempererat tali silaturrahim
Universitas Sumatera Utara
Mazdalifah, Kehidupan Buruh Perempuan Perkebunan...
di antara mereka dan dengan warga lain, juga
dapat mengurangi stress atau beban kehidupan
yang mereka alami.
Aktifitas
yang
demikian
padat
mengakibatkan
buruh
perempuan
sering
meninggalkan rumah dan keluarga mereka.
Frekuensi pertemuan dengan keluarga (suami dan
anak) menjadi sangat terbatas, komunikasi
keluarga berjalan dengan seadanya. Apabila
mereka memiliki sisa waktu, praktis waktu
tersebut digunakan untuk mengerjakan pekerjaan
rumah tangga. Kondisi ini mengakibatkan
anggota keluarga, khususnya perkembangan anak
usia balita sering terabaikan.
Pertengkaran antar suami dan istri, atau
antar istri dan anak yang sudah besar sering
terjadi. Bagi masyarakat di sekitar perkebunan
Desa Sukaluwei, kondisi seperti ini dapat
dimaklumi, mengingat kasus semacam itu juga
sering dialami oleh keluarga lainnya. Bagi
mereka pertengkaran semacam itu wajar saja
terjadi, karena kehidupan yang semakin berat,
suami dan istri sibuk bekerja untuk memenuhi
biaya hidup dan pendidikan anak.
Penelitian Ratnauli (1989) menunjukkan
bahwa buruh perkebunan di Desa Keluwei
merupakan keturunan kuli kontrak yang
didatangkan dari jawa. Mayoritas karyawan
perkebunan memiliki jumlah anak yang cukup
banyak. Dengan kehidupan ekonomi yang sangat
rendah, mereka melakukan skala prioritas dalam
kehidupan keluarga. Penelitian tentang upah
buruh perempuan yang disponsori oleh
AKATIGA menujukkan bahwa tingkat upah
yang berlaku hanya memenuhi 75% kebutuhan
fisik minimum bagi buruh lajang dan hanya
memenuhi 30% kebutuhan keluarga dengan dua
anak (Indraswari dan Thamrin, 1995).
Selanjutnya, mereka lebih mendahulukan
kebutuhan sandang dan pangan daripada
pendidikan anak. Kondisi ini menyebabkan
pendidikan anak menjadi terabaikan. Orang tua
tidak mampu melanjutkan pendidikan formal
anak ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini
semakin dipicu oleh lingkungan, dimana pihak
perkebunan menerima anak usia lanjutan sebagai
pekerja. Menurut mereka pendidikan tidak begitu
penting, karena pihak perkebuanan bersedia
menampung mereka sebagai buruh harian.
Kondisi pendidikan anak-anak di desa
Sukeluwei hampir sama dengan gambaran di
atas, dimana banyak anak-anak yang tidak
melanjutkan sekolahnya karena ketiadaan biaya.
Gaji sebagai buruh tidak mencukupi untuk
menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih
tinggi. Rata-rata pendidikan anak berhenti di
jenjang SMP atau SMA. Jarang sekali ditemukan
keluarga yang dapat menyekolahkan anak hingga
ke jenjang perguruan tinggi. Hal lain yang sering
ditemukan adalah masalah perawatan kesehatan
dan keluarga. Utamanya, perawatan kesehatan
diri dan gizi buruh perempuan itu sendiri dan
anaknya. Anak mereka tidak mendapatkan
makanan dengan gizi yang baik sehingga sering
mengalami sakit. Pengetahuan mereka tentang
jenis-jenis makanan yang bergizi dapat dikatakan
kurang. Makanan yang disuguhkan untuk
keluarga hanya apa adanya saja, tanpa ada
pertimbangan tentang nilai gizi yang dikandung.
Berdasarkan gambaran di atas, dapat
dilihat bahwa buruh perempuan hampir tidak
memiliki kesempatan untuk memikirkan menu
atau jenis makanan apa yang harus disajikan
untuk keluarga. Yang paling penting bagi mereka
adalah tersedianya makanan, selama mereka
meninggalkan rumah. Hasil tanaman di sekitar
pekarangan seperti daun ubi, genjer, kangkung,
atau labu sering dimanfaatkan untuk hidangan
sehari-hari. Lauk ikan asin dan telur adalah
makanan yang paling sering dikonsumsi karena
harganya relatif murah. Umumnya, mereka tidak
memikirkan apakah makanan yang dikonsumsi
bergizi baik atau tidak, yang paling penting
adalah makanan tersedia dalam jumlah yang
cukup untuk seluruh anggota keluarga.
Selain masalah anak, buruh perempuan
di perkebunan menghadapi permasalahan yang
berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan
di tempat kerja mereka. Hasil penelitian Emy
(1905) menemukan bahwa buruh perempuan di
perkebunan menghadapi gangguan kesehatan
karena aktifitas monoton dalam bekerja.
Misalnya buruh perempuan sebagai penampi dan
pemilih biji, mereka hanya duduk berjam-jam
untuk memilih biji dan sekali-sekali mereka
berdiri. Kondisi ini menyebabkan mereka banyak
menderita sakit pinggang. Pihak perusahaan juga
tidak menyediakan sarana kamar mandi atau WC,
sehingga mereka seringkali menahan keinginan
buang air kecil. Hal-hal seperti ini amat mudah
memicu timbulnya penyakit pada diri perempuan
seperti timbulnya infeksi saluran kemih, dan
penyakit lain.
Buruh perkebunan yang umumnya hidup
di pedesaan sering mengalami ketidakadilan
seperti gambaran di atas. Kepatuhan buruh
21
Universitas Sumatera Utara
Jurnal Harmoni Sosial, September 2007, Volume II, No. 1
perempuan dalam bekerja telah dimanfaatkan
oleh perusahaan, seperti yang dialami oleh buruh
perempuan pabrik gula di kota kecil di Jawa
Tengah. Umumnya menghadapi permasalahan
seputar perlakuan di pabrik, tuntutan kerja yang
semakin meningkat, padahal imbalannya sangat
sedikit (Marcoes, 1995). Lebih lanjut hasil
penelitian Indraswari dan Thamrin pada buruh
garmen (1995) mengungkapkan bahwa pihak
perusahaan lebih leluasa melalaikan penyediaan
fasilitas penyelamatan kerja. Pengadaan masker
sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah
buruh yang ada.
Kondisi yang hampir sama dijumpai pada
buruh perempuan perkebunan di Desa Sukaluwei
dan di pabrik ramling. Pihak perusahaan tidak
menyediakan sarung tangan, sepatu bot, ataupun
masker yang berfungsi sebagai pengaman kerja.
Minimnya penyediaan fasilitas penyelamatan
kerja
dikhawatirkan
akan
menimbulkan
gangguan kesehatan bagi buruh perempuan. Pada
pekerjaan tertentu seperti meracun, ketiadaan
22
masker
pelindung
dapat
mengakibatkan
gangguan kesehatan bagi buruh perempuan.
PENUTUP
Berbagai penjelasan di atas menunjukkan
bahwa kehidupan buruh perempuan di
perkebunan sangat berat. Tantangan ke depan
adalah bagaimana meningkatkan kualitas hidup
mereka agar lebih baik. Hal ini tentu saja
memerlukan bantuan berbagai pihak baik dari
pemerintah, NGO atau lembaga lainnya.
Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan kegiatan dalam bentuk pertemuan,
seperti penyuluhan, ceramah atau pelatihan yang
dapat
meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan.
Apabila
buruh
perempuan
memiliki pengetahuan dan ketrampilan, maka
buruh akan dapat menjadi motor penggerak
dalam membangun kehidupan keluarga yang
lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
Mazdalifah, Kehidupan Buruh Perempuan Perkebunan...
DAFTAR PUSTAKA
Berutu, Maria Krisna. 1992. Kondisi Ekonomi Rumah Tangga Karyawan Wanita Perkebunan. FISIP
USU, Skripsi tidak diterbitkan
Erawaty, Emy, 1995, Sistem Jaringan Kerja Karyawan Harian Lepas Wanita dan Aspek
Kehidupannya. Skripsi (S-1) Tidak diterbitkan. Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara.
Gartijah, Teti. 1990. Sosialisasi Anak Pada Masyarakat Perkebunan. Skripsi (S-1) Tidak diterbitkan.
Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Indraswari, Thamrin. 1999. Potret kerja Buruh Perempuan: Tinjauan pada Agroindustri Tembakau
Ekspor di Jember, dalam Tanah, Buruh, dan Usaha kecil. Bandung: Akatiga.
Marcoes, Lies (Ed.). 1995. Tenaga Pendamping Lapangan (TPL) Perempuan Peran Strategis namun
Marginal. Jakarta: Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW).
Noerhadi, Toety Herawaty dan Vitayala, Aida. 1990. Dinamika Perempuan Indonesia. Jakarta: Pusat
pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW).
RJF, Ratnauli. 1989. Kehidupan Sosial Karyawan Umum Suku Bangsa Jawa Perkebunan Karet dan
Pengaruhnya terhadap pendidikan Formal Ana. Skripsi (S-1) Tidak diterbitkan. Medan:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Sayogya, Pujiwati dan Sayogyo. 1982. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
23
Universitas Sumatera Utara