Konsep Ruang bagi Orang Dayak Desa Baun Bango

Konsep Ruang bagi Orang Dayak Desa Baun Bango

Peluso dan Vanderegest (2001) menuliskan bahwa konsep teritorialisasi negara melalui hutan politis, sejak pertama kemunculannya, telah menyingkirkan hak-hak masyarakat. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda (Dutch Borneo), walau tidak berhasil membuat demarkasi hutan, namun telah menyiapkan tempat bagi pembedaan sumber daya berbasis budidaya dengan sumber daya hutan. Secara teritorial, pembedaan itu akan memisahkan pengelolaan ruang di kawasan budidaya yakni desa dengan kawasan hutan. Pembedaan itulah yang kembali diulang lewat kemunculan Undang-undang Pokok Kehutanan Nomor 5/1967 dan berbagai regulasi lanjutannya.

Disamping pembacaan historis tentang teritorialisasi negara, saya juga membahas konsep ruang dari perspektif masyarakat Baun Bango. Konsep ruang di sini merujuk pada peruntukkan lahan dan tata guna yang dianggap cocok oleh masyarakat. Pembahasan ini ditujukan untuk melihat bahwa kontestasi teritori tidak hanya melibatkan negara dalam upayanya mengontrol kawasan hutan. Pada praktiknya, teritorialisasi negara juga berbenturan dengan pemahaman ruang oleh masyarakat hutan. Pertama, pembahasan ini dimulai dengan gagasan peruntukkan lahan bagi orang Dayak Ngaju di Desa Baun Bango. Kedua, dari gagasan tersebut, saya akan mengulas kawasan mana yang digunakan untuk apa, dan dimiliki pribadi atau komunal.

Menurut sejarahnya, nama Baun dan Bango berasal dari kata bahu yang artinya bekas ladang dan Bango, nama seorang Dayak Ngaju. Di atas bekas ladang Bango itulah Hyang Miring meminta ijin untuk membuat rumah panjang (betang) hingga beranak pinak menjadi penduduk desa itu. Kawasan tempat Hyang Miring mendirikan rumah itu disebut kereng

Pemukiman masyarakata di Desa Petak Bahandang, Katingan, Kalteng ( © KpSHK )

Aktivitas deforestasi, Kalteng ( © KpSHK )

balawan. Menurut Bue Tj, sebagai bekas kampung Sepan. Sementara sisi barat dan timur tidak dibatasi (kaleka lewu), kereng balawan menjadi hak komunal

secara jelas karena dianggap sebagai himba (hutan bagi masyarakat Baun Bango untuk bekerja di sana.

belantara). Di dalam himba sepanjang Sungai Dahulu, sebelum pembukaan kebun oleh PT Arjuna

Katingan itu lah masyarakat menanamkan kerjanya. Utama Sawit dan pembukaan jalan oleh pemerintah,

Mereka berburu, mencari kayu, mencari getah jelutung kereng balawan dikenal sebagai tempat mencari

dan hangkang serta mencari rotan hutan tanpa batas ikan tampahas dan menyadap getah jelutung

teritori tertentu. “Sekuatnya masyarakat mengelola (mamantung) atau mencari kayu. Kini, sebagai kaleka

hutan, itulah batasnya,” demikian jelas Bue Tj. lewu yang dimiliki secara komunal, kereng balawan

Hanya saja, seperti asal usul nama Baun Bango, berkembang menjadi bangunan milik pemerintah

Orang Dayak tetap mengenali kepemilikan pribadi seperti SMK, kantor Kecamatan Kamipang dan kantor

yang diinvestasikan di ladang-ladang padi maupun UPTD Pendidikan.

kebun karet dan buah. 17 Setelah hutan dibuka, Penggunaan nama bahu dalam Baun Bango dan

masyarakat biasa menanami lahannya untuk padi. kaleka lewu di kereng balawan menunjukkan bahwa

Hanya saja seiring dengan intensitas kebakaran Orang Dayak di Desa Baun Bango mengakui

hutan dan banjir yang meningkat setiap tahun kepemilikan pribadi dan kepemilikan komunal atas

membuat masyarakat Baun Bango mengurungkan teritori tertentu. Kawasan yang diakui sebagai

niat menanam padi. Pada saat saya datang ke sana, kewenangan masyarakat Baun Bango tersusun

lahan-lahan yang baru dibuka lebih banyak ditanami dalam batas yang tidak tegas. Kesepakatan batas

karet dan sawit dari pada pisang, padi dan rotan. ini ditunjukkan anak sungai, dan baru-baru ini adalah

adnimistrasi kabupaten. Baun Bango bertetangga Masyarakat Baun Bango mendasari peruntukkan dengan Desa Tumbang Runen, sisi selatannya, dan

kawasan di sekitarnya berdasarkan pengetahuan Desa Asam Kumbang di utaranya. Batas antara

mereka tentang tanah. Tidak semua kawasan Desa Tumbang Runen dan Desa Baun Bango

dianggap menguntungkan dan layak diberi investasi ditandai Sungai Luangan, sementara batas dengan

kerja. Berikut kategorisasi peruntukkan lahan Desa Asam Kumbang disepakati dengan Sungai

berdasarkan jenis tanah di Desa Baun Bango. 17. Tulisannya Peluso yang tentang kebun durian

Peruntukkan lahan

Ciri

Tata guna lahan

Letak

Petak Gagas a. Memiliki ciri yang sama dengan

Di hutan yang ada di sisi (tanah gagas)

a. Tidak bisa untuk berladang

kereng

barat kampung Baun b. Hanya saja jarak antara

b. Tidak bisa untuk kebun

karena tanah keras

permukaan tanah dengan Bango, dan berbatasan

c. Tidak banyak ditumbuhi

lapisan granit semakin menipis

dengan Danau Sungai c. Bisa ditandai dengan tidak

pohon besar

Kalaru di sisi barat tumbuhnya pohon-pohon besar

kampung

Petak Napu a. Merupakan tanah gambut,

Hutan di semitar Desa (tanah gambut)

a. Pohon besar-besar

berlumpur dan berair

Baun Bango b. Kedalaman gambut bisa

b. Pada gambut tipis, bisa

digunakan untuk berladang,

mencapai 2-3 meter.

namun jarang dilakukan.

c. Bahkan pada gambut dalam bisa

c. Pada gambut dalam,

4-5meter.

digunakan untuk mencari

d. Gambut Luwau Manyun, dengan

ikan

kedalaman 10 meter. Luwau d. Menyadap getah pantung, dll merupakan istilah untuk gambut

e. Kerja kayu

yang merupakan bekas danau.

f. Mencari kulit kayu gemor

e. Biasanya memiliki danau Petak Kereng

Kereng Balawan, (tanah granit dan

a. Tanahnya lebih tinggi

a. Kebun karet

pasir) merupakan bekas ada lapisan batuan granit

b. Berpasir putih dan dibawahnya

b. Bisa untuk menanam

tanaman musiman (berladang)

kampung dari Baun c. Tidak ada gambut

Bango. Kini dibangun d. Kurang subur

c. Area kampung (lewu)

kantor kecamatan dan bening

e. Bisa dibuat sumur dan airnya

d. Hutan untuk menyadap

sekolah SMA. f. Tersebar di mana-mana,

pantung

di dalam hutan atau dekat kampung.

Petak Galugur a. Tanah merah

Sepanjang sungai (tanah aluvial)

a. Cocok untuk berladang

Katingan. 200-500 meter

b. Hanya berada di pinggir sungai,

b. Setelah berladang

dimanfaatkan untuk

c. Airnya bening,

berkebun rotan dan karet.

d. Karena dekat dengan

c. Bisa jugadimanfaatkan

sungai,sering terkena banjir

sebagai kampung

Beradasarkan tabel di atas, secara garis besar untuk mencari ikan bagi keluarga tertentu. Secara masyarakat mengategorikan empat peruntukkan

geografis anak-anak Sungai Jalanpangen ini masuk lahan yakni tanah gagas, tanah gambut, tanah granit

di kawasan hutan yang mudah terbakar (seha). dan pasir, dan tanah aluvial. Keempat kategori itu

Namun di sekitar seha itulah, sungai-sungai kecil diperuntukkan bagi tata guna seperti kampung, hutan

dimanfaatkan untuk menjebak ikan di musim dan kebun. Hanya pada tanah aluvial maupun tanah

penghujan dan memanennya di musim kemarau. garnit dan pasir lah masyarakat Baun Bango akan

Demikian pula dengna seha, yang dimanfaatkan mendirikan kampung dan ladangnya. Sementara,

masyarakat untuk memasang parit-parit kecil untuk pada tanah gambut, tanah granit dan pasir serta

membuat perangkap ikan di atas bekas gambut yang tanah gagas lah masyarakat membiarkannyamenjadi

terbakar (beje). Beje-beje ini dikelola oleh keluarga- himba.

keluarga nelayan di atas kawasan hutan yang dimiliki Istilah himba sendiri digunakan untuk menandai

secara komunal.

kawasan yang belum diberi kepemilikan pribadi. Makna hutan di mata masyarakat Baun Bango

Walaupun Danau Jalanpangen dimiliki secara belum tentu menunjukkan tutupan lahan yang rapat.

komunal, namun danau-danau kecil dan lubuk sungai Salah satu contohnya adalah tanah gagas halier.

di sekitar (labeho) dikelola oleh keluarga-keluarga Disebut demikiankarena daerah itu merupakan rawa

tertentu. Kawasan lubuk dan danau merupakan bergambut tipis yang banyak ditumbuhi lumut dan

tempat mencari ikan bahkan buaya yang tidak terasa licin (halier). Namun ditumbuhi oleh pohon

terhalang musim kering dan musim banjir karena bergetah secara alamiah seperti pantung, hangkang,

selalu tergenang air.

katiau, dan baringin. Selain lubuk, danau, sungai dan beje, kawasan

Selain gagas halier di sisi barat kampung, hutan gambut baik di sisi timur atau barat kampung masyarakat Baun Bango juga mengategorikan

juga dibangun jalur kelola menyadap karet jelutung kawasan di seberang timur kampung sebagai himba.

(pantung)yang disebut tebengan. Prosesnya, Kawasan tersebut dikenal sebagai petak napu

tebengan di hutan akan dibuat berdasarkan aliran dengan kedalaman mencapai 2-5 meter. Bahkan

sungai. Di sana ada jalan induk, dari jalan induk itu ada kawasan gambut dalam, mencapai 10 meter,

akan dibuat jalan-jalan kecil di samping kanan kiri yang selalu tergenang air seperti danau Danau

jalan, biasanya sepanjang satu kilometer. Setiap Jalanpangen. Petak napu di sisi timur telah menjadi

cabang jalan tebengan ini dimiliki oleh anggota sumber penghidupan masyarakat utama karena

keluarga dari keluarga yang pertama kali membuka akses ke dalam hutan yang mudah lewat transportasi

jalan induk.

air di Sungai Jalanpangen. Disamping pengelolaan hutan yang terbagi-bagi

Walau disebut hutan, namun petak napu di sekitar dalam hak setiap keluarga Dayak di Desa Baun Sungai dan Danau Jalanpangen ini terbagi dalam

Bango, secara turun temurun masyarakat Baun Bango peruntukkan dan hak kelola tertentu pula. Misalnya,

juga mengenal kepemilikan pribadi berupa ladang anak-anak Sungai Jalanpangen dan danau-danau

dan kebun. Kepemilikan berada di sekitar lahan subur kecil di sekitar Danau Jalanpangen diperuntukkan

yakni petak galugur dan diakui lewat surat keterangan tanah dari pemerintah desa.

Bue At pernah bertutur bahwa masyarakat akan

Moratorium Hutan dan

berladang satu hingga dua kilometer di samping

Kontestasi Teritori

sungai aliran Sungai Katingan. Ladang-ladang ini Kontestasi status dan fungsi kawasan hutan dan

dikelola oleh satu keluarga. Pada tiga tahun pertama perencanaan ruang di Kalimantan Tengah telah

akan ditanami padi, setelah itu mereka pindah, bekas mengabaikan beberapa penerbitan ijin konversi

ladang itu akan ditanami pohon buah-buahan, karet hutan sekalipun di atas kawasan moratorium. Baik

dan rotan. pemerintah pusat atau daerah memiliki kehendak

Biasanya pada tahun pertama, akan dibuka lahan masing-masing atas kawasan yang didakunya. Pada seluas 1-2 hektar. Masyarakat membuat batasan

kasus tertentu, kehendak dengan berbagai legitimasi- dengan menggunakan pohon-pohon yang bertahan

hukumnya justru menciptakan ruang abu-abu yang lama seperti bambu haur. Walau tidak ada surat,

rentan konversi hutan dan ketidakadilan sosial. masyarakat sudah memiliki kesepakatan batas

Mengapa demikian? Sebab, moratorium sebagai seperti bambu, pohon pinang atau pohon buah-

pengalaman abstrak mengulang teritorialisasi negara buahan. Setelah tanam padi dan palawija selama

sebelum-sebelumnya yang tidak melibatkan konsep tiga tahun, setelah itu akan tanam karet, rotan dan

ruang masyarakat. Kerumitan kepentingan itu terlihat buah-buahan (durian, langsat, rambutan, nangka,

pada bagan berikut ini,

cimpedak). Biasanya kalau sudah ada tanaman karet, rotan danbuah-buahan masyarakat akan enggan menebang. Kini orang sudah tidak berladang, karena tanah yang bisa dijadikan ladang mulai jarang karena

Pemerintah Daerah

Pemerintah Pusat

kawasan di pinggir hutan kerap mengalami banjir dan

Undang-undang Tata Ruang (1992)

Tata Guna Hasil Kesepakatan –TGHK-

kebaran.

(1982)100% Kalteng adalah kawasan hutan

Peruntukkan lahan di mata masyarakat Baun Bango Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

72,60% kawasan hutan; 27,40% kawansan Kalimantan Tengah –RTRWP- (1993)

dipengaruhi oleh jenis tanah yang memungkinkan

non hutan

budidaya atau tidak.Konsep itu berbeda dengan

Padu Serasi RTRWP dan TGHK (1999)

pengalaman abstrak yang ditawarkan teritorialisasi

Undang-undang Kehutanan No

negara pada bagian sebelumnya. Pembuatan peta

Paduserasi (2003) Peraturan Daerah RTRWP-

tidak mensyaratkan pengetahuan atas jenis tanah

67,04% kawasan hutan dan 32,96% kawasan non hutan

tertentu untuk mendefinisikan peruntukkan dan tata menarik RTRWP Kalimantan Tengah guna lahannya. Oleh karenanya, masyarakat tidak

Surat Menhut S 575/Menhut/2006 untuk

Revisi RTRWP

pernah memiliki batas yang jelas. TGHK melalui SK 292/Menhut II/2011

Bagan 1 91,07% kawasan hutan dan 8,77% : Kontestasi Status dan Fungsi kawasan non hutan

Kawasan Hutan Kalimantan Tengah

Lain halnya dengan perencanaan ruang dan

kehutanan ilmiah yang harus melakukan simplifikasi SK 529/Menhut II/2012

: Paksaan

: Koordinasi

Status kawasan hutan Kalimantan Tengah harus diperbaiki sementara menggunakan acuan TGHK 100%

untuk menetapkan kawasan tertentu sebagai konsesi

: Turunan

kawasan hutan

perkebunan sawit atau moratorium hutan. Perbedaan bahasa antara masyarakat dan pemerintah membuat

Bagan 1. Kontestasi regulasi untuk membentuk teritori

moratorium juga tidak berjalan. Selama ini, apapun

Sebagai teritorialisasi negara, moratorium hutan pemerintah kabupaten alih-alih pemerintah provinsi diperuntukkan di atas status dan fungsi kawasan

karena antisipasi gerakan separatisme pasca hutan yang tumpang tindih. Setidaknya, sejak

runtuhnya rejim Orde Baru. Sementara rasionalisasi diberlakukannya TGHK 1982, Kalimantan Tengah

yang lain, seperti disebut oleh Aspinall dan Fealy mulai mengalami perencanaan dan pengelolaan

(2003), desentralisasi kepada pemerintah kabupaten ruang yang sentralistik. Pemerintah membuat batas-

diperuntukkan agar pengambilan keputusan tidak batas yang jelas untuk mengklaim kontrol atas teritori

berjarak. Pemerintah kabupaten lah yang mendapat tertentu sebagai milik negara. Kajian Kemitraan dan

tanggung jawab besar untuk mengelola sumber daya WALHI 18 juga menyebutkan bahwa penerbitan TGHK

alam.

dianggap sebagai titik tolak bagi perdebatan status Di Provinsi Kalimantan Tengah, salah satu jalan

hutan. Dalam perspektif TGHK, seluruh status dan

19 fungsi kawasan di Kalimantan Tengah adalah hutan. pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan melalui usulan RTRWP, Perda Nomor 08/200321.

Pemberikan status kawasan hutan 100% menjadi Tujuan dari perda itu antara lain mengurangi kawasan

penanda bahwa keran investasi konsesi HPH terbuka hutan 67,04% kawasan hutan dan 32,96% kawasan

lebar bagi siapapun. non hutan. Walau belum mengalami padu serasi,

Pada tahun 1993, satu tahun setelah UU Nomor perda ini lah yang menjadi acuan bagi para bupati 24/1992 mengenai Tata Ruang, klaim TGHK

untuk mengeluarkan ijin perusahaan. ditantang oleh Pemerintah Kalimantan Tengah

Pada 11 September tahun 2006, Menteri Kehutanan dengan penerbitan RTRWP. Perencanaan provinsi itu

mengirimkan surat ke Gubernur Kalteng mengenai menegosiasikan 27,40% dari total luasan Kalimantan

pencabutan Surat Badan Planologi Kehutanan. Surat Tengah adalah kawasan non hutan.Menapaki akhir

tersebut menyebutkan bahwa sebelum ada proses periode 1990-angubernur Kalteng juga menerbitkan

penetapan kawasan hutan dalam Perda Nomor padu serasi TGHK dan RTRWP 1993 dengan total

20 luasan hutan 66% dan non hutan sekitar 34% 08/2003 maka acuan bagi tata kelola kawasan di . Kalteng tetap TGHK. Sementara RTRWP 1999 masih

Periode tersebut juga ditandai oleh munculnya dalam proses penunjukkan sehingga acuan yang

perusahaan kayu ilegal, sawmill atau bansaw, yang digunakan pun TGHK. 22 Dengan demikian, Gubernur

berkolaborasi dengan pemerintah, aparat kepolisian wajib merevisi RTRWP 2003 dengan mengajukan

dan tentara lahir. usulan pengelolaan ruang baru ke Menteri Kehutanan.

Akhir tahun 1990-an juga menjadi momen didesaknya 21. Menurut WALHI, Rompas dkk (2013), salah satu otonomi daerah untuk mengubah otoritas politik pertimbangan dari penerbitan Perda Nomor 08/2003 yang

nasional. Desentralisasi politik diberikan kepada berbasis pada Surat Kepala Badan Planologi Kehutanan No 18. Suryana dkk (2011) melalui Kemitraan dan Rompas dkk

778/VIIISKP/2000 tertanggal 12 September 2000 menjadi (2013) melalui WALHI, menyebutkan bahwa penyebab dari

gap pengelolaan hutan di Kalteng. Surat itu menguraikan persoalan tenurial untuk mendefinisikan kawasan hutan di bahwa pencadangan areal untuk pengembangan usaha

Kalteng berawal dari TGHK. (KPP dan KPPL) yang pada dasarnya merupakan areal 19. Data diperoleh dari Presentasi Kepala Dinas Kehutanan

penggunaan lain (APL) berdasarkan peta padu serasi Kalteng dalam acara “Menelisik Pengelolaan Anggaran dan

RTRWP dan TGHK Kalteng maka tidak diperlukan proses Korupsi Sektor Kehutanan”, Palangkaraya, 19 Januari 2011

pelepasan kawasan hutan.

20 ibid. 22 Rompas dkk, 2003: 14-15

Di sisi lain, Menteri Kehutanan melakukan terbitnya SK 292 dan SK 529, yang mengembalikan penyempurnaan penetapan peta kawasan hutan

pengelolaan hutan ke TGHK. Kontestasi status dan melalui penerbitan SK 292/Menhut-II/2011. Peta

fungsi kawasan hutan pada Bagan 1 menunjukkan tersebut hadir untuk mengembalikan TGHK sebagai

bahwa moratorium berpijak di atas pengelolaan ruang acuan utama pengelolaan hutan, sekaligus menjadi

yang rapuh. Sebagai sebuah pengalaman abstrak, status quo bagi Kemenhut. Dari sanalah perebutan

moratorium hutan berhasil menerbitkan peta secara kewenangan dimulai. Penerbitan SK 292/Menhut-

periodik setiap enam bulan. Tapi sebagai produk II/2011, disertai dengan keputusan lanjutan SK 529/

hukum yang digandang-gadang mampu mengurangi Menhut-II/2012, menegangkan hubungan antara

laju deforestasi, moratorium hutan menghadapi pusat dan daerah. Di satu sisi banyak konsesi

tantangan besar dari kontestasi perencanaan ruang perusahaan konversi hutan seperti perkebunan sawit

daerah. Saya mencoba mengulasnya dari studi kasus lahir dari legitimasi Perda Nomor 08/2003. Namun

di Taman Nasional Sebangau, sisi timur Baun Bango. kewenangan itu kembali dimentahkan dengan

Berikut bagannya,

Pemerintah pusat

Pemerintah daerah

UU Kehutanan Nomor 41/1999

PP Perencanaan kehutanan Perda RTRW Provinsi Kalteng Nomor 08/2003

Perda Lembaga Adat Nomor

16/2008 Nomo 423/2004

SK Penunjukkan TN Sebangau

LoI Indonesia Norwegia

Pergub Tanah Adat Nomor

SK Penunjukkan kawasan hutan Nomo 292/2011

Inpres Nomor 10/2011

Peta kesesuaian penggunaan

Surat Keterangan Tanah Adat

PIPIB I-IV

lahan Menteri Kehutanan

(SKTA)

Hak-Hak Adat di Atas Tanah PIPIB V SK Penunjukkan kawasan hutan PT Jarak Pagar Katingan

Inpres Nomor 06/2013

Zonasi Partisipatif Taman Nasional

Bagan 2: Kontestasi Regulasi di Sisi Timur

Sebangau yang belum selesai

: Turunan Baun Bango regulasi pusat

:Turunan regulasi daerah : Dampak

:Tumpang tindih

Bagan 2. Kontestasi Regulasi di Sisi Timur Baun Bango

Kebijakan penunjukkan status Taman Nasional Kini masyarakat Baun Bango sedang diresahkan oleh Sebangau diberikan oleh Menteri Kehutanan di atas

beredarnya permohonan itu. Di satu sisi, permohonan kawsan yang menjadi sumber penghidupan bagi

ijin bisa dimaknai sebagai pengabaian moratorium masyarakat Baun Bango. Tumpang tindih itu menyulut

hutansebagai upaya teritorialisasi negara. Di sisi friksi antara masyarakat Baun Bango dengan Balai

lain, kehutanan ilmiah yang mensyaratkansimplifikasi TNS dan World Wode Fund (WWF). Puncaknya

dan keterbacaan melalui peta pada SK 292/2011 terjadi tahun 2007, saat sebagian masyarakat Baun

telah ditangkap dengan mudah oleh investasi Bango dituduh melakukan pembakaran material

perkebunan kelapa sawit alih-alih mengakomodasi pembangunan guest housemilik WWF dan Balai

kepentingan masyarakat Baun Bango. Padahal Taman Nasioanl Sebangau di Danau Jalanpangen.

sejak tahun 2011, ketua adat setingkat kecamatan Semenjak kejadian pembakaran, masyarakat Baun

mulai memperkenalkan bentuk pengakuan hak atas Bango pun meminta pelepasan kawasan hutan

kawasan hutan melalui penerbitan surat Hak-hak Adat sepanjang tiga puluh kilometer ke sisi timur Danau

di Atas Tanah. Melalui mekanisme itu, masyarakat pun Jalanpangen. Tuntutan itu tersampaikan pada proses

memiliki legitimasi untuk turut serta dalam mengklaim zonasi pemetaan partisipatif untuk mencari posisi

kawasan sekitar Danau Jalanpangen sebagai milik tawar terhadap peruntukkan taman nasional di sekitar

mereka. Namun hal itu urung dilakukan hingga hari Danau Jalanpangen tahun 2004.

ini. Sebaliknya, masyarakat justru diresahkan oleh desas-desus bahwa Danau Jalanpangen akan

Pada tahun 2011, Menteri Kehutanan mengeluarkan ditimbun dan dijadikan perkebunan sawit. SK 292/2011 untuk mengembalikan status kawasan hutan menjadi TGHK, status kawasan hutan di

Situasi yang tak kalah rumit juga terjadi pada sisi barat Danau Jalanpangen pun ikut berubah. SK 292/2011

Sungai Katingan. Pada tahun 2006, untuk pertama mengubah kawasan hutan di sekitar hutan Danau

kalinya, masyarakat Baun Bango berhadapan dengan Jalanpangen, dari awalnya masuk ke dalam

perusahaan perkebunan kelapa sawit. Ijin tersebut penunjukkan Taman Nasional Sebangau menjadi

bisa dikeluarkan oleh Bupati Katingan dengan Perda hutan produksi konversi. Situasi itu juga tak berubah

RTRWP 2003 sebagai acuannya. Perda tersebut ketika Menteri Kehutanan memberlakukan peraturan

mengasumsikan bahwa kawasan di sisi barat serupa yakni SK 524/2012. Penunjukkan status

Baun Bango adalah APL, di mana bupati memiliki dan fungsi kawasan hutan tahun 2011 dan 2012 itu

kewenangan pengelolaan sumber daya sesuai telah melepaskan status taman nasional di Danau

dengan perundangan otonomi daerah. Jalanpangen.

Pada tahun 2009, dengan menggunakan rekomendasi gubernur, PT Arjuna Sawit mulai membuka hutan

Walau keluar dari taman nasional, sebagian besar dan melakukan pembersihan lahan. Kayu-kayu hasil kawasan hutan di Danau Jalanpangen masih masuk

pembukaan lahan dikumpulkan sebagai pembatas dalam PIPIB revisi pertama hingga revisi keempat.

blok-blok sawit, penyangga jalan di dalam perkebunan Akan tetapi, moratorium yang berlaku di kawasan

hingga bahan material jembatan. Bahkan masyarakat Danau Jalanpangen itu memunculkan masalah

Baun Bango pun memanfaatkan kayu-kayu yang baru. Pada tahun yang bersamaan, bupati menerima

telah ditebang oleh perusahaan untuk mereka jual permohonan perkebunan kelapa sawit untuk PT Jarak

kembali dalam bentuk balok-balok kayu kepada Pagar Katingan Perdana.

tetangganya yang sedang membuat rumah.

Situasi menjadi pelik ketika Menteri Kehutanan

Kesimpulan

mementahkan RTRWP Kalteng melalui penerbitan SK 292. Bila TNS, sisi timur Sungai Katingan, mengalami

Bila melihat pengalaman di Desa Baun Bango, pengurangan kawasan, maka sisi barat sungai justru

perebutan kepentingan atas penataan ruang sebaliknya. Kementerian Kehutanan menganggap

bergantung pada legitimasi hukum masing- bahwa kawasan yang sudah dibuka oleh PT Arjuna

masing aktor. Pertanyannya kemudian, “Mengapa Utama Sawit memiliki status dan fungsi sebagai

teritorialisasi moratorium hutan tidak terwujud di hutan. Pada PIPIB edisi pertama, menteri kehutanan

Desa Baun Bango Kecamatan Kamipang Kabupaten juga menyertakan kawasan perkebunan itu kedalam

Katingan Provinsi Kalimantan Tengah?” area gambut yang harus dikonservasi. Perbedaan

Pertama, moratorium hutan berpijak pada penataan peruntukkan dan tata guna lahan itu menunjukkan

ruang yang tidak ajeg dan penuh kontestasi. Penataan gap antara Pemerintah Kabupaten Katingan dan

ruang sendiri merupakan pengalaman teritorialisasi Menteri Kehutanan. Kawasan hutan yang sudah negara yang abstrak dan penuh simplifikasi sehingga dibabat pohonnya, bisa didefinisikan sebagai hutan bisa dengan mudah dimanfaatkan oleh pemodal, bisa pula non hutan.

alih-alih masyarakat di sekitar hutan. Maka tidak mengherankan bila baik diatas kawasan hutan yang dimoratorium-kan atau bukan, investasi perkebunan sawit itu tetap bisa direncanakan. Seperti tajuknya, moratorium hanya menunda investasi tapi tidak benar-benar menyelesaikan persoalan ruang di sekitar hutan gambut Desa Baun Bango.

Kedua, rejim jawatan kehutanan telah mengeksklusi pengelolaan lahan masyarakat bahkan sejak jaman kolonial. Namun rejim inilah yang digunakan dalam memberi regulasi moratorium hutan dalam melanggengkan apa yang disebut oleh Escobar sebagai the coloniality of nature.Di satu sisi pelanggengan jawatan kehutanan dalam mengontrol sumber daya selalu menemui resistensi.Entah dalam bentuk perlawanan seperti peristiwa pembakaran material guest housetaman nasional, ataupun pengabaian seperti moratorium hutan. Masyarakat Baun Bango, entah berstatus taman nasional atau moratorium tetap bisa mengumpulkan kulit gemor dengan cara menebang pohonnya.

Gambar 1 Bekas kanal/parit logging yang sedang surut di dalam kawasan hutan gambut (dok. Larastiti)

Peta Moratorium Revisi 1 (22 November 2011) Peta Moratorium Revisi 2 (16 Mei 2012)

Peta Moratorium Revisi 3 (18 November 2012) Peta Moratorium Revisi 4 (16 mei 2013)

Gambar 2: Peta Indikatif Penundaan Ijin Baru Nomor1613 Revisi I-IV

Daftar Pustaka

Aspinall,Erdward., Greg Fealy. 2003. “Introduction: Decentralisation, Democratisation and the Rise of the

Adinugroho, Wahyu C., Kade Sidiyasa., Tati Rostiwati., Dida Syamsuwida. 2011. “Ecological Conditions

Local” dalam Local Power and Politics in Indonesia, Decentralisation and Democratisastion. Singapur:

and Distribution of Gemor Tree Species in Central and Institute of Souteast Asia Studies. East Kalimantan” dalam Journal of Forestry Research

Vol. 08 No. 01 Hal 50-64. Bizard, Viola. 2011. Beyond Vulnerability: Managing the Fire Risk in Peatlands: Fires and People in Central

Allmendinger, Philip., Mark Tewdwr-Jones. 2006.“Territory, Identity and Spatial Planning” dalam

Kalimantan, Indonesia Anthropological Perspective. Freiburg: Working Paper Freiburger Ethnologische

Territory, Identity and Spatial Planning. Mark Tewdwr-

Arbeitspapiere

Jones dan Philip Allmendinger (ed.). London dan New York: Routledge

2013. Rattan Futures in Katingan: Why Do Smallholders Abandon or Keep Their Gardens in

Indonesia’s Rattan District. Bogor: World Agroforestry Jessop, Bob. 2007. “From micro-powers to Centre

governmentality: Foucault’s work on statehood, state formation,

Cooke, Fadzilah M. 2006. “Recent Development and Conservation Interventions in Borneo” dalam State,

statecraftand state power” dalam Political GeographyVol 26 Hal. 34-40.

Communities, and Forests in Contemporary Borneo. Fadzilah Majid Cooke (ed.). Australia: Autralian

McCarthy, John F., Jacqueline A.C. Vel dan Suraya National Unviersity Press

Afiff. 2012. “Trajectories of land acquisition and Escobar, Arturo. 2008. Territories of Difference: Place,

enclosure: development schemes,virtual land grabs, Movement, Life and Redes. Durham dan London:

and green acquisitions in Indonesia’s Outer Islands“ The Journal of Peasant Studies Vol. 39 No. 2Hal.

Duke University Press.

Fay, Chip., Martua Sirait dan Ahmad Kusworo. 2000. Murdiyarso, Daniel., dkk. 2011. Moratorium Hutan Getting the Boundaries Right Indonesia’s Urgent

Indonesia: Batu Loncatan untuk Memperbaiki Tata Need to Redefine its Forest Estate. Bogor: Working

Kelola Hutan?. Bogor: Working Paper CIFOR Paper International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF)

Natter, Wolfgang., Wolfgang Zierhofer. 2002. “Political Ecology, Territoriality and Scale” dalam Geo

Hagen, Erik., dkk. 2012. Beauty and the Beast: Norway’s Investements in Rainforest Protection and

Journal Vol. 58 No. 04 Hal. 225-231. Rainforest Destruction. Oslo: Rainforest Foundation

Peluso, Nancy Lee. 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat: Norway and Friends of the Earth Norway.

Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Hidayat, Herman. 2011. Politik Lingkungan:

Landung Simatupang (terj.). Jakarta: Konphalindo Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta:

Christian Lund. 2011. “New Frontiers of Land Control: Introduction” dalam The Journal

Yayasan Obor Indonesia of Peasant Studies. Vol. 38 No. 04 Hal 667-681. Howell, Signe Lise (2013). “Divide and Rule: Nature

and Society in a Global Forest Peter Vandergeest. 2001. “Genealogies of the Political Forest and Customary Right

Programme” dalam Anthropology and Nature. Kirsten Hastrup (ed.). Routledge.

in Indoensia, Malaysia and Thailand” dalam The Journal of Asian Studies Vol. 60 No. 03 Hal. 761-812.

Indrarto, Giorgio B., dkk. 2012. The Context of REDD+ in Indonesia: Drivers, Agents and Institutions.

Potter, Lesley. 1988. “Indigenes and Colonisers: Dutch Forest Policy in Sout and East Borneo (Kalimantan)

Bogor: Working Paper Center for International Forestry Research (CIFOR)

1900-1950” dalam Changing Tropical Forest: Historical Perspective on Today’s Challenges in Asia, Australia and Oceania. John Dargavel dkk (eds.) Canberra: Workshop Meeting Tropical Forest History Working Group

Ricklefs, M.C. 2001. A History of Modern Indonesia since 1200: Third Edition. London: Palgrave

Rompas, Arie., Aryo Nugroho. 2013. Laporan Pemantauan Kejahatan Sektor Kehutanan di Wilayah

Moratorium Kalimantan Tengah. Palangkaraya: Wahana Lingkungan Hidup.

Scott, James. 1999. Seing Like A State: How Certain Schemes To Improve The Human Condition Have

Failed. New Haven dan London: Yale University Press.

Steni, Bernadinus.,Sentot Siswanto. 2011. Tak Ada Alasan Ditunda Potret FPIC dalam Proyek