REDD dan Perebutan Kawasan Hutan

REDD+ dan Perebutan Kawasan Hutan

OLEH Muhammad Yusuf Aktivis/peneliti Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) Email : moeh.yusuf@kpshk.org

Konversi hutan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit,

Ecological arguments are never socially neutral any

Kalteng ( © KpSHK )

more than socio-political arguments are ecologically neutral. Looking more closely at the way ecology and

laporan tim studi yang diprakarsai oleh Climate Policy

politics interrelate it becomes imperative if we are to

Initiative bekerjasama dengan Badan Kebijakan

get a better handle on how to approach environmental/

Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia

ecological questions.

(2014) menyebutkan, pada tahun 2011, setidaknya

(Harvey 1993 [Bryant and Bailey 1997:5])

sebesar Rp 8,4 triliun (USD 951 juta) dana untuk perubahan iklim berasal dari sumber-sumber

M alam dan perbaikan lingkungan (ekologi) oleh triliun) maupun pendanaan yang bersumber dari dana

araknya proyek pengaturan sumberdaya pendanaan publik, baik dari dalam negeri (Rp 5,5

pelbagai institusi sosial-ekonomi global di Indonesia, publik internasional (Rp 2,9 triliun).

petikan argumen Harvey diatas menyiratkan bahwa seluruh proyek-proyek perbaikan lingkungan dan

Tentu saja besaran nominal pendanaan tersebut ekologis tersebut bukan suatu hal netral akan tetapi

bisa sangat relatif akan tetapi besaran tersebut meniscayakan pengaturan-pengaturan sosial politik

merupakan wujud keseriusan pemerintah dalam dan ekonomi di tingkat komunitas. Satu diantara

proyek-proyek pengaturan kawasan hutan dalam beragam mega proyek tersebut adalah mitigasi

skema REDD+. Pasca penyelenggaraan COP- perubahan iklim dalam skema REDD+. Penggunaan

13 di Bali, Indonesia secara aktif mempromosikan kata “mega” pada proyek REDD+ bukanlah hal yang

program REDD+ di tingkat nasional dan daerah. berlebihan atau tanpa alasan bila dilihat pengerahan

Bahkan sebelum pelaksanaan COP-13, Indonesia dana publik berikut pembuatan kebijakan pendukung

sendiri dibawah koordinasi Kementrian Kehutanan di tingkat global, nasional hingga lokal. Berdasarkan

telah merumuskan Road Map REDDI (Reducing

Emissions from Deforestation and Forest Degradation yang berfokus pada pembiayaan berbasis hasil (result Indonesia) yang terbagi tiga fase yakni, persiapan

based financing) dan mekanisme berbasis pasar pada tahun 2007, ujicoba (piloting) (2008-2012) dan

(market based mechanism). Pada fase ini diharapkan implementasi pasca 2012 (Muhajir 2010). Adanya

terjadi perdagangan karbon yang akan memberikan antusiasme serta komitmen yang luar biasa dari

pendapatan finansial pada pelaku program REDD+. pemerintah Indonesia dibawah rezim SBY terhadap

Dalam memfasilitasi negara penerima dalam model pembangunan kawasan hutan dalam skema

menyiapkan diri menghadapi implementasi REDD+, REDD+ perlu dipertanyakan kembali secara kritis.

salah satu inisiatif yang dikembangkan adalah Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yang

Posisi REDD+ di Indonesia

dikoordinasikan oleh Bank Dunia. Untuk itu, Bank Dunia telah menyediakan skema pendanaan untuk

Sejauh yang diperdebatkan, agenda pembangunan fase persiapan (readiness) melalui Carbon Fund kawasan dan proyek-proyek perbaikan lingkungan yakni skema pendanaan berbasis kinerja yang menjadikan Indonesia sebagai target uji-coba ditujukan sebagai “piloting/ ujicoba” pembayaran beragam mega proyek pengaturan global. Sebagai atas penurunan emisi dari satu landscape hutan trend kekinian model pembangunan di negara- dengan pendekatan berbasis hasil. Hingga tahun negara berkembang atau sering disandingkan 2014 Kementerian Kehutanan (Kemenhut), telah dengan agenda pembangunan (ekonomi) hijau mengidentifikasi 9 unit KPH di 7 kabupaten yang (UNEP 2014), skema REDD+ mendapatkan tempat tersebar di 4 propinsi (Jambi, Kalimantan Timur, “istimewa” dalam perumusan kebijakan pengurusan Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah) sebagai hutan di Indonesia. Terlebih ketika pemerintahan wilayah “target” ujicoba skema Carbon Fund yang SBY menerima skenario tersebut dengan lapang mensyaratkan tersedianya dokumen Emissions dada, dengan slogan “sustainable growth with equity” Reduction-Program Idea Note (ER-PIN) sebagai yang bertumpu pada empat pilar pembangunan:

1 pro-grotwh, pro-poor, pro-job dan pro-environment. tahap awal dari proses penawaran Indonesia untuk dapat disetujui oleh Bank Dunia sebagai pengelola

Dalam konteks ini, dimasukannya pro-environment dana Carbon Fund. (Pusat Litbang Perubahan Iklim sebagai pilar keempat, pembangunan kawasan hutan dan Kebijakan, Kemenhut 2014) dalam skema REDD+ digunakan sebagai argumentasi

“jalan tengah” pemerintah atas kebuntuan antara Selain inisiatif yang dikembangkan Bank Dunia memfasilitasi kepentingan investasi industri ekstraktif

bersama Kemenhut, terdapat beragam inisiatif yang skala luas (pro-growth) dengan komitmen pemerintah

turut didorong oleh NGO diluar skema Forest Carbon (tuntutan global) dalam mengurangi laju emisi karbon

Partnership Facility (FCPF)-Carbon Fund. Secara dan deforestasi yang telah didengungkan menjelang

umum, beragam inisiatif tersebut masih menghadapi bergulirnya COP 15 di Kopenhagen.

kendala teknis antara lain, bagaimana prinsip ekuitas atau kesetaraan harus didefinisikan, kepada siapa

Meski dalam perjalanannya menemui beragam seharusnya manfaat ini dibagikan dan bagaimana kendala, pasca tahun 2014 dijadwalkan pelaksanaan

mekanisme pembagian manfaat (benefit sharing). program REDD+ di Indonesia memasuki fase ke 3

Shintia Arwida, memaparkan empat pendapat yang 1. http://www.setkab.go.id/berita-4370-presiden-indonesia-

mengemuka dalam perdebatan tentang ekuitas. pro-growth-pro-poor-pro-job-dan-pro-environment.html

Dalam konteks hutan kemasyarakatan, menurut diakses pada 19 September 2014.

Arwida, lebih tepat pada pendekatan need based Arwida, lebih tepat pada pendekatan need based

Skema Perebutan Kawasan Hutan

sudah menjaga hutan dan mengurangi emisi karbon. Tidak hanya bagi pelaku program REDD+ tetapi juga

Sebagai skema pembangunan yang lahir dari kepada masyarakat setempat atau pengguna hutan

kecemasan global terhadap perubahan iklim, REDD+ lain yang memiliki rekam jejak pengelolaan hutan

mengundang debat yang tak kunjung usai di berbagai berkelanjutan. Dan karena itu, “satu komunitas lokal

ranah; pembuat kebijakan, riset akademik hingga penjaga hutan yang hak kepemilikan tanah adatnya

gerakan sosial. Hal ini sudah dapat diterka mengingat tidak diakui secara legal oleh negara tetap memiliki

pengurusan hutan di Indonesia masih mewariskan hak untuk mengklaim manfaat dari program REDD+.” 2 “persoalan bawaan” yang belum terselesaikan akibat sektoralisme dan dominasi negara atas kawasan

Berbeda dengan argumentasi “jalan tengah” yang hutan. Khusus di wilayah desa-desa hutan, kehadiran dipilih pemerintahan SBY, skema REDD+ dipandang

beragam inisiatif pengaturan maupun upaya koreksi beberapa LSM sebagai peluang politik “beresiko”

pembangunan kawasan baik negara maupun swasta atas pengaturan keberlanjutan sumber penghidupan

seringkali saling bertentangan dan mengindikasikan rakyat di sekitar hutan. Terbukanya ruang partisipasi

bahwasanya proyek uji-coba pengaturan tersebut oleh pemerintah dalam proyek REDD+, Astuti

belum selesai dan berubah-ubah (unstable) (Li 2002). (2013) mengungkapkan, telah mendorong aktivis

Kondisi ini seperti apa yang dipaparkan Vandergeest mengadopsi “subjektivitas baru” yang menempatkan

dan Peluso (1995), “seluruh (praktek) negara modern mereka sebagai konsultan atau birokrat, tanpa

membagi wilayah mereka kedalam zona-zona politik terburu-buru melihatnya sebagai depolitisasi gerakan

dan ekonomi yang kompleks dan tumpang tindih, lingkungan, ditengah proses mematangkan wacana

mengatur kembali penduduk dan sumberdaya dalam kritik terhadap kebijakan, di kalangan gerakan

unit-unit, dan membuat aturan-aturan bagaimana dan sosial maupun kelompok terpelajar kritis seringkali

oleh siapa wilayah tersebut dapat dimanfaatkan.” menyisakan celah kosong dalam menterjemahkan

Untuk itu, negara menempuh strategi teritorialisasi wacana kritik tersebut dalam agenda-agenda aksi di

sebagai upaya mengontrol kehidupan penduduk tingkat lokal/komunitas. 3 melalui survey dan pendaftaran tanah, pembuatan

2 Pendekatan ini sangat relevan untuk kasus Indonesia, peta, penetapan dan pengawasan kawasan hutan misal, di beberapa kasus yang menjadi lokasi uji-coba

dan sumber daya alam lainnya. Strategi itu sendiri pelaksanaan REDD+ adalah Taman Nasional yang notabene

menempatkan teknik pemetaan (cartography) modern terdapat wilayah kelola komunitas. Secara teknis, meski di

menjadi instrumen utama bagaimana pengaturan beberapa tempat terdapat kesepakatan (MoU) antara Balai

dan pembatasan itu dilakukan. 4 Proses-proses Taman Nasional dengan komunitas sebagai dasar legal

akses komunitas terhadap kawasan hutan (tenure security) Altieri, Peter M. Rosset, Eric Holtz Gimenez, A.A. Desmarais, namun belum terdifinisi dengan jelas hak atas karbon

J.D van der Ploeg dkk merupakan sederetan kelompok (penerima manfaat).

peneliti yang intens dan terdepan dalam membahas isu ini. 3 Bandingkan dengan promosi model pertanian Agro-ekologis

4 Konsep teritorialisasi berbeda dengan analisis spasial (small farming) sebagai counter terhadap sistem pertanian

maupun analisis ekonomi-politik geografi. Para geogarfer kapitalistik (large scale, monoculture) yang gencar dilakukan

perhatiaannya lebih berpusat pada distribusi spasial oleh gerakan petani Internasional La Via Campesina yang

kegiatan ekonomi dan strategi spasial modal tanpa melihat didukung oleh sekelompok peneliti (akademisi) dengan

peran negara dalam mengatur dan mengontrol hubungan beragam disiplin (sosial, politik, ekonomi, agronomi, dsb)

penduduk dengan sumberdaya lahan. Sementara, analisis yang tersebar di berbagai negara. Sebut saja, Miguel A.

spasial bertumpu pada teknik pemetaan modern. Praktek spasial bertumpu pada teknik pemetaan modern. Praktek

lahan skala luas. Apalagi ketika pemberlakuan (sejarah) hubungan tradisional penduduk terhadap

kebijakan otonomi daerah (termasuk otonomi khusus) sumber-sumber agraria/hutan yang menjadi sumber

berdampak terhadap cara pandang dan perilaku penghidupan utama.

birokrasi pengurusan sumberdaya alam yang rawan Ciptaningrat Larastiti dalam tulisannya, alih-alih

korupsi, seperti yang hangat diberitakan di media sebagai kebijakan pendukung skema REDD+,

massa akhir-akhir ini.

moratorium hutan di Kalimantan Tengah justru Selain mempopulerkan “korupsi perijinan” pejabat

merupakan bentuk lain dari apa yang dirumuskan publik di daerah, politik desentralisasi dan kebijakan

Vandergeest dan Peluso (1995) sebagai bentuk otonomi daerah di Indonesia dalam beberapa

teritorialisasi negara. Tulisnya, “moratorium sebagai tahun terakhir ini telah memungkinkan terbukanya

pengalaman abstrak mengulang teritorialisasi partisipasi komunitas lokal/adat ikut ambil bagian,

negara sebelum-sebelumnya yang tidak melibatkan baik berupa advokasi maupun kampanye publik,

konsep ruang masyarakat.” Lebih jauh, penetapan penataan ruang dan perluas wilayah kelola rakyat.

status dan fungsi kawasan hutan serta perencanaan Paralel dengan upaya-upaya tersebut, pemerintah

ruang di Kalimantan Tengah telah mengabaikan sendiri turut mengembangkan model pengelolaan

beberapa penerbitan ijin konversi hutan sekalipun dan akses terhadap kawasan hutan (negara) melalui

di atas kawasan moratorium. Baik pemerintah program perhutanan sosial atau lazim disebut

pusat atau daerah memiliki kehendak masing- PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).

masing atas kawasan yang didakunya – yang dalam Diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.6 tahun

hal ini dilihat sebagai sebuah kontestasi teritori. 2007 tentang Tata Kelola Kehutanan, semakin banyak

Pada kasus tertentu, kehendak dengan berbagai masyarakat lokal atau adat yang berada di sekitar

legitimasi-hukumnya justru menciptakan ruang abu- dan di dalam kawasan hutan yang mengajukan ijin

abu yang rentan konversi hutan dan ketidakadilan pengelolaan hutan dalam skema program-program

sosial. Pengalaman pengaturan ruang dan kawasan kehutanan masyarakat (HKm), hutan desa (HD) dan

hutan di Kalimantan Tengah bukanlah satu-satunya hutan tanaman rakyat (HTR). Pemerintah sendiri

contoh kasus bagaimana tarik ulur “bagi-bagi” ruang telah menargetkan pencapaian pelaksanaan Program

(abstrak) antara pemerintah pusat dan elite birokrasi Kehutanan Masyarakat dan Hutan Desa seluas 2,5

teritorialisasi negara modern kemudian melahirkan apa yang juta ha (Rencana Kehutanan Nasional tahun 2013). disebut sebagai ruang abstrak. Ruang abstrak ini bersifat linear,

seragam dan dapat dipotong-potong dalam unit-unit yang Meski Pemerintah telah membuka saluran-saluran

diskrit (satuan luas maupun koordinat letak) sehingga dapat pelibatan masyarakat disekitar hutan (negara), diukur melalui teknik pemetaan modern. Hasil dari pemetaan

faktanya desa-desa di sekitar kawasan merupakan ruang (abstrak) tersebut kemudian menjadi alat verifikasi

salah satu penyumbang konflik tenurial tertinggi. status wilayah dan pembanding menggunakan rasio-rasio

Perluasan pengusahaan tanah dan kekayaan alam pengukuran kepada pihak-pihak lain, seperti status desa/

skala luas yang tumpang tindih dengan tanah-tanah kota, topografi, jenis tanah dan sebagainya. Sementara

masyarakat di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat pada dasarnya tidak mengenali ruang abstrak

salahsatu faktor penyebab tingginya angka konflik dan tidak memiliki akses terhadap peta-peta yang dibuat

tenurial antara masyarakat lokal/adat, pemerintah oleh agen-agen pemerintah maupun militer. (Vandergeest

dan pengusaha, mengutip Li (2002), melalui program dan Peluso 1995) dan pengusaha, mengutip Li (2002), melalui program dan Peluso 1995)

Terkait dengan pilihan kebijakan pengelolaan kawasan hutan “dari atas”, tulisan Yando Zakaria menjadi sangat relevan bagaimana memahami dinamika pilihan-pilihan kebijakan pengelolaan hutan di era desentralisasi dengan mengambil kasus Aceh pasca berlakunya otonomi khusus. Terlebih, sejak diterbitkannya kebijakan yang terkait langsung terhadap pengaturan tenurial dan wilayah kelola rakyat terhadap hutan diantaranya: Putusan Mahkamah Konstitusi No 45/PUU-IX/2011 mengenai kawasan hutan telah mendorong pemerintah melakukan perbaikan dan percepatan proses-proses pengukuhan kawasan hutan; Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 yang berimplikasi terhadap pengakuan negara terhadap hutan adat, dan yang terakhir UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang turut mengatur keberadaan hutan desa yang hingga saat ini masih ramai diperbincangkan – jika tidak ingin mengatakan memunculkan kegamangan – di berbagai ranah mengenai bagaimana implementasi konkrit kebijakan tersebut. Dengan menggunakan terminologi “jalur nasional” maupun ‘jalur lokal’ (hutan mukim), Zakaria menunjukkan peluang berikut limitasi yang terkandung dalam pilihan-pilihan tersebut.

Kontestasi yang terus berlangsung antara agenda pengaturan negara dengan wacana kritik terhadapnya, ditingkat komunitas sendiri masih ditemukan model- model pengelolaan kawasan hutan sebagai kebalikan dari cara-cara pengelolaan kawasan yang destruktif oleh ekspansi industri berbasis lahan skala luas,

seperti dipaparkan Larastiti dan Zakaria dalam tulisannya. Merespon realitas tersebut, “Sistem Hutan Kerakyatan (SHK)” kemudian menjadi terminologi yang dipilih dan mulai dipropagandakan sejak tahun 1997 oleh para pelaku gerakan pendukungnya. Keterpilihan SHK sebagai sebuah terminologi gerakan meyakini, masyarakat lokal atau sekitar hutan dengan pengetahuan yang mereka miliki secara turun- temurun justru lebih handal dalam mengelola hutan secara lestari. Pengelolaan hutan secara lestari itu sendiri merupakan proses sosial dalam menata ulang sistem sosial-ekologi kawasan hutan yang hancur akibat intervensi pembangunan, dan dengan demikian SHK sebuah paradigma pengelolaan hutan berbasis rakyat menggantikan paradigma pengelolaan hutan oleh negara. (KpSHK 2003)

Penutup

Kehadiran mega proyek REDD+ sebagai alat pengaturan global atas penduduk di kawasan

hutan sulit dielakkan disatu sisi. 5 Disisi yang lain, memandang kehidupan rakyat di sekitar hutan sebagai komunitas yang terisolir dari lingkungan luar (global) adalah cara pandang romantis yang menuntut cara pandang kritis terhadapnya, ada atau tidaknya REDD+. Seperti ditemui di beberapa tempat, selain kayu, pemanfaatan kawasan hutan oleh komunitas adalah tanaman komoditas perkebunan yang pasarnya tidak hanya lokal namun jadi komoditas eksport, misal kopi arabica, seperti yang diusahakan oleh penduduk desa di kecamatan Kayu Aro, Jambi Mengutip, Chayanov (1966: 258), “melalui kaitan-

5 Selain didorong desakan konversi hutan skala luas untuk perkebunan berorientasi eksport, ekspansi “bisnis hijau/ konservasi” skala luas seperti bisnis ekowisata, maupun ijin restorasi ekosistem merupakan salah satu mekanisme “pengambil-alihan lahan” (land grabbing) rakyat disekitar hutan. Pemaparan ragam proses perampasan lahan, dapat dilihat pada Zoomers (2010).

kaitan ini (hubungan perdagangan, red), setiap Transformasi Sosial, No. 30, Tahun XV, 2013. petani kecil menjadi bagian organik dari ekonomi

Yogjakarta: Insist

dunia, mengalami dampaknya kehidupan ekonomi dunia, menjadi dikendalikan dalam pengelolaannya

Bryant, Raymond L. and Sinead Bailey. 1997. Third oleh tuntutan-tuntutan ekonomi kapitalistis global,

World Political Ecology. Routledge, London. dan pada gilirannya, bersama jutaan sesama petani,

Chayanov, A. 1966. The Theory of Peasant Economy. mempengaruhi seluruh sistim perekonomian global.”

In Daniel Thorner, Basile Kerblay, and R.E.F. Smith (eds). The American Economic Association, Illinois.

Baik SHK maupun kebijakan kehutanan tidak berada dalam ruang hampa dan berajalan sendiri-sendiri.

Corson, Catherine. 2011. Territorialization, enclosure Namun, cara pandang para pengambil kebijakan

and neoliberalism: non-state influence in struggles terhadap proyek-proyek tersebut masih berkutat pada

over Madagascar’s forests, The Journal of Peasant persoalan-persoalan teknis ukur-mengukur belaka.

Studies, 38:4, 703-726.

Dilain pihak, alih-alih menerimanya sebagai sebuah keniscayaan atau kumpulan pengetahuan masa

KpSHK. 2003. Lebih Dekat dengan KpSHK. Bogor: lalu atas keberadaan SHK, menyisakan pertanyaan

KpSHK

mendasar, apakah sistem hutan kerakyatan (SHK) Li, Tania. 2002. Proses Tranformasi Daerah

masih cukup handal sebagai model pengelolaan Pedalaman di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor

hutan lestari sekaligus sebagai kritik-aksi terhadap pengaturan baik negara hingga institusi ekonomi-

Indonesia.

politik global atas hutan yang melahirkan pemiskinan Muhajir, Mumu. 2010. REDD di Indonesia: kemana warga dan degradasi lingkungan? Bagaimana

akan melangkah. Seri Hukum dan Keadilan Iklim. interaksi SHK merespon dinamika baik yang tumbuh

Jakarta: HuMA

dari dalam maupun didesakkan dari luar? Dan sejauh Peluso, N.L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat:

mana kontribusi gerakan pendukung dan pelaku Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa.

SHK dalam merespon dinamika tersebut? Tentu

Jakarta: Konphalindo.

saja pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan untuk dijawab dalam sekali waktu, namun diharapkan dapat

UNEP. 2014. Building Natural Capital: How REDD+ mendorong refleksi kritis para pihak yang menaruh

can Support a Green Economy. Report of the perhatian terhadap keberlangsungan pengelolaan

International Resource Panel, United Nations hutan di Indonesia. Selamat Membaca !!

Environment Programme, Nairobi, Kenya.

Referensi

Vandergeest, Peter and Nancy Lee Peluso. 1995. Territorialization and state power in Thailand. Theory

Ampri, Irfa, et al. 2014. The Landscape of Public

andSociety 24: 385-426.

Climate Finance in Indonesia. An Indonesian Ministry of Finance and CPI Report, Indonesia.

Zoomers, Annelies. 2010. ‘Globalisation and the foreignisation of space: seven processes driving the

Astuti, Rini. 2013. REDD+ sebagai Strategi-Strategi current global land grab’. Journal of Peasant Studies Kepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia:

37(2), pp. 429-447, 2010.

Sebuah Perspektif Foucauldian. Wacana, Jurnal

Mekanisme Pembagian Manfaat REDD+ dalam Konteks Hutan Kemasyarakatan

Oleh : Shintia D. Arwida (Research Officer, Livelihood Benefit Sharing - CIFOR) Email : arwida@gmail.com

Aktivitas budidaya rotan di Desa Tumbang Liting, Kalteng ( © KpSHK )

EDD+ merupakan mekanisme global yang Indonesia adalah salah satu negara terdepan bertujuan memperlambat terjadinya perubahan

dalam implementasi REDD+. Sejak COP-13 di

iklim melalui penurunan emisi akibat deforestasi dan Bali, Indonesia secara aktif melaksanakan program kerusakan hutan. Sementara tanda plus mencakup

REDD+ di tingkat nasional dan daerah. Pelaksanaan komponen lain dari inisiatif ini yaitu penurunan emisi

ini tentunya disesuaikan dengan perkembangan dari konservasi cadangan karbon hutan(conservation

perundingan UNFCCC terkait aspek kebijakan,teknis dan metodologi, serta penyiapan institusipendukung

of forest carbon stocks), pengelolaan hutan secara REDD+.Setelah tahun 2014, pelaksanaan program berkelanjutan (sustainable forests management) dan REDD+ di Indonesia dijadwalkan memasuki fase ke 3 peningkatan cadangan karbon hutan (enhancement

yang berfokus pada pembiayaan berbasis hasil (result of forest carbon stocks).REDD+akan melibatkan

based financing) dan mekanisme berbasis pasar sejumlah besar transfer uang dari negara maju ke

(market based mechanism). Pada fase ini diharapkan negara berkembang dan miskin sebagai kompensasi

terjadi perdagangan karbon yang akan memberikan karena mereka melindungi hutannya (Macintosh,

pendapatan finansial pada pelaku program REDD+. 2010; Global Witness, 2010; CCMP, 2009). Skema

Dari pelaksanaan sejumlah proyek percontohan ini merupakan bagian dari komitmen di bawah

REDD+ di Indonesia dan dunia, ada beberapa Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim pembelajaran penting yang bisa ditarik agar REDD+ (UNFCCC) untuk mengurangi dampak negatif emisi bisa berjalan dengan lebih efektif pada skala yang

karbon terhadap perubahan iklim.

lebih luas. Pembelajaran—yang sekaligus juga mereka untuk melaksanakan pengelolaan hutan tantangan—tersebut adalah (i) jaminan pengakuan

secara berkelanjutan, sesuatu yang juga dipraktikkan terhadap hak atas tanah, (ii) keterlibatan yang lebih

dalam program REDD+. Tentunya, peran masyarakat inklusif dari masyarakat lokal dalam pengelolaan

lokal dalam pelaksanaan program REDD+, khususnya hutan, (iii) pengembangan kebijakan, hukum, dan

dalam menyediakan jasa lingkungan berupa kerangka kerja institusional, serta (iv) membangun

pengelolaan dan pengawasan hutan, memerlukan kapasitas semua pemangku kepentingan untuk bisa

kompensasi yang memadai (RECOFTC, 2011; Pham berpartisipasi secara efektif (RECOFTC, 2011; Elson,

et.al.,2013).Sebab, hal ini merupakan “jantung” dari 2012; Yasmi, 2013).

skema REDD+ itu sendiri: menciptakan insentif yang diperlukan untuk aktivitas yang mengurangi emisi

Meski peran masyarakat lokal dalam pengelolaan karbon. Sejumlah skema hutan kemasyarakatan hutan dianggap penting bagi kesuksesan REDD+,

seperti di Nepal dan Tanzania,terbilang cukup sukses pada kenyataannya belum banyak program REDD+

memasukkan mekanisme pembagian manfaat yang berhasil memaksimalkan hal ini. Sejumlah

(benefit sharing mechanism) untuk memastikan agar penelitian (Yasmi, 2013; Global Witness, 2010)

manfaat finansial yang diperoleh dari programakan mengidentifikasi beberapa kendala yang sangat

sampai ke kelompok masyarakat di akar rumput. mungkin “menghalangi” partisipasi masyarakat lokal

dalam pengelolaan hutan yaitu: status lahan dari Sejalan dengan hal ini, pada bulan Januari 2013, hutan kemasyarakat/hutan adat yang seringkali

Kelompok Kerja REDD+ Asia bertemu di Indonesia untuk menemui kendala untuk dilegalformalkan karena

berbagi pengalaman dalam mengimplementasikan belum adanya pengakuan oleh negara, kebijakan/

REDD+ dan mendukung komunitas yang bergantung peraturan pemerintah yang berbelit-belit, pengaturan

pada hutan. Beberapa catatan penting yang diperoleh kelembagaan masyarakat yang belum kuat (atau

dari pertemuan ini adalah sebagai berikut. Pertama, belum ada), dan kurangnya kapasitas terkait teknis

masyarakat perlu memiliki kewenangan pengelolaan pelaksanaan REDD+ khususnya pengawasan,

sumber daya alam dan hak yang dijamin hukum pelaporan dan verifikasi (MRV).

untuk menerima pembayaran atas jasa lingkungan yang mereka berikan. Kedua, masyarakat harus

Dalam konteks Indonesia, peran masyarakat lokal mengambil peran aktif dalam proses merancang

dalam mensukseskan program REDD+ memang sangat signifikan, karena di Indonesia terdapat kurang sistem pembagian manfaatREDD+ untuk

memastikan manfaat didistribusikan secara merata, lebih 32,000 desa yang berlokasi di sekitar hutan, yang

bermanfaat bagi masyarakat lokal dan sepadan merepresentasikan 36% dari populasi pedesaan.

dengan kebutuhan, usaha serta investasi yang telah Selama berabad-abad, penduduk dari desa-desa di

masyarakat keluarkan. Terakhir, undang-undang sekitar hutan ini telah memanfaatkan dan melindungi

dan kebijakan harus menghargai peran masyarakat hutan, karena menyadari manfaat ekonomi, budaya,

dalam melestarikan jasa ekosistem hutan, termasuk dan spiritualnya (Poffenberger and Hartanto, 2013).

di dalamnya menjamin hak masyarakat atas sumber Terkait dengan peningkatan kapasitas masyarakat

daya alam. Temuan-temuan ini telah disepakati untuk lokal agar lebih mampu berpartisipasi aktif dalam

dijadikan masukan bagi perumusan strategi REDD+ program REDD+, skema hutan kemasyarakatan

nasional.

sejatinya bisa membantu masyarakat dengan melatih

Mekanisme Pembagian Manfaat

tata kelola, transfer teknologi, partisipasi masyarakat ditingkatkan dalam pengambilan keputusan, dan

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan pembagian

penyediaan infrastruktur).

manfaat? Konsep pembagian manfaat dari sumber daya alam pertama kali dicetuskan dalam hukum

Manfaat-manfaat inilah yang harus dibagikan kepada internasional di tahun 1992 yang disahkan melalui

para pemangku kepentingan dalam suatu program Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on

REDD+. Mekanisme pembagian manfaat REDD+ Biological Diversity - CBD), sebuah gerakan yang

sendiri bisa dibedakan menjadi dua, yaitu: diharapkan mampu mengatasi masalah dengan

1. Pembagian manfaat secara vertikal yang meliputi tata kelola sistem sosial-ekologis di negara-negara

pembagian manfaatlintas tingkatan [pemerintahan] berkembang (Nkhata et. al. 2012a).

dari tingkat nasional sampai lokal, dan Dalam konteks REDD+, pembagian manfaat

2. Pembagian manfaat secara horisontal yang meliputi mengacu pada distribusi manfaat finansial dan non

pembagian manfaat dalam tingkatan yang sama yakni finansial yang dihasilkan dari implementasi program

di dalam atau antar masyarakat, rumah tangga dan REDD+. Sebagai catatan, “manfaat” yang dimaksud

para pemangku kepentingan lokal lainnya (Lindhjem et. al. 2010; UN-REDD, 2011).

di sini adalah manfaat netto atau manfaat bersih yang diperoleh setelah dikurangi biaya yang dikeluarkan

Kedua jenis mekanisme pembagian manfaat REDD+ untuk menjalankan program REDD+. Biaya ini sendiri

ini perlu dirancang berdasarkan prinsip 3E atau ada dua jenis, yaitu:

ekuitas, efektif, dan efisien. Menurut Brockhaus et. al. 1. Biaya pelaksanaan dan transaksi, mencakup biaya

(2013) tujuan penggunaan prinsip 3E dalam desain yang dikeluarkan dalam membangun sistem REDD+

mekanisme pembagian manfaat adalah: dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan;

1. Untuk memaksimalkan ekuitas (kesetaraan) di antara aktor-aktor yang bertanggung jawab untuk

2. Biaya kesempatan, atau keuntungan potensial dari pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, alternatif penggunaan lahan yang hilang akibat dijalankannya program REDD+ di tempat tersebut.

2. Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan, dan

Manfaat netto sendiri ada tiga macam menurut Luttrell et. al. (2013), yaitu:

3. Untuk meningkatkan efisiensi dari program nasional dan sub nasional (umumnya dicapai dengan

1. Manfaat dari pelaksanaan program/proyek REDD+ meminimalkan biaya pelaksanaan dan transaksi). atau kebijakan terkait REDD+ (misalnya bantuan keuangan langsung/ direct financial payments);

Dalam pembahasan 3E ini, biasanya yang sering menjadi perdebatan adalah bagaimana prinsip

2. Manfaat yang muncul akibat perubahan pemanfaatan ekuitas atau kesetaraan harus didefinisikan. Kepada hutan (misalnya meningkatnya ketersediaan jasa siapakah seharusnya manfaat ini dibagikan? Tabel 1 lingkungan dan hasil hutan non-kayu/NFTP) menyajikan empat pendapat yang mengemuka dalam

3. Manfaat tidak langsung dan manfaat non-moneter

perdebatan tentang ekuitas.

karenaimplementasi REDD+ (misalnya perbaikan

Table 1. Siapa yang Berhak Menerima Manfaat Pendapat

Dasar

Argumen

Soal Ekuitas Teori

Pendapat 1 Libertarian Manfaat harus diterima oleh orang-orang yang berhak secara hukum. Belum adanya Based

hukum yang jelas yang mengatur soal hak kepemilikan atas penyerapan dan penyimpanan karbon, membuat status kepemilikan tanah, hak pengelolaan hutan (seperti konsesi), dan hukum/peraturan lain yang mengatur pembagian manfaat dari hutan bisa dijadikan alternatif dasar untuk mengalokasikan pembayaran dari penjualan karbon. Namun, hak kepemilikan atas tanah ataupun pohon, seharusnya tidak secara otomatis memberikan hak bagi si pemilik untuk menerima keuntungan dari penyerapan dan penyimpanan karbon (Peskett dan Brodnig 2011).

Pendapat 2 Need Manfaat harus diterima oleh mereka yang sudah menjaga hutan dan mengurangi emisi Based

karbon. Tidak hanya bagi pelaku program REDD+ tetapi juga kepada masyarakat setempat atau pengguna hutan lain yang memiliki rekam jejak pengelolaan hutan berkelanjutan. Menurut pendapat ini, manfaat dari REDD+ utamanya berperan dalam menghargai upaya menjaga hutan yang sudah dilakukan dan mendorong agar perlindungan terhadap hutan ini terus berlanjut. Dengan pendekatan ini, satu komunitas lokal penjaga hutan yang hak kepemilikan tanah adatnya tidak diakui secara legal oleh negara tetap memiliki hak untuk mengklaim manfaat dari program REDD+.

Pendapat 3 Merit Based Manfaat harus diterima oleh mereka yang menanggung biaya pelaksanaan dan transaksi serta biaya kesempatan dari program REDD+. Mereka harus dikompensasi terlepas dari berapa jumlah reduksi emisi karbon yang mereka hasilkan. Dengan kata lain, pembagian manfaat harus proporsional dengan input yang berikan. Lebih mudah mengukur dan menghitung input, ketimbang menghitung pengurangan emisi yang terjadi ataupun biaya kesempatan karena pelaksanaan program REDD+. Pendekatan ini mengakui kebutuhan untuk memberikan insentif bagi pelaku yang terlibat dalam tahap awal implementasi REDD+.

Pendapat 4 Egalitarian Manfaat (dalam jumlah proporsional) harus diberikan kepada fasilitator yang secara Based

efektif membantu implementasi program REDD+, seperti kontraktor proyek dan lembaga pemerintah.

Sumber: Luttrell et. al. (2012)

Pembagian Manfaat dan Skema

pengelolaan hutan ([Jambiya et. al., 2012; Jimbira et.

Hutan Kemasyarakatan

al., 2012; Lestrelin et. al., 2012; Sitoe et. al., 2012] in Pham et. al., 2013)

Dengan rujukan-rujukan ini, maka pembagian manfaat dalam konteks hutan kemasyarakatan

Perbedaan mendasar antara CBNRM dan JFM yang menjalankan program REDD+cenderungakan

adalah, JFM biasanya diimplementasikan pada lahan masuk dalam mekanisme pembagian manfaat secara

hutan yang dimiliki oleh instansi pemerintah. Dalam hal horisontal dan mengacu pada pendapat ekuitas

ini, pemerintah memiliki otoritas untuk memutuskan nomor 2.

seberapa besar manfaat dan bagaimana mekanisme pembagiannya. Pham et. al., (2013) menyebutkan,

Contoh skema yang sering dipakai untuk menjabarkan terkait dengan pembagian manfaat, tantangan pembagian manfaat secara horizontal adalah

terbesar yang ada pada skema CBNRM dan JFM Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat

adalah masalah pelaksanaan kesepakatan sesuai (CBNRM) dan Pengelolaan Hutan Bersama (JFM).

aturan, pengawasan, transparansi, pengembangan Salah satu tujuan CBNRM adalah membentuk

kapasitas, dan bagaimana mengurangi kekuasaan kelembagaan yang tepat agar masyarakat lokal

instansi pemerintah untuk menghindari “elite capture”. bisa secara sah mengelola sumber daya alam dan

Yang dimaksud dengan elite capture adalah klaim memetik manfaat langsungnya. Jadi dalam CBNRM,

atau perebutan manfaat oleh penguasa. aset yang ada dimiliki/dikelola secara komunal dan pendapatan yang diperoleh dari aset itu disalurkan secara horisontal kepada masyarakat atau individu. Contoh CBNRM yang berjalan dengan baik bisa dilihat dari studi kasus Nepal. Kunci dari kesuksesan CBNRM Nepal adalah fleksibilitas dan variasi yang diperbolehkan dalam menyusun skema pembagian manfaat bagi masyarakat.

Sedangkan JFM adalah pengembangan kemitraan antara kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar dan memanfaatkan hutan dengan Departemen Kehutanan di suatu daerah. Kerjasama ini berlandaskan asas saling percaya dan secara bersama-sama menentukan peran dan tanggung jawab masing- masing pihak untuk perlindungan dan pengembangan hutan (Sharma dan Kohli 2012). Peran positif dari kemitraan dalam JFM dan kemampuannya untuk menghasilkan manfaat tambahan bagi masyarakat lokal diakui di semua negara yang menerapkan JFM seperti Burkina Faso, Mozambik, Tanzania,dan Laos. Catatan penting lain adalah, JFM didukung oleh

Aktivitas pengolahan rotan di Kutai Barat, Kaltim ( © KpSHK )

upaya pemerintah untuk melakukan desentralisasi

“Celah” dari Pembagian Manfaat Secara Horisontal

Jika ditelisik lebih dalam konteks Indonesia, maka celah dari model CBNRM adalah dominasi negara dalam hal kepemilikan lahan yang secara signifikan sangat mungkin membatasi proses pengambilan keputusan oleh masyarakat lokal. Di sini dikhawatirkan terjadi klaim dari instansi pemerintah terhadap manfaat yang seharusnya menjadi hak masyarakat. Atau lebih parah lagi, mengeliminasi masyarakat sepenuhnya dari peluang menjalankan program REDD+, karena pengakuan formal terhadap status kepemilikan lahan adalah salah satu syarat utama inisiasi proyek REDD+.

Sementara itu, untuk JFM, celahnya terdapat pada keterbatasan pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dalam melakukan pengelolaan keuangan. Hal ini sangat mungkin menghambat pembagian manfaat yang efektif, efisien dan setara antar pemangku kepentingan dalan masyarakat yang terlibat dalam program REDD+. Selain itu, jika masyarakat tidak terlibat sedari awal dalam proses desain pembagian manfaat, maka besar kemungkinan elite capture untuk terjadi.

Untuk “menambal” celah ini, kita bisa belajar banyak dari skema sertifikasi seperti Fair Trade yang mengharuskan adanya trasparansi dalam proses negosiasi dan pembuatan kontrak, termasuk di dalamnya menentukan pembagian keuntungan untuk semua pihak yang terlibat dalam kesepakatan Fair Trade. Proses audit pihak ketiga yang dilakukan oleh lembaga seperti Koalisi Anti Mafia Hutan juga bisa membantu mengawal pelaksanaan program agar tidak merugikan masyarakat lokal. Di tingkat masyarakat sendiri, perlu diusahakan adanya pelatihan dasar- dasar pengelolaan keuangan sederhana dan dibangunnya sistem rekonsiliasi keuangan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

Dari sisi pemerintah, upaya perbaikan seperti One Map Initiative dari Kementerian Kehutanan dan UU Desa No. 18 Tahun 2013 yang memberikan sinyalemen positif terhadap pengakuan hutan desa dan hutan adat, perlu terus dikawal oleh civil society organization agar pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik. Sebab upaya-upaya ini bisa membantu masyarakat mendapat pengakuan legal atas hutan yang dikelolanya.

Kondisi hutan adat Pungut Hilir, Kerinci, Jambi. ( © KpSHK )

Glosari

Jambiya, G., R. Shemdoe, R. Tukai, D. Kweka And T. Dokken. 2012. The Context Of Redd+ In Tanzania: Drivers,

CBNRM = Community Based Natural Resources Agents, And Institutions. Unpublished Project Document. Managament

Jimbira, S.s., M. Balinga And M. Zida. 2012. The Context Of Redd+ In Burkina Faso: Drivers, Agents And

COP = Conference of the Parties (konferensi Institutions. Unpublished Project Document. para pihak)

Lestrelin, G., M. Trockenbrodt, K. Phanvilay, S. Thongmanivong, T. Vongvisouk And J.c. Castella. 2012.

JFM = Joint Forest Management The Context Of Redd+ In The Lao People’s Democratic Republic: Drivers, Agents And Institutions. Unpublished

MRV = Monitoring, Reporting and Verification

Project Document.

NTFP = Non Forest Timber Products Lindhjem, H., I. Aronsen, K.g. Bråten And A. Gleinsvik. 2010. Experiences With Benefit Sharing: Issues

REDD = Reducing Emission from Deforestation And Options For Redd-Plus. Econ Pöyry, Oslo. and Forest Degradation

Luttrell, C., L. Loft, M. F. Gebara, D. Kweka, M. Brockhaus,

A. Angelsen, And W. D. Sunderlin. 2013. Who Should UNFCCC = United Nations Framework Convention

Benefit From Redd+? Rationales And Realities. Ecology on Climate Change

And Society 18(4): 52. Http://Dx.doi.org/10.5751/Es-05834-180452

Referensi

Macintosh, A. 2010. Can Money Grow On Trees? Reducing Emissions From Deforestation And Degradation

Brockhaus, M., M. Di Gregorio, T.t. Pham, And R. (Redd) In Developing Countries. Acfid. Research Paper. Carmenta. 2013. The Politics And Political Economy

Of Redd+: What Are The Implications For Efficiency, Nkhata, A.b., C. Breen And A.c. Mosimane. 2012A. Effectiveness And Equity? Unpublished Manuscript.

Engaging Common Property Theory: Implications For Benefit Sharing Research In Developing Countries.

Climate Change Media Partnership (Ccmp). 2009. International Journal Of The Commons 6:52–69. Reporting Redd. Http://Www.unep.org/Forests/

Portals/142/Docs/Reporting_redd-Media_pack.pdf Peskett, L. And G. Brodnig. 2011. Carbon Rights In Redd+: Media Pack. (14 July 2014)

Exploring The Implications For Poor And Vulnerable People. The World Bank And Redd-Net, Washington, Dc.

Elson, D. (2012), Guide To Investing In Locally Controlled Forestry, Growing Forest Partnerships In Association With

Pham, T.t., Brockhaus, M., Wong, G., Dung, L.n., Fao, Iied, Iucn, The Forests Dialogue And The World Bank.

Tjajadi, J.s., Loft, L., Luttrell C. And Assembe Mvondo, Iied, London, Uk.

S. 2013 Approaches To Benefit Sharing: A Preliminary Comparative Analysis Of 13 Redd+ Countries. Working

Global Witness. 2010. Understanding Redd+: The Role Of Paper 108. Cifor, Bogor, Indonesia.

Governance, Enforcement And Safeguards In Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation.

Poffenberger, M. And Hartanto, H. “Communities November 2010. Http://Www.forestcarbonpartnership.

Under Redd+.” The Jakarta Post. N.p., 4 Mar. 2013. org/Sites/Forestcarbonpartnership.org/Files/Documents/

Web. 14 July 2014. <Http://Www.thejakartapost.com/ Pdf/Apr2011/Understanding%20Redd+.Pdf (14 July 2014)

News/2013/03/04/Communities-Under-Redd.html>.

Recoftc. 2011. Community Forestry And Redd+. May Un-Redd Programme. 2011. Un-Redd Programme 2011. Http://Www.recoftc.org/Site/Community-Forestry-

Social And Environmental Principles And Criteria. And-Redd- (14 July 2014)

Version 3 – Draft For Consultation. September 2011. The United Nations Collaborative Programme On Reducing

Sharma, J.v. And P. Kohli. 2012. Forest Governance And Emissions From Deforestation And Forest Degradation

Implementation Of Redd+ In India. The Energy And In Developing Countries. Http://Www.un-Redd.org/ Resources Institute (Teri), New Delhi.

Multiple_benefits_sepc/Tabid/54130/Default.aspx (14 Luttrell, C., L. Loft, M.f. Gebara And D. Kweka. 2012. Who

July 2014).

Should Benefit And Why? Discourses On Redd+ Benefit Sharing. In: Angelsen, A., M. Brockhaus, W.d. Sunderlin,

Yasmi, Y. 2013. Social Justice In Asia-Pacific Region – Why And L. Verchot (Eds). Analysing Redd+: Challenges And

Are Rights So Important To Ensure Benefits For Forest- Choices, 129–152. Cifor, Bogor, Indonesia.

Dependent People? September 16, 2013. Http://Www. communitylandrights.org/Yurdi-Yasmi-Social-Justice-In-

Sitoe, A., A. Salomão And S. Wertz-Kanounnikoff. 2012. Asia-Pacific-Region-Why-Are-Rights-So-Important-To-

The Context Of Redd+ In Mozambique: Drivers, Agents, Ensure-Benefits-For-Forest-Dependent-People/ (14 July And Institutions. Occasional Paper No. 79 Cifor, Bogor,

Indonesia

Aktivitas masyarakat sekitar hutan kawasan Situ Cisanti, Bandung Selatan ( © KpSHK )

Moratorium Hutan dan Kontestasi Teritori. Studi Kasus Desa Baun

Bango di Bantaran Sungai Katingan 1

OLEH : Ciptaningrat Larastiti Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Email: ciptahningrat@gmail.com

ABSTRACT Forest moratorium is a national agenda of

reducing emission from deforestation and forest degradation that was initiated from Letter of Intent (LoI) Indonesia and Norway in 2010. The

Kanal bekas illegal logging di Petak Bahandang, Kalteng ( © KpSHK )

emergence of forest moratorium is embedded through the suspension maps of forest permit which are conducted by Ministry of Forestry

as the main authority in creating the function S and status of forest.The maps’ publication have Deforestation and Forest Degradation and

ebagai agenda Reducing Emissions from

already been started since 17th June 2011, but

Enhancing Forest Carbon Stocks (REDD+) 2 ,

the goal of reducing forest degradation is hardly

moratorium hutan menemui tantangan besar dari

being achieved. The suspension maps have been challenged by the local government in

berbagai aktor yang saling berkontestasi. Kontestasi

Central Kalimantan. Some studies showed that

muncul karena adanya tumpang tindih kebijakan tata

the challenges triggered by existing problem of

guna lahan dalam mengalokasikan sumber daya

overlapping land use (Rompas and Nugraha, 2013; Murdiyarso et all, 2011). Hence the emerging of

pada teritori tertentu. Argumentasi tersebut saya urai

forest moratorium supposed to be closely linked

lewat riset di Desa Baun Bango dan bantaran Sungai

to some efforts of state territorialization such as land use and spatial planning. It is also related to

Katingan yang diakui sebagai lahan gambut oleh

the community’s land use. The contested state

peta moratorium hutan. Riset ini dialamatkan pada

territorialization lets me assume that the outcomes

penjelasan gap antara tujuan moratorium hutan untuk

of forest moratorium in Baun Bango’s peatland forest is not exist.

menunda ijin konversi hutan dengan tata guna lahan dan kontrol sumber daya di desa.

Keywords: REDD+,forest moratorium, teritorialization, contested territory and land use.

2 REDD+ adalah, “Skema yang dibangun untuk 1. Tulisan ini merupakan bagian dari tugas akhir penulis

menyediakan insentif dalam mengurangi gas rumah di Pascasarjana Antropologi Budaya Universitas Gadjah

kaca melalui pengurangan degradasi hutan dan tutupan Mada (UGM). Pengumpulan data diperoleh dari penelitian

hutan. Pendekatan yang ditempuh oleh REDD+ adalah etnografi selama Februari-Juni 2013 di Provinsi Kalimantan

managemen hutan berkelanjutan dengan meningkatkan Tengah. Penelitian tersebut terselenggara atas kerjasama

aturan konservasi dan stok karbon dari hutan-hutan di Jurusan Antropologi Budaya UGM dan Jurusan Antropologi

negara berkembang,” (Indrarto dkk, 2012:Introduction) Sosial Universitas Oslo (UiO), Norwegia.

Perbincangan tentang moratorium hutan memang Kalimantan Tengah sebagai kawasan hutan. Padahal jarang terdengar di lokasi riset saya, Desa Baun Bango

RTRWP telah mengubah sebagian penggunaan Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah

lahan di Kalimantan Tengah menjadi perkebunan (Lihat Gambar 1). Moratorium hutan hanya muncul

kelapa sawit. 4

di atas peta yang diterbitkan Menteri Kehutanan Deskripsi di atas menajamkan persoalan tentang berdasarkanmandat Instruksi Presiden (Inpres)

teritorialisasi, khususnya di Desa Baun Bango dan Nomor 10/2011 dan Inpres Nomor 06/2013 (Lihat

bantaran Sungai Katingan. Pertanyannya, “Mengapa Gambar 2). Selebihnya, pengalaman moratorium

teritorialisasi melalui moratorium hutan di Desa Baun hutan justru muncul dari selembar kertas fotokopi

Bango tidak berhasil terwujud?” Guna menjawab bergambar peta permohonan konsesi perkebunan

pertanyaan tersebut, saya ingin mengurai gagasan kelapa sawit PT Jarak Pagar Katingan Perdana.

teoritis tentang teritorialisasi untuk mengerangkai Di atas kertas fotokopi tersebut tercoret gugatan,

tulisan. Teritorialisasi merupakan salah satu kunci “Inpress 10/11 (baca: moratorium hutan) lahan

dari diskusi ekologi politik dalam menyoal siapa dan gambut tidak diperbolehkan untuk perkebunan sawit.”

atas tujuan apa pengaturan teritori dilangsungkan Kehadiran konsesi perkebunan sawit memang bukan

(Natter dan Zierhofer, 2002: 229). 5 Secara etimologis, hal baru bagi masyarakat Dayak Ngaju di bantaran

teritorialisasi bisa didekati sebagai pengaturan tata Sungai Katingan. Sejak berlakunya pemilihan kepala

guna lahan oleh negara atas dorongan ekonomi daerah secara langsung di Kabupaten Katingan, bupati

global(Peluso dan Vandergeest, 2001; Natter dan terpilih langsung memberi ijin arahan lokasi PT Arjuna

Zierhofer, 2002; Cook dalam Allmendinger dan Utama Sawit pada 2006. Tiga penerbitan perkebunan

Tewdewr-Jones, 2006: 11).

sawit lahir dari legitimasi area penggunaan lain (APL) 4 Temuan Kementerian Kehutanan dan Satuan Tugas dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 08/2003

Pemberantasan Mafia Hukum menunjukan bahwa dari tentang tata ruang Provinsi Kalimantan Tengah. 3 seluruh kawasan hutan di Kalimantan Tengah diketahui

Sebaliknya, penerbitan ijin konsesi berlandaskan terdapat berbagai pelanggaran hukum antara lain melalui kewenangan daerah itu ditantang oleh otoritas kegiatan perkebunan dan pertambangan yang tidak mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan

pusat. Menteri Kehutanan tidak mengakui Perda terkait kawasan hutan. Di atas kawasan tersebut terdapat Nomor 08/2003, dan masih menggunakan Tata 352 unit perusahaan perkebunan dengan luas setidaknya

Guna Kawasan Hasil Kesepakatan (TGHK) sebagai 4,6 juta hektar namun hanya 67 unit perusahaan (sekitar 800 instrumen untuk melegitimasi kawasan hutan di

ribu hektar) yang memiliki izin pelepasan kawasan hutan. Provinsi Kalimantan Tengah. TGHK muncul dalam dua

Terdapat pula 615 unit perusahaan yang memperoleh izin surat keputusan Menteri Kehutanan pemutakhiran

melakukan pertambangan dengan luas setidaknya 3.7 juta TGHK tahun 2011 dan 2012 yangmenunjuk 100% luas

hektar dan hanya 9 unit perusahaan saja (atau sekitar 30 ribu hektar) yang telah memiliki izin penggunaan kawasan

3 Kepentingan pengelolaan ruang daerah diamanatkan hutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan melalui Undang-undang Nomor 24/1992 mengenai Tata

(Satgas Mafia Hukum dalam Steni dan Siswanto, 2011: 13). Ruang dan Undang-undang Nomor 22/1999 tentang

5 Lihat juga Yeung (1998) yang menempatkan diskusi Otonomi Daerah. Melalui legitimasi itu, pemerintah provinsi

tentang teritorialisasi sebagai bagian ekologi politik yang berhak mengajukan usulan tata ruang kawasan hutan.

beranjak dari tradisi geografi tentang keberadaan manusia dan non manusia dalam rumah ekologisnya (oikos).

Kepengaturan tersebut memiliki beberapa dimensi Negara melalui seperangkat jawatan dan hukum sebagai syarat dari teritorialisasi. Dimensi pertama

menciptakan peta untuk mengklaim kawasan hutan. adalah abstract space (Vandergeest dan Peluso, 1995:

Maka, teritorialisasi dapat dimaknai sebagai upaya 386). Dimensi itu menyebutkan bahwa pengalaman

memperoleh kontrol atas manusia dan sumber daya di teritorialiasi negara bersifat linear, bisa diukur dan

atas kawasan tertentu (Vandergeest dan Peluso, 1995; dikategorikan dalam pemetaan modern. Aktivitas

Peluso dan Lund, 2011). 6 Lahirnya UU Nomor 5/1967 7 teritorialisasi terdiri dari, “pengklasifikasian area,

menjadi penanda proses teritorialisasi negara sebagai penciptaan regulasi, pemetaan dan pembentukan

aktor tunggal atas kebijakan peruntukkan dan tata batas.”

guna kawasan hutan. Vandergeest dan Peluso (2001) menyebutnya sebagai “political forest.” 8 Dimensi kedua adalah “keterbacaan dan simplifikasi Perundangan (legibility and simplification)” (Scott, 1999). Maksud ini telah mengukuhkan otoritas Menteri Kehutanan keterbacaan dan simplifikasi terlihat dari kehendak untuk mengontrol sektor kehutanan selama 32 tahun.

negara untuk mengukur dan mengkalkukasi hutan Namun, saya tidak sepakat bila negara dipandang

demi memudahkan investasi. Hutan yang semula monolitik dalam mendorong teritorialisasi di kawasan

memiliki beragam vegetasi diubah menjadi mesin hutan. Jessop (2007) melalui pemahamannya komoditi tunggal. Hutan pun tidak absen dari official tentang Foucault menantang teori kekuasaan negara.

management yang menuntut adanya standarisasi. Telaah terhadap kekuasaan negara harus dimulai

Salah satunya melalui peta,“The forest itself would dari bawah, pada keberagaman dan keterbagian ke

not even have to be seen; It could be read accurately dalam kekuasaan-kekuasaan mikro (Jessop, 2007: from the tables and maps in the forester’s office,” 36). Seperti halnya otoritas Menteri Kehutanan yang

(Scott, 1999: 15). ditantang oleh desentralisasi politik. UU Nomor

22/1999 memberi mandat kepada pemerintah daerah Dua dimensi tersebut dilandasi asumsi, teritorialisasi

untuk mengelola sumber daya nasional yang ada di bisa terjadi karena ada anggapan bahwa negara

daerahnya dan mengatur tata

memiliki teritori terberi sebagai sumber kekuasaan negara (Vandergeest dan Peluso, 1995; Natter dan Zierhofer, 2002). Strategi teritorialisasi digunakan

6. Peluso dan Lund (2011) menawarkan bahwa mekanisme untuk mengontrol tindakan setiap orang dalam