Etika dan Moralitas Kepemimpinan: Mampukah Mengatasi Seluruh

BAB IV ANALISA

B. Etika dan Moralitas Kepemimpinan: Mampukah Mengatasi Seluruh

Persoalan Bangsa? Krisis berkepanjangan dalam kehidupan politik di Indonesia, menurut Nurcholish Madjid, merupakan salah satu hal yang menggambarkan betapa bangsa ini mengalami persoalan yang sangat mendasar terkait dengan persoalan etika atau akhlak. Terutama dengan berbagai sikap lunak yang ditunjukkan bangsa ini dalam menyikapi berbagai penyelewengan dan pelanggaran etika dalam kehidupan politik bangsa. Walaupun tidak dipungkiri hal ini merupakan bagian dari proses menuju demokrasi, tetap saja kondisi ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tergolong sebagai bangsa yang lunak, karena mentolerir berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan dalam kehidupan politik. Berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan ini, menurut Nurcholish Madjid, disebabkan semakin pudarnya kesadaran ketuhanan dari setiap pihak yang terlibat dalam proses politik di negeri ini. Kesadaran ketuhanan yang mampu melahirkan sikap memandang Allah SWT sebagai Yang Maha Mutlak atas segala sesuatu yang ada di alam raya ini, termasuk manusia, harta, kekuasaan dan lainnya sebagai sesuatu yang relatif atau nisbi telah lama ditinggalkan dan dilupakan. Universitas Sumatera Utara Menurut Nurcholish Madjid, kesadaran ketuhanan inilah yang mampu mendorong munculnya keinginan untuk saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia yang melahirkan dorongan untuk membentuk suatu hubungan sosial. Pada tataran Negara, hubungan sosial ini menjelma sebagai suatu kesepahaman bersama atau kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Disinilah kita dapat menemukan akar teologis atau kaitan antara pemahaman sistem politik demokratis dan ajaran Islam. 120 Hubungan antara masyarakat dan pemerintah bisa berlangsung dengan baik jika sistem bernegara yang ada mendorong terbentuknya partisipasi politik. Misalnya, dalam bentuk keikutsertaan warga terhadap proses perumusan perundangan atau kebijakan publik. Partisipasi masyarakat itu akan berjalan dengan baik bila ada sistem yang terbuka terutama dalam hal memilih pemimpin. 121 Islam sendiri menjelaskan beberapa hal penting terkait dengan persoalan etika, terutama terkait dengan persoalan kepemimpinan, antara lain: 1 perlu adanya “organisasi” dan pemimpin, 2 wajib taat sepanjang pemimpin pemerintah itu benar, 3 taat kepada pemimpin yang benar, berarti taat kepada Allah SWT, 4 tidak memperkuat pemimpin dalam hal dosa dan maksiat, 5 tidak meminta atau memilih seseorang yang meminta jabatan, 6 memberikan saran dan nasehat kepada pemimpin, 7 Allah mencintai pemimpin yang adil dan 120 Nurcholish Madjid. 2003. “Kekuasaan dan Akhlak”. Suara Merdeka. Sabtu, 6 Desember 2003. hal. 1, http:www.suaramerdeka.comarsipnurcholishmadjidindex.shtml. 121 Ibid. hal.2. Universitas Sumatera Utara membenci pemimpin yang jahat, 8 sabar dalam menghadapi keputusan yang tidak disetujui. 122 Prinsip di atas menunjukkan bahwa Islam menjunjung tinggi etika politik demi mencapai kebenaran dan kebaikan bersama. Aspek keadilan dan kejujuran pun merupakan syarat yang mesti dipenuhi dalam segala hal, termasuk dalam konteks kehidupan politik. 123 Hal tersebut memiliki kesesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh Nurcholish Madjid bahwa seseorang pemimpin atau elit politik, harus mempunyai personal morality atau civic morality. Moralitas pribadi menunjuk pada kebaikan dan keluhuran yang berkaitan dengan sikap dan perilaku sebagai manusia, dan utamanya dalam hubungan vertikal dengan Tuhan. Sedangkan moralitas publik adalah kebaikan dan keluhuran sikap dan perilaku dari seseorang dalam hubungannya dengan kepentingan masyarakat banyak, sehingga lebih bersifat horizontal dengan sesama manusia. Dalam kaitannya dengan posisi elit, maka moralitas publik diukur apakah pemikiran, sikap, perilaku, dan kebijakan yang diambil mempunyai implikasi positif atau negatif bagi kepentingan publik. Demikian pula halnya, apakah menguntungkan masyarakat banyak atau menguntungkan sekelompok kecil kelompok masyarakat, terutama yang dekat dengan elit yang bersangkutan. 124 Menurut Nurcholish Madjid, setiap pemimpin atau pejabat publik, pada hakekatnya adalah pengemban amanat dan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, setiap 122 Anas Urbaningrum. 2004. Islamo Demokrasi. Op. cit. hal. 100. 123 Ibid. hal. 103. 124 Ibid. hal. 144. Universitas Sumatera Utara kebijakan yang telah dan hendak dikeluarkan harus dapat dipertanggungjawabkan. Proses politik yang berlangsung dalam perumusan kebijakan tersebut haruslah mengindahkan tata krama fatsoen politik. Jadi kehidupan politik harus tetap mengindahkan nilai-nilai etika dan moralitas sosial. Hal ini sesuai dengan konsep Islam dalam Al-Qur’an surat 3: 26, dimana terdapat suatu do’a yang diperintahkan kepada Nabi SAW untuk membacanya, yaitu: “Katakanlah, Ya Allah Pemilik Kekuasaan Kau beri kekuasaan kepada yang Engkau kehendaki, dan Engkau memberi kehinaan kepada siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu segala yang baik. Sungguh Engkau berkuasa atas segalanya”. 125 Dalam konsep filsafat Islam, bentuk Negara dan pemerintahan tidak mutlak, yang mutlak adalah moralitas kemanusiaan dan akhlak al-karimah yang harus menjadi basis penyelenggaraan kekuasaan Negara, dimana musyawarah, keadilan, persamaan dan kebebasan berpikir menjadi tiang kekuasaan pemerintahan dan Negara. Membangun Negara adalah membangun sistem politik, dimana musyawarah, keadilan, persamaan dan kebebasan berpikir dapat hidup dan berkembang dalam masyarakat. Mungkin saja bentuk akan berpengaruh pada penyelenggaraan kekuasaan, sehingga bentuk pemerintahan republik dipandang lebih baik daripada bentuk pemerintahan monarki. Akan tetapi pada kenyataannya system penyelenggaraan Negara ditentukan oleh moralitas para pemimpin pemerintahannya, baik yang berada di eksekutif, legislative, yudikatif, militer dan dunia pers, seperti dalam kasus politik Indonesia di bawah rezim Soeharto, semua 125 Nurcholish Madjid. 2003. “Kekuasaan dan Akhlak”. Op. cit. hal. 2. Universitas Sumatera Utara pilar kelembagaan demokrasi ada, bahkan pemilu bias diselenggarakan tiap lima tahun, tetapi semuanya tidak bisa berfungsi secara benar dan ideal, semua lembaga sudah terkooptasi oleh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN yang berjalan secara sistematik dalam kekuasaan tunggal Soeharto dan kroninya. 126 Konsep filsafat Islam menjelaskan pula bahwa etika politik didasarkan pada politik moral, bukan politik kekuasaan. Kekuasaan sifatnya relatif dan tidak mutlak, yang dijalankan dengan pengetahuan konseptual yang berdimensi transendental. Kepemimpinan politik Islam tidak terletak pada Islam yang formalistik, tetapi pada Islam yang substansinya ada pada aktualitas prinsip musyawarah, keadilan, kebenaran, persamaan, dan kebebasan berpikir. Oleh karena itu, pilar penyangga dari lembaga kepemimpinan lembaga politik Islam, tidak hanya pada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, tetapi juga berfungsinya lembaga pers dan organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. 127 Dalam kehidupan politik, seringkali muncul fenomena politik kekuasaan, bukan politik moral, yaitu tindakan politik yang semata-mata untuk merebut dan memperoleh kekuasaan. Karena dengan kekuasaan politik yang dimilikinya, seseorang atau kelompok masyarakat akan memperoleh keuntungan materi, popularitas dan fasilitas yang membuat hidupnya berkecukupan dan terhormat. Kondisi ini akan menyebabkan seseorang menghalalkan segala macam cara dalam 126 Musa Asy’arie. 1999. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI. hal. 102. 127 Ibid. hal. 106. Universitas Sumatera Utara mencapai tujuan politiknya, termasuk menjatuhkan kawan dan lawan sesuai dengan kepentingan politik yang ingin dicapai. Sedangkan dalam politik moral, kekuasaan politik bukan tujuan akhir, tetapi merupakan alat perjuangan dan cita- cita moral dan kemanusiaan. Tujuan kekuasaan yang hendak dicapai, tidak menghalalkan segala cara tetapi ditentukan oleh cara-cara yang bijak, yang dibenarkan oleh moralitas kemanusiaan dan kepatutan sosial. Melihat hubungan antara etika politik dengan upaya menumbuhkan prinsip moral, maka masalah moral atau akhlak ini menjadi penting, karena merupakan sendi atau ketahanan suatu bangsa dalam menghadapi cobaan dan perubahan. Tanpa moral atau akhlak yang baik suatu bangsa akan binasa. Sebuah syair dalam bahasa Arab menyatakan bahwa: “Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama mereka berpegang teguh pada akhlaknya, bila akhlak mereka rusak, maka rusak binasa pulalah mereka”. 128 Saat ini moral atau akhlak merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam menghadapi perubahan kehidupan bangsa yang sangat kompleks. Harapan pada peranan ajaran Islam menjadi suatu hal yang wajar dalam menyikapi hal ini, terkait dengan kesadaran keimanan seseorang karena beragama Islam, ataupun pada kenyataannya bahwa sebagian besar penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Islam sangat menekankan etika, termasuk yang berhubungan dengan konteks politik. Secara normatif Islam pun mengajarkan prinsip amar ma’ruf nahi 128 Ibid. hal. 174. Universitas Sumatera Utara munkar yang bermakna mengajak kepada kebaikan dan kebenaran, serta mencegah kemungkaran. Atas prinsip ini sesungguhnya Islam selalu menjunjung tinggi etika politik demi mencapai kebenaran dan kebaikan bersama. Aspek keadilan dan kejujuran pun merupakan syarat yang mesti dipenuhi dalam segala hal, termasuk dalam konteks kehidupan politik. Kondisi diatas diharapkan mampu melahirkan kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk melihat secara jujur dirinya melalui pertanyaan: “Benarkah bangsa Indonesia, khususnya umat Islam sendiri, telah dijiwai dan dibimbing oleh akhlak yang mulia?”, sudahkah umat Islam memenuhi penegasan Nabi SAW, bahwa Beliau diutus “hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran akhlak?”. 129 Nurcholish Madjid tampaknya memiliki keyakinan bahwa politik moral akan mampu mengatasi berbagai persoalan bangsa. Dalam berbagai hal Nurcholish Madjid selalu menekankan pentingnya sebuah proses politik mengikuti nilai-nilai etika atau moral yang kemudian dikenal sebagai fatsoen politik. Akan tetapi, hal ini sepertinya lebih banyak berada pada tataran idealita, yang kadang kala sulit untuk diwujudkan, walaupun sebenarnya selalu ada kesempatan untuk melakukan hal itu. Seperti halnya: penerapan demokrasi dalam setiap aspek kehidupan, mengutamakan musyawarah dalam setiap upaya pegambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, 129 Sebuah hadist. Ibid. hal. 173. Universitas Sumatera Utara mengutamakan keadilan dalam sebuah keputusan tanpa melihat perbedaan yang terjadi, ataupun keteladanan dalam kepemimpinan di masyarakat. Pendapat lain Nurcholish Madjid mengenai etika politik ini adalah mengenai pentingnya dimensi keluhuran budi. Komitean individual masing- masing orang pada nilai-nilai luhur, yang merupakan prakondisi pertama bagi masyarakat yang sehat, tidak boleh sekadar menjadi retorika dan pengetahuan semata. Tetapi justru harus direlisasikan secara konkret ke dalam benuk komitmen pribadi pada nilai-nilai hidup yang luhur tidak akan mendatangkan makna yang berarti jika yang bersangkutan tidak mewujudkannya secara nyata dalam perilaku sehari-hari. 130 Prinsip etika politik dalam Islam sangat banyak bersinggungan dengan mengatur, mengarahkan, dan memaksakan masalah-masalah kebijakan serta keputusan publik. Pada kasus Islam, diperlukan suatu pola dan system etika politik yang begitu jelas mengingat bahwa selama ini pertumbuhan Islam tidak dapat dilepaskan dari kuasa-politik. 131 Berbeda halnya dengan konsepsi Barat yang mengatakan bahwa etika politik tidak secara langsung mencampuri urusan politik praktis. Etika politik tidak dapat menentukan apa yang harus dilakukan oleh seseorang. Etika politik memiliki tugas subsider, yaitu membantu agar pembahasan masalah-masalah 130 Nurcolish Madjid. 1999. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 193-194. 131 Musa Asy’arie. 1999. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir. Op. cit. hal. 105. Universitas Sumatera Utara ideologis dapat dijalankan secara objektif, artinya berdasarkan argumen-argumen yang dapat dipahami dan ditanggapi oleh semua yang mengerti pembahasan. 132 Pengertian etika yang digunakan dalam konsepsi Barat di sini mempunyai makna yang lebih mendasar dari apa yang biasanya kita tangkap sebagai arti dari kata etika itu sendiri. Etika tidak hanya diartikan sekedar masalah kesopanan semata, melainkan dalam pengertiannya yang lebih mendalam dimaksudkan sebagai konsep dan ajaran yang serba meliputi atau komprehensif, yang menjadi pangkal pandangan hidup tentang baik dan buruk, benar dan salah. 133 Konsepsi Barat ini juga menjelaskan bahwa fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggungjawab. Hal ini mempunyai arti tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori melainkan secara rasional, obyektif dan argumentatif. 134 Terkait dengan konsepsi Barat ini, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa dengan etika dan moralitas yang baik, suatu bangsa akan menjadi bangsa yang tegar dan kuat dalam menghadapi suatu perubahan yang semakin kompleks. “Tetapi apakah benar hal ini menjadi prasyarat bagi lahirnya ketegaran sebuah bangsa?”. Hal ini disebabkan karena tegarnya etika suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh mereka dapat mentolelir adanya bentuk penyelewengan atau 132 Franz Magnis Suseno. 2001. Etika Politik. Jakarta: Grasindo. Op. cit. hal. 3. 133 Ibid. hal. 5. 134 Ibid. hal. 6. Universitas Sumatera Utara pelanggaran dalam kehidupan sehari-hari. Semakin mudah masyarakat suatu bangsa mentolelir berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan dalam kehidupan sehari-hari maka akan semakin jauh bangsa itu dari sebuah kondisi tegar yang diharapkan. Pendapat-pendapat yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid sebagian besar memiliki kesesuaian dengan konsep etika politik yang dijelaskan dalam Islam, terutama terkait dengan pandangan bahwa kekuasaan haruslah dijalankan dengan berdasar pada moralitas dan pengetahuan konseptual yang berdimensi transendental, selain itu persoalan keluhuran budi juga menunjukkan bahwa Nurcholish Madjid memiliki pandangan yang sesuai atau bahkan sama dengan konsep serupa dalam filsafat Islam. Pandangan Nurcholish Madjid juga memiliki kesesuaian dengan apa yang menjadi konsepsi etika dari pandangan para pemikir di Barat. Terutama dilihat dari cara pandang Nurcholish Madjid yang melihat persoalan etika secara luas tidak terbatas pada persoalan kesopanan semata, dan juga mengenai perlunya etika masuk ke dalam ranah kekuasaan untuk mengontrol jalannya sebuah pemerintahan. Melihat demikian pentingnya persoalan etika yang akan melahirkan moralitas dalam membentuk ketegaran suatu bangsa menghadapi perubahan kehidupan yang semakin kompleks, melalui pembentukan dan penerapan perilaku yang santun dalam segenap aspek kehidupan, termasuk dalam berpolitik, kiranya dapat disimpulkan bahwa apa yang menjadi pemikiran Nurcholish Madjid tentang perlunya bangsa Indonesia kembali pada prinsip-prinsip moral yang Universitas Sumatera Utara mengedepankan aspek etika dalam kehidupan politik merupakan suatu hal yang dapat dijadikan solusi dalam menghadapi karut marutnya persoalan politik bangsa. B. Kemanusiaan Melahirkan Demokrasi: Sesuaikah dengan Konteks Indonesia?