Penanganan Kegawatdaruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial

(1)

PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PADA

PASIEN TRAUMA MAKSILOFASIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

FAHREVY N I M : 040600049

DEPARTEMEN BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk diperthanakan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 19 Juni 2009

Pembimbing Tanda tangan

Abdullah Oes, drg. ………..


(3)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji Pada tanggal 19 Juni 2009

TIM PENGUJI

KETUA : Shaukat Oesmani, Drg, Sp. BM ANGGOTA : 1. Abdullah Oes, drg.

2. Olivia Avrianti Hanafiah, Drg. Sp. BM 3. Eddy Anwar Ketaren, Drg. Sp. BM


(4)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2009

Fahrevy

Penanganan kegawatdaruratan pada pasien trauma maksilofasial. ix + 31 halaman

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

Perawatan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter gigi hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para dokter gigi harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance

Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang

mengalami kegawadaruratan. Daftar Rujukan : 24 (1968-2009)


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, yang tidak henti-hentinya memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan sebagai mana mestinya.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang terdalam kepada semua pihak yang telah mendoakan dan memberikan dukungan moril dan materil yang tidak ternilai harganya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan segenap kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drg. Abdullah selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Drg. Eddy Anwar Ketaren Sp.BM, selaku kepala Departemen Ilmu Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

3. Ayahanda tercinta Drg. Saifuddin Ishak M.Kes dan Ibunda Hj.Atunisa atas segala kasih sayang, doa, pengorbanan, bimbingan dan dukungan moril serta materil yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

4. Drg. Wilda Hafni Lubis selaku pembimbing akademik atas bimbingannya selama penulis melaksanakan studi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

5. Teman-teman yang selalu memberikan semangat, dukungan dan doa serta tempat berbagi dalam suka dan duka, Candra, Tito, Efril, Fahmi, Tuiq, Kikin, Gostri,


(6)

Fadli, Pong, Teguh, Wandi, Doli, Ardi, Bang Iwan, Bang Andreas dan teman-teman stambuk 2004 lainnya

6. Adik-adik dan senior yang telah memberikan semangat, doa, bantuan, dan masukan serta pengalaman yang tidak ternilai kepada penulis, Reza, Ala, Alit, Cece, Arbi, Ulfa, Intan, Ami, Abib dan seluruh keluarga besar HMI Komisariat FKG-USU. Semoga ALLAH Yang Maha Memelihara akan selalu menjaga hati dan pikiran kita

Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis berharap, semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi ilmu pengetahuan dan kita semua. Semoga ALLAH memberikan yang terbaik bagi kita semua.

Medan, 19 Juni 2009 Penulis

(Fahrevy) NIM : 040600049


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

BAB 2 TRAUMA MAKSILOFASIAL 2.1 Defenisi ... 3

2.2 Etiologi ... 3

2.3 Klasifikasi ... 5

2.3.1 Trauma jaringan lunak wajah ...5

2.3.2 Trauma jaringan keras wajah ... 6

BAB 3 KEADAAN DARURAT TRAUMA MAKSILOFASIAL 3.1 Pengertian ... 11

3.2 Pemeriksaan Klinis ... 11

3.2.1 Pemeriksaan Ekstra Oral Dan Intra Oral ... 13

3.2.2 Pemeriksaan Radiologis ... 15

BAB 4 PERAWATAN DARURAT TRAUMA MAKSILOFASIAL 4.1 Penanggulangan Kesadaran ... 20

4.2 Penanganan Perdarahan ... 24

4.3 Penanganan Sementara Trauma Maksillofasial ... 24

4.3.1 Pemeriksaan Saluran Pernafasan ... 25

4.3.2 Penanganan Luka Pada Jaringan Lunak ... 26

4.3.3 Dukungan Untuk Fragmen Tulang ... 26

4.3.4 Kontrol Rasa Sakit ... 27


(8)

BAB 5 KESIMPULAN ... 28


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Garis Langer ... 6

2 Fraktur Mandibula ... 9

3 Fraktur Le Fort... 9

4 Gambaran foto oklusal yang menunjukkan adanya fraktur mandibula . 16 5 Gambaran foto periapikal yang menunjukkan adanya fraktur di daerah simfisis ... ... 17

6 Gambaran Foto Anteroposterior yang menunjukkan adanya fraktur subkondilar ... ... 17

7 Gambaran Foto Lateral yang menunjukkan adanya fraktur Nasal-Orbital-Ethmoid ... 18

8 Gambaran Foto Panoramik yang menunjukkan adanya fraktur di regio simfisis mandibula ... 18

9 Gambaran Tomografi Komputerisasi CT yang menunjukkan adanya fraktur mandibula ... 19

10 Pembebasan jalan napas ... 20

11 Pemberian ventilasi buatan ... 22


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Etiologi Trauma Maksilofasial ... 4


(11)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2009

Fahrevy

Penanganan kegawatdaruratan pada pasien trauma maksilofasial. ix + 31 halaman

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

Perawatan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter gigi hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para dokter gigi harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance

Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang

mengalami kegawadaruratan. Daftar Rujukan : 24 (1968-2009)


(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada maksilofaksial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah.1,2,3

Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api.Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen.3,4,5,6

Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan batas kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi dan gigi tiruan.5,6


(13)

Tulisan ini membahas lebih lanjut mengenai etiologi, klasifikasi, penegakan diagnosa yang diamati secara klinis baik pada pemeriksaan intra oral maupun ekstra oral, serta pemeriksaan radiologi dan laboratorium sehingga dokter gigi dapat melakukan perawatan utama pada kegawatdaruratan trauma maksilofasial.


(14)

BAB 2

TRAUMA MAKSILOFASIAL

2.1 Defenisi

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya.2 Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari :7

1. Tulang hidung

2. Tulang arkus zigomatikus 3. Tulang mandibula 4. Tulang maksila 5. Tulang rongga mata 6. Gigi

7. Tulang alveolus

2.2 Etiologi

Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilobasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.7,8


(15)

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).9 Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial.

Tabel 1. Etiologi trauma maksilofasial (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa, Purwanto, Basoeseno, Jakarta: 1987 : 222)

Penyebab Persentase (%)

Dewasa

Kecelakaan lalu lintas Penganiayaan / berkelahi Olahraga Jatuh Lain-lain 40-45 10-15 5-10 5 5-10 Anak-anak

Kecelakaan lalu lintas Penganiayaan / berkelahi

Olahraga (termasuk naik sepeda) Jatuh

10-15 5-10 50-65


(16)

2.3 Klasifikasi

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.3,10,11

2.3.3 Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.11,10

Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan: 3,10,11 1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab

a. Ekskoriasi

b. Luka sayat, luka robek , luka bacok. c. Luka bakar

d. Luka tembak

2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan 3. Dikaitkan dengan unit estetik

Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer. (Gambar 1)


(17)

Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut (Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1987:226).

2.3.4 Trauma jaringan keras wajah

Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya ( pengistilahan ) :

I. Tipe fraktur 1. Fraktur simpel

• Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.

Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.


(18)

• Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak

• Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.

3. Fraktur komunisi

• Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.

• Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

4. Fraktur patologis

• keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

II. Perluasan tulang yang terlibat

1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.

2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )

III. Konfigurasi ( garis fraktur )

1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal. 2. Oblique ( miring )

3. Spiral (berputar) 4. Komunisi (remuk)


(19)

2. Undisplacement, bisa terjadi berupa :

a. Angulasi / bersudut b. Distraksi

c. Kontraksi

d. Rotasi / berputar e. Impaksi / tertanam

Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah : a. Dento alveolar

b. Prosesus kondiloideus c. Prosesus koronoideus d. Angulus mandibula e. Ramus mandibula f. Korpus mandibula g. Midline / simfisis menti


(20)

Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis (Banks P. Fraktur mandibula (Killeys Fractures of the mandible). Alih bahasa, Lilian Yuwono, Jakarta: Hipokrates, 1990:2).

V. Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan : a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita) b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III c. Fraktur segmental mandibula

Gambar 3. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior) (B). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital) (London PS. The anatomy of injury and its surgical implication, London: Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5).


(21)

BAB 3

KEADAAN DARURAT TRAUMA MAKSILOFASIAL

3.1 Pengertian

Trauma maksilofasial merupakan cedera yang mengenai rongga mulut dan jaringan sekitarnya, baik pada tulang maupun jaringan lunak. Tingginya frekuensi trauma pada wajah disebabkan karena wajah merupakan daerah yang terbuka dan paling mudah dikenai cedera.12,14,15

Pada umumnya prinsip perawatan cedera hanya terdiri atas fiksasi gigi pada oklusi sentrik, kemudian pada daerah fraktur rahang dilakukan reposisi dan fiksasi antar fragmen. Fraktur-fraktur yang pada zaman dahulu tidak dapat diidentifikasi sama sekali atau hanya bersifat dugaan, sekarang ini dengan perkembangan radiologi terkini bisa ditunjukkan sampai hal yang terkecil. Dengan peralatan yang khusus, membuat pendekatan peroral pada perawatan fraktur maksilofasial menjadi aman dan layak dilakukan.4,6,9

3.2 Pemeriksaan Klinis

Pendekatan awal terhadap pasien maksilofasial yang disertai komplikasi berbeda dengan trauma yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernapasan dan kontrol perdarahan. Sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, gangguan saluran pernapasan dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih dahulu. Kemudian baru dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan status neurologis (paling tidak mengenai tingkat kesadaran). Pembukaan mata merupakan tanda pemeriksaan yang berharga untuk menentukan tingkat kesadaran dan dinilai berdasarkan 10


(22)

kemampuan pasien membuka matanya jika diberi stimulus tertentu, dan jika diperlukan dapat juga diberi stimulus yang menyakitkan. Disamping itu, lamanya kehilangan kesadaran merupakan indikator untuk menunjukkan adanya tingkat kerusakan otak.4,5,7

Adapun gejala dan tanda sumbatan jalan napas yang tampak pada pasien yang mengalami trauma maksilofasial adalah :3,5,16,17

1. Sumbatan jalan napas total

- Aliran udara dari mulut atau hidung tidak dapat didengar atau dirasakan.

- Pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi.

- Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan. - Pada bayi sering ditemui pernapasan parodoksal.

2. Sumbatan jalan napas parsial

- Terdengar suara napas buatan, yaitu bunyi dengkur (snoring) menandakan sumbatan hipofaring yang disebabkan oleh adanya jaringan lunak, misalnya jatuhnya dasar lidah, dll. Bunyi lengking (crowing) yang menandakan laringospasme, bunyi kumur (gargling) yang menandakan adanya benda asing berupa cairan, dan bunyi bengek (wheezing) yang menandakan adanya sumbatan jalan napas bawah.

Keadaan di atas merupakan suatu keadaan yang akut, yang disertai dengan penurunan fungsi respirasi yang mengancam jiwa, dimana terjadi hipoksemia dan hiperkarbia atau hipoksemia saja.13 Tanda dari hipoksemia antara lain bingung, gelisah, gangguan status mental, sianosis, berkeringat berlebihan, takikardi. Tanda dari hiperkarbia antara lain sakit kepala, mengantuk, sedasi, takipnea, dispnea, batuk dan penggunaan otot pernapasan tambahan. 15,19,20


(23)

Adanya napas dan jantung yang berhenti merupakan periode dini suatu kematian yang disebut juga mati klinis. Tanda napas dan jantung berhenti adalah sebagai berikut :

10,11,14

1. Hilangnya kesadaran dalam waktu 10-20 detik

2. Henti nafas atau megap-megap yang muncul setelah 15-30 detik 3. Terlihat seperti mati dengan warna kulit pucat sampai kelabu. 4. Pupil dilatasi dalam waktu 45 detik setelah jantung berhenti.

5. Tidak teraba denyut arteri besar, yaitu arteri femoralis dan arteri karotis pada orang dewasa, atau arteri brakialis pada bayi atau anak kecil. Tanda ini muncul segera setelah jantung berhenti.

3.2.1 Pemeriksaan Ekstra Oral dan Intra Oral Pemeriksaan Ekstra Oral

Pemeriksaan di luar rongga mulut yakni pada leher dan kepala merupakan pemeriksaan awal yang bermanfaat. Luka pada wajah dicatat mengenai lokasi, panjang, dan kedalamannya serta kemungkinan terlibatnya struktur di bawah luka seperti arteri, saraf, dan glandula saliva (kelenjar ludah). Bagian yang mengalami abrasi dan kontusi dicatat. Edema fasial diobservasi dan dievaluasi karena ini bisa merupakan tempat yang terkena benturan/trauma atau merupakan tanda adanya kerusakan struktur di bawahnya misalnya hematom, fraktur atau keduanya. 4,7,19

Pada wajah bagian tengah dilakukan pemeriksaan dengan melakukan palpasi, yang dimulai dari atas hingga ke bawah. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan sutura nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri. Palpasi diteruskan ke arah lateral menyilang cincin


(24)

supraorbital menuju sutura zigomatikofrontalis. Jaringan lunak yang menutupinya digeser dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial ke lateral untuk mengevaluasi sutura zigomatikomaksillaris. Bagian-bagian yang mengalami nyeri tekan menunjukkan adanya fraktur atau trauma pada saraf. Arkus zigomatikus dipalpasi bilateral dan diamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri. Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya perdarahan atau cairan (rhinorrhea). 4,7,19

Mandibula perlu dievaluasi posisinya terhadap maksila, apakah tetap di garis tengah atau terjadi pergeseran ke arah lateral. Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan jalan mengintruksikan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu. Semua gerakan diperhatikan pada semua arah dan kemudian jarak inter insisal dicatat. Pada fraktur subkondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan yang amat sangat atau kaput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari prosesus kondilaris sampai ke simfisis mandibula. Adanya nyeri tekan dan kelainan kontinuitas pada saat pemeriksaan, sebaiknya menjadi perhatian.4,7,10, 20

Pemeriksaan Intra Oral

Pemeriksaan trauma pada rongga mulut meliputi pemeriksaan jaringan lunak dan jaringan keras serta pemeriksaan adanya pembengkakan dan laserasi. Trauma pada rongga mulut yang berhubungan dengan trauma maksilofasial bervariasi mulai dari fraktur mahkota dan akar gigi sampai avulsi gigi dari soketnya, serta laserasi mukosa di rongga mulut dan bibir. Pemeriksaan oklusi gigi geligi juga dilakukan pada pasien yang mengalami trauma maksilofasial karena fraktur rahang dapat menyebabkan gigi sulit untuk oklusi (maloklusi). Setiap gigi yang ada harus dilakukan pemeriksaan, apakah


(25)

setiap gigi tersebut goyang atau memiliki tanda-tanda fraktur atau subluksasi, juga kemungkinan adanya gigi atau protesa yang patah sebaiknya dapat dikeluarkan. 22

Trauma pada rongga mulut sering menimbulkan perdarahan. Pemeriksaan intra oral tidak dapat dilakukan bila daerah tersebut tertutup darah. Bila pasien sadar dan tidak dirawat di rumah sakit, dapat diberikan larutan obat kumur. Namun biasanya dokter gigi harus membersihkan darah yang membeku dengan menggunakan kapas atau kain kasa steril. 4,5,7,9,19

Pada pemeriksaan mandibula, palpasi dilakukan pada bagian sulkus lingualis dan bukalis dengan hati-hati, karena kemungkinan adanya pergeseran tulang. Daerah yang diduga fraktur diraba dengan ibu jari dan telunjuk diletakkan di kedua sisi yang diduga mengalami fraktur. Pasien dapat juga diintruksikan untuk menggerakkan mandibula semaksimal mungkin sehingga rasa sakit yang terjadi diobservasi.4,5,7,9,19

3.2.2 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi dilakukan jika pemeriksaan klinis intra dan ekstra oral telah selesai dilakukan. Jika pada pemeriksaan klinis memberikan gambaran adanya fraktur rahang, maka perlu dilakukan pengambilan radiografi untuk mempertegas hal tersebut dan memberikan data yang lebih akurat.

Berikut ini beberapa jenis radiografi yang dapat dipakai untuk melihat adanya fraktur maksilofasial:

1. Foto Anterior-Posterior 2. Foto TMJ

3. Foto Panoramik


(26)

5. Foto Lateral Kanan-Kiri 6. Water’s View

7. Tomografi Komput erisasi (CT).

Pengambilan foto oklusal dilakukan untuk melihat gambaran fraktur-fraktur di daerah parasimfisis, sedangkan foto panoramik lebih ditujukan pada fraktur yang terjadi di mandibula dan maksila. Pengambilan foto oklusal dan periapikal dilakukan jika terjadi trauma terhadap gigi sehingga gigi mengalami luksasi dan avulsi atau adanya fraktur prosesus alveolaris. Pengambilan foto anteroposterior dilakukan untuk melihat fraktur kondilar. Pemeriksaan fraktur dapat juga dibantu tomografi komputer atau Computed

Tomography (CT) yang berguna untuk menentukan tingkat pergeseran segmen

proksimal, karena kemungkinan terjadinya dislokasi fraktur.4,13,18

Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang luas dan kemungkinan keterlibatan struktur penting di sekitarnya masih diragukan, maka dapat dilakukan tomografi komputer (CT). CT mempunyai kelebihan dibandingkan dengan radiografi yang lain, yakni tidak menghasilkan gambaran yang tumpang tindih dan dapat mempertahankan detail jaringan lunak. Kedua kelebihan tersebut merupakan penunjang yang sangat penting dalam menentukan diagnosa yang akurat dari fraktur maksilofasial. Selain dapat menentukan adanya fraktur, CT juga dapat menunjukkan adanya trauma intrakranial, misalnya hematom intra atau ekstra-serebral, daerah kontusio dan edema serebral. 4,7,10, 18

Di bawah ini ditunjukkan gambaran beberapa radiografi untuk pemeriksaan fraktur wajah:


(27)

Gambar 4. Gambaran foto oklusal yang menunjukkan adanya fraktur mandibula (Asmaa A. Al-Musaed T. Panoramic radiography as an aid in diagnosing mandibular fractures. The Saudi Dental Journal, Volume 11, Number 1, January - April 1999).

Gambar 5. Gambaran foto periapikal yang menunjukkan adanya fraktur di daerah simfisis (Asmaa A. Al-Musaed T. Panoramic radiography as an aid in diagnosing mandibular fractures. The Saudi Dental Journal, Volume 11, Number 1, January - April 1999)


(28)

Gambar 6. Gambaran Foto Anteroposterior yang menunjukkan adanya fraktur subkondilar. (Asmaa A. Al-Musaed T. Panoramic radiography as an aid in diagnosing mandibular fractures. The Saudi Dental Journal, Volume 11, Number 1, January - April 1999)

Gambar 7. Gambaran Foto Lateral yang menunjukkan adanya fraktur Nasal-Orbital-Ethmoid (Maxillofacial Trauma Readiness Briefing.


(29)

Gambar 8. Gambaran Foto Panoramik yang menunjukkan adanya fraktur di regio simfisis mandibula. (Asmaa A. Al-Musaed T. Panoramic radiography as an aid in diagnosing mandibular fractures. The Saudi Dental Journal, Volume 11, Number 1, January - April 1999)

Gambar 9. Gambaran Tomografi Komputerisasi CT yang menunjukkan adanya fraktur mandibula (Maxillofacial Trauma Readiness Briefing. United States Air Force, Dental Investigation Service).


(30)

BAB 4

PERAWATAN DARURAT TRAUMA MAKSILOFASIAL

4.1 Penanggulangan Kesadaran

Pada korban trauma sering mengalami hilangnya kesadaran. Pada penilaian awal dan tahap penatalaksanaan pasien tersebut sering dipakai istilah ABCDE. Adapun tahap-tahap tersebut, sebagai berikut:

a. A-Airway (pembebasan jalan napas)

Hal ini harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami depresi pernapasan akut, termasuk memastikan aliran udara ke saluran napas atas dan bawah lancar. Pada pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran, lidah akan jatuh ke belakang dan menyumbat faring. Hal yang perlu dilakukan adalah mengangkat dagu atau rahang untuk mencegah penyumbatan oleh lidah.3,8,14 (Gambar 10).

Gambar 10. Pembebasan jalan napas. (Mansjoer A, Suprohaita,

Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 200 : 269)


(31)

Pada tahapan ini yang dinilai adalah ada atau tidaknya henti napas dan kemampuan pasien untuk menghembuskan udara ke luar dengan baik dari dalam dada. Pernafasan yang baik harus meliputi fungsi yang baik dari paru-paru, dinding dada dan diafragma. Gangguan pernafasan sering dijumpai pada pasien yang mengalami kasus trauma. Frekuensi napas merupakan indikator yang penting. Pasien dengan frekuensi napas lebih dari 20 kali per menit harus diperiksa dengan teliti untuk memastikan ada atau tidaknya gangguan pernafasan. Dada harus diperiksa dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Tindakan inspeksi dan palpasi dapat menemukan kelainan dinding dada yang menggangu pernafasan. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Sedangkan tindakan auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru. Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh adanya luka atau kelainan seperti tension

pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothorax, hematothorax,

dan patahnya tulang iga. Jika pernafasan spontan tidak dijumpai, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah ventilasi buatan (Gambar 11). Ventilasi buatan dapat dilakukan dari mulut ke mulut, mulut ke hidung ataupun mulut ke trakea. Selain tindakan ventilasi buatan, intubasi endotrakeal juga dapat dilakukan melalui mulut atau hidung. Pemberian oksigen juga dapat dilakukan dengan memakaikan kantong berkatup yang dihubungkan ke masker (face mask). Tindakan bedah juga dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan nafas yakni dengan melakukan tindakan surgical airway


(32)

Gambar 11. Pemberian ventilasi buatan (Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani

WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 200: 271).

c. C-Circulation (sirkulasi)

Pada tahapan ini dilakukan penilaian volume intravaskuler pasien, dengan berpedoman kepada banyaknya perdarahan yang dialami. Selain pernapasan dan ventilasi yang merupakan faktor penyebab kematian dini yang sering terjadi pada kasus trauma, penyebab lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah kegagalan mengembalikan volume darah yang hilang secara adekuat pada pasien yang mengalami perdarahan hebat. Setiap keadaan hipotensi yang dialami pasien setelah mendapat trauma harus diduga akibat perdarahan serius.3,8,14 Ada 3 penemuan klinis yang dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik, yakni tingkat kesadaran, warna kulit, dan nadi. Jika volume darah menurun, perfusi oksigen ke otak menjadi berkurang dan akhirnya mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran. Warna kulit juga dapat menunjukkan keadaan penurunan volume darah yakni ditandai oleh


(33)

wajah dan kulit ekstremitas yang pucat. Kecepatan nadi juga dapat menunjukkan adanya penurunan volume darah yang ditandai oleh nadi yang cepat dan kecil. Namun, tidak selamanya nadi yang cepat dan kecil disebabkan oleh penurunan volume darah. Cara pemeriksaan nadi yakni meraba nadi yang besar seperti a. femoralis atau a. karotis.24 Jika pasien mengalami henti jantung, tindakan yang dapat dilakukan adalah pijat jantung luar. Pijat jantung luar dilakukan dengan menekan dada pasien secara lembut dan berirama. Caranya yakni penolong berlutut di samping korban dan meletakkan sebelah tangannya di atas 1/3 bawah tulang dada pasien. Tangan penolong yang lain diletakkan di atas tangan pertama. Kemudian penolong menekan dada pasien kira-kira 4-5 cm. Penekanan yang dilakukan harus diikuti juga dengan pemberian ventilasi. Dalam 1 menit minimal ada 60 penekanan dan 12 ventilasi.3,8,14

d. D-Disability (ketidakmampuan)

Tahapan ini menilai status neurologis pasien secara menyeluruh. Hal yang perlu dilakukan adalah mengamati tingkat kesadaran dan ukuran atau reaksi pupil, serta respon terhadap rangsangan suara. Penurunan kesadaran dapat disebabakan oleh penurunan oksigenasi ke otak atau trauma langsung ke otak. Penilaian ukuran atau reaksi pupil dapat dilakukan dengan menyinari mata dengan senter.3,8,14,24

e. E-Exposure (paparan)

Pada tahapan ini, hal yang perlu dilakukan adalah melonggarkan atau melepaskan pakaian pasien agar dapat memeriksa bagian depan dan belakang tubuhnya. Jika sulit melepaskan pakaian pasien, dapat juga dilakukan dengan memotong pakaian pasien dengan gunting.3,8,14 Hal yang penting lainnya adalah menutupi tubuh pasien dengan selimut hangat untuk mencegah pasien mengalami hipotermia. Disamping


(34)

menggunakan selimut hangat, pemberian cairan intravena yang sudah dihangatkan juga dapat dilakukan untuk mencegah hipotermia.23,24

4.2 Penanganan Perdarahan

Perdarahan yang menyertai trauma maksilofasial jarang berakibat fatal. Penekanan, baik langsung dengan jari ataupun secara tidak langsung dengan menggunakan kasa, bisa menghentikan sebagian besar kasus perdarahan di rongga mulut. Untuk membatasi perdarahan kadang-kadang diperlukan klem dan pengikatan pembuluh yang terlibat (biasanya a. maksilaris, a.lingualis, a.karotis eksterna). Walaupun perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah serius, tetapi karena diperlukan untuk tindakan bedah selanjutnya, maka pada sebagian besar trauma maksilofasial yang parah harus dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk keperluan transfusi.4,14,17,21

4.3 Penanganan Sementara Trauma Maksilofasial

Prinsip penanganan sementara fraktur maksilofasial sama dengan penanganan fraktur yang lain yaitu reposisi, fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi. Reposisi bisa dilakukan secara tertutup tanpa melihat garis fraktur, maupun terbuka langsung melihat garis fraktur dengan membuka kulit atau mukosa di atas fraktur yang terjadi. Setelah reposisi, fragmen fraktur dapat dilakukan fiksasi internal menggunakan kawat atau plat dan sekrup. Bila perlu imobilisasi maka dapat dilakukan pemasangan fiksasi intermaksila dengan menggunakan arch bar pada maksila dan mandibula yang kemudian keduanya diikat dengan karet dan kawat. 5,19,20


(35)

Trauma yang menyebabkan perdarahan, fraktur gigi dan gigi tiruan dapat menimbulkan penyumbatan jalan nafas pada pasien yang tidak sadar atau setengah sadar. Perawatan pendahuluan yang diperlukan terdiri dari pemeriksaan mulut dan menghilangkan seluruh fragmen gigi-gigi, tambalan yang pecah dan gigi tiruan. Bila tersedia suction, beku darah dan ludah harus disedot dan pasien dibaringkan sedemikian rupa sehingga darah dan sekresi dapat keluar dari rongga mulut. Bila daerah simfisis terkena fraktur, ada kemungkinan lidah jatuh ke belakang dan menyumbat saluran pernafasan pada pasien yang kehilangan daya kontrol dari otot intrinsik. Kadang-kadang jahitan ditempatkan melalui dorsum lidah untuk membantu dalam mengontrol posisi lidah. Posisi yang paling baik untuk pasien yang tidak sadar adalah berbaring miring (Gambar 13). Posisi ini juga harus digunakan untuk memindahkan pasien dari unit kecelakaan ke unit perawatan yang lain.3,5,7,19

Gambar 12. Posisi pasien yang baik (Mansjoer A, Suprohaita,

Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 200 : 270)


(36)

Sebaiknya luka jaringan lunak harus ditutup dalam waktu 24 jam setelah terjadinya fraktur. Tindakan penutupan luka dilakukan untuk mencegah masuknya kuman atau bakteri serta mencegah perdarahan yang lebih banyak lagi. Sebelum menutup luka, luka harus dibersihkan untuk menghilangkan benda asing dan mencegah terbentuknya jaringan parut yang buruk. Luka harus dibersihkan perlahan-lahan, bila perlu dengan antiseptik ringan.5,15,20

4.3.3 Dukungan Untuk Fragmen Tulang

Pada sebagian besar kasus trauma, perlu dilakukan splinting sementara dari fragmen gigi atau tulang dan juga dapat dilakukan pemasangan alat seperti bandage. Bila diperlukan immobilisasi fragmen, sebaiknya dilakukan dengan teknik fiksasi standard seperti arch bar.5,19,20

4.3.4 Kontrol Rasa Sakit

Sebagian besar pasien dengan fraktur mandibula tidak terlalu merasa sakit, akan tetapi bila mandibula bergerak terasa sangat tidak nyaman dan sakit. Keadaan ini merupakan salah satu indikasi untuk segera melakukan immobilisasi mandibula. Hal ini diharapkan agar tidak terjadi suatu kerusakan yang lebih parah dan dapat mengurangi rasa sakit yang hebat.

Penggunaan analgesik yang kuat seperti morphin merupakan kontraindikasi karena bahan ini dapat menekan reflek batuk pada pusat pernafasan dan juga menutupi rasa sakit.5,7,20


(37)

Apabila tindakan operasi akan dilakukan dengan menggunakan anestesi umum, sebaiknya pasien puasa ± 6 jam sebelumya. Setelah operasi selesai, perlu diberikan IVFD (infus) dan obat-obatan per oral ataupun dapat juga diberikan makanan lunak/cair dengan menggunakan pipet.5, 20


(38)

BAB 5 KESIMPULAN

Kecacatan dan kematian akibat trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Kematian sering terjadi pada jam pertama paska trauma. Hal ini terutama disebabkan penanganan trauma yang tidak sistematis, cermat, cepat, dan terpadu.

Prinsip ATLS ( Advance Trauma Life Support ) memungkinkan penanganan yang sistematis dan terorganisir, sesuai dengan skala prioritas penanganan yang akan meningkatkan kualitas dan kuantitas ketahanan hidup pada pasien trauma maksilofasial. Perawatan awal trauma maksilofasial sangat berpengaruh terhadap prognosa selanjutnya dari pasien. Keadaan pasien yang dicapai pada awal perawatan harus dipertahankan dan dievaluasi secara periodik ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lanjutan.

Perawatan darurat pada trauma maksilofasial oleh dokter gigi hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Transportasi pasien ke rumah sakit harus cepat terutama pada pasien dengan trauma kompleks yang harus segera mendapatkan perawatan yang lebih baik, baik dari segi tenaga medis maupun peralatannya, seperti trauma kepala, trauma servikal, trauma abdomen, dan trauma torak.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

1. Lavy CBD, Barrett DS. Ortopedi dan fraktur sistem apley. 7th ed. Alih bahasa Edi Nugroho. Jakarta : Widya Medika, 1995 : 225-7

2. Kumala P, dkk. Kamus saku kedokteran dorland. 25th ed. Dyah Nuswantari, eds. Jakarta : EGC, 1998 : 413

3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, eds. Kapita selekta

kedokteran. Jilid 2. 3th ed. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2000 : 4-9:267-73:371-96

4. Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa. Purwanto, Basoeseno. Jakarta : EGC, 1987 : 221-55

5. Bank’s P. Fraktur mandibula. Alih Bahasa. Lilian Yuwono. Jakarta : Hipokrates, 1990 : 2 -39

6. London PS. The anatomy of injury and its surgical implication. Oxford : Butterworth-Heinemana Ltd, 1991 : 5-6

7. Obuekwe ON, Ojo MA, Akpata O, Etetafia M. Maksilofacial trauma due to road

traffic accident in benin city, Nigeria. Annals Of African Medicine, Vol 2(2) : 2003 :

58-63

8. Nealon TF Jr. Nealon WH. Keterampilan pokok ilmu bedah. 4th ed. Alih Bahasa. Irene Winata Brahm U. Pendit. Jakarta : EGC, 1996 : 114-24

9. Soepardi EA, Iskandar N, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorokan

kepala leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2001 : 201-8

10. Eliastam M, Sternbach GL, Blesler MJ. Penuntun kedaruratan medis. 5th ed. Alih Bahasa. Hunardja Santasa. Jakarta : EGC, 1998 : 11-2: 69-70: 137-8.


(40)

11. Marzoeki D. Luka dan perawatannya asepsis/ antisepsis disinfektan. Surabaya : Airlangga University Press, 1993 : 1-12

12. Hussain SS, dkk. Maxilloficial trauma: Current practice in management at pakistan

institute of medical science. Department of Plastic Surgery Islamabad: 1-5

13. Connolly RC. Trauma Kapitis. In : Aston JN. Kapita selekta traumatologik dan

ortopedik. 3th ed. Alih Bahasa. Petrus Andrianto. Jakarta : EGC, 1994 : 11-12

14. Duddley HAF, eds. Hamilton bailey ilmu bedah gawat darurat. 11st ed. Penerjemah. A. Sanik Wahab, Soedjono Aswin. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1992 : 20-3:125-74:222

15. Ballinger WF, Rutherford RB, Zeidema Gd, eds. The management of trauma. London : W.B. Sounders Company, 1968 : 213-9

16. Ramali A. Pamoentjak ST. Kamus kedokteran. Jakarta : Djambatan, 1992 : 17-133: 221

17. Shahim FN, Cameron P, Mc Neil JJ. Maxillofacial trauma in major trauma patients. J Dent Australia, 2006, Vol 51(3) : 225-30

18. Greenberg AM. Management of facial fractures. J Dent New York State, 1998 : Vol 64(3) : 42-7

19. Mihalik JP, dkk. Maxillofacial fractures and dental trauma in a high school soccer

goal kepper : A Case Report. Journal of Athletic Training 2005 : Vol 40(2) : 116-9

20. Subhashraj K, Ravindran C. Maxillofacial intervention in trauma patients aged 60

Years and older. Indian J Dent Res, 2008 : Vol 19(2) : 109-11

21. Exadaktylos Ak, dkk. Sports related maxillofacial injuries : The first maxillofacial


(41)

22. Trott J, Cooter R. Craniofacial trauma. 2002. 234-78.

23. Wikipedia, the free encyclopedia. Advanced Trauma Life Support.


(42)

BIODATA PENULIS

Nama : FAHREVY

Tempat/ Tanggal lahir : Banda Aceh/24 September 1986

Alamat : Jln. Darussalam Karya Bakti No. 11

Medan

No Telp / Hp : (061) 77292609 / 0811600910 Nama Orang Tua

Ayah : Drg. Saifuddin ishak.Mkes


(1)

Apabila tindakan operasi akan dilakukan dengan menggunakan anestesi umum, sebaiknya pasien puasa ± 6 jam sebelumya. Setelah operasi selesai, perlu diberikan IVFD (infus) dan obat-obatan per oral ataupun dapat juga diberikan makanan lunak/cair dengan menggunakan pipet.5, 20


(2)

BAB 5 KESIMPULAN

Kecacatan dan kematian akibat trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Kematian sering terjadi pada jam pertama paska trauma. Hal ini terutama disebabkan penanganan trauma yang tidak sistematis, cermat, cepat, dan terpadu.

Prinsip ATLS ( Advance Trauma Life Support ) memungkinkan penanganan yang sistematis dan terorganisir, sesuai dengan skala prioritas penanganan yang akan meningkatkan kualitas dan kuantitas ketahanan hidup pada pasien trauma maksilofasial. Perawatan awal trauma maksilofasial sangat berpengaruh terhadap prognosa selanjutnya dari pasien. Keadaan pasien yang dicapai pada awal perawatan harus dipertahankan dan dievaluasi secara periodik ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lanjutan.

Perawatan darurat pada trauma maksilofasial oleh dokter gigi hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Transportasi pasien ke rumah sakit harus cepat terutama pada pasien dengan trauma kompleks yang harus segera mendapatkan perawatan yang lebih baik, baik dari segi tenaga medis maupun peralatannya, seperti trauma kepala, trauma servikal, trauma abdomen, dan trauma torak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Lavy CBD, Barrett DS. Ortopedi dan fraktur sistem apley. 7th ed. Alih bahasa Edi Nugroho. Jakarta : Widya Medika, 1995 : 225-7

2. Kumala P, dkk. Kamus saku kedokteran dorland. 25th ed. Dyah Nuswantari, eds. Jakarta : EGC, 1998 : 413

3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, eds. Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. 3th ed. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000 : 4-9:267-73:371-96

4. Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa. Purwanto, Basoeseno. Jakarta : EGC, 1987 : 221-55

5. Bank’s P. Fraktur mandibula. Alih Bahasa. Lilian Yuwono. Jakarta : Hipokrates, 1990 : 2 -39

6. London PS. The anatomy of injury and its surgical implication. Oxford : Butterworth-Heinemana Ltd, 1991 : 5-6

7. Obuekwe ON, Ojo MA, Akpata O, Etetafia M. Maksilofacial trauma due to road traffic accident in benin city, Nigeria. Annals Of African Medicine, Vol 2(2) : 2003 : 58-63

8. Nealon TF Jr. Nealon WH. Keterampilan pokok ilmu bedah. 4th ed. Alih Bahasa. Irene Winata Brahm U. Pendit. Jakarta : EGC, 1996 : 114-24

9. Soepardi EA, Iskandar N, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorokan kepala leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2001 : 201-8

10. Eliastam M, Sternbach GL, Blesler MJ. Penuntun kedaruratan medis. 5th ed. Alih Bahasa. Hunardja Santasa. Jakarta : EGC, 1998 : 11-2: 69-70: 137-8.


(4)

11. Marzoeki D. Luka dan perawatannya asepsis/ antisepsis disinfektan. Surabaya : Airlangga University Press, 1993 : 1-12

12. Hussain SS, dkk. Maxilloficial trauma: Current practice in management at pakistan institute of medical science. Department of Plastic Surgery Islamabad: 1-5

13. Connolly RC. Trauma Kapitis. In : Aston JN. Kapita selekta traumatologik dan ortopedik. 3th ed. Alih Bahasa. Petrus Andrianto. Jakarta : EGC, 1994 : 11-12

14. Duddley HAF, eds. Hamilton bailey ilmu bedah gawat darurat. 11st ed. Penerjemah. A. Sanik Wahab, Soedjono Aswin. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1992 : 20-3:125-74:222

15. Ballinger WF, Rutherford RB, Zeidema Gd, eds. The management of trauma. London : W.B. Sounders Company, 1968 : 213-9

16. Ramali A. Pamoentjak ST. Kamus kedokteran. Jakarta : Djambatan, 1992 : 17-133: 221

17. Shahim FN, Cameron P, Mc Neil JJ. Maxillofacial trauma in major trauma patients. J Dent Australia, 2006, Vol 51(3) : 225-30

18. Greenberg AM. Management of facial fractures. J Dent New York State, 1998 : Vol 64(3) : 42-7

19. Mihalik JP, dkk. Maxillofacial fractures and dental trauma in a high school soccer goal kepper : A Case Report. Journal of Athletic Training 2005 : Vol 40(2) : 116-9 20. Subhashraj K, Ravindran C. Maxillofacial intervention in trauma patients aged 60

Years and older. Indian J Dent Res, 2008 : Vol 19(2) : 109-11

21. Exadaktylos Ak, dkk. Sports related maxillofacial injuries : The first maxillofacial trauma database in Switzerland. Br J Sports Med, 2004: 38: 750-3.


(5)

22. Trott J, Cooter R. Craniofacial trauma. 2002. 234-78.

23. Wikipedia, the free encyclopedia. Advanced Trauma Life Support.


(6)

BIODATA PENULIS

Nama : FAHREVY

Tempat/ Tanggal lahir : Banda Aceh/24 September 1986

Alamat : Jln. Darussalam Karya Bakti No. 11

Medan

No Telp / Hp : (061) 77292609 / 0811600910 Nama Orang Tua

Ayah : Drg. Saifuddin ishak.Mkes