Dermatitis Herpetiformis

DERMATITIS HERPETIFORMIS

Dr. Donna Partogi, SpKK
NIP. 132 308 883

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK/RS.Dr.PIRNGADI
MEDAN
2008

Donna Partogi : Dermatitis Herpetiformis, 2008
USU e-Repository © 2009

DERMATITIS HERPETIFORMIS

PENDAHULUAN
Dermatitis Herpetiformis (DH) adalah suatu penyakit vesikobulosa yang jarang
dijumpai. Penyakit ini ditandai dengan erupsi papulovesikel yang tersusun berkelompok,
sangat gatal dengan distribusi simetris pada permukaan ekstensor seperti siku, lutut dan
bokong.1,2
Pada tahun 1884 Louis Duhring pertama kali menjelaskan gambaran klinis dan

sejarah dari suatu kelainan polimorfik yang gatal, yang disebutnya dermatitis
herpetiformis. Beberapa literatur menyebut kelainan ini sebagai penyakit Duhring untuk
menghormatinya. Pada tahun 1888 Brocq menjelaskan penderita dengan kelainan yang
sangat mirip dan disebutnya dermatite polymorphe prurigineusu. Pada tahun 1940
Costello memperlihatkan kemanjuran dari sulfapiridin dalam pengobatan DH. Pierard,
Whimster, Mac Vicar dkk. Pada awal tahun 1960 menemukan bahwa lesi dini DH
ditandai dengan mikroabses netrofil pada papilla dermis. Pada tahun 1967 Cormane
menemukan bahwa kulit DH mengandung deposit immunoglobulin pada ujung papilla
dermis dan pada tahun 1969 Van der Meer melanjutkan penelitian ini dan menemukan
imonuglobulin tersebut adalah IgA.1,2,3
Penyakit ini berhubungan dengan gangguan gastrointestinal. Hubungan antara DH
dan kelainan usus pertama kali diamati oleh Marks dkk. Pada tahun 1966, kemudian Fry
dkk dan Shuster dkk menyebut kelainan tersebut sebagai Gluten Sensitive Enteropathy.1,2

EPIDEMIOLOGI
DH dapat mengenai segala usia dan biasanya sering pada usia dekade ke 2 sampai
ke 4.4 DH pada anak biasanya terjadi pada anak usia lebih dari 5 tahun dan jarang pada
usia dibawah 2 tahun. Anak perempuan lebih sering daripada anak laki-laki namun jika
dewasa laki-laki 2 kali lebih banyak dibanding perempuan..1,3
DH dilaporkan lebih sering pada orang Eropa dan jarang pada orang Asia dan

Afroamerika. Prevalensi di Eropa sekitar 1,2 – 39,2 per 100.000.4,5

Donna Partogi : Dermatitis Herpetiformis, 2008
USU e-Repository © 2009

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi DH belum diketahui secara pasti. Terdapat predisposisi genetik berupa
ditemukannya HLA B8 pada 58%-87%, HLA DR3 90% - 95%, dan HLA DQ2 95% –
100%..4,6
Patogenesis DH berhubungan dengan Gluten Sensitive Enteropathy (GSE). GSE
adalah kelainan gastrointestinal yang disebabkan oleh gluten. Gluten adalah suatu protein
yang terdapat pada gandum. Pada lebih dari 90% kasus DH didapati enteropati sensitive
terhadap gluten pada yeyenum dan ileum. Kelainan yang terjadi bervariasi dari atropi vili
yang minimal hinggasel-sel epitel mukosa usus halus yang mendatar. Sejumlah 1/3 kasus
disertai steatorea.4,6
GSE kemungkinan berhubungan dengan deposit IgA pada kulit penderita DH,
meskipun mekanismenya belum diketahui secara pasti apakah IgA terikat pada antigen
yang ditemukan pada gastrointestinal kemudian beredar dan tertimbun pada kulit atau
apakah IgA yang terbentuk khas untuk antigen kulit yang belum diketahui.2
Ditemukannya IgA dan komplemen diseluruh kulit


menimbulkan perkiraan

bahwa diperlukan faktor tambahan untuk menerangkan permulaan lesi. Dengan faktor
tambahan ini , IgA mengaktifkan komplemen

(mungkin melalui jalur alternative)

sehingga terjadi kemotaktsis neutrofil yang melepaskan enzimnya dan mengakibatkan
lesi yang disebut dengan DH. 2
Selain gluten, yodium juga disebutkan dapat mempengaruhi timbulnya remisi
dan eksaserbasi penyakit.2,6,7,8

GAMBARAN KLINIS
Keadaan umum penderita biasanya baik. Keluhannya sangat gatal, seperti rasa
terbakar atau rasa tersengat tetapi bisa juga asimptomatik walaupun jarang. Ruam berupa
eritema, papulo vesikel, vesikel/bula yang berkelompok. Kelainan yang utama ialah
vesikel, oleh sebab itu disebut herpetiformis yang berarti seperti Herpes Zoster atau
Herpes Simpleks. Vesikel-vesikel tersebut dapat tersusun arsinar atau sirsinar. Dinding
vesikel/bula tegang. Bula jarang dijumpai. Dapat juga dijumpai erosi atau krusta jika

vesikel atau bula pecah.1,2,4,5,6

Donna Partogi : Dermatitis Herpetiformis, 2008
USU e-Repository © 2009

Distribusi lesi biasanya simetris pada permukaan ekstensor seperti siku, lutut,
sacrum, bokong, punggung. Lesi jarang terjadi pada mukosa mulut, telapak tangan dan
kaki. Penderita biasanya dapat memperkirakan tempat timbulnya lesi baru 8-12 jam
sebelumnya karena daerah tersebut terasa tersengat atau terbakar atau gatal.2,3,46,7

HISTOPATOLOGI
Gambaran histopatologi DH yang khas paling baik terlihat pada daerah eritem
disekitar vesikel yang baru muncul. Pada daerah ini terdapat akumulasi netrofil dan
beberapa eosinofil pada ujung papila dermis yang semakin lama semakin bertambah
besar membentuk mikroabses. Pembentukan mikroabses mengakibatkan pemisahan
antara ujung papilla dermis dan epidermis sehingga terbentuk vesikel.7,9,10
Pada awalnya interpapilary ridges epidermis tetap melekat pada dermis sehingga
vesikel yang terbentuk adalah multilokular dan masih terlalu kecil untuk dilihat secara
klinis. Dalam 1-2 hari rete ridges ini akan terlepas dari dermis dan terbentuk vesikel
unilokuler yang akan tampak secara klinis. Pada saat ini mungkin masih terlihat

mikroabses pada tepi vesikel. Karena itu biopsi pada tepi vesikel sangat berguna.. 7,9,10.
Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron terlihat bula subepidermal
di bawah lamina basalis. Pada daerah lesi, lamina basalis rusak atau hilang dan pada kulit
di dekat lesi, lamina basalis menjadi tipis. 7

IMUNOFLOURESENSI
Pada pemeriksaan imunoflouresensi direk memperlihatkan timbunan IgA dalam
bentuk granular pada ujung papilla dermis di kulit sekitar lesi dan kulit normal dengan
jarak tidak lebih dari 3 mm dari lesi. Ini merupakan kriteria standar untuk diagnosis.
4,7,9,10

Pada pemeriksaan imunoflouresensi indirek, tidak ditemukan antibody terhadap
basement membrane zone (BMZ).7

DIAGNOSIS
Diagnosis DH ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas, yaitu adanya
lesi kulit yang sangat gatal berupa vesikel berkelompok dengan distribusi simetris pada

Donna Partogi : Dermatitis Herpetiformis, 2008
USU e-Repository © 2009


permukaan ekstensor

siku, lutut, sakrum, bokong, punggung. Vesikel biasanya

berdinding tegang. Dapat juga dijumpai bula.2,3,4,6,7
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya mikroabses oleh karena
akumulasi netrofil dan eosinofil pada ujung papilla dermis dan terbentuknya bula
subepidermal. . Pemeriksaan imunoflouresensi direk menunjukkan timbunan IgA
granular pada ujung papilla dermis. 4,7,9,10

DIAGNOSIS BANDING
Sebagai diagnosis banding adalah Pemfigus Vulgaris (PV), Pemfigoid Bulosa
(PB), dan Chronic Bulous Diseases of Childhood (CBDC).6
Pada PV keadaan umumnya buruk, tak gatal, kelainan utama adalah bula yang
berdinding kendur, generalisata, dan eritema bisa terdapat atau tidak. Pada gambaran
histopatologi terdapat akantolisis, letak vesikel intraepidermal. Terdapat IgG di stratum
spinosum.6
PB berbeda dengan DH karena ruam utama adalah bula, tak begitu gatal, dan pada
pemeriksaan imunoflouresensi terdapat IgG tersusun seperti pita di subepidermal.6

CBDC terdapat pada anak, kelainan utama ialah bula, tidak begitu gatal, eritema
tidak salalu ada, dan dapat berkelompok atau tidak. Terdapat IgA yang linear.6

PENATALAKSANAAN
I. MEDIKAMENTOSA
A. Dapson
Dapson

dan

sulfapiridin

merupakan

obat

yang

efektif


untuk

menghilangkan gejala dan menekan pembentukan ruam DH pada anak dan
dewasa. Obat ini menyebabkan respon yang dramatis dalam waktu 24
hingga 48 jam, sehingga membantu dalam mendiagnosis DH.11

Dapson untuk anak dapat diberikan mulai dengan dosis 2 mg/kgbb/hr,
dosis dapat ditingkatkan tergantung respon klinis dan efek samping dari
terapi yang mungkin timbul. Jika tidak terjadi efek samping dosis dapat
ditingkatkan hingga mencapai maksimal 400mg/hr, namun dosis yang

Donna Partogi : Dermatitis Herpetiformis, 2008
USU e-Repository © 2009

dibutuhkan biasanya berkisar 50mg tiga kali sehari.5,11 Jika sudah ada
perbaikan dosis dapat diturunkan perlahan-lahan 25 sampai 50 mg/hr
sampai mencapai level minimum.11

Efek


samping

dapson

adalah

agranulositosis,

anemia

hemolitik,

methemoglobinemia, neuritis perifer dan bersifat hepatotoksik. Harus
dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah leukosit dan hitung jenis
sebelum pengobatan dan 2 minggu sekali. Jika klinis menunjukkan tandatanda anemia atau sianosis segera dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Jika terdapat defisiensi G6PD maka merupakan kontra indikasi karena
dapat menyebabkan anemia hemolitik. 6

B. SULFAPIRIDIN
Dosis awal sulfapiridin untuk anak biasanya 100 sampai 200 mg/kgbb/hr,

dibagi menjadi 4 dosis, dengan dosis maksimal 2 sampai 4 gram perhari.
Jika sudah ada perbaikan dosis dapat diturunkan setiap minggu hingga
dosis pemeliharaan 500 mg/hr atau kurang.11

Efek samping sulfairidin adalah anorexia, sakit kepala, demam,
leukopenia,

agranulositosis,

anemia

hemolitik.

Harus

dilakukan

pemeriksaan G6PD sebelum dilakukan terapi dan pemeriksaan darah tepi
setiap bulan. Obat ini kemungkinan akan menyebabkan terjadinya
nefrolitiasis karena sukar larut dalam air sehingga pasien dianjurkan

minum banyak . 6,11

C. Untuk pasien yang tidak dapat diberikan sulfapiridin atau dapson dapat
diberikan kortikosteroid sistemik walaupun tidak efektif.11 Pernah
dilaporkan keberhasilan pengobatan dengan tetrasiklin atau minosiklin dan
nikotinamid. Penghentian nikotinamid atau minosiklin menyebabkan ruam
DH timbul kembali.5

Donna Partogi : Dermatitis Herpetiformis, 2008
USU e-Repository © 2009

D. Pengobatan Topikal
Dapat diberikan krim kortikosteroid atau bedak kocok seperti calamine
dengan menthol untuk mengurangi rasa gatal.11

II. DIET BEBAS GLUTEN
Diet ini harus dilakukan secara ketat., perbaikan pada kulit tampak setelah
beberapa minggu. Dengan diet bebas gluten dapat mengontrol lesi kulit pada 80%
penderita.Kelainan intestinal juga mengalami perbaikan, sedang dengan obat-obat
kelainan ini tidak akan mengalami perbaikan. Dengan diet ini penggunaan obat
dapat ditiadakan atau dosisnya dapat dikurangi.4,7

PROGNOSIS
Sebagian besar penderita akan mengalami DH yang kronis dan residif., biasanya
berlangsung seumur hidup. Remisi spontan terjadi pada 10 – 15% kasus.6,7

KESIMPULAN
1. Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kulit vesikobulosa yang bersifat kronis
dan residif, ruamnya bersifat polimorfik terutama berupa vesikel yang tersusun
berkelompok dan simetris pada permukaan ekstensor disertai rasa gatal.
2. Etiologi dan patogenesis DH yang pasti belum jelas, sebagai dasar genetik DH
dihubungkan dengan HLA B8, HLA DR3 dan HLA DQw2. Gluten sangat
berperan pada patogenesis DH.
3. Diagnosis DH ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dan
pemeriksaan histopatologi di mana terdapat akumulasi
papilla dermis

yang membentuk

netrofil

pada ujung

mikro asbes, kemudian terbentuk celah

subepidermal dan vesikel multi/unilokuler pada subepidermal. Pemeriksaan
imunofluorensi menunjukkan timbunan IgA dalam bentuk granular pada ujung
papila dermis.
4. Pengobatan DH adalah dengan dapson yang dibarengi dengan diet bebas gluten
pada makanan.

Donna Partogi : Dermatitis Herpetiformis, 2008
USU e-Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA
1. Leonard JN. Dermatitis Herpetiformis. In: Harper J, Oranje A, Prose N, eds.
Textbook of Pediatric Dersmatology. 1 st ed. London. Blackwell Sciensce Ltd.
2000 : 724-9.
2. Katz SI. Dermatitis Herpetiformis. In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, eds.
Dermatology in General Medicine. 4th ed. Vol. II. New York. Mc Graw-Hill Inc.
1993 : 636-40.
3. Fine JD. Billous Disease. In: Moschella SL, Hurley HJ, eds. Dermatology. 3rd ed.
Philadelphia. WB Saunders Company. 1992 : 674-76.
4. Sams HH. Dermatitis Herpetiformis. Available at
http://www.emedicine.com>specialties>Dermatology>Bullous Diseases.
5. Habif TP. Clinical Dermatology. 3rd ed. St Louis. Mosby Year Book. 1996: 499507.
6. Wiryadi BE. Dermatitis Vesikobulosa Kronik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketiga. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2001 : 193-5.
7. Pye RJ. Bullous Eruption. In: Champion RH, Burton JL, Burns DA, eds.
Rook/Wilkinson/Ebling. Textbook of Dermatology. 6th ed. Vol.III. London.
Blackwell Science Ltd. 1998 : 1888-91.
8. Scahner LA, Hansen RC. Vesikobullous and Neonatal Diseases. In: Pediatric
Dermatology. 2nd ed. Vol.II. New York. Churchill Livingstone. 1995 : 1169-72.
9. Lever WF, Lever GS. Dermatitis Herpetiformis. In: Histopathology of The Skin.
6th ed. Philadelphia. JB Lippincot Company. 1983 : 118-21.
10. Pinkus H, Mehregan AH. Dermatitis Herpetiformis. In: A Guide to
Dermatohistopathology. 3rd ed. Connecticut. Appleton-Century-Crafts. 1981 :
136-7.
11. Hurwitz S. Chronic Nonhereditary Blistering Diseases of Childhood. In: Clinical
Pediatric Dermatology. 2nded. Philadelphia. WB Saunders Company.1993:278-82.

Donna Partogi : Dermatitis Herpetiformis, 2008
USU e-Repository © 2009

REFERAT

DERMATITIS HERPETIFORMIS

PEMBIMBING

: Dr. CHAIRIYAH TANJUNG, SpKK
Dr. SALIA LAKSWINAR, SpKK

PENYAJI

: Dr. DONNA PARTOGI

SUB BAGIAN DERMATOLOGI ANAK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FK USU / RSUP.H.ADAM MALIK / RSU.Dr.PIRNGADI
MEDAN
2005

Donna Partogi : Dermatitis Herpetiformis, 2008
USU e-Repository © 2009

Donna Partogi : Dermatitis Herpetiformis, 2008
USU e-Repository © 2009