Civil society dan kebebasan beragama di Indonesia: studi kasus The Wahid Institute

(1)

CIVIL SOCIETY

DAN KEBEBASAN BERAGAMA

DI INDONESIA: STUDI KASUS THE WAHIDINSTITUTE

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Syaefullah

107033201757

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

Skripsi ini memfokuskan pada pembahasan The Wahid Institute sebagai civil society dalam memperjuangkan kebebasan beragama, toleransi, dan nilai-nilai demokrasi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa peran The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan melindungi kelompok minoritas. Hal ini sesuai dengan visi The Wahid Institute yakni mewujudkan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia, bangsa yang sejahtera, serta umat manusia yang berkeadilan sosial dan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diinspirasi oleh Islam.

Penelitian ini menggunakan studi pustaka dan wawancara dengan Ahmad Suaedy Direktur The Wahid Institute, Subhi Azhari Monitoring dan Advokasi The

Wahid Institute, dan Alamsyah M. Dja’far Kampanye dan Media The Wahid

Institute. Penelitian ini menjelaskan, bahwa The Wahid Institue rutin melakukan advokasi terhadap korban kekerasan agama, aliran kepercayaan, rumah ibadah, dan kelompok minoritas. Salah satu pembelaan yang dilakukan The Wahid Institute ialah kepada Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor, Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, aliran Syiah di Sampang, Madura, dan kasus Ahmadiyah Cikeusik Banten.

Dalam skripsi ini menggunakan strategi yang dilakukan oleh kelompok kepentingan dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan keadilan

sosial. Pertama, melalui penegak hukum. Kedua, pendekatan terhadap

pemerintah. Ketiga, pendekatan dalam hukum. Keempat, pendekatan ke publik.

Kelima, demonstrasi, dan keenam, menyuarkan protes. Dengan kerangka teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjungan The Wahid Institute bisa terwujud dengan melakukan pendekatan kepada aparat pemerintah maupun lembaga penegakan hukum.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Penulis dapat menyelesaikan salah satu kewajiban akademik yang merupakan prasyarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Sosial di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada berbagai pihak yang

ikut memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini yang berjudul Civil

Society dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute”. Adapun ucapan terima kasih penulis haturkan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si selaku dosen pembimbing, dan Sekretaris

Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Kepada seluruh dosen dan staf pengajar Program Studi Ilmu Politik yang

telah banyak memberikan ilmunya selama penulis menempuh proses perkuliahan.


(7)

iii

5. Kepada Bapak Ahmad Suaedy, Bapak M Subhi Azhari, dan Bapak

Alamsyah M. Dajafar yang telah meluangkan waktunya untuk bersedia di

wawancara, serta kepada staf The Wahid Institute yang telah memberikan

data-data mengenai isu kekerasan agama.

6. Kepada kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih sayang serta

doanya.

7. Kepada kawan-kawan diskusi Indonesian Culture and Academic (INCA),

Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), dan teman-teman Ilmu Politik angkatan 2007, Adi Ridwan, Siswo, Beni Azhar, Lupih Nurhadi, Deni Humaidi, Adik Saiful Safkri, Neneng, Siti Masitoh.

Semoga Allah SWT Yang Maha Pemurah dapat memberikan petujuk dan hidayah-Nya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis masih banyak kekuranagan dalam melakukan penelitian ini, oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran dari dosen, pembimbing, dan penguji.

Jakarta, 1 Januari 2014

Penulis Syaefullah


(8)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metodologi Penelitian... 11

F. Sistematika Penelitian ... 12

BAB II CIVIL SCIETY DAN KEBEBASAN BERAGAMA A. Konsep Civil Society ... 14

B. Civil Society dan Demokrasi ... 22

C. Kebebasan Beragama ... 26

BAB III THE WAHID INSTITUTE DAN PLURALISME DI INDONESIA A. Sejarah Singkat The Wahid Institute ... 31

B. Visi dan Misi The Wahid Institute ... 37

C. Pluralisme dan Toleransi di Indonesia ... 40

C.1 Pluralisme ... 40

C.2 Toleransi ... 44

BAB IV PERAN THE WAHID INSTITUTE TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA A. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor ... 54


(9)

v

C. Aliran Syiah di Sampang Madura ... 64

D. Ahmadiyah di Cikeusik Banten ... 68

E. Tantangan The Wahid Institute dalam Memperjuangkan Kebebasan Beragama di Indonesia ... 74

BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... ix

LAMPIRAN... xviii


(10)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel I Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2010 ... 50

Tabel II Korban Intoleransi dan Diskriminasi 2011 ... 51


(11)

vii

DAFTAR SINGKATAN

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

AD/ART : Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

AKKB : Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

AS : Amerika Serikat

BASRA : Badan Urusan Silaturahmi Ulama

CMARs : Center Marginalized Communites Studies

DEPAG : Departemen Agama

DPRD : Dewan Parwakilan Rakyat Daerah

FKUB : Forum Kerukunan Umat Beragama

FKUI : Forum Kerukunan Umat Islam

FORDEM : Forum Demokrasi

GKI : Gereja Kristen Indonesia

GOLKAR : Golongan Karya

GOR : Gelanggang Olahraga

HAM : Hak Asasi Manusia

HKBP : Huria Kristen Batak Protestan

ICCPR : International Covenant on Civil Political Right

ICMI : Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia

ICRP : Indonesian Conference on Religion and Peace

IMB : Izin Mendirikan Bangunan

INPRES : Instruksi Presiden

JAI : Jamaah Ahmadiyah Indonesia

KEMENAG : Kementrian Agama

KOMNASHAM : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

KTP : Kartu Tanda Penduduk

KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana

LBH : Lembaga Bantuan Hukum


(12)

viii

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MA : Mahkamah Agung

MENDAGRI : Menteri Dalam Negeri

MUI : Majlis Ulama Indonesia

MUNAS : Musyawarah Nasional

NI : Negara Islam

NU : Nahdlatul Ulama

ORBA : Orde Baru

ORMAS : Organisasi Masyarakat

PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

PCNU : Pimpinan Cabang Nahdaltul Ulama

PEMDA : Pemerintah Daerah

PEMKOT : Pemerintah Kota

PERDA : Peraturan Daerah

PERGUB : Peraturan Gubernur

PMB : Peraturan Menteri Bersama

PN : Pengadilan Negeri

PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negeri

RI : Republik Indonesia

SDI : Syarikat Dagang Islam

SDI : Serikat Dagang Islam

SEJUK : Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman

SK : Surat Keputusan

SKB : Surat Keputusan Bersama

UU : Undag Undang

UUD : Undang Undang Dasar


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

The Wahid Institute merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertujuan mengembangkan Islam yang damai, toleransi, penegakan hukum, multilkulturalisme, dan nilai-nilai demokrasi. Mulai tahun 2005, The Wahid Institute melakukan pendokumentasian terkait isu kebebasan beragama di

Indonesia.1

Sejak berdiri pada 7 September 2004, The Wahid Institute memiliki visi yang sesuai dengan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia dan umat manusia yang berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, dan

Hak Azasi Manusia (HAM) yang diinspirasi nilai-nilai Islam.2

Dalam kiprahnya, selama ini The Wahid Institute rutin melakukan pemantauan yang difokuskan kepada penggalian data dan informasi. Seperti kasus Ahmadiyah di Cikeusik Banten, aliran Syiah di Sampang Madura, sengketa rumah ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, serta pembelaan terhadap korban

1

The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakian dan Toleransi di Indonesia 2010 (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), ii.

2

The Wahid Institute, http://www.wahidinstitute.org/Tentang_Kami, diunduh pada 2 Januari 2013.


(14)

2

kekerasan dan kebebasan beragama di Indonesia.3 Oleh karena itu, The Wahid

Institute mempunyai peran yang signifikan terhadap kebebasan beragama,

multikulturalisme, dan nilai-nilai demokrasi.

Setidaknya ada dua peran penting yang dilakukan oleh The Wahid Institute,

yaitu, pertama, yang berkaitan dengan tindakan pelanggaran kebebasan beragama

di Indonesia. Kedua, berkaitan dengan masa depan kebebasan beragama di Tanah

Air.4

Akhir-akhir ini banyak aksi kekerasan, penganiayaan, dan anarki sosial yang mengatasnamakan agama. Selain itu, perusakan tempat ibadah dari aliran kepercayaan, kelompok minoritas dan penodaan kegiatan ritual keagamaan yang kerap terjadi di sejumlah tempat di Indonesia adalah bukti nyata tidak

terbantahkan.5

Di antara banyaknya aksi kekerasan di Indonesia, pertama, kasus Gereja

Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat. Selama ini, pendirian rumah ibadah GKI Yasmin Bogor telah diizinkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) pada 13 Juli 2006. Walikota Bogor telah mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) melalui Surat Keputusan Walikota Nomor

645.8-372 Tahun 2006.6

3

The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakian dan Toleransi di Indonesia 2010, 1.

4

The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), 12.

5

Departemen Agama RI, Riuh di Beranda Satu, Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Seri II (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2011), 82.

6

Kontras, Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor, Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin) (Jakarta: Kontras, 2012), 18.


(15)

3

Pada 10 Februari 2008, pembangunan rumah ibadah GKI Taman Yasmin

tersebut menuai protes dan unjuk rasa bertajuk “selamatkan aqidah umat” yang

berlangsung di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor dan Balai Kota Bogor. Acara ini dihadiri oleh organisasi masyarakat (ormas) Islam Kota Bogor yang dikoordinir oleh Forum Umat Islam (FUI) dan warga sekitar perumahan Taman Yasmin dan Tanah Sareal, Bogor. Mereka menuntut pembubaran Ahmadiyah di Bogor dan penolakan terhadap pembangunan tempat ibadah GKI Taman Yasmin dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tanah Sareal tersebut.

Akhirnya tuntutan diterima oleh Pemerintah Kota Bogor. Pada 14 Februari 2008, Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 503/367/208-OTK Perihal Pembekuan IMB Gereja GKI Taman Yasmin. Pada Tanggal 25 Februari 2008, Wali Kota Bogor mengeluarkan surat Nomor 503/367/HUK Perihal Pembatalan Rekomondasi Walikota yang tertera dalam Surat Keputusan Walikota Nomor IMB601/389/Pem Perihal

Pembangunan GKI Taman Yasmin.7

Kedua, kasus penyegelan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi Jawa Barat. Selama dua tahun jemaat HKBP Filadelfia tidak bisa menjalankan ibadah sebagaimana mestinya. Mereka beribadah di tepi jalan Desa Jejalen Jaya, Tambun, Bekasi, karena bangunan HKBP Filadefia disegel berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 7 Tahun 1996. Kemudian jemaat HKBP Filadelfia melaporkan kasus ini ke PTUN Bandung pada tahun 2010. Pengadilan Tata Usaha

7

Kontras, Laporan Pemantauan Pemolisian dan Hak Atas Berkeyakinan dan Hak Atas Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor, Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin), 20.


(16)

4

Negeri (PTUN) Bandung pun mengabulkan tuntutan HKBP Filadelfia. PTUN menganggap bahwa penghentian dan pelarangan kegiatan ibadah melanggar HAM

dan UUD 1945.8

Ketiga, kekerasan terhadap aliran Syiah. Peristiwa ini terjadi pada Kamis 29 Desember 2011. Sekitar 500 massa yang mengatasnamakan pengikut aliran Sunni merusak pesantren milik warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Atas kejadian tersebut, 253 warga Syiah diungsikan ke Gelanggang Olah Raga (GOR) Wijata Kusuma, Sampang Madura.

Peristiwa ini adalah kasus kedua yang terjadi pada bulan April 2011. Saat itu masyarakat tidak setuju dengan keberadaan Syiah karena ajarannya yang bertentangan dengan Islam. Dalam perkembangannya mereka mengancam warga Syiah untuk; 1) Menghentikan semua kegiatannya dan kembali kepada ajaran Islam. 2) Meninggalkan (di usir) wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan. 3) Jika

dua poin tersebut tidak dilaksanakan, maka jemaat Syiah harus mati.9

Setelah menerima tindakan kekerasan dan penyerangan, Roisul Hukama melaporkan Ustadz Tajul Muluk selaku pimpinan Syiah ke Polres Sampang atas

tuduhan penodaan agama, khususnya pernyataan bahwa Al-Qur’an tidak asli lagi.

Akibatnya Tajul Muluk dipidana selama dua tahun penjara. Menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri, Tajul Muluk melakukan penyebaran ajaran Syiah di

8

The Wahid Institute, MRORI Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXIX Desember 2011- Januari 2012 (Jakarta; The Wahid Instutue, 2012), 10.

9

Zainal Abidin Bagir dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011,

(Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, 2011), 29.


(17)

5

Mushola dan Masjid dengan mengajarkan bahwa rukun Islam ada 8 dan rukun iman ada 5. Lalu, Tajul Muluk mengajukan banding, namun Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur malah memperberat hukuman kepada Tajul Muluk menjadi 4

tahun penjara.10

Keempat, kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011. Kejadian ini megakibatkan tiga orang meninggal dunia, lima orang luka-luka, dan satu rumah milik jemaat Ahmadiyah rusak. Kasus penyerangan terhadap jemaat Ahmdiyah di Cikeusik Banten, merupakan kekerasan terbesar terhadap jemaat Ahmadiyah di Indonesia.

Akibat kasus Ahmadiyah di Cikeusik tersebut, mulai berkembang aturan yang membatasi kegiatan jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Misalnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung, Peraturan Bupati (Perbub) Pandeglang, Banten Erwan Kurtubi, No. 5 Tahun 2011, tanggal 21 Februari 2011, dan Peraturan Gubernur (Pergub) Banten Ratu Atut Chosiyah No. 5 Tahun 2011, tanggal 11 Maret 2011 tentang pelarangan

Ahmadiyah.11

10

Uli Parulian Sihombing, Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia (Jakarta, Setara Institute, 2012), 55.

11

Peraturan Bupati Pandeglang Banten No. 5 Tahun 2011; Larangan melakukan aktivitas atau kegiatan dalam bentuk apapun di wilayah Kabupaten Pandeglang. Kegiatan dimaksudkan sebagai bentuk penyebaran faham, menceritakan, menganjurkan atau segala usaha, upaya perbuatan penyebaran paham. Alasan, untuk menjaga dan memelihara kondusifitas dan stabilitas keamanan, ketenteraman dan ketertiban di Kabupaten Pandeglang Banten. Kemudian, peraturan Gubernur Banten No. 5 Tahun 2011; Larangan kepada penganut dan pengurus Jemaat Ahmadiyah Indnesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, melakukan aktivitas atau kegiatan berupa penyebaran ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, langsung mapun melalui media cetak ataupun media elektronik; memasang papan nama atau identitas lain Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dapat diketahui umum; memasang nama pada masjid, mushola, lembaga pendidikan dan lain-lain dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI); menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah


(18)

6

Menyikapi kasus di atas tersebut, The Wahid Institute melakukan perjuangan pembelaan terhadap korban kekerasan dan kelompok minoritas.

Antara lain; pertama, mendesak kepada pemerintah untuk lebih tegas menghadapi

organisasi masyarakat (ormas) pelaku kekerasan atas nama agama. Kedua,

pengaturan mengenai agama oleh pemerintah baik pusat maupun daerah harus

melibatkan kelompok minoritas yang menjadi objek kekerasan. Ketiga, mendesak

Presiden agar memerintahkan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk merevisi dan mencabut peraturan yang bertentangan dengan kebebasan beragama

dan berkeyakinan.12

The Wahid Institute menilai negara tidak tegas dalam menangani kasus kekerasan dan kebebasan beribadah. Negara absen, lalai, dan lambat dalam mengatasi kasus kekerasan yang bernuansa SARA. Bahkan, negara dinilai sebagai aktor kekerasan yang kerap kali melakukan intimidasi terhadap kelopok minoritas,

aliran kepercayaan, dan rumah ibadah di Indonesia.13

Dalam hal ini, ada dua bentuk cara negara dalam melakukan pelanggaran. Pertama, dengan cara tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur tangan, atau membatasi hak-hak seseorang dalam beragama

dan berkeyakinan. Kedua, dengan cara membiarkan hak-hak seseorang menjadi

Indonesia (JAI) dalam segala bentuknya; menyebarkan dan menafsirkan kegiatan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), 33-34.

12

The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011, 11.

13

Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, ed., Mengatur Kehidupan Beragama: Menjamin Kebebasan, Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyainan


(19)

7

terlanggar, termasuk membiarkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang tidak diproses secara hukum.14

Tindakan yang dilakukan oleh aktor negara tersebut melanggar UUD Negara RI 1945 Pasal 28 I ayat (1), Pasal 28 E, dan UU No. 29 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 4.15 Kebebasan untuk memilih agama

atau kepercayaan tertentu merupakan hak setiap orang untuk menentukan pilihan sesuai dengan keimanan yang diyakininya. Semua orang berhak memiliki hak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hal ini juga mencakup akan kebebasan memeluk agama, baik secara individu maupun secara kolektif dan di ranah publik

maupun privat.16

Secara historis, jauh sebelum kemerdekaan para founding father menyikapi

dan menghormati perbedaan keyakinan tersebut dengan baik. Gagasan yang dibangun dengan merumuskan “Bhineka Tunggal Ika” untuk mewujudkan cita

14

Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, ed., Politik Diskriminasi Rezim Susilo Bambang Yudhoyono, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: Setara Institute, 2012), 19.

15

Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan:“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk

memeluk agama. Sementara Pasal 4 UU No. 29 Tahun 1999 tentang HAM; “ hak untuk hidup, hak

untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaa di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” Lihat Undang-Undang Dasar 1945, dan UU

Tahun 1999. 16

Sukron Kamil dan Chaidir S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM, Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan non-Muslim (Jakarta, Center For Studi Religion and Culture (CSRC), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 15.


(20)

8

cita luhur bangsa.17 Hal ini sesuai dengan pandangan Ahmad Syafii Maarif,

bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, semua prinsipnya dapat

diterima Islam.18 Etos Islam saling menghargai akan perbedaan, egaliterian,

humanisme, dan pluralistik.

Salah satu syarat terwujudnya masyarakat yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang majemuk atau pluralis. Kemajemukan merupakan sunnatullah (hukum alam). Masyarakat yang majemuk memiliki budaya dan aspirasi beraneka ragam, tetapi mereka harus memiliki kedudukan yang sama,

serta tidak ada superioritas etnis, agama, suku, dan kelompok yang lainnya.19

Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai peran The Wahid Institute terhadap kebebasan beragama di Indonesia, maka dalam skripsi ini akan

memfokuskan pembahasannya pada tema Civil Society dan Kebebasan

Beragama di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute.” B. Pertanyaan Penelitian

Fokus penelitian ini mengenai tema “Civil Society dan Kebebasan Beragama

di Indonesia: Studi Kasus The Wahid Institute.” Maka penelitian ini akan

menganalisa tentang kebebasan beragama di Indonesia. Oleh karena itu, rumusan masalahnya dibatasi pada:

1. Bagaimana The Wahid Institute sebagai civil society memperjuangkan

kebebasan beragama di Indonesia?

17

Tohirin el-Ashary, “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme,” Buletin Kebebasan “Memaknai Kemerdekaan dan Pluralisme, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007), 11.

18

Lutfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia, (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 137. 19

Nur Achmad, Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Keragaman (Jakarta: Kompas, 2001), 11.


(21)

9

2. Apa tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini, pertama, mengetahui konsep civil society di

Indonesia. Kedua, untuk mengetahui bagaimana perjuangan The Wahid Institute

terhadap nilai-nilai kebebasan beragama di Indonesia. Ketiga, mengetahui

tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia Selain itu, tujuan penelitian ini ingin memotret The Wahid Institute sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kajian, penelitian, isu HAM, kekerasan yang mengatasnamakan agama, kelompok minoritas, kebebasan beragama, dan nilai-nilai demokrasi.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah ingin mengetahui konsep kebebasan beragama dan pentingnya nilai-nilai dalam kehidupan beragama

maupun dalam bernegara. Kemudian ingin mengetahui konsep civil society di

Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Pembahasan dalam penelitian ini didasari oleh penelitian Ihsan Ali-Fauzi dan Saiful Mujani tentang “Gerakan Kebebasan Sipil Studi dan Advokasi Kritis

atas Perda Syari’ah.” Penelitian ini bekerja sama dengan Lembaga Survey

Indonesia (LSI), Freedom Institute, Indonesia Institute, dan Jaringan Islam Liberal (JIL).

Penelitian ini membicarakan peran gerakan sosial terhadap Perda Syari’ah


(22)

10

penelitiannya adalah advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil mengenai

Perda Syari’ah di Pandeglang, Banten, setidaknya perda-perda Syari’ah mulai di

perdebatkan kembali mengenai perlu atau tidaknya perda-perda itu direvisi atau dihapuskan.

Namun di Bulukumba, Padang, ternyata kegiatan advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil mengalami kontraproduktif. Dukungan mengenai

perda-perda Syari’ah yang sudah merosot selama satu-dua tahun, kini mulai menguat

kembali dengan adanya kegiatan advokasi perda Syariah tersebut.20

Penelitian lain dilakukan oleh Aniqotul Ummah dalam skripsinya, “Advokasi ICRP sebagai Civil Society terhadap Kasus Ahmadiyah di Indonesia.”

Skripsi ini memfokuskan perjuangan Indonesian Conference on Religion and

Peace (ICRP) terhadap jemaat Ahmdiyah. Hasil penelitiannya adalah pertama, pemerintah tidak berani menentukan sikap terhadap Ahmadiyah. Hal ini terlihat lamanya proses pengambilan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai Ahmadiyah. Misalnya, penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah yang harus diundur beberapa kali karena rumitnya masukan dari berbagai pihak.

Kedua, di internal jemaat Ahmadiyah sendiri terjadi pergeseran yang semula komunitas Ahmadiyah tertutup dan bersikap mengalah jika berhadapan dengan negara, maka dengan adanya advokasi yang dilakukan oleh ICRP

20

Ihsan Ali-Fauzi dan Saiful Mujani, Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis


(23)

11

setidaknya jemaat Ahmadiyah lebih terbuka dan membangun jejaring dengan

agama-agama lain.21

D. Metodologi Penelitian

Skripsi ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang

menggunakan pengumpulan data melalui wawancara dan studi pustaka. Pertama,

pendekatan kualitatif adalah penelitian empiris yang data-datanya bukan

berbentuk angka.22 Kedua, wawancara (interview) dengan cara tanya-jawab.

Tujuan wawancara adalah mengumpulkan data atau informasi (keadaan, gagasan/pendapat, sikap/tanggapan, keterangan dan sebagainya) dari pihak The

Wahid Institute terkait dengan perannya dalam melakukan pembelaan terhadap

kebebasan beragama di Indonesia.23 Ketiga, studi pustaka, yang bertujuan

memperoleh data bacaan buku-buku, jurnal, buletin, majalah, dan artikel yang termuat di berbagai media cetak maupun media elektronik.

Beberapa referensi atau daftar pustaka yang menjadi sumber dalam skripsi ini adalah; Laporan Tahunan The Wahid Institute, Laporan Setara Institute,

Laporan Tahunan Center for Religion and Cross-culture Studies (CRCS) UGM,

Kontroversi Gereja di Indonesia CRCS UGM, jurnal Titik-Temu Dialog Peradaban Nucholis Madjid Society (NMSC) Paramadina, buletin Kebebasan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Majalah Tempo, dan untuk sumber media eloktronik website www.wahidinstitute.org.

21

Aniqotul Ummah, Advokasi ICRP Sebagai Civil Society Terhadap Kasus Ahmadiyah di Indonesia (Jakarta: FISIP UIN JAKARTA, 2012)

22

Lorain e Blaxter, dkk., How To Research Seluk-Beluk Melakukan Riset (Jakarta: PT. Indexs Kelompok Gramedia, 2006), 93.

23

Arif Subiantoro, dan FX Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007), 97.


(24)

12

Sedangkan data primer skripsi ini, diperoleh melalui wawancara dengan narasumber langsung dengan Ahmad Suaedy Direktur Eksekutif The Wahid

Institute, Subhi Azhari divisi Monitoring dan Advokasi The Wahid Institute, dan

Alamsyah M. Dja’far divisi Media dan Kampanye. Wawancara ini diharapkan mampu menggali signifikansi peran The Wahid Institute terhadap kebebasan beragama di Indonesia.

Sementara itu, teknik penulisan dalam penelitian ini menggunakan analisis data yang bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analisis yang bertujuan menggambarkan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Pengumpulan data, perumusan masalah, dan penulisan dalam skripsi ini kemudian disesuaikan dengan standar panduan penyusunan proposal dan penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.24

E. Sistematika Penelitian

Agar penulisan ini terarah dan lebih sitematis, maka penelitian ini dibagi menjadi lima bab, dengan sistematika sebagai berikut:

Pada Bab Pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang menjelaskan pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab Kedua, berisi gambaran umum tentang civil society serta civil society

dan demokrasi, strategi kelompok kepentingan, yang menjelaskan peran civil

24

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta, Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2012), 12.


(25)

13

society terhadap nilai-nilai demokrasi, dan pembahasan tentang kebebasan beragama.

Bab Ketiga, menjelaskan sejarah singkat berdirinya The Wahid Institute, visi dan misi, toleransi dan pluralisme di Indonesia.

Bab Keempat, dalam bab ini membahas peran The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama di Indonesia. Terkait kasus rumah ibadah GKI Taman Yasmin Bogor, Gereja HKBP Filadelfia Bekasi, Syiah di Sampang Madura, Ahmadiyah di Cikeusik Banten, dan tantangan The Wahid Institute dalam memperjuangkan kebebasan beragama.

Bab Kelima, bab penutup yang membahas kesimpulan permasalahan yang dihadapi dan penulis mengajukan beberapa saran.


(26)

14

BAB II

CIVIL SOCIETY

DAN KEBEBASAN BERAGAMA

A. Konsep Civil Society

Secara harfiah, civil society sendiri adalah terjemahan dari istilah latin,

civilis societas. Istilah ini pada awalnya digunakan oleh Cicero (106–43 S.M) – seorang orator dan pujangga Roma yang hidup pada abad pertama sebelum

Kristus. Menurut Cicero, civil society bisa disebut sebagai sebuah masyarakat

politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengakuan

hidup. Konsep Cicero mencakup kondisi masyarakat yang memiliki budaya dan

menganut norma-norma kesopanan tertentu.1

Sejauh ini terdapat beberapa perkembangan penafsiran civil society dari

berbagai pemikir sosial dan politik. Konsep civil society pertama kali dicetuskan

oleh filsuf Yunani, Aristoteles, yang lahir di Semenanjung Kalkidike di Trasia

(Balkan) pada tahun 384 S.M, dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 S.M.2

Aristoteles menggunakan istilah koinonia politike, atau dalam bahasa Latin

societas civilis, yang berarti masyarakat politik (political society).

Istilah koinonia politike ini digunakan oleh Aristoteles untuk

menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis warga negara yang

mempunyai kedudukan sama di depan hukum.3 Selain itu, istilah koinania politike

1

M. Dawam Rahadjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 137.

2

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta, UI-Press dan Tintamas, 1986), 115. 3

Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1999), 47.


(27)

15

ialah komunitas politik tempat warga terlibat langsung dalam berbagai ajang ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.

Dalam buku Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan

Aksi Ornop di Indonesia, konsep civil society kemudian dikembangkan oleh

Thomas Hobbes (1588-1679)4 dan John Locke (1632-1704).5 Menurut Hobbes,

civil society yang identik dengan negara merupakan perwujudan dari kekuasaan

absolut. Civil society hadir untuk meredam konflik agar tidak terjadi chaos dan

tindakan anarki. Civil society berfungsi untuk mengontrol dan mengawasi perilaku

politik warga yang memiliki kekuasaan mutlak. Sedangkan menurut John Locke, civil society berfungsi untuk menjaga kebebasan warga dan melindungi hak-hak

milik individu.6

Pemahaman civil society merupakan sebuah gagasan yang menjadi interest

para filsuf pencerahan. Salah satu tokohnya adalah Adam Ferguson (1776), filsuf

dari Skotlandia, yang memahami civil society sebagai ”sebuah visi etis dalam

berkehidupan bermasyarakat.” Ferguson menggunakan istilah ini untuk

4

Thomas Hobbes adalah pemikir politik abad ke XVII, gagasanya berkaitan dengan negara dan kekuasaan. Hobbes mengibaratkan negara sebagai Leviathan, atau sejenis monster yang ganas dan memberi rasa takut kepada siapa yang melanggar hukum, Leviatan tidak segan-segan untuk menjatuhi vonis hukuman mati. Dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), 165.

5

John Locke adalah seorang pemikir politik dengan gagasan besarnya adalah kemerdekaan individu serta Hak Asasi Manusia (HAM) yang di tulis dalam karyanya Two Treatises of Government. Karyanya tersebut menjadi rujukan wacana politik demokrasi di Amerika. Locke juga sebagai peletak dasar negara konstitusional dan penganjur konstitusional di zaman modern. Locke sendiri dilahirkan 29 Agustus 1632 di Wrington, sebuah desa di Somerset Utara, Inggris Barat. Dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, 181-182.

6

Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), 44-45.


(28)

16

mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculya kapitalisme.

M. A.S Hikam dalam buku Islam, Demokrasi, dan Pemberdayaan Civil

Society, mengutip pendapat Ferguson yang mengatakan bahwa munculnya ekonomi pasar dapat melunturkan tanggung jawab publik terhadap sesama warga negara karena kecenderungan pemuasan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, civil society dapat menghalangi munculnya tindakan kesewenangan pemerintah.

Dalam civil society itulah solidaritas bisa muncul yang diilhami oleh sikap saling

menyayangi antar sesama warga.7

Di dalam buku tersebut, konsep civil society mengalami perubahan pada

paruh akhir abad ke 18. Menurut Thomas Paine (1737-1809), seorang aktivis

liberal, perlu adanya pemisahan antara civil society dan negara. Peran negara

harus dibatasi sekecil-kecilnya karena keberadaannya merupakan keniscayaan

yang buruk (necessary evil) belaka. Civil society merupakan ruang dimana dapat

mengembangkan kepribadiannya secara bebas dan memberikan peluang bagi

pemuasan kepentingannya. Karena itu, civil society berperan terhadap kontrol

negara.8

Berbeda pandangan dengan Thomas Paine, dalam buku Masyarakat

Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial karya M Dawam Rahadjo, Hegel (1770-1831), seorang pemikir sosial politik Jerman, berpendapat bahwa civil society sesungguhnya merupakan produk masyarakat borjuis. Hegel

membagi kehidupan modern ini menjadi tiga wilayah, yakni keluarga, civil

7

Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society, 115. 8


(29)

17

society, dan negara. Keluarga merupakan ruang pribadi yang ditandai hubungan harmonis antar individu dan menjadi tempat sosialisasi pribadi anggota masyarakat.

Kemudian civil society dimaknai sebagai lokasi pemenuhan kepentingan

ekonomi baik individu maupun kelompok. Sementara negara merupakan representasi dari ide universal yang melindungi kepentingan politik warga.

Dengan demikian negara mempunyai hak intervensi kepada civil society, karena

civil society mengandung potensi konflik. Civil society tidak bisa dilepaskan dari

kontrol negara.9

Dalam buku itu M. Dawam Rahadjo mengutip pendapat Karl Marx10, bahwa

civil society adalah sebagai masyarakat borjuis. Bagi Marx, masyarakat borjuis mencerminkan kepemilikan yang bermuatan materialisme, dimana setiap orang

mementingkan dirinya sendiri, dan setiap orang berjuang melawan yang lainnya.11

Konsepsi lain ditemukan dalam buku Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil

Society; Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, ia mengutip pendapat Tocqueville

(1805-1859) bahwa civil society bukan subordinat negara. Civil society

merupakan suatu entitas yang keberadaannya dapat menerobos batas-batas kelas,

9

Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, 48.

10

Karl Mark adalah tokoh pemikir sosial politik dari Jerman. Karya yang dihasilakan Mark selama bertahun-tahun hidupnya di London adalah Das Kapital sebagai karya besar (magnum opus). Dalam karyanya tersebut, sebagai usaha Mark untuk memberikan analisa sejarah dan dinamikan masyarakat kapitalis. Mark juga mengkritik toeri ortodoksi Adam Smith dan david Ricardo tentang ekonomi pasar bebas. Dalam Doyle Paul Johnson dan diterjemahkan oleh Robert M.Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: PT Gramedia, 1986), 126.

11

M. Dawam Rahadjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, 142.


(30)

18

memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi, dan menjadi kekuatan pengimbang

intervensi negara.12

Oleh karena itu, gagasan Tocqueville dijadikan sebagai sumber referensi

gerakan pro-demokrasi di negara Barat maupun di Indonesia. Perkembangan civil

society di Indonesia mulai tumbuh atas kesadaran masyarakat untuk mendirikan organisasi modern pada abad ke 20. Dengan berdirinya organisasi Budi Utomo (1908), Syarikat Dagang Islam (SDI) (1911), Muhammadiyah (1912), dan

organisasi lainnya. Hal ini menandakan, civil society di Indonesia sudah

berkembang pada masa kolonialisme Belanda.13

Di Indonesia, istilah civil society atau pun masyarakat sipil menggunakan

istilah masyarakat madani–yang dimunculkan oleh Dato Anwar Ibrahim, wakil

P.M. Malaysia. Istilah masyarakat madani sebagai padanan dari civil society,

ketika itu disampaikan oleh Dato Anwar Ibrahim pada acara Forum Istiqlal 26

September 1995. Masyarakat madani ia kaitkan dengan konsep kota ilahi, kota

peradaban, atau masyarakat kota, yang tersentuh oleh peradaban maju. Kemudian istilah masyarakat madani dipopulerkan cendikiawan muslim seperti

Nurcholis Madjid atau (Cak Nur) dan Dawam Rahadjo. 14

Guna memperkaya dan menyempurnakan makna konsep civil society, maka

penggalian elemen-elemen dasarnya dari berbagai perspektif seperti tradisi pemikiran, filsafat, adat istiadat masyarakat, dan agama, demi relevansi harus terus dilakukan. Salah satu elemen dasar yang sangat penting dalam pembentukan

12

Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, 51. 13

M. Din Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Logos, 2002), vii.

14

Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, 7.


(31)

19

civil society adalah agama, yang dalam hal ini adalah Islam sebagai agama mayoritas. Islam merupakan sistem nilai yang harus digali secara menyeluruh. Secara demografis, Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia. Islam

memiliki energi doktrinal dalam mempengaruhi perilaku para pemeluknya.15

Banyak kalangan para pemikir, cendikiawan dan pengamat politik muslim yang berpendapat tentang kesesuaian ajaran-ajaran Islam dengan masyarakat

madani (civil society). Hal ini secara aktual pernah diterapkan oleh Nabi

Muhammad sendiri dalam perwujudan masyarakat madani itu. Ketika beliau

mendirikan dan memimpin negara-kota Madinah.16

Mitsaq Al-Madinah (Piagama Madinah) adalah dokumen politik pertama dalam sejarah umat manusia, yang meletakan dasar-dasar pluralisme dan toleransi. Dalam piagam tersebut ditetapkan adanya pengakuan kepada semua penduduk Madinah, tanpa memandang perbedaan agama dan suku, sebagai anggota umat

yang tunggal (ummatan wahidah) dengan hak-hak dan kewajiban sama.

Menurut Cak Nur, Madinah merupakan suatu model bangunan masyarakat nasional modern yang lebih baik dari yang diimajinasikan, dan menjadi contoh sebenarnya bagi nasionalisme, patriotisme serta egaliter. Oleh karena itu, usaha umat Islam di zaman modern ini menjadikan Madinah sebagai rujukan masyarakat madani.17

15

Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif “Rumah Demokrasi”, 6. 16

Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan,

(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999),3. 17 Nurcholish Madjid, “Asas

-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,” dalam Abuddin Natta, ed., Problematika Politik Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, dan UIN Jakarta Press, 2002), 3.


(32)

20

Cak Nur berpendapat, sebagai suri tauladan umat manusia, Nabi Muhammad telah memberikan contoh bagaimana mewujudkan semangat ketuhanan Yang Maha Esa yang berhubungan langsung dengan sosial,

keagamaan, dan politik yang berjiwa kemajemukan (plural) di dalam masyarakat

Madinah. Nabi Muhammad SAW telah mewariskan model bagaimana mengatur

masyarakat dan menyelesaikan persoalan umat manusia.18

Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang kharismatik yang disegani banyak orang, baik kalangan awam, intelektual, akademisi, serta para tokoh elit politik. Nabi Muhammad SAW adalah sosok politikus berkelas dan diplomat

ulung yang tidak tertandingi.19

Menurut Din Syamsudin, Madinah merupakan kota yang berhubungan erat dengan kata “tamadun” yaitu berperadaban. Madinah merupakan lambang

peradaban yang kosmopolit, bukan suatu “din” atau agama. Dengan demikian,

cita-cita Islam ialah terwujudnya suatu masyarakat yang berperadaban tinggi. Hal

ini juga pernah dijelaskan oleh Al-Farabi mengajukan teori tentang “masyarakat

utama” (al-madinah al-fadilah). Suatu masyarakat yang berorientasi menegakan persatuan dan kesatuan. Al-Farabi menekankan perlunya kolektifitas sosial dan

etika kolektif dalam mencapai kebahagiaan yang hakiki. 20

Dengan demikian, masyarakat madani bakal terwujud jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari

18 Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani,”

Titik-temu, Jurnal Dialaog Peradaban, Vol. 1, No. 2 Januari-Juni 2009, (Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2009), 16.

19

Khalil Abdul Karim, Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Arab

(Yogyakrta: LKiS, 2005), x. 20


(33)

21

prikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara positif dan

optimis. Yaitu, pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik.21

Oleh karena itu, civil society merupakan perkumpulan masyarakat politik,

yang taat kepada hukum, menjalin persaudaaran, toleransi, dan menjamin

kebebasan beragama. Tidak hanya itu, civil society sebagai penegak demokrasi,

penegakan terhadap hukum yang tidak adil dan melindungi apapun bentuk kekerasan.

Dalam hal ini, melaksanakan undang-undang dan melindungi setiap warga negara merupakan suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh siapa pun begitu juga negara. Demi mewujudkan masyarakat yang berperadaban serta menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan.

Dalam praktiknya, perjuangan yang dilakukan oleh civil society sering

mengalami kendala cukup berat. Misalnya, pemerintahan yang otoriter, adanya sikap masyarakat yang eklusif terhadap kemajemukan bangsa. Padahal, nilai-nilai keberagaman merupakan khazanah kekayaan Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.

Untuk mewujudkan perjuangan civil society dalam menegakan demokrasi

dan kebebasan beragama di Indonesia, maka menggunakan strategi yang

dilakukan oleh kelompok kepentingan. Pertama, melalui pendekatan terhadap

penegak aparat hukum. Kedua, pendekatan terhadap pemerintah atau negara.

21

Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), 176.


(34)

22

Ketiga, pendekatan dalam hukum. Keempat, pendekatan ke pubik, kelima,

demonstrasi, dan keenam, menyuarakan protes.22

Selama ini, strategi kelompok kepentingan masih digunakan oleh civil

society dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas, kebebasan beragama, nilai-nilai demokrasi, dan penegakan hukum di Indonesia, sehingga perjuangannya lebih efektif dan dapat memberikan resolusi permasalahan yang ada.

Akan tetapi strategi kelompok kepentingan tidak akan terlaksana dengan baik, jika masih ada sikap pemerintah yang tidak adil, kurang bijak, serta sikap apatis pemerintah terhadap konflik yang terjadi di masyarakat. Setidaknya, melalui pendekatan strategi kelompok kepentingan ini konflik-konflik kekerasan yang terjadi di masyarakat dapat berkurang.

B. Civil Society dan Demokrasi

Civil society lebih dari sekedar gerakan pro demokrasi. Civil society mengacu kepada kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bertamadun (civility).23 Oleh karena itu, Civil society dapat memberikan sumbangan bagi konsolidasi demokrasi, karena dapat menjembatani antara pemerintah dan

masyarakat. Civil society dapat menstabilkan harapan, mempermudah komunikasi

antara masyarakat dan pemerintah.

Hal ini akan membuat masyarakat tidak terasingkan dengan sistem pemerintah yang ada, dan berfungsi sebagai wahana untuk melawan pemerintahan

22

Michael G. Roskin, Political Science an Introduction (United State: Pearson, 2003), 188–191.

23


(35)

23

yang tirani. Kemudian memperkuat norma-norma sipil bagi prilaku warga, yakni menekankan pentingnya toleransi, kebersamaan, dan keikutsertaan dalam

menghadapi persoalan bangsa.24

Bahkan, menurut para pakar sosial politik modern, civil society bertujuan

untuk menolak kesewenangan kekuasaan elite yang mendominasi kekuasaan

negara. Hal ini merupakan manifestasi dari penanaman demokrasi.25 Adapun

pandangan Ernest Gellner, civil society merupakan masyarakat yang terdiri atas

berbagai institusi non-pemerintahan yang cukup kuat untuk mengimbangi

negara.26

Sedangkan menurut kelompok devlopmentalis dan Neo-Tocquevelian

seperti Putnam, civil society adalah asosiasi perantara. Civil society adalah

wilayah antara negara dan struktur keluarga yang dihuni oleh organisasi, menikmati posisi otonom berhadapan dengan negara, dan memiliki pengaruh

signifikan terhadap kebijakan publik.27 Hal ini tergambar dalam teori sistem

David Easton, civil society merupakan salah satu penekan kebijakan dan sebagai

kontrol terhadap pemerintah yang meyimpang, sehingga output yang dihasilkan

lebih baik.28 Tapi, civil society juga bisa bekerjasama dengan negara, tidak mesti

24

Saiful Mujani, Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Yayasan Wakaf Paramadina, dan Freedom Institute, 2007), 20.

25

Fahmi Huwaidy, Demokrasi Oposisi, dan Masyarakat Madani (Bandung: Mizan, 1996), 296.

26

Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan (Bandung: MIZAN Anggota IKAPI, 1995), 6.

27

Fuad Fahrudin, Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (Jakarta: Pustaka Alvabet dan Yayasan INSEP, 2006), 40.

28 Muhtar Mas’ud dan Colin MacAndrews,

Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1993), 5.


(36)

24

bermusuhan. Ini telah terbukti antara lain di bidang pendidikan, kesehatan dan

lain sebagainnya yang ternyata antara civil society dapat bekerjasama.29

Oleh karena itu, untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi membutuhkan etika diskursif yang dalam bahasa Habermas, etika diskursif yang menjamin bahwa setiap orang berhak secara bebas tanpa ancaman dari orang lain. Adanya tujuan deliberasi publik atau musyawarah adalah konsensus atau mufakat yang

diterima secara ikhlas oleh semua partisipan masyarakat.30

Konsep civil society meneguhkan gerakan sosio-kultural. Dalam paham civil

society, rakyat bukan subordinat negara, melainkan partner yang setara. Begitu juga dalam Islam, tidak boleh ada lembaga agama yang memaksakan

konsep-konsepnya kepada para pengikutnya, atas dasar hak satu kelompok.31 Umat Islam

merupakan salah satu elemen bangsa yang memiliki peran terhadap nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Dukungan organisasi-organisasi besar Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, terhadap upaya demokratisasi

memiliki peran penting membina umat Islam yang hidup dalam culture yang

toleran terhadap perbedaan, merawat kemajemukan bangsa, dan nilai-nilai

demokrasi.32

Menurut Abdurahman Wahid (Gus Dur), demokratisasi merupakan sesuatu yang strategis dan fungsional untuk menjawab persoalan bangsa, karena

29

Budhi Munawar-Rachman, Membela Kebebebasan Beragama Percaakapan Tentang Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme (Jakarta: Democrazy Project, Edisi Digital, Buku 1, 2011), 290.

30Donny Gahral Adian, “Demokrasi dan Kemaslahatan Umum,” dalam Jurnal Titik Temu,

Vol. 5, No. 1, Juli – Desember 2012 (Jakarta: Nurcholis Madjid Society (NCMS), 2012), 45. 31

Komarudin Hidayat dan Gaus AF, Islam, Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), xix.

32Sunaryo, “Islam dan Tantangan Demokrasi

di Indonesia Politik Identitas dan Kekerasan atas Nama Agama,” dalam Titik Temu Jurnal Dialog Peradaban (Volume 3, Nomor 1, Juli – Desember ), (Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), 2010), 147.


(37)

25

demokrasi dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan bangsa.33 Begitu juga

organisasi Muhammadiyah34 yang memiliki kesamaan karakter dengan

masyarakat madani yang mempunyai keyakinan nilai-nilai ilahiah, demokratis,

berkeadilan, otonom, berkemajuan dan berahlak muliah (al-ahlakul karimah).35

Oleh karena itu, civil society sebagai ujung tombak penegakan demokrasi di

Indonesia. Maka, dengan adanya civil society memungkinkan tumbuhnya diskusi

dan kerja sama memupuk kepercayaan terhadap orang lain, menjalin persaudaraan, dan kerja sama dengan umat lain adalah modal sosial untuk meretas kecurigaan, melampaui rasa toleran, dan permusuhan.

Dengan demikian, demokrasi bukan sekadar prosedur kekuasaan, bukan pula sebagai sistem yang ditentukan oleh mereka yang mayoritas. Demokrasi adalah pengakuan dan penerimaan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, toleransi, pluralisme, keadilan, pengakuan terhadap hak-hak umat beragama, hak hidup, hak untuk memperoleh kekayaan, dan kepada kelompok minoritas.

Namun, perjuangan civil society terhadap demokrasi tidak akan berjalan

dengan mulus. Tentu akan ada hambatan yang dialami civil society dalam

menegakan demokrasi. Misalnya, dengan munculnya kelompok radikal yang mengancam kebebasan beragama, penegakkan hukum yang dipandang masih

33

Al – Zastrouw, “Gus Dur dan Demokrasi” dalam M. Fajrul Falakh dkk., Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), 136

34

Organisasi Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912, 7 Djulhijjah 1330 H. Oleh Kiyai Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abubakar adalah imam dan khatib masjid besar Kauman Yogyakarta. Sementara Ibunya adalah anak K.H. Ibrahim. Menurut silsilah, keluarga Ahmad Dahlan merupakan keturunan Maulana Malik Ibrahim, seorang wali yang menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Dalam Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan: Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010),17-18.

35

Majlis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah (Jakarta: Kompas, 2010), LI.


(38)

26

tebang pilih. Lalu, adanya tindakan sikap pemerintah yang otoriter, para pengambil kebijakan yang melakukan diskriminasi kepada kelompok minoritas di Indonesia. Bahkan, pemerintah juga melakukan pembiaran terhadap korban kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini.

D. Kebebasan Beragama

Persoalan utama dari kasus kebebasan beragama di Indonesia adalah ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi hak warga negaranya untuk beragama sesuai dengan undang-undang. Dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat 1. Setiap warga negara berhak memeluk agama sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Maka perlakuan atas kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah

secara semena-mena adalah perlakuan yang melanggar konstitusi.36

Kebebasan beragama juga tertuang dalam International Covenant on Civil

Political Right (ICCPR). Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui

Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil

Political Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), hal

ini tercatat dalam pasal 18 ICCPR.37

36

Zuly Qodir, “Kaum Minoritas dan Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Elza Peldi

Taher, ed., Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta: Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dan Kompas, 2009), 401.

37

UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18: 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencangkup kebebasan kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengalaman, dan pengajaran.

2. Tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan utuk mellindungi, keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Lihat, The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), 8-9.


(39)

27

Sementara dalam Islam, prinsip saling menghormati antar para pemeluk agama yang berbeda sangat ditekankan. Hal ini sesuai dengan firman Allh SWT, lakum dienukum waliyadin.“Berpegang teguhlah engkau pada agamamu dan aku

berpegang pada agamaku.” (QS. Al-kafirun, ayat 6). Toleransi dalam beragama

merupakan salah satu dasar ajaran Islam.38 Dengan kata lain, prinsip keyakinan

setiap manusia terhadap Tuhannya tidak boleh dipaksakan karena bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Allah berfirman dalam al-Qur’an:

Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda)

kebenaran dan kesesatan. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thaghut (Syaitan) dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Menghetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).

Ayat tersebut menjelaskan pentingnya toleransi terhadap pemeluk agama lain. Bahwa kemajemukan masyarakat sesungguhnya merupakan bagian dari

kehendak Tuhan. Al-Qur’an, kitab suci umat Islam secara amat ekplisit

menyatakan bahwa keanekaragaman budaya, bahasa, ras dan warna kulit

merupakan ciptaan Tuhan dan sekaligus menunjukkan kebesarannya.39 Oleh

karena itu, kemajemukan dan multikulturalisme tidak bisa dipisahkan dari kehidupan warga negara Indonesia. Dengan demikian, keberagaman sebagai mozaik kekayaan bangsa yang harus dilestarikan dan dijaga oleh seluruh masyarakat Indonesia.

38

Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1987), xi.

39

Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi (Jakarta: Paramadina, 2003), 164.


(40)

28

Islam tidak menafikan pluralitas dalam masyarakat. Pluralitas dan

multikulturalisme merupakan sunnahtullah (hukum Tuhan). Hal ini termaktub

dalam kitab suci Al-Qur’an; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan

kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal” (QS. Al-Hujuraat:

13).40 Ayat di atas tersebut, memberikan gambaran kepada umat manusia akan

pentingnya keberagaman dalam kehidupan beragama dan bernegara.

Pasalnya, keberagaman bukanlah sesuatu yang baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, nilai-nilai keberagamanpun sudah tertera

sangat jelas dalam “Bhineka Tunggal Ika” dan dilndungi oleh konstitusi negara.

Lebih dari itu, keberagaman menjadi tonggak perekonomian negara ini. percampuran berbagai etnik ialah mesin yang menghasilkan budaya negeri ini, itulah makna keberagaman dalam bernegara.

Para ulama telah mencoba merumuskan ajaran Islam kompatibel dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan merujuk kepada ulama Islam klasik

yang pertama kali menemukan konsep maqasid syari’ah yaitu; Imam Ghazali

(w.1111 M). Ulama besar abad ke-12 tersebut mencoba merumuskan dasar syari’at Islam yang disebut dengan maqasid syari’ah ialah: penghargaan terhadap

hak dasar kebebasan dasar manusia. (al-kulliyah alkhamsyah), yaitu hak hidup

(hifzh nafs), hak kebebebasan beropini dan berekpresi (hifzh al-aql), hak

40

Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Fredrich Naumann Stiftung, 2011), 213.


(41)

29

kebebasan reproduksi (hifzh al-nasl), hak memilik properti (hifzh mal), dan

terakhir hak untuk beragama (hifzh al-dien).41

Dengan demikian, ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai toleransi dan kebebasan beragama dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, Islam sangat kompatibel dengan konstitusi dan dasar negara Bangsa Indonesia.

Selama ini, persoalan keragaman dan kebebasan beragama di Indonesia masih buruk, karena banyak aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) kepada kelompok minoritas dan aliran kepercayaan yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah di Cikeusik Banten, pada 11 Februari 2011 dan Syiah di Sampang Madura, pada 29 Desember 2012.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan adanya jaminan kebebasan beragama di Indonesia dengan berbagai cara. Contohnya, melalui pendekatan ke pemerintah untuk melaksanakan konstitusi negara serta melindungi setiap warga negara dalam beragama dan berkeyakinan. Kemudian mengadakan seminar, dialog, pendidikan kewarganegaraan, toleransi, serta keberagaman kepada masyarakat umum dan kepada kelompok radikal yang mengancam kebebasan beragama di Indonesia.

Semestinya negara menjamin warga negara dalam memeluk kepercayaan, dan beribadah berdasarkan UUD 1945. Dalam ajaran Islam, agama tidak berhak memaksa seseorang dalam memeluk kepercayaan agama tertentu. Dengan

41Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia.” dalam Abdul Hakim,

dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisme Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid


(42)

30

demikian, kebebasan beragama, toleransi dan multikulturalisme merupakan sunatullah yang harus di jaga oleh setiap warga negara Indonesia.

Akhirnya, sebagai kesimpulan dari bab ini, bahwa salah satu elemen dasar

dalam pembentukan civil society (masyarakat politik) adalah agama. Dan civil

society hanya akan terwujud bilamana adanya sikap keterbukaan (inklusivitas) dalam masyarakat. Oleh karena itu, agar konsep masyarakat madani bisa ditegakkan, maka sikap toleransi dalam beragama menjadi hal yang diperlukan. Masyarakat beragama harus menyadari jika keberagaman merupakan salah satu


(43)

31

BAB III

THE WAHID INSTITUTE DAN PLURALISME DI INDONESIA

A. Sejarah Singkat The Wahid Institute

Berdirinya The Wahid Institute terinspirasi dari sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokoh pluralisme dan Bapak bangsa. Maka, dalam pembahasan ini akan mendeskripsikan tentang pemikiran Gus Dur, sejarah singkat berdirinya The Wahid Institute, pluralisme dan toleransi di Indonesia.

Gus Dur lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar Jombang Jawa Timur. Ia anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya bernama K.H. Wahid

Hasyim, putra K.H. Hasyim Asyari,1 pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan

pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Sedangkan Ibunya bernama Hj. Solehah, juga putri tokoh besar NU, K.H. Bisri

Syamsuri pendiri pondok pesantren Jombang dan Ro’is Am Syuriah Pengurus

Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) setelah K.H. Abdul Wahab.2

NU sebagai organisasi keagamaan mempunyai kontribusi terhadap

perkembangan sosial keagamaan dan negara. Perkembangan NU ditandai dengan

lahirnya tokoh-tokoh NU salah satunya, Gus Dur cucu dari Hadratussyaikh

1

Kiai Hasyim Asyari dilahirkan di Jombang pada bulan Februari1871 dan meninggal di Jombang pada bulan Juli 1947. Dia adalah adalah pendiri NU pada tahun 1926. Keluarga Hasyim

Asy’ari adalah keturunan Raja Brawijaya VI, yang berkuasa di Jawa pada abad XVI M, dan

terkenal sebagai raja terakhir kerajaan Hindu-Budha yang tersebasar di Jawa, Kerajaan Majapahit. Bahkan yang lebih penting lagi, tokoh lagendaris Jaka Tinggkir, putera Brawijaya VI, dianggap sebagai orang yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta; LKiS Group, 2002), 26-27.

2

Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 338–339.


(44)

32

Hasyim Asyar’i, pendiri NU.3 Organisasi kegamaan tersebut memiliki doktrinan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja),4

Gus Dur adalah mantan ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ia mampu mengubah wajah NU yang bersifat ekslusif, menjadi inklusif, modern, dan moderat. Semangat memperjuangkan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan

politik nasional.5 Karenanya, suatu keharusan bersama memperjuangkan

kebebasan dan menyempurnakan demokrasi di negeri ini.6

Selain berkiprah di NU, Gus Dur membentuk juga suatu organisasi Forum Demokrasi (FORDEM) pada Maret 1991, dan Ia terpilih sebagai juru bicaranya. Ketenaran dan pengaruh Gus Dur membuat organisasi baru ini mendapatkan kepercayaan publik. Forum Demokrasi didirikan untuk memberikan kekuatan pengimbang terhadap lembaga-lembaga seperti Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang mendorong tumbuhnya pemikiran sektarianisme. Organsisai Forum Demokrasi merupakan kelompok kecil yang anggotanya bukan

3

NU: Organisasi keagamaan yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Radjab 1344

H.) dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh K.H. Hasyim Asya’ri, K.H. Wahab Hasbullah, K.H.

Bisri Sansuri, K.H. Ridwan, K.H. Nawawi, K.H. Doromuntaha (menantu K.H. Cholil Bangkalan). Lihat Nur Khalik Ridwan, NU dan Neoliberalisme dan Harapan Menjelang Satu Abad

(Yogyakarta: LkiS, 2008), 1. 4

Ahlusunnah Wal-Jamaah, sebuah paham keagamaan-yang dikalangan NU–bersumber pada; Al-Qur’an, As–Sunnah, Al-Ijma’ dan Qiyas. Secara Harfiah Ahlusunnah Wal-Jamaah berarti pernganut Sunnah Nabi Muhammd dan Jamaah (sahabat-sahabatnya). Secara ringkas, segolongan pengikkut sunnah (jejak) Rasulullah Alaihi Wassalam yang di dalamnnya melaksanakan ajaran-ajaran beliau berjalan di atas garis yang telah dipraktekan oleh Jamaah (sahabat Nabi). lihat Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga. 1992), 21.

5Ahmad Syafii Maarif dan Muhhamad Najib, “Upaya Memahami Sosok Kontraversial

Gus

Dur,” dalam Ahmad Suaedy dan Ulil Absar Abshar Abdalah, ed., Gila Gusdur Wacana Pembaca

Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2000), 4. 6


(45)

33

hanya dari NU, malah bukan muslim, kebanyakan dari mereka adalah Katolik dan

Protestan.7

Tujuan lain berdirinya Forum Demokrasi ialah untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi pada level kelembagaan maupun kesadaran masyarakat. Namun secara khusus, berdirinya Forum Demokrasi dilatarbelakangi peristiwa kasus perusakan kantor tabloid Monitor pada bulan Oktober 1990, kantor tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara surveinya yang menyinggung umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus Monitor menunjukan bahwa beberapa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi keagamaan dengan

mengedepankan kelompok mereka.8

Pada tahun 1999, Gus Dur diangkat menjadi Presiden Indonesia ke-4. Pengangkatan ini menunjukan penghargaan dan apresiasi terhadap sosok Gus Dur sebagai pemikir, aktivis, politisi yang pluralis dan demokratis. Maka, sebagai seorang demokrat dan pluralis, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP MPRS No XXV Th 1966 mengenai pelarangan terhadap PKI dan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme. TAP ini menjadi landasan perlakuan diskriminatif terhadap anggota dan aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI).

Perjuangan Gus Dur bukan membela PKI, atau ajaran Komunisme, Marxisme Leninisme, tetapi membela suatu prinsip demokrasi dan HAM, suatu prinsip yang telah ditancapkan dengan kokoh dalam UUD 1945 Republik

7

Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid, 224– 225.

8


(46)

34

Indonesia. Gus Dur menjelaskan bahwa TAP MPRS No XXV Th 1966 tersebut

bertentangan dengan UUD 1945 dan melanggar HAM.9

Pada level praktis dan kebijakan, Gus Dur melakukan pembelaan terhadap kelompok etnis Tionghoa di Indonesia. Dengan demikian, salah satu keputusan politik Gus Dur pada Januari 2000, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2000, isinya mencabut Inpres No 14/1967 yang dibuat Suharto

tentang agama, kepercayaan, adat istiadat Cina.10

Selain melakukan tindakan aktif, Gus Dur banyak memberikan kontribusi

pemikiran, salah satunya mengenai “pribumisasi Islam”. Gagasan ini di latarbelakangi dengan keinginan kuat Gus Dur dalam mempertemukan budaya

(adat) dengan norma Islam (syariah).11 Ide besar gagasan Gus Dur mengenai

“pribumi Islam” adalah agar umat Islam Indonesia mempunyai pandangan luas, menjungjung tinggi toleransi, menghargai orang lain dan kebebasan beragama di Indonesia.

Munculnya gagasan “pribumisasi Islam” yang membuatnya dikenal sebagai pejuang humanis. Wawasan humanisme ini membuat Gus Dur tidak lelah berbicara tentang bahaya ancaman kekerasan politik yang bisa saja mengatasnamakan agama. Ia juga berbicara penting sikap non-sektarian dan toleransi antar agama di dalam sebuah bangsa yang heterogen, semisal Indonesia.

9

Ahmad Suaedy dan Raja Juli Antoni, ed., Para Pembaharu Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara (Jakarta: Southeast Asian Muslims (Seamus) For Freedom and Enlightenment, 2009), 18-19.

10

M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, 60.

11 Ulumul Qur’an,

Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, no. 3, vol. IV Tahun 1995 (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan ICMI, 1995), 33.


(47)

35

Maka, ide Gus Dur dapat ditelusuri melalui pada tahun 1980-an tentang tiga

ukhwah; ukhwah Islamiyah, ukwah wathoniah, ukhwah basyariah.12

Oleh karena itu, Greg Barton menempatkan Gus Dur, Ahmad Wahid, Djohan Effendi dan Nurcholis Madjid (Cak Nur), sebagai kelompok neomodernisme Islam, pemikiran yang berorientasi mengembangkan keterbukaan

dan kebebasan.13

Gus Dur yang beranggapan bahwa prinsip-prinsip humanitarian adalah jantung Islam itu sendiri. Dengan kata lain, Islam diturunkan Allah dalam rangka kepentingan umat manusia seluruhnya. Dengan demikian, kelompok itu dengan teguh menegakan nilai-nilai egalitarianisme, humanisme, keadilan, tanpa membedakan latar belakang agama, etnis, budaya, dan semacamnya. Pandangan kelompok neomodernisme yaitu penanaman aplikasi nilai-nilai yang merupakan bentuk kongkrit ibadah sosial sama pentingnya dengan ibadah yang bersifat ritual.14

Kemudian, gagasan Gus Dur dalam “Islam: Idiologi Ataukah Kultural”?.

Gus Dur menekankan pentingnya mengembangkan Islam melalui wilayah kultural. Karenannya, Islam bisa berkembang melalui jalur tersebut. Gus Dur menolak gagasan Negara Islam (NI), karena bangsa kita beranekaragam yang

pantas di hormati hak pendapat dan hak hidupnya.15 Al-Qur’an sendiri tidak

12

Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999), 34.

13

Ahmad Suaedy, Prespektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru Demokratisasi (Jakarta: The Wahid Institute, Seeding Plural and Peaceful Islam, 2009), 307.

14Abd A’la, “Kemenangan Gus Dur Angin Sejuk Bagi Iklim Keagamaan di Indonesia,”

dalam Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010), 22. 15

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute Seeding Plural and Peaceful Islam, 2006), 50.


(48)

36

pernah menyebut-nyebut sebuah “Negara Islam” (daulah Islamiyah) hanya

menyebut negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan (baldatun thayyibatun

wa rabbun ghafur).16

Maka dengan spirit kemajemukan (heteregonitas) dalam kehidupan

berbangsa dapat mendirikan negara tidak berdasarkan salah satu agama tertentu.17

Melainkan kepada pancasila sebagai asas bangsa Indonesia, dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Atas perjuangan dan pemikirannya, Gus Dur dinobatkan sebagai “Bapak

Tionghoa”. Gus Dur bukan hanya banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan

yang menghormati masyarakat Tionghoa, tetapi mensejajarkan mereka dengan dengan kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama, adat-istiadat

yang berbeda.18

Gus Dur juga disebut sebagai “Bapak Pluralisme” oleh Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono (SBY), pada 24 Agustus 2005. Begitu juga sejumlah tokoh lintas agama, Jaringan Doa Nasional Tionghoa Indonesia, dan warga Ahmadiyah

menganugrahi Gus Dur sebagai “Bapak Pluralisme” Indonesia. Idiologi

pluralisme Gus Dur dan penghormatan terhadap pluralitas sepenuhnya berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam dan juga tradisi

keilmuan NU itu sendiri.19

Membela kaum minoritas, kebebasan beragama, toleransi, HAM, dan nilai-nilai demokrasi yang dilakukan oleh Gus Dur tidak berhenti disitu. Pasca lengser

16

Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, 16. 17

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 104.

18

M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, 59. 19


(49)

37

dari kursi kepresidenan pada tahun 2002, Gus Dur mendirikan lembaga The

Wahid Institutepada 7 september 2004. The Wahid Institute adalah lembaga yang

berusaha mewujudkan prinsip dan cita-cita intelektual Gus Dur dalam membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, multikulturalisme dan toleransi kepada kaum muslim di seluruh dunia. Lembaga ini diinisiasi oleh almarhum Gus Dur, Dr. Gregorius James Barton, Yenny

Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy.20

Gus Dur memiliki peran sangat penting dalam membangun sikap toleransi atas kemajemukan bangsa, kebebasan beragama, dan perlindungan kelompok minoritas yang ada di Indonesia. Tentu saja perjuangan Gus Dur dalam membela kelompok minoritas, kebebasan beragama, dan toleransi didasarkan pada pemahaman ajaran Islam dan juga tradisi keilmuan di NU. Dan untuk melestarikan pemikiran dan perjuangannya terhadap kebebasan beragama di Indonesia, maka Gus Dur berinisiatif mendirikan lembaga The Wahid Institute tersebut.

B. Visi dan Misi The Wahid Institute

Visi; terwujudnya cita-cita intelektual Gus Dur untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia, bangsa yang sejahtera, dan umat manusia yang berkeadilan sosial dan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi HAM yang diinspirasi Islam. The Wahid Institute berusaha memperjuangkan untuk terciptanya dunia yang damai dan adil dengan

20 Lihat “Sejarah The Wahid Institute”

http://www.wahidinstitute.org/wahid-id/tentang-kami/sejarah-the-wahid-institute.html#, di unduh pada 19 Oktober 2013.


(50)

38

mengembangkan pandangan Islam yang moderat serta bekerja untuk kesejahteraan bagi manusia.

Misi; 1) Mengembangkan, merawat dan menyebarluaskan nilai-nilai Islam yang damai dan toleran. 2) Mengembangkan dialog-dialog antar budaya lokal dan internasional demi memperluas harmoni Islam dengan berbagai kebudayaan budaya dan agama di dunia. 3) Mendorong inisiatif untuk memperkuat masyarakat sipil dan tata kelola pemerintah. 4) Mempromosikan partisipasi aktif dari beragam kelompok agama dalam membangun dialog kebudayaan dan dialog perdamaian. 5) Mengembangkan inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan

keadilan sosial. 21

Kemudian, The Wahid Institute memandang pentingnya hubungan agama dan negara. Faktanya, agama tidak bisa dipisahkan dari negara, karena sumbangsih agama bagi kebangsaan cukup besar. Sehingga, adanya upaya memasukan kerangka nilai-nilai agama di dalam negara. Seperti halnya, Kementrian Agama (Kemenag), KUA, dan Undang-undang Pernikahan.

Namun, awal berdirinya Kementerian Agama menuai banyak polemik dari orang non-muslim yang tidak setuju dengan lembaga tersebut, dengan alasan hanya akan mengakomodir kelompok tertentu saja. Kemudian, akhir-akhir ini penolakan tersebut muncul kembali, karena Kementerian Agama mengakui hanya enam agama resmi saja. Padahal, agama di Indonesia banyak sekali seperti, agama Zoroatser dan Thaoisme. Lalu, adanya diskriminasi terhadap aliran kepercayaan.

21 Lihat “Tentang The Wahid Institute”

http://wahid institute.org/wahid-id/tentang-kami/tentang-the-wahid-institue.html, diunduh 26 September 2013.


(51)

39

Akan tetapi, yang jadi permasalahanya adalah pada praktek pelayanan Kementrian Agama itu sendiri, apakah pelayananya diskrimatif atau tidak. Jadi, bukan pada Kementrian Agama dibubarkan atau tidak. Semestinya, yang diatur Kementerian Agama bukan keyakinannya, tapi masalah fasilitas keagamaan. Negara tidak boleh campur tangan dalam urusan agama bahkan menentukan aliran sesat atau tidak sesat.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan keadilan sosial dan toleransi di Indonesia, The Wahid Institute menginginkan negara Pancasila. Karena dapat mengakomodir semua kepentingan, dan idiologi dari semua golongan. Pancasila merupakan titik temu yang dapat menyatukan seluruh elemen masyarakat Indonesiaan. Dengan demikian, Pancasila merupakan hasil yang sudah final, dan harus dijaga oleh setiap elemen masyarakat seluruh Indonesia. Karena itu, nilai-nilai Pancasila adalah dasar idiologi bangsa dan bernegara. Pancasila bukan hanya wacana, melainkan untuk mewujudkan menanamkan nilai-nilai etika, kebersamaan, dan kebebasan beragama di Indonesia.

Dalam hal ini, The Wahid Institute berperan terhadap persoalan kebebasan

beragama. Menurut Alamsyah M. Dja’far divisi Media dan Kampanye The Wahid Institute, bahwa pentingnya menghargai semua warga negara, baik yang beragama

dan yang tidak beragama. Berdasarkan UU Kovenan International, Pasal 18

Tahun 2005 mengenai hak sipil dan politik. Bahwa, setiap orang berhak untuk memeluk kepercayaan yang diyakininya, berpindah agama, dan melindungi orang yang tidak beragama (Ateis). Oleh karena itu, setiap orang yang menganut


(52)

40

kepercayaan maupun orang yang tidak beragama harus tetap dilindungi. Begitu

juga, dengan aliran-aliran agama baru di Indonesia.22

Jadi, persoalan kebebasan beragama harus terpatri pada setiap individu untuk menghormati kepercayaan pemeluk agama lain dalam kehidupan beragma dan bernegara. Kemudian, pemerintah sebagai lembaga negara harus melindungi kelompok minoritas serta aliran kepercayaan. Bahkan, yang lebih penting lagi pemerintah serta para penegak hukum menjalankan konstitusi negara, dan undang-undang kovenanan hak sipil dan politik tahun 2005 tersebut.

Sedangkan untuk sumber dana The Wahid Institute bersumber dari; keluarga Gus Dur, Yayasan Tifa, Asia Foundation, Kedutaan Australia, Kedutaan

Amerika Serikat (AS).23

C. Pluralisme dan Toleransi di Indonesia C.1 Pluralisme

Merujuk kamus besar Bahasa Indonesia, Pluralisme ialah keadaam

masyarakat yang majemuk.24 Secara terminologis, “plural” adalah bentuk dasar

dari kata pluralisme, yang artinya lebih dari satu. Sedangkan secara etimologi, memiliki banyak arti, Sebagian ada yangg berpendapat, pluralisme adalah sebuah pengakuan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari etnis, suku, warna kulit dan satu kelompok saja. Jadi, pluralisme mengakui adanya perbedaan dimana-mana.

22Wawancara Pribadi dengan Bapak Alamsyah M. Dja’far, pada 10 Januari 2014.

23

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Suaedy, pada 24 Desember 2013. 24

Pusat Bahasa Departemen pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 883.


(53)

41

Menurut pandangan Cak Nur, pluralisme adalah sistem nilai yang memandang positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri. Pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa perbedaan-perbedaan diantara manusia

merupakan keniscayaan yang harus diterima.25

Pluralisme adalah perangkat budaya untuk mendorong pengayaan budaya bangsa. Maka, budaya Indonesia tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya (resourcefull) dan dinamis antar pelaku budaya yang beranekaragam. Jadi, pluralisme tidak hanya dimaknai sebagai kemajemukan, beranekaragam, atau terdiri dari berbagai suku atau agama, justru menggambarkan perpecahan, bukan

pluralisme. Pluralisme tidak boleh dipahami sebagai kebaikan negatif (negative

good), yang dilihat dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.

Seharusnya, pluralisme dipahami sebagai pertalian sejati kebihenekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan, pluralisme suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan antar mahluk Tuhan.

Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah menciptakan mekanisme pengawasan

dan pengimbangan antar sesama, hal ini merupakan kemurahan Tuhan yang

melimpah kepada umat manusia. ”Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan golongan yang lain, maka pastilah bumi akan

25Miftahul Arief, “Menebar Kembali Pluralisme Agama”

Buletin Kebebasan, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Edisi No. 03/V/2007), 12.


(1)

xxxiii

Alasan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap korban kasus

Syiah di Sampang, Madura. Bahwa, setiap warga negara berhak untuk

berkeyakinan sesuai dengan kepercayaanya. Seharusnya, negara menjamin

kebebasan beragama, berkeyakianan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 dan 19

ayat 1 dan 2.

Dalam perjuangannya, The Wahid Institute mengalami kendala pada level

masyarakat dan level pemerintah. Contohnya, adanya penegakan hukum yang

tidak tegas dalam soal kebebasan beragama dan para hakim tidak bersikap adil

dalam memutuskan perkara kasus Syiah Sampang, Madura.

Apa alasan dan tantangan The Wahid Institute melakukan pembelaan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Banten.?

Alasannya The Wahid Institue melakukan advokasi kepada jemaat

Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, ialah, bahwa setiap warga negara berhak

mendapatkan jaminan beragama dan berkeyakinan. Namun, dalam peranya The

Wahid Institute mengalami kendala yang cukup berat. Contohnya, para penegak

hukum tidak adil dan tidak objektif menangani kasus kekerasan Ahmadiyah

Cikeusik, Banten. Karena pelaku kekerasan hanya di hukum ringan dan tidak


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)