Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1930-1939

Tabel 2: Perpindahan orang Yahudi ke Palestina antara tahun 1930-1939

Tahun

Jumlah Orang Yahudi yang Pindah

Sumber: Harun Yahya, Palestina Zionisme dan Terorisme Israel, 2005, hal. 55.

Pada tahun 1931, Dunia Islam mulai menaruh konsentrasi terhadap masalah Palestina, hingga digelarlah Konferensi Umat Islam di Yerusalem. Dalam konferensi ini hadir 22 delegasi dari berbagai daerah, termasuk diantaranya M. Rasyid Ridha dari Mesir, Shakib dari Arslan dari Libahon, Muhammad Iqbal dari Pakistan, Syaukat Ali dari India, Abdul Aziz ats Tsalibi dari Tunisia, Djia ad Din al Thabathaba’i dari Iran, dan Syukri al Kutili dari Syiria. Konferensi Umat Islam Pada tahun 1931, Dunia Islam mulai menaruh konsentrasi terhadap masalah Palestina, hingga digelarlah Konferensi Umat Islam di Yerusalem. Dalam konferensi ini hadir 22 delegasi dari berbagai daerah, termasuk diantaranya M. Rasyid Ridha dari Mesir, Shakib dari Arslan dari Libahon, Muhammad Iqbal dari Pakistan, Syaukat Ali dari India, Abdul Aziz ats Tsalibi dari Tunisia, Djia ad Din al Thabathaba’i dari Iran, dan Syukri al Kutili dari Syiria. Konferensi Umat Islam

Pada tahun 1935 partai-partai politik Palestina dengan maksud untuk membulatkan perjuangan nasional telah bergabung dalam suatu front yaitu panitia Arab tertinggi. Pada tanggal 26 November 1935, panitia ini memajukan suatu nota kepada pemerintah Inggris, berisi tuntutan-tuntutan sebagai berikut : (1) Membentuk suatu pemerintahan nasional yang bertanggung jawab kepada parlemen. (2) Menghentikan sama sekali pemindahan kaum Yahudi ke Palestina. (3) Melarang penjualan tanah kepada kaum Yahudi.

Sebagai jawaban atas nota Arab ini, menteri jajahan Inggris mengusulkan sebagai langkah pertama menuju pemerintahan demokrasi, supaya dibentuk suatu dewan Legislatif yang terdiri dari 28 anggota: 5 dari kalangan pegawai, 2 dari kalangan pedagang, 11 dari kalangan Islam di antaranya 8 dipilih dan 3 diangkat,

7 dari golongan Masehi diantaranya 5 dipilih dan 2 diangkat. Akan tetapi usul ini ditolak Inggris (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 16). Mereka juga mulai menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyuarakan hak keadilan kepada pemerintah Inggris. Mereka mulai menempatkan Inggris sebagai musuh Palestina.

Pada bulan April tahun 1936 Panitia Arab tertinggi memajukan lagi pada pemerintah Inggris tuntutan-tuntutannya seperti yang telah dimajukannya pada bulan November 1935. Pada kali ini tuntutan-tuntutanya itu diiringi dengan suatu pemogokan umum di seluruh Palestina. Pada tanggal 5 Mei 1936 pemogokan ini berubah menjadi bentrokan. Antara rakyat dengan alat-alat kekuasaan negara terjadi bentrokan dan perkelahian yang menumpahkan darah. Untuk memadamkan pemberotakan bersenjata ini, pemerintah Inggris disamping menurunkan kekuatan polisi biasa, telah menurunkan pula pasukan-pasukan polisi istimewa yang kebanyakan orang-orang Yahudi dan 100.000 tentara Inggris yang diperlengkapi dengan alat-alat senjata modern termasuk pesawat udara, tank, dan sebagainya.

Telah enam bulan pemberontakan berlangsung dengan sengitnya akan tetapi belum dapat dipadamkan, meskipun Inggris mempergunakan cara-cara kekejaman yang luar biasa (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 17). Untuk memadamkan pemberontakan itu, permintahan Inggris membujuk pemimpin spiritual Palestina Muhammad Amien Husein agar menginstrusikan kepada rakyat Palestina mengakhiri aksinya. Pemerintah protektoral Inggris waktu itu juga menjanjikan akan menyelesaikan masalah Palestina bila Amien Husein bersedia menggunakan pengaruhnya terhadap rakyat Palestina. Amien Husein, dengan jaminan Inggris dan atas nama solidaritas dengan negara Arab, memenuhi permintaan tersebut dan aksipun kemudian berhenti.

Untuk meredakan perlawanan bangsa Arab Palestina yang menentang imigrasi Yahudi dan menuntut berdirinya negara Arab Palestina merdeka Inggris menggunakan kebijakan lain. Oleh karena dengan cara kekerasan fisik tidak membawa hasil, maka untuk menyelesaikan masalah Palestina, pemerintah Inggris mencoba meredakan suasana dengan cara-cara lain, diantaranya:

a) Mengirim Misi Peel Reaksi resmi Inggris terhadap manifestasi nasionalisme Arab tetap tidak

berubah. Setelah datangnya krisis yang bertubi-tubi, sebuah Komisi dikirim ke Palestina untuk melakukan penyelidikan. Pada tanggal 27 Agustus 1936 pemerintah Inggris mengirimkan ke Palestina suatu misi yang terkenal dengan Misi Peel, untuk menyelidiki sebab-sebab terjadi keributan dan mengajukan usul- usul kepada pemerintah Inggris mengenai masalah Palestina. Misi ini mencoba mendekati bangsa Arab akan tetapi tidak berhasil. Kaum pemberontak tidak mau meletakkan sejatanya.

Amir Abdullah dari Yordania dan Nuri Pasha As Said dari Irak (keduanya terkenal sebagai sahabat Inggris) bertindak sebagai perantara dan telah mencoba membujuk bangsa Arab Palestina untuk meletakkan senjata, akan tetapi usaha merekapun tidak berhasil. Kaum pembrontak yang yang dipimpin oleh Fauzi Al Qauqji terus mengangkat panji-panji Jihad untuk mencapai kemerdekaan Palestina. Akan tetapi, atas seruan raja-raja Arab untuk menghentikan penumpahan darah dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan dengan cara Amir Abdullah dari Yordania dan Nuri Pasha As Said dari Irak (keduanya terkenal sebagai sahabat Inggris) bertindak sebagai perantara dan telah mencoba membujuk bangsa Arab Palestina untuk meletakkan senjata, akan tetapi usaha merekapun tidak berhasil. Kaum pembrontak yang yang dipimpin oleh Fauzi Al Qauqji terus mengangkat panji-panji Jihad untuk mencapai kemerdekaan Palestina. Akan tetapi, atas seruan raja-raja Arab untuk menghentikan penumpahan darah dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan dengan cara

Setelah Misi Peel mengadakan peninjauan beberapa bulan di Paletina, misi ini menyampaikan laporannya kepada pemerintah Inggris. Misi Peel ini mengusulkan supaya Palestina dibagi menjadi tiga daerah (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 19) :

1. Daerah tepi pantai sebelah utara (daratan rendah yang amat subur) mulai dari Tel Aviv dan daerah Galilea utara termasuk pelabuhan Heifa dan Akka, dijadikan negara Yahudi.

2. Daerah lain yang tidak termasuk dalam daerah yang tersebut diatas, digabungkan dengan Yordania menjadi satu negara Arab.

3. Tempat suci di Yerusalem, Betlehem dan Nazaret dengan suatu coridor ke Jaffa, merupakan daerah yang berlangsung dibawah mandat Inggris. Diusulkan juga supaya negara Arab dan negara Yahudi yang akan dibentuk itu harus terikat dengan pemerintah Inggris dengan dua perjanjian yang terpisah-pisah, dengan perjanjian kedua negara tersebut tetap berada dibawah mandat Inggris.

Pada waktu diumumkan usul Misi Peel, penolakan orang-orang Arab terhadap rencana pemisahan itu langsung terjadi, dan salah satu alasan mereka adalah pengalihan tersebut dilakukan secara paksa. Orang-orang Yahudi setuju pada rencana pemisahan tersebut, walaupun negara kecil yang diberikan pada mereka amat terlalu kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan mereka (Karen Amstrong, 2006: 179).

Pada tanggal 7 Juni 1937 usulan Misi Peel disampaikan kepada Panitia Mandat Lembaga Bangsa-Bangsa. Panitia ini pada prinsipnya juga memperkuat usul untuk meletakan negara Arab dan negara Yahudi dibawah mandat Inggris dan menunda kemerdekaan negera-negara tersebut untuk sementara waktu. Panitia

Mandat Lembaga Bangsa-Bangsa tersebut meminta kepada Pemerintah Inggris untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang perlu buat melaksanakan prinsip pembagian Palestina itu. Untuk ini pemerintah Inggris membentuk suatu komisi dibawah pimpinan Woodhead (komisi Woodhead) untuk mempelajari rencana Misi Peel mengenai pembagian Palestina itu (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 20).

Sebagai reaksi atas rencana pembagian itu, di sana timbul lagi huru-hara yang lebih dasyat dari huru-hara yang terjadi pada tahun 1936. Pergerakan muslim Palestina semakin memuncak dalam sebuah aksi massal, hingga membuat kalang kabut Inggris di Palestina. Aksi ini di gelar tahun 1938 yang dikenal dengan nama ”Revolusi Kubra”. Akan tetapi Huru-Hara ini akhirnya dapat ditindas juga oleh Inggris dengan kekerasan dan kekejaman.

Pada bulan Oktober 1938 komisi Woodhead menyampaikan laporannya kepada pemerintah Inggris. Menurut pendapat komisi ini bahwa penyelesaian masalah Palestina yang didasarkan atas pokok pikiran membagi-bagi Palestina kepada negara Arab dan negara Yahudi adalah suatu hal yang tidak mungkin, karena komisi Woodhead melihat ada tentangan yang amat hebat dari pihak Arab terhadap pembagian Palestina. Akhirnya pemerintah Inggris terpaksa mencabut kembali ketetapannya untuk membagi-bagi Palestina (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 21).

b) Konferensi London Konferensi berlangsung di London ( Februari dan Maret 1939). Para

delegasi Arab dan Yahudi mengadakan pertemuan terpisah karena delegasi Arab Palestina menolak duduk dengan delegasi Yahudi. Namun, konferensi ini tidak menghasilkan kesepakatan karena pihak masing-masing tetap teguh pada pendiriannya. Para delegasi Arab mengulangi tuntutan mereka atas kemerdekaan dan penghentian imigrasi Yahudi. Delegasi Yahudi menekankan diteruskannya pelaksanan imigrasi. Proposal Inggris yang bersifat kompromis ditolak kedua belah pihak sehingga konferensi dibubarkan tanpa menghasilkan suatu kemufakatan (George Lenczowski, 1993: 243).

Dalam konferensi itu delegasi Yahudi tidak hanya terdiri atas Zionis dan Agen Yahudi, tetapi juga para tokoh Yahudi yang terkemuka lainnya dari Inggris,

Amerika Serikat, dan Eropa. Delegasi bangsa arab Palestina terdiri dari wakil- wakil negara-negara Arab merdeka, yaitu Mesir (Amir Abd al Mun’in), Saudi Arabia (Amir Faisal), Yaman ( Saiful Islam Amir Husein), Irak (Nurl as Said) dan Yordania (Taufiq Abu Al Huda).

c) Naskah Putih Inggris Tahun 1939 Oleh karena pada waktu itu Inggris hampir diambang pintu Perang Dunia

II dan menginginkan adanya ketentraman di Palestina, maka pada tanggal 17 Mei 1939 pemerintah Inggris mengeluarkan ”Buku Putih”(Naskah Putih) yang kesimpulannya ada sebagai berikut :

1) Dengan terang dan tegas bahwa pemerintah Ingris tidak mempunyai maksud untuk mendirikan negara yahudi di Palestina. Disamping ini pemerintah membantah anggapan bahwa pemerintah Inggris mepunyai maksud untuk menggabungkan Palestina kepada salah satu negara Arab.

2) Pemerintah Inggris bermaksud akan mendirikan di Palestina suatu pemerintahan yang merdeka yang terdiri dari Arab dan Yahudi, dengan kepentingan kedua belah pihak dapat terjamin. Pemerintah ini akan didirikan dalam waktu sepuluh tahun, atas dasar suatu perjanjian yang diikat dengan Inggris, dimana kepentingan dari kedua belah pihak dapat terjamin, baik mengenai strategi maupun mengenai perdagangan. Untuk mencapai maksud ini, pemerintah Inggris berusaha supaya rakyat Palestina dapat turut serta dalam memikul tanggung jawab dalam sebagian besar jabatan-jabatan pemerintah. Apabila keamanan dan ketentraman sudah cukup terpelihara, akan diserahkan pada rakyat Palestina sendiri nanti departemen- departemen pemerintah dengan mendapat petunjuk-petunjuk dari penasehat-penasehat Inggris, di bawah pengawasan komisaris tinggi Inggris. Dari bibit-bibit inilah nanti akan dapat ditumbuhkan suatu dewan menteri. Sesudah lima tahun keadaan berjalan dengan baik, suatu komisi yang terdiri dari wakil-wakil rakyat Palestina 2) Pemerintah Inggris bermaksud akan mendirikan di Palestina suatu pemerintahan yang merdeka yang terdiri dari Arab dan Yahudi, dengan kepentingan kedua belah pihak dapat terjamin. Pemerintah ini akan didirikan dalam waktu sepuluh tahun, atas dasar suatu perjanjian yang diikat dengan Inggris, dimana kepentingan dari kedua belah pihak dapat terjamin, baik mengenai strategi maupun mengenai perdagangan. Untuk mencapai maksud ini, pemerintah Inggris berusaha supaya rakyat Palestina dapat turut serta dalam memikul tanggung jawab dalam sebagian besar jabatan-jabatan pemerintah. Apabila keamanan dan ketentraman sudah cukup terpelihara, akan diserahkan pada rakyat Palestina sendiri nanti departemen- departemen pemerintah dengan mendapat petunjuk-petunjuk dari penasehat-penasehat Inggris, di bawah pengawasan komisaris tinggi Inggris. Dari bibit-bibit inilah nanti akan dapat ditumbuhkan suatu dewan menteri. Sesudah lima tahun keadaan berjalan dengan baik, suatu komisi yang terdiri dari wakil-wakil rakyat Palestina

3) Ditetapkan untuk memberi keizinan kepada 100.000 orang Yahudi untuk pindah ke Palestina dalam masa lima tahun, yaitu antara tahun 1939 dan tahun 1944. Sesudah tahun 1944 dilarang sama sekali pemindahan orang-orang Yahudi ke Palestina.

4) Dilarang menjual tanah kepada orang-orang Yahudi di daerah- daerah yang padat penduduknya. Dan akan ditentukan beberapa daerah penduduk diberi izin untuk menjual tanah-tanahnya kepada orang-orang Yahudi di bawah pengawasan pemerintah, apabila penjualan itu membawa keuntungan kepada kedua belah pihak. Dan akan ditentukan pula daerah-daerah dimana penjualan tanah kepada orang-orang Yahudi diizinkan dengan tidak bersyarat (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 22-24).

Menanggapi kebijakan ini, bangsa Palestina tetap menaruh keraguan, sebab setiap kali Inggris berjanji selalu mengingkari, mereka juga tidak puas dengan British White Paper yang dikeluarkan. Yahudi dengan serta merta juga langsung menolak mentah-mentah keputusan British White Paper tersebut. Kebijakan Inggris menjadi sia-sia, sehingga situasi politik di Palestina pun semakin keruh dan memanas (Abu Bakar, 2008: 245). Diambang pecahnya perang dunia ketergantungan internasional memuncak dan membuat Inggris mencoba menerapkan politik rekonsiliasi terhadap dunia Arab untuk menjaga keutuhan garis kehidupan imperium Inggris yang rawan (George Lenczowski, 1993: 244).

2. Pada Masa Perang Dunia II

Pada saat pecahnya Perang Dunia II, September 1939 kedua belah yang bertentangan Yahudi dan Arab Palestina belum dapat dirujukan dan Inggris lebih bertekad untuk menjalankan kebijakan baru di Palestina dan mencegah pecahnya pemberontakan Arab di Timur Tengah. Dalam Perang Dunia II ini Inggris terlibat perang besar menghadapi Jerman. Mufti al Hajj Amin (pemimpin spiritual Palestina) mulai melirik Jerman sebagai negara musuh Inggris dan paling anti semit di Eropa. Dalam usaha tersebut, Amin berhasil melibatkan 100 pemuda Palestina dalam latihan perang bersama Jerman. Di sisi lain, ia juga berhasil menyelundupkan 30.000 senapan ke Libya untuk perang mengadapi Inggris dan Yahudi di Palestina. Namun, pihak Sekutu terutama Prancis, berhasil menghancurkan Jerman dan Italia pada Perang Dunia II. Hal ini tentu tidak menguntungkan posisi Palestina, sehingga cukup mudah Inggris mementahkan gerakan Amin. Pada saat yang bersamaan, Zionisme telah memanfaatkan isu anti Semit di Jerman untuk memperoleh simpati internasional, terutama dari Amerika (Abu Bakar, 2008: 245-246).

Pada Perang Dunia II Inggris dalam menghadapi Jerman (pihak poros) melibatkan bangsa Arab Palestina maupun Yahudi untuk berperang di pihak Sekutu (Inggris). Selama Perang Dunia II ada 12.000 orang Arab Palestina yang terdaftar dan masuk angkatan bersenjata Inggris guna memerangi pihak poros. Bantuan yang diberikan bangsa Arab Palestina kapada Inggris dalam Perang Dunia II dikarenakan pemerintah Inggris berjanji kepada bangsa Arab Palestina untuk mengakui prinsip pembentukan ”Negara Kesatuan Palestina” yang akan mendapatkan kemerdekaannya dalam waktu 10 tahun seraya menentukan segera dimulainya pembentukan suatu majelis legislatif, pembatasan orang-orang Yahudi dan penetapan peraturan-peraturan yang melarang penjualan tanah-tanah rakyat Arab Palestina kepada pendatang-pendatang Yahudi di beberapa daerah Palestina. Akan tetapi Inggris tidak sungguh-sungguh dalam janjinya, maka Inggris tidak melaksanakan apa dari rekomendasi yang ia buat sendiri itu (Chefik Chehab, 1980: 12).

Perang Dunia II ini menyebabkan Palestina berada dalam keadaan gencatan senjata buatan, terutama karena kehadiran banyak divisi sekutu di Palestina. Bila rakyat Arab Palestina memutuskan perang gerilyanya, itu akan berarti tindakan bunuh diri bagi mereka, karena mereka akan menghadapi tentara sekutu. Di tengah kemelut Perang Dunia II dan krisis Timur Tengah, organisasi Zionisme mulai melakukan perampasan tanah penduduk Palestina. Hal ini dilakukan untuk mengeluarkan serta menggantikan bangsa Arab dengan orang Yahudi.

Pada 11 Mei 1942 organisasi Zionis Amerika bersidang di New York dan menghasilkan Program Baltimore yang diajukan oleh David Ben Gurion, ketua komisi eksekutif agen Yahudi. Zionis berhasil memperoleh dukungan partai Republik dan partai Demokrat di Amerika Serikat. Program Biltimore berisi (1) pendirian negara Yahudi mencakup seluruh Palestina, (2) pembentukan militer Yahudi dan (3) penolakan naskah putih 1939 dan diteruskannya imigrasi tak terbatas ke Palestina yang tidak hanya di awasi oleh Inggris, tetapi juga oleh Agen Yahudi (George Lenczowski, 1993: 245). Dengan demikian menunjukan betapa besar pengaruh Zionisme atas penguasa-penguasa pemerintahan Amerika Serikat, sampai ke tingkat tinggi yaitu parleman.

Tindaklah sulit untuk di mengerti bahwa mulai ada kerjasama antara Amerika Serikat dan Inggris dalam pembentukan negara Israel. Pada tahun 1943 Perdana Menteri Inggris, Winston Churchil merestui pembentukan suatu pasukan Yahudi yang ditempatkan dalam tentara Inggris sebagai satuan tersendiri. Hal ini adalah langkah pertama untuk memungkinkan kaum zionis mempersiapkan diri secara militer guna merebut tanah Palestina dari bangsa Arab Palestina pada kesempatan nanti. Winston Churchil pulalah yang menyetujui di bentuknya pasukan-pasukan komando yang terkenal dengan nama ”Palmach” yang dilatih keras dalam berbagai macam sabotase dan pengrusakan (Chefik Chehab, 1980: 14).

Gencatan senjata berakhir sampai tahun 1943. Pada tahun itu Palestina dilanda terorisme baru, namun kali ini Yahudilah yang melakukan serangan. Sasaran utamanya ialah pemerintah Inggris. Ada dua faktor yang menyebabkan Gencatan senjata berakhir sampai tahun 1943. Pada tahun itu Palestina dilanda terorisme baru, namun kali ini Yahudilah yang melakukan serangan. Sasaran utamanya ialah pemerintah Inggris. Ada dua faktor yang menyebabkan

Pada tahun 1943, Menacnem Begin mengambil alih komando Irgum Zvai Leumi tentara militer kaum Revolusioner, dan dua bulan kemudian memulai serangkaian kegiatan teroris melawan pemerintah Inggris. Begin menolak label teroris itu, walaupun ia mengutuk pembunuhan, ia meledakkan kantor-kantor CID (Criminal Investigation Department, Departemen Investigasi Kriminal), pusat- pusat pajak dan gedung imigrasi, menanam bom-bom, memimpin berbagai serbuan yang menewaskan banyak penduduk sipil maupun Arab.

Organisasi teroris yang lain adalah Lehi, dipimpin oleh Avra Stern dan oleh Inggris disebut ”Stern Gang”, Stern sendiri terbunuh pada tahun 1942. Tapi Yitzhak Shamir, yang kemudian menjadi perdana menteri Israel di tahun 1986, terus bekerja untuk organisasi tersebut. Begin membenci kelompok Stern karena metode-metodenya kasar. Begin tidak sama sekali memiliki kaitan opperasi- operasi dengan Lehi. Namun, Kedua kelompok segera bergerak bersama-sama menyusul sebuah pembunuhan di tahun 1944 oleh Stern Gang terhadap Lord Moyne menteri Inggris untuk urusan Timur Tengah (Karen Amstrong, 2006: 181).

Penyerangan yang terus menerus dilakukan oleh Irgum dan Stern terhadap markas besar polisi dan pemerintahan sipil maupun militer Inggris mengakibatkan merosotnya keamanan dan ketertiban di tanah Palestina. Tindakan teror ini Penyerangan yang terus menerus dilakukan oleh Irgum dan Stern terhadap markas besar polisi dan pemerintahan sipil maupun militer Inggris mengakibatkan merosotnya keamanan dan ketertiban di tanah Palestina. Tindakan teror ini

3. Pada Pasca Perang Dunia II

a. Komisi Penyelidikan Inggris – Amerika Serikat Pada tanggal 31 Agustus 1945 Presiden Truman mengajukan permintaan kepada perdana menteri Inggris Clement Attle, untuk memasukan 100.000 pelarian Yahudi ke Palestina. Dalam tanggapannya, Inggris mengusulkan untuk membentuk komisi penyelidik Inggris-Amerika guna mempelajari masalah Yahudi, jadi mengalihkan sebagian dari beban tanggung jawab Inggris kepada Amerika. Anjuran Inggris ini diterima baik oleh Washington. Kedua pemerintah membentuk suatu panitia yang terdiri dari anggota-anggota yang bukan pegawai kedua negara itu.

Komisi gabungan itu mengadakan dengar pendapat di London dan Washington, mengunjungi kamp-kamp orang terlantar di Amerika, Jerman Barat dan Austria serta melakukan perjalanan ke negara-negara Arab. Setelah mengadakan peninjauan di Amerika, Eropa, dan negara-negara Arab, maka pada tanggal 20 April 1946 panitia tersebut mengajukan usul-usul mengenai penyelesaian masalah Yahudi itu. Kesimpulan dari usul-usul itu adalah sebagai berikut: (1) Palestina diletakkan dibawah perwalian PBB, sementara itu pemerintah mandat yang sekarang diteruskan, (2) Pemasukan 100.000 Yahudi korban Nazi dan Fasis diteruskan dan (3) Pembatalan peraturan untuk membatasi penjualan tanah kepada orang-orang Yahudi (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 26-27).

Amerika Serikat dan Inggris tidak menerima atau menolak rekomendasi tersebut. Kemudian kedua pemerintah itu membentuk sebuah komisi Inggris- Amerika baru yang terdiri dari pejabat tinggi untuk mencari jalan bagi pelaksanaan rekomendasi itu. Sebagai hasilnya panitia ini telah mengajukan suatu rencana yang terkenal dengan Grandy Morrison Plan.

Pokok pikiran yang dipakai oleh komisi Inggris-Amerika ini untuk memecahkan masalah Palestina adalah pembagian Palestina seperti yang pernah dikemukakan Misi Peel dahulu. Lebih jelas komisi ini mengusulkan supaya di Palestina dibentuk suatu negara Federal yang terdiri dari negara Arab dan negara Yahudi. Sedangkan masalah pemindahan kaum Yahudi ke Palestina bergantung atas persetujuan bersama, pihak Arab dan pihak Yahudi

Sudah tentu karena penyelesaian ini berdasar atas pembagian, rencana Grady Morrison itu tidak dapat diterima oleh bangsa Arab. Pihak Yahudi sendiri rupanya sangat kecewa dengan usulan penyelidikan Inggris-Amerika ini. Setelah gagalnya usaha panitia penyelidikan Inggris –Amerika itu, Lembaga Arab menuntut kepada pemerintah Inggris untuk membuka suatu perundingan untuk menyelesaikan masalah Palestina, dengan sugesti harapan bahwa apabila didalam perundingan itu tidak bisa juga dicapai persetujuan, maka baiklah masalah itu dimajukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Usulan lembaga Arab ini diterima baik oleh pemerintah Inggris. Pada tahun 1946 berlangsunglah konferensi antara pemerintah Inggris dan wakil-wakil negara-negara Arab. Dalam konferensi itu pemerintah Inggris memajukan rencana yang berdasar atas (1) pembagian Palestina (pembentukan suatu negara ini terdiri dari negara Arab dan negara Yahudi ), (2) pembukaan terus pintu Palestina kepada imigran Yahudi dan (3) diteruskanya mandat Inggris atas Palestina.

Rencana Inggris ini ditolak oleh pihak Arab. Kemudian pihak Arab memajukan usulan balasan yang berdasar atas pokok-pokok yang tersebut ini : (1) kemerdekaan Palestina, (2) penghapusan mandat, (3) turutnya bangsa Arab dan Yahudi yang telah menjadi warga negara Palestina dalam pemerintahan yang baru atas dasar perimbangan jumlah penduduk, (4) jaminan yang cukup terhadap gologan-golongan kecil (minoritas) mengenai agama dan hak-hak sipil, demikian juga terhadap tempat-tempat suci, (5) pemberhentian imigrasi ke Palstina dan (6) larangan menjual tanah dari orang-orang Arab kepada orang-orang Yahudi (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 28).

Usulan pihak Arab ini ditolak oleh Inggris. Kalau sekiranya Inggris memang benar-benar jujur dan betul-betul hendak ingin menyelesaikan masalah

Palestina, sudah selayaknya usul pihak itu diterima, karena usul ini pada prinsipnya tidak berbeda dengan rencana Inggris yang telah ditetapkan dalam naskah putih Inggris 1939. Hal ini menunjukan bahwa Inggris tidak menghendaki berdirinya negara Palestina merdeka, tetapi Inggris lebih mendukung pihak Yahudi yang ingin mendirikan tanah airnya di tanah Palestina.

Inggris memajukan usul balasan sebagai berikut (1) pemindahan Yahudi ke Palestina diterusakan menurut kesanggupan Palestina untuk menerimanya, dengan ketentuan bahwa 200.000 orang Yahudi harus dimasukan ke Palestina dalam masa dua tahun dan (2) Palestina akan merdeka dalam masa lima tahun, dengan syarat harus terdapat persetujuan antara bangsa Arab dan Yahudi mengenai undang-undang dasar. Usul Inggris yang baru ini ditolak oleh pihak Arab. Dengan kata lain konferensi ini mengami kegagalan (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 29).

Pada tahun 1946, presiden Amerika Serikat Harry S Truman terus menekan Inggris agar memberikan izin masuk bagi 100.000 Yahudi korban Nazi Hitler di Jerman. Inggris tetap menolak, tentunya demi kepentingan politik dan ekonomi di Timur Tengah. Disisi lain, Yahudi mulai melakukan pemberontakan dan perlawanan melalui aksi terorisme terhadap kepentingan Inggris, seperti kelompok Irgum dan Lehi atau Stern Gang. Pada tahun tersebut, Stern Gang melakukan aksi pengeboman di King David Hotel. Dilaporkan, aksi teror ini telah menewaskan sebanyak 91 orang yang terdiri atas 41 orang Arab, 28 orang Inggris,

17 orang Yahudi serta korban lain. Setahun kemudian, mereka kembali melemparkan bom ke Semiramis Hotel dan berhasil membunuh 22 muslim dan membantai 254 penduduk Deir Yasin. Mereka juga membunuh Count Folke Bernadotte, seorang wakil khusus PBB di Palestina. Bangsa Yahudi benar-benar telah menciptakan masalah berskala internasional dan menjadi biang masalah di Palestina (Abu Bakar, 2008: 246).

b. Masalah Palestina Dalam PBB dan Berdirinya Negara Israel Terdorong oleh tekanan Amerika Serikat dan karena terdesak dalam persengketaannya, baik oleh pihak Arab maupun oleh pihak Yahudi ditambah pula oleh keadaan keamanan Palestina yang makin hari makin buruk, akhirnya b. Masalah Palestina Dalam PBB dan Berdirinya Negara Israel Terdorong oleh tekanan Amerika Serikat dan karena terdesak dalam persengketaannya, baik oleh pihak Arab maupun oleh pihak Yahudi ditambah pula oleh keadaan keamanan Palestina yang makin hari makin buruk, akhirnya

Pada tanggal 2 April 1947, Inggris membawa masalah Palestina ke hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Inggris memohon seksi khusus Majelis umum untuk menangani masalah ini. Majelis yang bersidang antara 28 April dan

15 Mei 1947, membentuk komisi khusus PBB bagi Palestina (UNSCOP). Komisi ini, yang terdiri atas sebelas negara untuk mempelajari masalah Palestina dan mengemukakan pendapatnya kepada sidang umum yang akan datang. Panitia itu terdiri dari negara-negara kecil yaitu Austria, Kanada, Chekoslovakia, Swedia, Uruguai, Guatemala, India, Iran, Belanda, Peru dan Yugoslavia dibawah pimpinan delegasi Swedia.

Pada bulan September 1947 panitia istimewa PBB untuk Palestina memajukan laporannya kepada sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Laporan komisi menyarankan pembentukan segera Palestina yang bersatu secara ekonomi dan merdeka dan akan melewati masa transisi dibawah pengawasan PBB. Disini aklamasi berakhir dan laporan itu kemudian dibagi ke dalam rencana mayoritas dan rencana minoritas. Rencana mayoritas yang disokong oleh Kanada, Cekoslovakia, Guatemala, Belanda, Peru, Swedia dan Uruguay mengusulkan untuk membagi Palestina menjadi negara Arab, negara Yahudi, dan meletakkan Yerusalem (Baitul Maqdis) dibawah perwalian PBB.

Rencana minoritas disokong oleh India, Iran dan Yugoslavia mengusulkan negara federasi Palestina yang terdiri atas dua negara yaitu negara Arab dan negara Yahudi, masing-masing mendapat otonomi lokal. Imigrasi ke negara Yahudi akan diizinkan selama tiga tahun sampai mencapai daya serapannya, yang akan ditetapkan oleh tiga wakil Arab, tiga wakil Yahudi dan tiga dari PBB. Negara-negara Arab lebih setuju pada rencana minoritas ini karena dianggap memuaskan kehendak dasar mereka, yaitu sebuah negara merdeka dengan Rencana minoritas disokong oleh India, Iran dan Yugoslavia mengusulkan negara federasi Palestina yang terdiri atas dua negara yaitu negara Arab dan negara Yahudi, masing-masing mendapat otonomi lokal. Imigrasi ke negara Yahudi akan diizinkan selama tiga tahun sampai mencapai daya serapannya, yang akan ditetapkan oleh tiga wakil Arab, tiga wakil Yahudi dan tiga dari PBB. Negara-negara Arab lebih setuju pada rencana minoritas ini karena dianggap memuaskan kehendak dasar mereka, yaitu sebuah negara merdeka dengan

Pada tanggal 8 Oktober 1947 dengan tidak diduga-duga sama sekali, Uni Soviet menyatakan pendiriannya mengenai penyelesaian masalah Palestina ini, yaitu menyokong rencana pembagian Palestina. Pernyataan Uni Soviet ini menimbulkan keheranan dan kekecewaan yang amat besar dikalangan bangsa Arab. Adapun faktor-faktor yang menjadi Back Ground dari pada politik Soviet ini, diantaranya sebagai berikut Pertama, Rusia ingin supaya secepatnya kekuasaan Inggris lenyap dari Palestina dengan tujuan bahwa vaccum di Palestina itu kalau-kalau dapat diisinya. Kedua, Rusia yakin bahwa rencana pembagian itu tentu tidak akan diterima oleh bangsa Arab. Dengan demikian suatu pertempuran bersenjata pasti akan terjadi antara bangsa Arab dan Yahudi. Didalam keadaan kacau nanti Rusia akan mengambil kesempatan untuk mengirim pasukan- pasukannya ke Palestina, untuk membantu Yahudi Palestina pada taraf pertama dan untuk menjadi pelopor dari pada infiltrasi politiknya pada taraf kedua. Ketiga, dengan diletakkannya Yerusalem atau Baitul Maqdis dibawah pengawasan internasional, Rusia ingin mengambil kesempatan untuk menanam kukuhnya disana dengan legitimasi PBB. Pendeknya dengan jatuhnya Palestina kedalam kekuasaan Yahudi, Rusia hendak mencoba mempergunakannya sebagai batu loncatan kedaerah-daerah pedalaman Timur Tengah yang lain yang kaya minyak ataupun dengan tempat-tempat yang strategis.

Disusul pada tanggal 21 Oktober 1847 Mr. Herschel Jonson wakil tetap Amerika Serikat dalam PBB dalam suatu rapat panitia Ad Hoc sidang umum PBB menyatakan bahwa pemerintahan Amerika Serikat menyokong rencana pembagian Palestina kepada negara Arab dan negara Yahudi. Pada hari itu juga enam orang dari wakil-wakil negara Arab mengeluarkan suatu statement dimana mereka menyatakan keheranannya terhadap sikap Amerika Serikat mengenai penyelesaian masalah Palestina yang tidak adil. Dengan tercapainya persetujuan antara kedua negara besar ini, sudah dapat dikatakan bahwa rencana pembagian

Palestina itu akan mendapat persetujuan sidang umum PBB (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 32-34).

Amerika Serikat dan Uni Soviet sama-sama memberi suara dukungan terhadap resolusi mengenai pembagian dengan penyatuan secara ekonomi. Kesepakatan seperti ini tidaklah biasa. Inggris mengumumkan pihaknya tidak akan menerima tanggung jawab menjalankan rencana apapun yang tidak bisa diterima baik pihak Arab maupun pihak Yahudi. Perwakilan Inggris mengatakan pada komite Majelis Umum bahwa pasukannya akan segera dievakuasi tidak lebih dari tanggal 1 Agustus 1948. Disetujui bahwa mandat tersebut akan berakhir pada tanggal tersebut, tapi dipikirkan bahwa usul pengakuan bagi negara Arab dan Yahudi tersebut tidak akan diberikan hingga dua bulan kemudian. Selama masa itu, bagaimanapun PBB yang akan bertanggung jawab dan Majelis Umum memintan pada Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan seperlunya untuk mengimplementasikan rencana pemisahan tersebut (Philip G. Jessup, 2006: 353).

Pada bulan November 1947 usul-usul UNSCOP mengenai penyelesaian masalah Palestina diperdebatkan dalam panitia Ad Hoc sidang umum PBB mengenai rencana mayoritas dan minoritas. Pada tanggal 25 November 1947 panitia ini menyetujui rencana pembagian Palestina yang diusulkan oleh rencana mayoritas dari UNSCOP. Pada tanggal 29 November 1947, tanggal kemenangan dalam sejarah bangsa Yahudi, Majelis Umum memutuskan pembagian Palestina berdasarkan kesatuan ekonomi seperti yang dilaporkan oleh rencana mayoritas Hasilnya dikeluarkanlah resolusi PBB No. 181 tahun 29 November 1947 yang menegaskan pembagian tanah Palestina menjadi dua bagian yaitu negara Arab dan Yahudi.

Negara Arab mencakup bagian tengah dan bagian timur Palestina, dari Lembah Esdraelon ke Beersheba, Galilea Barat dan sepanjang Mediterania dan Gaza Selatan serta sepanjang perbatasan Mesir sampai Laut Merah. Negara Yahudi mencakup Yaffa, Galilea Timur sampai Lembah Esdraelon, daerah pantai dari Haifa hingga ke selatan Yaffa dan sebagian besar Negeb. Yerusalem dan Bethlehem tidak termasuk dalam kedua negara, dan berada dibawah pemerintahan yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwalian PBB. Majelis Umum juga Negara Arab mencakup bagian tengah dan bagian timur Palestina, dari Lembah Esdraelon ke Beersheba, Galilea Barat dan sepanjang Mediterania dan Gaza Selatan serta sepanjang perbatasan Mesir sampai Laut Merah. Negara Yahudi mencakup Yaffa, Galilea Timur sampai Lembah Esdraelon, daerah pantai dari Haifa hingga ke selatan Yaffa dan sebagian besar Negeb. Yerusalem dan Bethlehem tidak termasuk dalam kedua negara, dan berada dibawah pemerintahan yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwalian PBB. Majelis Umum juga

Pada acara pemungutan suara yang dilakukan, resolusi tersebut praktis tidak menemui hambatan yakni tercatat 33 negara mendukung, 13 menolak dan 10 abstain, sedang satu anggota tidak menghadiri sidang. Adapun negara-negara yang menyetujui rencana pembagian Palestina itu ialah Australia, Belgia, Bolivia, Brazilia, Rusia Putih, Kanada, Kostarika, Chekoslovakia, Denmark, San Domingo, Equador, Prancis, Haiti, Guatemala, Islandia, Liberia, Luxemburg, Belanda, New Zealand, Nikaraguai, Norwegia, Panama, Paraguai, Peru, Philipina, Polandia, Swedia, Ukraina, Afrika Selatan, Uni Soviet, Amerika Serikat, Uruguai dan Venezuela.

Negara yang menolak ialah Mesir, Afganistan, Kuba, Yunani, India, Iran, Irak, Suria, Libanon, Pakistan, Saudi Arabia, Yaman,dan Turki. Negara yang abstain ialah Argentina, Chili, Tiongkok, Kolombia, El Savador, Ethiopia, Honduras, Mexico, Inggris dan Yugoslavia. Sedangkan anggota yang tidak menghadiri sidang adalah Siam (M. Nur El Ibrahimy, 1955: 38).

Bangsa Arab merasa sangat kecewa terhadap Amerika Serikat karena kehadiran atau pengaruhnya membantu mengumpulkan suara yang cukup untuk menyokong pembagian Palestina itu. Amerika Serikat juga dicela “berkianat” terhadap banyak janjinya bahwa tidak akan ada keputusan tentang Palestina yang diambil tanpa persetujuan kedua belah pihak yang terlibat. Bangsa Arab meragukan kesahihan daya mengikat resolusi pembagian Palestina 29 November 1947 itu dari segi hukum. Mereka berargumentasi bahwa berdasarkan piagam PBB, majelis tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan yang mengikat tetapi hanya untuk memberikan rekomendasi.

Dalam sidang 29 November 1947 itu telah dibentuk United Nations Palestine Commission ( UNPAC), untuk melaksanakan keputusan PBB itu. Pada Desember 1947 mulailah terjadi pertempuran antara bangsa Arab dan Yahudi. Keadaan ini menyebabkan UNPAC tidak dapat melaksanakan tugasnya (Daliman, 1998: 150). Menghadapi kekerasan antara bangsa Arab Palestina dan Yahudi ini, pada 1 Januari 1948 Inggris menyatakan bahwa karena Arab dan Yahudi tidak menyetujui penyelesaian, ia tidak akan membantu PBB dalam melaksanakan rencana pembagian Palestina, akan mengakhiri mandatnya pada 15 Mei 1948, dan akan menentang masuknya komisi Palestina PBB ke negara ini (George Lenczowski, 1993: 251).

Pada bulan Februari 1948 Inggris sudah melakukan evakuasi dari sebagian besar daerah-daerah yang bagi orang-orang Yahudi, seraya menyerahkan daerah- daerah itu kepada penguasa-penguasa Yahudi. Inggris telah pula memberikan bantuan-bantuan yang lengkap dengan segala persenjataan kepada kaum Yahudi. Pelabuhan Tel Aviv jatuh ke tangan Yahudi, dimana ribuan imigran-imigran baru serta sejumlah senjata-senjata dan perlengkapan perang yang tak terhitung banyaknya telah masuk(Chefik Chehab, 1980: 14-15).

Oposisi Arab juga mempengaruhi Amerika Serikat. Pada 19 Maret Amerika Serikat menyatakan didepan Dewan Keamanan PBB bahwa bila pembagian Palestina tidak dapat dilaksanakan, Palestina seharusnya diawasi oleh perwalian sementara PBB. Berarti dalam masalah ini Amerika serikat mencoba menjilat ludahnya kembali yang sebelumnya setuju terhadap rencana pembagian Palestina. Keadaan Palestina pada waktu itu terjadi pertempuran antara bangsa Arab dan Yahudi, rupanya telah membuat pendirian Amerika Serikat manjadi goyah. Perubahan politik ini mendatangkan protes dari Zionis. Sidang khusus Dewan Keamanan lainya pada 16 April dan 15 Mei 1947 memperbincangkan proposal Amerika Serikat, namun gagal menghasilkan kesepakatan. Soviet, khususnya bersikeras atas pelaksanaan resolusi pembagian 29 November 1947. Akhirnya Majelis Umum menyarankan penunjukan mediator dan PBB bagi Yerusalem (George Lenczowski, 1993: 251).

Pada tanggal 14 Mei 1948 Inggris secara resmi mengakhiri mandatnya atas Palestina kemudian menarik pasukan terakhir dari negara ini. Pada hari yang sama Dewan Nasional di Tel Aviv memproklamasikan negara Yahudi Israel, dengan Chaim Weizmann sebabagai Presiden dan David Ben Gurion sebagai perdana menteri dengan berpijak pada legitimasi resolusi No. 181 pada 29 November 1947. Deklarasi itu di dihadiri sekitar 37 orang Yahudi. Satu hal menarik bahwa di antara 37 orang hanya seorang Yahudi lahir di Palestina, 35 kelahiran Eropa dan seorang lagi kelahiran Yaman (Abu Bakar, 2008: 252).

Beberapa jam kemudian negara baru itu diakui oleh presiden Truman atas nama pemerintah Amerika Serikat kemudian diikuti pula oleh Uni Soviet dan negara-negara barat lainnya, seperti Inggris dan Prancis sebagai sebuah negara merdeka. Dengan pengakuan negara-negara besar ini negara Israel mempunyai kedudukan yang kuat dalam dunia internasional. Selanjutnya negara baru Israel tersebut berhasil masuk menjadi anggota penuh PBB. Dengan berdirinya negara Israel tanggal 14 Mei 1948 di negara Palestina, maka perjuangan rakyat Palestina makin bertambah sulit. Apalagi negara Israel selalu mengintai untuk meluaskan daerahnya. Negara Arab waktu itu tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara (M Riza Sihbudi dan Achmad Hadi, 1992: 61).

Dokumen yang terkait

PENGGUNAAN MEDIA DAN KESENJANGAN KEPUASAN (Studi Tentang Tayangan Berita Liputan 6 Petang di SCTV dan Program Reportase Sore di Trans TV terhadap Kepuasan Menonton Siaran Berita Televisi dalam Usaha Mendapatkan Informasi yang Aktual di Kalangan Anggota DP

0 0 75

Perancangan papan landasan untuk aktivitas di kolong mobil (studi kasus : bengkel mobil cn world Banjarnegara) Skripsi

1 1 116

PEMASARAN POLITIK (POLITICAL MARKETING) PARTAI GOLONGAN KARYA DAN PARTAI DEMOKRAT (Studi Tentang Perbandingan Pemasaran Politik Partai Golkar dan Partai Demokrat Dalam Rangka Menarik Massa Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 di Daerah Pilihan II Kab

0 0 150

1 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Sekolah Menengah Internasional di Jakarta Dengan Penekanan Pada Green Architecture TUGAS AKHIR - Konsep perencanaan dan perancangan Sekolah Menengah Internasional di Jakarta dengan penekanan pada green architecture

4 17 55

Profil klub bola voli Yuso Yogyakarta tahun 2003-2007

2 4 56

Rumah susun dengan struktur hypar di Bantaran kali Pepe sebagai solusi hunian yang ekonomis bagi masyarakat lokal

0 2 35

ANALISIS TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA HOTEL TERHADAP BARANG MILIK PENYEWA ARCADE ( Studi di Hotel Sahid Kusuma Surakarta)

0 1 66

ANALISIS PEMODELAN TARIKAN PERGERAKAN DEPARTMENT STORE (Studi Kasus di Wilayah Surakarta) Trip Attraction Model Analysis for Department Strore (Case Study in Area Surakarta) SKRIPSI

1 4 118

Pelaksanaan payment point online bank (ppob) di PT. PLN (persero) area pelayanan dan jaringan Surakarta

1 1 112

Program acara lek-lekan solo di solo radio

0 2 118