Etika dan Keteguhan Moral Bangsa

BAB III PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID : ESENSI KEMANUSIAAN DAN

KEADILAN DALAM POLITIK MENUJU BANGSA YANG BERETIKA

A. Etika dan Keteguhan Moral Bangsa

Para ulama gemar memperingatkan bahwa kejayaan suatu bangsa tergantung pada keteguhan akhlak, budi pekerti, atau moral bangsa itu. Biasanya peringatan itu dikaitkan dengan adagium berbentuk syair Arab, yang artinya : Sesungguhnya bangsa- bangsa itu tegak selama akhlaknya tegak, dan jika akhlaknya runtuh, maka runtuh pulalah bangsa-bangsa itu. 74 Menurut Nurcholish Madjid tidak ada bukti kebenaran adagium itu yang lebih demonstratif daripada apa yang kita saksikan di zaman modern ini. Jika pengertian akhlak yang amat luas kita batasi hanya pada pengertian etika sosial, maka sudah merupakan pendapat para pakar ilmu-ilmu sosial bahwa bangsa yang kuat dan maju inilah bangsa yang etikanya tegar. 75 Tegarnya etika suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh mereka dapat mentolerir adanya bentuk penyelewangan atau pelanggaran dalam kehidupan sehari- hari. Beberapa negara oleh Gunnar Myrdal sebagaimana diungkapkan kembali Nurcholish Madjid disebutkan menjadi gambaran dari bangsa yang tegar tough state, yaitu: Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. 74 Nurcholish Madjid. 2002. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Penerbit Paramadina. Op. Cit. hal. 184. 75 Ibid. hal. 184. Universitas Sumatera Utara Amerika Serikat menjadi contoh dari bangsa yang tegar, karena masyarakat di sana tidak mentolerir bentuk-bentuk penyelewengan dan pelanggaran etika, baik yang dilakukan oleh warga negara maupun pejabat negara, mereka mampu untuk membedakan dan menentukan akibat yang timbul dari pelanggaran itu. Hal ini seringkali menyebabkan terhambat atau terganjalnya seseorang untuk menduduki suatu jabatan publik, contoh paling akhir adalah skandal penjara Abu Gharib di Irak-selain masalah penyerbuan Amerika Serikat ke Irak sendiri yang mengancam pencalonan kembali George W. Bush sebagai presiden AS untuk kedua kalinya. Jepang menjadi contoh berikut, dimana budaya mundur atau bahkan hara-kiri 76 di masa lalu, menjadi budaya bagi para pejabat yang merasa gagal melaksanakan tugasnya. Demikian pula yang terjadi di Korea Selatan, budaya mengundurkan diri, dan keberanian mengusut kasus-kasus korupsi yang dilakukan pejabat ataupun mantan pejabat, termasuk mantan presiden mereka, telah membuktikan bahwa mereka adalah bangsa yang tegar tough state dari sisi etika sosial. 77 Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia? Gunnar Myrdal menggolongkan bangsa ini ke dalam soft state atau negara lunak dari segi etika sosial. Penggolongan ini tentu saja berlaku jika dikaitkan dengan kriteria dan contoh dari negara-negara Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan. Walau kriteria tersebut belum tentu cocok 76 Tradisi bunuh diri di Jepang, bagi sebagian orang yang merasa melakukan kegagalan atau kesalahan dalam hidupnya. Di masa lalu orang yang melakukan tradisi ini dianggap sebagai orang yang terhormat. 77 Ibid. hal. 185. Universitas Sumatera Utara diterapkan di negara ini, tetapi terdapat persoalan mendasar bahwa kejayaan suatu bangsa bisa tegak hanya di atas landasan akhlak yang kokoh. 78 Persoalan kemerosotan moral dalam kehidupan politik bangsa Indonesia, menurut Nurcholish Madjid, merupakan salah satu hal yang menggambarkan betapa bangsa ini mengalami persoalan yang sangat mendasar terkait dengan persoalan etika atau akhlak yang kokoh ini. Terutama dengan berbagai sikap lunak yang ditunjukkan bangsa ini dalam menyikapi berbagai penyelewengan dan pelanggaran etika dalam kehidupan politik bangsa. Walaupun, tidak dipungkiri hal ini merupakan bagian dari proses menuju demokrasi, tetap saja kondisi ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tergolong sebagai bangsa yang lunak, karena mentolerir berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan dalam kehidupan politik. Berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan ini, menurut Nurcholish Madjid, disebabkan semakin pudarnya kesadaran ketuhanan dari setiap pihak yang terlibat dalam proses politik di negeri ini. Kesadaran ketuhanan yang mampu melahirkan sikap memandang Allah SWT sebagai Yang Maha Mutlak atas segala sesuatu yang ada di alam raya ini, termasuk manusia, harta, kekuasaan dan lainnya sebagai sesuatu yang relatif atau nisbi telah lama ditinggalkan dan dilupakan. Menurut Nurcholish Madjid, kesadaran ketuhanan inilah, yang mampu mendorong munculnya keinginan untuk saling menghormati, dan menghargai antarsesama manusia yang melahirkan dorongan untuk membentuk suatu hubungan sosial. Pada tataran negara, hubungan sosial ini menjelma sebagai suatu kesepahaman 78 Ibid. hal. 185. Universitas Sumatera Utara bersama atau kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Di sinilah, kita dapat menemukan akar teologis atau kaitan antara pemahaman sistem politik demokratis dan ajaran agama Islam. 79 Hubungan antara masyarakat dan pemerintah bisa berlangsung dengan baik, jika sistem bernegara yang ada mendorong terbentuknya partisipasi politik. Misalnya, dalam bentuk keikutsertaan warga terhadap proses perumusan perundangan atau kebijakan publik. Partisipasi politik masyarakat itu akan berjalan dengan baik, bila ada sistem yang terbuka terutama dalam hal memilih pemimpin. Menurut Nurcholish Madjid, pemilihan ini harus berlangsung dengan menguji kemampuan calon-calon pemimpin berdasarkan ukuran-ukuran universal, dengan tidak mendasarkan pada warisan atau keturunan. Sebuah pepatah dalam bahasa Arab, menerangkan hal ini, yang artinya: Penghargaan di masa jahiliah berdasarkan keturunan prestise, dan penghargaan di masa Islam berdasarkan hasil kerja prestasi . 80 Menurut Nurcholish Madjid, dalam Islam tingkat partisipasi politik paling tinggi itu berakar dari adanya hak-hak pribadi dan masyarakat yang tidak boleh diingkari. Sejarah Indonesia pascakemerdekaan menunjukkan proses kehidupan bernegara yang melalui periode uji coba trial and error dalam menegakkan demokrasi. Pada periode ini, dapat dilihat bagaimana kecenderungan pejabat atau penguasa yang ingin dilayani, alergi kritik, 79 Nurcholish Madjid. 2003 “Kekuasaan dan Akhlak”. Suara Merdeka, Sabtu, 6 Desember 2003. hal. 1, http:www.suaramerdeka.comarsipnurcholishmadjidindex.shtml. 80 Ibid. Universitas Sumatera Utara dan mengabaikan kepentingan publik belum terhapuskan dari wajah republik. Padahal pada hakikatnya, penguasa atau pemimpin merupakan pelayan umatnya. 81 Serangkaian kecenderungan negatif sebagian pejabat tersebut, menurut Nurcholish Madjid, menyebabkan kelahiran perilaku yang mengabaikan prinsip-prinsip tentang kesadaran ketuhanan, dimana kekuasaan selalu membuat siapapun keblinger atau lupa diri. Allah SWT dalam firman-Nya telah memperingatkan setiap penguasa untuk tidak begitu saja terlena dan menyalahgunakan kekuasaan yang telah diamanahkan kepada mereka. Terkait dengan persoalan kekuasaan ini, menurut Nurcholish Madjid, setiap pejabat publik, pada hakekatnya adalah pengemban amanat dan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang telah dan hendak dikeluarkan harus dapat dipertanggungjawabkan. Proses politik yang berlangsung dalam perumusan kebijakan tersebut haruslah mengindahkan tata krama fatsoen politik. Jadi kehidupan politik harus tetap mengindahkan nilai-nilai etika dan moralitas sosial. Hal tersebut dijelaskan dalam Al Quran surat 3 : 26, dimana terdapat suatu doa yang diperintahkan kepada Nabi SAW untuk membacanya, yaitu: Katakanlah, Ya, Allah Pemilik Kekuasaan Kau beri kekuasaan kepada yang Engkau kehendaki, dan Engkau memberi kehinaan kepada siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu segala yang baik. Sungguh engkau berkuasa atas segalanya . 82 81 Ibid. 82 Ibid. Universitas Sumatera Utara Doa tersebut sesungguhnya menyadarkan akan kenisbian sebuah kekuasaan. Atas dasar itu, menurut Nurcholish Madjid, sudah seharusnya setiap penguasa rendah hati dalam memegang dan menjalankan kekuasaan. Mereka harus memahami, kekuasaan yang diamanahkan kepadanya harus dijalankan secara adil. Misalnya dengan mengutamakan kepentingan publik dibandingkan kepentingan pribadi atau golongan dalam perumusan sebuah kebijakan. Kesadaran akan kenisbian kekuasaan ini, niscaya akan melahirkan sebuah pemerintahan yang berakhlak dan beretika sosial secara kokoh. Pendapat lain Nurcholish Madjid mengenai etika politik ini adalah mengenai pentingnya dimensi keluhuran budi. Komitmen individual masing-masing orang pada nilai-nilai luhur, yang merupakan prakondisi pertama bagi masyarakat yang sehat, tidak boleh sekedar menjadi retorika dan pengetahuan semata. Tetapi justru harus direalisasikan secara kongkrit ke dalam bentuk komitmen pribadi pada nilai- nilai hidup yang luhur tidak akan mendatangkan makna yang berarti jika yang bersangkutan tidak mewujudkannya secara nyata dalam perilaku sehari-hari. 83 Pentingnya keluhuran budi ini bagi Nurcholish Madjid bukan sekedar bermakna pribadi, tetapi juga bermakna publik. Dalam hal ini, terutama seorang elit politik, harus mempunyai personal morality atau civic morality. Moralitas pribadi menunjuk pada kebaikan dan keluhuran yang berkaitan dengan sikap dan perilaku sebagai manusia, dan utamanya dalam hubungan vertikal dengan Tuhan. Sedangkan moralitas publik adalah kebaikan dan keluhuran sikap dan perilaku dan seseorang dalam hubungannya dengan kepentingan masyarakat banyak, sehingga lebih bersifat horizontal 83 Nurcholish Madjid. 1999. Cita-cita politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 193-194. Universitas Sumatera Utara dengan sesama manusia. Dalam kaitan dengan posisi elit, maka moralitas publik diukur apakah pemikiran, sikap, perilaku, dan kebijakan yang diambil mempunyai implikasi positif atau negatif bagi kepentingan publik. Demikian pula halnya, apakah menguntungkan masyarakat banyak atau menguntungkan sekelompok kecil kelompok masyarakat, terutama yang dekat dengan elit yang bersangkutan. 84 Bahkan Nurcholish Madjid mengatakan, bahwa negara sekuler jauh lebih baik kondisinya dibandingkan negara yang berlandaskan agama, asalkan pemimpinnya mempunyai komitmen yang kuat untuk menegakkan etika. Etika adalah salah satu syarat paling penting untuk menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara, juga syarat paling penting untuk seorang pemimpin. Hal tersebut, dalam pandangan Nurcholish Madjid akan menjadikan suatu bangsa menjadi besar karena memiliki keteguhan dan kebugaran moral yang diawali dari sosok pemimpinnya. Persoalan etika dalam kehidupan politik bangsa ini, oleh Nurcholish Madjid secara konsisten dijelaskan olehnya meliputi pula prinsip-prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Permasalahan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan ini, dalam pandangan Nurcholish Madjid merupakan hal yang mutlak pentingnya, karena merupakan landasan ketahanan suatu bangsa menghadapi perubahan kehidupan yang semakin kompleks.

B. Kemanusiaan Melahirkan Demokrasi dalam Politik