Mengelola Keragaman Islam dan Relasi A (1)

MENGELOLA KERAGAMAN: ISLAM DAN RELASI ANTAR IMAN DI ACEH KONTEMPORER

MENGELOLA KERAGAMAN: ISLAM DAN

RELASI ANTAR IMAN DI ACEH KONTEMPORER

Editor : Syamsul Rizal

Junaidi

Kontributor :

Nawawi Muhammad Sulaiman Ismail Syamsul Rizal Mazlan Dedi Hendrik Mukhlis Syahrial Muhammad Ichsan Nina Afrida Andhika Jaya Putra

DINAMIKA ISLAM DAN PENGELOLAAN KERAGAMAN DI ACEH KONTEMPORER

Editor : Syamsul Rizal

Junaidi Kontributor :

Nawawi Muhammad Sulaiman Ismail Syamsul Rizal Mazlan Dedi Hendrik Mukhlis Syahrial Muhammad Ichsan Nina Afrida Andhika Jaya Putra

Diterbitkan Oleh: Zawiyah

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

Zawiyah Cot Kala Langsa

Jl. Meurandeh Kecamatan Langsa Lama Kota Langsa Telp. 0641-22619/23129 Fax 0641-42139

Website: www.stainlangsa.ac.id Email : info@stainlangsa.ac.i d

Kerjasama

Percetakan Data Printing (Anggota Ikatan Penerbit Indonesia) Jl. Meurandeh – Kampus STAIN Langsa Contact Person : 085275011114

Website : www.cvdataprinting.co.id

Email : cvdataprinting@yahoo.co.id

November 2014

ISBN : 978-602-71860-6-4 Dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagai atau seluruh bagian buku

ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa seizin tertulis dari penerbit atau penulis

Dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagai atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa seizin tertulis dari penerbit atau penulis

KATA PENGANTAR

Mengkaji Islam Aceh tidak terlepas dari kajian Islam lokal. Menggunakan istilah Islam lokal (Islam yang sesuai dengan tempat atau lokasi tertentu dimana ia berada) tentunya dapat memunculkan perbedaan pandangan antara setuju dan tidak. Hal ini disebabkan sepintas istilah Islam lokal menyiratkan bahwa Islam pada tiap lokasi berbeda antara satu sama lain, padahal di sisi lain, Islam selalu dipahami sebagai sesuatu yang tunggal dan universal.

Dalam perjalanannya, Islam dengan karakteristik dan ke- khasannya masing-masing akan mendapat dua tarikan, yaitu menjadikannya semakin lekat dengan nilai-nilai lokal setempat (tradisi) dan dorongan dari sesuatu yang berada ‘diluar’ nilai-nilai lokal yang menginginkan adanya perubahan dalam bentuk pembaharuan terhadap Islam lokal tersebut.

Islam Aceh pun tidak dapat dilepaskan dari dua tarikan yang berasal dari ‘luar’ dan ‘dalam’ itu sendiri. Sehingga wajah Islam Aceh mengalami proses ‘pembentukan’ yang dinamis. Pro-kontra terhadap pelaksanaan syariat menjadi kunyahan hari-hari dalam diskursus para pelaksana, pemerhati syariat dan masyarakat pada umumnya.

Bila kita melihat ke dalam kehidupan masyarakat gampong masa lampau, warna Islam cukup terlihat dengan bentuk gampong yang ditandai dengan pola perumahan yang padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Bangunan-bangunan rumah berbentuk rumah panggung atau rumoh dengan meunasah sebagai tempat beribadah yang letaknya di tengah-tengah di gampong. Warna Islam juga terlihat dalam Rumoh Aceh yang letaknya membujur dari barat ke timur sebagai cerminan kiblat yang dianut oleh pemeluk agama Islam.

Buku ini utamanya merupakan ikhtiar para peneliti di lingkungan STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa untuk mengidentifikasi perkembangan Islam lokal Aceh, kearifan lokal, Buku ini utamanya merupakan ikhtiar para peneliti di lingkungan STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa untuk mengidentifikasi perkembangan Islam lokal Aceh, kearifan lokal,

Memilih menjadi dosen pada saat bersamaan merupakan sebuah kometmen untuk memberikan sumbangan keilmuan kepada khalayak. STAIN Zawiyah Cot Kala memiliki komitmen yang kuat untuk selalu memfasilitasi para dosen agar mempublikasikan penelitian-penelitian mereka. Pada tahun ini, STAIN Zawiyah Cot Kala menerbitkan lima buah buku yang didedikasikan untuk menerbitkan hasil penelitian dosen pada tahun sbelumnya. Kita berharap agar buku ini dapat memberikan kontribusi keilmuan bagai perkembangan keilmuan di dunia Islam. Selamat membaca.

Langsa, November 2014

Dr. Zulkarnaini Abdullah, MA

PENGANTAR EDITOR

Buku yang ada ditangan pembaca adalah kumpulan hasil penelitian dosen STAIN Zawiyah cot Kala Langsa tahun 2013. Penelitian tesebut merupakan penelitian individu dan penelitian kelompok. Kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa merupakan merespon terhadap pelaksaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni kegiatan dalam bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat.

Islam Aceh merupakan salah satu bentuk dari Islam lokal. Sebagai sebuah agama yang dominan dan berumur lama di Aceh, Islam menjadi sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari Aceh. Dimana penerapan syariat menjadi salah satu aspek menonjol dalam wajah Islam Aceh saat ini.

Islam Aceh pun tidak dapat dilepaskan dari dua tarikan yang berasal dari ‘luar’ dan ‘dalam’. Sehingga wajah Islam Aceh mengalami proses ‘pembentukan’ yang dinamis. Pro-kontra terhadap pelaksanaan syariat menjadi kunyahan hari-hari dalam diskursus para pelaksana, pemerhati syariat dan masyarakat pada umumnya.

Bila kita melihat ke dalam kehidupan masyarakat gampong masa lampau, warna Islam cukup terlihat dengan bentuk gampong yang ditandai dengan pola perumahan yang padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Bangunan-bangunan rumah berbentuk rumah panggung atau rumoh dengan meunasah sebagai tempat beribadah yang letaknya di tengah-tengah di gampong.

Warna Islam juga terlihat dalam Rumoh Aceh yang letaknya membujur dari barat ke timur sebagai cerminan kiblat yang dianut oleh pemeluk agama Islam. Pembagian Rumoh Aceh yang terbagi menjadi beberapa ruangan yang masing-masing memiliki fungsi (biasanya rumoh ini terdiri dari tiga atau lima rueueng --ruangan antara rangka utama-- dengan satu ruang utama yang disebut rambat) yang tidak saja menggambarkan kehidupan yang mencakup hak dan kewajiban di dunia tetapi juga di akhirat. Keberadaan rumah dan berbagai ruangan adalah cermin kehidupan orang Aceh yang menganut agama Islam seperti dalam pembagian antara ruang laki-laki dan perempuan. Adanya guci sebagai tempat Warna Islam juga terlihat dalam Rumoh Aceh yang letaknya membujur dari barat ke timur sebagai cerminan kiblat yang dianut oleh pemeluk agama Islam. Pembagian Rumoh Aceh yang terbagi menjadi beberapa ruangan yang masing-masing memiliki fungsi (biasanya rumoh ini terdiri dari tiga atau lima rueueng --ruangan antara rangka utama-- dengan satu ruang utama yang disebut rambat) yang tidak saja menggambarkan kehidupan yang mencakup hak dan kewajiban di dunia tetapi juga di akhirat. Keberadaan rumah dan berbagai ruangan adalah cermin kehidupan orang Aceh yang menganut agama Islam seperti dalam pembagian antara ruang laki-laki dan perempuan. Adanya guci sebagai tempat

Bila mengaca kepada dua contoh warna Islam di Aceh, penulis menilai bahwa Islam lokal di Aceh memiliki karakteristiknya sendiri, dengan warna dan caranya sendiri. Terlepas dari perdebatan apakah sesuatu itu lebih islami daripada yang lain atau sesuatu itu islami sedangkan yang lain tidak islami.

Buku yang kini berada ditangan pembaca merupakan hasil penelitian Dosen STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa. Buku ini merupakan kumpulan hasil penelitian dalam bidang Sosial keagammaan dan mengambil tema “Minoritas Non Muslim di Kota Langsa dalam Bingkai Pelaksaan Islam di Aceh”, ditulis oleh Nawawi Muhammad, Syamsul Rizal, Dedy Hendrik, dan Syahrial . Penelitian ini menyimpulkan bahwa pertama, masyarakat Kota Langsa terdiri dari berbagai macam etnis, suku, dan agama. Etnis yang terdapat di Kota langsa seperti etnis China, India, dan penduduk pribumi. Suku yang terdapat di kota Langsa di antaranya Jawa, Aceh, dan Melayu. Keragaman tersebut sehingga Kota Langsa dapat dikatakan sebagai daerah yang plura. Kedua, masyarakat non-muslim yang ada di Kota Langsa menjadi masyrakat minoritas. Hubungan antara minoritas dan mayoritas di Kota langsa secara umum sangat harmonis karena tidak ada kerusuhan yang penyebabnya adalah ketertindasan minoritas.

Ketiga, respon minoritas non muslim terhadap pemberlakuan syari'at Islam di Kota Langsa; bahwa pemberlakuan syari'at Islam di Langsa adalah hak daerah untuk memberlakukan hal tersebut, yang harus menjadi perhatian bagi umat Islam adalah tetap menjaga hak minoritas dalam beragama dan bermasyarakat.

Hasil penelitian yang kedua dalam buku ini adalah Membentuk Muslim Aceh: Teungku Dayah dan Baial Pengajian di

Aceh Timur. Penelitian ini dilakukan oleh Mazlan. Dalam penelitiannya ia menyimpulkan bahwa, Pertama, etos kerja islami yang dimilik oleh Teungku dalam hal ini ditunjukkan oleh Pak Ni selaku Tungku yang mengajar di Bale Pengajian Gampong Alue Bu Tuha tergolong tinggi. Hal ini dapat dilihat melalui jam kerja beliau sebagai pribadi yang bertanggung jawab menafkahi keluarganya, dimana beliau memulai menjalan aktivitasnya sebagai pedagang dari kisaran jam 6.00 samapai dengan 18.00 WIB. Kemudian beliau melanjutkan aktivitas sebagai teungku yang mengajar mengaji semenjak jam 19.30 sampai dengan 22.00 WIB.

Kedua, motivasi murid-murid dewasa mengaji terbentuk karena kebutuhan mereka akan bagaimana membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar (motivasi intrinsik ) juga dipengaruhi oleh dan ekstrinsik. Pak Ni selaku Teungku yang mengajar di Bale Pengajian Gampong Alue Bu Tuha memliki kegigihan yang tergolong tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan beliau yang menunggu kehadiran murid-muridnya, dan tidak pernah muridnya hadir terlebih dahulu menanti kedatangan beliau.

Penelitian yang ketiga adalah Kepemimpinan Kepala Sekolah Pada SMA Negeri Unggul Aceh Timur Dalam Manajeman Konflik Penelitian ini dilakukan oleh Sulaiman Ismail, Mukhlis, dan Muhammad Ichsan. Dalam penelitiannya mereka menyimpulkan bahwa, Pertama, Peran kepala sekolah SMA Negeri Unggul Aceh Timur dalam manajemen konflik sangat terlibat secara aktif. Meskipun secara struktur memiliki wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, namun kepala sekolah tetap aktif memberikan saran, masukan, dan solusi terhadap konflik yang terjadi antar-siswa.

Kedua, Konflik yang terjadi di sekolah di antara sesama murid disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a) faktor sosial ekonomi; b) ego pribadi dan kelompok; dan c) faktor persaingan tidak sehat, baik dalam kompetensi intelektual, sosial maupun ekonomi.

Ketiga, Solusi yang diberikan Kepala Sekolah SMA Negeri Unggul Aceh Timur terhadap konflik yang terjadi antar-siswa. a) Konflik Intern Siswa: dilakukan pendekatan pribadi yang dilaksanakan secara terus menerus oleh semua guru, mulai kepala asrama, guru pembimbing akademik (wali kelas), wakil kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan dilanjutkan oleh kepala sekolah. Kepala Asrama yang ditunjuk setiap unit asrama (7 asrama = 7 orang) tinggal bersama siswa di asrama, mereka selalu menjaga, membimbing, memotivasi mereka baik untuk belajar dalam program intrakurikuler, dan ekstrakurikuler.

Penelitian yang ketiga adalah Pendidikan Multikultural di MAN Ranto Panjang Peureulak Penelitian ini dilakukan oleh Andhika Jaya Putra. Dalam penelitiannya ia menyimpulkan bahwa, Pertama, Siswa dan guru MAN Rantau Panjang Peureulak cukup beragam, dengan latar belakang etnis, sosial dan ekonomi yang beragam pula sehingga menimbulkan orientasi pemikiran yang bersifat kultur dan kedaerahan yang terjadi pada siswa, berkembangnya konsep kedaerahan yang mengakibatkan berkuasanya siswa yang berasal dari dalam daerah, ditambah lagi Penelitian yang ketiga adalah Pendidikan Multikultural di MAN Ranto Panjang Peureulak Penelitian ini dilakukan oleh Andhika Jaya Putra. Dalam penelitiannya ia menyimpulkan bahwa, Pertama, Siswa dan guru MAN Rantau Panjang Peureulak cukup beragam, dengan latar belakang etnis, sosial dan ekonomi yang beragam pula sehingga menimbulkan orientasi pemikiran yang bersifat kultur dan kedaerahan yang terjadi pada siswa, berkembangnya konsep kedaerahan yang mengakibatkan berkuasanya siswa yang berasal dari dalam daerah, ditambah lagi

Kedua, Dalam menerapkan pendidikan multikultural sebagai upaya untuk mewujudkan keberagaman inklusif di MAN Rantau Panjang Peureulak Peran Guru sudah menjalankan tugasnya sebagai pendidik dimana mendidik tidak hanya terfokus pada kemampuan berfikir Kognitif, afektif dan juga psikomotorik, guru juga berperan dalam membangun kepercayaan, dan interdepensi (saling membutuhkan), saling menghargai, toleransi, terbuka dan berfikir kerah membangun kepercayaan.

Ketiga, Adapun Strategi yang dilakukan oleh Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Rantau Panjang Peureulak yaitu dengan menerapkan tiga pola yakni: kegiatan intrakurikuler, kegiatan ekstrakurikuler dan metode pembelajaran di sekolah. Sehingga siswa yang berbeda suku dapat terakomodasi sesuai dengan tiga pola itu tadi.

Hasil penelitian terakhir dalam buku ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Nina Afrida. Tema penelitian ini berjudul Studi Fenomenologi: Pengalaman Mahasiswa Pada Metode Mengajar Dosen Pendidikan Bahasa Inggris di STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengalaman mahasiswa PBI pada metode mengajar yang sering digunakan dosen dapat dilihat dari tindakan mahasiswa terhadap metode mengajar dosen dalam proses pembelajaran, data yang ada menunjukkan mahasiswa lebih kepada melakukan tindakan yang negatif, artinya mereka melakukan tindakan yang tidak seharusnya mereka lakukan didalam proses pembelajaran. Dan berdasarkan tindakan mereka pada saat diajarkan dengan menggunakan metode menjelaskan dan metode pembagian kelompok, penugasan, dan penyajian materi maka mereka memaknai metode mengajar dosen dengan metode yang digunakan belum tepat guna dan tepat sasaran, karena cara mengajar dosen belum bisa membuat mahasiswa tertarik pada materi, mahasiswa juga tidak fokus pada materi, dan akhirnya tidak mampu membuat mahasiswa paham terhadap materi.

Isi Buku

Kata Pengantar Ketua STAIN – iv Kata Pengantar Editor – vi Isi Buku – xii

1 Minoritas Non Muslim di Kota Langsa dalam Bingkai Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh – 01

2 Membentuk Muslim Aceh: Teungku Dayah dan Balai Pengajian di Aceh Timur – 32

3 Kepemimpinan Kepala Sekolah Pada SMA Negeri Unggul Aceh Timur Dalam Manajeman Konflik – 64

4 Pendidikan Multikultural di MAN Ranto Panjang Peureulak – 87

5 Studi Fenomenologi: Pengalaman Mahasiswa Pada Metode Mengajar Dosen Pendidikan Bahasa Inggris di STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa – 113

MINORITAS NON MUSLIM DI KOTA LANGSA DALAM BINGKAI PELAKSANAAN SYARI'AT ISLAM DI ACEH

Oleh: Nawawi Muhammad, Syamsul Rizal, DedyHendrik, dan Syahrial

A. Pendahuluan

Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah untuk membimbing umat manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ajaran dan aturan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui wahyu yang terhimpun dalam alQur’an yang selanjutkan dijelaskan melalui perkataan dan prilaku Nabi. Dua ajaran dan tuntunan pokok ini, oleh para ulama ditafsirkan dan dikembangkan sehingga menjadi ajaran dan tuntunan hidup yang relative sistematis dan mencakup semua prilaku umat Islam. Dengan demikian Islam tidak hanya membimbing umat manusia dalam hal ibadah saja tetapi berisi bimbingan dan petunjuk untuk seluruh aspek kehidupan, mulai dari hal yang bersifat pribadi hingga persoaalan yang bersifat public, dari permasalahan yang berkaitan dengan manusia, alam dan lingkungan.

Dengan demikian, ajaran islam sangat luas dan menjangkau segala aspek kehidupan manusia, maka para ulama mencoba mengklasifikasikan ajaran – ajaran Islam, diantara para ulama yang mengklasifikasikan ajaran Islam adalah Muhammad Syaltut – salah satu ulama kontemporer – membagi ajaran Islam dua bagian besar, yaitu; aqidah, syari’ah dan akhlak. Pembagian ini didukung dengan sebuah hadist qudsi yang sangat populer yang menjelaskan makna iman (aqidah), makna islam (Syari’ah), dan makna ihsan (akhlak). Dengan demikian, seseorang yang menyatakan dirinya muslim maka konsekwensinya adalah dia harus menjalankan semua ajaran – ajaran Islam.

Aceh 1 merupakan daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan agama Islam menjadi ruh dalam diri

1 Mengenai trema “Aceh”, banyak orang yang mencoba mencari asal mula kata Aceh atau makna kata tersebut. Diantaranya trema Aceh berasal dari

kata “aca” yang berarti saudara permpuan, kata – kata itu berasal dari “Ba’ si- kata “aca” yang berarti saudara permpuan, kata – kata itu berasal dari “Ba’ si-

mempertahankan tanah rencong 2 (nama lain dari daerah Aceh) dari penjajahan. Dikarenakan masyarakat Aceh sangat anti dengan orang asing sehingga masyarakat Aceh menganggapnya sebagai orang kafi rmaka mereka mempertahankan daerahnya sampai titik darah penghabisan. Bagi masyarakat Aceh agama bukan hanya sekedar kepercayaan belaka, namun Islam sudah menjadi pakaian masyarakat Aceh, sehingga seluruh aktifitas masyarakat Aceh tidak terlepas dari agama. Dengan kekhasan tersebut maka Aceh

diberikan julukan “Serambi Mekkah”. 3 Predikat tersebut dikukuhkan (dikuatkan) dengan diberlakukannya syari’at Islam di Aceh.

Kronologis diberlakukannya syari’at Islam di Aceh berawal untuk meredam pemberontakan yang terjadi di Aceh yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 4 Melihat

Aceh-Aceh”, semacam pohon beringin yang besar dan rindang. Lihat abu Bakar Aceh, dalam Ismail Sunni (ed), Bunga Rampai Tentang Aceh , (Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1980) hlm. 19. Lihat juga A. Hasjimy (peny), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia , (Bandung: al-Ma’arif, 1993), hlm. 188. Namun yang berkembang dikalangan masyarakat bahwa trema “Aceh” merupakan singkatan dari “A” singkatan air “Arab”, “C” singkatan dari “Cina”, “E” singkatan dari “Eropa”, dan “H” singkatan dari “Hindia”. Lihat Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 128.

2 Kata Rencong, selain dipakai untuk nama daerah Aceh kata tersebut digunakan pula untuk senjata khas Aceh.

3 Dalam Masyarakat Aceh terdapat falsafah “ Adat Bak Poe Teummeuruhom Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam

Bak Laksamana”. Adagium ini mengungkapkan latar belakang yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat Aceh dan siapa yang berotoritas didalamnya. Bagi masyarakat Aceh, adat adalah yang bertalian dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan duniawi yang berotoritas adalah raja. Sedangkan hukom adalah ketentuan hubungan manusia dengan Tuhan dan dengan sesama insan yang bersumber dari ajaran Islam (al-Qur’an dan hadis) dan otoritas hukum ditangan ulama. Sedangkan Qanun adalah adat dan budaya wanita dalam berbagai upacara kemasyarakatan. Dan reusam menyangkut aturan tata karma bagi laki – laki dalam melaksanakan adat kebiasaan dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Taufiq Adnan Amal dan Samsul Rizal Pangabean, Politik Syari’at Islam dari Indonesia hingga Negeria, (Jakarta: Pustaka Alvavet, 2004), hlm. 14.

4 Pemberontakan yang terjadi di Aceh semasa dalam kesatuan Negara Indonesia adalah: Pemberontakaan DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureueh

pada tahun 70-an timbul pemberontakan yang dilakukan oleh Gerakan Aceh pada tahun 70-an timbul pemberontakan yang dilakukan oleh Gerakan Aceh

Dengan diterapkannya syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam maka masyarakat Aceh harus menanti, mengamalkan dan menjalankan hukum Islam seacara kafah. Peraturan Daerah tersebut meliputi ; aqidah, ibadah, akhlaq, mu’amalah, munakahat, warisan, pendidikan, dakwah islamiyah, dan hal – hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pelaksanaan peraturan tersebut harus sesuai dengan al-Qur’an dan hadis serta mengadopsi perubahan zaman. Dengan diberlakukannya syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam diharapkan membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat Aceh.

Namun, dengan diberlakukannya syaria’at Islam di Aceh akan menimbulkan pertanyaan yang sifatnya mendasar, yaitu; apakah pelaksanaan syari’at Islam mengikat seluruh masyarakat Aceh yang beragama Islam atau pelaksanaan syari’at Islam mengikat seluruh masyarakat yang tingggal Aceh? Apabila pemberlakuan syari’at Islam hanya mengikat masyarakat Aceh yang beragama Islam, maka hal itu tidak menimbulkan permasalahan yang besar dikarenakan sudah menjadi kewajiban setiap muslim menjalankan semua kewajiban yang terdapat dalam agamanya. Akan tetapi, jikalai syari’at Islam mengikat seluruh masyarakat yang ada di Aceh, maka hal itu akan menimbulkan permasalahan yang sangat komplek dikarenakan masyarakat Aceh bukan hanya beragam Islam namun terdiri dari berbagai etnis dan suku yang bukan beragama Islam. Dan golongan inilah yang nantinya dalam penelitian ini disebut dengan kaum minoritas.

Kaum minoritas adalah golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih sedikit atau kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat dan karena itu

didiskriminasikan oleh golongan lain yang lebih besar (mayoritas) 5 . Definisi lain yang senada adalah suatu kelompok yang kecil powernya, atau tidak memiliki power. Minoritas biasanya berkaitan

Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Hasan Tiro. Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka , (Jakarta: Madani Press, 2000), hlm. 137.

5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 584 5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 584

terkena dikriminasi. 6 Penelitian ini akan melihat kaum minoritas dan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Dan dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kaum minoritas adalah masyarakat Aceh yang bukan beragama Islam (agama Hindu, Budha dan kristen) dan masyarakat yang bukan suku dan etnis (seperti; Cina dan Hindia) Aceh.

Dikarenakan daerah Aceh sangat luas dan tidak mungkin penelitian dilakukan dengan jangka waktu yang rlative singkat maka peneliti memfokuskan penelitian ini di Kota Langsa. Alasan mengapa peneliti mengambil di Kota Langsa sebagai lokasi penelitian dikarenakan Kota Langsa sudah dikatagorikan kota yang plural. Dan Kota Langsa adalah kota yang terdiri dari berbagai etnis seperti Cina dan India, suku seperti suku Jawa, Padang dan Batak, dan berbagai agama seperti Kristen dan Hindu. Dengan peneliti membatasi penelitian ini akan dilakukan di Kota Langsa maka nantinya peneliti ini tidak membicarakan penerapan syari’at Islam di daerah – daerah lain yang ada di Aceh. Walaupun nantinya ada penyebutan kota lain selain Kota Langsa itu merupakan penjelasan atau pelengkap dari penelitian ini.

Dari latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: bagaimana kondisi sosial keagamaan minoritas non muslim di Kota Langsa? Kedua, bagaimana respon minoritas di Kota Langsa terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh?

Selanjutna, syari’at Islam telah leih dari lima tahun diterapkan di Aceh. Dengan rentan waktu yang cukup lama tersebut maka pelaksanaan syari’at Islam di Aceh telah menjadi perhatian publik dan telah menjadi obyek penelitian dilingkungan akademik. Penelitian yang sudah pernah dilakukan diantaranya adalah; penelitian yang dilakukan oleh Bustami, dalam penelitiannya ia menjelaskan bagaimana sejarah terbentuknya syari’at Islam di Aceh. Ia membahas pelaksanaan syari’at Islam di Aceh secara global, dan ia mengakhiri penelitiannya dengan membahas bagaimana kafir zimmi dalam ruang lingkup pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Kafir zimmi adalah kafir yang berada dalam Negara

6 Kaum minoritas dapat kita contohkan; bagaimana Nabbi Muhammad dan Umat Islam dalam menyebarkan Islam di Mekkah (Minoritas) yang selalu

mendapat tekanan dan ancaman dari orang yang tidak suka dengan agama baru yang dibawa Muhammad (mayoritas).

Islam dan kafir tersebut tidak bersaha melakukan pemberontakan di negara Islam. Dan hukum yang berlaku bagi mereka bukanlah hukum Islam namun hukum yang diatur oleh Negara (hukum perdana atau hukum perdata). 7

Dalam hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Bustami terdapat kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Persamaannya adalah sama – sama membahas kafri zimmi walau dalam penelitian ini nantinya dikatakan dengan kaum minoritas. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Bustami adalah; pertama, dalam penelitian Bustami pembahasan tentang kafir zimmi merupakan sub bab namun dalam penelitian ini merupakan tema utama. Kedua, pembahasan Bustami yang berkaitan dengan kafir zimmi dijelaskan dengan sangat umum serta tidak spesifik dan belum menjelaskan perdaerah, namun dalam penelitian ini akan membahas secara terperinci dan akan membahas khusus di Kota Langsa sebagai lokasi penelitian ini. Perbedaan antara penelitian ini dengan yang telah dilakukan oleh Bustami menunjukkan bahwa penelitian ini belum dilakukan dan dibahas oleh Bustami.

Penelitian lain yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh adalah penelitian yang dilakukan oleh Intan Melya. Dalam penelitiannya ia membahas bagaimana respon perempuan

Aceh terhadap qanun syari’at Islam. 8 Selanjutnya buku yang ditulis oleh Taufiq Adnan Amal dan Samsul Rizal Pengabaean yang diberi judul Politik Syari’at Islam dari Indonesia hingga Negeria. Dalam bab pertama mereka membahas Syaria’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Dan dalam bab tersebut mereka menceritakan agama Islam yang sangat dekat dengan warga Aceh, selanjutnya mereka menjelaskan beberapa Peraturan Daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam. Peraturan yang dijelaskan dalam buku tersebut adalah, Peraturan Daerah No. N6/1968 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Pelaksanaan Syari’at Islam, Peraturan Daerah No. 3/2000 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Peraturan Daerah no. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam,

7 Bustami, Formalisasi Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Tesis di Pascasarjana UGM Yogyakarta, Program Studi Antropologi Bidang

Ilmu Humaniora, 2004, 8 Intan Melya, Perempuan dan Syari’at Islam Respon Perempuan

Terhadap Implementasi Qanun Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tesis di Pascasarjana UGM Yogyakarta, Program Studi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, 2005.

Peraturan Daerah no. 6/1968 tentang penyelenggaran Pendidikan, dan qanun yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. 9

Dalam hasil penelitian dan buku yang telah disebutkan diatas seluruhnya berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, namun keseluruhannya belum menjelaskan bagaimana kaum minoritas dan syari’at Islam di Aceh serta belum menjelaskan pelaksanaan syari’at Islam di Kota Langsa yang menjadi tema pokok dalam penelitian ini.

Penelitian atau buku – buku yang membahas kaum minoritas adalah; buku yang ditulis oleh M. Ali Kettani. 10 Dalam bukunya Ali Kettani menjelaskan kaum minoritas muslim yang berdomisili di negara Non-muslim. Ali Kettani mengelompokkan minoritas muslim dalam tiga kelompok, kelompok pertama, yaitu yang dahulunya mayoritas, tetapi belakangan kehilangan kekuasaan dan prestise, seperti di Palestina, Etiopia, dan Herzegovina. Kelompok kedua mereka yang dahulunya minoritas sebagai penguasa, tetapi kekuasaan mereka berakhir dan mereka tetap sebagai minoritas agama, contohnya dinegara India dan Balkan. Kelompok ketiga, mereka adalah non-muslim yang pindah agama Islam dalam lingkungan non-muslim seperti Sri Lanka.

Alaef Theria Wasin dalam buku Antologi Studi Islam Teori dan Metodelogi membahas minoritas dan mayoritas dengan menggunakan

pendekatan psikologi sosial keagamaan. Permasalahan minoritas dan mayoritas agama mencakup persoalan dalam bidang budaya, ekonomi, serta politik yang semuanya terkait dengan persoalan identitas. Disamping itu, beliau menegaskan bahwa sebagai fenomena sosial keagamaan, minoritas dan mayoritas akan lebih tepat kalau didekati secara sosialogis- keagamaan, antropologis-budaya agama, dan psikologi sosial agama.

Untuk memahami prilaku agama minoritas dan mayoritas diperlukan diperlukan adanya keterbukaan dalam penghayatan agama yang tidak sadar dan tidak logis. Kondisi dan situasi tertentu seringkali dapat membawa pada skala represi – sensitasasi. Secara psikologis dapat dipahami adanya pengalaman schizotipik yang berupa gangguan kepribadian yang ditandai dengan pengucilan diri,

9 Taufiq Adnan Amal dan Samsul Rizal Pangabean, Politik Syari’at Islam dari Indonesia hingga Negeria, (Jakarta: Pustala Alvabet, 2004)

10 M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini , ter. Zarkowi Soejoeti, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).

dan kadang – kadang dengan pikiran – pikiran eksentrik. Pengalaman ini juga merupakan keterbukaan terhadap aspek – aspek pengalaman non-logis.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa kajian tentang pengaruh sosial keagamaan dalam persoalan minoritas dan mayoritas akan menemukan berbagai ketidaksetaraan power sesuatu kelompok dan seseorang untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Apabila mayoritas memahami bahwa mereka dapat mempengaruhi even- even, maka minoritas merasa bahwa mereka kehilangan dan tidak lagi memegang control even.

Penelian minoritas non muslim di kota Langsa akan dianalisa dengan teori hegemoni dan dominasi yang di pinjam dari Gramsci. Hegomoni dalam bahasa Yunani kuno disebut dengan “eugemonia” , sebagaimana dikemukakan dalam Encylopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota ( polis atau citystates) secara individual, misalnya yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta, terhadap negara lain yang sejajar. Dalam pengertian dizaman ini, hegomoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara – negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dengan negara “pemimpin”. Dalam penelitian ini akan menggunakan teori hegemoninya Gramsci.

Bagi Gramsci, kelas sosial akan mencapai keunggulan (supremasi) melalui dua cara, yaitu melalui cara dominasi (coercion) dan cara yang kedua adalah melalui kepemimpinan intelektual serta moral. Dalam pandangan Gramsci hegemoni merupakan suatu kemenangan yang diperoleh melalui kesepakatan “ consensus” dari pada suatu penindasan kelas sosia terhadap yang lain. Hal ini dicapai dengan berbagai macam cara, misalnya melalui lembaga – lembaga masyarakat. Ketika Gramsci berbicara tentang consensus, ia selalu mengaitkan dengan spontanitas bersifat psikologis yang mencakup berbagai penerimaan atau sosiopolitis ataupun aspek – aspek aturan.

Hegemoni terjadi lewat proses consensus, consensus tersebut dicapai dengan melalui penyesuaian. Ada tiga katagori penyesuaian yang meliputi :

1. Orang menyesuaiakan diri mungkin karena takut akan konsekuensi – konsekuensi bila tidak menyesuaiakan diri.

Disini konformitas ditempuh melalui penekanan dan sangsi – sangsi yang menakutkan.

2. Orang menyesuaiakan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan – tujuan tertentu. Konfirmitas dalam hal ini merupakan partisipasi yang tidak terefleksi dalam bentuk aktifitas yang tetap, sebab orang menganut pola – pola tingkah laku tertentu dan jarang kemungkinan untuk menolak.

3. Konformitas yang muncul dari tingkah laku mempunyai tingkat – tingkat kesadaran dan persetuan tertentu dengan masyarakat.

Teori hegemoni Gramsci dapat digunakan dalam penelitian ini dikarenakan kaum minoritas di Kota Langsa tidak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan agama dan kebuyaan, karena mereka terhegemoni oleh peraturan yang ada di Kota Langsa. Kategori penyesuaian dalam teori hegemoni Gramsci dapat kita gunakan dalam melihat bagaimana minoritas bersedia memakai pakaian Islam dan simbol – simbol Islam? Serta dapat untuk menjelaskan bagaimana khalwat (perbuatan mesum) di Kota Langsa dapat ditekan?. Hal ini dikarenakan mereka takut dengan sangsi – sangsi yang diberikan bila mereka tertangkap atau terkena razia. Kaum minoritas memakai simbol – simbol serta pakaian Islam merupakan hasil kesepakatan (conssensus) antara diri mereka dengan peraturan dan kondisi sosial masyarakat setempat. Pernyataan ini dapat kita lihat kaum minoritas memakai simbol – simbol serta pakaian Islam sebagai penghormatan terhadap orang Islam dan untuk keamanan mereka tinggal. Untuk keamanan inilah alasan yang lebih dominan bagi masyarakat.

Dalam penelitian ini, menggunakan pula teori rasional ( rational choice theory). Teori pilihan rasional (rational choice theory) atau sering disebut teori tindakan rasional (rational action theory) menganut pandangan bahwa satuan-satuan prilaku mengoptimalkan pilihan – pilihan (tindakan – tindakan) mereka dalam kondisi – kondisi tertentu. Dalam bahasa sehari – sehari, individu – individu (satuan – satuan) itu melakukan sesuatu dengan sebaik – baiknya sesuai dengan kondisi yang ada. Optimalnya pilihan yang rasional bila dipadukan dengan deskripsi – deskripsi berbagai kondisi tindakan akan memberikan pilihan rasional kemampuan – kemampuan untuk memprediksi (memberikan penjelasan). di sisi lain dari teori pilihan rasional terdapat teori Dalam penelitian ini, menggunakan pula teori rasional ( rational choice theory). Teori pilihan rasional (rational choice theory) atau sering disebut teori tindakan rasional (rational action theory) menganut pandangan bahwa satuan-satuan prilaku mengoptimalkan pilihan – pilihan (tindakan – tindakan) mereka dalam kondisi – kondisi tertentu. Dalam bahasa sehari – sehari, individu – individu (satuan – satuan) itu melakukan sesuatu dengan sebaik – baiknya sesuai dengan kondisi yang ada. Optimalnya pilihan yang rasional bila dipadukan dengan deskripsi – deskripsi berbagai kondisi tindakan akan memberikan pilihan rasional kemampuan – kemampuan untuk memprediksi (memberikan penjelasan). di sisi lain dari teori pilihan rasional terdapat teori

Teori putusan berkaitan dengan kondisi parametric yang mengasumsikan bahwa si pengambil keputusan atau pelaksana tindakan tidak perlu membuat perhitungan mengenai apa yang dilakukan oleh sipelaku dalam mengambil keputusan. Sebaliknya, apabila pelaku perlu membuat perhitungan mengenai bagaimana dengan orang lain akan memilih (tindakan) dalam mengambil keputusan (tindakan-tindakan) maka ini berkaitan dengan teori permainan dan didalam kondisi strategic. Aplikasi teori pilihan rasional ( rational choice theory) dalam penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana minoritas di Kota Langsa dalam memilih tindakan – tindakan yang ia lakukan. Tindakan – tindakan yang mereka pilih bisa dalam bentuk pengakuan dan mengikuti apa yang telah ditetapkan dalam undang – undang serta memakai atribut Islam dengan penuh kesadaran dan sukarela atau mereka tidak mempunyai pilihan yang rasional untuk memilih tindakan.

B. Ekologi Kota Langsa

Penelitian ini di laksanakan di Kota Langsa. Sebelum Ditetapkan Menjadi Kota, Langsa Adalah Bagian Dari kabupaten Aceh Timur Yang Ibukota Kabupatennya adalah langsa dan Merupakan Kota Administratif Yang Dibentuk Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1991 Tanggal 22 Oktober 1991, dan Diresmikan Oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Pada Tanggal 2 April 1992. Kemudian, sesuai dengan perkembangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam baik dari segi Budaya, Politik dan Ekonomi, Propinsi ini Semakin Dituntut Mengembangkan diri, Khususnya dari segi Pemerintahan sehingga pada Tahun 2001 terbentuklah Kota Langsa yang merupakan Pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur berdasarkan pada Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2001 pada tanggal 21 Juni 2001 dan Peresmiannya dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2001. Luas wilayah Kata Langsa 262, 41 Km², serta ketinggian diatas permukaan laut 25 meter dengan suhu rata-rata 28° C sampai

dengan 32° C. 11 Pada awal terbentuknya Kota Langsa terdiri dari 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Langsa Barat, Kecamatan Langsa Kota dan Kecamatan Langsa Timur dengan Jumlah Desa Sebanyak

45 Desa (Gampong) dan 6 Kelurahan. Kemudian dimekarkan

11 Langsa Dalam Angka 2005 , BPS, 2005. hlm. 1 11 Langsa Dalam Angka 2005 , BPS, 2005. hlm. 1

Secara umum tatanan kehidupan masyarakat Kota Langsa sangat baik dan harmonis dikarenakan mereka hidup dengan sara kekeluargaan yang sangat tinggi. Keharmonisan dalam kehidupan masyarakat sangat dituntut dan harus diutamakan dikarenakan penduduk Kota Langsa sangat plural. Pluralnya penduduk Kota Langsa dapat dilihat dari berbagai etnis (seperti Cina dan India), suku (seperti Jawa, Batak, dan Minang) dan agama (seperti Hindu, Budha dan Keristen) selain agama Islam.

Dalam kehidupan beragama, sensitifitas masyarakat Kota Langsa sangatlah tinggi meskipun masih diragukan pengamalan beragamanya sehari-hari. Namun bila agama yang diyakininya mendapat celaan dan hinaan (terutama dari agama lain) mereka tidak segan-segan melakukan tindakan anarkhis. Kondisi keagamaan berjalan dinamis, persoalan akan muncul bila dihadapkan dengan persoalan penghinaan dari agama lain. Akan tetapi lain persoalannya bila celaan tersebut muncul atau dari orang yang berasal dari agama yang sama hanya sebagai celotehan burung saja, atau sebagai bahan pembicaraan dikalangan jamaah pengajian tanpa menimbulkan tindakan yang mengarah kepada anarkhis.

Sarana peribadatan di Kota Langsa sudah sangat memadai dan mengakomodasi bagi umat beragama yang akan melaksanakan ritual keagamaannya. Sarana peribadatan yang ada seperti masjid, meunasah dan surau bagi umat Islam, gereja bagi umat Kristiani dan vihara bagi umat Budha. Namun di daerah Kota Langsa umumnya di daerah Aceh masjid seperti jamur dimusim hujan. Peningkatan pembangunan masjid secara pisik, secara tidak langsung berpengaruh pada kegiatan di dalamnya. Kegiatan agama meningkat dikarenakan merasa nyaman, tenang, dan sejuk melakukan kegiatan didalam masjid tersebut sebab fasilitas yang ada sangat mendung. Pada masa konflik banyak masjid dijadikan tempat penampungan pengungsian dikarenakan banyak rumah mereka dibakar, dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab serta mereka tidak mendapat ketenangan berada di rumah mereka. Kualitas keagamaan masyarakat mengalami peningkatan dan kemajuan seiring dengan gejolak dan kekacauan di Aceh khususnya di Kota Langsa. Kemajuan peribadatan dikarenakan mereka merasa dekat dengan Allah serta kedetan tersebut membuat Sarana peribadatan di Kota Langsa sudah sangat memadai dan mengakomodasi bagi umat beragama yang akan melaksanakan ritual keagamaannya. Sarana peribadatan yang ada seperti masjid, meunasah dan surau bagi umat Islam, gereja bagi umat Kristiani dan vihara bagi umat Budha. Namun di daerah Kota Langsa umumnya di daerah Aceh masjid seperti jamur dimusim hujan. Peningkatan pembangunan masjid secara pisik, secara tidak langsung berpengaruh pada kegiatan di dalamnya. Kegiatan agama meningkat dikarenakan merasa nyaman, tenang, dan sejuk melakukan kegiatan didalam masjid tersebut sebab fasilitas yang ada sangat mendung. Pada masa konflik banyak masjid dijadikan tempat penampungan pengungsian dikarenakan banyak rumah mereka dibakar, dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab serta mereka tidak mendapat ketenangan berada di rumah mereka. Kualitas keagamaan masyarakat mengalami peningkatan dan kemajuan seiring dengan gejolak dan kekacauan di Aceh khususnya di Kota Langsa. Kemajuan peribadatan dikarenakan mereka merasa dekat dengan Allah serta kedetan tersebut membuat

C. Reorientasi Minoritas

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia akan selalu membutuhkan manusia lainnya, dan atas dasar itulah terjadi interaksi atau hubungan timbal-balik antar manusia. Interaksi antara satu manusia dengan manusia lainnya akan membawa mereka ke hubungan sosial yang lebih luas, membuat semacam rantai panjang yang menghubungkan satu sama lain. Adanya interaksi tersebut dapat membentuk sebuah komunitas sosial yang pada dasarnya dipersatukan oleh sebuah konsensus, kepentingan bersama, yang diinginkan oleh setiap anggota komunitasnya.

Dalam sebuah komunitas sosial, bukan tidak mungkin jika di dalamnya masih terdapat pengelompokan-pengelompokan yang berskala lebih sempit, yang mana tiap-tiap kelompok memiliki sebuah kesamaan yang lebih spesifik daripada konsensus secara umum yang tercipta dari sebuah komunitas sosial. Secara umum sebuah komunitas sosial masih dapat dipecah lagi menjadi dua bagian, yaitu kelompok mayoritas dan minoritas. Mayoritas adalah jumlah terbanyak dalam suatu kelompok, sedangkan minoritas adalah mereka yang secara konsisten tidak setuju terhadap pengaruh kaum mayoritas. Kelompok minoritas memiliki anggota dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan kelompok mayoritas. Contohnya, sebuah kelompok yang terdiri atas tiga orang, dimana seorang individu yang berbeda dengan dua orang lainnya adalah minoritas, sedangkan sisanya adalah mayoritas.

Definisi minoritas umumnya hanya menyangkut jumlah. Suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas. Dari sudut pandang ilmu sosial, pengertian minoritas tidak selalu terkait dengan jumlah anggota. Suatu kelompok akan dianggap kelompok minoritas apabila anggota-anggotanya memiliki kekuasaan, kontrol dan pengaruh yang lemah terhadap kehidupannya sendiri dibandingkan dengan anggota-anggota kelompok dominan. Jadi, ada kemungkinan bahwa suatu kelompok secara jumlah anggota merupakan mayoritas tetapi dikatakan sebagai kelompok minoritas karena kekuasan, kontrol, dan pengaruh yang dimiliki lebih kecil daripada kelompok yang jumlah anggotanya lebih sedikit.

Minoritas sejauh ini memang lebih merupak sejumlah kriteria yang ditetapkan oleh pihak luar kepada kelompok yang ditentukan. Sebagai ilustrasi minoritas dan mayoritas dapat dilihat dari definisi yang diungkapkan oleh UN Special Rapporteur, Francesco Capotorti yang dikutib oleh Hikmah Budiman dalam buku Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Dalam laporannya Capotorti mencoba menerangkan minoritas, yaitu;

A group, numerically inferior to the rest population of a State, in a non dominant position, whose members being nationals of the State possess ethnic, religious or linguistic chacteritics differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion or language." 12

Selajutnya Hikmah Budiman mengutip definisi yang didefinisi oleh Jules Deschennes:

A group of citizens of a State, constituting a numerical minority and in a non-dominant position in the State, endowed with athnic, religious, or linguistic characteristics which differ from those of the majority of of the population, having a sense of solidarity with one another, motivated, if only implicitly, by a collective will to survive and whose aim is to achieve aquality with the majority in fact and law". 13

Secara teoritis kelompok minoritas dan mayoritas selalu dilihat dari berbagai aspek kepentingan, ada tinjauan secara kualitatif, kuantitatif,etnis, ras, budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Bahkan hampir tidak ditemukan teori kelompok minoritas dan mayoritas dari sudut pandang kelompok agama. Ketika perbincangan

mengenai kelompok suatu agama, maka hampir setiap individu merasakan sangat sensitive dan rentan. Orang dapat tersinggung dan bahkan saling membunuh bila menyentuh wilayah agama masing-masing dan bahkan dapat memicu konflikdi antara umat beragama. Oleh karena itu, persoalan agama bisa menjadi

potensi

konflik

bila salah digunakan, dan bila

12 Hikmat Budiman, Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme Di Indonesia , (Jakarta: The Interseksi Fondation, 2005), hlm. 10

13 Ibid ,.

disampaikan secara benar, akan menjadi sumber kekuatan persatuan, tergantung mana yang akan dimanfaatkan oleh suatu kepentingan kelompok tertentu.

Menurut Liliweri minoritas kelompok berdasarkan agama selalu digambarkan oleh pengelompokan sejumlah orang beragama tertentu, yang secara kuantitatif maupun kualitatif berbeda dengan agama kelompok mayoritas. Di Indonesia, secara nasional orang selalu mengatakan Indonesia bukan negara Islam, tetapi Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Artinya, kelompok Islam merupakan mayoritas dan kelompok agama lainnya merupakan minoritas. Namun di bagian tertentu wilayah Indonesia lainnya ada kelompok mayoritas yang non-muslim, seperti di Provinsi NTT dapat dikatakan "provinsi Kristen" yang menggambarkan penduduk di wilayah ini mayoritas kelompok keagamaan Kristen, sedangkan kelompok Islammerupakan penduduk minoritas. 14

Dari definisi minoritas di atas terdapat lima hal yang perlu diperhatikan dengan crmat ketika melihat minoritas dan mayoritas, pertama, dalam kedua definisi di atas minoritas ditunjukkan oleh perbandingan nomerik dengan sisa populasi yang lebih besar. Artinya, sebuah kelompok dapat disebut sebagai munoritas jikalau jumlahnya signifikan lebih kecil dari sisa populasi lainnya dalam sebuah Negara.

Kedua, berhungan erat dengan yang pertama, minoritas mengandaikan sebuah posisi yang tidak dominan dalam konteks sebuah Negara, tetapi fase "tidak dominan" tersebut tidak dijelaskan secara spesifik. Artinya, pengandaian tersebut juga menuntut pengandaian lain: bahwa term "dominan" dapat dipahami sebagai sebuah makna tunggal yang melingkupi seluruh sector kehidupan social. Kongkritnya, untuk kembali pada problematic sebelumnya, kalau sebuah kelompok minoritas dalam jumlah tetapi ia dominan dalam sector ekonomi sebuah Negara. Sebaliknya, jikalau sebuah kelompok tidak berada pada posisi dominan dalam sector apapun , tetapi kelompok tersebutmayoritas dalam jumlah, kelompok tersebutjuga tidak dapat diesebut sebagai kelompok minoritas.

Ketiga, menjadi minoritas juga mengandaikan terdapatnya perbedaan salah satu atau semuanya dari tiga wilayah, yakni, etnik,

14 Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. (Jakarta: LKIS, 2005), hlm. 99 14 Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. (Jakarta: LKIS, 2005), hlm. 99

Keempat, menjadikan minoritas mengharuskan orang atau kelompok orang memiliki rasa solidaritas antara sesama mereka, dan membagi bersama keinginan untuk melestarikan agama, bahasa, tradisi, budaya dan kepentingan untuk meraih persamaan didepan hukum dengan populasi diluarnya. Meskipun sekilas cukup masuk akal, tetapi batasan ini menetapkan minoritas menjadi sebuah criteria yang sudah selesai disematkan kepada sekelmpok masyarakat, dan menutup adanya peluang reposisi hubungan social dengan kelompok-kelmpok di luarnya.

Selanjutnya, formulasi konsep minoritas juga diikuti oleh pemisahan dari apa yang disebut " indigenous people". Pemisahan ini dapat dilihat dari definisi yang diungkapkan oleh Jose Martines Cobo: