Viabilitas Polen dan Kultur Anter Pada Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

(14)

(15)

(16)

(17)

(18)

(19)

(20)

(21)

(22)

(23)

(24)

(25)

(26)

(27)

(28)

(29)

(30)

(31)

ALERGENISITAS POLEN

DI UDARA BEBAS PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN

PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

NOR SHOLEKHAH DAMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(32)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Alergenisitas Polen di Udara Bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tulisan ini dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 24 Januari 2008

Nor Sholekhah Damayanti


(33)

ABSTRACK

NOR SHOLEKHAH DAMAYANTI. The Allergenicity of Airborne Pollen at Pasar Minggu South Jakarta in Wistar Rat (Rattus norvegicus). Under direction of SRI BUDIARTI, and ALEX HARTANA

Allergy cases were frequently reported at kecamatan Pasar Minggu South Jakarta. Pollen is one of the respiratory-system allergen substance which has never been explored in Indonesia. This research was conducted to know the allergenicity of airborne pollen at Pasar Minggu South Jakarta. The protein of airborne pollen at that area was identified and characterized. The detection of allergenicity was made to rat (Wistar strain) by in vivo experiment. There were four kind of airborne pollen found in Pasar Minggu, South Jakarta, which were: maize, dwarf coconut, pine, and oil palm pollen. Their protein concentration were, respectively, 65; 88; 14; and 66 mg/g of pollen. SDS-PAGE results showed that maize, dwarf coconut, pine, and oil palm pollen had several proteins with molecular weight ranging from 17 – 70 kDa; 17 – 68 kDa; 16 - 68 kDa; and 15 – 68 kDa, respectively. Skin inflamation was detected after injection of those

protein extract to mouse’s subcutaneous. Respiratory challenge caused an increase in relative weight of respiratory tract. This challenge though, cause a decrease in body weight and an increase in size for mucose membrane cells, a secretion of mucose, and an eruption of inflammation cells. All pollen were allergenic to wistar rat, thus can be utilized as an extract allergen for allergy detection and immunotherapy substances for human in Indonesia.


(34)

RINGKASAN

NOR SHOLEKHAH DAMAYANTI. Alergenisitas Polen di Udara Bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus).

Dibimbing oleh SRI BUDIARTI dan ALEX HARTANA.

Kasus alergi banyak dilaporkan terjadi di kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Polen merupakan salah satu jenis alergen pada sistem saluran pernapasan yang belum pernah diteliti di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alergenisitas polen di udara bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan. Polen yang ditemukan beterbangan bebas di daerah tersebut diidentifikasi dan dikarakterisasi berat molekul proteinnya. Pengujian terhadap alergenisitas polen dilakukan secara

in vivo dengan menggunakan tikus wistar. Empat jenis polen ditemukan beterbangan di udara bebas kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan, yaitu: polen jagung, kelapa genjah, pinus, dan kelapa sawit. Konsentrasi protein masing-masing polen yang diuji secara berurutan adalah 65, 88, 14, and 66 mg/gram polen. Hasil SDS-PAGE menunjukkan bahwa polen jagung, kelapa genjah, pinus, dan kelapa sawit berturut-turut mempunyai protein dengan berat molekul antara 17 – 70 kDa; 17 – 68 kDa; 16 - 68 kDa; dan 15 – 68 kDa. Reaksi inflamasi yang ditandai dengan pembengkakan pada kulit terjadi setelah dilakukan penyuntikan ekstrak polen pada bagian bawah kulit (subcutaneous) kaki tikus wistar. Pemaparan ekstrak polen pada saluran pernapasan tikus menyebabkan peningkatan relatif berat saluran pernapasan tikus, penurunan berat badan total tikus, pembesaran sel-sel membran mukosa, sekresi mukus yang berlebihan, dan erupsi sel-sel inflamasi. Semua polen yang diteliti bersifat alergenik pada tikus wistar, sehingga berpotensi digunakan sebagai ekstrak alergen untuk mendeteksi alergi pernapasan serta sebagai bahan imunoterapi penderita alergi di Indonesia.


(35)

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB


(36)

ALERGENISITAS POLEN

DI UDARA BEBAS PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN

PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

NOR SHOLEKHAH DAMAYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(37)

Judul Tesis : Alergenisitas Polen di Udara Bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus)

Nama : Nor Sholekhah Damayanti

NIM : P055050091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. dr. Sri Budiarti Prof. Dr. Ir. Alex Hartana Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Bioteknologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Muhammad Jusuf Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(38)

(39)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Karya ilmiah ini dilaksanakan sejak bulan November 2006 hingga Agustus 2007 dengan mengambil judul : Alergenisitas Polen di Udara Bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. dr. Sri Budiarti serta Bapak Prof. Dr. Ir. Alex Hartana selaku pembimbing yang selalu memberikan dukungan serta masukan-masukannya selama ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada SEAMEO-SEARCA dan Yayasan Damandiri yang telah memberikan bantuan berupa dana untuk penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI dan Dr. dr. Nurul Hiedayati atas bantuan serta persahabatan yang diberikan. Di samping itu, juga kepada Bapak Pras, Bapak Iwa, Bapak Edi, Mas Karman, Bapak Endang, dan Mbak Endang yang telah membantu penulis selama di lapangan maupun di laboratorium. Tidak lupa kepada rekan-rekan seperjuangan di laboratorium khususnya Mbak Fitma, Pak Sinaga, Bu Dona, dan Bu Amin. Serta kepada teman-teman terdekat penulis, yaitu Bu Santi, Ria, Mbak Ulva, Mbak Niken, Bu Indah, Irul, Mas Hasrul, serta Mas Imron atas kebersamaannya selama ini.

Terima kasih yang tak terungkapkan penulis ucapkan kepada suami tercinta Berry Juliandi atas dukungan serta cinta yang diberikan kepada penulis, kepada ananda tercinta Jasmine P. Aliva atas semangat dan pengertiannya, kepada Ibu dan almarhum Bapak atas doanya selama ini, serta kepada seluruh adik-adikku.

Penulis berharap semoga hasil karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat maupun bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Bogor, 24 Januari 2008


(40)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Solo pada tanggal 20 Februari 1979 dari pasangan Sri Murniati Mulyani dan almarhum Hario Sudarsono. Penulis merupakan putri pertama dari tujuh bersaudara. Pada tahun 1997 penulis masuk pada Jurusan Biologi FMIPA IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Gelar Sarjana Sains (S.Si) penulis dapatkan pada tahun 2002 dengan penelitian berjudul

“Viabilitas Polen dan Kultur Anter pada beberapa Kultivar Pisang (Musaspp)”.

Pada tahun 2001 penulis menikah dengan Berry Juliandi dan melahirkan seorang anak perempuan pada tahun 2002. Pada tahun 2004 penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi Biologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 2005 penulis mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama untuk melanjutkan pendidikannya pada Program Studi Bioteknologi IPB. Selama kuliah penulis juga mendapatkan bantuan penulisan tesis dari SEAMEO-SEARCA dan Yayasan Damandiri.


(41)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xi I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Polen... 4 2.1.1. Karakter Fisik Polen... 4 2.1.2. Karakter Kimiawi Polen... 6 2.2. Polen Penyebab Alergi Pernafasan... 6 2.3. Alergi (Hipersensitifitas)... 9 2.3.1. Alergi tipe I (Immediate; IgE-mediated)... 9 2.3.1.1. Pengaruh Gen terhadap Alergi Tipe 1... 10 2.3.1.2. Pengaruh Alergen Inhalasi pada Sistem

Saluran Pernafasan... 11 2.3.1.3. Deteksi Alergi Tipe 1... 12 2.3.1.4. Kasus Alergi Pernafasan di Indonesia... 13 2.3.2. Alergi tipe II (Cytotoxity)... 13 2.3.3. Alergi tipe III (Immune complex-mediated)... 14 2.3.4. Alergi tipe IV (Delayed cell-mediated -T cell

mediated cytolysis)... 14 2.4. Tikus Wistar... 15 2.5. SDS-PAGE (Sodium Dodesil Sulfat–Poliakrilamida Gel

Elektroforesis)...

15

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat... 17 3.2. Metode Penelitian... 17 3.2.1. Penangkapan Polen... 17 3.2.2. Identifikasi Polen pada Alat Penangkap Polen... 17 3.2.3. Pengumpulan Polen... 17 3.2.4. Pengekstrakan Polen... 18 3.2.5. Analisis Kadar Protein dan Penentuan Berat

Molekul Protein... 18 3.2.6. Uji Alerginisitas Polen pada Tikus Wistar... 19

3.2.6.1. Penyiapan dan Pengadaptasian Binatang

Uji... 19 3.2.6.2. Pengenalan Alergen pada Tikus... 20 3.2.6.3. Pemaparan Alergen pada Saluran


(42)

x 3.2.6.4. Penimbangan Berat Badan, Organ, dan

Histopatologi Laring dan Paru-paru

Tikus... 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Polen di Udara Bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan... 22 4.2. Protein Polen... 25 4.3. Respon Inflamasi setelah Pengenalan Alergen pada

Kaki Tikus... 26 4.4. Respon Berat Badan serta Berat Saluran Pernafasan Tikus

setelah Pemaparan Polen ... 28 4.5. Respon Histopatologi Laring dan Paru-Paru Tikus setelah

Pemaparan Polen... 29 4.6. Potensi Polen Jagung, Kelapa Genjah, Pinus, dan Kelapa

Sawitsebagai Bahan Deteksi Alergi dan Imunoterapi di

Indonesia... 32 V. KESIMPULAN... 35 DAFTAR PUSTAKA... 36 LAMPIRAN... 41


(43)

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur kerja pengujian alerginisitas polen pada tikus wistar... 19 2 Kadar protein polen... 25 3 Inflamasi lokal setelah pengenalan alergen... 27

Halaman

1 Polen... 23 2 Infloresens penghasil polen... 24 3 SDS-PAGE 10% protein polen... 26 4 Kaki tikus setelah penyuntikan alergen... 27 5 Perubahan berat badan tikus sebelum dan sesudah pemaparan

empat jenis polen pada saluran pernapasan... 29 6 Perubahan berat relatif paru-paru dengan laring dan trakea tikus

setelah pemaparan empat jenis polen pada saluran pernapasan... 29 7 Histopatologi laring tikus setelah pemaparan berbagai jenis polen

pada saluran pernapasan dengan perbesaran 400x... 31 8 Histopatologi paru-paru tikus setelah pemaparan berbagai jenis

polen pada saluran pernapasan dengan perbesaran 400x... 32 9 Daftar ekstrak alergen import yang digunakan Prodia... 33


(44)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Polen merupakan gametofit jantan tumbuhan yang berperan dalam proses pembuahan. Kandungan utama polen adalah protein, karbohidrat, lipid, dan air. Protein merupakan komponen dengan kadar tertinggi pada polen tanaman Aloe greatheadii (Human & Nicolson 2006), dan 20 jenis polen yang diteliti oleh Crane (1990). Polen mempunyai ukuran serta morfologi yang sangat beragam, sehingga identifikasi polen sering dilakukan dengan mengamati karakter fisik polen tersebut (Murray 2001). Polen dengan diameter kurang dari 100 m mudah tertiup angin (Weber 1998), sehingga berpotensi terhirup oleh saluran pernapasan dan menyebabkan alergi pernapasan (Environment Affair Department 2006, Hopkins Technology 2006).

Kasus alergi pernapasan banyak terjadi di Indonesia. Penelitian oleh Konthen (1985) menemukan bahwa 11,8% koresponden yang diteliti menderita rinitis (gangguan saluran pernapasan atas) dan 4,3% menderita asma (gangguan saluran pernapasan bawah). Penelitian oleh Siregar et al. (1990) menunjukkan bahwa 32,47% penduduk kelurahan Utan Kayu Jakarta menderita alergi rinitis dan 18,68% menderita asma. Penelitian di Jakarta oleh Sundaru (2005) menunjukkan bahwa 22% penduduk menderita alergi rinitis dan 7,5% menderita asma.

Alergi merupakan reaksi sistem pertahanan tubuh yang berlebihan terhadap suatu zat yang disebut alergen (zat asing yang menyebabkan alergi). Polen merupakan salah satu alergen pada saluran pernapasan (alergi tipe I). Penyebab utama alergi tipe 1 adalah faktor genetik (keturunan), namun faktor lingkungan juga bertanggung jawab sebagai penyebab alergi (Clough 2001).

Proses alergi tipe 1 diawali dengan tahap pengenalan alergen sehingga dihasilkan IgE oleh tubuh. Kontak alergen dengan IgE secara silang (cross linking) pada paparan berikutnya menyebabkan sel mast atau basofil mengalami degranulasi sehingga dilepaskan histamin serta mediator lainnya. Mediator yang dilepaskan sel mast atau basofil menyebabkan pelebaran pembuluh darah, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, sekresi mukus, kontraksi saluran pernafasan, gatal-gatal, pilek, dan bersin-bersin.


(45)

2

Alergi tipe 1 umumnya dideteksi melalui uji tusuk kulit dengan meneteskan ekstrak alergen pada kulit pasien dan kemudian menusuk bagian tersebut dengan ujung jarum (Black 1999). Uji lainnya dapat dilakukan secara in vitro antara lain dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay), yaitu melalui pembentukan kompleks antara alergen, IgE spesifik, dan anti-IgE berlabel (McKane & Kandel 1996). Penelitian di Indonesia terhadap ekstrak alergen bulu binatang dan tungau debu rumah berturut-turut telah dilakukan oleh Baratawidjaja et al. (1998) dan Chew

et al. (2000). Sedangkan penelitian terhadap ekstrak alergen polen di Indonesia belum pernah dilakukan. Ekstrak alergen polen untuk mendeteksi alergi di Indonesia masih mengimpor dari negara lain, sehingga kecocokannya sebagai bahan pengujian alergi di Indonesia masih perlu diteliti lebih lanjut. Selain dapat digunakan sebagai bahan pendeteksi alergi, ekstrak alergen yang tepat juga dapat digunakan sebagai bahan imunoterapi dalam penyembuhan alergi.

Pengujian pra klinis biasanya menggunakan hewan percobaan, sebelum suatu sampel diaplikasikan langsung pada manusia. Pemilihan jenis hewan percobaan sangat bergantung terhadap kesesuaian dan tujuan penelitian. Tikus wistar merupakan hewan model yang sering digunakan dalam penelitian alergi. Hasil penelitian alergi oleh Arts et al. (1996) menunjukkan bahwa kelainan yang terjadi pada tikus strain wistar sama dengan yang terjadi pada manusia.

Peta peruntukan tanah yang dikeluarkan oleh Dinas Tata Kota Jakarta (2005) menunjukkan bahwa pada kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan terdapat lahan penghijauan yang sangat luas (Lampiran 1). Tanaman tanjung, pinus, akasia, cempaka dadap merah, kelapa, jagung, pisang, kelapa sawit, rambutan, dan mangga banyak dijumpai pada daerah tersebut.

Menurut Laporan Tahunan Data Kesakitan dari berbagai puskesmas kecamatan di Jakarta (Puskesmas Jakarta 2006) menunjukkan bahwa kasus rinitis dan asma paling banyak dijumpai di kecamatan Pasar Minggu dibandingkan kecamatan lain di Jakarta, yaitu berjumlah 18.06%. Dengan demikian, tingginya kasus gangguan saluran pernapasan tersebut diduga berkaitan dengan adanya polen yang beterbangan di udara bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan.


(46)

3

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui alergenisitas polen di udara bebas kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan model tikus wistar.


(47)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Polen

Polen merupakan gametofit jantan tumbuhan yang berperan dalam proses pembuahan. Proses meiosis pada anter menyebabkan dihasilkannya polen yang

bersifat haploid (D’Arcy & Keating 1996). Polen mempunyai ukuran, bentuk,

serta struktur permukaan yang sangat beragam. Ciri-ciri fisik polen tersebut dapat digunakan sebagai kunci deskriptor dalam mengidentifikasi suatu polen (Murray 2001). Selain ciri fisik, setiap polen juga mengandung komponen-komponen kimia yang beragam (Crane 1990; Human & Nicolson 2006; Wang et al. 2006).

2.1.1. Karakter Fisik Polen

Ukuran polen sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 2 - 250 m. Polen tanaman Poaceae umumnya memiliki diameter 20 - 60 m, namun beberapa polen Poaceae berdiameter lebih dari kisaran tersebut. Polen dari tanaman jagung yang merupakan famili Poaceae mempunyai diameter 90 - 110 m. Tanaman Pinaceae menghasilkan polen berdiameter 40 - 100 m, sedangkan Plantaginaceae berdiameter 20 - 30 m, Asteraceae 15 - 30 m, Chenopodiales 20 - 80 m, Betulaceae 20 - 35 m, Aceraceae 25 - 49 m, Oleaceae 20 - 30 m, Salicaceae 10 - 20 m, dan Ulmaceae 25 - 40 m (Weber 1998). Polen tanaman Fagaceae umumnya berkisar antara 10 - 40 m (Frenguelli et al. 1991).

Bentuk polen sangat beragam. Tanaman dari famili Poaceae (rumput-rumputan) umumnya menghasilkan polen dengan bentuk bulat (Weber 1998). Begitu pula polen yang dihasilkan oleh tanaman pisang (Damayanti 2002), tanaman Cornaceae (Murray 2001), dan tanaman Fagaceae (Frenguelli et al.

1991). Sedangkan polen tanaman Cocos nucifera mempunyai bentuk elips (Roubik et al. 2003). Selain berbentuk bulat dan elips, beberapa polen mempunyai bentuk segitiga, yaitu polen kelapa sawit (Elaeis guineensis) yang dilaporkan oleh Lubis dan Adlin (1993), dan Roubik et al. (2003). Beberapa polen berbentuk unik, yaitu terlihat pada polen pinus yang mempunyai dua gelembung (vesikel) pada

kedua bagian sisinya. Dua gelembung tersebut disebut sebagai “Mickey Mouse Cap” karena bentuknya menyerupai tudung Mickey Mouse (Weber 1998; Roubik


(48)

5

et al. 2003). Pada umumnya polen bersifat monad, yaitu terdiri dari satu butir polen, namun beberapa tanaman menghasilkan polen yang terdiri dari beberapa butir polen. Polen monad antara lain ditemukan pada polen Poaceae, Aceraceae, Helianthus, Betulaceae (Weber 1998; Roubik et al. 2003), dan polen tanaman Musaceae (Damayanti 2002). Polen Acacia auriculiformis merupakan polen yang membentuk tetrad karena terdiri dari empat butir polen yang saling menempel (Weber 1998; Roubik et al. 2003). Polen tetrad juga ditemukan pada polen tanaman Annona cherimola (Gonzales et al. 2006). Beberapa polen tanaman Mimosa terdiri dari 16 butir polen sehingga disebut sebagai poliad (Weber 1998).

Permukaan polen mempunyai struktur khusus yang juga dapat digunakan sebagai kunci deskriptor. Struktur tersebut berupa guratan kasar (furrow), lubang (pore), dan ornamen halus (sculpture). Polen dengan guratan kasar pada permukaannya disebut sebagai colpate. Jumlah guratan pada permukaan polen dapat berjumlah satu atau lebih, sehingga polen dengan satu, dua, tiga, atau lebih guratan kasar berturut-turut disebut sebagai monocolpate, dicolpate, tricolpate, dan seterusnya (Weber 1998).

Lubang polen merupakan ciri fisik yang dapat digunakan sebagai salah satu parameter dalam identifikasi polen. Polen dengan lubang pada permukaannya disebut dengan porate. Jumlah lubang pada setiap polen berbeda-beda. Polen dengan lubang satu, dua, tiga, atau lebih berturut-turut disebut monoporate, diporate, triporate, dan seterusnya. Polen yang mempunyai guratan kasar dan lubang pada permukaannya disebut sebagai monocolporate, dicolporate, tricolporate, dan seterusnya tergantung pada jumlah lubang dan guratan pada permukaannya (Weber 1998).

Polen tanaman rumput-rumputan umumnya berupa monoporate. Polen Asteraceae dan Fagaceae umumnya berupa tricolporate. Sedangkan polen Chenopodiales dan Betulaceae berturut-turut berupa periporate (permukaan polen dipenuhi oleh banyak lubang) dan tri- atau pentaporate. Polen yang tidak memiliki guratan kasar dan lubang disebut sebagai inaperturate. Polen tanaman Pinaceae dan Cupressaceae adalah salah satu polen inaperture (Weber 1998; Roubik et al.


(49)

6

Struktur berupa ornamen-ornamen halus sangat bervariasi pada setiap permukaan polen. Struktur tersebut juga dapat digunakan sebagai salah satu parameter identifikasi polen. Cushing (2001) dan Minnich et al. (2003) menyebutkan, bahwa ornamen-ornamen halus tersebut dapat diamati apabila menggunakan Scanning Electrone Microscope (SEM). Struktur ornamen tersebut antara lain dikenal sebagai foveolate, verrucate, striate, reticulate, rugulate, dan echinate (Cushing 2001).

2.1.2. Karakter Kimiawi Polen

Polen mengandung komponen-komponen kimia dengan konsentrasi yang sangat beragam. Kandungan kimiawi utama polen adalah protein, karbohidrat, lipid, dan air (Human & Nicolson 2006).

Pada polen rumput-rumputan, protein merupakan komponen tertinggi, yaitu melebihi 40% dari kandungan polen, kandungan gula adalah antara 15 hingga 50%, dan kandungan tepung adalah kurang lebih 18 %. Penelitian oleh Human dan Nicolson (2006) menemukan bahwa protein merupakan komponen tertinggi yang terkandung pada polen tanaman Aloe greatheadii (Asphodelaceae), yaitu sebesar 51%, kemudian diikuti oleh karbohidrat sebesar 35%, air sebesar 13%, dan lipid sebesar 10%. Rata-rata kandungan protein pada 20 jenis polen yang diteliti oleh Crane (1990) adalah sebesar 20%, kemudian dikuti oleh gula sebesar 11%, air sebesar 10%, dan karbohidrat 8%, dan lipid sebesar 5%.

Protein polen dapat ditemukan pada dinding sel maupun bagian protoplasma polen. Pada polen jagung (Zea mays), protein ditemukan pada bagian dinding sel maupun pada sitoplasma polen (Wang et al. 2006).

2.2. Polen Penyebab Alergi Pernapasan

Polen merupakan salah satu partikel yang dapat menyebabkan alergi pernapasan. Ciri-ciri polen sebagai penyebab alergi pernapasan antara lain berukuran kecil serta kering (Environment Affair Department 2006; Hopkins Technology 2006) dan mengandung protein alergenik dengan berat molekul 10 hingga 70 kDa (Ticha et al. 2002; Puc 2003).


(50)

7

Pada saat cuaca hangat dan berangin, polen yang berukuran kecil serta bersifat kering mudah tertiup oleh angin. Weber (1998) menyebutkan bahwa polen berdiameter kurang dari 100 m merupakan polen yang mudah tertiup angin. Polen Cocos nucifera, Pinus, Poaceae, Asteraceae, Cassia, Quercus, Cedrus, Ailanthus, Cheno/Amaranth, Cyperus, Argemone, Xanthium, Parthenium,

Holoptelea, Eucalyptus, Casuarina, dan Putanjiva merupakan polen yang banyak ditemukan di udara bebas negara India (Singh & Kumar 2003). Sedangkan polen tanaman Elaeis guineensis, Podocarpus polystachyus, dan Acacia auriculiformis

merupakan polen yang banyak ditemui di udara bebas negara Singapura (Chew et al. 2006). Penelitian di udara bebas kota Bangkok-Filipina menunjukkan bahwa polen rumput merupakan polen yang paling banyak ditemukan (Phanichyakam 1981). Polen tanaman Pinaceae, Plantaginaceae, dan Cupressaceae merupakan polen terbanyak yang ditemukan di udara bebas negara New Zealand pada bulan yang berbeda (Crump 2005). Pada penghitungan polen di udara bebas Sydney-Australia dilaporkan telah ditemukan 14,382 butir polen/m3 di Homebush, 11,584 butir polen/m3 di Eastern Creek, dan 9,269 butir polen/m3 di Nepean (Katelaris et al. 2004).

Polen yang beterbangan di udara bebas berpotensi terhirup oleh saluran pernapasan sehingga dapat menyebabkan alergi pernapasan (Environment Affair Department 2006; Hopkins Technology 2006). Penelitian di Singapura menyebutkan bahwa 40% penduduknya menderita alergi yang disebabkan oleh polen kelapa sawit (Elaeis guineensis), kemudian diikuti oleh polen Podocarpus polystachyus dan Acacia auriculiformis masing-masing sebesar 33,8% dan 28% (Chew et al. 2006). Penelitian di Bangkok-Filipina menunjukan bahwa polen rumput-rumputan merupakan polen yang sangat berpotensi dalam menyebabkan alergi (Sridhara et al. 1995). Sedangkan Crump (2005) menyebutkan bahwa polen tanaman pinus merupakan polen yang dapat menyebabkan alergi pada beberapa penduduk New Zealand. Penelitian dengan menggunakan ELISA menunjukkan bahwa 66,7% koresponden di Malaysia dan Singapura menderita alergi terhadap polen kelapa sawit (Kimura et al. 2002).

Meskipun faktor ukuran serta keringnya polen merupakan faktor penting agar polen terhirup oleh saluran pernapasan sehingga menyebabkan alergi, namun


(51)

8

D’Amato et al. (2002) menyebutkan bahwa beberapa polen dapat menyebabkan alergi tanpa harus beterbangan di udara bebas. Hal tersebut terjadi apabila polen terguyur oleh air hujan, sehingga menyebabkan polen osmosis. Kondisi tersebut menyebabkan komponen-komponen polen, termasuk komponen penyebab alergi pada polen keluar. Pada saat cuaca hangat dan berangin, komponen-komponen tersebut akan tertiup angin bersama partikel-partikel lain di udara sehingga terhirup oleh saluran pernapasan. Sehingga, polen dengan ukuran relatif besar serta lembab juga dapat menyebabkan alergi pernapasan.

Polen kelapa sawit (Elaeis guineensis) mengandung protein dengan BM 31 kDa yang bersifat alergenik (Allergome 2002, 2003). Penelitian pada polen jagung oleh Wang et al. (2006) dengan menggunakan immunoblot menunjukkan bahwa protein berukuran 31 kDa membentuk kompleks dengan IgE spesifik. Cosgrove et a.l (1997) menyebutkan bahwa protein alergenik polen jagung mempunyai BM 30 kDa, sedangkan data dari Allergome (2005) menunjukkan bahwa protein dengan BM 14, 30, 35, dan 60 kDa merupakan protein alergenik pada polen jagung.

Protein merupakan salah satu penyusun sel yang sangat penting dalam kehidupan. Lebih dari 50% berat kering sel merupakan protein. Protein tersusun dari kombinasi 20 asam amino yang saling berikatan membentuk ikatan peptida. Sejumlah asam amino yang membentuk ikatan peptida menghasilkan rantai polipeptida yang dikenal sebagai struktur primer. Ikatan hidrogen antara asam amino penyusun struktur primer akan menghasilkan struktur sekunder yang lebih kompleks. Pelipatan struktur sekunder melalui ikatan disulfida dan ikatan hidrogen membentuk struktur tersier yang berbentuk tiga dimensi. Gabungan antara dua atau lebih struktur tersier tersebut membentuk protein kuartener yang kompleks. Ukuran protein sangat bervariasi, dipengaruhi oleh jumlah asam amino serta polipeptida penyusun protein tersebut (Nester et al. 2004).

Struktur protein yang berlipat-lipat menentukan aktivitas serta fungsi dari protein tersebut (Branden & Tooze 1999). Pemanasan protein alergenik pada buah apel dengan suhu 100C menyebabkan lipatan-lipatan pada protein terudar sehingga menghilangkan aktivitas protein tersebut dalam menyebabkan alergi (Sancho 2005).


(52)

9

2.3. Alergi (Hipersensitifitas)

Alergi (hipersensitifitas) merupakan reaksi sistem pertahanan tubuh yang berlebihan terhadap suatu zat yang disebut alergen (zat asing yang menyebabkan alergi). Menurut Roitt (2002) dan Nester et al (2004), berdasarkan respon imun yang terlibat serta waktu yang diperlukan agar respon muncul, alergi dibedakan menjadi empat tipe, yaitu tipe I (Immediate; IgE-mediated), tipe II (Cytotoxity), tipe III (Immune complex-mediated), dan tipe IV (Delayed cell-mediated - T cell mediated cytolysis)

2.3.1. Alergi tipe I (Immediate; IgE-mediated).

Reaksi alergi tipe I disebut juga sebagai reaksi cepat, karena respon alergi muncul secara cepat sesaat setelah tubuh terpapar oleh alergen. Alergi tipe I diawali dengan tahap pengenalan, yaitu saat protein alergenik kontak dengan tubuh untuk pertama kalinya. Protein alergenik tersebut kemudian difagosit dan dihancurkan oleh makrofag menjadi fragmen-fragmen peptida. Fragmen-fragmen ini kemudian dipresentasikan oleh APC (Antigen-Presenting Cell) melalui MHCII (Major Histocompatibility Complex II). Sel T helper 1 (Th1) selanjutnya akan menempel pada kompleks MHCII-fragmen peptida, sehingga sel Th1 mensekresikan sitokin yang merangsang proliferasi dan differensiasi sel B menjadi sel plasma. Sel plasma kemudian menghasilkan sel memori dan IgE. IgE merupakan salah satu anggota imunoglobulin darah yang berperan dalam reaksi alergi dan infeksi parasit. Pada penderita alergi, IgE banyak dihasilkan pada mukosa saluran pernapasan dan saluran pencernaan (Baratawidjaja 2006). Reseptor Fc pada IgE kemudian berikatan dengan reseptor Fc-RI pada permukaan sel mast dan basofil (Conrad 1996). Apabila kondisi ini terjadi, maka dikatakan bahwa individu tersebut telah mengenali alergen yang bersangkutan. Kontak alergen dengan tubuh pada paparan berikutnya menyebabkan terjadinya pengikatan alergen secara silang oleh IgE pada permukaan sel mast dan basofil. Ikatan tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan ion kalsium di dalam sel mast dan basofil, sehingga granul-granul di dalam sel mast dan basofil bergesekan dengan membran dalam sel mast dan basofil. Gesekan tersebut menyebabkan


(53)

10

granul-granul pecah dan melepaskan mediator-mediator (histamin, leukotrin, prostaglandin, dan sitokin) yang dikandungnya menuju luar sel (Agrawal 1996). Mediator yang dilepaskan tersebut menyebabkan pelebaran pembuluh darah, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, sekresi mukus yang berlebihan, dan kontraksi saluran pernafasan (Roitt 1994). Pilek, bersin-bersin, asma, serta gatal-gatal pada mata, tenggorokan, dan hidung merupakan tanda-tanda alergi tipe I (Nester et al. 2004).

Alergen pernapasan umumnya berupa polen, tinja tungau, debu rumah, bulu binatang, dan spora jamur. Penyebab utama alergi tipe I adalah faktor genetik (keturunan), namun faktor lingkungan juga sangat berperan terhadap munculnya alergi tipe 1 (Nester et al. 2004).

2.3.1.1. Pengaruh Gen terhadap Alergi Tipe 1

Pada saat protein alergenik dikenali oleh sistem pertahanan tubuh, maka respon imun yang diberikan melibatkan aktivitas sel T. Respon tersebut dikenal sebagai respon T-bebas. Sel T yang terlibat adalah sel Th1 dan sel Th2 yang masing-masing memiliki molekul CD4+ pada permukaannya. Faktor genetik dan lingkungan bertanggung jawab dalam evolusi pembentukan jenis sel Th pada setiap individu.

Pada individu yang mempunyai gen alergi, sel Th yang dihasilkan oleh tubuh saat terpapar oleh alergen adalah sel Th2. Sel Th2 menghasilkan sitokin berupa Interleukin-4 (IL-4), IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13 yang berperan dalam sintesis IgE, bertanggung jawab terhadap pertahanan mukosa, serta diferensiasi sel mast dan eosinofil (Maggi & Romagnani 1996; Woodfolk 2007).

Saat protein alergenik dikenali oleh individu normal (individu yang tidak mempunyai gen alergi), maka sel Th yang terlibat adalah sel Th1. Sitokin (mediator kimia) yang dihasilkan oleh sel Th1 adalah Interferon- (IFN-), IL-2, dan Tumor necrosis factor- (TNF- / limfotoksin) yang berperan dalam imunitas seluler. Aktivitas sel Th1 tersebut juga meningkatkan aktifitas sel T cytotoxic (Tc), makrofag serta sel fagosit lain, dan produksi antibodi teropsonisasi yaitu teutama berupa IgG2a (Maggi & Romagnani 1996; Woodfolk 2007). Reseptor pada sel Tc, makrofag, serta IgG2a tidak dapat berikatan dengan reseptor Fc-R


(54)

11

pada permukaan sel mast maupun basofil, sehingga degranulasi histamin serta mediator lain sebagai penyebab alergi tidak terjadi (Maggi & Romagnani 1996).

2.3.1.2. Pengaruh Alergen Pernapasan pada Sistem Saluran Pernapasan

Terhirupnya alergen pernapasan seperti polen, tinja tungau, debu rumah, serta epitel dan ludah pada bulu binatang ke dalam sistem saluran pernapasan dapat menyebabkan munculnya alergi pernapasan. Alergi pernapasan dapat terjadi pada saluran pernapasan atas, yaitu hidung; faring; dan laring, maupun saluran pernapasan bawah, yaitu trakea dan paru-paru (McKane & Kandel 1996). Infeksi pada daerah hidung, faring, dan laring berturut-turut disebut rinitis, faringitis, dan laringitis. Sedangkan infeksi pada bronkus yang merupakan percabangan trakea disebut sebagai bronchitis dan infeksi pada paru-paru disebut sebagai pneumonitis (Nester et al. 2004). Tanda-tanda terjadinya alergi pernapasan antara lain berupa sakit tenggorokan, bersin-bersin, pilek, batuk, gatal-gatal, dan asma (Roitt 1994; Baratawidjaja 2006). .

Sistem saluran pernapasan dilapisi oleh jaringan epitelium yang disebut sebagai membran mukosa. Membran mukosa berperan dalam menghasilkan mukus yang menangkap partikel-partikel kontaminan yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kemudian oleh rambut-rambut silia yang terdapat pada permukaan membran mukosa tersebut, partikel-partikel kontaminan didorong menuju faring dan kemudian masuk ke dalam saluran percernaan (Nester et al.

2004, Campbell et al. 1994).

Saat alergen masuk ke dalam saluran pernapasan, membran mukosa merupakan bagian pertama yang mengenali alergen tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Spurzem et al. (1996) menemukan bahwa membran mukosa berperan dalam menghasilkan mediator-mediator inflamasi. Sesaat setelah alergen terhirup oleh saluran pernapasan, maka membran mukosa menginisiasi dihasilkannya mediator-mediator berupa Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor (GM-CSF), IL-1, IL-6, IL-8, Transforming Growth Factor (TGF)-, TNF-, Leukotriene (LT)B4, dan Prostaglandin (PG)E2. Mediator

GM-CSF berperan dalam mengaktivasi eosinofil, neutrofil, serta menginduksi proliferasi makrofag dan diferensiasi sel-sel yang mengandung histamin. 1,


(55)

IL-12

6, dan IL-8 berperan dalam rekruitmen, aktivasi, serta diferensiasi leukosit. IL-8 merupakan kemokin yang paling potensial dalam aktivasi kemotaktik sel neutrofil. Selain IL-8, TNF- dan LTB4 juga merupakan kemokin yang dapat

mengaktivasi sel-sel kemotaktik yaitu neutrofil dan monosit. Sedangkan TGF- berfungsi sebagai agen anti-inflamasi atau agen penyembuhan karena bekerja menghambat proliferasi sel T. Peran anti inflamasi juga terdapat pada mediator PGE2, yaitu menurunkan produksi neutrofil sebagai sel-sel kemotaktik pada proses inflamasi.

Reaksi alergi pernapasan menyebabkan inflamasi (pembengkakan) pada sistem saluran pernapasan. Saat alergen masuk ke dalam saluran pernapasan, akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah sekitar sehingga meningkatkan aliran darah ke dalam pembuluh tersebut. Pelebaran pembuluh darah kemudian menyebabkan sel-sel leukosit bermigrasi dari sistem pembuluh darah menuju lokasi alergen ditemukan. Erupsi sel-sel leukosit pada lokasi ditemukannya alergen tersebut menyebabkan terjadinya inflamasi (Nester et al. 2004).

2.3.1.3. Deteksi Alergi Tipe 1

Pendeteksian terhadap alergi tipe 1 umumnya dilakukan melalui uji tusuk kulit. Kelebihan uji ini adalah murah, lebih mudah dilakukan, cepat, dan beberapa alergen dapat diuji pada waktu bersamaan. Uji ini dilakukan dengan meneteskan ekstrak alergen pada kulit pasien. Kemudian, pada daerah tetesan tersebut ditusuk dengan bagian ujung jarum. Reaksi positif ditandai dengan adanya inflamasi dan kemerahan pada kulit di sekitar alergen (Black 1999).

Pengujian melalui teknik ELISA juga sering digunakan untuk mendeteksi alergi. Prinsip teknik ini adalah melalui pembentukan kompleks antara alergen dengan IgE spesifik dan anti-IgE berlabel enzim. Reaksi positif pada pengujian kualitatif dapat dilakukan dengan hanya mengamati perubahan warna yang berbentuk, sedangkan pengujian kuntitatif bisa dilakukan dengan membaca absorbansi perubahan warna tersebut melalui alat pembaca ELISA (McKane & Kandel 1996).


(56)

13

2.3.1.4. Kasus Alergi Pernapasan di Indonesia

Alergi pernapasan merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh penduduk Indonesia. Penelitian terhadap siswa berumur 6 – 20 tahun menunjukkan bahwa dari 370 sekolah di pulau Bali terdapat 11,8% siswa menderita rinitis dan 4,3% siswa menderita asma (Konthen 1985). Penelitian di Utan Kayu Jakarta pada 716 penduduk, menunjukkan bahwa 23,47% penduduk (> 14 tahun) dan 9% penduduk (< 14 tahun) menderita alergi rinitis, 11,78% penduduk (> 14 tahun) dan 6,9% penduduk (< 14 tahun) menderita asma (Siregar

et al. 1990). Penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa 7,5% penduduk menderita asma dan 22% penduduk menderita alergi rinitis (Sundaru 2005).

Penelitian terhadap beberapa alergen inhalasi di Indonesia telah banyak dilakukan. Identifikasi terhadap tungau debu rumah di Jakarta sebagai penyebab alergi, menemukan bahwa Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus merupakan tungau debu paling dominan yang terdapat di rumah-rumah pasien penderita alergi pernapasan (Chew et al. 2000). Penelitian terhadap serpihan bulu binatang menemukan bahwa kucing dan anjing merupakan binatang peliharaan yang paling banyak membawa alergen (Baratawidjaja et al. 1998).

Penelitian alergen polen belum pernah dilakukan di Indonesia, padahal keragaman flora di Indonesia sangat tinggi. Hingga saat ini, ekstrak alergen polen yang digunakan untuk mendeteksi alergi di Indonesia masih mengimport dari negara lain. Selain harganya yang mahal, kecocokan alergen polen tersebut di Indonesia belum pernah ditelaah lebih lanjut.

2.3.2. Alergi tipe II (Cytotoxity).

Reaksi alergi tipe II disebut juga sebagai reaksi sitotoksik atau sitolitik. Baratawidjaja (2006) menjelaskan bahwa reaksi ini umumnya melibatkan IgG atau IgM dalam menghancurkan alergen yang merupakan sel pejamu. Antibodi tersebut akan mengaktifkan sel-sel pertahanan tubuh. Sel NK (Natural Killer) berperan sebagai sel efektor dalam membunuh atau menimbulkan kerusakan melalui mekanisme ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxity).


(57)

14

Kasus alergi tipe II dapat terjadi pada proses tranfusi darah dengan golongan darah yang berlainan serta kehamilan dengan jenis rhesus yang berbeda antara ibu dan janin (Nester et al. 2004).

2.3.3. Alergi tipe III (Immune complex-mediated).

Reaksi alergi tipe III disebut sebagai reaksi imun kompleks, yaitu terjadi apabila terbentuk kompleks antara antibodi dan antigen di dalam sirkulasi darah maupun pada dinding pembuluh darah. Antibodi yang terlibat biasanya berupa IgG. Kompleks antibodi-antigen tersebut menyebabkan aktivasi komplemen sehingga terjadi degranulasi basofil serta penempelan komplemen pada kompleks antibodi-antigen. Mediator yang dilepaskan oleh basofil menyebabkan pelebaran pembuluh darah pembuluh darah, sehingga kompleks antara komplemen-antibodi-antigen menempel pada membran basal pembuluh darah. Penempelan tersebut mengaktifkan komplemen yang bertanggung jawab dalam degranulasi neutrofil. Degranulasi neutrofil melepaskan enzim yang menyebabkan kerusakan jaringan (Roitt 1994).

2.3.4. Alergi tipe IV (Delayed cell-mediated - T cell mediated cytolysis).

Reaksi alergi tipe IV dibedakan dua, yaitu Delayed cell-mediated dan T cell mediated cytolysis. Kedua jenis reaksi alergi tipe IV melibatkan aktivitas sel T namun tidak melibatkan aktivitas antibodi.

Reaksi Delayed cell-mediated disebut juga sebagai reaksi lambat, karena respon alergi muncul lambat, yaitu 2 hingga 3 hari setelah tubuh kontak dengan alergen. Alergi kulit yang disebabkan oleh getah, kain, perhiasan, serta kosmetik merupakan salah satu contoh alergi jenis ini. Reaksi alergi diawali dengan tahap pengenalan, yaitu saat alergen kontak dengan tubuh untuk pertama kalinya, sehingga APC (Antigen-Presenting Cell) mempresentasikan kompleks alergen-hapten terhadap sel Th 1 melalui MHC II. Kontak selanjutnya dengan alergen menyebabkan sel Th 1 menghasilkan sitokin yang menyebabkan makrofag melepaskan mediator. Mediator tersebut menyebabkan kulit kemerahan, gatal, dan berair. Reaksi T cell mediated cytolysis melibatkan peran Th 2 yang berfungsi dalam merusak atau membunuh sel yang terinfeksi. Pengenalan sel terinfeksi oleh


(58)

15

sel Th 2 menyebabkan dihasilkan sitokin. Sitokin tersebut menyebabkan sel terinfeksi rusak/mati. Reaksi ini umumnya disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa, dan fungi. Herpes simplex, hepatitis, lepra, serta tuberkulosis merupakan contoh penyakit yang disebabkan alergi tipe IV - T cell mediated cytolysis (Nester et al. 2004).

2.4. Tikus Wistar

Tikus Wistar (Rattus norvegicus) merupakan tikus albino yang paling sering digunakan sebagai hewan uji dalam ilmu genetika, penyakit, obat-obatan, serta kesehatan. Tikus Wistar mempunyai beberapa kelebihan antara lain lebih mudah dikembangbiakkan, mudah dikendalikan, serta mempunyai organ-organ yang ukurannya lebih kecil dibandingkan kebanyakan hewan uji lainnya. Selain itu, tikus wistar merupakan tikus non-transgenik sehingga pengamatan terhadap fisiologi serta tingkah laku hewan tersebut dapat diamati dengan mudah tanpa dipengaruhi oleh gen sisipan (Wistar Institute 2007). Penelitian alergi pada tikus wistar juga menunjukkan respon yang sama terhadap respon yang diberikan pada manusia (Arts et al. 1996).

Ciri-ciri khusus tikus wistar antara lain mempunyai bentuk kepala yang lebar, warna bulu putih, dan panjang ekornya tidak melebihi panjang tubuhnya (Wistar Institute 2007).

2.5. SDS-PAGE (Sodium Dodecyl SulfatePolyacrilamide Gel Electrophoresis)

Elektroforesis merupakan metode yang sering digunakan untuk memisahkan fraksi-fraksi suatu zat berdasarkan muatannya dengan memanfaatkan medan listrik. Migrasi fraksi-fraksi tersebut dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, serta muatan fraksi (Walsh 2001).

Proses pemisahan fraksi-fraksi protein umumnya menggunakan gel poliakrilamida sebagai media elektroforesis atau sering disebut sebagai PAGE (Polyaclrilamide Gel Electrophoresis). Keunggulan penggunaan gel poliakrilamida pada proses elektroforesis adalah karena bersifat inert, tidak bereaksi dengan sampel, tidak bermuatan, stabil pada kisaran pH yang luas, dan transparan sehingga pengamatan terhadap pita-pita protein mudah dilakukan.


(59)

16

Selain itu, ukuran pori-pori gel poliakrilamida juga dapat diatur sesuai dengan molekul yang akan dipisahkan. Semakin kecil ukuran molekul yang akan dipisahkan, maka semakin tinggi konsentrasi poliakrilamida yang digunakan dan sebaliknya. Umumnya, protein dengan kisaran BM 24 – 205, 14 – 205, dan 14 – 66 kDa berturut-turut baik dipisahkan oleh gel poliakrilamida 8%, 10%, dan 12% (Bollag & Edelstein 1991).

SDS-PAGE merupakan modifikasi PAGE, yaitu proses elektroforesis yang menggunakan sampel terdenaturasi serta mempunyai muatan negatif. Denaturasi protein dapat dilakukan dengan pemberian -merkaptoetanol sebagai denaturan yang memecah ikatan disulfida. Denaturasi protein juga dapat dilakukan melalui pemanasan pada suhu kurang lebih 80C selama 2 menit. Pemberian SDS menyebabkan polipeptida bermuatan negatif sehingga sampel akan tertarik menuju elektroda positif. Polipeptida berukuran lebih kecil akan bermigrasi lebih cepat dibandingkan polipeptida yang berukuran lebih besar (Walsh 2001).


(60)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 hingga Agustus 2007. Penangkapan polen dilakukan di kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan dan analisa selanjutnya dilakukan di Laboratorium Biologi Tumbuhan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi – IPB.

3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Penangkapan Polen

Penangkapan polen dilakukan dengan menggunakan alat penangkap polen yangdibuat dengan menempelkan double tip pada salah satu sisi kaca objek. Alat ini kemudian dipasang di sekitar tanaman yang sedang berbunga di kebun binatang Ragunan dan di pemukiman penduduk yang menjadi pasien puskesmas kecamatan Pasar Minggu.

Penangkapan polen di udara ini dilakukan untuk mengetahui jenis polen yang beterbangan di udara bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan.

3.2.2. Identifikasi Polen pada Alat Penangkap Polen

Polen yang tertangkap diamati menggunakan mikroskop cahaya tanpa memberikan pewarna atau media tertentu terlebih dahulu pada polen. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan polen yang tertangkap dengan polen kontrol dari tumbuhan segar. Polen yang berhasil tertangkap oleh alat penangkap polen kemudian ditetapkan sebagai polen yang digunakan untuk analisis selanjutnya.

3.2.3. Pengumpulan Polen

Jenis polen yang tertangkap di atas dikumpulkan berdasarkan metode Chew et al. (2006). Semua jenis polen dikumpulkan langsung dari bunganya sekitar pukul 08.00 wib. Polen jagung, pinus, dan kelapa genjah sawit diambil dari infloresen antesis dan diayak pada saringan bertingkat sehingga polen terpisah dari bagian-bagian bunga lainnya. Polen kelapa genjah diambil berdasarkan


(61)

18

modifikasi dari Santos et al. (1995). Polen kelapa genjah dikumpulkan dari infloresen antesis. Infloresen tersebut kemudian dikeringanginkan pada suhu  19C selama 2 hari. Selanjutnya polen dikumpulkan dengan mengayak bunga di atas saringan bertingkat sehingga polen terpisah dari bagian-bagian bunga lainnya. Polen yang telah dikumpulkan disimpan dalam kotak berisi silika gel pada suhu

–20C hingga pemakaian selanjutnya .

3.2.4. Pengekstrakan Polen

Polen dimasukkan dalam tabung reaksi 800-1000 ml dan sebagian mulut tabung ditutup dengan alumunium foil. Selanjutnya ke dalam tabung tersebut dituangkan nitrogen cair dan secepatnya mulut tabung yang masih terbuka ditutup dengan alumunium foil. Penggunaan tabung reaksi dan alumunium foil tersebut untuk mencegah polen beterbangan. Polen kemudian dipindahkan ke dalam mortar dan ditumbuk hingga homogen. Setelah homogen, polen ditimbang sebanyak 1 gram, kemudian dilarutkan ke dalam 10 ml PBS. Campuran tersebut kemudian dikocok selama 3 jam pada suhu 4C dan selanjutnya disentrifugasi pada perangkat sentrifuse Himac CF 15D2 Hitachi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang dihasilkan disterilkan dengan menyaringnya melalui filter 0,22 m, kemudian disimpan pada suhu -20C.

3.2.5. Analisis Kadar Protein danPenentuan Berat Molekul Protein

Kadar protein diukur dengan menggunakan metode Bradford (1976). Standar protein yang digunakan adalah BSA dengan konsentrasi 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, 400, 450, dan 500 ppm. Volume pereaksi Bradford yang ditambahkan adalah 2,5 ml. Kadar protein diukur absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 595 nm.

Berat molekul protein ditentukan dengan metode SDS-PAGE (modifikasi Laemmli 1970) dengan standar protein BM rendah berasal dari Amersham Bioscience, 10% gel pemisah, dan 4% gel penahan. Gel di-running dalam 600 ml buffer elektroforesis pH 8,3 yang mengandung 192 mM glisin; 0,1% SDS; 24,8 mM Tribase (Trishidroksiaminometan). Sebelum dimasukkan ke dalam sumur, sampel dan marker ditambah dengan buffer sampel dengan rasio 4:1 dan


(62)

19

kemudian diinkubasi dalam air mendidih selama 1 menit. Buffer sampel mengandung 1 gram SDS; 2 ml gliserol 50%; 2 ml bromofenol biru 0,1%; dan 1,25 ml TrisCl 1 M pH 6,8 yang dilarutkan dalam akuades hingga 10 ml. Volume marker dan sampel yang dimasukkan dalam sumur adalah 20 l. Kondisi elektroforesis adalah 100mA, 100 volt selama 1 jam. Deteksi pita menggunakan CBB selama 1 jam yang dilakukan dalam penangas. Pewarna tersebut dibuat dengan melarutkan 40% metanol; 10% asam asetat; dan 0,1% CBB R-250 ke dalam 100 ml akuades. Larutan peluntur mengandung 40% metanol dan 10% asam asetat. Pelunturan dilakukan selama 2 jam dan kemudian dibilas dengan akuades.

3.2.6. Uji Alergenisitas Polen pada Tikus wistar

Alur kerja pengujian alergenisitas polen pada tikus wistar dapat dilihat pada Tabel 1 dan penjelasan lengkapnya pada langkah 3.2.6.1. hingga 3.2.6.4.

Tabel 1 Alur kerja pengujian alergenisitas polen pada tikus wistar

Hari ke- Perlakuan

kontrol - kontrol + polen

-5 hingga -1 (Pengadaptasian)

Penimbangan Penimbangan Penimbangan

0

(Pengenalan alergen I)

Penyuntikan PBS Penimbangan Penyuntikan Hist Penimbangan Penyuntikan EP Penimbangan 7

(Pengenalan alergen II)

Penyuntikan PBS Penimbangan Penyuntikan Hist Penimbangan Penyuntikan EP Penimbangan

14 Penimbangan Penimbangan Penimbangan

21

(Pemaparan alergen ke SP I)

Penetesan PBS ke SP Penimbangan

Penetesan Hist ke SP Penimbangan

Penetesan EP ke SP Penimbangan 23

(Pemaparan alergen ke SP II)

Penetesan PBS ke SP Penimbangan Nekropsi

Penetesan Hist ke SP Penimbangan Nekropsi

Penetesan EP ke SP Penimbangan Nekropsi PBS : Phosphate Buffer Saline, Hist : Histamin, EP : ekstrak polen; SP: Saluran pernapasan

3.2.6.1. Penyiapan dan Pengadaptasian Binatang Uji

Binatang uji yang digunakan adalah tikus wistar jantan berumur 10 – 11 minggu berjumlah 18 ekor. Kontrol negatif dan positif masing-masing menggunakan 3 ekor tikus dan 12 ekor tikus dipergunakan untuk perlakuan 4 jenis


(63)

20

polen yang berbeda. Tikus diadaptasi selama 5 hari, dan selama adaptasi tikus ditimbang. Tikus dipelihara dalam kandang konvensional (modifikasi dari Arts et al. 1996).

3.2.6.2. Pengenalan Alergen pada Tikus

Pada hari ke-0 dan ke-7, tikus yang telah diadaptasi disuntik dengan 150 l larutan PBS (tikus kontol negatif), histamin (tikus kontrol positif), dan ekstrak polen (tikus perlakuan polen). Penyuntikan dilakukan pada bagian subkutan telapak kaki kanan belakang (modifikasi Arts et al. 1998), bertujuan untuk mengenalkan alergen pada tikus wistar.

Satu jam setelah penyuntikan, inflamasi yang terbentuk diamati dengan membandingkan respon pembengkakan yang terjadi pada kaki yang disuntik dengan ekstrak polen terhadap kaki yang disuntik dengan PBS dan histamin.

3.2.6.3. Pemaparan Alergen pada Saluran Pernapasan Tikus

Pada hari ke-21 dan ke-23, saluran pernapasan masing-masing tikus ditetesi 300 l larutan yang sama dengan pada saat pengenalan alergen (modifikasi Arts et al. 1998).

3.2.6.4. Penimbangan Berat Badan, Organ, serta Histopatologi Laring dan Paru-paru Tikus

Perubahan berat badan tikus selama perlakuan diketahui dengan menimbangnya pada hari ke- 0, 7, 14, 21, dan 23. Nekropsi dilakukan satu jam setelah pemaparan alergen pada hari ke-23. Tikus dibius dengan eter kemudian dibedah dan diambil paru-paru dengan laring dan trakeanya. Organ ini kemudian masing-masing ditimbang untuk mengetahui pembengkakan yang terjadi akibat reaksi inflamasi pada saluran pernapasan.Organ tersebut kemudian secepatnya difiksasi dalam larutan asam pikrat:formalin:asam asetat glasial dengan perbandingan 15:5:1 selama 24 jam. Dehidrasi dilakukan dengan alkohol 70% selama 1 jam kemudian disimpan dalam alkohol 80% hingga pengamatan selanjutnya.


(64)

21

Histopatologi laring dan paru-paru tikus dilakukan dengan membenamkan organ tersebut ke dalam parafin dan diiris. Hasil irisan (dengan ketebalan 5 m) kemudian diwarnai dengan hematosilin dan eosin. Pengamatan jaringan dilakukan di bawah mikroskop cahaya. Pengamatan ditujukan terhadap sekresi mukus, pembengkakan membran mukosa, dan erupsi sel-sel leukosit.


(65)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Polen di Udara Bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan

Penangkapan polen di bulan Desember 2006 hingga Maret 2007 menemukan empat jenis polen yang beterbangan di udara bebas kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan, yaitu polen dari tanaman jagung (Poaceae), kelapa genjah (Arecaceae), pinus (Pinaceae), dan kelapa sawit (Arecaceae). Polen-polen tersebut terperangkap pada alat penangkap polen (Gambar 1). Polen-polen tanaman ini, juga ditemukan di udara bebas Bangkok-Filipina (Phanichyakam 1981), India (Singh & Kumar 2003), New Zealand (Crump 2005), danSingapura (Chew et al.

2006).

Polen jagung berbentuk bulat dan tidak terlihat adanya guratan pada permukaan polen. Meskipun tidak memiliki guratan, polen jagung mempunyai satu lubang pada permukaannya. Tipe polen tersebut dikenal sebagai monoporate (Weber 1998). Dari hasil pengamatan di lapang, tanaman jagung (Zea mays) banyak ditemui di sekitar pemukiman penduduk yang menjadi pasien puskesmas Pasar Minggu. Polen jagung dihasilkan oleh bunga jantan yang membentuk infloresen (Gambar 2A).

Polen kelapa genjah berbentuk elips dengan satu guratan yang melintas di bagian tengahnya. Guratan tersebut menyambungkan dua kutub yang saling berseberangan. Meskipun memiliki guratan, namun pada polen kelapa genjah tidak terlihat adanya lubang polen pada permukaannya. Polen dengan karakter tersebut dikenal sebagai polen monocolpate. Pengamatan terhadap polen kelapa oleh Roubik et al. (2003) juga menunjukkan bentuk monocolpate. Tanaman kelapa genjah (Cocos nucifera) banyak terdapat di sekitar pemukiman penduduk maupun di lokasi-lokasi umum kecamatan Pasar Minggu. Polen kelapa genjah dihasilkan oleh bunga jantan yang membentuk infloresen (Gambar 2B).


(66)

23

Gambar 1 Polen A. Jagung, B. Kelapa genjah, C. Pinus, D. Kelapa Sawit. 1. Polen kontrol, 2. Polen yang tertangkap oleh alat penangkap polen (100x).

Polen pinus mempunyai bentuk yang unik, yaitu terdapat dua gelembung (vesikel) pada kedua bagian sisinya sehingga bentuknya menyerupai tudung Mickey Mouse. Pada polen tersebut tidak ditemui adanya guratan maupun lubang pada permukaan polen, sehingga disebut sebagai polen inaperturate. Pengamatan terhadap polen pinus di kota Denver-Corolado oleh Weber (1998) juga menunjukkan ciri fisik yang sama. Pinus (Pinus merkusii) merupakan tumbuhan

100 m 100 m

C.1

D.2 A.1

100 m

100 m 100 m

100 m 100 m

100 m

A.2

B.1 B.2

C.2

D.1

lubang (pore)

guratan guratan

guratan gelembung

gelembung

guratan


(67)

24

yang banyak ditemukan di sekitar pemukiman penduduk maupun di lokasi-lokasi umum kecamatan Pasar Minggu. Polen pinus dihasilkan oleh strobilus jantan yang membentuk infloresen (Gambar 2C).

Polen kelapa sawit berbentuk segitiga dengan guratan yang mengelilingi ketiga sisinya. Pengamatan pada polen tersebut tidak ditemukan lubang pada permukaan polen, sehingga disebut sebagai polen tricolpate. Pengamatan yang sama juga digambarkan oleh Lubis dan Adlin (1993), dan Roubik et al. (2003). Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) banyak ditemukan di sekitar pemukiman penduduk maupun di lokasi-lokasi umum kecamatan Pasar Minggu. Polen kelapa sawit dihasilkan oleh bunga jantan yang membentuk infloresen (Gambar 2D).

Gambar 2 Infloresens penghasil polen A. jagung, B. kelapa genjah, C. pinus, D. kelapa sawit.

Pada Gambar 1 terlihat bahwa polen jagung, kelapa genjah, pinus, dan kelapa sawit berdiameter kurang dari 100 m. Polen berdiameter kurang dari 100 m juga ditemukan pada polen jagung dan pinus yang diamati oleh Weber (1998).

A

B


(68)

25

Polen dengan diameter kurang dari 100 m mudah tertiup angin (Roubik et al.

2003), sehingga dapat terhirup oleh saluran pernapasan dan menyebabkan alergi pernapasan apabila polen tersebut mengandung protein alergenik (Environment Affair Department 2006; Hopkins Technology 2006).

4.2. Protein Polen

Hasil analisis kadar protein polen menunjukkan bahwa polen jagung, kelapa genjah, pinus, serta kelapa sawit mempunyai kadar protein yang berbeda-beda. Kadar protein polen paling tinggi terdapat pada polen kelapa genjah kemudian diikuti polen kelapa sawit, polen jagung, dan polen pinus (Tabel 2).

Tabel 2 Kadar protein polen

Polen Kadar protein (mg/gram polen)

Kelapa Genjah Kelapa Sawit Jagung Pinus 88 66 65 14

Analisis berat molekul protein menunjukkan bahwa keempat polen di atas mempunyai protein dengan BM sekitar 10 – 70 kDa (Gambar 3). Pada kisaran tersebut, berat molekul protein polen jagung, kelapa genjah, pinus, dan kelapa sawit secara berturut-turut berada dalam kisaran 17 – 70 kDa; 17 – 68 kDa; 16 - 68 kDa; dan 15 – 68 kDa. Protein polen dengan BM dalam kisaran 10 - 70 kDa merupakan protein penyebab alergi (Ticha et al. 2002, Puc 2003).

Tanda bintang pada Gambar 3 memperlihatkan bahwa polen jagung mempunyai protein dengan BM 31, 35, dan 60 kDa. Protein alergenik pada polen jagung adalah protein dengan berat molekul 31 kDa (Wang et al. 2006), 35 kDa, dan 60 kDa (Allergome 2005). Gambar 3 juga menunjukkan bahwa polen kelapa sawit mempunyai protein dengan BM 31 kDa. Protein polen kelapa sawit dengan BM tersebut bersifat alergenik (Allergome 2002, 2003; Kimura et al. 2002).


(69)

26

Gambar 3 SDS-PAGE 10% protein polen A. marker LMW (kDa); B. polen jagung; C. polen kelapa genjah; D. polen pinus; E. polen kelapa sawit Protein alergenik polen yang dikenali oleh tubuh akan menyebabkan aktivitas sel Th sebagai respon imunitas tubuh. Pada penderita alergi, sel Th yang terlibat adalah sel Th2. Sitokin yang dihasilkan oleh sel Th2 adalah 4, 5, IL-6, IL-10, dan IL-13 yang berperan dalam sintesis IgE, bertanggung jawab terhadap pertahanan mukosa, serta diferensiasi sel mast dan eosinofil (Maggi & Romagnani 1996; Woodfolk 2007). Ikatan silang (cross linking) antara antigen dengan IgE yang menempel pada permukaan sel mast dan basofil menyebabkan degranulasi mediator-mediator (histamin, leukotrin, prostaglandin, dan sitokin) yang berada di dalam sel mast maupun basofil, sehingga menyebabkan terjadinya tanda-tanda alergi berupa dilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sekresi mukus yang berlebihan, pilek, bersin-bersin, pengerutan rongga udara, asma, pusing, dan gatal-gatal (Black 1999; Roitt 1994; Nester et al. 2004).

4.3. Respon Inflamasi setelah Pengenalan Alergen pada Kaki Tikus

Pengenalan alergen melalui penyuntikan ekstrak polen jagung, kelapa genjah, pinus, dan kelapa sawit menyebabkan terjadinya inflamasi lokal pada daerah penyuntikan. Inflamasi terjadi pada seluruh tikus yang disuntik dengan keempat ekstrak polen dan histamin, namun tidak ditemukan pada seluruh tikus yang disuntik dengan PBS (Tabel 3 dan Gambar 4).

97 66 45 30 20,1 14,4

A B C D E

BM 10 – 70 kDa

* * *


(70)

27

Tabel 3 Inflamasi lokal setelah pengenalan alergen

Perlakuan Inflamasi

kontrol – kontrol + polen jagung polen kelapa genjah

polen pinus polen kelapa sawit

- + + + + + Keterangan : - = tidak terjadi inflamasi, + = terjadi inflamasi

Gambar 4 Kaki tikus setelah penyuntikan alergen A. Kontrol negatif (PBS), B. Kontrol positif (histamin), C. Perlakuan polen (polen jagung, kelapa genjah, pinus, kelapa sawit). 1. tidak terjadi inflamasi, 2. terjadi inflamasi. TS. kaki tikus yang tidak disuntik, S. kaki tikus yang disuntik

Inflamasi terjadi akibat adanya pengenalan alergen polen oleh sistem imun tikus, terjadinya pelebaran pembuluh darah, meningkatnya aliran darah, serta erupsi sel-sel leukosit ke jaringan merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya inflamasi (Black 1999; Roitt 1994; Nester et al. 2004).

2

C

1 2

A

B

S S

TS

S TS


(71)

28

4.4. Respon Berat Badan serta Berat Saluran Pernapasan Tikus setelah Pemaparan Polen

Pemaparan ekstrak polen jagung, kelapa genjah, pinus, dan kelapa sawit melalui saluran pernapasan tikus menyebabkan kecenderungan penurunan berat badan pada semua tikus yang diperlakukan dengan keempat polen. Penurunan berat badan juga terjadi pada seluruh tikus kontrol positif, tetapi tidak terjadi pada kontrol negatif. Pemaparan PBS justru menyebabkan kecenderungan peningkatan berat badan pada seluruh tikus kontrol negatif (Gambar 5). Telah dilaporkan juga bahwa pemaparan alergen kimia pada saluran pernapasan mengakibatkan kecenderungan penurunan berat badan sebagian besar tikus wistar (Arts et al.

1998). Pada penelitian ini, penurunan berat badan tikus wistar diduga disebabkan adanya respon alergi setelah pemaparan polen pada saluran pernapasan tikus.

205 210 215 220 225 230 235 240 245

kontrol - kontrol + polen jagung polen kelapa polen pinus polen k.saw it Perlakuan Be ra t Ba d a n T ik u s ( g ra m )

Gambar 5 Perubahan berat badan tikus sebelum ( ) dan sesudah ( ) pemaparan empat jenis polen pada saluran pernapasan.

Pemaparan ekstrak polen jagung, kelapa genjah, pinus, dan kelapa sawit pada saluran pernapasan tikus menyebabkan terjadinya kecenderungan peningkatan berat relatif dari saluran pernapasan pada seluruh tikus yang diperlakukan dengan keempat polen. Kecenderungan peningkatan tersebut juga terjadi pada seluruh tikus kontrol positif, namun tidak terjadi pada tikus kontrol negatif (Gambar 6). Peningkatan berat relatif saluran pernapasan diduga berkaitan


(72)

29

dengan pembengkakan sel-sel membran mukosa, sekresi mukus yang berlebihan, dan erupsi sel-sel leukosit pada saluran pernapasan tikus.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

kontrol - kontrol + polen jagung polen kelapa polen pinus polen k.sawit Perlakuan B e ra t R e la ti f P a ru-pa ru d e n g a n L a ri n g d a n Tr a k e a Ti k u s ( g r)

Gambar 6 Perubahan berat relatif paru-paru dengan laring dan trakea tikus setelah pemaparan empat jenis polen pada saluran pernapasan.

4.5. Respon Histopatologi Laring dan Paru-Paru Tikus setelah Pemaparan Polen

Gambar 7 dan 8 berturut-turut menunjukkan pengamatan histopatologi laring dan paru-paru setelah pemaparan PBS, histamin, dan keempat ekstrak polen pada saluran pernapasan tikus. Terlihat tanda-tanda alergi pada seluruh tikus kontrol positif dan tikus yang diperlakukan dengan keempat polen, yaitu berupa sekresi mukus yang berlebihan pada lumen, pembesaran serta kerusakan sel-sel membran mukosa, dan terjadi erupsi sel-sel leukosit. Tanda-tanda tersebut tidak terlihat pada pengamatan histopatologi seluruh tikus kontrol negatif.

Membran mukosa merupakan bagian pertama dari sistem saluran pernapasan yang mengenali benda asing. Saat alergen polen dikenali oleh membran mukosa, maka membran mukosa menghasilkan mediator-mediator inflamasi, yaitu GM-CSF, IL-1, IL-6, IL-8, TGF-, TNF-, LTB4, dan PGE2.

Mediator GM-CSF berperan dalam mengaktivasi eosinofil, neutrofil, serta menginduksi proliferasi makrofag dan diferensiasi sel-sel yang mengandung histamin. IL-1, IL-6, dan IL-8 berperan dalam aktivasi, diferensiasi, dan rekruitmen leukosit menuju lokasi ditemukannya alergen. Diantara ketiga


(73)

30

interleukin tersebut, IL-8 merupakan kemokin yang paling potensial dalam aktivasi kemotaktik sel neutrofil. Selain IL-8, TNF- dan LTB4 juga merupakan

kemokin yang dapat mengaktivasi sel-sel kemotaktik yaitu neutrofil dan monosit. TGF- berfungsi sebagai agen anti-inflamasi atau agen penyembuhan karena bekerja menghambat proliferasi sel T. Peran anti inflamasi juga terdapat pada mediator PGE2, yaitu menurunkan produksi neutrofil sebagai sel-sel kemotaktik

pada proses inflamasi (Spurzem et al. 1996). Aktivitas yang berlebihan pada membran mukosa tersebut diduga merupakan faktor yang menyebabkan membran mukosa membesar.

Kerusakan membran mukosa, merupakan dampak dari aktivitas enzim protease, oksidan, serta molekul-molekul toksik yang dihasilkan oleh neutrofil dan eosinofil. Neutrofil dan eosinofil merupakan salah satu sel-sel leukosit yang muncul pada epitel trakea babi saat tanda-tanda alergi terjadi. MBP (Major Basic Protein) yang dihasilkan oleh eosinofil bersifat racun terhadap membran mukosa sehingga mampu merusak membran tersebut (Frigas et al. 1980). Selain itu, kultur

in vitro sel-sel epitel bronkus menyebabkan dihasilkannya enzim neutrofil elastase oleh neutrofil yang mengakibatkan membran mukosa terlepas dari dasar membran (Rickard et al. 1992). Kerusakan membran mukosa pada trakea anjing disebabkan oleh tekanan hidrostatik (Kondo et al. 1992). Tekanan hidrostatik terjadi akibat terjadinya pelebaran serta meningkatnya permeabilitas pembuluh darah yang merupakan respon terhadap infasi alergen. Permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan migrasi cairan yang mengandung sel-sel leukosit menuju lokasi ditemukannya alergen (Fick et al. 1987). Kerusakan membran mukosa merupakan salah satu tanda histologis yang menunjukkan terjadinya asma (Laitinen et al.

1985).

Sekresi mukus yang berlebihan pada lumen laring maupun paru-paru terjadi akibat alergen polen menempel secara cross linking pada IgE di permukaan sel mast mukosa saluran pernapasan. Pengikatan tersebut mengakibatkan degranulasi sel mast sehingga mediator-mediator dilepaskan. Mediator tersebut salah satunya menyebabkan sekresi mukus secara berlebihan pada lumen laring maupun paru-paru (Black 1999; Roitt 1994; Nester et al. 2004).


(74)

31

Kontrol - Kontrol +

Polen Jagung Polen Kelapa Genjah

Polen Pinus Polen Kelapa Sawit

Gambar 7 Histopatologi laring tikus setelah pemaparan berbagai jenis polen pada saluran pernapasan dengan perbesaran 400x A. pembesaran dan kerusakan sel-sel membran mukosa, B. sekresi mukus yang berlebihan, C. erupsi sel-sel leukosit.

A

B C

A B

C

C

A B

B

A C

B A


(75)

32

Kontrol - Kontrol +

Polen Jagung Polen Kelapa Genjah

Polen Pinus Polen Kelapa Sawit

Gambar 8 Histopatologi paru-paru tikus setelah pemaparan berbagai jenis polen pada saluran pernapasan dengan perbesaran 400x A. pembesaran dan kerusakan sel-sel membran mukosa, B. sekresi mukus yang berlebihan, C. erupsi sel-sel leukosit.

4.6. Potensi Polen Jagung, Kelapa Genjah, Pinus, dan Kelapa Sawit sebagai Bahan Deteksi Alergi dan Imunoterapi di Indonesia

Polen jagung, kelapa genjah, pinus, dan kelapa sawit memberikan respon yang sama terhadap seluruh tikus wistar yang digunakan sebagai model, yaitu berupa inflamasi pada lokasi penyuntikan alergen; inflamasi pada saluran

A B A B B A B A C C C C

A B


(76)

33

pernapasan tikus setelah pemaparan polen; penurunan berat badan tikus; peningkatan berat paru-paru, laring, dan trakea tikus; sekresi mukus yang berlebihan pada lumen laring dan paru-paru tikus; serta pembengkakan dan kerusakan membran mukosa tikus. Respon tersebut menunjukkan bahwa seluruh polen yang diteliti bersifat mampu menyebabkan alergi pernapasan pada tikus wistar. Penelitian alergi menggunakan tikus wistar menunjukkan respon yang sama dengan respon yang diberikan oleh manusia (Arts et al. 1996). Polen jagung, kelapa genjah, pinus, dan kelapa sawit berturut-turut merupakan polen alergenik pada penduduk di negara Filipina (Sridhara et al. 1995), Singapura (Chew et al.

2006; Kimura et al. 2002), New Zealand (Crump 2005), dan Malaysia (Kimura et al. 2002).

Prodia merupakan laboratorium terbesar serta merupakan laboratorium rujukan bagi rumah sakit-rumah sakit di Indonesia. Alergen polen yang digunakan oleh Prodia dalam mendeteksi alergi pernapasan masih mengimpor dari Inggris. Selain harga yang mahal, alergen polen tersebut berasal dari polen tumbuhan rye

(Lolium rigidum), timothy (Phalaris angusta), birch (Betula sp.), dan mugwort

(Artemisia sp.) yang relatif tidak ditemukan di Indonesia (Gambar 9), sehingga sangat memungkinkan bahwa alergen polen tersebut kurang tepat apabila digunakan di Indonesia.

Gambar 9 Daftar ekstrak alergen import yang digunakan Prodia (Euroimmun 2007).


(77)

34

Alergen polen import lainnya umumnya berasal dari polen ragweed

(Ambrosia sp.), redroot pigweed (Amaranthus retroflexus), lamb’s quarter

(Chenopodium album), russian thistle (Salsola australis), english plantain

(Plantago lanceolata), rumput timothy (Phalaris angusta), rumput kentucky (Poa pratensis), rumput johnson (Sorghum halepense), rumput orchard (Dactylis glomerata), rumput bermuda (Cynodon dactylon), rumput sweet vernal

(Anthoxanthum odoratum), oak (Quercus sp.), ash (Fraxinus sp.), hickory (Ulmus

sp.), pecan (Carya illinoensis), dan box elder atau Acer negundo (Hopkins Technology 2006) yang juga relatif tidak ditemukan di Indonesia.

Tertangkapnya polen jagung, kelapa genjah, pinus, dan kelapa sawit di udara bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan serta kemampunan polen tersebut dalam menyebabkan alergi pernapasan pada tikus wistar menunjukkan bahwa keempat polen tersebut berpotensi digunakan sebagai bahan alergen untuk mendeteksi alergi pernapasan serta sebagai bahan imunoterapi dalam penyembuhan alergi pernapasan di Indonesia.


(78)

DAFTAR PUSTAKA

Allergome. 2002. A Database of Allergenic Molecules. http://www.allergome.org/ index.php [9 Sep 2007]

Allergome. 2003. A Database of Allergenic Molecules. http://www.allergome.org/ index.php [9 Sep 2007]

Allergome. 2005. A Database of Allergenic Molecules. http://www.allergome.org/ index.php [9 Sep 2007]

Agrawal DK. Biochemical and Pharmacological Basis of Receptor-Response Coupling and the Role of G-Proteins in the Action of Immune-Reacting Substances. Di dalam: Townley RG, Agrawal DK, editor. Immunopharmacology of Allergic Diseases. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm. 1-21.

Arts JHE, Droge SCM, Bloksma N, Kuper F. 1996. Local lymph node activation rats after dermal application of the sensitizers dinitrochlorobenzene and trimellitic anhydride. Toxicology 34:55-62.

Arts JHE, Bloksma N, Kuper F, Spoor SM. 1998. Airway morphology and function of rats following dermal sensitizing and respiratory challenge with low molecular weight chemicals. Toxic App Pharmacol 152:66-76.

Baratawidjaja IR et al. 1998. Mites in jakarta homes. Allergy Net Allergy 53:1226-1235. Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. Ed ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Black JG. 1999. Microbiology Principles and Explorations. Ed ke-4. New York: John Wiley and Sons, Inc.

Bollag DM, Edelstein SJ. 1991. Protein Methods. New York: John Wiley and Sons, Inc. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye-binding. Anal Biochem

72:248-254.

Branden C, Tooze J. 1999. Introduction to Protein Structure. Ed ke-2. USA: Garland Publishing.

Campbell NA, Mitchell LG, Reece JB. 1994. Biology: Concepts and Connection. USA: Cummings Publishing Company, Inc.

Chew FT et al. 2000. House dust mite fauna in Jakarta Indonesia. The XVII International Congress of Allergology and Clinical Immunology; Australia, 15-20 Oktober 15-2000.


(79)

37

Chew FT et al. 2006. Evaluation of allergenicity of tropical pollen and airborne spores in Singapore. Singapore: Department of Paediatrics and Department of Biological Sciences, National University of Singapore.

Cushing JE. 2001. Bumps or pits? Surveillance Data, Inc. http://www.multidata.com/ vol4Numbl.html [26 Mei 2005].

Clough J. 2001. Understanding Allergies. English: The British Medical Assosiation. Conrad DH. 1996. FcRI, -BP, and FcRII: Structure and Involvement in Allergic

Disease. Di dalam: Townley RG, Agrawal DK, editor. Immunopharmacology of Allergic Diseases. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm. 79-98.

Cosgrove DJ, Bedinger P, Durachko DM. 1997. Group I allergens of grass pollen as cell wall-loosening agents. Proc Natl Acad Sci USA 94(12):6559-6564.

Crane, E. 1990. Bees and Beekeeping: Science, Practice and World Resources. New York: Cornstock Publ., Ithaca.

Crump VSA. 2005. Pollen allergy and cross-reaction in New Zealand. Auckland Allergy Clinic. http://www.allergyclinic.co.nz/guidess/26.html [25 Des 2007] Damayanti NS. 2002. Viabilitas polen dan kultur anter pada beberapa kultivar pisang

(Musa spp.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

D’Amato G, Liccardi G, D’Amato M, Cazzola M. 2002. Outdoor air pollution, climatic changes and allergic bronchial asthma. Eur RespirJ 20: 763–776

D’Arcy WG, Keating RC. 1996. The Anther Form, Function, and Phylogeny. New York: Cambridge University Press.

Dinas Tata Kota Jakarta. 2005. Tata Ruang Wilayah Kecamatan Ibukota Jakarta Tahun 2005. Jakarta: Dinas Tata Kota Jakarta.

Environmental Affairs Department. 2005. Pollen: daily pollen report. Forsyth County Winston. http://www.forsyth/envaffairs/pollen_Rpt.htm [25 Jul 2006].

Euroimmun. 2007. Antibodies of class IgE against inhalation and food allergens. Test instruction for the EUROLINE Atopy. England: Euroimmun Medizinische Labordiagnostika AG.

Fick RB et al. 1987. Increased bronchovascular permeability after allergen exposure in sensitive ashtmatics. J Appl Physiol 63:1147-1155.

Frenguelli G et al. 1991. The influence of air temperature on the starting dates of the pollen season of Alnus and Populus. Grana 30:196-200.


(1)

38

Frigas E, Loegering DA, Gleich GJ. 1980. Cytotoxic effects of the guinea pig eosinophil major basic protein on tracheal ephitelium. Lab Invest 42:35-43. Gonzales et al. 2006. Pollen load effect fruit set, size, and shape in Cherimoya. Scientia

Horticultural 72:6-12.

Hopkins Technology. 2006. Pollen Allergy. The Asthma and Allergy Foundation of America. Washington. http://www.hoptechno.com/book46.htm [24 Jul 2006]. Human H, Nicolson SW. 2006. Nutritional content of fresh, bee-collected, and stored

pollen of Asphodelaceae. Phytochemistry 67:1486-1492.

Katelaris CH, Burke TV, Byth K. 2004. Spatial variability in the pollen count in sydney, Australia: can one sampling site accurately reflect the pollen count for region? Ann Allergy Asthma Immunol 93(2):131-136.

Kecamatan Pasar Minggu. 2005. Tata ruang wilayah kecamatan kotamadya jakarta selatan [Peta peruntukan tanah]. Indonesia: Dinas Tata Kota. 1 lembar.

Kimura Y et al. 2002. Purification and characterization of 31 kDa palm pollen glycoprotein (Ela g Bd 31 k), which is recognized by IgE from palm pollinosis patients [abstrak]. Biosci Biotechnol Biochem 66(4):820-827.

Kondo M, Finkbeiner WE, Widdicombe JH. 1992. Changes in permeability of dog tracheal ephitelium in response to hydrostatic pressure. Am J Physiol 262:176-182.

Konthen PG. 1985. Pola reaksi atopi pada orang-orang dengan infestasi parasit Ascaris lumbricoides [Disertasi]. Surabaya: Fakultas Kedokteran, Universitas Erlangga. Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of

bacteriophage T4. Nature 227(5259):680-685

Laitinen LA, Heino M, Laitinen A, Kava T, Haahtela T. 1985. Damage of the airway epithelium and bronchial reactivity in patients with asthma. Am Rev Respir Dis 131:599-606.

Lubis U, Adlin A. 1993. Pengadaan Benih Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis). Medan: Pusat Kajian Kelapa Sawit.

Maggi E, Romagnani S. 1996. Lymphocyte. Di dalam: Townley RG, Agrawal DK, editor. Immunopharmacology of Allergic Diseases. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm. 215-232.

McKane L, Kandel J. 1996. Microbiology Essensials and Applications. Ed ke-2. New York: McGraw-Hill, Inc.


(2)

Minnich B, Krautgartner WD, Lametschmwndtner A. 2003. Quantitative 3D-analysis in SEM. Microsc Microanal 9:118-119.

Murray WL. 2001. Anatomy of a pollen grain. Surveillance Data, Inc. http://www.multidata.com/vol4Numbl.html [26 Mei 2005]

Nester EW, Anderson DG, Roberts CE, Pearsall NN, Nester MT. 2004. Microbiology A Human Perspective. Ed ke-4. New York: McGraw-Hill, Higher Education. Phanichyakam P. 1981. Atmosperic pollens and molds in survey in Bangkok [abstrak].

SE Asian J Trop Med Public Health 12(4):571-573.

Puc M. 2003. Characterisation of pollen allergens. Ann Agric Environ Med 10:143-149. Puskesmas Jakarta. 2006. Laporan Tahunan Data Kesakitan Kecamatan di Jakarta.

Jakarta: Puskesmas Jakarta.

Rickard KA, Taylor J, Rennard SI. 1992. Observations of development of resistance to detachment of cultured bovine bronchial ephitelial cells in response to protease treatment. Am J Respir Cell Mol Biol 6:414-420.

Roitt IM. 1994. Essential Immunology. Oxford: Blackwell Science Limited.

Roubik DW, Patino JEM, Panama LCD. 2003. Pollen and Spores of Barro Corolado Island. Colorado: Mithsonian Tropical Research Institute.

Sancho A. 2005. Scientist discover how allergy protein works. News Media SAS.

Santos GA, Batugal PA, Othman A, Baudouin L, dan Labouisse JP, editor. 1995. Manual on Standardized Research Technuques in Coconut Breeding. Manado: Balitka.

Singh AB, Kumar P. 2003. Aeroalergena in clinical practice of allergy in India. Ann Agric Environ Med 10:131–136.

Siregar SP, Sukoyo D, Akib A, Munazir Z, Matondong CS. 1990. Prevalensi Penyakit Atopi pada Anak di Kelurahan Utan Kayu. Kualitas Hidup Perkotaan : Aspek Penyakit Alergi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Spurzem JR, Debra J, Romberger, Rennard SI. 1996. Roles of epithelial cell and fibroblasts in allergic diseases. Di dalam: Townley RG, Agrawal DK, editor. Immunopharmacology of Allergic Diseases. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm. 287-307.

Sridhara J et al. 1995. Antigenic and allrgenics relationships among airborne grass pollen in India [abstrak]. Ann Allergy Asthma Immunol 75(1):73-79.


(3)

40

Sundaru H. 2005. Perbandingan prevalensi dan derajat berat asma antara daerah urban dan rural pada siswa sekolah usia 13 – 14 [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ticha M, Pacakova V, Stulik K. 2002. Proteomics of allergens. J Chromatography B 771:343-353.

Walsh G. 2001. Protein Biochemistry and Biotechnology. Ireland: Industrial Biochemistry Programme University of Limerick.

Wang W, Milanesi C, Faleri C, dan Cresti M. 2006. Localization of group-1 allergen zea m 1 in coat and wall of maize pollen. Acta Histochem 108:395-400.

Weber RW. 1998. Polen identification. Ann Allergy Asthma Immunol 80:141-145. Wistar Institute. 2007. Wistar rat. USA: Wikimedia Foundation Inc.

Woodfolk JA. 2007. T-cell responses to allergens. J Allergy Clin Immunol 119(2): 280-290.


(4)

(5)

42 Lampiran 1 Denah Tata Ruang Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan (Dinas Tata Kota


(6)

Polen yang beterbangan bebas di kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan adalah polen dari tanaman jagung, kelapa genjah, pinus, dan kelapa sawit. Keempat jenis polen mempunyai protein yang dapat menyebabkan alergi pernapasan pada tikus wistar, ditandai dengan sekresi mukus yang berlebihan pada lumen, erupsi sel-sel leukosit, dan pembengkakan serta kerusakan membran mukosa laring dan paru-paru. Oleh karena itu, polen-polen tersebut memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan pendeteksi alergi saluran pernapasan serta sebagai bahan imunoterapi di Indonesia.