Pertanggungjawaban Pidana Tinjauan Kepustakaan

b Diancam dengan pidana. c Melawan hukum. d Dilakukan dengan kesalahan. e Oleh orang yang mampu bertanggung jawab. b. Menurut Baumman, perbuatan pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. c. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. 2 Pandangan Dualistis Moeljatno, dalam pidato dies natalis UGM tahun 1955, memberi arti pada “perbuatan pidana” sebagai “perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut”. Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: 1 Perbuatan manusia, 2 Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang merupakan syarat formil, dan 3 Bersifat melawan hukum merupakan syarat materil.

2. Pertanggungjawaban Pidana

Konsep “pertanggungjawaban” dalam hukum pidana merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Ajaran kesalahan dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Doktrin tersebut dalam bahasa Inggris dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarangperbuatan pidana actus reus, dan ada sikap batin jahattercela mens rea. 21 Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. 22 Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu. 23 Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana pidana masih menyisakan berbagai persoalan dalam hukum pidana. Hal ini bukan hanya dalam lapangan 21 Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Vol. 6 No. 11 Tahun 1999, hlm. 27. 22 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 75 23 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 68. teoritis, tetapi lebih jauh lagi dalam praktik hukum. Kenyataan dalam praktik peradilan di Indonesia menunjukkan belum adanya kesamaan pola dalam menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. Misalnya, dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 September 1991 No. 1352K.Pid1991, kesalahan terdakwa dipandang terbukti dengan sendirinya ketika seluruh unsur tindak pidana telah dapat dibuktikan. Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 Mei 1992 No. 14KPid1992, Majelis Hakim Agung setelah mempertimbangkan bahwa tindak pidana yang didakwakan terbukti, juga mempertimbangkan kesengajaan terdakwa dalam menentukan pertanggungjawaban pidananya. Sekalipun dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan tidak terdapat unsur ‘dengan sengaja’, tetapi hal ini dipertimbangkan majelis hakim. Hal ini dapat dipandang kesalahan terdakwa dipertimbangkan setelah dan di luar dari tindak pidana yang didakwakan. 24 Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan. 25 24 Ibid, hlm. 1. Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana strafuitsluitingsgronden, yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum 25 Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 1983, hlm. 260. pembelaan general defence ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban general excusing of liability. Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan. Merumuskan pertanggungjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik daad en dader strafrecht, proses wajar due process penentuan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya dilakukan dengan memerhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah jika dijatuhi pidana. Pertanggungjawaban pidana karenanya harus dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana. Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya tentang konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.

3. Anak dan Perlindungan Terhadap Anak

Dokumen yang terkait

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

3 72 99

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

1 38 99

UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PE RLINDUNGAN ANAK

0 0 66

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

0 0 1

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

0 0 19

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PENGGUNA NARKOTIKA DIHUNBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK | Hermana | Jurnal Ilmiah Ga

0 0 16

b) Pasal 305 KUHP - Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

1 1 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang - Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Ta

0 0 29

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 12

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANGUNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK - Uni

0 0 47