Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENELANTARAN ANAK DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1726 KPid.Sus2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 498Pid.B2014PN.Rap” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dan pemahaman dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan fenomena penelantaran anak yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan berbagai pihak. Dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana

Kepustakaan hukum pidana ada mengenal istilah “tindak pidana”, merupakan istilah yang dipakai sebagai terjemahan dari bahasa Belanda strafbaarfeit. Sebenarnya, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian strafbaarfeit, antara lain 11 a. Peristiwa pidana, dipakai dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat 1; : b. Perbuatan pidana, dipakai misalnya oleh UU No. 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan Sementara, dan Cara Pengadilan-Pengadilan Sipil; c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, dipakai oleh UU Darurat No. 2 Tahun 1951 Tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke byzondere bapalingen; d. Hal yang diancam dengan hukum dan peraturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman, dipakai oleh UU Darurat No. 16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; e. Tindak pidana, dipakai oleh UU Darurat No. 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum, UU Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi dan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1964 Tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam Rangka Pemasyarakatan bagi Terpidana Karena Tindak Pidana yang Berupa Kejahatan. Moeljatno menerjemahkan istilah tindak pidana strafbaarfeit dengan perbuatan pidana. Istilah tindak pidana ini pun tidak disetujui oleh Moeljatno, antara lain karena “tindak” sebagai kata tidak begitu dikenal, maka perundang- undangan yang memakai kata “tindak pidana” baik dalam pasal-pasalnya sendiri maupun dalam penjelasannya hampir selalu memakai pula kata “perbuatan”. 12 11 Ahmad Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Malang: UMM Press, 2004, hlm. 31. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna 12 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hlm. 55. adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia. Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaarfeit adalah diperkenalkan oleh Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang- undang tindak pidana khusus, misalnya: Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, dan Undang-Undang mengenai Pornografi yang mengatur secara khusus tindak pidana Pornografi. 13 Rumusan tindak pidana dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “criminal act”. Meskipun seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang, belum berarti bahwa ia harus dipidana. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah ia lakukan untuk menentukan kesalahannya, yang dikenal dengan istilah “criminal responsibility”. 14 Seseorang dapat dipidana selain telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan. Hal tersebut akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan, jika orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana. Kesalahan dan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat, di mana kesalahan tidak dapat dimengerti tanpa adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Rancangan KUHP mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 15 13 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014, hlm. 49. Rancangan KUHP juga mengemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak 14 Suharto RM, Hukum Pidana Materil, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 29. 15 Pasal 11 ayat 1 Rancangan KUHP Tahun 2012. pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. 16 Tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. 17 Setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum juga perbuatan yang bersifat pasif tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum. 18 Mengenai masalah unsur tindak pidana, menurut Lamintang secara umum dibedakan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur- unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan- tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 19 Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana meliputi: 1 Sifat melawan hukum 2 Kualitas dari si pelaku. Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris 16 Pasal 11 ayat 2 Rancangan KUHP Tahun 2012. 17 Pasal 11 ayat 3 Rancangan KUHP Tahun 2012. 18 Teguh Prasetyo, op.cit., hlm. 50. 19 Lamintang dalam Ahmad Fuad Usfa dan Tongat, op.cit., hlm. 33. dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. 3 Kausalitas Hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. Sedangkan unsur-unsur objektif dari tindak pidana meliputi: 1 Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa. 2 Maksud pada suatu percobaan, seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP. 3 Macam-macam maksud atau oogmerk, seperti terdapat dalam kejahatan- kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya. 4 Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu. 5 Perasaan takut, seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP. 20 Secara doktrinal, di antara pakar hukum tidak terjadi kesatuan pendapat mengenai tindak pidana dalam hukum pidana. Sebagian ahli hukum ada yang menganut pandangan monistis dan sebagian yang lain menganut pandangan dualistis. Berikut ini adalah paparan para sarjana yang menganut pandangan- pandangan tersebut: 1 Pandangan Monistis a. Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana adalah: a Perbuatan manusia, dalam hal ini berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan. 20 Teguh Prasetyo, op.cit. hlm. 51. b Diancam dengan pidana. c Melawan hukum. d Dilakukan dengan kesalahan. e Oleh orang yang mampu bertanggung jawab. b. Menurut Baumman, perbuatan pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. c. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. 2 Pandangan Dualistis Moeljatno, dalam pidato dies natalis UGM tahun 1955, memberi arti pada “perbuatan pidana” sebagai “perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut”. Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: 1 Perbuatan manusia, 2 Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang merupakan syarat formil, dan 3 Bersifat melawan hukum merupakan syarat materil.

2. Pertanggungjawaban Pidana

Dokumen yang terkait

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

3 72 99

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

1 38 99

UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PE RLINDUNGAN ANAK

0 0 66

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

0 0 1

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

0 0 19

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PENGGUNA NARKOTIKA DIHUNBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK | Hermana | Jurnal Ilmiah Ga

0 0 16

b) Pasal 305 KUHP - Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

1 1 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang - Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Ta

0 0 29

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 12

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANGUNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK - Uni

0 0 47