Perkembangan Mikrospora dalam Kultur Antera dan Viabilitas Polen Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

ABSTRAK
ITA PURNAMASARI. Perkembangan Mikrospora dalam Kultur Antera dan Viabilitas Polen
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA SUPENA dan
SUMARYONO.
Pengembangan teknologi haploid melalui induksi androgenesis secara in vitro merupakan
alternatif yang banyak ditempuh untuk mendapatkan galur murni secara singkat. Penerapan
teknologi ini pada kelapa sawit akan mempercepat pengembangan varietas hibrida untuk
meningkatkan produktivitas. Namun sampai saat ini usaha tersebut belum dilaporkan berhasil. Hal
ini erat kaitannya dengan fisiologi dan kemampuan sel mikrospora untuk berkembang dalam
kondisi in vitro. Oleh karena itu, perkembangan gametofitik mikrospora dalam kultur antera
dengan sistem media dua lapis serta viabilitas polen kelapa sawit perlu diamati sebagai langkah
awal untuk mengembangkan teknik androgenesis. Ciri morfologi malai jantan diamati untuk
menentukan stadia perkembangan mikrospora yang akan digunakan sebagai bahan untuk induksi
androgenesis. Antera untuk induksi androgenesis kelapa sawit dengan populasi mikrospora
stadium uninukleat akhir sampai binukleat awal lebih dari 50% dapat diisolasi dari bunga pada
ujung spikelet yang terletak di tengah malai dengan spata ½ terbuka. Polen kelapa sawit memiliki
viabilitas yang tinggi, yaitu sebesar 95% dengan waktu yang diperlukan untuk pengujian viabilitas
melalui reduksi enzimatik trifenil tetrazolium klorida cukup 4 jam, sedangkan untuk
perkecambahan dengan metode hanging drop perlu waktu 12-14 jam. Mikrospora uninukleat
stadium akhir menunjukkan respon perkembangan gametogenesis yang lebih stabil daripada
uninukleat awal-tengah pada kultur in vitro. Penggunaan sumber karbon maltosa 4% dalam media

dapat mendukung perkembangan kedua kelompok mikrospora tersebut menjadi polen matang
dalam kultur in vitro.
Kata kunci : kelapa sawit, polen, mikrospora, gametofitik, viabilitas, perkecambahan.

ABSTRACT
ITA PURNAMASARI. Microspore Development in Anther Culture and Pollen Viability of Oil
Palm (Elaeis guineensis Jacq.). Supervised by ENCE DARMO JAYA SUPENA and
SUMARYONO.
Development of haploid technology via induction of in vitro androgenesis is the most
common approach to produce pure lines in a short period of time. Introduction of this technology
on oil palm will speed up the development of hybrid variety to increase plant productivity.
Unfortunately it has not been reported successful yet, in which could be influenced by the
physiology and capability of microspores to develop at in vitro conditions. For these reason,
gametophytic development of microspores of oil palm in a double layer medium along with the
viability of pollen were observed as the first step to develop androgenesis technique. Morphology
of male inflorescences was observed to determine the developmental phase of microspore used as
the material for androgenesis induction. The anther for androgenesis induction with more than
50% microspore at late stage of uninucleat to early binucleat phase could be isolated from the
upper part of spikelet located at the middle part of the male inflorescence with ½ part of spatha
was opened. Viability of oil palm pollen was up to 95%, in which the time needed for viability test

with enzymatic reduction of triphenyl tetrazolium chloride was only 4 hours, and germination test
with hanging drop method was 12-14 hours. The late uninucleat microspore showed better
gametogenesis development response than the early-middle uninucleat microspore on in vitro
culture. Maltose 4% as the carbon source in the medium can support the development of two
groups of microspore to mature pollen on in vitro culture.
Keywords : oil palm, pollen, microspore, gametophytic, viability, germination.

PENDAHULUAN
Latar belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
merupakan komoditas perkebunan unggulan
di Indonesia yang sangat berperan dalam
pertumbuhan investasi dan devisa. Pada tahun
2007, produksi minyak kelapa sawit Indonesia
mencapai 18.3 juta ton dan telah mengungguli
Malaysia. Pada tahun 2010, produksi minyak
kelapa sawit Indonesia meningkat hingga
mencapai 22 juta ton (USDA 2011).
Peningkatan ini dicapai melalui perluasan
areal perkebunan di daerah utama penghasil

kelapa sawit, yaitu Sumatera Utara, Riau,
Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi,
dan Aceh. Namun, perluasan areal penanaman
ini tidak ditopang dengan tersedianya bibit
yang berkualitas dalam jumlah yang cukup.
Kondisi tersebut menyebabkan rata-rata
produksi minyak kelapa sawit Indonesia
hanya 3 ton CPO/ha/tahun. Hasil ini masih
lebih rendah dari produktivitas perkebunan
kelapa sawit di Malaysia yang mencapai 4.2
ton CPO/ha/tahun (USDA 2011).
Bibit kelapa sawit yang digunakan
umumnya merupakan varietas hibrida tipe
tenera hasil persilangan antara tetua tipe dura
dengan tipe pisifera. Terbatasnya varietas
hibrida ini erat kaitannya dengan terbatasnya
ketersediaan calon tetua berupa galur-galur
murni (homozigot). Pembentukan galur murni
dapat dilakukan secara konvensional melalui
penyerbukan sendiri secara terkendali, namun

cara ini membutuhkan 5-7 generasi.
Sementara itu, waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan satu generasi pada kelapa
sawit adalah 3-4 tahun. Oleh karena itu,
diperlukan pengembangan teknik yang dapat
menghasilkan galur murni dalam waktu yang
singkat (Dunwell et al. 2010).
Pengembangan
teknologi
haploid
melalui induksi androgenesis secara in vitro
merupakan alternatif yang banyak ditempuh
untuk mendapatkan galur murni secara singkat
pada beberapa spesies tanaman seperti pada
Nicotiana tabacum L. (Reinert et al. 1975),
Triticum aestivum L. (Marsolais et al. 1984),
Brassica napus (Custers et al. 1994), dan
Capsicum annuum (Supena et al. 2006).
Sementara itu, tanaman haploid dan haploid
ganda pada kelapa sawit baru dapat diperoleh

melalui seleksi terhadap bibit dalam skala
besar. Teknik seleksi ini dilakukan melalui
seleksi morfologi, penentuan homozigositas
atau
heterozigositas
dengan
markah
molekuler, dan pengukuran tingkat ploidi
(Dunwell et al. 2010). Namun, produksi

tanaman haploid dan haploid ganda melalui
induksi androgenesis pada kelapa sawit belum
dilaporkan berhasil. Kultur antera kelapa
sawit pada media semi padat telah dilakukan,
namun belum berhasil dan tidak dilengkapi
dengan
pengamatan
terhadap
stadia
mikrospora (Tirtoboma 1997). Selain itu,

upaya induksi pembelahan sporofitik dengan
cekaman suhu tinggi dan sumber karbon yang
berbeda pada kultur antera kelapa sawit dalam
sistem media dua lapis juga belum berhasil
(Septiani 2008). Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian terlebih dahulu terhadap
perkembangan
gametofitik
mikrospora
maupun pengujian tingkat viabilitas dan
perkecambahan polen kelapa sawit dalam
kutur in vitro.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengamati
hubungan morfologi malai jantan dengan
stadia mikrospora, mengamati perkembangan
gametofitik mikrospora mulai dari beberapa
stadia awal mikrospora, serta menguji tingkat
viabilitas dan perkecambahan polen kelapa
sawit dalam kultur in vitro.


BAHAN DAN METODE
Sumber antera
Antera yang digunakan berasal dari
bunga jantan kelapa sawit tipe tenera berumur
3-7 tahun yang diperoleh dari kebun koleksi
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan di
Ciomas - Bogor.
Pengamatan morfologi malai jantan dan
stadia mikrospora
Pengamatan morfologi malai dan stadia
mikrospora dilakukan pada tiga kelompok
malai jantan kelapa sawit, yaitu malai dengan
spata (pelindung bunga majemuk) ¼ terbuka,
½ terbuka, dan sudah terbuka sepenuhnya.
Antera yang diisolasi dari kuncup bunga disquash dalam setetes larutan manitol 5.5%
(b/v)
untuk
diisolasi
mikrosporanya.

Selanjutnya mikrospora yang terlarut dalam
larutan manitol dimasukkan ke tabung
eppendorf yang berisi 0.1 mL larutan manitol
dengan konsentrasi yang sama. Mikrospora
atau polen yang terlarut di dalam larutan
manitol diisolasi dengan cara diendapkan
dengan sentrifuse pada 8000 rpm selama lima
menit pada suhu 160C. Selanjutnya pellet
diwarnai dengan 1.25 μg mL-1 pewarna 4,6diamidino-2-phenylindole (DAPI). Fase

2
perkembangan
mikrospora
diamati
menggunakan mikroskop fluoresens. Masingmasing pengamatan dilakukan dengan tiga
kali pengulangan posisi spikelet pada malai
dan posisi kuncup bunga pada spikelet. Pada
setiap preparat yang mengandung ≥ 50
mikrospora diamati pada lima bidang
pandang dengan perbesaran 200X. Hasil

pengamatan stadia mikrospora dikorelasikan
dengan hasil pengamatan morfologi malai.
Pembuatan media kultur untuk induksi
gametofitik
Media kultur yang digunakan adalah
modifikasi media yang mengandung nutrisi
makro dan mikro Eeuwens (Y3), vitamin Kao
dan Michayluk (vitamin KM) 1% (v/v), dan
40 gL-1 maltosa dengan sistem media dua
lapis, yaitu media cair di atas media padat
dengan komposisi yang sama dengan pH 5.8.
Namun, pada media padat ditambahkan
10 gL-1 arang aktif dan 2 gL-1 agar pemadat
gelrite (Teixeira et al. 1995; Septiani 2008).
Pada penelitian ini digunakan cawan petri
berdiameter 6 cm serta dibutuhkan media
padat dan cair masing-masing 3 mL.
Pengamatan perkembangan gametofitik
mikrospora
Kuncup bunga jantan kelapa sawit dari

spikelet dan malai dengan kriteria morfologi
yang
mengandung
mikrospora
stadia
uninukleat awal-tengah dan uninukleat akhir
didesinfeksi dengan alkohol 70% selama satu
menit. Setelah itu kuncup bunga jantan dibilas
sebanyak dua kali dengan akuades steril.
Selanjutnya, kuncup bunga didesinfeksi dalam
2% NaOCl dengan penambahan 0.05% (v/v)
Tween-20 selama 10 menit, kemudian dibilas
sebanyak tiga kali dengan akuades steril.
Kuncup bunga hasil desinfeksi dibuka
dengan pinset dan antera dipisahkan dari
filamen serta kelopak bunga. Antera
diletakkan pada media dua lapis sehingga
mengapung pada permukaan media cair. Pada
media cair ditambahkan 0.1% (v/v) Plant
Preservative

Mixture
(PPMTM) untuk
mencegah kontaminasi pada kultur. Pada
setiap cawan petri dikulturkan antera yang
berasal dari 10 kuncup bunga dan diinkubasi
pada suhu 260-290C selama 15 hari pada
kondisi gelap. Antera diambil satu-persatu
dari kultur secara berkala pada 0, 1, 3, 6, 10,
dan 15 hari setelah kultur (HSK) untuk
diisolasi mikrosporanya dan diwarnai dengan
pewarna DAPI (Septiani 2008). Tahap
perkembangan inti sel mikrospora diamati
menggunakan mikroskop fluoresens. Masing-

masing pengamatan dilakukan dengan tiga
kali pengulangan kultur (3 cawan), dan setiap
preparat yang mengandung ≥ 50 mikrospora
diamati pada lima bidang pandang dengan
perbesaran 200X.
Pengujian viabilitas polen
Polen yang akan diuji viabilitasnya
dalam penelitian ini berasal dari malai dengan
spata terbuka sepenuhnya. Viabilitas polen
diamati dengan menggunakan dua cara. Cara
pertama dilakukan dengan metode pewarnaan
menggunakan larutan triphenyl tetrazolium
chloride (TTC). Cara kedua dilakukan dengan
mengamati tingkat perkecambahan polen.
Pengujian viabilitas polen dengan
metode pewarnaan
dilakukan
melalui
pengujian reduksi enzimatik TTC. Larutan
TTC (0.5% TTC dalam 8% (b/v) larutan
sukrosa) diteteskan di atas kaca objek,
kemudian polen disuspensikan di atas
permukaannya dan ditutup dengan gelas
penutup secepat mungkin untuk mencegah
oksidasi. Suspensi tersebut diinkubasi dalam
kondisi gelap pada suhu 260-290C selama
empat jam (Armendariz et al. 2006). Masingmasing pengamatan dilakukan dengan tiga
kali pengulangan kultur (3 preparat), dan
setiap preparat yang mengandung ≥ 50 polen
diamati pada lima bidang pandang dengan
perbesaran 100X.
Berdasarkan uji tersebut, polen kelapa
sawit akan dibedakan menjadi tiga kelompok,
yaitu polen viable, semi-viable, dan polen
unviable. Polen yang viable akan mampu
mereduksi senyawa TTC dan berwarna merah
cerah.
Sedangkan
polen
semi-viable
menunjukkan warna merah muda dan polen
unviable tidak tidak menunjukkan perubahan
warna (Asma 2008).
Tingkat perkecambahan polen diamati
dengan metode hanging drop. Polen
disuspensikan ke dalam 8% (b/v) larutan
sukrosa dalam 15 ppm larutan asam borat.
Selanjutnya suspensi diteteskan di atas kaca
objek dan diinkubasi dalam kondisi gelap
pada suhu 260-290C, masing-masing selama 0,
2, 4, 6, 8, 12, 14, 16, dan 24 jam. Tingkat
perkecambahan polen ditentukan dengan
menghitung polen yang membentuk tabung
polen dengan panjang minimal dua kali
diameter polennya menggunakan mikroskop
cahaya (Armendariz et al. 2006). Masingmasing pengamatan dilakukan dengan tiga
kali pengulangan kultur (3 preparat), dan
setiap preparat yang mengandung ≥ 50 polen
diamati pada lima bidang pandang dengan
perbesaran 100X.

3

HASIL
Hubungan ciri morfologi malai jantan dan
stadia mikrospora
Morfologi malai jantan kelapa sawit
dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan
ukuran pembukaan spata, posisi spikelet pada
malai, dan posisi bunga pada spikelet
(Gambar 1 & Tabel 1). Ciri morfologi yang
diamati kemudian dihubungkan dengan stadia
mikrospora. Malai jantan kelapa sawit dengan
spata ¼ terbuka mengandung populasi
mikrospora yang didominasi oleh stadia
uninukleat awal-tengah. Sel mikrospora stadia
uninukleat awal-tengah terutama dapat
diisolasi dari bunga yang terletak di ujung
spikelet yang terdapat pada bagian ujung
malai. Mikrospora pada stadium ini dicirikan
dengan sel yang berbentuk triangular dengan
inti yang mengalami dekondensasi dan
terletak di tengah sel (Gambar 2A).
Selanjutnya inti sel tampak mengalami
rekondensasi dan kedudukannya semakin ke
arah tepi karena terdesak oleh vakuola
(mendekati dinding sel) (Gambar 2B). Sel
mikrospora dengan ciri seperti ini berada pada
stadium uninukleat akhir. Mikrospora pada
stadium uninukleat akhir dapat diisolasi dari
bunga yang terletak di ujung spikelet yang
terdapat pada bagian tengah malai dengan
spata ½ terbuka.
Selanjutnya sel mikrospora memasuki
stadium binukleat awal. Pada stadium ini, inti
sel mengalami pembelahan mitosis sebanyak
satu kali sehingga dihasilkan dua inti yang
berukuran sama dalam satu sel (Gambar 2C).
Sel mikrospora stadium ini banyak dijumpai
pada bunga yang terletak di tengah spikelet
yang terdapat pada bagian pangkal malai
dengan spata ½ terbuka. Setelah inti sel
membelah secara mitosis, kedua inti tersebut
mulai bergerak menjauh dan mulai terjadi
diferensiasi, yaitu menjadi inti vegetatif dan
inti generatif. Sel mikrospora dengan ciri
seperti ini menandakan bahwa sel berada pada
stadium binukleat tengah (Gambar 2D).
Mikrospora stadium binukleat tengah dapat
dijumpai dengan populasi terbesar pada bunga
yang terletak di pangkal spikelet yang terdapat
pada bagian pangkal malai dengan spata ½
terbuka.
Pada perkembangan selanjutnya, sel
mikrospora akan memasuki stadium binukleat
akhir. Stadium binukleat akhir dicirikan oleh
inti vegetatif dan inti generatif yang dapat
dibedakan dengan jelas. Perbedaan ini terlihat
pada inti generatif yang berukuran lebih kecil

karena lebih terkondensasi sehingga terlihat
lebih terang daripada inti vegetatif (Gambar
2E). Setelah stadium binukleat akhir,
mikrospora akan menjadi polen matang. Polen
matang ditunjukkan oleh kedua inti (inti
vegetatif & inti generatif) yang berukuran
kecil dan inti generatif berbentuk lonjong
sempit (Gambar 2F). Polen matang dapat
diisolasi pada semua bagian malai jantan
kelapa
sawit
dengan
spata terbuka
sepenuhnya.

Gambar 1 Morfologi malai jantan dan spikelet
kelapa sawit, (A) malai jantan dengan
spata ¼ terbuka, (B) malai jantan
setelah spata dibuka, dan (C) spikelet.
Malai dan spikelet dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu pangkal (P), tengah (T),
dan ujung (U). Garis skala = 1 cm
untuk B-C.

Gambar 2 Stadia mikrospora kelapa sawit, (A)
uninukleat awal-tengah, (B) uninukleat
akhir, (C) binukleat awal, (D) binukleat
tengah, (E) binukleat akhir, dan (F)
polen matang. Inti generatif (ig) dan
inti vegetatif (iv). Garis skala = 30 µm
untuk A-F.

4
Tabel 1

No.

Hubungan ciri morfologi malai bunga jantan dan stadia mikrospora kelapa sawit
Ciri
morfologi
malai

Posisi
spikelet
pada
malai
ujung

1.

malai dengan
spata 1/4
terbuka

tengah

pangkal

ujung

2.

malai dengan
spata 1/2
terbuka

tengah

pangkal

ujung

3.

malai dengan
spata terbuka
sepenuhnya

tengah

pangkal

Keterangan :

EMU
LU
EB

Posisi
bunga
pada
spikelet
ujung
tengah
pangkal
ujung
tengah
pangkal
ujung
tengah
pangkal
ujung
tengah
pangkal
ujung
tengah
pangkal
ujung
tengah
pangkal
ujung
tengah
pangkal
ujung
tengah
pangkal
ujung
tengah
pangkal

Stadia mikrospora

= uninukleat awal-tengah
= uninukleat akhir
= binukleat awal

Perkembangan gametofitik mikrospora
Kultur mikrospora yang dimulai dari
populasi mikrospora yang didominasi oleh
fase uninukleat awal-tengah ataupun fase
uninukleat akhir menunjukkan respon yang
sama. Namun, terlihat bahwa kelompok kultur
yang dimulai dengan mikrospora stadium
uninukleat akhir mengalami perkembangan
yang lebih stabil. Hal ini terlihat dari stabilitas
pengurangan jumlah mikrospora stadium
uninukleat akhir akibat kematian sel
mikrospora pada kultur (Gambar 3B).
Sedangkan pengurangan jumlah mikrospora
stadium uninukleat awal-tengah akibat

EMU
(%)

LU
(%)

EB
(%)

MB
(%)

LB
(%)

MP
(%)

99
79
56
99
76
51
91
47
25
28
28
20
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

1
17
3
1
14
26
7
34
30
33
34
21
42
39
23
17
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
5
12
0
7
17
1
16
28
27
25
38
40
43
43
50
54
43
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
2
0
3
6
0
3
16
13
22
19
18
19
30
33
36
45
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
4
0
3
12
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100
100
100
100
100
100
100
100
100

MB
LB
MP

= binukleat tengah
= binukleat akhir
= polen matang

kematian sel mikrospora pada kultur
cenderung fluktuatif dan kematian sel sangat
tinggi pada 1 HSK (Gambar 3A).
Selama satu hari kultur (Gambar 4B),
kondisi mikrospora tidak berbeda dari kondisi
awal kultur (0 HSK) (Gambar 4A). Namun,
Kematian sel terus meningkat mulai dari 1
HSK sampai 15 HSK (Gambar 3) yang
ditandai dengan plasmolisis dan keluarnya inti
(Gambar 4D & Gambar 4E) serta sitoplasma
sel (Gambar 4F). Namun, kedua kelompok
kultur mampu mendukung perkembangan
mikrospora sampai menjadi polen matang
pada 3 HSK (Gambar 4C).

Persentase mikrospora (%)

5

100
80

60
40
20
0
1

Persentase mikrospora (%)

3

4

5

6

Hari setelah kultur (HSK)

A

100

polen matang

80

binukleat akhir

60

binukleat tengah
binukleat awal

40

uninukleat akhir

uninukleat awal-tengah

20

Mati

0
1

B

2

2

3

4

5

6

Hari setelah kultur (HSK)

Gambar 3 Perkembangan gametofitik mikrospora dari kondisi awal didominasi (A) uninukleat awal-tengah
dan (B) uninukleat akhir dalam kultur in vitro.

Gambar 4 Perkembangan mikrospora dari kondisi awal didominasi uninukleat akhir dalam antera pada
kultur in vitro (A) 0 HSK, (B) 1 HSK, (C) 3 HSK, (D) 6 HSK, (E) 10 HSK, dan (F) 15 HSK.
Mikrospora stadium uninukleat akhir (lu), polen matang (mp), inti sel keluar (ik), dan sitoplasma
keluar (sk). Garis skala = 30 µm untuk A-F.

6
Viabilitas dan tingkat perkecambahan
polen
Hasil pengujian viabilitas polen kelapa
sawit dengan menggunakan uji TTC yang
mengindikasikan
keberadaan
enzim
sitoplasmik diperoleh 95% polen viable, 1%
semi-viable, dan 4% polen unviable setelah
empat jam pengujian (Gambar 7).
Polen yang berkecambah membentuk
tabung polen dengan panjang rata-rata
mencapai 190 µm setelah diinkubasi selama
24 jam (Gambar 5). Kapasitas germinasi polen
kelapa sawit dapat mencapai 95% bila
diinkubasi dalam waktu 12-14 jam
(Gambar 6).

panjang tabung polen (µm)

250

200

150
r = 0.792
y = 9,479x

100

50

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Gambar 7 Pengujian viabilitas dan tingkat
perkecambahan polen kelapa sawit. (A)
Uji viabilitas dengan TTC, polen viable
(v) berwarna merah, semi-viable (im)
berwarna merah muda, dan polen
unviable (uv) tidak berwarna; (B) Polen
yang
dikecambahkan
membentuk
tabung polen (tp).Garis skala = 30 µm.

waktu inkubasi (jam)
Gambar 5 Ukuran panjang tabung polen kelapa
sawit dalam periode 24 jam inkubasi.

PEMBAHASAN

persentase perkecambahan (%)

100

80
r = 0.988

60

y = 9(1-exp(-5x)
40

20

0
0

2

4

6

8 10 12 14 16 18 20 22 24

waktu inkubasi (jam)
Gambar 6 Tingkat perkecambahan polen kelapa
sawit dalam periode 24 jam inkubasi.

Antera untuk induksi androgenesis
kelapa sawit dengan populasi mikrospora
stadium uninukleat akhir sampai binukleat
awal lebih dari 50% dapat diisolasi dari bunga
pada ujung spikelet yang terletak di tengah
malai dengan spata ½ terbuka. Hal ini
menunjukkan bahwa posisi bunga pada
spikelet, posisi spikelet pada malai, dan
ukuran membukanya spata malai jantan
kelapa sawit dapat digunakan sebagai penanda
stadia mikrospora. Ciri yang digunakan
sebagai penanda stadia mikrospora berbedabeda antar spesies tanaman, seperti warna
ungu pada ujung antera tanaman cabai
(Supena et al. 2006), ukuran kuncup bunga
pada tanaman tembakau (Wahidah 2010), dan
rasio panjang braktea terhadap panjang
kuncup bunga pada tanaman kedelai (Budiana
2010).

7
Penentuan stadia mikrospora dalam
antera yang akan digunakan pada induksi
androgenesis merupakan faktor penting.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Perera et al. (2008), stadium mikrospora yang
paling responsif untuk induksi androgenesis
pada Cocos nucifera adalah saat pembelahan
mitosis pertama yaitu stadium uninukleat
akhir sampai binukleat awal. Hal ini karena
mikrospora pada stadium uninukleat akhir
merupakan transisi antara fase G1 dan Sintesis
(S). Fase G1 merupakan periode presintesis
DNA, sedangkan fase S merupakan masa
berlangsungnya
sintesis
DNA.
Bila
mikrospora diberi perlakuan stress ketika
memasuki check point G1 yang berada di
antara fase G1 dan S, maka akan
menghasilkan proses seluler yang berbeda dari
proses alaminya sehingga dapat dimanfaatkan
untuk
proses
pembelokkan
arah
perkembangan gametofitik ke arah sporofitik
untuk induksi androgenesis dalam upaya
pengembangan teknologi haploid (Indrianto et
al. 2001). Stadia mikrospora yang paling
responsif untuk induksi androgenesis pada
fase uninukleat akhir sampai binukleat awal
juga dilaporkan untuk tanaman Hordeum
vulgare (Maraschin et al. 2005), Brassica
napus (Custers et al. 1994), dan Capsicum
annuum (Supena et al. 2006; Supena &
Custers 2011).
Perkembangan mikrospora dalam kultur
antera dengan teknik media dua lapis dengan
media Y3 yang mengandung maltosa 4%
sebagai sumber karbon dapat mendukung
perkembangan
kelompok
mikrospora
uninukleat awal-tengah dan uninukleat akhir
menjadi polen matang pada hari ketiga setelah
kultur (3 HSK). Namun, tidak dapat
dipastikan bahwa polen matang tersebut
merupakan
hasil
perkembangan
dari
mikrospora stadium uninukleat awal-tengah
ataupun uninukleat akhir. Adam et al. (2005)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
waktu yang diperlukan oleh gamet jantan
untuk berkembang dari fase tetrad menjadi
polen matang in planta adalah 6 minggu.
Berdasarkan hal ini, polen matang yang
dijumpai pada 3 HSK tersebut kemungkinan
dapat berasal dari perkembangan mikrospora
stadia binukleat yang sudah ada pada 0 HSK.
Septiani
(2008)
menyebutkan
bahwa
perkembangan mikrospora secara in vitro
dalam teknik kultur antera pada media dua
lapis dengan media standar embriogenesis
yang mengandung sukrosa 1.5% dan glukosa
0.5% hanya dapat mendukung perkembangan
mikrospora dari tahap uninukleat akhir hingga

binukleat tengah. Hal ini karena banyaknya
mikrospora yang mengalami plasmolisis pada
3 HSK.
Sel mikrospora mengalami kematian
selama periode kultur. Bertambahnya tingkat
kematian sel mulai dari 1 HSK sampai 15
HSK ditandai dengan keluarnya inti dan
sitoplasma sel. Penggunaan maltosa dapat
mempertahankan persentase sel hidup kurang
lebih sebesar 40% pada 15 HSK. Sementara
penggunaan sukrosa dan glukosa seperti yang
telah disebutkan oleh Septiani (2008), hanya
dapat mempertahankan persentase sel hidup
kurang dari 35% pada 15 HSK. Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan
maltosa sebagai sumber karbon dalam media
kultur lebih baik daripada sukrosa dan
glukosa. Maltosa merupakan disakarida yang
secara struktur lebih lambat dimetabolisme
oleh sel. Sedangkan sukrosa secara struktur
lebih mudah dihidrolisis dan glukosa
merupakan
monosakarida
yang dapat
langsung digunakan oleh sel untuk
memperoleh ATP melalui respirasi, sehingga
metabolismenya cepat yang menyebabkan
terjadinya keracunan pada sel (Scott & Lyne
1994).
Pengujian viabilitas dengan metode
pewarnaan menunjukkan hasil yang sama
dengan
metode
pengujian
tingkat
perkecambahan, yaitu sebesar 95% polen
viable. Polen viable mampu mereduksi
senyawa
TTC
yang
mengindikasikan
keberadaan enzim dehidrogenase yang
dibutuhkan untuk respirasi sel. Polen viable
ini juga dikategorikan sebagai polen fertil
karena mampu membentuk tabung kecambah.
Sedangkan polen semi-viable dan unviable
dapat disebut sebagai polen steril karena
kemampuan metabolisme yang rendah dan
tidak mampu membentuk tabung kecambah
(Asma 2008)
Berdasarkan
viabilitasnya
yang
mencapai 95%, polen kelapa sawit
dikategorikan cepat berkecambah dengan
tingkat perkecambahan yang tinggi. Menurut
Franchi et al. (2002), lebih dari 40 famili
anggota Angiospermae memiliki polen
dengan kadar air lebih dari 30% pada saat
antesis (pelepasan polen dari antera ke
lingkungan).
Kondisi
tersebut
mengindikasikan bahwa polen tersebut secara
metabolik lebih aktif dan lebih mudah
membentuk tabung polen, namun polen
dengan kadar air tinggi lebih sensitif terhadap
kelembaban rendah karena lebih mudah
kehilangan air (Heslop-Harrison 2000).

8
Pahan (2006) menyatakan bahwa
pelepasan polen dari antera (antesis) kelapa
sawit terjadi selama 2-3 hari setelah bunga
mekar dan akan habis dalam lima hari, di
mana viabilitas polen biasanya sudah sangat
rendah. Menurut Myint (2010), viabilitas
polen kelapa sawit dipengaruhi oleh berbagai
faktor diantaranya kondisi nutrisi, genotipe,
umur tanaman, dan faktor lingkungan.
Bunga kelapa sawit memiliki antera
dengan stadia mikrospora yang beragam. Oleh
karena itu, perlu dilakukan identifikasi
mikrospora dengan parameter yang lebih tepat
agar perkembangan gametofitik mikrospora
dapat diamati secara lengkap dan lebih akurat.
Parameter yang lebih spesifik seperti ciri
morfologi kuncup bunga dan antera mungkin
dapat digunakan untuk tujuan tersebut.

SIMPULAN
Ukuran membukanya spata pada malai
jantan, kedudukan spikelet pada malai, dan
posisi bunga pada spikelet kelapa sawit dapat
digunakan sebagai penanda stadia mikrospora.
Untuk mendapatkan populasi mikrospora
yang didominasi fase uninukleat akhir untuk
induksi androgenesis yaitu dari bunga pada
ujung spikelet yang terletak di tengah malai
dengan spata ½ terbuka. Polen kelapa sawit
memiliki viabilitas sebesar 95% dengan waktu
yang diperlukan untuk pengujian viabilitas
dengan uji TTC cukup 4 jam, sedangkan
untuk perkecambahan pada media yang
mengandung 8% (b/v) larutan sukrosa dalam
15 ppm larutan asam borat perlu waktu 12-14
jam. Kultur mikrospora uninukleat akhir
menunjukkan
respon
perkembangan
gametogenesis yang lebih stabil daripada
uninukleat awal-tengah. Penggunaan sumber
karbon maltosa 4% dapat mendukung
perkembangan kedua kelompok mikrospora
tersebut menjadi polen matang dalam kultur in
vitro.

DAFTAR PUSTAKA
[USDA] United States Department of
Agriculture. 2011. World Agricultural
Production. Washington D.C.: USDA.
Adam H, Jouannic S, Escoute J, Duval Y,
Verdeil JL, Tregear JW. 2005.
Reproductive
developmental
complexity in the african oil palm

(Elaeis
guineensis,
Arecaceae).
American J Bot 92: 1836-1852.
Armendariz BHC, Oropeza C, Chan JL,
Maust B, Aguilar C de la CC, Sáenz L.
2006. Pollen fertility and female flower
anatomy of micropropagated coconut
palms. Rev Fitotec Mex 29: 373-378.
Asma BM. 2008. Determination of pollen
viability, germination, ratios, and
morphology of eight apricot genotypes.
African J Biotech 7: 4269-4273.
Budiana. 2010. Induksi pembelahan sporofitik
mikrospora kedelai melalui kultur
antera pada sistem media dua lapis
[Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Custers JBM, Cordewener JHG, Niillen Y,
Dons HJM, Campagne MMVL. 1994.
Temperature
controls
both
gametophytic
and
sporophytic
development in microspore cultures of
Brassica napus. Plant Cell Rep 13:
267-271.
Dunwell JM, Wilkinson MJ, Nelson S,
Wening S, Sitorus AC, Mienanti D,
Alfiko Y, Croxford AE, Ford CS,
Foster BP, Caligari PDS. 2010.
Production of haploids and doubled
haploids in oil palm. BMC Plant Biol
10: 218-243.
Franchi GG, Nepi M, Dafni A, Pacini E. 2002.
Partially hydrated pollen: taxonomic
distribution,
ecological,
and
evolutionary
significance.
Plant
Systematics Evol 234: 211-227.
Heslop-Harrison Y. 2000. Control gates and
micro-ecology:
the pollen-stigma
interaction in perspective. Ann Bot 85:
5-13.
Indrianto A, Barinova I, Touraev A, Bors EH.
2001. Tracking individual wheat
microspores in vitro: identification of
embryogenic microspores and body
axis formation in embryo. Planta 212:
163-174.
Maraschin SF, Priester W, Spaink HP, Wang
M. 2005. Androgenic switch: an
example of plant embryogenesis from
male gametophyte perspective. J Expt
Bot 56: 1711-1726.
Marsolais AA, Swartz GS, Kasha KJ. 1984.
The influence of anther cold
pretreatments
and
donor
plant
genotypes on in vitro androgenesis in
wheat (Triticum aestivum L.). Plant
Cell Tissue Organ Culture 3: 69-79.
Myint KA. 2010. Viability and Vigor of Dura,
Pisifera, and Tenera Oil Palm (Elaeis

PERKEMBANGAN MIKROSPORA DALAM KULTUR
ANTERA DAN VIABILITAS POLEN KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.)

ITA PURNAMASARI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRAK
ITA PURNAMASARI. Perkembangan Mikrospora dalam Kultur Antera dan Viabilitas Polen
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA SUPENA dan
SUMARYONO.
Pengembangan teknologi haploid melalui induksi androgenesis secara in vitro merupakan
alternatif yang banyak ditempuh untuk mendapatkan galur murni secara singkat. Penerapan
teknologi ini pada kelapa sawit akan mempercepat pengembangan varietas hibrida untuk
meningkatkan produktivitas. Namun sampai saat ini usaha tersebut belum dilaporkan berhasil. Hal
ini erat kaitannya dengan fisiologi dan kemampuan sel mikrospora untuk berkembang dalam
kondisi in vitro. Oleh karena itu, perkembangan gametofitik mikrospora dalam kultur antera
dengan sistem media dua lapis serta viabilitas polen kelapa sawit perlu diamati sebagai langkah
awal untuk mengembangkan teknik androgenesis. Ciri morfologi malai jantan diamati untuk
menentukan stadia perkembangan mikrospora yang akan digunakan sebagai bahan untuk induksi
androgenesis. Antera untuk induksi androgenesis kelapa sawit dengan populasi mikrospora
stadium uninukleat akhir sampai binukleat awal lebih dari 50% dapat diisolasi dari bunga pada
ujung spikelet yang terletak di tengah malai dengan spata ½ terbuka. Polen kelapa sawit memiliki
viabilitas yang tinggi, yaitu sebesar 95% dengan waktu yang diperlukan untuk pengujian viabilitas
melalui reduksi enzimatik trifenil tetrazolium klorida cukup 4 jam, sedangkan untuk
perkecambahan dengan metode hanging drop perlu waktu 12-14 jam. Mikrospora uninukleat
stadium akhir menunjukkan respon perkembangan gametogenesis yang lebih stabil daripada
uninukleat awal-tengah pada kultur in vitro. Penggunaan sumber karbon maltosa 4% dalam media
dapat mendukung perkembangan kedua kelompok mikrospora tersebut menjadi polen matang
dalam kultur in vitro.
Kata kunci : kelapa sawit, polen, mikrospora, gametofitik, viabilitas, perkecambahan.

ABSTRACT
ITA PURNAMASARI. Microspore Development in Anther Culture and Pollen Viability of Oil
Palm (Elaeis guineensis Jacq.). Supervised by ENCE DARMO JAYA SUPENA and
SUMARYONO.
Development of haploid technology via induction of in vitro androgenesis is the most
common approach to produce pure lines in a short period of time. Introduction of this technology
on oil palm will speed up the development of hybrid variety to increase plant productivity.
Unfortunately it has not been reported successful yet, in which could be influenced by the
physiology and capability of microspores to develop at in vitro conditions. For these reason,
gametophytic development of microspores of oil palm in a double layer medium along with the
viability of pollen were observed as the first step to develop androgenesis technique. Morphology
of male inflorescences was observed to determine the developmental phase of microspore used as
the material for androgenesis induction. The anther for androgenesis induction with more than
50% microspore at late stage of uninucleat to early binucleat phase could be isolated from the
upper part of spikelet located at the middle part of the male inflorescence with ½ part of spatha
was opened. Viability of oil palm pollen was up to 95%, in which the time needed for viability test
with enzymatic reduction of triphenyl tetrazolium chloride was only 4 hours, and germination test
with hanging drop method was 12-14 hours. The late uninucleat microspore showed better
gametogenesis development response than the early-middle uninucleat microspore on in vitro
culture. Maltose 4% as the carbon source in the medium can support the development of two
groups of microspore to mature pollen on in vitro culture.
Keywords : oil palm, pollen, microspore, gametophytic, viability, germination.

PERKEMBANGAN MIKROSPORA DALAM KULTUR
ANTERA DAN VIABILITAS POLEN KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.)

ITA PURNAMASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul : Perkembangan Mikrospora dalam Kultur Antera dan Viabilitas Polen
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Nama : Ita Purnamasari
NIM : G34070042

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si.
NIP. 19641002 198903 1 002

Ir. Sumaryono, M.Sc.
NIK. 110 700 258

Mengetahui,
Ketua Departemen Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si.
NIP. 19641002 198903 1 002

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat yang telah
dilimpahkan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Perkembangan
Mikrospora dalam Kultur Antera dan Viabilitas Polen Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)”.
Penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan Juli 2011 di Laboratorium Kultur
Jaringan Tanaman, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB)-IPB serta
Laboratorium Terpadu, Departemen Biologi, FMIPA-IPB.
Terimakasih saya ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penelitian
ini, diantaranya adalah:
1. Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
pendanaan pada penelitian ini, serta selalu memberikan saran dan motivasi dalam penyusunan
karya ilmiah ini.
2. Ir. Sumaryono, M.Sc. yang telah membimbing dan menyediakan bahan bunga kelapa sawit dari
kebun koleksi Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor.
3. Dr. Ir. Dorly, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran terkait penyusunan
karya ilmiah ini.
4. Kedua orang tua saya untuk setiap tetes keringat, pengorbanan, dan dukungannya.
5. Ernih Eryanti dan Acih Yuningsih yang telah menjadi kakak yang penuh perhatian.
6. Ibu Rini dan rekan atas bantuannya dalam mengusahakan biaya masuk kuliah.
7. Eka Tjipta Foundation yang telah memberikan bantuan beasiswa.
8. Marinda Sari Sofiyana, Anggianing Tyas Rahayu, Maulida Mulya Rahmawati, dan Seztifa
Miyasyiwi atas semangat dan motivasi yang diberikan.
9. Rekan-rekan Biologi angkatan 44.
10. Pak Imron, teh Nia Dahniar, teh Sarah, pak Asep, pak Mulya, pak Yanto, mba Pepi, pak Edi,
pak Agus, Ibu Retno, Ibu Eti, dan semua pihak yang telah membantu.
Kritik dan saran yang membangun saya harapkan agar karya ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2012
Ita Purnamasari

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Bogor-Jawa Barat pada tanggal 2 Juli 1989 dari pasangan
keluarga petani bernama Bapak Inin dan Ibu Iyah. Penulis merupakan anak ke empat dari empat
bersaudara. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 5 Bogor, dan diterima di Departemen
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
undangan PMDK, serta mendapatkan beasiswa S1 dengan pembiayaan penuh selama delapan
semester dari Eka Tjipta Foundation.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Biologi Dasar
TPB, Botani Umum D3, Biologi Alga dan Lumut S1, Genetika Dasar S1, dan staf pengajar mata
pelajaran Biologi di Bimbingan Tes Alumni (BTA) group cabang Bogor. Selain itu penulis juga
aktif dalam Lembaga Dakwah Kampus (LDK) DKM Al-Hurriyah sebagai staf divisi soskemas
pada periode 2007/2008.
Prestasi yang diraih oleh penulis selama mengikuti perkuliahan diantaranya adalah: menjadi
duta IPB dalam ON-MIPA 2011 bidang Biologi, Mewakili wilayah kopertis 3 (JabodetabekBanten) dalam ON-MIPA 2011 bidang Biologi, meraih medali perunggu (Juara ke-3) dalam ONMIPA tahun 2011 bidang Biologi di Bandung, mendapat penghargaan dari Kementerian
Pendidikan Nasional-Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa berprestasi di bidang ekstra
kurikuler tahun 2011, lolos dalam seleksi pramentoring Intensive-Student Technopreneurship
Program (ISTEP) 2010, menjadi finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) tingkat Nasional di
UIN Malang (2009), dan didanai oleh DIKTI dalam Program Kreativitas Mahasiswa Bidang
Penelitian (PKMP) dengan judul “Uji Aktivitas Ekstrak Buah Sirih (Piper bettle) Asal Nusa
Tenggara terhadap Pertumbuhan Sel Tumor Mammary pada Mencit Galur C3H”. Penulis
melaksanakan kegiatan praktik lapangan pada tahun 2010 di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun
Raya Bogor (PKT-KRB) dengan judul “Propagasi In vitro Tanaman Black Velvet (Alocasia
reginula A. Hay) di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor”.

9
guineensis Jacq.) Pollen [tesis].
Selangor:
Fakultas
Pertanian,
Universiti Putra Malaysia.
Pahan I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa
Sawit : Manajemen Agribisnis dari
Hulu hingga Hilir. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Perera PIP, Hocher V, Verdeil JL,
Bandupriya, Yakandawala DMD,
Weerakoon LK. 2008. Androgenic
potential in coconut (Cocos nucifera
L.). Plant Cell Tiss Org Cult 92: 293302.
Reinert J, Bajaj YPS, Heberle E. 1975.
Induction of haploid tobacco plant
from isolated pollen, Brief report.
Protoplasma 84: 191-196.
Scott P, Lyne LR. 1994. Initiation of
embryogenesis from cultured barley
microspore: a further investigation into
the toxic effects of sucrose and
glucose. Plant Cell Tiss Org Cult 37:
61-65.
Septiani P. 2008. Perkembangan mikrospora
dan induksi pembelahan sporofitik
pada kultur antera kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Supena EDJ, Suharsono S, Jacobsen E,
Custers JBM. 2006. Successful
development
of
shed-microspore
culture protocol for doubled haploid
production in Indonesian hot peppers
(Capsicum annuum L.). Plant Cell Rep
25: 1-10.
Supena EDJ, Custers JBM. 2011. Refinement
of shed-microspore culture protocol to
increase normal embryos production in
hot pepper (Capsicum annuum L.). Sci
Hortic 130: 769-774.
Teixeira JB, Sondahl MR, Nakamura T, Kirby
EG. 1995. Establishment of oil palm
cell
suspensions
and
plant
regeneration. Plant Cell Tiss Org Cult
40: 105-111.
Tirtoboma. 1997. Culturability of oil palm
microspore cells in relation to anther
maturity pp.42-47. In: Proc BTIG
Workshop on Oil Palm Improvement
through Biotechnology. Biotec Res
Unit for Estate Crops, Bogor.
Wahidah BF. 2010. Pengaruh stres pelaparan
dan suhu tinggi terhadap induksi
embriogenesis mikrospora tembakau. J
Biol 14: 1-6.

Dokumen yang terkait

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

3 83 102

Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)pada Berbagai Perbandingan Media Tanam Sludge dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) di Pre Nursery

4 102 53

Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kompos Sampah Pasar dan Pupuk NPKMg (15:15:6:4) di Pre Nursery

6 79 69

Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit ( Elaeis Guineensis Jacq.) Dengan Menggunakan Media Sekam Padi dan Frekuensi Penyiraman di Main Nursery

10 98 74

Pengaruh Pemberian Limbah Kalapa sawit (Sludge) dan Pupuk Majemuk NPK Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guinsensis Jacq) di Pembibitan Awal

0 25 95

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq) Terhadap Pupuk Cair Super Bionik Pada Berbagai Jenis Media Tanam di Pembibitan Utama

0 30 78

Pertumbuhan Mucuna Bracteata L. Dan Kadar Hara Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) Dengan Pemberian Pupuk Hayati

3 63 66

Model pendugaan cadangan karbon pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur 5 tahun di perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

6 77 76

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

5 61 75

Perkembangan Mikrospora dan Induksi Pembelahan Sporofitik pada Kultur Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

0 10 31