Analisa Pengembangan Ruang Publik (Public Spaces) Dalam Upaya Menciptakan Masyarakat Madani (Civil Society) Di Kota Medan

(1)

ANALISA PENGEMBANGAN RUANG PUBLIK (PUBLIC SPACES) DALAM UPAYA MENCIPTAKAN MASYARAKAT MADANI

(CIVIL SOCIETY) DI KOTA MEDAN

M. Husni Thamrin Nasution

Abstract: This research had a purpose to know (i) how to planology policy of city in accommodating society requirement there will be his free public space and opened, (ii) how to process policy formulation and how to legalization planology policy of Medan city done by Medan Local Government as well as. (iii) Steps what was done by Medan Local Government towards development of public’s space and whether hindrances that was dealt with.

Result of this research is expected by good for Medan Local Government in developing public space for creation of civil society. This research also can become in put for local house of representative in course of formulation and legalization planology policy of Medan city accommodating society importance and also this research also can become substance of input and comparison to all researcher which wish to perform a continuation research in problem of creation of civil society and public space development problem.

For this intention, this research was carried out with the descriptive research or especially was acknowledged as descriptive deep that took the location in Medan city. In the data collection was used the instrument of observation, questionnaire and interview as the primary data as well as the scientific reference, of the other document as the secondary data.

Pursuant to rearch known that : (i) Local government policy still not yet accommodated the public space that is at least good available public space in the form of garden, events and also meeting places having esplanade character, (ii) Legalization of local government policy about planology of city still centralistic see that local government did not involve elements from community like NGO’S, College, Mass Organization et cetere (iii) Steps that are carried out by local government towards development of public’s space are not yet maximal or only are not yet aimed for interest and existence of trend of domination of economics and business public in making policy about public’s space and (iv) Especial constraint of local government in that public space development its minim budget which allocation for this interest in APBD.

Keywords: Open Public Spaces, Civil Society and Medan Local Government

PENDAHULUAN

Bila kita amati situasi dan kondisi kota-kota besar di tanah air, kita akan disuguhi berbagai paradoks perkotaan. Paradoks yang paling kasat mata dan sangat menonjol adalah dalam bidang perumahan dan sistem transportasi perkotaan. Pembangunan apartemen dan kondominium mewah merebak dengan gegap gempita, mewadahi kepentingan mereka yang justru kebanyakan sudah memiliki rumah pribadi.

Dalam bidang perdagangan, perkotaan dan perbelanjaan, kita lihat menjamurnya pembangunan plaza, pusat perbelanjaan, mall, sejalan dengan berguguran dan lenyapnya toko-toko kecil, warung pojok, kaki lima dan pasar tradisional. Dominasi sektor formal terhadap

sektor informal sangat nyata. Bangunan-bangunan baru yang serba modern, bermunculan dengan menggusur bangunan kuno yang bersejarah. Daftar paradoks perkotaan meminjam istilah John Naisbitt (1994) seperti tersebut di atas akan terus bertambah, bila tidak ada perubahan yang bersifat substantif pada perencanaan dan kebijakan pembangunan kota.

Salah satu tugas para perencana dan penentu kebijakan pembangunan perkotaan adalah mengubah kecenderungan yang tidak menguntungkan semacam itu agar kota-kota kita tampil lebih manusiawi dan lebih demokratis sehingga penduduk kota tidak merasa “kesepian” dan “terasing” di kotanya sendiri. Selain itu ciri-ciri atau unsur-unsur kebudayaan daerah dan atau lokal harus dapat ditonjolkan, sehingga dapat


(2)

menunjukkan kepribadian kota atau “gaya” kota yang khas yang menggambarkan unsur-unsur sejarah, adat istiadat, kebudayaan, dan sebagainya dari kota yang bersangkutan (Hariri Hadi, 1987:3-8).

Salah satu fenomena yang sangat memprihatinkan kita bersama sebagai warga negara Indonesia, yakni terjadinya berbagai krisis di segala bidang kehidupan. Krisis tersebut berwujud pada munculnya berbagai kerusuhan (urban riot), aksi kekerasan (urban violences), aksi kejahatan (fatal crimes) dan kerusuhan sosial

(civil unrests).

Konflik sosial yang semakin menjadi-jadi pada tahun-tahun terakhir ini justru tidak terlepas dari centang-perenangnya perkotaan kita. Pembangunan kota yang berlangsung dengan menggusur warga jelas menimbulkan keresahan, kecemburuan sosial dan keberingasan. Kelompok masyarakat perkotaan yang tunawisma, tunakarya dan tunaharapan, sangat mudah disulut dan terbakar emosinya tanpa kendali (Eko B. & Djoko S, 1999:215).

Para pelaku dan penentu kebijakan pembangunan perkotaan seringkali mengabaikan rasa tempat dan kekentalan komunitas, melupakan akar asal-usul kota, melecehkan keberagaman, tidak bersifat empati serta kurang menyerap persepsi maupun aspirasi rakyat jelata (Nan Ellin dalam Djoko S, 1999:216). Warga kota tidak memiliki peluang dan kesempatan untuk membangun kebiasaan untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan kultural diantara mereka, sebagai kekayaan dari kehidupan pribadi masing-masing warga dalam lingkungan pergaulan mereka sehari-hari. Penguasa negara baik pada tingkat nasional dan lokal membatasi ruang gerak untuk berekspresi secara berbeda-beda melalui isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antara golongan) (F.M. Parera & Jacob K, 1999:xxxi).

Kota-kota besar sekarang dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan yang disebut sebagai every day war itu, adalah terutama para pengusaha kelas kakap (konglomerat). Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradoks perkotaan demi keuntungan mereka sendiri (Peter Lang dalam Eko B & Joko S, 1999:216). Selain itu yang diuntungkan adalah para elite negara (nasional dan lokal) yang

memperoleh harta kekayaan yang berlimpah. Sementara mayoritas warga negara semakin bertambah miskin secara ekonomi dan semakin kerdil sebagai manusia karena rasa keadilan didalam hati nuraninya dilukai secara parah sehingga mereka bergeliat dalam berbagai bentuk kerusuhan sosial (social riot) dan konflik sosial

(social conflict) serta hukum rimba.

Salah satu contoh dari kasus ini dikemukakan oleh Usman Pelly (2000), mengenai pembangunan kota Medan yang bersifat segregatif, dimana kelompok elite pengusaha dan birokrat hidup memisahkan diri (segregative). Real Estate membangun pemukiman yang mengelompokkan manusia kota atas dasar etika, ras, agama, dan status sosial ekonomi seperti Malibu Indah (90 % penghuninya warga keturunan Cina), Taman Setia Budi Indah (golongan menengah atas) dan Perumnas (golongan ekonomi menengah ke bawah) (Pelly, 2000:2-3)

Diantara pemukiman elite dan non elite tersebut biasanya dipisahkan oleh “tembok-tembok” atau lorong-lorong yang becek, dan dari tempat-tempat itulah bermunculan segala masalah sosial (Patologi Sosial) seperti perjudian, penjarahan, penyambretan, pelacuran dan penjualan narkoba.

Realitas sosial semacam itu memperkuat heterogenitas sosial kota Medan dalam kehidupan pemukiman yang berkotak-kotak tanpa “memiliki bidang singgung” berupa tempat bersama baik formal maupun informal.

Pada hal pada titik (bidang) singgung tersebut dapat dikembangkan berbagai institusi masyarakat yang berfungsi menjembatani kehidupan bersama berbagai kelompok etnis, ras, agama dan aliran “idiologi politik” (Usman Pelly, 2000:13). Institusi sosial dimaksud juga dapat menumbuhkan kesadaran politik masyarakat akan pentingnya menjaga kohesi sosial dan integrasi sosial-politik diantara mereka (A.S. Culla, 1999:222).

Namun, bila diamati perkembangan kota-kota di Indonesia termasuk kota-kota Medan, masalah mengenai perlunya ruang terbuka publik (open public spaces) bagi tumbuhnya institusi-institusi sosial yang merupakan social capital, sering diabaikan oleh para perencana pembangunan kota (Iwan Nugroho, 1997:3-13). Pada hal social


(3)

capital yang berwujud berupa kelembagaan ini merupakan sumber legitimasi berfungsinya tatanan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan pembangunan, serta untuk kepentingan mediasi konflik dan kompetisi diantara berbagai komponen bangsa dan masyarakat kota.

Untuk itulah penulis merasakan pentingnya membangun suatu masyarakat sipil atau masyarkat beradab (masyarakat madani) di kota ini melalui suatu penelitian ilmiah yang berjudul “Analisa Pengembangan Ruang Publik (Public Space) dalam Upaya Menciptakan Masyarakat Madani (Civil Society) di Kota Medan”

Adalah suatu kenyataan bahwa didalam kehidupan masyarakat kota di Indonesia akhir-akhir ini banyak ditemui kenyataan-kenyataan sosial seperti heterogenitas (keragaman) sosial, isolasi (ketertutupan) sosial, segregasi (pengkotakan) sosial, ekslusivitas (merasa benar sendiri dan yang lain salah), diskriminasi (perbedaan) dan density (kepadatan).

Realitas sosial yang disebutkan sebelumnya menyebabkan terjadinya konflik sosial baik yang bersifat horizontal yakni konflik yang terjadi diantara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Konflik yang bersifat vertikal yakni, konflik yang terjadi diantara masyarakat dengan negara maupun konflik yang bersifat internal yakni konflik yang terjadi diantara anggota yang satu dengan anggota yang lain didalam satu kelompok masyarakat.

Lebih jelasnya Pelly (1999:155) menjelaskan sebagai berikut: In Indonesian urban society, ethnic groups tend to cluster in their respective settlements segregated from others……This segretation of settelements has caused “ social tension” and physical conflict, since the residential community views the other with prejudice.

Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiah karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalan menjadi lain jika konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif tetapi menjadi destruktif bahkan anarkis (F. Salim, 1999:317).

Salah satu upaya untuk mengatasi terjadinya konflik sosial yang mengarah kepada terciptanya disharmoni dan disintegrasi sosial adalah melalui penyediaan ruang terbuka bersama (open public space) seperti : lapangan olah raga, poliklinik, tempat ibadah, lembaga pendidikan, pasar/mall/plaza, taman (E, Budiharjo & Djoko S. : 1999). Ruang publik secara institusional, termasuk media massa, tempat pertemuan umum, parlemen, sekolah dan seterusnya (Jurgen Habermass dalam A.S. Hikam,1993:63).

Ruang publik diartikan sebagai ruang dimana anggota masyarakat sebagai warga negara mempunyai akses sepenuhnya terhadap semua kegiatan publik, mereka berhak melakukan secara merdeka didalamnya termasuk mengembangkan wacana publik seperti menyampaikan pendapat secara lisan dan tertulis (A.S. Hikam dalam A.S. Culla,1999:123).

Dengan tersedianya ruang publik yang bebas maka masyarakat madani (civil society) akan terbentuk dengan sendirinya. Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang memiliki kebebasan individu didalam institusi/assosiasi (dapat dimasuki dan ditinggalkan secara bebas), kelembagaan tidak mendominasi individu (menghargai otonomi individual), ada partisipasi dan ada pelembagaan hak-hak kewarganegaraan, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berorganisasi dan yang terpenting hak-hak untuk mendirikan partai politik.

Masyarakat Madani adalah merupakan wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan becirikan antara lain, kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), dan keswadayaan (self supporting), kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Adapun ciri-ciri mendasar dari masyarakat Madani, antara lain :

a. Egalitarianisme

b. Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya)

c. Keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif

d. Penegakkan hukum dan keadilan e. Toleransi dan pluralisme


(4)

(Nurcholis Madjid dalam A.S. Hikam, 1997:122-123).

A. A. Perspektif teoritis tentang pertumbuhan kota

Teori pertumbhan kota yang ingin dilihat di sini adalah apakah pertumbuhan kota itu berlangsung secara alamiah atau dengan suatu perencanaan yang dilakukan manusia secara bebas.

Teori yang menyatakan bahwa pertumbuhan kota berlangsung secara alamiah antara lain dikemukakan oleh Ernest W. Burgess (1925) dalam The City, yang menyumbangkan teori pertumbuhan kota yang alamiah tetapi bersifat konserntrik (seperti pusat daerah bisnis, daerah transisi, tempat tinggal pekerja, tempat tinggal kelas menengah, dan tempat tinggal para komuter). Teori pertumbuhan kota yang alamiah tetapi bersifat sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939) dalam The Structure and Growth of Residential Neighbourhoods in American Cities. Dan pola pertumbuhan kota yang alamiah tetapi bersifat inti-berganda (multiple-nuclei) di kemukakan oleh Harris dan Ulman (1945) dalam

Multiple-Nuclei Theory (teori pusat kegiatan banyak). Ketiga teori di atas menilai pertumbuhan kota berlangsung secara alamiah yang mengikuti pola tertentu (H.S. Yunus, 2000:3-61).

B. Perencanaan Kota dan Tata Ruang Kota

Perencanaan kota (urban planning) adalah bagian dari disiplin perencanaan, yang merupakan aktivitas merencanakan sesuatu lingkungan tertentu, yang lebih luas dari pada perencanaan lahan atau fisik, karena mempertimbangkan semua faktor fisik tata guna lahan, ekonomi, politik, administratif dan sosial yang mempengaruhi wilayah kota.

John R. Mennery (1986) mendefenisikan perencanaan kota sebagai intervensi di dalam proses alokasi sumber daya, khususnya terhadap tanah dan kegiatan-kegiatan di atasnya, dalam sistem aktivitas kota dan regional oleh otoritas publik yang sah untuk mencapai hasil yang diinginkan dengan menggunakan sarana yang sesuai (Minnery dalam A. Nurmandi, 1999:141-142).

Intervensi yang dimaksud dalam defenisi di atas adalah intervensi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengalokasikan sumber-sumber daya ekonomi, terutama tanah dan lahan, secara adil kepada semua warga kota untuk mencapai tujuan keadilan, kesejahteraan, kenyamanan dengan alat-alat atau metode yang cocok untuk mencapai tujuan tersebut)

C. Kota Demokratis dan Berkelanjutan

Dalam berbagai permasalahan yang muncul akhir-akhir ini diberbagai kota di Indonesia, baik yang menyangkut aspek tata ruang, transportasi, dan infrastruktur (fisik); aspek-aspek yang barkaitan dengan lapangan kerja, kesenjangan, ketidakadilan dan kecemburuan (sosial - ekonomi - budaya); maupun aspek-aspek yang berkaitan dengan banjir, kekeringan, kepadatan, kesumpekan dan pencemaran (lingkungan). Kondisi di atas menunjukkan kepada kita bahwa kota-kota di Indonesia sedang menuju kematiannya seperti nekro polis atau kota bangkai (Lewis Mumford : 1961), kota yang melakukan “ecological suicide”

(John Ormsbee Simond : 1986), dan Junk Cities

(Kunstter : 1996).

Oleh karena itu menurut Peter Hall dalam bukunya “Cities of Tomorrow (1991) seperti dikutip oleh Eko Budiharjo dan Djoko Sujarto (1999), bahwa bila kecenderungan perkembangan dan pembangunan kota yang merusak sistem daya dukung lingkungan dan komunitas warganya, dibiarkan tanpa pengendalian yang ketat, maka kota-kota itu tidak memiliki masa depan.

Untuk mencermati berbagai kondisi paradoks di atas, tantangan yang harus dihadapi dan mesti segera ditanggunglangi para perencana kota dan segenap aktor penentu pembangunan perkotaan adalah bagaimana caranya membalik kecenderungan yang merugikan tersebut. Salah satu konsep yang muncul akhir-akhir ini adalah kota berkelanjutan (sustain city).

D. Ruang Umum Terbuka Sebagai Komponen Masyarakat Madani

Di dalam memberikan batasan tentang pengertian Ruang Terbuka, maka ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan tentang pengertian ruang. Filosof kenamaan Immanuel Kant dan


(5)

Plato memberikan rumusan yang baik mengenai hal ini.

Menurut Kant, ruang bukanlah sesuatu yang objektif sebagai hasil pikiran dan perasaan manusia, sedangkan menurut Plato ruang adalah suatu kerangka atau wadah dimana objek dan kejadian tertentu berada (E. Budiharjo dan Dj. Sujarto : 1999).

Pengertian lain tentang ruang seperti tertera di dalam UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (Jeluddin Daud, dkk : 1996).

Adapun peranan dan fungsi ruang terbuka terhadap manusia berupa dampak yang positif seperti terlihat di bawah ini.

Fungsi Umum :

• Tempat bermain dan berolah raga;

• Tempat bersantai;

• Tempat komunikasi sosial;

• Tempat peralihan, tempat menunggu;

• Tempat mendapatkan udara segar;

• Sebagai sarana penghubung antara suatu tempat dengan tempat yang lain;

• Sebagai pembatas atau jarak diantara massa bangunan.

Fungsi Ekologis :

• Penyegaran udara;

• Menyerap air hujan;

• Pengendalian banjir;

• Memelihara ekosistem tertentu;

• Pelembut arsitektur bangunan

Di dalam menjelaskan pengertian Ruang Umum Terbuka sebagai civic centre kita tidak terlepas dari pengertian mengenai civic space

(meminjam istilah Frederick Gilberd, 1993).

Civic space adalah merupakan suatu pengertian yang tidak dapat dipisahkan, yang artinya ruang terbuka sebagai wadah yang dapat digunakan untuk aktivitas penduduk sehari-hari.

Secara harfiah civic center dapat diartikan antara lain :

Civic artinya masyarakat, yang berhubungan dengan masyarakat atau budaya masyarakat.

Centre artinya pusat

Civic Centre artinya pusat kegiatan dimana masyarakat melakukan aktivitasnya (E. Budiharjo & Djoko S, 1999:133)

Adapun lapangan terbuka umum di kota Medan ialah:

1. Lapangan olah raga

Pada saat sekarang in di kota Medan terdapat bebrrapa lapangan yang bisa dipakai oleh masyarakat untuk melakukan olah raga. Lapangan-laoangan olahraga tersebut diantaranya adalah Lapangan Merdeka, Lapangan Gajah Mada, Lapangan Sepak bola Jalan Krakatau serta lapangan olahraga Jalan Karya Jasa.

2. Poliklinik / Rumah Sakit

Pada saat sekarang ini terdapat sejumlah rumah sakit baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah misalnya adalah Rumah Sakit Pirngadi dan Rumah Sakit Adam Malik. Selain itu pemko juga mendirikan Puskesmas diberbagai tempat di kota Medan walaupun jumlahnya masih kurang untuk dapat melayani masyarakat miskin.

3. Rumah Ibadah

Rumah ibadah bagi umat beragama di kota Medan jumlahnya sudah sangat mencukupi, terutma mesjid dan gereja. Hal ini dapat dimaklumi karena penduduk kota Medan pada mayoritas adalah beragama Islam dan Kristen. Sedangkan Pura dan kuil jumlahnya lebih sedikit dan hanya terdapat di konsentrasi pemukiman penduduk yang beragama Hindu dan Budha. 4. Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidkan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta sudah tersedia di kota Medan.

5. Pasar / Mall dan Plaza

Pasar taradisional yang merupakan urat nadi perekonomian rakyat kecil jumlahnya terus berkurang. Bersamaan dengan itu pembangunan Mall dan plaza semakin berkembang. Pasar tradisional di Pusat Pasar Medan telah digusur dan dibangun Medan Mall, demikian juga dengan tergusurnya Pajak Bengkok dengan adanya pembangunan Buana Plaza. Mall dan Plaza jumlahnya semakin bertambah dengan dibangunnya Sun Plaza, karena sebelumnya


(6)

sudah dibangun Medan Plaza, Milenium Plaza, Deli Plaza dan lain-lain.

6. Taman

Taman sebagai ruang terbuka umum yang sangat penting keberadaanya jumlahnya sangat sedikit. Pada saat sekarang ini di kota Medan hanya tada 4 buah yaitu Taman Gajah Mada, Taman Ahmad Yani, Tamana Air Mancur Teladan serta Taman Lily Suhairi.

7. Tempat Pertemuan Umum

Tempat pertemuan umum yang ada di kota Medan hanya ada 2 buah yaitu Lapangan Gajah mada dan Lapangan Banteng.

PEMBAHASAN

Penggunaan Ruang Terbuka Umum

Di Kota Medan terdapat berbagai fasilitas umum. Sebahagian diantaranya merupakan ruang terbuka umum yang bebas diakses oleh publik, seperti yang telah disebutkan di atas. Menurut sebagian besar responden di dalam ruang terbuka umum tersebut terdapat kebebasan berekspresi, membentuk organisasi yang independen dan hak memperoleh informasi yang transparan.

Namun begitu cukup banyak juga responden yang menyatakan bahwa mereka merasa ragu dalam ruang terbuka umum tersebut terdapat kebebasan berekspresi, membentuk organisasi yang independen dan hal memperoleh informasi yang transparan. Bahkan ada juga responden yang menyatakan tidak ada kebebasan bereksperesi, membentuk organisasi yang independen serta mendapatkan informasi yang transparan dalam ruang terbuka tersebut.

Pada ruang terbuka umum dimungkinkan terjadi keberagaman, keadilan

dan toleransi bagi perbedaan warga kota. Namun sebahagian besar responden merasa ragu akan hal tersebut dapat mungkin terjadi.

Responden berpendapat bahwa pihak perguruan tinggi yang paling tinggi komitmennya untuk memberikan kesempatan

dan tempat bagi keberagaman masyarakat lokal, suku, ras dan agama untuk berkembang

dan mengembangkan diri secara mandiri. Sedangkan yang paling rendah komitmennya

untuk hal di atas adalah DPRD.

Mengenai komitmen pihak Pemko, DPRD, Partai Politik, Ormas/OKP, Media

Massa dan Perguruan tinggi, untuk memberikan kesempatan dan tempat terhormat bagi keberagaman masyarakat lokal, suku, ras dan agama untuk berkembang

dan mengembangkan diri secara mandiri, responden berpendapat bahwa diantara pihak-pihak terkait di atas yang paling rendah

komitmennya adalah DPRD. Penilaian yang sedikit lebih baik diberikan responden kepada

Pemko, Parpol dan Media Massa.

Dari keenam pihak di atas, yang paling tinggi komitmennya untuk memberikan kesempatan dan tempat terhormat bagi keberagaman masyarakat lokal, suku, ras dan agama untuk berkembang dan mengemabangkan diri secara mandiri adalah Perguruan Tinggi.

Temuan ini memberikan gambaran bahwa keberadaan ruang terbuka umum di Kota Medan belum sepenuhnya dapat diakomodir oleh pemko Medan. Memang sebagian dari ruang terbuka umum ini sudah ada disediakan oleh pemda namun jumlahnya masih sangat minim disamping juga taman-taman yang sudah ada, perawatannya sangat minim. Ketidak pedulian pemko terhadap ruang terbuka umum ni mengindikasikan bahwa pemko tidak mempunyai komitmen untuk memberikan kesempatan dan tempat terhormat bagi keberagaman masyrakat baik ditinjau dari segi etnis, agama ataupun ras.

Keterlibatan Masyarakat

Frekuensi keterlibatan masyarakat dalam pengawasan masih sangat rendah terutama untuk sektor swasta. Paling Tinggi keterlibatan masyarakat dalam pengawasan ada pada sektor sosial. Rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat dalam pengawasan tersebut juga sejalan dengan rendahnya frekuensi dalam memberikan masukan yang konstruktif terhadap pelayanan yang diberikan oleh pihak-pihak di atas.

Dalam proses pembangunan baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan masyarakat masih bersifat apatis. Menurut sebagian besar responden, tidak ada keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah maupun swasta di Kota Medan


(7)

Namun tidak adanya keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pembangunan, bukan dikarenakan tidak adanya sarana/media bagi keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan tersebut. Sebab menurut responden, sarana/media berupa organisasi-organisasi masyarakat lokal, lembaga-lembaga swadaya masyarakat serta partai politik lokal sudah ada guna menjembatani keterlibatan langsung masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses pembangunan.

Pembentukan Masyarakat Madani (Civil Society)

Ciri utama dari masyarakat madani adalah masyarakat yang memiliki kemandirian secara politik, sosial dan ekonomi atau merupakan masyarakat yang memiliki kebebasan terhadap pengaruh negara dan pengaruh mekanisme pasar. Sifat kemandirian yang dimiliki oleh masyarakat madani merupakan pencerminan dari adanya ciri-ciri civilisasi (peradaban/kesopanan), penegakan disiplin sosial, moralitas masyarakat, identitas, kohesivitas sosial, otonom dan kemandirian politik, partisipasi sosial, tertib sosial, keadilan sosial serta visi dan misi strategis.

Bila ditinjau dari ciri-ciri masyarakat madani di atas, menurut responden masyarakat kota Medan masih sangat jauh dari keadaan ideal tersebut. Hal ini terlihat dari jawaban yang diberikan oleh responden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada ciri-ciri masyarakat madani.

Menurut responden, masyarakat kota Medan masih kurang mandiri baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial. Jauhnya masyarakat Kota Medan dari keadaan ideal seperti ciri-ciri masyarakat madani yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dilihat dari jenis hubungan sosial yang terjalin. Menurut Responden hubungan sosial yang terjalin cenderung hubungan sosial yang negatif, seperti intimidasi, penindasan, kekerasan, teror serta ketakutan. Sangat jarang terjadi hubungan positif antara anggota masyarakat yang tercermin dalam sikap saling menghargai, tolong-menolong dan pengertian bersama.

Tetapi yang menarik walaupun menurut responden hubungan sosial yang positif sangat jarang terjadi dalam masyarakat kota Medan; namun sudah ada suatu usaha yang dilakukan

menuju ke arah itu. Keadaan ini di dapat dari jawaban responden terhadap pertanyaan: Adakah pada masyarakat kita sekarang ini usaha-usaha untuk memelihara ketaatan dan kepatuhan anggota masyarakat terhadap tata aturan, norma, kaedah dan nilai-nilai yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Ternyata terhadap pertanyaan ini sebagian besar responden menjawab usaha untuk memelihara ketaatan dan kepatuhan terhadap hal tersebut sudah ada. Namun para anggota masyarakat kota Medan sekarang ini masih kurang patuh terhadap norma, nilai dan kaedah tersebut. Kenyataan ini terlihat dari jawaban yang diberikan oleh responden atas pertanyaan: Bagaimanakah cara-cara hidup atau kebiasaan para anggota masyarakat terhadap norma, nilai di dalam kehidupan masyarakat. Terhadap pertanyaan ini mayoritas responden menjawab anggota masyarakat masih banyak yang kurang patuh.

Walaupun begitu, bagi mayoritas responden, warga masyarakat kota Medan sudah memiliki ciri khas atau kesamaan sehingga terbentuklah suatu identitas yang bisa menumbuhkan semangat solidaritas (persaudaraan) sosial diantara sesamanya. Kenyataan ini terlihat dari pernyataan responden bahwa ciri khas atau kesamaan tersebut sudah ada, salah satu contohnya seperti adanya semacam slogan “INI MEDAN BUNG”.

Sifat individualisme pada masyarakat kota Medan sangat menonjol. Hal ini dapat dilihat dari pendapat responden yang menyatakan bahwa rasa keterikatan pada setiap pribadi anggota masyarakat dirasakan sangat kurang. Bagitu juga dengan peran serta masyarakat dalam menata kehidupan yang juga dinilai sangat lemah. Peran pemerintah masih sangat menonjol dalam hal ini, dimana Permerintah masih sangat dominan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat tanpa ikut melibatkan masyarakat itu sendiri. Keadaan ini terlihat dari jawaban yang diberikan oleh responden dalam pertanyaan : Apakah masyarakat kita memiliki kebebasan dan kemandirian dalam hal turut menata kehidupan masyarakat, daerah dan negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terhadap pertanyaan ini mayoritas responden melihat bahwa kebebasan dan kemandirian tersebut masih kurang dan bahkan tidak ada kebebasan sama sekali.


(8)

Sejalan dengan masalah kebebasan dan kemandirian dalam hal keikutsertaan menata kehidupan masyarakat yang sangat kurang bahkan cenderung tidak ada, dalam hal keterlibatan masyarakat atau peran serta

masyarakat untuk turut menentukan kebijaksanaan yang menjadi keputusan

publik juga dirasa sangat kurang dan cenderung tidak ada. Padahal yang menjalankan kebijaksanaan yang menjadi keputusan publik tersebut adalah masyarakat

sendiri. Pendapat responden yang seperti ini terlihat dari jawaban yang diberikan oleh responden terhadap pertanyaan : Adakah pelibatan masyarakat turut menentukan kebijakan yang menjadi keputusan publik

yang harus mereka jalankan. Terhadap pertanyaan tersebut, mayoritas responden melihat bahwa pelibatan masyarakat sangat kurang bahkan cenderung tidak ada. Tabel di bawah ini akan memperlihatkan hal tersebut.

Dalam hal moralitas untuk tercapainya stabilitas sosial yang baik, juga belum ada keadilan. Artinya masyarakat masih kurang memberikan sanski terhadap pelanggaran norma, nilai dan kaedah sosial terhadap anggota masyarakat yang melakukannya. Sebabnya pelanggaran-pelanggaran terhadap norma, nilai dan kaedah tersebut masih sering dilakukan anggota masyarakat. Padahal setiap pelanggaran-pelanggaran tersebut otomatis akan mengganggu hak orang lain. Akibatnya stabilitas sosial adalah hal yang muskil untuk dicapai.

Sikap diskriminasi dalam pergaulan hidup masih sangat tinggi pada masyarakat. Hal ini terlihat dari masih sangat kurangnya kebiasaan anggota masyarakat untuk berbuat jujur, benar dan lurus pada masyarakat, dan bahkan masih cenderung bersikap diskriminatif. Sikap diskriminatif tersebut sangat mencolok terlihat dalam pelayanan publik yang diberikan oleh aparat yang masih cenderung memberikan pelayanan yang istimewa kepada kelompok yang secara ekonomi lebih mapan.

Ciri lain dari pencerminan masyarakat modern adalah visi dan misi yang strategis yang berarti masyarakat dan pemimpinnya memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan dalam membangun masyarakat melalui penataan ruang publik, serta kepekaan atau apa yang mesti dilakukan untuk mewujudkannya. Terhadap visi

dan misi ini menurut responden, pemimpin kita sudah memiliki visi dan misi yang luas ke depan dalam menata kehidupan masyarakat yang lebih baik. Tinggal lagi yang menjadi masalah adalah merealisasikan visi dan misi tersebut.

Walaupun visi dan misi yang luas untuk menata kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik sudah ada, namun gambaran kehidupan masyarakat kita pada masa yang akan datang masih tidak jelas dari apa yang tampak saat ini. Ketidakjelasan gambaran ini disebabkan realitas dari visi dan misi yang dimiliki oleh pemimpin tersebut hanya bersifat retorika belaka dan belum menyentuh kepada hal-hal yang riil.

Tata Ruang Kota Medan Dalam Mengakomodasikan Kebutuhan Ruang Publik Bagi Pembentukan Masyarakat Madani

Pada saat sekarang ini kebijakan tata ruang kota Medan masih belum mengakomodasikan ruang publik. Hal ini terlihat dari sedikitnya ruang publik yang tersedia baik berupa taman, lapangan olahraga maupun tempat pertemuan umum yang bersifat lapangan terbuka. Ruangan publik seperti di atas sudah semakin sedikit jumlahnya digeser oleh kepentingan-kepentingan bisnis.

Ruang publik berupa taman yang ada di kota Medan jumlahnya sangat sedikit. Pada saat sekarang ini taman yang ada di kota Medan bisa dihitung dengan jari.Taman yang bisa diakses publik hanyalah Taman Gajah Mada, Taman Ahmad Yani dan Taman Teladan. Sedangkan Taman Lili Suhairi lebih berorientasi ke bisnis karena untuk menikmati taman tersebut dikutip biaya, sehingga tidak bisa secara bebas di akses oleh publik. Diantara ke tiga taman yang bisa diakses publik hanya dua buah yang kondisinya bagus yaitu Taman Gajah Mada dan Taman Ahmad Yani. Taman Ahmad Yani yang letaknya sangat strategis dan banyak diakses publik kondisinya sangat memperihatinkan karena tidak ada perawatan. Memang masih ada satu lagi taman yang bisa diakses oleh publik yaitu taman di Istana Deli, namun taman ini bukanlah milik Pemko Medan akan tetapi adalah milik Sultan Deli. Hal yang sama juga untuk lapangan olahraga dan ruang pertemuan umum yang jumlahnya semakin sedikit.

Hal lain yang perlu disoroti dari kebijakan tata ruang kota Medan yang kurang mengakomodasikan ruang publik adalah tidak


(9)

adanya ruang publik yang tersedia untuk orang jompo dan cacat.

Dalam tata ruang kota Medan yang berorientasi kepada bisnis hanya mengakomodasikan kepentingan kelas atas saja. Salah satu contoh konkrit dari hal ini adalah semakin sedikitnya pasar-pasar tradisional yang merupakan ruang publik bagi masyarakat akar rumput dan diganti dengan plaza atau mall yang merefleksikan kebutuhan masyarakat kelas atas. Realitas seperti ini juga terlihat dengan tidak dilindunginnya kepentingan pengendara sepeda yang dikorbankan demi keamanan pengendara mobil. Hal yang sama juga terjadi pada pejalan kaki yang tempat untuk berjalan (trotoar) semakin sempit karena dipakainya sebagian dari trotoar untuk kepentingan bisnis besar seperti pemasangan papan reklame yang jumlahnya semakin bertambah. Padahal pada kondisi yang sama badan trotoar dipergunakan oleh pedagang kaki lima yang notabene merupakan rakyat kecil yang selalu dikejar-kejar oleh aparat Pemko Medan.

Pembangunan dan pelestarian taman-taman kota sebagai ruang publik diadakan bukan untuk tersedianya wahana bagi kontak sosial bagi penduduk. Sasaran dari pembangunan kota ini sangat tidak jelas. Tidak tersedianya aneka permainan bagi anak dan minimnya tempat duduk yang tersedia ditambah lagi adanya ketidaknyamanan karena tingkat kriminalitas yang tinggi membuat masyarakat malas mengakses ruang publik yang berbentuk taman ini. Memang Pemko sebagai pihak pengelola dan pembuat taman orientasinya bukan untuk kenyamanan mesyarakatnya tetapi lebih ditujukan untuk memperindah kota. Sebabnya mereka tidak melihat taman sebagai wadah kontak sosial bagi masyarakat yang majemuk. Padahal kontak sosial itu sangat diperlukan untuk mencapai stabilitas sosial.Dengan adanya taman sebagai ruang publik memungkinkan beragam jenis masyararakat kota baik dari segi etnis, agama, golongan maupun tingkat sosial melakukan kontak sosial berupa komunikasi yang bisa-bisa menimbulkan rasa kesepahaman. Bila kondisi ini tercapai segregasi masyarakat bisa dikurangi yang berujung pada adanya kedinamisan.

Rancang bangun kota yang tidak berpihak kepada rakyat kecil dan cenderung

memanjakan orang “berpunya” sangat memungkinkan terjadinya patologi sosial pada masyarakat. Kontrasnya fasilitas-fasilitas di perumahan-perumahan kalangan atas yang bentuknya lebih terpola dan sebagian memiliki fasilitas publik yang hanya bisa diakses oleh penduduk perumahan dibandingkan dengan pemukiman kumuh yang identik dengan kepadatan dan ketidaknyamanan bisa menimbulkan suatu kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial apabila tidak diantisipasi dengan baik merupakan akar dari timbulnya konflik sosial. Paling tidak kecemburuan sosial akan menimbulkan berbagai kerusuhan (urban rest, aksi) aksi kekerasan (urban violence), aksi kejhatn (fatl crime)dan kerusuhan sosial (civil unrest).

Kenyataan-kenyataan di atas sebagian diantaranya sudah terjadi di kota Medan. Tingginya tingkat kejahatan serta maraknya aksi kekerasan yang diakui atau tidak telah merampas sebagian dari kenyamanan kita di kota ini bisa jadi diakibatkan karena masyarakat kecil melihat kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh penguasa cenderung mengabaikan kepentingan mereka dalam tata ruang kota karena tidak ada ruang publik yang bisa mereka akses bersama.

Dari pemaparan-pemaparan di atas sangat jelas terlihat bahwa kebijakan tata ruang kota belum sepenuhnya mengakomodasikan ruang publik untuk pembentukan masyarakat yang madani. Unsur-unsur masyarakat madani seperti solidaritas sosial, kohesivitas sosial, kontrol sosial serta keadilan sosial belum tercapai.

Dalam aspek solidaritas sosial yang merupakan adanya rasa dan semangat persaudaraan diantara sesama warga masih merupakan suatu angan-angan. Ruang publik umum belum bisa menimbulkan adanya rasa solidaritas sosial. Adanya segregasi antar pemukiman jelas-jelas telah menimbulkan kecemburuan sosial yang berujung kepada adanya sifat saling mencurigai. Apabila sudah muncul sifat saling mencurigai kohesivitas sosial atau keterikatan dan keutuhan masyarakat tidak mungkin tercapai lagi. Demikian juga tertib sosial yaitu hasil kontrol sosial yang dilakukan secara kolektif merupakan merupakan hal yang mustahil tanpa adanya suatu kohesivitas. Sementara keadilan sosial jelas-jelas tidak


(10)

mungkin terjadi seperti yang dikemukakan di atas.

Penetapan Kebijakan Pemko Medan Mengenai Ruang Publik

Sampai sekarang ini penetapan kebijakan Pemko Medan mengenai tata ruang publik masih bersifat sentralistik. Segala kebijakan Pemko tentang tata ruang publik ditetapkan sendiri oleh Pemko tanpa melibatkan elemen-elemen dari masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan sebagainya. Belum pernah ada dialog publik antara perencana kota dalam hal ini Dinas Tata Kota dengan masyarakat dalam proses perencanaan kota. Keputusan-keputusan yang diambil murni prakarsa dan hasil pemikiran Pemko.

Memang dalam penetapan kebijakan Pemko Medan tentang tata ruang publik kota diputuskan sendiri oleh Dinas Tata Kota. Penetapan kebijakan lebih bersifat lintas sektoral yang termasuk didalamnya Dinas Tata Kota, BAPPEDA, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah serta berbagai instansi lainnya yang dianggap mempunyai kepentingan terhadap hal ini. Alhasil kebijakan yang diambil hanya berdasarkan kepentingan penguasa saja dan mengesampingkan kepentingan publik karena publik sendiri tidak dilibatkan. Padahal yang paling berkepentingan untuk ruang publik itu sendiri adalah masyarakat secara umum.

Tidak demokratisnya kebijakan yang dibuat oleh Pemko Medan tidak hanya dalam perencanaan ruang publik tetapi juga tentang rencana umum tata ruang kota secara umum. Yang lebih parah lagi untuk masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan dan program rencana kebijakan dan program tersebut tidak pernah dipublikasikan secara langsung kepada kelompok sasaran. Akibatnya peran serta masyarakat dalam proses perencanaan sangat minim, sehingga tidak jarang program yang direncanakan tersebut tidak mencapai atau dapat diterima oleh kelompok yang menjadi sasaran.

Setelah rencana kebijakan tentang ruang publik ditetapkan masyarakat tidak pernah diberikan kesempatan untuk memberikan komentar, penadapat atau diskusi dan konsultasi. Rencana kebijakan akan tetap dilaksanakan terlepas dari apakah diterima atau ditolak oleh

masyarakat. Posisi masyarakat hanya sebagai pelengkap penderita dan wajib menerima apapun rencana yang ditetapkan oleh Pemko tanpa diberikan kesempatan untuk menunjukkan sikap apakah menolak atau menerima. Akibatnya banyak kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kota tentang tata ruang kota tidak sesuai dengan keinginan masyarakat dan menjadi mubazir. Salah satu contoh yang terlanjur adalah Kesawan Square. Pembangunan kawasan jajanan rakyat ini adalah sesuatu yang mubazir karena tidak seperti sasaran yang diinginkan. Penyebabnya adalah karena pusat jajanan rakyat tersebut dibangun tanpa melibatkan masyarakat secara langsung dan hanya keputusan sepihak dari penguasa. Akibatnya masyarakat tidak merasa memiliki.

Hal di atas hanyalah salah satu contoh dari kebijakan Pemko yang cenderung mubazir karena tidak melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang publik. Masih banyak lagi kebijakan-kebijakn lain yang mengalami nasib seperti di atas.

Bagi Pemko Medan, tata ruang publik lebih mengedepankan kepentingan bisnis dari pada kepentingan publik sendiri. Banyak ruang-ruang publik yang sangat berguna bagi masyarakat untuk melakukan komunikasi sosial dan berekreasi yang ada di pusat kota telah bergeser peruntukannya menjadi lokasi-lokasi bisnis. Areal PRSU (Pekan Raya Sumatera Utara) di daerah Petisah merupakan contoh konkrit dari hal ini yang kemungkinan besar disusul oleh Taman Ria Medan serta Taman Margasatwa di Jalan Brigjen Katamso. Kesemua peralihan fungsi tersebut lebih mengedepankan kepentingan ekonomi (bisnis) dan mengenyampingkan kebutuhan ruang terbuka umum yang sangat diperlukan oleh masyarakat perkotaan.

Langkah-langkah Yang Dilakukan Oleh Pemko Medan Dalam Upaya Pengembangan Ruang Publik

Langkah yang dilakukan oleh Pemko Medan dalam upaya pengembangan ruang publik belum maksimal atau belum semata-mata ditujukan untuk kepentingan publik. Belum dilibatkannya elemen-elemen masyarakat dalam pengambilan keputusan dan dominannya kepentingan ekonomi dan bisnis merupakan penyebab yang utama. Pemko Medan cenderung jalan sendiri dalam


(11)

membuat kebijakan tentang tata ruang kota termasuk di dalam pengembangan ruang publik.

Melihat kondisi yang ada sekarang ini dimana sudah banyak ruang-ruang publik yang beralih fungsi untuk kepentingan bisnis, seharusnya Permko Medan membuat suatu langkah terobosan baru. Terobosan baru ini dimaksudkan agar kebutuhan masyarakat sekarang ini yang semakin padat dan semakin susah dicari bahan-bahan kosong yang bisa dibangun ruang publik, maka perluasan kota menjadi salah satu alternatif. Memasukkan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang ke wilayah kota Medan dan kemudian di daerah tersebut dibuat suatu ruang publik baik berupa taman, lapangan olahraga dan yang lainnya merupakan solusi yang paling tepat.

Langkah selanjutnya setelah areal tersendiri adalah melibatkan elemen-elemen masyarakat dalam proses pembangunannya. Dengan dilibatkannya elemen-elemen masyarakat diharapkan areal publik yang akan dibangun tidak menjadi sia-sia karena merupakan keinginan masyarakat sebagai konsumennya. Masyarakat merasa ikut memiliki ruang publik yang telah dibangun oleh Pemko.

Mendorong pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengadaan ruang publik adalah alternatif lain. Pihak swasta terutama perusahaan real estate diwajibkan menyediakan ruang publik di lokasi perumahan yang akan dibangun. Tetapi yang penting di sini ruang publik yang dibangun tidak bersifat ekslusif artinya bukan hanya orang-orang yang ada di perumahan tersebut bisa mengakses ruang publik ini tetapi penduduk yang diluar kompleks perumahan juga bisa menikmatinya. Keadaan seperti ini diharapkan akan terjadi interaksi sosial. Komunikasi yang intens pada ruang publik akan bisa menimbulkan adanya rasa saling percaya dan pengertian diantara masyarakat yang berbeda-beda.

Peran Bappeda serta Dinas Tata Kota sebagai perpanjangan tangan eksekutif seharusnya mulai sekarang sudah memiliki cetak biru (blue print) untuk ke depan tentang pengembangan ruang publik yang berorientasi kepada hal-hal di atas. Cetak biru ini kemudian disosialisasikan kepada warga kota untuk mendapat tanggapan. Kritik dan saran masyarakat terhadap rancangan tersebut harus

diperhatikan untuk mendapatkan kebijakan yang lebih sempurna. Selain itu dengan adanya sosialisasi rasa memiliki oleh masyarakat akan terwujud.

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Oleh Pemko Medan Dalam Pengembangan Ruang Publik

Kendala utama Pemko Medan dalam pengembangan ruang publik adalah minimnya anggaran yang dialokasikan untuk kepentingan ini. Dalam tiap tahun APBD Kota Medan sangat sedikit mengalokasikan dana untuk pembangunan dan pengembangan ruang publik. Untuk sektor ini anggaran lebih diutamakan untuk pembuatan taman-taman yang ada di perempatan jalan atau bahu jalan. Hampir tidak ada anggaran yang dibuat oleh Pemko untuk pembuatan taman-taman bermain atau olah raga. Seharusnya untuk masa-masa yang akan datang Pemko harus mengalokasikan dana yang cukup besar untuk pembangunan dan pengembangan taman-taman untuk bermain dan rekreasi.

Apatisnya masyarakat dalam pengembangan ruang publik juga merupakan salah satu kendala. Sikap apatis masyarakat muncul karena tidak adanya media yang bisa menyalurkan aspirasinya. Kearoganan Pemko dengan tidak pernah melibatkan masyarakat dalam setiap mengambil kebijakan merupakan penyebab utama apatisnya masyarakat. Hal ini ditambah lagi abainya Pemko Medan terhadap ruang publik karena selalu mengedepankan kepentingan ekonomi dan bisnis yang mengakibatkan ruang sosial menjadi tidak terpenuhi. Sikap apatis masyarakat bisa diminimalisir dengan melibatkan mereka atau paling tidak mengkomunikasikan rencana-rencana pemko dalam pengembangan ruang publik. Diskusi yang intens dengan elemen-elemen masyarakat seperti LSM, Ormas, Perguruan Tinggi, Media dan lainnya merupakan langkah yang baik. Kebijaksanaan – kebijaksanaan yang dibuat akan lebih populis, sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Pembentukan Dewan Kota sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan salah satu alternatif. Aspirasi masyarakat yang tidak bisa disalurkan selama ini bisa disalurkan lewat Dewan Kota.

Arus urbanisasi yang bergerak secara terus-menerus dan semakin lama semakin tinggi juga


(12)

merupakan suatu kendala. Jumlah penduduk yang semakain bertambah padat menimbulkan banyaknya kemunculan pemukiman-pemukiman kumuh. Akibatnya perencanaan kota semakin kacau balau karena banyaknya lahan yang terpakai untuk pemukiman. Dengan demikian semakin sulit untuk mencari lahan yang bisa diperuntukkan bagi ruang publik. Lahan yang ada lebih diperuntukkan kepada pemukiman. Perlunya meminimalisir arus urbanisasi dengan lebih banyak penyedian lapangan kerja di pedesaan adalah salah satu solusinya. Pada tahap selanjutnya perluasan kota merupakan alternatif lain.

KESIMPULAN

1. Ruang publik yang bisa diakses oleh publik tanpa adanya diskriminasi sangat diperlukan oleh kota-kota besar. Ruang publik yang dimaksud bisa berbentuk taman, lapangan olah raga, ruang terbuka untuk pertemuan dan lain-lain. Tiap-tiap komponen dari masyarakat bisa langsung mengakses ruang publik tersebut. Sehingga di dalam ruang publik tersebut dapat terjadi komunikasi sosial yang intens. Dengan komunikasi yang instens diantara berbagai komponen masyarakat diharapkan terjadinya suatu proses integrasi sosial yang membawa kearah kesepahaman masyarakat tentang berbagai hal. Pada proses selanjutnya integrasi sosial dan kesepahaman akan menciptakan suatu masyarakat yang damai sejahtera atau masyarakat madani yang disimbolkan dengan adanya civilisasi (peradaban), penegakan disiplin sosial, moralitas masyarakat, identitas dan solidaritas sosial, kohesivitas sosial, otonomi dan kemandirian politik, partisipasi sosial, tertib sosial, keadilan sosial serta adanya misi dan visi strategis.

2. Sebaliknya apabila ruang publik yang berfungsi sebagai tempat untuk melakukan komunikasi sosial yang otomatis integrasi sosial tidak akan bisa tercapai, akan menimbulkan dampak yang sangat fatal. Tidak adanya kesepakatan bersama terhadap nilai-nilai yang dianut akan membawa suatu masyarakat kepada situasi yang kacau (chaos). Keadaan ini ditandai dengan maraknya berbagai kerusuhan

(urban riot), aksi kekerasan (urban violence), aksi kejahatan (fatal crime) kerusuhan sosial. Oleh karena itulah penyediaan ruang publik yang memadai untuk kota-kota metro politan sangat diperlukan.

3. Kota Medan sebagai kota yang terus berkembang menuju kota metropolitan seharusnya sudah mulai memperhitungkan hal-hal di atas dalam penyusunan Rancangan Umum Tata Ruang Kota (RUTRK). Penyediaan ruang publik yang cukup memadai susah harus dikedepankan. Apalagi penduduk kota Medan yang sangat majemuk baik ditinjau dari kemajemukan horisontal (suku, agama, ras dan antar golongan) maupun vertikal (tingkat ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan lain-lain). Sangatlah sulit untuk menata masyarakat yang mejemuk karena tingkat segregasi yang sangat tinggi. Potensi untuk terjadinya disintegrasi sosial sangat tinggi. Sehingga penyediaan sarana untuk melakukan komunikasi sosial yang diharapkan dapat mencapai integrasi sosial sangatlah dibutuhkan.

4. Pada dewasa ini dalam pembangunan kota Medan hal-hal yang di atas belum sepenuhnya disadari oleh Pemko Medan. Pemko cenderung mengabaikan keberadaan ruang publik dan lebih berorientasi kepada kepentingan bisnis. Hal ini ditandai dengan semakin sedikitnya ruang-ruang publik yang tersedia bahkan ruang publik yang sudah ada sekalipun kemudian diubah peruntukannya untuk kepentingan bisnis. Pengalihan lokasi PRSU untuk kepentingan bisnis adalah salah satu contoh yang teranyar.

5. Selain itu dalam proses perencanaan ruang publik cenderung ditetapkan sendiri oleh pemko. Elemen-elemen masyarakat seperti LSM, perguruan tinggi, ormas serta komponen-komponen masyarakat lainnya tidak pernah dilibatkan. Akibatnya pembangunan ruang publik sarat dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang sebenarnya sangat tidak relevan. Pertimbangan kepentingan publik tidak pernah dijadikan patokan. Akibatnya publik bersikap apatis dan merasa tidak


(13)

memiliki ruang publik yang dibangun ini. Proses sosialisasi yang minim bahkan sama sekali tidak ada juga turut mempertebal sikap apatis masyarakat. Akhirnya kegagalan proyek pembangunan ruang publik merupakan suatu hal yang wajar. Kawasan Pusat Jajanan Rakyat Kesawan Square merupakan salah satu contoh konkritnya. Proyek pembangunan ruang publik yang diharapkan dapat menjadi alternatif untuk tempat rekreasi bagi masyarakat untuk seluruh kalangan pada sore dan malam hari tidak berjalan seperti yang diharapkan. Proses perencanaan dan pembangunan yang sentralistik tanpa melibatkan komponen masyarakat ditambah lagi tidak adanya sosialisasi, membuat tujuan ideal dari proyek ini tidak tercapai.

6. Sempitnya lahan yang ada karena lahan-lahan yang ada pada saat sekarang ini lebih diorientasikan kepada kepentingan bisnis juga merupakan kendala dalam pembangunan ruang publik. Tingginya arus urbanisasi yang tentu saja memerlukan lahan yang luas untuk pemukimannya juga turut memberikan peran terhadap sempitnya lahan untuk ruang publik. Kadang-kadang kaum urban ini mempergunakan jalur-jalur hijau seperti sepanjang rel kereta api, daerah aliran sungai sebagai kawasan pemukiman. Bahkan tidak jarang ruang publik dijadikan sebagai pemukiman darurat karena mereka tidak memiliki pemukiman yang permanen. Akibatnya kenyamanan dalam mengakses ruang publik menjadi sangat berkurang dan sangat rawan untuk tindakan kriminal. Untuk mengantisipasi hal ini perluasan kota merupayakan suatu keniscayaan. Dengan adanya perluasan kota diharapkan dapat dibangun suatu ruang publik baru yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat kota.

7. Dari kondisi di atas pembangunan ruang publik yang ada di kota Medan masih sangat jauh dari keadaan yang ideal. Ruang-ruang publik yang ada selain jumlahnya masih sangat minim juga belum bisa dijadikan sebagai tempat untuk melakukan komunikasi sosial bagi penduduk kota. Kerawanan ruang publik

terhadap tindakan kriminal juga salah satu penyebabnya. Bila kondisi ini terus berlanjut tentu akan akan membahayakan kepada proses integrasi sosial dalam masyarakat. Bila proses integrasi sosial dalam masyakarat tidak tercapai sangat potensial untuk terjadinya suatu kerusuhan sosial. Pada akhirnya masyarakat madani seperti yang dicita-citakan bersama akan semakin jauh dari jangkauan kita.

SARAN

Adapun saran-saran yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah:

1. Untuk mencapai masyarakat madani yang menjadi cita-cita bersama, seharusnya Pemko Medan lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat untuk melakukan komunikasi sosial untuk tercapainya suatu proses integrasi sosial yang menjadi syarat utama untuk tercapainya masyarakat madani. Salah satu wadah bagi masyarakat untuk melakukan komunikasi sosial adalah adanya ruang publik yang bebas diakses oleh berbagai kalangan. Pada ruang publik inilah diharapkan masyarakat dari berbagaji kalangan dapat melakukan komunikasi sosial untuk mencapai integrasi sosial.

2. Pada saat sekarang ini jumlah ruang publik yang tersedia di kota Medan jumlahnya sangat tidak mencukupi. Karena keterbatasan areal yang ada di kota saat ini sangat kurang sebab lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan bisnis, maka pemko diharapkan mencari suatu terobosan baru dalam perencanaan pembangunan ruang publik. Perluasan kota dengan memasukkan sebahagian wilayah Kabupaten Deli Serdang terutama pada wilayah selatan kota merupakan salah satu alternatif.

3. Hendaknya dalam proses perencanaan pembangunan ruang publik harus lebih demokratis dengan melibatkan komponen-komponen masyarakat yang ada seperti LSM, perguruan tinggi, media massa serta ormas. Lebih ideal lagi apabila dewan kota seperti yangt diamanatkan oleh UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk. Aspirasi masyarakat


(14)

sebagai pengkonsumsi ruang publik dapat tertampung. Setelah perencanaan disusun, sosialisasi kepada masyarakat merupakan suatu keharusan. Dengan keadaaan yang demikian ini diharapkan masyarakat merasa memiliki ruang publik ini.

4. Ketersediaan lapangan olahraga yang sangat mencukupi juga merupakan suatu keharusan. Dengan adanya lapangan olahraga, diharapkan aktifitas para pemuda dapat disalurkan ke hal yang lebih posititf. Selain itu di lapangan olahraga tersebut dapat terjadi kontak sosial yang dapat menciptakan terjadinya kesepahaman di antara para pemuda. Dengan demikian perkelahian antar kelompok pemuda atau perkelahian antar gang yang sering terjadi di kota Medan pada beberapa tahun terakhir ini dapat lebih di minimalkan.


(15)

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas dan Depdagri, 2002, Buku Pedoman Safe Guarding : Penguatan Pengamanan Pembangunan Daerah, Jakarta

Beetham, David Kevin Boyle, 2000, Demokrasi : 80 Tanya Jawab, Kanisius, Yogyakarta. Billah, M.M., 1996, Good Governance dan Control Sosial, Prisma No. 8, LP3ES, Jakarta. Budiharjo, Eko dan Djoko Sujarto, 1999, Kota Berkelanjutan, Alumni, Bandung.

Budiharjo, Eko, 1984, Arsitektur dan Kota di Indonesia, Alumni, Bandung.

---, 1999, Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota, Andi, Yogyakarta. Daud, Jeluddin, dkk (Ed.), 1996 Penataran Ruang Menghadapi PJP-II, USU Pres, Medan.

Fatah, Eep Saefullah, 1994, Unjuk Rasa, Gerakan Massa dan Demokratisasi, Prisma No. 4, LP3ES, Jakarta.

Fatnership for Governance Reform, 2002, Tata Pemerintahan Yang Baik Dari Kita Untuk Kita,

Jakarta.

Hadi, Hariri, 1987, Strategi Pembangunan Kota-kota Dalam Mewujudkan Kesatuan Ekonomi Nasional, Prisma No.1, LP3ES, Jakarta.

Hikam, Muhammad As., 1991, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan Dalam politik Indonesia, Prisma No.3, LP3ES, Jakarta.

---. 1993 Demokrasi Melalui “Civil Society, Sebuah Tatapan Reflektif Atas Indonesia, Prisma No.6, LP3ES, Jakarta.

---,1997 Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta

Kusmanto, Heri, 1999, Reformasi Politik dan Penguatan Civil Society, Makalah dalam acara Deklarasi Faksi Sospol Sumatera Utara, Medan.

Majid, Nurcholis, 2002, Mari Selamatkan Bangsa dan Negara dan Mari Hentikan Nafsu Untuk Berkuasa Semata, Makalah Pada Diskusi Panel Tata Pemerintahan Yang Baik, Kerjasama Fisip USU dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Medan. ---, 2002, Renungan Tentang Reformasi : Bagaimana Peluang Emas Tidak Lewat

Sia-sia, Makalah pada diskusi panel Tata Pemerintahan Yang Baik, Kerjasama Fisip USU dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Medan.

Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, UII Press, Yogyakarta.

Nasution, M. Arif, (Ed.), 2000, Demokrasi dan Problematika Otonomi Daerah, Mandar Maju, Bandung.

Nazir, Moh., 1988, Metode Penelitian, Galia Indonesia, Jakarta.

Nugroho, D. Riant, 2000, Otonomi Daerah : Desentralisasi Tanpa Revolusi, Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Gramedia, Jakarta.

Nugroho, Iwan, 1997, Modal Sosial dan Perkembangan Kota, Prisma No.6, LP3ES, Jakarta.

Nurmandi, Ahmad, 1999, Manajemen Perkotaan, Aktor Organisasi dan Pengelolaan Daerah Perkotaan di Indonesia, Lingkaran Bangsa, Yogyakarta.

Parera, Frans M. Dan T. Jakob Koekerits (Ed.), 1999, Demokratisasi dan Otonomi, Mencegah Disintegrasi Bangsa, Kompas, Jakarta.

Pelly, Usman, 2000, Perkembangan Kota dan Manusianya : Medan Menuju Kota Metropolitan Yang Modern, Makalah pada Seminar Hari Jadi Kota Medan ke-410, Medan.

---,2000, Social Institution and Ethnic Consession in Medan, in Sama-sama Facts of Ethnic Relation in South East Asia, Miriam C.Ferer (ed). Manila: The Third World Studies Centre, University of Philipines Diliman

---,2002, Ruang Terbuka untuk Pemukiman Kota yang Padat dan Majemuk, Kertas Kerja untuk Lokakarya Daerah Pembangunan dan Pengelolaan Perumahan dan Pemukiman Propinsi Sumatera Utara, Dinas Penataan Ruang & Pemukiman Pempropsu, Medan

Prijadi, Ruslan, 2001, Manajemen Perkotaan di Era Globalisasi-Desentralisasi, Majalah Usahawan No.2, Jakarta.


(16)

Raharjo, Sutjipto, 1987, Disiplin Sosial : Tata Tertib atau Tata Krama ?, Prisma No.3, LP3ES, Jakarta.

Rajab, Budi, 1996, Pluralitas Budaya Masyarakat Indonesia, Prisma No.6, LP3ES, Jakarta.

Ruslani, 1999, Multi Kulturalisme dan Masa Depan Indonesia, dalam Parera, Frans M. Dan T. Jakob Koekerits (Ed.), 1999, Demokratisasi dan Otonomi, Mencegah Disintegrasi Bangsa, Kompas, Jakarta.

Ramto, Bun Yamin, 1992, Pola Kebijakan Dalam Sistem Pengelolaan Kota, Prisma No.5, LP3ES, Jakarta.

Sanit, Arbi, 1988, Organisasi Politik, Organisasi Massa dan Politik Demokratisasi Masyarakat, Prisma No.6, LP3ES, Jakarta.

Setiawa, Bonnie, 1996, Masyarakat Sipil dan Organisasi Non Pemerintah, Prisma No.7, Jakarta. Singarimbum, M., dan Sofian Efendi (Ed.), 1996, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta.

Sinulingga, Budi D., 1999, Pembangunan Kota : Tinjauan Regional dan Lokal, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Sitorus, Henry F., 2001, “Governance” dengan Partisipasi “Civil Society” Pada Masa Otonomi Daerah, Makalah dalam diskusi bulanan laboratorium otonomi daerah Fisip USU, Medan. Subhilhar, 2002, Perlunya Tata Pemerintahan Yang Baik : Telaah Teoritis dan Praktis, Makalah Pada Diskusi Panel Tata Pemerintahan Yang Baik, Kerjasama Fisip USU dan Patnership for Governance Reform in Indonesia, Medan.

Sugandhy, Aca, 1994, Operasionalisasi Penataan Ruang dan Trilogi Pembangunan, Prisma No. 2, LP3ES, Jakarta.

Sujarto, Djoko, 1992, Bias Kota Raksasa Serupa Jakarta, Prisma No.5, LP3ES, Jakarta.

Sularto, St. (Ed.), 1999, Visi dan Agenda Reformasi, Menuju Masyarakat Indonesia Baru, Kanisius, Yogyakarta.

Sundhausen, Ulf, 1996, Agenda Perubahan dan Era Demokratisasi, Prisma No.3, LP3ES, Jakarta. Suparman, I.A., 1983, Statistik Sosial, Rajawali, Jakarta.

Surbakti, Ramlan, 1994, Kebijakan Tata Ruang Perkotaan : Siapa Membuat dan

Mengungtungkan Siapa ?, Prisma No.7, LP3ES, Jakarta.

---, 1995, Dimensi Ekonomi - Politik Pertumbuhan Kota, Prisma No.1, LP3ES, Jakarta.

---, 1996, Karakteristik dan Penampilan Birokrasi Perkotaan, Prisma No.4, LP3ES, Jakarta.

---, 1996, Perebutan Ruang di Perkotaan dan Pembenarannya, Prisma No.9, LP3ES, Jakarta.

Taruk. Kemal, 2003, Local Development Forum dan The Kampung Development Board, Bappenas, Jakarta

Tjahjati, S. Budy dan Imron Bulkin, 1994, Arah Kebijaksanaan Tata Ruang Nasional, Prisma No.2, LP3ES, Jakarta.

Umari, Akram Dhiyauddin, 1999, Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, Gema Insani Press, Jakarta.


(1)

membuat kebijakan tentang tata ruang kota termasuk di dalam pengembangan ruang publik.

Melihat kondisi yang ada sekarang ini dimana sudah banyak ruang-ruang publik yang beralih fungsi untuk kepentingan bisnis, seharusnya Permko Medan membuat suatu langkah terobosan baru. Terobosan baru ini dimaksudkan agar kebutuhan masyarakat sekarang ini yang semakin padat dan semakin susah dicari bahan-bahan kosong yang bisa dibangun ruang publik, maka perluasan kota menjadi salah satu alternatif. Memasukkan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang ke wilayah kota Medan dan kemudian di daerah tersebut dibuat suatu ruang publik baik berupa taman, lapangan olahraga dan yang lainnya merupakan solusi yang paling tepat.

Langkah selanjutnya setelah areal tersendiri adalah melibatkan elemen-elemen masyarakat dalam proses pembangunannya. Dengan dilibatkannya elemen-elemen masyarakat diharapkan areal publik yang akan dibangun tidak menjadi sia-sia karena merupakan keinginan masyarakat sebagai konsumennya. Masyarakat merasa ikut memiliki ruang publik yang telah dibangun oleh Pemko.

Mendorong pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengadaan ruang publik adalah alternatif lain. Pihak swasta terutama perusahaan real estate diwajibkan menyediakan ruang publik di lokasi perumahan yang akan dibangun. Tetapi yang penting di sini ruang publik yang dibangun tidak bersifat ekslusif artinya bukan hanya orang-orang yang ada di perumahan tersebut bisa mengakses ruang publik ini tetapi penduduk yang diluar kompleks perumahan juga bisa menikmatinya. Keadaan seperti ini diharapkan akan terjadi interaksi sosial. Komunikasi yang intens pada ruang publik akan bisa menimbulkan adanya rasa saling percaya dan pengertian diantara masyarakat yang berbeda-beda.

Peran Bappeda serta Dinas Tata Kota sebagai perpanjangan tangan eksekutif seharusnya mulai sekarang sudah memiliki cetak biru (blue print) untuk ke depan tentang pengembangan ruang publik yang berorientasi kepada hal-hal di atas. Cetak biru ini kemudian disosialisasikan kepada warga kota untuk mendapat tanggapan. Kritik dan saran masyarakat terhadap rancangan tersebut harus

diperhatikan untuk mendapatkan kebijakan yang lebih sempurna. Selain itu dengan adanya sosialisasi rasa memiliki oleh masyarakat akan terwujud.

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Oleh Pemko Medan Dalam Pengembangan Ruang Publik Kendala utama Pemko Medan dalam pengembangan ruang publik adalah minimnya anggaran yang dialokasikan untuk kepentingan ini. Dalam tiap tahun APBD Kota Medan sangat sedikit mengalokasikan dana untuk pembangunan dan pengembangan ruang publik. Untuk sektor ini anggaran lebih diutamakan untuk pembuatan taman-taman yang ada di perempatan jalan atau bahu jalan. Hampir tidak ada anggaran yang dibuat oleh Pemko untuk pembuatan taman-taman bermain atau olah raga. Seharusnya untuk masa-masa yang akan datang Pemko harus mengalokasikan dana yang cukup besar untuk pembangunan dan pengembangan taman-taman untuk bermain dan rekreasi.

Apatisnya masyarakat dalam pengembangan ruang publik juga merupakan salah satu kendala. Sikap apatis masyarakat muncul karena tidak adanya media yang bisa menyalurkan aspirasinya. Kearoganan Pemko dengan tidak pernah melibatkan masyarakat dalam setiap mengambil kebijakan merupakan penyebab utama apatisnya masyarakat. Hal ini ditambah lagi abainya Pemko Medan terhadap ruang publik karena selalu mengedepankan kepentingan ekonomi dan bisnis yang mengakibatkan ruang sosial menjadi tidak terpenuhi. Sikap apatis masyarakat bisa diminimalisir dengan melibatkan mereka atau paling tidak mengkomunikasikan rencana-rencana pemko dalam pengembangan ruang publik. Diskusi yang intens dengan elemen-elemen masyarakat seperti LSM, Ormas, Perguruan Tinggi, Media dan lainnya merupakan langkah yang baik. Kebijaksanaan – kebijaksanaan yang dibuat akan lebih populis, sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Pembentukan Dewan Kota sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan salah satu alternatif. Aspirasi masyarakat yang tidak bisa disalurkan selama ini bisa disalurkan lewat Dewan Kota.

Arus urbanisasi yang bergerak secara terus-menerus dan semakin lama semakin tinggi juga


(2)

merupakan suatu kendala. Jumlah penduduk yang semakain bertambah padat menimbulkan banyaknya kemunculan pemukiman-pemukiman kumuh. Akibatnya perencanaan kota semakin kacau balau karena banyaknya lahan yang terpakai untuk pemukiman. Dengan demikian semakin sulit untuk mencari lahan yang bisa diperuntukkan bagi ruang publik. Lahan yang ada lebih diperuntukkan kepada pemukiman. Perlunya meminimalisir arus urbanisasi dengan lebih banyak penyedian lapangan kerja di pedesaan adalah salah satu solusinya. Pada tahap selanjutnya perluasan kota merupakan alternatif lain.

KESIMPULAN

1. Ruang publik yang bisa diakses oleh publik tanpa adanya diskriminasi sangat diperlukan oleh kota-kota besar. Ruang publik yang dimaksud bisa berbentuk taman, lapangan olah raga, ruang terbuka untuk pertemuan dan lain-lain. Tiap-tiap komponen dari masyarakat bisa langsung mengakses ruang publik tersebut. Sehingga di dalam ruang publik tersebut dapat terjadi komunikasi sosial yang intens. Dengan komunikasi yang instens diantara berbagai komponen masyarakat diharapkan terjadinya suatu proses integrasi sosial yang membawa kearah kesepahaman masyarakat tentang berbagai hal. Pada proses selanjutnya integrasi sosial dan kesepahaman akan menciptakan suatu masyarakat yang damai sejahtera atau masyarakat madani yang disimbolkan dengan adanya civilisasi (peradaban), penegakan disiplin sosial, moralitas masyarakat, identitas dan solidaritas sosial, kohesivitas sosial, otonomi dan kemandirian politik, partisipasi sosial, tertib sosial, keadilan sosial serta adanya misi dan visi strategis.

2. Sebaliknya apabila ruang publik yang berfungsi sebagai tempat untuk melakukan komunikasi sosial yang otomatis integrasi sosial tidak akan bisa tercapai, akan menimbulkan dampak yang sangat fatal. Tidak adanya kesepakatan bersama terhadap nilai-nilai yang dianut akan membawa suatu masyarakat kepada situasi yang kacau (chaos). Keadaan ini ditandai dengan maraknya berbagai kerusuhan

(urban riot), aksi kekerasan (urban violence), aksi kejahatan (fatal crime) kerusuhan sosial. Oleh karena itulah penyediaan ruang publik yang memadai untuk kota-kota metro politan sangat diperlukan.

3. Kota Medan sebagai kota yang terus berkembang menuju kota metropolitan seharusnya sudah mulai memperhitungkan hal-hal di atas dalam penyusunan Rancangan Umum Tata Ruang Kota (RUTRK). Penyediaan ruang publik yang cukup memadai susah harus dikedepankan. Apalagi penduduk kota Medan yang sangat majemuk baik ditinjau dari kemajemukan horisontal (suku, agama, ras dan antar golongan) maupun vertikal (tingkat ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan lain-lain). Sangatlah sulit untuk menata masyarakat yang mejemuk karena tingkat segregasi yang sangat tinggi. Potensi untuk terjadinya disintegrasi sosial sangat tinggi. Sehingga penyediaan sarana untuk melakukan komunikasi sosial yang diharapkan dapat mencapai integrasi sosial sangatlah dibutuhkan.

4. Pada dewasa ini dalam pembangunan kota Medan hal-hal yang di atas belum sepenuhnya disadari oleh Pemko Medan. Pemko cenderung mengabaikan keberadaan ruang publik dan lebih berorientasi kepada kepentingan bisnis. Hal ini ditandai dengan semakin sedikitnya ruang-ruang publik yang tersedia bahkan ruang publik yang sudah ada sekalipun kemudian diubah peruntukannya untuk kepentingan bisnis. Pengalihan lokasi PRSU untuk kepentingan bisnis adalah salah satu contoh yang teranyar.

5. Selain itu dalam proses perencanaan ruang publik cenderung ditetapkan sendiri oleh pemko. Elemen-elemen masyarakat seperti LSM, perguruan tinggi, ormas serta komponen-komponen masyarakat lainnya tidak pernah dilibatkan. Akibatnya pembangunan ruang publik sarat dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang sebenarnya sangat tidak relevan. Pertimbangan kepentingan publik tidak pernah dijadikan patokan. Akibatnya publik bersikap apatis dan merasa tidak


(3)

memiliki ruang publik yang dibangun ini. Proses sosialisasi yang minim bahkan sama sekali tidak ada juga turut mempertebal sikap apatis masyarakat. Akhirnya kegagalan proyek pembangunan ruang publik merupakan suatu hal yang wajar. Kawasan Pusat Jajanan Rakyat Kesawan Square merupakan salah satu contoh konkritnya. Proyek pembangunan ruang publik yang diharapkan dapat menjadi alternatif untuk tempat rekreasi bagi masyarakat untuk seluruh kalangan pada sore dan malam hari tidak berjalan seperti yang diharapkan. Proses perencanaan dan pembangunan yang sentralistik tanpa melibatkan komponen masyarakat ditambah lagi tidak adanya sosialisasi, membuat tujuan ideal dari proyek ini tidak tercapai.

6. Sempitnya lahan yang ada karena lahan-lahan yang ada pada saat sekarang ini lebih diorientasikan kepada kepentingan bisnis juga merupakan kendala dalam pembangunan ruang publik. Tingginya arus urbanisasi yang tentu saja memerlukan lahan yang luas untuk pemukimannya juga turut memberikan peran terhadap sempitnya lahan untuk ruang publik. Kadang-kadang kaum urban ini mempergunakan jalur-jalur hijau seperti sepanjang rel kereta api, daerah aliran sungai sebagai kawasan pemukiman. Bahkan tidak jarang ruang publik dijadikan sebagai pemukiman darurat karena mereka tidak memiliki pemukiman yang permanen. Akibatnya kenyamanan dalam mengakses ruang publik menjadi sangat berkurang dan sangat rawan untuk tindakan kriminal. Untuk mengantisipasi hal ini perluasan kota merupayakan suatu keniscayaan. Dengan adanya perluasan kota diharapkan dapat dibangun suatu ruang publik baru yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat kota.

7. Dari kondisi di atas pembangunan ruang publik yang ada di kota Medan masih sangat jauh dari keadaan yang ideal. Ruang-ruang publik yang ada selain jumlahnya masih sangat minim juga belum bisa dijadikan sebagai tempat untuk melakukan komunikasi sosial bagi penduduk kota. Kerawanan ruang publik

terhadap tindakan kriminal juga salah satu penyebabnya. Bila kondisi ini terus berlanjut tentu akan akan membahayakan kepada proses integrasi sosial dalam masyarakat. Bila proses integrasi sosial dalam masyakarat tidak tercapai sangat potensial untuk terjadinya suatu kerusuhan sosial. Pada akhirnya masyarakat madani seperti yang dicita-citakan bersama akan semakin jauh dari jangkauan kita.

SARAN

Adapun saran-saran yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah:

1. Untuk mencapai masyarakat madani yang menjadi cita-cita bersama, seharusnya Pemko Medan lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat untuk melakukan komunikasi sosial untuk tercapainya suatu proses integrasi sosial yang menjadi syarat utama untuk tercapainya masyarakat madani. Salah satu wadah bagi masyarakat untuk melakukan komunikasi sosial adalah adanya ruang publik yang bebas diakses oleh berbagai kalangan. Pada ruang publik inilah diharapkan masyarakat dari berbagaji kalangan dapat melakukan komunikasi sosial untuk mencapai integrasi sosial.

2. Pada saat sekarang ini jumlah ruang publik yang tersedia di kota Medan jumlahnya sangat tidak mencukupi. Karena keterbatasan areal yang ada di kota saat ini sangat kurang sebab lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan bisnis, maka pemko diharapkan mencari suatu terobosan baru dalam perencanaan pembangunan ruang publik. Perluasan kota dengan memasukkan sebahagian wilayah Kabupaten Deli Serdang terutama pada wilayah selatan kota merupakan salah satu alternatif.

3. Hendaknya dalam proses perencanaan pembangunan ruang publik harus lebih demokratis dengan melibatkan komponen-komponen masyarakat yang ada seperti LSM, perguruan tinggi, media massa serta ormas. Lebih ideal lagi apabila dewan kota seperti yangt diamanatkan oleh UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk. Aspirasi masyarakat


(4)

sebagai pengkonsumsi ruang publik dapat tertampung. Setelah perencanaan disusun, sosialisasi kepada masyarakat merupakan suatu keharusan. Dengan keadaaan yang demikian ini diharapkan masyarakat merasa memiliki ruang publik ini.

4. Ketersediaan lapangan olahraga yang sangat mencukupi juga merupakan suatu keharusan. Dengan adanya lapangan olahraga, diharapkan aktifitas para pemuda dapat disalurkan ke hal yang lebih posititf. Selain itu di lapangan olahraga tersebut dapat terjadi kontak sosial yang dapat menciptakan terjadinya kesepahaman di antara para pemuda. Dengan demikian perkelahian antar kelompok pemuda atau perkelahian antar gang yang sering terjadi di kota Medan pada beberapa tahun terakhir ini dapat lebih di minimalkan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas dan Depdagri, 2002, Buku Pedoman Safe Guarding : Penguatan Pengamanan Pembangunan Daerah, Jakarta

Beetham, David Kevin Boyle, 2000, Demokrasi : 80 Tanya Jawab, Kanisius, Yogyakarta. Billah, M.M., 1996, Good Governance dan Control Sosial, Prisma No. 8, LP3ES, Jakarta. Budiharjo, Eko dan Djoko Sujarto, 1999, Kota Berkelanjutan, Alumni, Bandung.

Budiharjo, Eko, 1984, Arsitektur dan Kota di Indonesia, Alumni, Bandung.

---, 1999, Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota, Andi, Yogyakarta. Daud, Jeluddin, dkk (Ed.), 1996 Penataran Ruang Menghadapi PJP-II, USU Pres, Medan.

Fatah, Eep Saefullah, 1994, Unjuk Rasa, Gerakan Massa dan Demokratisasi, Prisma No. 4, LP3ES, Jakarta.

Fatnership for Governance Reform, 2002, Tata Pemerintahan Yang Baik Dari Kita Untuk Kita, Jakarta.

Hadi, Hariri, 1987, Strategi Pembangunan Kota-kota Dalam Mewujudkan Kesatuan Ekonomi Nasional, Prisma No.1, LP3ES, Jakarta.

Hikam, Muhammad As., 1991, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan Dalam politik Indonesia, Prisma No.3, LP3ES, Jakarta.

---. 1993 Demokrasi Melalui “Civil Society”, Sebuah Tatapan Reflektif Atas Indonesia, Prisma No.6, LP3ES, Jakarta.

---,1997 Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta

Kusmanto, Heri, 1999, Reformasi Politik dan Penguatan Civil Society, Makalah dalam acara Deklarasi Faksi Sospol Sumatera Utara, Medan.

Majid, Nurcholis, 2002, Mari Selamatkan Bangsa dan Negara dan Mari Hentikan Nafsu Untuk Berkuasa Semata, Makalah Pada Diskusi Panel Tata Pemerintahan Yang Baik, Kerjasama Fisip USU dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Medan. ---, 2002, Renungan Tentang Reformasi : Bagaimana Peluang Emas Tidak Lewat

Sia-sia, Makalah pada diskusi panel Tata Pemerintahan Yang Baik, Kerjasama Fisip USU dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Medan.

Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, UII Press, Yogyakarta.

Nasution, M. Arif, (Ed.), 2000, Demokrasi dan Problematika Otonomi Daerah, Mandar Maju, Bandung.

Nazir, Moh., 1988, Metode Penelitian, Galia Indonesia, Jakarta.

Nugroho, D. Riant, 2000, Otonomi Daerah : Desentralisasi Tanpa Revolusi, Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Gramedia, Jakarta.

Nugroho, Iwan, 1997, Modal Sosial dan Perkembangan Kota, Prisma No.6, LP3ES, Jakarta.

Nurmandi, Ahmad, 1999, Manajemen Perkotaan, Aktor Organisasi dan Pengelolaan Daerah Perkotaan di Indonesia, Lingkaran Bangsa, Yogyakarta.

Parera, Frans M. Dan T. Jakob Koekerits (Ed.), 1999, Demokratisasi dan Otonomi, Mencegah Disintegrasi Bangsa, Kompas, Jakarta.

Pelly, Usman, 2000, Perkembangan Kota dan Manusianya : Medan Menuju Kota Metropolitan Yang Modern, Makalah pada Seminar Hari Jadi Kota Medan ke-410, Medan.

---,2000, Social Institution and Ethnic Consession in Medan, in Sama-sama Facts of Ethnic Relation in South East Asia, Miriam C.Ferer (ed). Manila: The Third World Studies Centre, University of Philipines Diliman

---,2002, Ruang Terbuka untuk Pemukiman Kota yang Padat dan Majemuk, Kertas Kerja untuk Lokakarya Daerah Pembangunan dan Pengelolaan Perumahan dan Pemukiman Propinsi Sumatera Utara, Dinas Penataan Ruang & Pemukiman Pempropsu, Medan

Prijadi, Ruslan, 2001, Manajemen Perkotaan di Era Globalisasi-Desentralisasi, Majalah Usahawan No.2, Jakarta.


(6)

Raharjo, Sutjipto, 1987, Disiplin Sosial : Tata Tertib atau Tata Krama ?, Prisma No.3, LP3ES, Jakarta.

Rajab, Budi, 1996, Pluralitas Budaya Masyarakat Indonesia, Prisma No.6, LP3ES, Jakarta.

Ruslani, 1999, Multi Kulturalisme dan Masa Depan Indonesia, dalam Parera, Frans M. Dan T. Jakob Koekerits (Ed.), 1999, Demokratisasi dan Otonomi, Mencegah Disintegrasi Bangsa, Kompas, Jakarta.

Ramto, Bun Yamin, 1992, Pola Kebijakan Dalam Sistem Pengelolaan Kota, Prisma No.5, LP3ES, Jakarta.

Sanit, Arbi, 1988, Organisasi Politik, Organisasi Massa dan Politik Demokratisasi Masyarakat, Prisma No.6, LP3ES, Jakarta.

Setiawa, Bonnie, 1996, Masyarakat Sipil dan Organisasi Non Pemerintah, Prisma No.7, Jakarta. Singarimbum, M., dan Sofian Efendi (Ed.), 1996, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta.

Sinulingga, Budi D., 1999, Pembangunan Kota : Tinjauan Regional dan Lokal, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Sitorus, Henry F., 2001, “Governance” dengan Partisipasi “Civil Society” Pada Masa Otonomi Daerah, Makalah dalam diskusi bulanan laboratorium otonomi daerah Fisip USU, Medan. Subhilhar, 2002, Perlunya Tata Pemerintahan Yang Baik : Telaah Teoritis dan Praktis, Makalah Pada Diskusi Panel Tata Pemerintahan Yang Baik, Kerjasama Fisip USU dan Patnership for Governance Reform in Indonesia, Medan.

Sugandhy, Aca, 1994, Operasionalisasi Penataan Ruang dan Trilogi Pembangunan, Prisma No. 2, LP3ES, Jakarta.

Sujarto, Djoko, 1992, Bias Kota Raksasa Serupa Jakarta, Prisma No.5, LP3ES, Jakarta.

Sularto, St. (Ed.), 1999, Visi dan Agenda Reformasi, Menuju Masyarakat Indonesia Baru, Kanisius, Yogyakarta.

Sundhausen, Ulf, 1996, Agenda Perubahan dan Era Demokratisasi, Prisma No.3, LP3ES, Jakarta. Suparman, I.A., 1983, Statistik Sosial, Rajawali, Jakarta.

Surbakti, Ramlan, 1994, Kebijakan Tata Ruang Perkotaan : Siapa Membuat dan Mengungtungkan Siapa ?, Prisma No.7, LP3ES, Jakarta.

---, 1995, Dimensi Ekonomi - Politik Pertumbuhan Kota, Prisma No.1, LP3ES, Jakarta.

---, 1996, Karakteristik dan Penampilan Birokrasi Perkotaan, Prisma No.4, LP3ES, Jakarta.

---, 1996, Perebutan Ruang di Perkotaan dan Pembenarannya, Prisma No.9, LP3ES, Jakarta.

Taruk. Kemal, 2003, Local Development Forum dan The Kampung Development Board, Bappenas, Jakarta

Tjahjati, S. Budy dan Imron Bulkin, 1994, Arah Kebijaksanaan Tata Ruang Nasional, Prisma No.2, LP3ES, Jakarta.

Umari, Akram Dhiyauddin, 1999, Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, Gema Insani Press, Jakarta.