PERAN POLITIK CIVIL SOCIETY DALAM MEWUJU

PERAN POLITIK
DEMOKRASI

CIVIL

SOCIETY

DALAM

MEWUJUDKAN

WACANA

http://ikhsansindu.blogspot.com/2012/11/peran-politik-civil-society-dalam.html
PENDAHULUAN
Demokratisasi tidak dapat dipisahkan dari pembentukan civil society, karena
demokrasi adalah mekanisme dari civil society. Eksistensi civil society dalam wacana
demokrasi di Indonesia ketika rezim Orde Baru berkuasa dapat dikatakan sangat terbelenggu.
Setelah rezim Orde Baru runtuh otomatis telah memutuskan belenggu yang selama ini
mengungkungi demokrasai serta menghalangi aspirasi dan partisipasi politik masyarakat
selama lebih dari tiga dekade.

Pada saat ini, bangsa Indonesia memiliki kesempatan dan kemungkinan yang lebih
besar untuk menyelenggarakan reformasi politik menuju demokratisasi. Hal ini terlihat
bahwa setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru, maka telah memberi kesempatan untuk
membentuk partai baru dan dalam jangka waktu yang hanya kurang dari tiga bulan telah
terbentuk delapan puluh partai baru, dan banyak kekuatan sosio politik yang menegaskan diri
bahwa mendukung dan menghendaki sebuah era baru reformasi dalam berbagai kehidupan.
Reformasi merupakan upaya untuk mengganti tatanan sosial lama dengan tatatann
sosial baru yang dijiwai oleh semangat reformasi yang berkembang dalam masyarakat dan
sesuai pula dengan aspirasi rakyat. Semangat reformasi dilandasi oleh nilai-nilai transformasi
menuju ke arah demokrasi. Menurut Dewanta (1996:277), bahwa transformasi ke arah
demokrasi mengandung pengertian pergeseran dari suatu sistem nondemokratis (apapun
bentuknya) ke arah sistem yang demokratis. Transformasi ke arah demokrasi selalu berkaitan
dengan perubahan dari hubungan yang memiliki karakter zero-sum, dalam pengertian bahwa
negara sangat kuat dan masyarakat sipil sangat lemah menjadi hubungan yang positive-sum.
Untuk itu diperlukan strategi dan taktik untuk meningkatkan kekuatan masyarakat sipil
sehingga memiliki bergaining position yang lebih kuat yang dapat memaksa negara
mempertimbangkannya dalam suatu proses politik.
Posisi masyarakat yang sangat kuat ini, menurut Dewanta (1996:276), tidaklah
berarti mengorbankan negara. Negara yang kuat dalam arti mampu menjalankan fungsifungsinya secara efektif yang ditandai oleh menguatnya peranan masyarakat tanpa diikuti
menguatnya peran negara yang menimbulkan suatu bentuk tatanan yang anarkhis, yang

ditandai oleh disorder bahkan disintegrasi. Sementara pada kutup ekstrem yang lain,
menguatnya negara tanpaa diimbangi oleh menguatnya peran masyarakat akan memunculkan
bentuk-bentuk hubungan seperti otoritarian, diktator, tirani dan semacamnya.
Menguatnya posisi masyarakat disini dapat juga diartikan bahwa masyarakat
menjadi subyek, dan bukan obyek, dengan ikut menentukan dalam setiap kegiatan yang
menyangkut dirinya baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial.

HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN CIVIL SOCIETY
Menurut Kuntowijoyo (1996:29), setidak ada empat pendapat mengenai hubungan
antara negara dan civil society yaitu: pertama, menurut Hegel negara adalah sebuah aktualitas
yang lahir karena dalam masyarakat selalu terjadi konflik, sehingga kemerdekaan sejati tidak
pernah akan timbul dalam masyarakat. Dalam negaralah kemerdekaan itu terwujud; kedua,
adalah kebalikan dari pertama. Marx berpendapat bahwa negara adalah alat represi dari kelas
penguasa. Satu-satunya harapan bagi kemanusian terletak pada hapusnya negara. Dengan
hapusnya negara tidak ada lagi alat represi, dan masyarakat dapat hidup tanpa kelas
penguasa; ketiga, seperti yang dikemukakan Antonio Gramsci, yang membedakan antara
negara dan masyarakat, antara political society dan civil society, negara mewakili paksaan,
dominasi dan koersi, maka masyarakat mewakili budaya ideologi, dan konsensus; keempat,
ada hubungan fungsional antara masyarakat dan negara. Masyarakat terpecah antara
kepentingan yang berlawanan, antara sektor pribadi dan umum, antara individu dan

masyarakat, antara kenyataan dan kesadaran. Negara memberi pengawasan dan peraturan.
Secara konkrit negara bekerja melalui pemungutan pajak, pelaksanaan hukum, peraturan,
birokrasi, diplomasi, sistem keamanan dan perang. Semua itu disatukan melalui hukum dan
hak.
Di dalam masyarakat sipil, demokrasi yang berkembang niscaya bercorak
pluralistik, yang ditandai dengan banyaknya pranata politik yang terbentuk atas prakarsa
masyarakat sebagai penyalur aspirasi mereka sendiri. Menurut Dahl (dalam Silaen, 2000:8),
pada masyarakat sipil society selain itu juga terdapat ciri-ciri lain yaitu: tingginya tingkat
partisipasi politik masyarakat; terbukanya ruang-ruang publik yang luas dan bebas;
terbentuknya masyarakat yang kritis (critical society).
Untuk membentuk masyarakat yang kritis sebagai mana yang dikemukakan diatas,
menurut Silaen (2000:8) adalah mustahil dapat tercapai manakala tanpa melalui proses
pencerahan yang mentransformasi budaya masyarakat menjadi modernis, yang berciri
rasional, universal, menekankan achievement, dan imparsial. Di dalam masyarakat demikian,
nilai-nilai yang berkembang niscaya mencakup kebebasan , kesataraan, individualistik,
indenpendensi dan tolenrasi. Proses menuju kearah itu, menurut Lipset (dalam Silaen,
2000:9) masyarakat dapat didukung pencapaiannya melalui pendidikan, dengan instrumeninstrumen pendukung: urbanisasi (disebabkan industrialisasi); literacy, pers dan pertumbuhan
ekonomi.
Dalam teori politik, demokrasi sebagaimana yang dijelaskan di atas bukan hanya
demokrasi electoral, yang hanya berurusan dengan mekanisme pemilihan para elit politik

belaka. Pula bukan hanya demokrasi prosedural yang terkait dengan cara-cara pembuatan
kebijakan dan pengambilan keputusan politik, melainkan yang utama adalah demokrasi
liberal yang memberi peluang sebesar-besarnya kepada setiap warga untuk berpartisipasi
secara politik melalui pelbagai saluran yang tersedia.

EXISTENSI CIVIL SOCIETY ERA ORDE BARU
Lahirnya rejim Orde Baru merupakan akibat dari kejatuhan rezim Orde Lama.
Dilihat dari awal perkembangannya, rejim Orde Baru muncul dengan apa yang disebut
critical mass (massa kritis), yaitu golongan terpelajar: intelektual, akademisi, pengacara,
wartawan, tokoh-tokoh agama, mahasiswa, pelajar, seniman. Di Barat menurut
Kusumowidagdo (1986:160) kelompok ini di golongkan dalam orang-orang yang liberal
minded.
Lahirnya rejim Orde Baru selain telah mengubah orientasi ekonomi politik
kekuasaan, juga telah memunculkan Soeharto sebagai pengganti sekaligus mengubah tatanan
ekonomi politik Indonesia yang dulunya sosialis ke dalam sistem kapitalisme internasional.
Karena proses pembangunan di zaman Orde Baru menempatkn modal sebagai sebuah logika
sentral, maka negara-negara kapitalis metropolis (internasional) diundang untuk memperbaiki
sistem ekonomi Indonesia. Merekapun meminta syarat, diantaranya jaminan keamanan,
bahwa modal bisa saja ditanamkan namun ada jaminan agar modal itu menjadi aman, yakni
sistem politik harus aman dan konflik-konflik sosial ditekan seminim mungkin.

Dalam pada itu, agar keamanan tetap terjamin Indonesia dibawah rezim Orde Baru
telah didesain secara sistematis untuk tidak memberi tempat penting bagi partisipasi politik
massa, apalagi bagi politik aliran. Rezim Orde Baru berusaha mempertahankan status quo
dan memberi jamiman keamanan, serta menerapkan sistem politik yang benar-benar menekan
partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dihilangkan, yang muncul adalah floating state
atau dalam kontek sosiologis disebut “negara otonomi”. Negara membayangkan dirinya
sebagai representasi paling sejati dari seluruh kehendak individu, kelompok, atau golongan.
Negara semacam ini relatif steril terhadap dinamika dan kekuatan-kekuatan yang tumbuh
ditengah masyarakat.
Dengan corak seperti itu rezim Orde Baru kemudian mewariskan masyarakat yang
memperlihatkan kejanggalan diberbagai segi. Artinya ada lembaga-lembaga penunjang
demokrasi seperti partai politik, pers, lembaga swadaya masyarakat, tetapi semua itu tidak
memiliki otonomi dan sangat tergantung pada negara. Warisan tersebut ternyata
menimbulkan komplikasi serius, ketika bangsa ini hendak melangkah menuju demokrasi.
Salah satu diantara warisan itu adalah hilangnya ketrampilan sosial yang diperlukan
dalam suatu civil society akibat dihancurkannya secara sistematis segala forum dan media
yang dikuasai masyarakat. Akibatnya masyarakat kehilangan kesanggupan menyelesaikan
persoalan-persoalan diantara mereka sendiri secara santun dan damai. Eksesnya penyelesaian
segala persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita lihat selalu menggunakan cara
kekerasan (violence).

Terjadinya kekuasaan yang demikian pada saat rezim orde baru berkuasa menurut
para ahli ilmu sosial dikarenakan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan strukturalis.
Kelompok ilmuan yang beraliran ini adalah O’Donnel sendiri, Immanuel Wellerstein, Arief
Budiman, Sritua Arief dan Adi Sasano. Sementara itu pada ilmuan sosial beraliran kultural,
lebih memposisikan kultur atau budaya sebagai sentral analisa. Menurut mereka terdapat

suatu sistem budaya yang doniman dalam suatu sistem sosial masyarakat dan budaya ini
mempengaruhi perilaku ekonomi politik elit kekuasaan maupun masyarakat sipil kita, sistem
pemerintahan yang berlangsung dalam negara tadi berdasar pada pola dan tradisi kebudayaan
yang dominan tadi. Jika direduksi bahwa dalam negara Orde Baru sistem pemerintahannya
cenderung otoriter, budaya Jawa sebagai sistem sosial yang dominan dan memiliki pengaruh
kuat dalam elit kekuasaan memiliki nilai-nilai otoriter. Masyarakat sipil memiliki
kecendrungan untuk tidak tampil menjadi institusi pengimbang dalam masyarakat, ini juga
akibat dari terdapatnya kultur masyarakat yang nrimo, tidak memiliki tradisi pemberontakan,
beberapa ilmuan sosial penganut teori ini antara lain Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Budi
Santoso, SJ. Ben Anderson.
Perseteruan para penganut teori diatas telah lama berlangsung, dalam masyarakat
intelektual tradisi ilmu-ilmu sosial yang dipengaruhi oleh filsafat Weberian (budaya) sebagai
alat analisa utama begitu dominan, sementara mereka yang mendasari analisanya pada filsafat
Marxian (historis) masih begitu minim. Belakangan ini mencul beberapa aliran yang

menamakan dirinya sebagai mahzab Marxis Revisionis. Mereka tidak lagi membuat
pertentangan antara kultur dan struktur, karena bagi mereka kedua pendekatan ini masingmasing memeliki relevansi di dalam menjelaskan realitas masyarakat setempat. Ilmuan
Marxian seperti Gramsci, Nicos Paulantzas, Perry Anderson, melihat bahwa budaya juga
merupakan sebuah identitas yang dipakai oleh penguasa untuk memproduksi sistem
kekuasaan yang hemegomik . Bagi Gramsci yang dianggap sebagai intelektual besar yang
beraliran Marxis revisionis, memahami bahwa negara jangan hanya dilihat sebagai institusi
yang mempertahankan berlangsungnya formasi sosial yang otoriter, sebagaimana pendapat
kaum Marxis klasik, masyarakat sipil (civil society) menstinya juga dilihat sebagai faktor
kunci untuk memahami sistem otoritarian tadi. Ia terbentuk dari hubungan-hubungan budaya
dan idiologi yang kompleks kehidupan intelektual dan spiritual, serta ekspresi politik dari
hubungan-hubungan itu yang harus ditekan daripada struktur. Lebih jauh ketika ia
menganalisa mengapa masyarkat sipil di Italia menjadi sangat tunduk kepada kekuasaan.
Menurutnya, kekuasaan telah berhasil menterjemahkan budaya masyarakat setempat sebagai
perangkat kekuasaan untuk melakukan pressur terhadap masyarakat sipil sendiri. Sementara
Perry Anderson pada saat menganalisa tulisan Gramsci memberi kesimpulan bahwa model
hemegoni Gramsci adalah kepemimpinan moral dan kebudayaan yang dilaksalanakan oleh
masyarakat politik (negara) kepada masyarakat sipil.
Studi politik dalam perspektif demikian lebih banyak memakai pendekatan dalam
analisa kelas dari kalangan Marxis revisionis tadi, artinya fokus pendekatannya diarahkan
pada state dalam hubungannya dengan masyarakat. (state and society) pada periode inilah

muncul apa yang disebut dengan perspektif neo statist. Yaitu pendekatan yang memusatkan
analisanya pada negara (state centred). Dalam pendekatan ini paling tidak terdapat tiga ciri
utama (Subakti 1989:4). Pertama, negara dipahami sebagai aktor yang memiliki peran dalam
mempengaruhi dan mentukan perkembangan masyarakat. Kedua penjelasannya berupa
perspektif kelembagaan, ketiga negara tidak lagi dikaji secara das solen (apa dan bagaimana
negara dijalankan), tetapi secara das sein (bagaimana negara dijalankan pada tataran
empirisnya).

Pendekatan negara muncul setidaknya dengan dua alasan. Yang pertama, timbul rasa
ketidakpuasan dari kalangan ilmuan sosial terhadap pendekatan yang selama ini digunakan
yang lebih berfokus pada analisa tradisional yang melihat negara dalam perspektif normatif
ideal, kedua, semua aktivitas kelas-kelas sosial dalam masyarakat telah masuk dalam
yurisdiksi dan wewenang negara, hal demikian dengan sendirinya terimplikasi ke dalam
seluruh aspek kehidupan masyarakat sipil.
Menurut Hikam(1999:66), masyarakat dunia ketiga, keterlibatan negara tidak hanya
dalam bidang politik saja tetapi telah merasuk ke dalam lapangan ekonomi, sosial maupun
budaya. Nicos Poulantzas (1987:60), sehingga posisi negara yang dulunya secara statis dan
netral, sekarang telah berkembang menjadi sebuah institusi yang memiliki kemandirian
relatif.
Orde Baru sebagai sebuah tatanan politik dimana negara diletakan ke dalam sebuah

bingkai yang relatif otonom, institusi politik ini juga melakukan praktek kekuasaan yang
represif dan otoriter, kemudian negara menjadi sebuah institusi pelaksana tunggal dari
otoritarianisme tadi. Dengan demikian maka terdapat tiga ciri yang mendasari negara Orde
Baru, sebagai negara yang kuat, relatif otonom dan otoriter. Sementara masyarakatnya
cenderung bersifat pasif, apatis, lembaga-lembaga politik masyarakat sebagian besar tidak
menjalankan fungsinya sebagai alat bagi pendidikan politik rakyat. Setiap kali ada gejala
yang memperlihatkan sikap akomodatif dari civil society terhadap negara maka ini dipahami
sebagai indikasi semakin menguatnya struktur politik yang dibangun oleh negara.
Sebagai kelanjutan dari sebuah rejim Orde Lama, Orde Baru juga mewarisi sistem
politik dengan menempuh jalan mobilisasi negara. Artinya, semua perangkat ekonomi, sosial,
budaya, politik di upayakan untuk masuk dalam kerangka kooptasi negara. Negara
menciptakan satu bentuk institusi-institusi baru dan tunggal sebagai perwakilan dari
organisasi yang ada dalam masyarakat.
Untuk memperlemah sekaligus melakukan kontrol terhadap berbagai institusi seperti
misalnya aktivitas buruh, negara membentuk dan hanya mengizinkan satu-satu organisasi
yang bernama Serikat Buruh Pekerja Indonesia (SPSI), tetapi organisasi sejenisnya, seperti
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) tidak diperbolehkan berdiri. Demikian pula dengan
organisasi Pers yang diizinkan hanya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sementara
Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) bukan hanya tidak diberi izin, tetapi para anggotanya
justru mengalami kesulitan politik dan operasional profesi.

Dalam institusi keagamaanpun negara membentuk satu perangkat organisasi tunggal
yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) oleh pemerintah dianggap sebagai representasi dari
semua ulama yang ada di Indonesia, sementara HKBP (Huria Kristen Batak Protestan)
sekalipun sampai saat ini belum ada organisasi tandingannya, namun pemerintah melakukan
intervensi politik ketika terjadi rekruitmen kepemimpinan di dalam lembaga tersebut. HKBP
pimpinan Nababan tidak direstui oleh kekuasan. Begitu kuatnya intervensi negara dalam
tubuh institusi Kristen Protestan ini mengakibatkan HKBP mengalami konflik internal
berkepanjangan, dan ongkos yang dibayar dari konflik itu sangatlah besar.

Demikian pula dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Megawati
Soekarno Putri, direkayasa untuk tidak kembali memimpin PDI. Soeryadi sendiri sebagai
aktivis partai yang loyal kepada pemerintah direstui. Hal yang menarik justru datang dari
peristiwa Muktamar NU, K.H. Abdurrahman Wahid yang meneguhkan diri sebagai simbol
oposisi kekuasaan mendapat rintangan yang begitu kuat untuk kembali memimpin, namun
peristiwa ini, negara tidak berhasil menggusur Gus Dur, ketidak berhasilan pemerintah
menggusur Gus Dur karena mengalir dukungan dari sipil society disamping itu juga
kepiawaian Gus Dur dalam menjalan politik praktis.
Kasus-kasus politik di atas memberi gambaran betapa kekuasaan Orde Baru sama
sekali tidak menginginkan munculnya kekuatan alternatif dalam masyarakat, apalagi yang
mengarah kepada oposisi politik terhadap negara. Dan untuk mengimbangi kekuasaan politik

dari masyarakat negara melakukan intervensi kekerasan dengan menggunakan militer dengan
alasan menjaga agar stabilitas politik tetap berjalan untuk menjaga kesinambungan
pembangunan ekonomi, terutama investasi modal dari luar.
Kebijaksanaan politik demikian, membuat civil society (masyarakat sipil)
kehilangan kemandiriannya, partisipasi politik hanya sebatas pengesahan dari kebijakan
negara yang diturunkan kemasyarakat agar terkesan ada proses partisipasi dari bawah,
padahal secara substansial negara justru melakukan tekanan politik kepada masyarakat untuk
mengiyakan segala bentuk kebijakan ekonomi politik negara. Hikam (1999:5), menyatakan
bahwa penetrasi negara yang kuat dan jauh terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat
keamanan telah mengakibatkan semakin menyempitnya rung-ruang bebas yang dulunya
pernah ada.
Begitu kuatnya penetrasi kekuasaan terhadap lembaga-lembaga masyarakat sipil
sehingga Pierre James (dalam Budiman1996:61) mengatakan bahwa,………the single most
important actor in the economic, society and polity……… Sementara Fattah (1994:85-86),
menyatakan bahwa memahami negara telah menjadi sebuah kekuatan politik dominan yang
mempengaruhi perkembangan masyarakat. Perubahan logika kekuasaan negara yang lebih
cepat dari perubahan politik masyarakat mengakibatkan masyarakat sipil mengalami
pertumbuhan yang tidak signifikan, hal tersebut sangat jauh berbeda dengan sejarah
masyarakat sipil yang ada di Barat, dimana yang terakhir peran aktif masyarakatnya sangat
menentukan pengambilan kebijakan politik maupun ekonomi dalam kekuasan. Problem
kultural dari masyarakat sipil kita berlanjut terus seiring dengan realitas politik yang
berkembang di Indonesia.
Masa pemerintahan orde baru bukan berarti tidak muncul praktek oposisi terhadap
negara. Organisasi-organisasi non pemerintah. Tokoh agama, aktivis petani dan buruh,
mereka mampu melakukan konsolidasi politik untuk memperkuat basis struktur masyarakat,
sepanjang dekade 1990-an masyarakat sipil melakukan praktek perlawanan terhadap
kebijakan pemerintah, dimulai dengan peristiwa pemberedelan terhadap beberapa media
massa, Tempo, Editor dan Detik, demontrasi besar-besar kaum buruh baik di Jakarta,
Surabaya, dan Medan, meninggalnya Marsinah dan Udin serta tragedi penyerangan kantor
PDI di jalan Diponegoro. Namun menurut Nasikun (1999:432), perlawanan atau tuntutan

yang selama ini tidak ada henti-hentinya diajukan oleh masyarakat, selalu disudutkan sebagai
tindakan anti pembangunan atau upaya pihak ketiga untuk mendiskreditkan pemerintah, dan
yang tidak jarang harus berhadapan dengan tindakan kekerasan oleh aparat Kamtibmas atas
nama kesetian kepada Pancasila, UUD 1945 dan kesinambungan pembangunan.
Maraknya praktek oposisi yang dilancarkn oleh kaum civil society terhadap
pemerintahan Orde Baru, dalam konteks proses menuju demokratisasi terutama pendidikan
politik bagi masyarakat sipil. Dalam tatanan masyarakat demokrasi politik terdapat dua
kekuatan sosial yang harus dilihat secara terpisah, ini bukan hanya dalam konteks
metodologi, tetapi juga secara substansial sangat signifikan. Yakni, State atau negara dan
civil society atau masyarakat. Dua komponen demokrasi ini akan selalu berhadapan satu
dengan lainnya. Agar institusi negara tidak terlalu kuat dan jauh mengintervensi kelas-kelas
masyarakat, maka civil society harus mampu melakukan pengimbangan kekuatan. Karena
prasyarat dari sebuah sistem politik yang demokratis adalah terjadinya proses perimbangan
ekonomi politik antara civil society dengan negara, masyarakat harus berfungsi sebagai
lembaga pengontrol terhadap kekuasaan.
Namun demikian, tidak tepat juga jika dikatakan bahwa proses demokratisasi hanya
ditentukan oleh faktor politik saja seperti yang selama ini banyak dipakai sebagai metode
analisis para ilmuan sosial. Pada hal faktor lain seperti ekonomi dan pertumbuhan dunia
usaha belumlah banyak mendapat kajian yang memadai. Jika kita menengok bahwa orde baru
telah menciptakan suatu mekanisme sistem politik yang menempatkan empat pilar utama
secara riil merupakan kekuatan politik; yakni Islam, Militer, Soeharto dan keluarganya
kemudian modal (dunia usaha).
Dalam hal yang terakhir di atas, suka atau tidak suka, negara telah memberi
kontribusi yang cukup besar dalam menciptakan kaum pengusaha yang handal dimana secara
riil mereka juga memiliki potensi dalam proses perubahan politik di Indonesia. Bahwa
mereka belumlah menjadi sebuah institusi kapitalis yang handal dan memiliki kekuatan
politik itu masalah lain, karena negara memang menghendaki agar para pemilik modal tidak
memiliki kekuatan politik riil, tetapi secara potensial merekaa ada. Kasus kaum pemilik
modal di Thailand yang terkenal dengan peristiwa kudeta lewat telpon genggam. Bagaimana
pemilik modal dengan masing-masing telpon genggam di tangan turun kejalan menuntut agar
Jenderal Chucinda yang telah membesarkan mereka lewat fasilitas kekuasaan, dituntut untuk
segera meletakkan jabatan, intelektual dan kaum kapitalis kembali memainkan peran
pentingnya. Sekalipun mereka tidak secara langsung turun melakukan protes, namun
pembiayaann politik (dukungan ekonomi) dan psikologis turut mempercepat kejatuhan
Soeharto.
Runtuhnya pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto pada tanggal
21 Mei 1998 atas desakan civil society, terutama mahasiswa yang dilakukan hampir di semua
kampus di seluruh Indonesia selama beberapa bulan sebelum jatuhnya Soeharto dari kursi
kepresidenan, belumlah dapat diartikan sebagai keberhasilan civil society, karena dalam
kurun waktu demikian berbagai peristiwa ekonomi politik sedang berlangsung, seperti
munculnya polarisasi ditubuh politik, tekanan-tekanan internasional akibat dari krisis moneter

yang berlanjut dengan krisis ekonomi dan terakhir dengan krisis kepercayaan, adalah dua
faktor utama yang harus dilihat sebagai pendorong proses berakhirnya rezim Orde Baru.
Disamping hal-hal tersebut di atas yang menyebabkan cepat runtuhnya pemerintahan
Orde Baru menurut Nasikun (1999:433), bahwa ketika krisis nasional sudah mencapai titik
tertinggi dan belum pernah terjadi sepanjang era Orde Baru, ditanggapi oleh pihak
pemerintah dengan tindakan-tindakan baik secara psykologis maupun fisik yang bersifat
refresif, bahkan mirip dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dari suatu negara
Kepolisian, seperti melakukan penculikan-penculikan secara sistematik atas para aktivis
mahasiswa dan lemabga swadaya masyarakat (LSM) yang dilakukan oleh aparat keamanan
dengan maksud untuk mencegah semakin meluasnya reformasi.
Konsekwensi logis atas tindakan-tindakan yang dilakukan menjelang beberapa bulan
jatuhnya pemerintah Soeharto tersebut adalah eskalasi berkembangnya suatu situasi yang
sangat rawan, yaitu suatu situasi yang revolusioner yang menurut Chaimers Jhonson (dalam
Nasikun,1999:433), ditandai oleh tiga hal yaitu: (1) terjadinya “deflasi kekuasaan” (fower
deflation), ketika tekanan-tekanan yang diciptakan oleh disekuilibrium atau disinkronisasi
sistem sosial menuntut perubahan-perubahan sangat mendasar untuk kelangsungan
eksistensinya, dan ketika integrasi sistem sosial semakin bergantung pada pemeliharaan dan
penggunaan instrumen-instrumen kekerasan; (2) kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
pemegang kekuasaan untuk mengembalikan ekuilibrium atau sinkronisasi sistem sosial justru
menghasilkan terjadinya “kebangkrutan otoritas” (a loss of authority) dari pusat kekuasaan,
ketika penggunaan alat-alat kekerasan oleh pemegang kekuasaan tidak lagi dianggap absah,
bukan hanya oleh para aktivis akan tetapi juga oleh masyarakat yang semakin luas; (3)
bertemunya suatu kombinasi berbagai situasi yang muncul oleh karena berbagai kejadian
yang tidak dapat dikendalikan, yang akumulasinya dapat menyebabkan terjadinya
kelumpuhan organisasi instrumen kekerasan yang berada dibawah kontrol pusat kekuasaan,
untuk menyebut perpecahan atau pemberontakan militer sebagai bentuknya yang paling
penting.
Gerakan mahasiswa yang menjadi ujung tombak dalam mendobrak kekuasaan
Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun, jelas mendapat energi dari kalangan
pengusaha. Menurut Fachry Ali (dalam Ridwan dan Gunawan, 1999:XXXV), bahwa dalam
puncak-puncak masa krisis kekuasaan Orde Baru energi itu semakin bertambah dari
bergabungnya aktor-aktor pengusaha bekas klien negara dimasa lalu ----- yang terdorong
keluar arena baik karena terjadinya sirkulasi kekuasaan di kalangan elit maupun munculnya
orientasi budaya politik baru di kalangan Cendana yang berbeda dari sebelumnya. ---- karena
lambat atau cepat aspirasi-aspirasi mereka akan berbeda jalan dengan kehendak atau apa yang
diidealisasikan oleh negara. Karena bagi mereka yang telah terkayakan ini akan senantiasa
merasa kian terusik, bahkan mungkin terancam dengan kontinuitas kekuasaan hampir
menyeluruh Negara Orde Baru.
Peristiwa jatuhnya Soeharto mengingatkan kita pada saat rejim Orde Baru muncul
sebagai penguasa. Rejim ini juga dibangun lewat aliansi militer dan kelas menengah (kaum
pemilik modal) kemudian saat Orde Baru berkuasa kaum pemilik modal juga banyak

mendapat tempat dalam kekuasaan. Dan ketika terjadi krisis ekonomi maupun kekuasaan,
dimana lagi negara tidak mampu lagi menanganani sendiri krisis ekonomi maupun kekuasaan
secara sendiri, dan kaum kapitalis yang telah berbeda kepentingan dengan kekuasaan begitu
cepat melakukan konsolidasi diri untuk berbalik menyerang kekuasaan. Peristiwa politik
yang tidak menentu seperti itu bagi Karen Remmer (1995), ketika menganalisa proses
demokrasi di Amerika Latin mengatakan bahwa situasi demikian adalah suatu periode tak
menentu yang ditandai dengan kehancuran rejim-rejim mapan, baik otoriter maupun
demokratik.
Sementara O’Donnel (dalm Hikam, 1999:33), sendiri memahami mengenai
peristiwa yang terjadi tersebut adalah sebagai periode dimana sebuah episose politik sedang
bergeser dari sebuah rejim otoriter ke periode transisi. Dalam periode transisi tidak berarti
masyarakat sipil akan sampai pada masa demokrasi, bisa saja jarum jam akan berputar
kembali kearah semula. Pada satu sisi oleh upaya penghacuran rejim otoriter dan disisi yang
lain oleh penciptaan sejenis demokrasi, kembalinya jenis rejim otoriter yang lain, atau
munculnya suatu alternatif revolusioner.
Sekalipun Orde Baru telah runtuh, itu tidak berarti bahwa kekuasaan otoriter tidak
akan kembali lagi berkuasa, karena situasi transisi politik menurut Hikam (1999), memiliki
sifat dasar, yaitu kecairan dalam situasi demikian tidak tidak ada satupun kekuatan politik
dominan yang bebas dari tantangan-tantangan. Penguasa politik yang lama maupun yang baru
masih saling bertentangan satu dengan lainnya.
Kekuasaan politik setelah Orde Baru runtuh tidak dengan sendirinya hilang sama
sekali, Pemerintahan yang ada masih memiliki kecenderungan untuk berganti strategi dengan
kembali ke paradigma yang lama, belum lagi bayangan militer yang setiap saat siap tampil
menjadi penguasa. Karena proses demokrasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia
di tandai oleh dilema adanya hubungan sipil dan militer, entah itu bersifat mesra atau terjadi
konsesi politik ekonomi secara paksa. Bisa saja terjadi pengaktifan di sektor sipil dan
pengunduran militer dari jabatan-jabatan politik, tetapi proses politik yang terjadi di belakang
semua keputusan itu dibayangi oleh ancaman-ancaman dan tawar-menawar militer yang lebih
berpihak pada konservatisme politik.
Fenomena ditunjukkan pada dua pemerintahan setelah kekuasaan Orde Baru runtuh
adalah adanya keengganan kaum pemilik modal untuk melakukan investasi di Indonesia
semestinya juga dilihat sebagai situasi potensial yang bisa dijadikan sebagai alasan untuk
kembali berkuasanya sebuah rejim yang oteriter. Oleh karena itu yang terpenting dilakukan
dalam sebuah realitas politik transisi adalah memunculkan sebuah proses penciptaan
demokrasi yang sebenarnya, dan jangan hanya dipandang selesai ketika rejim otoriter runtuh,
seperti para penganut paradigma pluralis-liberal yakni, proses itu lebih diarahkan pada
penciptaan suatu kerangka pranata-pranata khusus yang dapat mewadahi kemampuan
berbagai macam kelompok politik masyarakat untuk mengejewantahkan kepentingankepentingan civil society. Proses pemberdayaan politik seperti itu dibutuhkan satu perangkat
yang oleh Hubermas (1979:34), disebut sebagai kemampuan komunikasi para aktor.

Dua model peristiwa politik yang berlangsung pasca Soeharto, merupakan sebuah
kesalahan besar sepanjang sejarah dari para kelompok oposan kita selama ini, ketika rejim,
Habibie berkuasa segala aktivitas kekuasaan ditafsirkan sebagai sebuah kebijakan yang salah
dan harus dilawan disamping itu juga kehadirannya di panggung politik memiliki ikatan
historis dengan pemerintahan Soeharto, walaupun tuntutan agenda reformasi yang diinginkan
masyarakat sudah banyak yang menyenangkan banyak orang, namun keputusan apapun yang
dilakukan oleh pemerintah Habibie tidak akan pernah memadai untuk meyakinkan
masyarakat ditengah krisis ekonomi.
Sementara rejim Abdurrahman Wahid, praktek oposisi memiliki kecenderungan
untuk turun secara drastik. Padahal ideologi kaum oposon adalah melakukan sebuah tekanan
politik terhadap berbagai kebijakan politik yang sedang berlangsung tanpa harus
membedakan mana rejim yang harus dikontrol mana yang tidak. Perlakuan politik dari
sebagian besar kelompok intelektual kita terhadap dua masa pemerintahan tadi hendaknya
menjadi bahan renungan yang mendalam bagi kaum oposan kita.
Kelemahan lain yang mendasar dari pemerintahan pasca Orde Baru, adalah
kebijakan para elit politik untuk melakukan praktek mobilisasi massa untuk tujuan-tujuan
politik jangka pendek, kasus-kasus seperti pengerahan massa yang diperuntukan sebagai
pressor politik ketika berlangsung pemilihan Presiden merupakan sebuah pendidikan politik
yang semestinya tidak terjadi penciptaan strategi pemberdayaan politik masyarakat arus
bawah hendaknya jangan diarahkan kepada mobilisasi politik langsung yang mengikuti
model revolusioner, tetapi lebih diarahkan pada revitalisasi kesadaran diri dan pengembangan
kamandirian politik yang merupakan ciri dari model pendekatan masyarakat sipil. Artinya
dengan kesadaran yang cukup tinggi masyarakat sipil kita melakukan kontrol politik terhadap
kekuasaan dan itu dimungkinkan jika sipil society kita berkembang menjadi sebuah institusi
yang modern kuat dan mandiri bebas dari pengaruh dan kepentingan kelompok politik
manapun.
Sehubungan dengan uraian di atas menurut Stepan (1978:65-66), bilamana
kelompok strategi dalam masyarakat tidak bisa dicapai, maka menurut ada empat jalan yang
diciptakan bagi berlangsungnya kehidupan redemokratisasi dalam masyarakat yaitu yang
pertama, penghentian rejim otoriter atas prakarsa masyarakat; kedua, fakta yang dibuat oleh
partai politik; ketiga, pemberontakan terorganisasi yang dipelopori oleh partai-partai
reformis; keempat, adalah perang revolusiner dibawah ideologi Marxisme.

PENUTUP
Gerakan moral mahasiswa yang mendapat dukungan dari hampir seluruh komponen
bangsa berhasil menurunkan Soeharto dari singasana kepresidenan pada tanggal 21 Mei
1998. Turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan bukan hanya pertanda runtuhnya kekuasaan
Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa dan lahirlah Orde Reformasi, tapi sekaligus bukti
kemenangan kekuatan moral rakyat atas kekuatan politik penguasa yang otoriter dan
manifulatif dan bangkitnya kekuatan rakyat dalam percaturan politik nasional.

Keruntuhan Orde Baru telah membuka jalan bagi dilakukan reformasi kehidupan
masyarakat secara menyeluruh sebagaimana dituntut oleh mahasiswa dan kaum cendekiawan.
Disamping itu juga telah memutuskan belenggu yang selama ini mengungkung demokrasi
serta menghalangi aspirasi politik masyarakat. Sekarang bangsa Indonesai telah memiliki
kesempatan dan kemungkinan yang jauh lebih besar untuk menyelenggarakan reformasi
politik menuju demokratisasi. Sudah barang tentu dalam menuju suatu proses demokratisasi
diperlukan waktu yang cukup lama yang ditandai dengan negosiasi dan bergaining yang
melibatkan berbagai pelaku politik dan ekonomi dalam masyarakat. Atau dengan kata lain,
tidak ada instan democracy. Akan tetapi, demokrasi bukanlah suatu proses yang terjadi
dengan sendirinya dalam kevakuman, melainkan harus dimulai dan diupayakan agar
berlangsung dan bertahan, tanpa harus terperosok ke dalam anarkhi dan revolusi penuh
kekerasan. Dan sejak jatuh kekuasaan Orde Baru kemudian lahirnya Orde Reformasi, maka
sekarang bangsa Indonesia telah memiliki kesempatan dan kemungkinan yang jauh lebih
besar untuk menyelenggarakan reformasi politik.
Konsekwensi logis atas atas hal tersebut diatas, maka lebih dari delapan puluh partai
baru telah lahir dan atau muncul kembali dalam jangka waktu yang hanya kurang dari tiga
bulan, dan banyak kekuatan sosio politik yang menegaskan diri mendukung dan
menghendaki sebuah era baru reformasi politik. Salah satu dari kekuatan sosio politik
tersebut adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Runtuhnya pemerintahan orde baru tidak berarti kekuasaan otoriter runtuh juga dan
barangkali bisa saja kembali berkuasa lagi, karena situasi transisi politik. Dalam situasi yang
demikian tidak ada satu kekuatan politik yang dominan yang bebas dari tantangan-tantangan.
Penguasa politik yang lama maupun yang baru masih saling bertentangan satu sama lainnya.
Pemerintah yang ada sekarang masih memiliki kecendrungan untuk berganti strategi dengan
kembali ke paradigma yang lama, keengganan kaum pemilik modal untuk melakukan
investasi di Indonesia juga merupakan suatu alasan yang masuk akal untuk kembali
berkuasanya sebuah rejim yang otoriter.
Untuk itu yang terpenting dilakukan dalam upaya mengantisipasi munculnya
kekuatan otoriter, perlu dimunculkan sebuah proses penciptaan demokrasi yang sebenarbenar dan jangan hanya dipandang selesai ketika pada saat selesai menumpas rezim otoriter
yang berkuasa pada saat itu. Proses itu lebih diarahkan pada penciptaan suatu kerangka
pranata-pranata khusus yang dapat mewadahi kemampuan berbagai macam kelompok politik
masyarakat. Sehingga dengan demikian akan tumbuh kesadaran yang cukup tinggi
masyarakat sipil melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan dan hal ini dapat berlangsung
manakala sipil society berkembang menjadi sebuah institusi yang modern kuat dan mandiri
bebas dari pengaruh kepentingan kelompok politik manapun.

DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief. 1996. Teori Negara-Negara Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia.

-------------------. (ed). 1991. State and Civil Society in Indonesia, Monas University, Clyton,
Victoria.
Budiman, F. Hardiman. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius.
Dewanta, Awan S. 1996. Transformasi Menuju Demokrasi, Dalam: Demokrasi Indonesia
Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press.
Fattah, Eep Saefullah. 1994. Managemen Konflik Politik dan Demokratisasi Orde Baru,
Jurnal Ilmu dan Kebudayaan No 5-6 Vol, V, Jakarta, LSAF dan ICMI.
Gramsci, Antonio. 1971. Selection From The Prison Notebooks, London: Lawrence and
Wishart.
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gellner, Ernest. 1995. Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan,(di
terjemah oleh Ilyas Hasan), Bandung: Mizan.
Hikam, Muhammad AS. 1999. Demokratisasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES.
Hubermas, Jurgen. 1979. Communication and the Evalution Society, New York: Beacon
Press.
Kusumowidagdo, Sigit Putranto.1986. Pembangunan Politik Orde Baru dan Krisis
Partisipasi, Dalam: Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta:LP3ES.
Kuntowijoyo. 1996. Agama dan Demokratisasi di Indonesia, Dalam: Demokrasi Indonesia
Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press.
Nasikun. 1999. Reformasi, Jalan Berliku Menuju Transisi Demokrasi, Dalam: Kritik Sosial
Dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta:UII Press.
O’Donnel, Guillermo. 1973. Modernazation and Bureucratic Authoritarianisme: Studies in
South American Politics, Berkeley, CA University of Caliofornia, Berkeley.
Silaen, Victor. 2000. Masyarakat Sipil dan Negosiasi Demokrasi, Jakarta: Media Indonesia.
Surbakti, Ramlan, 1989. Perspektif Kelembagaan Baru Mengenai Hubungan Negara dengan
Masyarakat, Jurnal Ilmu Politik No 14, Jakarta: Gramedia.
Stepan, Alfred. 1989. The State and Society Peru In Comparative Perspective, Princeton:
Princenton University Press.
Ridwan, Deden dan Asep Gunawan, (ed). 1999. Demokratisasi Kekuasaan Wacana Ekonomi
dan Moral untuk Membangun Indonesia Baru, Jakarta: LSAF.
Diposkan 18th November 2012 oleh Ikhsan Sindu
Gender Dalam Struktur Sosial

Wacana gender pada perkembangannya pasca pemilu 1999 semakin
menyeruak ke permukaan. Hal ini dipicu oleh sebuah kenyataan
tampilnya Megawati Soekarnoputeri sebagai calon presiden PDI-P,
partai yang memenangi Pemilu. Maka, perkembangan sosio-politik saat
itu sangat sarat dengan wacana gender.

Sejalan dengan isu tersebut, dalam tulisan ini akan dicoba mengkaji
eksistensi gender dalam kehidupan sosio-kultur dalam perspektif

Islam. Pemilihan perspektif ini dilakukan karena bagaimanapun Islam
adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas rakyat indonesia, maka
dengan sendirinya harus dapat menyikapi perkembangan dan atau
perubahan sosial yang kini memerlukan solusi yang tepat dan jitu.

Sebenarnya ide tulisan ini diilhami oleh tulisan Ashgar Ali Engineer
yang mengajukan gagasan yang tidak saja menarik, tapi juga mendasar -kalau tidak dikatakan radikal-- melalui pembaca