HUBUNGAN MULTIPLE FRAKTUR MAKSILOFASIAL, SKOR GCS AWAL KURANG DARI 14 TERHADAP TERJADINYA LESI INTRAKRANIAL AKUT PADA PASIEN TRAUMA MAKSILOFASIAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR.
TESIS
HUBUNGAN
MULTIPLE
FRAKTUR MAKSILOFASIAL,
SKOR GCS AWAL KURANG DARI 14 TERHADAP
TERJADINYA LESI INTRAKRANIAL AKUT
PADA PASIEN TRAUMA MAKSILOFASIAL
DI RSUP SANGLAH DENPASAR
I KETUT WISUDANA YUANA NIM 1014028112
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(2)
HUBUNGAN
MULTIPLE
FRAKTUR MAKSILOFASIAL,
SKOR GCS AWAL KURANG DARI 14 TERHADAP
TERJADINYA LESI INTRAKRANIAL AKUT
PADA PASIEN TRAUMA MAKSILOFASIAL
DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
I KETUT WISUDANA YUANA NIM 1014028112
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(3)
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 23 JANUARI 2016
Pembimbing I
Dr. dr. Nyoman Golden, SpBS(K) NIP. 196203071989031001
Pembimbing II
dr. I Gede Suwedagatha, SpB(K) Trauma NIP. 196207291989031004
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK Prof. Dr.dr. A.A Raka Sudewi, SpS(K) NIP. 195805211985031002 NIP. 195902151985102001
(4)
Lembar Penguji
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 23 Januari 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No: 540/UN14.4/HK/2016, Tanggal 21 Januari 2016
Penguji :
1. Dr. dr. Nyoman Golden, SpBS (K)
2. dr. I Gede Suwedagatha, SpB (K) Trauma FINACS 3. dr. I.B. Darma Putra, SpB -KBD
4. dr. I Ketut Wiargitha, SpB (K) Trauma FINACS
(5)
(6)
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka karya akhir ini dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. I Ketut Wiargitha, SpB (K) Trauma, FINACS selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Umum yang dengan penuh perhatian memberikan semangat dan saran selama penulis mengikuti pendidikan di program studi ilmu bedah. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.dr. Nyoman Golden, SpBS (K) dan dr. I Gede Suwedagatha, SpB (K) Trauma, FINACS selaku pembimbing I dan II yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan saran sehingga karya akhir ini bisa terselesaikan.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan program studi ilmu Bedah dan program studi ilmu Biomedik di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana yang dijabat oleh Prof.Dr.dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Biomedik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini penulis juga
(7)
menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, ketua Program Studi Ilmu Biomedik. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada penguji tesis, yaitu Dr.dr. Nyoman Golden, SpBS (K), dr. I Gede Suwedagatha, SpB(K) Trauma,FINACS, dr. I.B. Darma Putra, SpB-KBD, dr. I Ketut Wiargitha, SpB(K) Trauma, FINACS, Dr.dr. Tjokorda Gede Bagus Mahadewa, M.Kes, SpBS(K)Spine, yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat selesai seperti ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan pendidikan dan penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada orangtua penulis, yaitu Drs. I Made Kandi Yuana dan Ni Nyoman Kormiyasni yang telah mendukung dan memberikan semangat kepada penulis.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.
(8)
ABSTRAK
HUBUNGAN
MULTIPLE
FRAKTUR MAKSILOFASIAL, SKOR
GCS AWAL KURANG DARI 14 TERHADAP TERJADINYA LESI
INTRAKRANIAL AKUT PADA PASIEN TRAUMA
MAKSILOFASIAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Insiden trauma maksilofasial 7,4% - 8,7% dari seluruh kasus trauma di pusat kegawatdaruratan. Sekitar 20% pasien trauma maksilofasial memiliki lesi intrakranial akut yang berhubungan. Penelitian ini bertujuan mencari hubungan variabel-variabel yang dianggap berperan terhadap terjadinya lesi intrakranial akut pada pasien trauma maksilofasial.
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional study. Sampel didapat dari 75 pasien trauma maksilofasial berusia diatas 16 tahun yang datang ke RSUP Sanglah periode September 2015 sampai Oktober 2015. Data sampel diambil dari IRD RS Sanglah Denpasar, dianalisis secara univarian, bivarian (chi square), multivarian (robust), anilisis korelasi dan analisis jalur.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa variabel yang berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut pada pasien trauma maksilofasial adalah multiple
fraktur maksilofasial, r = 0,49 (95%CI 0,3-0,7; p < 0,001) dan skor GCS awal < 14, r = -0,37 (95%CI -0,6 - -0,2; p < 0,001).
Multiple fraktur maksilofasial dan skor GCS awal < 14, merupakan variabel – variabel yang berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut pada pasien trauma maksilofasial. Jadi bila ada pasien trauma maksilofasial disertai dengan
multiple fraktur maksilofasial dan skor GCS awal < 14 maka pasien tersebut harus dirujuk ke RS yang ada fasilitas bedah sarafnya karena tidak jarang memerlukan tindakan operasi bedah saraf.
Kata kunci: trauma maksilofasial, multiple fraktur maksilofasial, lesi intrakranial akut.
(9)
ABSTRACT
THE RELATIONSHIP BETWEEN MULTIPLE
MAXILLOFACIAL FRACTURE, INITIAL GCS SCORE UNDER
14 AND ACUTE INTRACRANIAL LESION ON
MAXILLOFACIAL INJURED PATIENTS IN SANGLAH
HOSPITAL DENPASAR
Maxillofacial injury incident is about 7,4% - 8,7% in surgery emergency department. About 20% cases have relationship between maxillofacial injury and acute intracranial lesion. The aim of this study is to find related factors of acute intracranial lesion in maxillofacial injured patients.
This is a cross sectional study. Samples are the 75 maxillofacial injury patients age > 16 years who came to Sanglah General Hospital from September 2015 to October 2015. Data retrieved from emergency room Sanglah hospital, then analyzed using univariate, bivariate (chi square), multivariate (robust), correlation analysis and path analysis.
The related factors for acute intracranial lesions are multiple of maxillofacial fracture, r = 0,49 (95%CI 0,3-0,7; p < 0,001) and initial GCS score < 14, r = -0,37 (95%CI -0,6 - -0,2; p < 0,001).
Multiple of maxillofacial fracture and initial GCS score < 14 are related factors of acute intracranial lesions in maxillofacial injured patients. So we have to transfer such patients to neurosurgical care because many of them need surgical operation.
Keywords: maxillofacial injury, multiple maxillofacial fracture, acute intracranial lesions.
(10)
DAFTAR ISI
Hal
SAMPUL DALAM ... i
PRASYARAT GELAR…...……… …. ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……….. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ………... v
UCAPAN TERIMA KASIH .. ………..………… vi ABSTRAK ……….... viii ABSTRACT ……… ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN .. ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.3.1Tujuan Umum ... 5
1.3.2Tujuan Khusus ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
(11)
1.4.2Manfaat Praktis ... 6
BAB I I TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Anatomi Maksilofasial ……… 7
2.2 Trauma Maksilofasial ... 7
2.2.1 Fraktur Maksilofasial ... 8
2.2.2 Epidemiologi Trauma Maksilofasial ... 9
2.2.3 Etiologi Fraktur Maksilofasial ... 10
2.2.4 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial ... 10
2.2.4.1 Fraktur Nasoorbitoetmoid ... 10
2.2.4.2 Fraktur Zigomatikomaksila ... 12
2.2.4.3 Fraktur Nasal ... 13
2.2.4.4 Fraktur Maksila dan Le Fort ... 15
2.2.4.5 Fraktur Mandibula... 17
2.3 Lesi Intrakranial Akut ... 18
2.3.1 Cedera Otak Fokal dan Difus ... 18
2.4 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik pada Fraktur Maksilofasial dan Lesi Intrakranial Akut ... 21
2.4.1 X-ray Skull AP/Lat, Water’s view ... 21
2.4.2 Computed Tomography Scanning (CT scan) Kepala ... 22
2.5 Faktor Risiko Klinis yang Dianggap Berperan Terhadap Terjadinya Lesi Intrakranial Akut pada Pasien Fraktur Maksilofasial ... 24
2.5.1 Faktor Usia ... 24
2.5.2 Skor Glasgow Coma Scale ... 25
2.5.3 Diameter Pupil dan Reaksi Cahaya ... 26
(12)
2.5.5 Faal Hemostasis ... 28
2.5.6 Penyebab Cedera ... 29
2.5.7 Jumlah Fraktur ... 30
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 31
3.1 Kerangka Berpikir ... 31
3.2 Konsep ... 33
3.3 Hipotesis Penelitian ... 34
BAB IV METODE PENELITIAN ... 35
4.1 Rancangan Penelitian ... 35
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35
4.3 Sumber Data ... 35
4.3.1 Populasi ... 35
4.3.2 Kriteria Inklusi ... 36
4.3.3 Kriteria Eksklusi ... 36
4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 37
4.3.5 Besar Sampel ... 37
4.4 Variabel Penelitian ... 38
4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel... 38
4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 38
4.5 Bahan Penelitian ... 40
(13)
4.6 Instrumen Penelitian ... 40
4.7 Prosedur Penelitian ... 40
4.7.1 Tahap Persiapan ... 40
4.7.2 Pelaksanaan Penelitian ... 40
4.8 Alur Penelitian ... 41
4.9 Analisis Data ... 41
BAB V HASIL PENELITIAN………..……. 44
5.1 Data Karakteristik Pasien……….. 44
5.1.1 Sebaran Karakteristik Variabel Subjek Penelitian……….… 44
5.2 Analisis Variabel Terhadap Terjadinya Lesi Intrakrnial Akut ………... 46
BAB VI PEMBAHASAN ……….. 50
6.1 Pembahasan ………...….... 50
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ………..…………...… 57
7.1 Simpulan ………. 57
7.2 Saran ………. 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
(14)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Klasifikasi Marshall Berdasarkan CT Scan Pada Cedera Kepala... 24 Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Variabel Subjek Penelitian ………..…. 45 Tabel 5.2 Hasil Analisis Bivariabel Variabel Dengan Terjadinya Lesi
Intrakranial Akut Pada Pasien Trauma Maksilofasial
………….……… 48 Tabel 5.3 Hasil Analisis Multivariabel Variabel DenganTerjadinya Lesi
Intrakranial Akut Pada Pasien Trauma Maksilofasial
……...………. 49
Tabel 5.4 Hasil Analisis Korelasi Variabel Dengan Terjadinya Lesi Intrakranial Akut Pada Pasien Trauma Maksilofasial
(15)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Klasifikasi Kekuatan Toleransi Tulang Maksilofasial
Dalam Menahan Energi Trauma………. 9
Gambar 2.2 Klasifikasi Markowitz-Manson……… 11
Gambar 2.3 Klasifikasi Markowitz-Manson……… 12
Gambar 2.4 Klasifikasi Fraktur Nasal………. 15
Gambar 2.5 Klasifikasi Le Fort……….. 17
Gambar 2.6 Lokasi Fraktur Mandibula……….... 18
Gambar 2.7 Lesi Intrakranial……….…….. 21
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir……….. .. 32
Gambar 3.2 Konsep Penelitian………. 33
Gambar 5.1 Hasil Analisis Jalur Variabel Dengan Terjadinya Lesi Intrakranial Akut Pada Pasien Trauma Maksilofasial …. 49
(16)
DAFTAR SINGKATAN
CT Scan : Computed Tomography Scanner
GCS : Glasgow Coma Scale
MCT : Medial Canthal Tendon
NOE : Nasoorbioethmoid
ZMC : Zygomatico Maxillary Complex
TMJ : Temporo Mandibular Joint
EDH : Epidural Haematoma
SDH : Subdural Haematoma
ICH : Intracerebral Haematoma
SAH : Subarachnoid Hemorrhage
RCSE : The Royal Collage of Sugeon of England
PT : Prothrombin Time
APTT : Activated Partial Thromboplastin Time
AP : Antero Posterior
Lat : Lateral
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Surat Keterangan Laik Etik ( Ethical Clearance ) ……… 63
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian Di RSUP Sanglah ……….….. 65
Lampiran 3 Surat Amandemen Perubahan Judul Penelitian …………... 66
Lampiran 4 Rencana Dan Jadwal Penelitian ………… ….... ……… 68
Lampiran 5 Formulir Kuesioner …………..………...… 69
Lampiran 6 Anggaran Penelitian …….……….…… 71
Lampiran 7 Formulir Informasi Pasien ……….………… 72
Lampiran 8 Formulir Persetujuan Tertulis ……..………..…… 74
(18)
(19)
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Segala aspek yang berkaitan dengan trauma mempunyai kepentingan yang tinggi di dunia karena merupakan penyebab utama kematian. Menurut Krug (2000),setiap hari sekitar 16.000 orang meninggal akibat trauma. Di antara trauma - trauma yang terjadi, trauma maksilofasial merupakan trauma yang paling sering terjadi karena maksilofasial merupakan bagian tubuh yang paling terpapar dan paling tidak terlindungi. Insiden trauma maksilofasial 7,4% - 8,7% dari seluruh kasus trauma di pusat kegawatdaruratan. Sekitar 80,7% dari penderita adalah pria. Hal ini diakibatkan karena lebih banyak pria yang mengemudi, melakukan aktivitas fisik, dan mengonsumsi obat-obatan atau alkohol sebelum mengemudi (Carvalho, 2010).
Trauma maksilofasial mencakup cedera pada jaringan lunak dan tulang-tulang yang membentuk struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila, tulang mandibula (Japardi, 2004). Tidak mengejutkan bahwa pada pasien dengan trauma maksilofasial sering menyebabkan terjadinya lesi intrakranial akut karena dekatnya struktur anatomi maksilofasial dengan tengkorak. Menurut Goodison (2004), sekitar 20 % pasien dengan trauma maksilofasial memiliki lesi intrakranial akut yang berhubungan. Sedangkan penelitian oleh Isik (2012) mengatakan sebanyak 84,6 % pasien trauma maksilofasial tidak memiliki hubungan dengan terjadinya cedera kepala dan lesi intrakranial akut.
Pasien dengan trauma maksilofasial yang disertai lesi intrakranial akut memiliki prognosis yang buruk jika terlambat mendapatkan penanganan yang tepat dan sebagian dari pasien tersebut dapat berakhir pada kecacatan fungsional bahkan kematian (Yadav, 2012; Beogo, 2013). Risiko
(20)
kematian pada pasien trauma maksilofasial yang disertai lesi intrakranial akut lebih tinggi 13 hingga 75 kali dibandingkan dengan cedera mandibula saja (Plaisier, 2000).
Beberapa peneliti meyakini bahwa struktur maksilofasial dapat menyerap energi dari trauma dan melindungi otak dari cedera (Plaisier, 2000; Isik, 2012; Pappachan dkk., 2012). Ada teori yang mengatakan bahwa terjadinya fraktur maksilofasial dipengaruhi oleh besarnya energi trauma dan arah datangnya trauma, konsep bone pillars pada midface skeleton dapat menyerap
energi trauma yang datangnya dari arah bawah, tapi tidak dapat melindungi otak dari kerusakan dari energi trauma yang datangnya dari arah lain.
Disebutkan juga bahwa tulang nasal adalah tulang wajah yang paling ringkih, hanya mampu mentoleransi energi trauma sebesar 25 – 75 pounds ,tulang maksila mampu mentoleransi energi trauma sebesar 140 – 445 pounds , sedangkan yang terkuat adalah tulang mandibula, mampu mentoleransi energi trauma sebesar 425 – 925 pounds. Besarnya energi trauma yang dapat menyebabkan cedera maksilofasial diyakini secara signifikan dapat menyebabkan terjadinya lesi intrakranial akut secara bersamaan. (Pappachan dkk., 2012).
Pasien dengan trauma maksilofasial tidak jarang disertai dengan masalah gangguan pada jalan nafas dan hemodinamik, ini dapat meningkatkan risiko terjadinya lesi intrakranial akut yang mengakibatkan prognosis yang buruk dan meningkatkan risiko kematian ( Pappachan dkk., 2012). Komorbiditas seperti usia dan gangguan faal hemostasis pada penderita trauma maksilofasial juga mempunyai peran meningkatkan peluang terjadinya lesi intrakranial akut (Moppet, 2007).
Dari kajian pustaka, penulis mencoba mengidentifikasikan beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut dan memberikan prognosis buruk pada pasien dengan trauma maksilofasial. Faktor-faktor tersebut adalah jenis penyebab trauma
(21)
maksilofasial, usia, jumlah fraktur maksilofasial, ukuran pupil, skor Glasgow Coma Scale
(GCS) awal, lama waktu mendapatkan penanganan dan gangguan faal hemostasis (Chestnut dkk., 2000; Davis dkk., 2006; Moppett, 2007; Isik, 2012).
Mengingat tingginya insiden trauma maksilofasial dan besarnya trauma tersebut memberikan peluang untuk terjadinya lesi intrakranial akut dan beberapa penulis menganggap lesi intrakranial akut sesuatu yang serius seberapapun kecil lesinya (Yadav, 2012; Pappachan dkk., 2012; Beogo, 2013; Golden dkk., 2013), maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang hubungan multiple fraktur maksilofasial,kecelakaan sepeda motor, usia lebih dari 60
tahun, pupil anisokor, skor GCS awal kurang dari 14, waktu kejadian sampai mendapat penanganan di rumah sakit lebih dari 6 jam, dan gangguan faal hemostasis yang menyebabkan terjadinya lesi intrakranial akut pada pasien dengan trauma maksilofasial.
Identifikasi faktor – faktor tersebut menurut penulis perlu dilakukan dengan alasan belum banyak penelitian yang dilakukan, selain itu hal ini penting untuk dokter yang bertugas di daerah yang tidak ada fasilitas CT scan, sehingga para dokter mempunyai peta fakta kejadian lesi
intrakranial akut pada pasien trauma maksilofasial dan waspada terhadap ancamannya, sehingga para dokter dapat mengambil keputusan apakah pasien tersebut perlu dirujuk atau bisa ditangani sendiri
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah trauma maksilofasial karena kecelakaan sepeda motor berhubungan dengan
terjadinya lesi intrakranial akut ?
(22)
3. Apakah usia lebih dari 60 tahun pada pasien trauma maksilofasial berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut ?
4. Apakah pupil anisokor pada pasien trauma maksilofasial berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut ?
5. Apakah skor GCS awal kurang dari 14 pada pasien trauma maksilofasial berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut ?
6. Apakah waktu kejadian sampai mendapat penanganan di rumah sakit lebih dari 6 jam pada pasien trauma maksilofasial berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut ?
7. Apakah gangguan faal hemostasis pada pasien trauma maksilofasial berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya lesi intrakranial akut pada pasien dengan trauma maksilofasial di RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2 Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui bahwa trauma maksilofasial karena kecelakaan sepeda motor berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut.
2. Mengetahui bahwa pasien dengan multiple fraktur maksilofasial berhubungan dengan
terjadinya lesi intrakranial akut.
3. Mengetahui bahwa usia lebih dari 60 tahun pada pasien trauma maksilofasial berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut.
(23)
4. Mengetahui bahwa pupil anisokor pada pasien trauma maksilofasial berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut.
5. Mengetahui bahwa skor GCS awal kurang dari 14 pada pasien trauma maksilofasial berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut.
6. Mengetahui bahwa waktu kejadian sampai mendapat penanganan di rumah sakit lebih dari 6 jam pada pasien trauma maksilofasial berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut. 7. Mengetahui bahwa gangguan faal hemostasis pada pasien trauma maksilofasial berhubungan
dengan terjadinya lesi intrakranial akut.
1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam upaya mengetahui hubungan faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya lesi intrakranial akut pada pasien dengan trauma maksilofasial.
1.4.2 Manfaat Praktis
Dengan mengetahui hubungan faktor-faktor tersebut dengan terjadinya lesi intrakranial akut, diharapkan dapat menjadi acuan untuk mendeteksi secara dini pasien yang memiliki risiko terjadinya lesi intrakranial akut pada trauma maksilofasial, sehingga dapat dilakukan penanganan yang tepat dan dapat mengurangi terjadinya kecacatan fungsional atau kematian.
(24)
(25)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia (Pappachan, 2012 ).
Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan daerah frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface. Midface
dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di rahang atas dimana fraktur Le
Fort II dan III terjadi.Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah ( Pappachan, 2012 ).
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut, rongga hidung dan rongga mata ( Pappachan, 2012 ).
2.2 Trauma Maksilofasial
Cedera atau trauma pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsi-fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup yang buruk (Singh, 2012).
(26)
Trauma maksilofasial mencakup cedera jaringan lunak dan tulang-tulang yang membentuk struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain: tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila, tulang mandibula (Japardi, 2004).
2.2.1 Fraktur Maksilofasial
Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila, dan juga tulang mandibula (Japardi, 2004).
Menurut Pappachan (2012), ada konsep bony pillars pada midfacial skeleton yang dapat
menyerap energi trauma dari arah bawah , tapi tulang-tulang ini mudah patah bila terkena energi trauma yang datangnya dari arah berbeda. Disebutkan tulang nasal adalah yang paling ringkih, hanya dapat mentoleransi energi sebesar 25 – 75 pounds, tulang maksila dapat mentoleransi energi sebesar 140 – 445 pounds, arkus zigoma dapat mentoleransi energi sebesar 208 – 475
pounds, tulang frontal mampu mentoleransi energi sebesar 800 – 1600 pounds, tulang mandibula lebih sensitif terhadap trauma dari arah samping dibandingkan dari arah depan. Toleransi kekuatan tulang mandibula berbeda-beda tergantung dari lokasinya. Energi trauma sebesar 425
pounds dapat menyebabkan fraktur pada salah satu kondilar, sedangkan energi sebesar 535 – 550
pounds dapat menyebabkan fraktur pada kedua kondilar, dan energi sebesar 850 – 925 pounds
(27)
Gambar 2.1 Klasifikasi kekuatan toleransi tulang maksilofasial dalam menahan energi trauma ( Pappachan, 2012 )
2.2.2 Epidemiologi Trauma Maksilofasial
Trauma meliputi 9% dari kematian di dunia, salah satunya adalah trauma maksilofasial dan 12% dari beban penyakit di dunia pada tahun 2000. Lebih dari 90% kematian di dunia akibat trauma terjadi di negara berkembang (Devadiga, 2007).
Pasien pria merupakan pasien dengan trauma maksilofasial tersering yaitu sebanyak 75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di Israel sebanyak 74,2% dan Iran dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria. Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan trauma maksilokranial (Zargar, 2004; Yoffe, 2008; Guruprasad, 2014). Di Indonesia, pasien trauma maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73% dari jumlah kasus (Muchlis, 2011).
(28)
2.2.3 Etiologi Fraktur Maksilofasial
Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan kekerasan. Hubungan penggunaan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya fraktur maksilofasial (Ykeda, 2012). Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 74,3 % fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, diikuti oleh penyebab lain yaitu terjatuh dari ketinggian, kekerasan, kecelakaan kerja,dan akibat senjata api (Guruprasad, 2014).
2.2.4 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial 2.2.4.1 Fraktur Nasoorbitoetmoid (NOE)
Anatomi kompleks yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus
ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013).
Medial canthal tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari maksila.
Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior,
tulang frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara etmoid di tengah, dan orbita di lateral (Nguyen, 2010).
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi Markowitz-Manson yang terdiri dari tiga tipe yaitu (Aktop, 2013):
1. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.
2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan osteosynthesis.
(29)
3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya osteosynthesis atau telah terlepas
total.
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilofasial pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus fraktur NOE (Nguyen, 2010).
Gambar 2.2 Klasifikasi Markowitz-Manson (Aktop, 2013).
(30)
2.2.4.2 Fraktur Zigomatikomaksila
Zygomaticomaxillary complex (ZMC) mempunyai peran penting pada struktur, fungsi,
dan estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur pipi normal dan memisahkan isi orbita dari fossa temporal dan sinus maksilaris. Zigoma merupakan tempat melekat dari otot maseter, oleh karena itu kerusakannya akan berpengaruh terhadap proses mengunyah (Tollefson, 2013).
Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang yaitu
zygomaticomaxillary, frontozygomatic, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur
ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur maksilofasial setelah fraktur nasal (Meslemani, 2012).
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu (Meslemani, 2012):
1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara klinis dan radiologi
2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya langsung yang menekuk malar eminence ke dalam
3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi 4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial 5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral
6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang fragmen utama
(31)
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 3 hanya membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 4, 5, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat (Meslemani, 2012).
2.2.4.3 Fraktur Nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari seluruh fraktur maksilofasial (Haraldson, 2013).
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009): 1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah 2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang septal yang utuh
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum
5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari hidung,
(32)
Gambar 2.4 Klasifikasi Fraktur Nasal (Ondik, 2009) 2.2.4.4 Fraktur Maksila dan Le Fort
Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang
(33)
penting baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa (Moe, 2013).
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu (Aktop, 2013):
1. Le Fort I
Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga
superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul.
2. Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari
orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng
pterygoid.
3. Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura
frontozygomatic. Garis fraktur kemudian memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan
(34)
Gambar 2.5 Klasifikasi Le Fort (Gartshore, 2010)
Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah fraktur karena trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab.
Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi
yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic arches
(Moe, 2013).
2.2.4.5 Fraktur Mandibula
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008).
(35)
Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular joint (TMJ).
Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angulus, ramus, kondilar, dan subkondilar (Stewart, 2008).
Gambar 2.6 Lokasi fraktur mandibula (Stewart, 2008) 2.3 Lesi Intrakranial Akut
2.3.1 Cedera Otak Fokal dan Difus
Menurut Tobing (2011), lesi intrakranial akut diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus. Cedera otak fokal meliputi:
1. Perdarahan Epidural atau epidural haematoma (EDH)
EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid
interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis
kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala,
(36)
2. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut
Perdarahan SDH adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (mulai saat kejadian - 3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks serebri.
3. Perdarahan intra serebral atau intracerebral haematoma (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.
4. Perdarahan subarahnoid traumatika atau subarachnoid hemorrhage (SAH)
Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid dan disebut sebagai perdarahan subarahnoid.
Cedera otak difus menurut Sadewa (2011) adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya SAH traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difus dikelompokkan menjadi (Sadewa, 2011):
(37)
1. Cedera akson difus ( diffuse axonal injury )
Cedera akson difus adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan.
2. Kontusio serebri
Kontusio serebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontusio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang
sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak.
3. Edema serebri
Edema serebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema serebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
4. Iskemia serebri
Iskemia serebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau berhenti. Kejadian iskemia serebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
(38)
Gambar 2.7 Lesi intrakranial (Tomio Ohee , 2000)
2.4 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Pada Fraktur Maksilofasial dan Lesi Intrakranial Akut
2.4.1 X-ray skull AP/ Lat, water’s view
Fisikawan Jerman yang pertama sekali menemukan X-ray adalah Wilhelm Rontgen pada
tahun 1895. Dia jugalah yang memberi nama X-ray meskipun banyak yang menyebut sebagai
“Rontgen” (Assmus, 1995). Selama lebih dari dua dekade, nilai dari X-ray kepala pada pasien
dengan cedera kepala telah dipertanyakan.
Meskipun begitu, pada tahun 1999, The Royal College of Surgeons of England (RCSE) mengeluarkan panduan untuk penggunaan X-ray pada cedera maksilofasial dan cedera kepala.
Kriteria untuk dilakukan X-ray adalah (Soysa, 2005):
1.Kecurigaan cedera dengan mekanisme trauma yang tidak jelas 2.Adanya benjolan lunak khususnya di regio parietotemporal
(39)
3.Kecurigaan terjadi trauma penetrasi 4.Pasien sempat pingsan atau muntah
5.Kecurigaan terjadi fraktur compound atau adanya jejas yang jelas pada kepala
2.4.2 Computed Tomography Scanner (CT scan) Kepala
CT scan kepala adalah prosedur pengabaran X-ray yang menghasilkan gambar dari isi
intrakranial sebagai hasil dari penyerapan X-ray yang spesifik oleh jaringan yang diperiksa. Alat
CT scan menghasilkan sejumlah gambar crosssectional dari otak dan gambar tiga dimensi dari
kranium dan pembuluh darah dapat dihasilkan apabila diperlukan. CT scan tidak menyakitkan,
tidak invasif, dan secara umum akurat (Fertikh, 2013).
Terdapat beberapa indikasi dilakukan CT scan kepala yaitu (Fertikh, 2013):
1.Trauma kepala 2.Stroke
3.Nyeri kepala
4.Lesi yang meningkatkan tekanan intrakranial 5.Kejang
6.Kecurigaan terhadap adanya hidrosefalus 7.Kecurigaan terhadap perdarahan intrakranial 8.Penyakit vaskular intrakranial
Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (2007), khusus pada trauma
kepala, terdapat indikasi-indikasi yang mengharuskan dilakukan CT scan segera yaitu:
(40)
2. GCS kurang dari 15 selama 2 jam sejak terjadinya trauma pada penilaian di instalasi gawat darurat
3. Kecurigaan fraktur tulang tengkorak yang terbuka atau tertekan 4. Tanda-tanda adanya fraktur basis kranial
5. Kejang post trauma 6. Defisit neurologis fokal
7. Lebih dari satu episode muntah
8. Amnesia selama lebih dari 30 menit sebelum kejadian
Selain indikasi yang disebutkan di atas, pada trauma kepala beberapa indikasi perlu dipertimbangkan untuk melakukan CT scan kepala. Indikasi-indikasi tersebut antara lain nyeri
kepala, muntah, penurunan kesadaran atau amnesia, dan intoksikasi alkohol (Sharif-Alhoseini, 2011). Berdasarkan hasil CT scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi
Marshall maupun secara tradisional. Menurut Marshall klasifikasi dari cedera kepala yaitu dibedakan menjadi enam kategori,pembagiannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.1 Klasifikasi Marshall berdasarkan CT scan pada cedera kepala
Category Definition Diffuse Injury I (no visible
pathology)
No visible intra-cranial pathology seen on CT Scan
Diffuse Injury II Cisterns are present with midline shift < 5 mm and or lesion densities present
No high or mixed density lesion > 25 ml, may include bone fragments and foreign bodies
Diffuse Injury III Cisterns compressed or absent with midline shift 0-5 mm No high or mixed density lesion > 25 ml
Diffuse Injury IV Midline shift > 5 mm
No high or mixed density lesion > 25 ml Evacuated mass lesion Any lesion surgically evacuated
Non-Evacuated mass lesion
(41)
Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang didapatkan dari gambaran CT scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya gambaran EDH, SDH, ICH
maupun SAH (Andrews. B, 2003; Selladurai. B dan Reilly. P, 2007).
2.5 Faktor Risiko Klinis Yang Dianggap Berperan Terhadap Terjadinya Lesi Intrakranial Akut Pada Pasien Fraktur Maksilofasial.
2.5.1 Faktor Usia
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko terjadinya kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002). Pada penelitian yang dilakukan oleh Saboori, Lee, dan Latip menunjukkan hubungan yang bermakna antara usia tua dan lesi otak. Hal ini karena pada usia tua berisiko terjadi lesi fokal karena atrofi otak dan mudah robeknya bridging vein pada usia tua (Narayan, 2000).
2.5.2 Skor Glasgow Coma Scale
Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada tahun 1974. Sejak
itu GCS merupakan alat ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera pada cedera kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita – penderita pada awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obatan dan sebelum intubasi, skor ini disebut skorawal GCS (Chessnut, 2000; Sastrodiningrat, 2006). Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. Glasgow coma scale juga merupakan faktor
prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis, suatu skor GCS yang rendah pada awal cedera berhubungan dengan prognosis yang buruk dan adanya perubahan fisiologis pada intrakranial yang bisa disebabkan oleh lesi intrakranial akut atau penyebab yang lain (Davis dkk., 2006).
(42)
Menurut Sastrodiningrat (2006) yang mengutip pendapat Jennet dkk, melaporkan bahwa 82% dari penderita-penderita dengan skor GCS 14atau lebih, dalam waktu 24 jam setelah cedera
mempunyai good outcome. Sedangkan pada skor GCS 9 sampai 13 dalam waktu 24 jam setelah
cedera mempunyai good outcome atau moderately disabled dan hanya 12% yang meninggal atau
mendapat severe disability. Outcome secara progresif akan menurun kalau skor awal GCS
menurun. Diantara penderita–penderita dengan skor awal GCS 3 atau 4 dalam 24 jam pertama setelah cedera hanya 7% yang mendapat good outcome atau moderate disability. Diantara
penderita– penderita dengan skor GCS3 pada waktu masuk dirawat, 87% akan meninggal. Kehilangan kesadaran yang lama, dalam banyak hal tidak prediktif terhadap outcome yang
buruk. Menurut Sastrodiningrat (2006) yang bersumber dari hasil penelitian Groswasser dan Sazbon, telah melakukan tinjauan penyembuhan fungsional dari 134 penderita dengan gangguan kesadaran selama 30 hari. Hampir separuhnya mempunyai ketergantungan total didalam aktifitas kehidupan sehari – hari dan 20% yang lain mempunyai ketergantungan terbatas. Biasanya penderita yang sembuh adalah pada usia dibawah 30 tahun dengan fungsi batang otak yang baik 2.5.3 Diameter Pupil dan Reaksi Cahaya
Reflek pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak langsung terhadap adanya herniasi dan cedera brainstem. Secara umum, dilatasi dan fiksasi dari satu sisi pupil
menandakan adanya herniasi, dimana gambaran dilatasi dan terfiksasinya kedua pupil dijumpai pada cedera brainstem yang irreversible. Keterbatasan penilaian prognosis terjadi pada pupil
yang mengalami dilatasi dan terfiksasi akibat trauma langsung ke bola mata tanpa mencederai saraf ketiga intrakranial atau disertai cedera brainstem (Chessnut, 2000).
Penelitian klinis untuk mengamati prognosis terhadap reflek cahaya pupil telah dilakukan dalam berbagai metodologi. Sebagian penelitian tersebut meneliti ukuran dan reaksi pupil
(43)
terhadap cahaya. Sebagian penelitian tersebut hanya mencatat ada tidaknya dilatasi tanpa memandang ukuran pupil (Pascual dkk., 2008; Letarte, 2008).
Abnormalitas fungsi pupil, gangguan gerakan ekstraokular, pola-pola respons motorik yang abnormal seperti postur fleksor dan postur ekstensor, semuanya memprediksikan outcome yang
buruk setelah cedera kepala (Andrews, 2003; Rovlias, 2004). Menurut Sastrodiningrat (2006), bersumber dari penelitian yang dilakukan Sone dan Seelig menyatakan bahwa anisokor, refleks pupil yang tidak teratur atau pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya biasanya disebabkan karena kompresi terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera pada batang otak bagian atas, biasanya karena herniasi transtentorial. Dalam suatu tinjauan terhadap 153 penderita dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya 18% yang mempunyai penyembuhan yang baik. Diantara penderita dengan anisokor pada waktu masuk dirawat dengan batang otak yang tidak cedera, 27% mencapai penyembuhan yang baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tidak bergerak dan berdilatasi bilateral, secara bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh.
Penderita cedera kepala dengan pupil yang anisokor yang mendapat penyembuhan baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks – refleks batang otak bagian atas yang tidak terganggu. Sone dkk, melaporkan 10 dari 40 (25%) penderita dengan satu pupil berdilatasi
ipsilateral terhadap suatu perdarahan subdural mencapai penyembuhan fungsional. Seelig dkk
melaporkan hanya 6 dari 61 (10%) penderita dengan dilatasi pupil bilateral yang mencapai penyembuhan fungsional. Dengan demikian, gangguan gerakan ekstraokular dan refleks pupil yang negatif juga berhubungan dengan prognosis buruk (Sastrodiningrat, 2006).
Diameter pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya adalah dua parameter yang banyak diselidiki dan dapat menentukan prognosis. Di dalam mengevaluasi pupil, trauma orbita langsung harus disingkirkan dan hipotensi telah diatasi sebelum mengevaluasi pupil, dan
(44)
pemeriksaan ulang harus sering dilakukan setelah evakuasi hematoma intraserebral (Moulton, 2005).
2.5.4 Waktu Kejadian Trauma Sampai Penanganan di Rumah Sakit
Waktu 6 jam setelah kedatangan merupakan masa untuk melakukan tindakan awal di rumah sakit. Pada waktu ini, proses kerusakan jaringan otak dan iskemik otak karena cedera primer maupun terdapatnya cedera tambahan yang menimbulkan kegagalan kompensasi dapat terjadi, sehingga kematian paling banyak terjadi dalam periode ini (Ratnaningsih, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Boto (2005) mengungkapkan pasien dengan cedera kepala berat, 20% meninggal dunia pada awal kedatangan. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Singh (2007) terhadap pejalan kaki yang mengalami kematian akibat kecelakaan.Dari 129 orang 56, 6% mengalami cedera kepala dan 54, 4% diantaranya hanya dapat bertahan hidup sampai 6 jam pertama.
2.5.5 Faal Hemostasis
Faal hemostasis merupaka pemeriksaan yang meliputi tes PT (Prothrombin Time), tes
APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) dan tes bleeding time. Ada beberapa sistem yang
berperan dalam sistem hemostasis yaitu sistem vaskuler, trombosit, dan pembekuan darah. Koagulasi adalah proses kompleks pembentukan pembekuan darah. Koagulasi dimulai dengan terdapatnya kerusakan pembuluh darah pada lapisan endotel. Trombosit kemudian membentuk gumpalan untuk menutup daerah yang rusak disebut hemostasis primer. Hemostasis sekunder terjadi secara simultan dengan adanya protein dalam plasma disebut faktor koagulasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang memperkuat gumpalan dari trombosit (Baroto, 2007).
Dalam penelitian Baroto (2007), disebutkan juga bahwa koagulopati adalah proses patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
(45)
mencegah perdarahan. Pasien dengan cedera kepala dapat ditemukan koagulopati secara klinis dan laboratoris terutama pada kejadian cedera jaringan otak langsung. Koagulopati yang terjadi pada penderita cedera kepala karena pelepasan faktor jaringan (salah satunya tromboplastin yang kaya di jaringan otak) dan koagulan lain dari parenkim otak yang rusak masuk ke peredaran darah sistemik mempengaruhi proses pembekuan darah. Pemeriksaan laboratorium yang akan didapatkan pada pasien cedera kepala disertai koagulopati adalah penurunan jumlah trombosit darah tepi, pemanjangan masa plasma protrombin, pemanjangan masa tromboplastin parsial teraktivasi, pemanjangan masa trombin, serta penurunan kadar fibrinogen plasma. Pemanjangan PT, APTT, dan bleeding time merupakan akibat dari faktor jaringan yang keluar dari jaringan
otak yang mengalami trauma yang mengaktifkan jalur ekstrinsik dan intrinsik pembekuan darah. Menurut Baroto (2007), disebutkan bahwa risiko terjadinya cedera sekunder pada trauma kepala meningkat 85% jika tes koagulasi abnormal. Komplikasi ini sangat signifikan korelasinya dengan pemanjangan PT.
2.5.6 Penyebab Cedera
Menurut penelitian sebelumnya, penyebab terjadinya trauma maksilofasial dan cedera kepala tersering adalah kecelakaan sepeda motor (43,7%), diikuti oleh kecelakaan mobil (29,8%), kekerasan (16,9%), terjatuh dari ketinggian (8,3%), lain-lain (0,3%) (Zandi dkk., 2012). 2.5.7 Jumlah Fraktur
Fraktur tulang wajah tersering pada trauma maksilofasial adalah fraktur tulang nasal (45%), fraktur mandibula (36,4%), zigomatikomaksila (26,8%), fraktur Le Fort II ( 22,2%). Jenis fraktur maksilofasial yang paling sering berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut adalah fraktur Le Fort II dan fraktur mandibula, kemudian diikuti oleh fraktur Le Fort I, fraktur zigomatikomaksila. Sedangkan fraktur yang tidak signifikan hubungannya dengan terjadinya lesi
(46)
intrakranial akut adalah fraktur NOE dan fraktur Le Fort III. Selain jenis fraktur, jumlah fraktur maksilofasial juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya lesi intrakranial akut. Semakin banyak jumlah fraktur maka risiko terjadinya lesi intrakranial akut semakin besar (Zandi dkk., 2012).
(1)
Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang didapatkan dari gambaran CT scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya gambaran EDH, SDH, ICH maupun SAH (Andrews. B, 2003; Selladurai. B dan Reilly. P, 2007).
2.5 Faktor Risiko Klinis Yang Dianggap Berperan Terhadap Terjadinya Lesi Intrakranial Akut Pada Pasien Fraktur Maksilofasial.
2.5.1 Faktor Usia
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko terjadinya kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002). Pada penelitian yang dilakukan oleh Saboori, Lee, dan Latip menunjukkan hubungan yang bermakna antara usia tua dan lesi otak. Hal ini karena pada usia tua berisiko terjadi lesi fokal karena atrofi otak dan mudah robeknya bridging vein pada usia tua (Narayan, 2000).
2.5.2 Skor Glasgow Coma Scale
Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada tahun 1974. Sejak itu GCS merupakan alat ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera pada cedera kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita – penderita pada awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obatan dan sebelum intubasi, skor ini disebut skor awal GCS (Chessnut, 2000; Sastrodiningrat, 2006). Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. Glasgow coma scale juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis, suatu skor GCS yang rendah pada awal cedera berhubungan dengan prognosis yang buruk dan adanya perubahan fisiologis pada intrakranial yang bisa disebabkan oleh lesi intrakranial akut atau penyebab yang lain (Davis dkk., 2006).
(2)
Menurut Sastrodiningrat (2006) yang mengutip pendapat Jennet dkk, melaporkan bahwa 82% dari penderita-penderita dengan skor GCS 14 atau lebih, dalam waktu 24 jam setelah cedera mempunyai good outcome. Sedangkan pada skor GCS 9 sampai 13 dalam waktu 24 jam setelah cedera mempunyai good outcome atau moderately disabled dan hanya 12% yang meninggal atau mendapat severe disability. Outcome secara progresif akan menurun kalau skor awal GCS menurun. Diantara penderita–penderita dengan skor awal GCS 3 atau 4 dalam 24 jam pertama setelah cedera hanya 7% yang mendapat good outcome atau moderate disability. Diantara penderita– penderita dengan skor GCS 3 pada waktu masuk dirawat, 87% akan meninggal.
Kehilangan kesadaran yang lama, dalam banyak hal tidak prediktif terhadap outcome yang buruk. Menurut Sastrodiningrat (2006) yang bersumber dari hasil penelitian Groswasser dan Sazbon, telah melakukan tinjauan penyembuhan fungsional dari 134 penderita dengan gangguan kesadaran selama 30 hari. Hampir separuhnya mempunyai ketergantungan total didalam aktifitas kehidupan sehari – hari dan 20% yang lain mempunyai ketergantungan terbatas. Biasanya penderita yang sembuh adalah pada usia dibawah 30 tahun dengan fungsi batang otak yang baik 2.5.3 Diameter Pupil dan Reaksi Cahaya
Reflek pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak langsung terhadap adanya herniasi dan cedera brainstem. Secara umum, dilatasi dan fiksasi dari satu sisi pupil menandakan adanya herniasi, dimana gambaran dilatasi dan terfiksasinya kedua pupil dijumpai pada cedera brainstem yang irreversible. Keterbatasan penilaian prognosis terjadi pada pupil yang mengalami dilatasi dan terfiksasi akibat trauma langsung ke bola mata tanpa mencederai saraf ketiga intrakranial atau disertai cedera brainstem (Chessnut, 2000).
Penelitian klinis untuk mengamati prognosis terhadap reflek cahaya pupil telah dilakukan dalam berbagai metodologi. Sebagian penelitian tersebut meneliti ukuran dan reaksi pupil
(3)
terhadap cahaya. Sebagian penelitian tersebut hanya mencatat ada tidaknya dilatasi tanpa memandang ukuran pupil (Pascual dkk., 2008; Letarte, 2008).
Abnormalitas fungsi pupil, gangguan gerakan ekstraokular, pola-pola respons motorik yang abnormal seperti postur fleksor dan postur ekstensor, semuanya memprediksikan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Andrews, 2003; Rovlias, 2004). Menurut Sastrodiningrat (2006), bersumber dari penelitian yang dilakukan Sone dan Seelig menyatakan bahwa anisokor, refleks pupil yang tidak teratur atau pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya biasanya disebabkan karena kompresi terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera pada batang otak bagian atas, biasanya karena herniasi transtentorial. Dalam suatu tinjauan terhadap 153 penderita dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya 18% yang mempunyai penyembuhan yang baik. Diantara penderita dengan anisokor pada waktu masuk dirawat dengan batang otak yang tidak cedera, 27% mencapai penyembuhan yang baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tidak bergerak dan berdilatasi bilateral, secara bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh.
Penderita cedera kepala dengan pupil yang anisokor yang mendapat penyembuhan baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks – refleks batang otak bagian atas yang tidak terganggu. Sone dkk, melaporkan 10 dari 40 (25%) penderita dengan satu pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu perdarahan subdural mencapai penyembuhan fungsional. Seelig dkk melaporkan hanya 6 dari 61 (10%) penderita dengan dilatasi pupil bilateral yang mencapai penyembuhan fungsional. Dengan demikian, gangguan gerakan ekstraokular dan refleks pupil yang negatif juga berhubungan dengan prognosis buruk (Sastrodiningrat, 2006).
Diameter pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya adalah dua parameter yang banyak diselidiki dan dapat menentukan prognosis. Di dalam mengevaluasi pupil, trauma orbita langsung harus disingkirkan dan hipotensi telah diatasi sebelum mengevaluasi pupil, dan
(4)
pemeriksaan ulang harus sering dilakukan setelah evakuasi hematoma intraserebral (Moulton, 2005).
2.5.4 Waktu Kejadian Trauma Sampai Penanganan di Rumah Sakit
Waktu 6 jam setelah kedatangan merupakan masa untuk melakukan tindakan awal di rumah sakit. Pada waktu ini, proses kerusakan jaringan otak dan iskemik otak karena cedera primer maupun terdapatnya cedera tambahan yang menimbulkan kegagalan kompensasi dapat terjadi, sehingga kematian paling banyak terjadi dalam periode ini (Ratnaningsih, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Boto (2005) mengungkapkan pasien dengan cedera kepala berat, 20% meninggal dunia pada awal kedatangan. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Singh (2007) terhadap pejalan kaki yang mengalami kematian akibat kecelakaan.Dari 129 orang 56, 6% mengalami cedera kepala dan 54, 4% diantaranya hanya dapat bertahan hidup sampai 6 jam pertama.
2.5.5 Faal Hemostasis
Faal hemostasis merupaka pemeriksaan yang meliputi tes PT (Prothrombin Time), tes APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) dan tes bleeding time. Ada beberapa sistem yang berperan dalam sistem hemostasis yaitu sistem vaskuler, trombosit, dan pembekuan darah. Koagulasi adalah proses kompleks pembentukan pembekuan darah. Koagulasi dimulai dengan terdapatnya kerusakan pembuluh darah pada lapisan endotel. Trombosit kemudian membentuk gumpalan untuk menutup daerah yang rusak disebut hemostasis primer. Hemostasis sekunder terjadi secara simultan dengan adanya protein dalam plasma disebut faktor koagulasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang memperkuat gumpalan dari trombosit (Baroto, 2007).
Dalam penelitian Baroto (2007), disebutkan juga bahwa koagulopati adalah proses patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
(5)
mencegah perdarahan. Pasien dengan cedera kepala dapat ditemukan koagulopati secara klinis dan laboratoris terutama pada kejadian cedera jaringan otak langsung. Koagulopati yang terjadi pada penderita cedera kepala karena pelepasan faktor jaringan (salah satunya tromboplastin yang kaya di jaringan otak) dan koagulan lain dari parenkim otak yang rusak masuk ke peredaran darah sistemik mempengaruhi proses pembekuan darah. Pemeriksaan laboratorium yang akan didapatkan pada pasien cedera kepala disertai koagulopati adalah penurunan jumlah trombosit darah tepi, pemanjangan masa plasma protrombin, pemanjangan masa tromboplastin parsial teraktivasi, pemanjangan masa trombin, serta penurunan kadar fibrinogen plasma. Pemanjangan PT, APTT, dan bleeding time merupakan akibat dari faktor jaringan yang keluar dari jaringan otak yang mengalami trauma yang mengaktifkan jalur ekstrinsik dan intrinsik pembekuan darah. Menurut Baroto (2007), disebutkan bahwa risiko terjadinya cedera sekunder pada trauma kepala meningkat 85% jika tes koagulasi abnormal. Komplikasi ini sangat signifikan korelasinya dengan pemanjangan PT.
2.5.6 Penyebab Cedera
Menurut penelitian sebelumnya, penyebab terjadinya trauma maksilofasial dan cedera kepala tersering adalah kecelakaan sepeda motor (43,7%), diikuti oleh kecelakaan mobil (29,8%), kekerasan (16,9%), terjatuh dari ketinggian (8,3%), lain-lain (0,3%) (Zandi dkk., 2012). 2.5.7 Jumlah Fraktur
Fraktur tulang wajah tersering pada trauma maksilofasial adalah fraktur tulang nasal (45%), fraktur mandibula (36,4%), zigomatikomaksila (26,8%), fraktur Le Fort II ( 22,2%). Jenis fraktur maksilofasial yang paling sering berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut adalah fraktur Le Fort II dan fraktur mandibula, kemudian diikuti oleh fraktur Le Fort I, fraktur zigomatikomaksila. Sedangkan fraktur yang tidak signifikan hubungannya dengan terjadinya lesi
(6)
intrakranial akut adalah fraktur NOE dan fraktur Le Fort III. Selain jenis fraktur, jumlah fraktur maksilofasial juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya lesi intrakranial akut. Semakin banyak jumlah fraktur maka risiko terjadinya lesi intrakranial akut semakin besar (Zandi dkk., 2012).