Minoritas dan Mayoritas di Kota Langsa

D. Minoritas dan Mayoritas di Kota Langsa

Agama Islam adalah agama mayoritas masyrakat Kota Langsa dan rakyat Aceh umumnya. Hukum Syariat Islam menjadi aturan dasar dalam kehidupan masyarakat Kota Langsa. Agama Kristen juga menjadi bagian dari populasi, sementara Buddha banyak diadopsi oleh komunitas warga Tionghoa (China). Kota Langsa merupakan kota yang kaya akan perbedaan etnis dan, bagaimanapun, penduduk tetap hidup dalam damai dan memiliki toleransi beragama yang kuat, walaupun masih ada krikil – krikil halus yang harus dibenahi dalam toleransi beragama. Lokasi Kota Langsa sangat dekat dengan Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara, sehingga menempatkan Kota Langsa sebagai kota yang strategis dan kaya imigran.

Selanjutnya, untuk melihat bagaimana minoritas non-muslim di Kota Langsa maka dapat kita lihat dari dua sisi kehidupan non muslim dalam masyarakat muslim. Pertama, relasi minoritas non muslim dalam masyarakat muslim Kota Langsa.

Dalam masyarakat multikultural seperti Kota Langsa sebuah tinjauan

24 H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme …, hlm. 84-85 24 H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme …, hlm. 84-85

Sebut saja seperti Mayeska Simbolon, dia adalah perempuan non muslim yang mengenakan jilbab hanya pada saat pergi kuliah, ketika ditanyai seputar pelaksanaan syari’at Islam di Kota Langsa dia berpendapat bahwa, secara konprehensif pelaksanaan syari’at Islam sudah berjalan dengan baik, namun dia merasa masih ada unsur paksaan dari petugas yang berwenang sehingga membatasi ruang gerak perempuan non muslim,“ walaupun non muslim tolonglah hargai” itulah penggalan kata yang keluar dari petugas dinas syari’at Islam katanya, kendatipun menurut mayeska dia telah berbusana sopan. dia juga mendapatkan sikap yang tidak menyenangkan dari beberapa oknum dosen yang ketika proses belajar mata kuliah bahasa inggris namun dosen tersebut membawa arah pelajaran kepada agama, berikut adalah pernyataannya; “saya sempat beradu argumentasi dengan dosen bahasa inggris, saat pelajaran berlangsung dia (dosen itu) selalu menonjolkan agama Islam dan seakan – akan merusak agama saya” 25

Berbeda halnya dengan pengakuan bapak Purba, kepada peneliti dia menceritakan pengalaman tentang kehidupan sosial ditengah masyarakat Aceh yang notabenenya mayoritas penganut agama Islam, pada prinsipnya dia sangat menjujung tinggi toleransi antar umat beragama, sehingga dalam menjalankan kehidupan di tengah-tengah masyarakat muslim akan terciptanya relasi yang baik dan harmonis, ini buktikan jika ada kegiatan – kegiatan sosial

25 Wawancara langsung dengan Mayeska Simbolon (mahasiswi UNSAM Langsa) tanggal 03 Oktober 2013 di Langsa pada pukul 16. 15.

keagamaan dia ikut serta. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan yang disampaikan oleh Bapak purba; “saya jika ada musibah kemalangan kawan – kawan kantor ikut untuk menghadiri musibah, kemudian jika ada perayaan hari – hari besar Islam saya juga turut andil pada kegiatan itu”. 26

Selanjutnya, bentuk relasi toleransi Bapak Purba terhadap mayoritas muslim di Kota Langsa pemotongan gaji untuk zakat. Zakat merupakan kewajiban yang dibebankan terhadap umat Islam namun beliau menyisihkan gajinya untuk zakat yang bukan menjadi kewajiban umat Kristiani; “Ketika saya masih aktif sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di BKPP Aceh Timur uang gajih saya juga dipotong untuk zakat, ini semata – mata saya lakukan atas dasar sikap toleransi beragama”. 27

Namun ketika ditanya apakah dia pernah mendapat diskriminasi dari mayoritas, dia menjawab tidak ada perlakuan diskrimanasi yang menonjol, namun dia mengaku bahwa ada salah seorang dari jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang enggan untuk melaksanakan pengajian dirumahnya, karena dikhawatirkan masyarakat disekitar rumahnya merasa terganggu dengan adanya pengajian tersebut.

Hal senada juga disampaikan oleh ibu Dona, dia memiliki prinsip dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, artinya dalam kehidupan bermasyarakat beliau menyadari bahwa manoritas herus lebih bisa memahami kearifan lokal, hal ini dibuktikan dengan seringnya dia mengikuti pengajian dengan kawan – kawan mayoritas “ saya kalau diundang untuk datang ke pengajian maka

saya akan datang” 28 ujar seorang perempuan yang berprofesi sebagai guru ini. Hal serupa juga disampaikan oleh ramia, dalam kehidupan sehari-hari dengan mayoritas tidak merasakan perbedaan atau diskriminasi dengan umat muslim, dia bergaul layaknya sesama muslim bergaul, bahkan dia sangat mengahargai toleransi antar umat beragama, berikut petikan wawancaranya: “saya sudah lama tinggal di Aceh, dalam pergaulan sehari-hari saya berbaur baik dengan umat muslim, bahkan kadang jika sedang duduk sore

26 Hasil Wawancara dengan Bapak Purba (Sekretaris Gereja HKBP ota Langsa) tanggal 04 Oktober 2013 di Langsa pada pukul 17. 00

27 Ibd 28 Wawancara dengan ibu Dona (guru SMAN 3 Langsa) tanggal 07 Oktober 2013, di Langsa pukul 17.00 27 Ibd 28 Wawancara dengan ibu Dona (guru SMAN 3 Langsa) tanggal 07 Oktober 2013, di Langsa pukul 17.00

Dia juga menambahkan mengenakan jilbab merupakan kesadaran sendiri, bahkan sebelum pelaksanaan syariát Islam diterapkan di Aceh dia sudah mengenakan selendang, ketika penerapan syariát Islam dia memilih melakukan peneysuaian tanpa permintaan pihak manapun.

Kedua, keterpaksaan diri dalam bermasyarakat. Dalam pergaulan sehari – hari di masyarakat, baik disekitar lingkungan rumah maupun di lingkungkan perguruan tinggi tempat dia menuntut ilmu, mayeska merasakan keadaan yang baik, walaupun ada sedikit diskriminasi dari kawan – kawannya yang menjauhinya ketika mereka tahu agama yang dipeluk mayeska, hal ini yang memaksa dia merasa malas untuk terlalu bergaul dalam masyarakat berikut penggalan hasil wawancara: “sebenarnya saya kepingin bergaul dengan kawan – kawan, namun karena sikap mereka yang menarik diri dari saya karena mengetahui perbedaan agama” 30

Ia juga menceritakan bahwasannya kawan – kawan yang muslim tidak pernah mau untuk singgah kerumahnya, padahal yang dia lakukan tidak lebih untuk menghargai tamu yang dating kerumahnya, inilah ungkapan yang disampaikan saat diwawancara:

“ada kawan saya datang kerumah untuk mengambil KHS, kebetulan saya sempat menjabat sebagai komisaris, kemudian saya persilahkan masuk, namun tidak satupun dari mereka untuk masuk, padahal apa salahnya hanya sekedar masuk dan duduk sebentar, ini saya lakukan karena untuk memuliakan tamu, tidak lebih”

Selanjutnya, Mayeska juga mengaku ketika dia mengenakan jilbab saat pergi kuliah itu tidak lain karena untuk menghindari keterasingan dan menyesuaikan diri dengan kaum mayoritas, dengan keadaan lingkungan ditempat dia kuliah dimana semua teman perempuannya mengenakan jilbab, berikut ungkapannya saat dilakukan wawancara :

29 Wawncara dengan ibu riyamah (Guru SDN 5 Langsa) tanggal 08 Oktober 2013, di Langsa pukul 15. 15

30 Wawncara dengan mayeska simbolon (mahasiswi UNSAM Langsa) pada tanggal 03 Oktober 2013, di langsa pukul 16. 15.

“ pada awal – awal kuliah pihak kampus memberikan kebesasan kepada saya untuk tidak mengenakan jilbab, tapi setelah saya jalani saya merasa asing dengan kawan – kawan yang lain, karena Cuma saya sendiri yang tidak berjilbab sehingga saya menjadi sorotan, akhirnya saya coba tanya sama keluarga dan keluarga pun mengizinkan saya untuk berjilbab, makanya saya putuskan untuk berjilbab saat kuliah” 31

Berbeda halnya dengan ibu Dona, dia merasa tidak asing hidup berdampingan dengan masyarakat mayoritas, karena setiap ada acara hari besar Kristen kawan – kawan muslim pun ikut datang untuk bersilaturahmi, berikut kutipan hasil wawncara: “mereka (mayoritas muslim) jika telah tiba Natal dan tahun baru selalu bertanya kepada saya kapan dirumah saya kosong yang tidak ramai dengan keluarga sehingga mereka akan datang kerumah” 32

Hal serupa juga diungkapkan oleh pak purba, dia tidak merasakan terasing hidup ditengah – tengah masyarakat mayoritas, kepada peneliti dia mengungkapkan bahwa dalam menjalankan kehidupan dimasyarakat mayoritas dia merasa enjoy dan nyaman – nyaman saja, berikut isi hasil dari wawancara: “pada dasarnya semua kembali kepada pribadi masing – masing, bagaimana kita menyikapi kehidupan sosial, harusnya kita lebih bijak dan santun dalam pergaulan sehingga akan terciptanya situasi yang aman dan harmonis” 33