Moratorium Sebagai Teritorialisasi Negara
Moratorium Sebagai Teritorialisasi Negara
Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menteri Lingkungan Norwegia telah menandatangani Letter of Intent (LoI) sebagai agenda untuk mengurangi degradasi hutan dan deforestasi (REDD+). Kesepakatan tersebut lahir dari janji Norwegia pada Conference of Parties (COP)
13 di Bali tahun 2007 untuk mengalokasikan 500 juta US$ per tahun kepada negara-negara yang ingin menjaga hutan tropisnya (Hagen dkk, 2012: 4-5).
Berlanjut September 2009, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menyatakan janji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia sebesar 26% dengan dana sendiri, dan 41% dibantu dana internasional. Janji SBY di KTT Negara G-20 Pittsburg disambut positif oleh Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg. Stoltenberg menyampaikan di www.climateactionprogramme.org,
“President Yudhoyono of Indonesia has made his country a dan daerah. Idealnya, bupati dan gubernur tidak leader on climate change ... and my government is proud to
menerbitkan rekomendasi maupun ijin arahan be a founding member.”
lokasi pada kawasan tertentu selama moratorium dilangsungkan. Sementara Menteri Kehutanan
Pada 26 Mei 2010, pertautan kepentingan antara hanya menerbitkan ijin restorasi ekosistem sebagai Stoltenberg dan SBY itu menguat seiring dengan janji
pengelola di daerah kritis.
1 miliar US$ dalam LoI Indonesia-Norwegia. Salah satu pasal LoI menyebut penundaan ijin baru untuk
Pada perjalanannya, moratorium hutan justru konversi lahan gambut dan hutan alam atau dikenal
mengakibatkan gap. Dua syarat di atas dimentahkan sebagai moratorium hutan. Selama ini, moratorium
oleh kontestasi tata ruang dan perbedaan konsep hutan disebut-sebut Presiden sebagai garda depan
peruntukkan dan tata guna lahan dengan masyarakat pengurangan emisi gas rumah kaca. Dalam Forest
Dayak di sekitar hutan gambut. Di Kalimantan Tengah, Asia Summit 5-6 Mei 2014, SBY menyebut bahwa
terjadi tarik menarik status dan fungsi kawasan hutan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) telah
antara kepentingan pemerintah daerah dengan melindungi 63 juta hektar hutan alam dan lahan
kepentingan Menteri Kehutanan. Kedua kepentingan gambut serta menurunkan laju deforestasi dari 1,2 itu memiliki legitimasi formal untuk mendefinisikan juta ke 450 ribu hektar per tahun pada 2011-2013.
kawasan hutan. Menteri Kehutanan menggunakan Satu tahun berikutnya, 20 Mei 2011, secara
TGHK tahun 1982, sementara Pemerintah Provinsi spesifik moratorium hutan diberi legalitas berupa
Kalimantan Tengah menggunakan Perda No 8/2003 InpresNomor 10/2011. Tujuannya adalah menghalau
tentang RTRWP.
ijin-ijin konsesi konversi lahan gambut dan hutan Melihat konteks tersebut, saya pun mengasumsikan
alam di atas kawasan yang telah dikenai moratorium bahwa moratorium hutan merupakan upaya
oleh Menteri Kehutanan. Berdasarkan Inpres Nomor teritorialisasi negara. Mengapa demikian? Menurut
10/2011, Menteri Kehutanan mendapat peran Vandergeest dan Peluso (1995), analisa tentang
besar karena moratorium hutan dibebankan di atas teritorialisasi bisa dilacak dari tradisi geografi kawasan hutan, baik hutan produksi, hutan lindung untuk mewujudkan hak-hak adnimistratif di dan hutan konservasi. Implementasinya dilakukan dalam kawasan kedaulatan negara. Teritorialisasi lewat penerbitan PIPIB setiap enam bulan. Di tingkat membatasi analisanya pada teritorialisasi-internal daerah, gubernur dan bupati mengemban amanat yang membicarakan kekuasaan negara untuk untuk menunda rekomendasi dan ijin lokasi baru mengategorikan zona ekonomis, membagi dan di atas kawasan hutan dan lahan gambut yang menciptakan regulasi untuk mengontrolnya. dimoratoriumkan.
Bila melihat amanat Inpres Nomor 10/2011, Moratorium hutan bisa diasumsikan sebagai dilanjutkan ke Inpres Nomor 6/2013, moratorium
teritorialisasi bila memenuhi dua dimensi yakni hutan tidak bisa lepas dari pengelolaan tata ruang.
pengalaman abstrak, serta keterbacaan dan Pertama, moratorium hutan mensyaratkan status dan
simplifikasi. Dimensi pertama, pengalaman abstrak, fungsi kawasan hutan untuk penerbitan PIPIB. Kedua,
menyangkut tentang pengalaman moratorium hutan agar bisa dipatuhi, moratorium hutan mengharuskan
yang tak lebih dari lembaran PIPIB. Pengalaman pengelolaan ruang yang sinergis antara pusat
orang tentang moratorium hutan berkutat pada orang tentang moratorium hutan berkutat pada
menjelaskan latar belakang historis dari peruntukkan PIPIB bisa mewujud menjadi pengalaman masyarakat
dan tata guna lahan di Desa Baun Bango. Hal seperti saat mereka secara menghadapi konsesi
itu dibutuhkan untuk memberi konteks tentang Taman Nasional Sebangau (TNS)
perkembangan teritorialisasi negara semenjak jaman mendengar keluhan atas pembatasan akses
kolonial hingga desentralisasi politik. masyarakat terhadap kawasan hutan yang didapuk
Menteri Kehutanan sebagai moratorium. Di sisi lain, Kedua, perwujudan moratorium hutan dalam peta pengalaman abstrak moratorium hutan juga membuat
membuat jutaan hektar kawasan hutan gambut yang masyarakat terancam akibat kedatangan calon
sulit dijangkau menjadi lebih mudah terbaca. Garis konsesi perkebunan sawit di lokasi moratorium yang
demarkasi pun dibuat tegas dalam peta, bersanding menjadi tempat penghidupan masyarakat Dayak di
dengan garis batas lain seperti penunjukkan taman bantaran Sungai Katingan.
nasional. Lewat simplifikasi itulah moratorium mewujud menjadi upaya pembuatan zona ekonomis.
Pengalaman peta dan regulasi dalam moratorium hutan memang diinstruksikan oleh presiden ke
Moratorium hutan justru hadir sebagai artikulasi jawatan dibawahnya, dan pemerintah daerah. Namun,
kepentingan global yang diwakilkan Stoltenberg saya tidak bisa mengasumsikan bahwa proses
dan SBY dalam LoI Indonesia-Norwegia. Saya moratorium bersifat sentralistik. Sebab, moratorium
menyepakati uraian Yeung (1998) dengan studinya
tentang globalisasi, ia memberi penekanan bahwa kini belum terpecahkan di pemerintah daerah Provinsi
memberi syarat tentang hutan politis 10 yang hingga
pembuatan batas di dalam kedaulatan negara juga Kalimantan Tengah ataupun Menteri Kehutanan.
dibentuk oleh transaksi transnasional. Dengan demikian, negara justru menjalankan fungsi khusus
Moratorium hutan bisa pula dianggap sebagai yang memungkinkan akumulasi kapital hadir. bagian dari hutan politis, karena kemunculannya
mengharuskan status dan fungsi hutan. Dalam Maka tak berlebihan bila saya mengutip uraian keharusan itu, moratorium hutan terikat dengan
Escobar (2008) dan Howell (2013), bahwa moratorium teritorialisasi lain seperti perencanaan ruang.
hutan dalam REDD+ bisa pula dimaknai sebagai Perencanaan ruang menjadi perhatian saya karena
perpanjangan rejim the coloniality of nature. Sebab hingga proses penulisan ini dilakukan, Menteri
pertama adalah keberadaan moratorium hutan yang Kehutanan dan RTRWP Kalimantan Tengah belum
menyaratkan status dan fungsi kawasan hutan telah menemui kesepakatan tentang status dan fungsi
memarginalisasikan konsep penggunaan lahan masyarakat di pinggir hutan gambut. Moratorium
10. Sebagai hutan politis, teritorialisasi harus dilihat historis mengasumsikan bahwa kawasan yang telah digaris sebagai kemunculan kekuasaan baru atas sumber daya
dalam PIPIB merupakan lahan gambut penyimpan hutan (Peluso dan Vandergeest, 2001). Konsep hutan politis
karbon dan harus dilindungi. Seolah kawasan itu tidak bisa dilepaskan dari tradisi penguasaan sumber daya
tidak memiliki nilai guna di mata masyarakat bantaran oleh pemerintah kolonial. Salah satunya, pembentukan
Sungai Katingan. Sebab kedua, moratorium hutan juga institusi negara yang memiliki kewenangan atas urusan
membangun pandangan tentang alam yang esensial. kehutanan (Peluso dan Vandergeest, 2001: 765). Cara ini
Gagasan bahwa gambut mampu menyimpan karbon diwariskan Indonesia dengan hadirnya Menteri Kehutanan menjadi pengetahuan yang mutakhir kala wacana dan Undang-undang Pokok Kehutanan tahun 1967.
tentang REDD+ muncul. Kondisi itu terwakili oleh moratorium hutan dengan janji 1 miliar US$ untuk pendanaan REDD+.
Escobar (2008) dan Howell (2013) memilih kata penjajahan (coloniality) untuk menunjukkan keberulangan atas pengaturan teritori kawasan hutan hari ini dengan masa penjajahan. Jejak hutan politis di Kalimantan misalnya, sudah dimulai sejak abad
19 semasa pemerintah kolonial Belanda dan Inggris (Potter, 1988; Bryant, 1993; Peluso dan Vandergeest, 2001 dan 2006; Peluso, 2006). Pada sub bab berikutnya, saya ingin mengurai latar belakang historis dari teritorialisasi negara di atas hutan gambut yang kini tengah diwacanakan sebagai penyimpan karbon oleh REDD+.