Penggunaan Bungkil Inti Sawit Yang Diberi Hemicell Dalam Ransum Terhadap Performans Itik Raja (Mojosari Alabio) Umur 1-7 Minggu

(1)

PENGGUNAAN BUNGKIL INTI SAWIT YANG DIBERI

HEMICELL DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS

ITIK RAJA (MOJOSARI ALABIO) UMUR 1-7 MINGGU

SKRIPSI

Oleh:

MARISI DAME PASARIBU

060306038/Peternakan

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PENGGUNAAN BUNGKIL INTI SAWIT YANG DIBERI

HEMICELL DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS

ITIK RAJA (MOJOSARI ALABIO) UMUR 1-7 MINGGU

SKRIPSI

Oleh:

MARISI DAME PASARIBU

060306038

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

ABSTRAK

MARISI DAME PASARIBU, 2011. “Pemberian bungkil inti sawit yang diberi hemicell dicampur dalam ransum terhadap performans itik raja (mojosari alabio) umur 7 minggu”. Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan USMAN BUDI. Penelitian dilaksanakan di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Juli 2011.

Bungkil inti sawit berpotensi sebagai salah satu bahan pakan alternatif yang memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik. Namun demikian, bungkil inti sawit memiliki kandungan serat kasar yang tinggi. Untuk itu, perlu diberi suatu perlakuan untuk meningkatkan kualitasnya. Penggunaan hemicell® pada bungkil inti sawit diharapkan dapat menurunkan kandungan serat kasar bungkil inti sawit yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas ransum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bungkil inti sawit yang diberi hemicell dicampur dalam ransum terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum itik raja. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan dimana setiap ulangan terdiri atas 5 ekor DOD. Parameter yang diamati adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan bungkil inti sawit yang diberi hemicell(R) memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap konsumsi ransum (553,97; 554,82; 551,22; 550,82 dan 550,58 g/ekor/minggu), pertambahan bobot badan (180,28; 181,88; 178,24; 177,92 dan 177,19 g/ekor/minggu) dan konversi ransum itik raja (2.89; 2.86; 2.90; 2.90 dan 2.91) dari kelima perlakuan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan bungkil inti sawit yang diberi hemicell(R) dapat memberikan efek positif terhadap performans (konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum) itik raja sebagai bahan penyusun ransum itik raja selama masa pemeliharaan 7 minggu sampai level 20%. Kata kunci : Bungkil Inti Sawit, Hemicell®, Performans dan Itik Raja


(4)

ABSTRACT

MARISI DAME PASARIBU, 2011. “Utilization of palm kernel cake which is mixed with hemicell in the ration on performance of Raja duck (Mojosari Alabio) 7 weeks of age. Guided by TRI HESTI WAHYUNI and USMAN BUDI. The research was conducted in Agricultural Faculty North Sumatera University on Juli 2011.

Palm kernel cake as one of potential alternative feed stuff that contain good enough of nutritions. However, palm kernel cake has a high content of crude fiber. So, it needs to be treated to improve quality. Used of hemicell on palm kernel cake is expected to decrease crude fiber content of palm kernel cake, which can improve the quality of rations. The objective of this research to determine the effect of palm kernel cake which is mixed with hemicell in the ration to feed consumption, body weight gain and feed conversion ration of Raja duck. The design used in this research were completely randomized design (CRD) with 5 treatments and 4 replications, each replication consist of 5 DOD. The parameters observed were feed consumption, body weight gain and feed conversion rations.

The result showed that the use of palm kernel with hemicell cake given an effect not significantly different (P>0.05) on feed consumption (553.97; 554.82; 551.22; 550.82 and 550.58 g respectively/head/week), increased body weight (180.28; 181.88; 178.24; 177.92 and 177.19 g respectively/head/week) and feed conversion ratio of the Raja duck (2.89; 2.86; 2.90; 2.90 and 2.91 respectively) of the five treatments. The conclusion of this research is the use of palm kernel cake with hemicell can gives positive effect on performance (feed consumption, body weight gain and feed conversion ration) as a feed stuff of Raja duck rations during 7 weeks of age until level 20%.

.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 19 Agustus 1988 dari ibu Naertha Hasibuan dan bapak Slamat Pasaribu. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMP Budi Murni I di Medan. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri VII di Medan. Tahun 2006 penulis masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih program studi Peternakan.

Selain mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Departemen Peternakan dan sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan.

Penulis melaksanakan Pratek Kerja Lapangan (PKL) di Balai UPT IB (Inseminasi Buatan) Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Medan dari tanggal 20 Juli 2009 sampai 20 Agustus 2009.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas segala berkat dari Allah Bapa yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul “Penggunaan Bungkil Inti Sawit Yang Diberi HemicellDalam Ransum Terhadap Karkas Itik Raja (Mojosari Alabio) Umur 7 Minggu” yang merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian pada Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak selaku anggota komisi pembimbing serta semua pihak yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini..

Semoga skripsi penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang peternakan.

Medan,Januari 2012


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 5

Hipotesis Penelitian ... 5

Kegunaan Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Bungkil Inti Sawit ... 6

Hemicell. ... 8

Itik Raja (Mojosari Alabio) ... 10

Kebutuhan Nutrisi dan Ransum Itik ... 12

Dedak Padi ... 13

Jagung ... 13

Bungkil Kelapa ... 14

Tepung Ikan ... 14

Minyak ... 15

Konsumsi Ransum ... 15

Pertambahan Bobot Badan ... 16

Konversi Ransum ... 17

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 19


(8)

Alat ... 19

Metode Penelitian ... 20

Parameter Penelitian... ... 21

Pelaksanaan Penelitian... ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum... ... 24

Pertambahan Bobot Badan... ... 26

Konversi Pakan... ... 27

Rekapitulasi Hasil Penelitian... ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... ... 31

Saran ... ... 31 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

1. Komposisi nutisi bungkil inti sawit (%) ... 7

2. Komposisi asam dan ketersediaan amino pada bungkil inti sawit (%) ... 7

3. Efek negatif β-mannan (β-galaktomannan) ... 8

4. Pebandingan hasil penggunaan β-galaktomannan dan β-mannase ... 8

5. Pertumbuhan bobot badan, jumlah pakan, dan FCR itik Raja berdasarkan umur dari berbagai tempat dan berbagai macam ransum (%)... 12

6. Kebutuhan gizi itik pedaging (%) ... 13

7. Komposisi nutrisi dedak padi (%) ... 13

8. Komposisi nutrisi jagung (%) ... 14

9. Komposisi nutrisi bungkil kelapa (%)... 14

10. Komposisi tepung ikan (%) ... 15

11. Rataan konsumsi ransum itik Raja selama 7 minggu (g/ekor/minggu) ... 24

12. Rataan pertambahan bobot badan itik Raja selama 7 minggu (g/ekoer/minggu) ... 26

13. Rataan konversi ransum itik Raja selama 7 minggu ... 28

14. Rekapitulasi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum itik Raja selama penelitian (g/ekor/minggu) ... 30


(10)

DAFTAR GAMBAR

1. Bungkil init sawit ... 6 2. Itik Raja ... 12 3. Denah susunan pengacakan perlakuan ... 20


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Konsumsi ransum itik Raja selama penelitian (g/ekor/minggu) ... 35

2. Rataan konsumsi ransum itik Raja selama penelitian (g/ekor/minggu) ... 35

3. Analisis keragaman konsumsi itik Raja ... 36

4. Pertambahan bobot badan itik Raja selama penelitian (g/ekor/minggu) ... 36

5. Rataan pertambahan bobot badan itik Raja selama penelitian (g/ekor/minggu)... 37

6. Analisis keragama pertambahan bobot badan itik Raja selama penelitian .. 37

7. Konversi ransum itik Raja selama penelitian ... 38

8. Rataan konversi ransum itik Raja selama penelitian ... 38

9. Analisis keragaman konversi ransum itik Raja selama penelitian ... 39

10. Formulasi ransum kontrol tanpa BIS yang diberi hemicell ... 40

11. Formulasi ransum dengan 5% BIS yang diberi hemicell ... 41

12. Formulasi ransum dengan 10% BIS yang diberi hemicell ... 42

13. Formulasi ransum dengan 15% BIS yang diberi hemicell ... 43

14. Formulasi ransum dengan 20% BIS yang diberi hemicell ... 44

15. Grafik konsumsi ransum itik raja dari kelima perlakuan ... 45

16. Grafik pertambahan bobot badan itik raja dari kelima perlakuan ... 46


(12)

ABSTRAK

MARISI DAME PASARIBU, 2011. “Pemberian bungkil inti sawit yang diberi hemicell dicampur dalam ransum terhadap performans itik raja (mojosari alabio) umur 7 minggu”. Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan USMAN BUDI. Penelitian dilaksanakan di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Juli 2011.

Bungkil inti sawit berpotensi sebagai salah satu bahan pakan alternatif yang memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik. Namun demikian, bungkil inti sawit memiliki kandungan serat kasar yang tinggi. Untuk itu, perlu diberi suatu perlakuan untuk meningkatkan kualitasnya. Penggunaan hemicell® pada bungkil inti sawit diharapkan dapat menurunkan kandungan serat kasar bungkil inti sawit yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas ransum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bungkil inti sawit yang diberi hemicell dicampur dalam ransum terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum itik raja. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan dimana setiap ulangan terdiri atas 5 ekor DOD. Parameter yang diamati adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan bungkil inti sawit yang diberi hemicell(R) memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap konsumsi ransum (553,97; 554,82; 551,22; 550,82 dan 550,58 g/ekor/minggu), pertambahan bobot badan (180,28; 181,88; 178,24; 177,92 dan 177,19 g/ekor/minggu) dan konversi ransum itik raja (2.89; 2.86; 2.90; 2.90 dan 2.91) dari kelima perlakuan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan bungkil inti sawit yang diberi hemicell(R) dapat memberikan efek positif terhadap performans (konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum) itik raja sebagai bahan penyusun ransum itik raja selama masa pemeliharaan 7 minggu sampai level 20%. Kata kunci : Bungkil Inti Sawit, Hemicell®, Performans dan Itik Raja


(13)

ABSTRACT

MARISI DAME PASARIBU, 2011. “Utilization of palm kernel cake which is mixed with hemicell in the ration on performance of Raja duck (Mojosari Alabio) 7 weeks of age. Guided by TRI HESTI WAHYUNI and USMAN BUDI. The research was conducted in Agricultural Faculty North Sumatera University on Juli 2011.

Palm kernel cake as one of potential alternative feed stuff that contain good enough of nutritions. However, palm kernel cake has a high content of crude fiber. So, it needs to be treated to improve quality. Used of hemicell on palm kernel cake is expected to decrease crude fiber content of palm kernel cake, which can improve the quality of rations. The objective of this research to determine the effect of palm kernel cake which is mixed with hemicell in the ration to feed consumption, body weight gain and feed conversion ration of Raja duck. The design used in this research were completely randomized design (CRD) with 5 treatments and 4 replications, each replication consist of 5 DOD. The parameters observed were feed consumption, body weight gain and feed conversion rations.

The result showed that the use of palm kernel with hemicell cake given an effect not significantly different (P>0.05) on feed consumption (553.97; 554.82; 551.22; 550.82 and 550.58 g respectively/head/week), increased body weight (180.28; 181.88; 178.24; 177.92 and 177.19 g respectively/head/week) and feed conversion ratio of the Raja duck (2.89; 2.86; 2.90; 2.90 and 2.91 respectively) of the five treatments. The conclusion of this research is the use of palm kernel cake with hemicell can gives positive effect on performance (feed consumption, body weight gain and feed conversion ration) as a feed stuff of Raja duck rations during 7 weeks of age until level 20%.

.


(14)

PENDAHULUAN

`

Latar Belakang

Peternakan merupakan sektor yang berperan sangat penting dalam penyediaan kebutuhan pangan khususnya kebutuhan protein hewani. Kebutuhan protein hewani terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya zat gizi.

Usaha ternak unggas merupakan salah satu upaya memenuhi kebutuhan protein hewani, diantaranya adalah ternak itik. Umumnya ternak itik berperan sebagai penghasil telur, namun itik jantan memiliki potensi sebagai penghasil daging karena laju pertumbuhannya lebih cepat jika dibandingkan dengan itik betina, sebagai contoh adalah itik Raja.

Di Indonesia, ternak itik adalah ternak unggas penghasil daging dan telur yang cukup potensial disamping ternak ayam. Umumnya, ternak itik merupakan ternak unggas yang dipelihara oleh para petani secara sederhana atau sebagai tambahan pendapatan sehingga tidak dilakukan secara intensif. Seiring dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya jumlah penduduk sekarang ini, maka tingkat kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani makin meningkat.

Penyebaran dan pengembangan ternak itik di wilayah Indonesia seperti Kalimantan Selatan, Sumatera, Sulawesi dan Bali. Menurut sejarah perkembangan itik pemerintah kolonial Belanda yang tercatat memiliki andil dalam penyebaran itik di indonesia yakni melalui kuli kontrak yang mereka mungkinkan di


(15)

Sumatera pada tahun 1920, khususnya di daerah Deli dan Lampung. Saat ini ternak itik banyak terpusat dibeberapa daerah seperti Sumatera (Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan), Pulau Jawa ( Cirebon, Jawa Barat, Brebes,) Tegal ( Jawa Tengah) dan Mojosari (Jawa Timur), Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan serta Bali. Dimana Itik Mojosari Alabio (MA) ini merupakan hasil persilangan dari Itik Mojosari Jawa Timur dengan itik Alabio Kalimantan Selatan yang telah dikembangkan oleh Balai Penelitian Ternak (BPT) Palaihari Kalimantan Selatan maupun Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi Bogor

Berbicara mengenai keuntungan beternak itik memang tak perlu diragukan lagi, sebab beternak itik secara kecil-kecilan, besar-besaran ataupun diternakkan sebagai usaha sampingan selalu untung.itik selalu mempunyai pasaran dengan nilai jual yang cukup lumayan, mulai dari telur konsumsi, telur tetas, daging hingga yang afkiran itik dapat dijadikan uang (Windhyarti, 1997).

Didalam industri peternakan unggas, komponen biaya pakan merupakan komponen biaya produksi terbesar yang bisa mencapai hingga 70%. Oleh karena itu, banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi biaya pakan agar industri ini lebih efisien dan menguntungkan bagi pelaku bisnis. Dari aspek nutirisi, beberapa upaya yang dilakukan meliputi: pemanfaatan bahan bakan inkonvensional sebagai sumber energi dan atau protein (Sinurat, 1999), penggunaan imbuhan pakan untuk meningkatkan kecernaan gizi bahan pakan seperti antibiotika, enzim, probiotik, prebiotik, asam organik, zat aktif tanaman (Walton, 1977; Luckstadt, 2009).

Tingginya harga pakan didalam usaha peternakan, maka perlu kiranya kita mencari alternative yang dapat menekan dan mengurangi biaya pakan yang tinggi


(16)

itu. Dalam hal ini dengan pemanfaatan bungkil inti sawit dengan level yang tinggi atau mencapai 20% dari total ransum dapat menekan harga ransum.

Potensi kelapa sawit cukup besar, di Indonesia produksinya menempati urutan kedua di dunia setelah Malaysia. Kelapa sawait banyak ditanam terutama di daerah Lampung, Jambi, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, serta sebagian kecil Jawa Barat. Menurut data yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian di Medan tahun 2000, luas tanaman kelapa sawit di Indonesia sebesar 3.134.000 ha dengan tandan buah segar yang dihasilkan sekitar 208, ton/ha/tahun. Sebesar 5% dari tandan buah segar tersebut dihasilkan minyak inti sawit (sekitar 45-46%) dan Bungkil Inti Sawit (sekitar 45-46%). Data tersebut menunjukkan bahwa bungkil inti sawit memiliki potensi yang cukup baik untuk dijadikan bahan pakan alternatif sumber energi pengganti jagung, karena ketersediaannya cukup melimpah.

Limbah tersebut merupakan potensi untuk dijadikan bahan baku dalam penyusunan ransum unggas, namun penggunaannya masih terbatas. Hal demikian disebabkan karena bungkil inti sawit memiliki keterbatasan yaitu kandungan serat kasar yang cukup tinggi (terutama lignin), serta palatabilitasnya rendah. Pada umumnya bahan pakan yang mengandung serat kasar yang tinggi memiliki nilai kecernaan yang rendah, sehingga penggunaan bungkil inti sawit dalam ransum menjadi terbatas. Penggunaan serat kasar yang tinggi, selain dapat menurunkan komponen yang mudah dicerna juga menyebabkan penurunan aktivitas enzim pemecah zat-zat makanan, seperti enzim yang membantu pencernaan karbohidrat, protein dan lemak (Sembiring, 2006).


(17)

Untuk itu kita harus mencari bahan baku pengganti penyusun ransum tersebut dengan harga murah, mudah diperoleh dan tidak mengurangi atau mengganggu keseimbangan zat gizi yang terkandung dalam ransum serta tidak bersaing dengan manusia dalam pemerolehan bahan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, pemanfaatan bungkil inti sawit (BIS) bisa diberikan sampai 25%-30% karena melimpah di indonesia dan protein yang mendukung merupakan salah satu solusinya.

Kemajuan teknologi di bidang pengolahan bahan makanan yang ada saat ini dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas limbah argoindustri menjadi bahan pakan yang bermutu, yaitu dengan sentuhan bioteknologi. Kemajuan teknologi diberbagai sektor seperti bidang pertanian, peternakan, kesehatan merupakan suatu terobosan yang dapat memecahkan atau menghasilkan jawaban terhadap perubahan kebutuhan. Sementara itu, proses biokonversi substrat limbah perkebunan kelapa sawit melalui fermentasi menawarkan alternatif yang menarik dan bermanfaat dalam pengembangan sumber bahan baku untuk ransum unggas, namun telah banyak dilakukan dan mempunyai tingkat kesulitan aplikasinya di lapangan, akhir- akhir ini berkembang teknologi inkubasi dengan penambahan imbuhan pakan untuk memperbaiki kualitas bahan pakan. Dalam hal ini makanan tambahan yang digunakan adalah enzim yang dapat membantu pencernaan. Peranan enzim dalam saluran pencernaan ditujukan terhadap pencernaan pati, lemak dan protein. Enzim yang digunakan adalah enzim Hemicell yang merupakan hasil fermentasi dari Bacillus lentus. Hasil analisa kimia menunjukkan bahwa enzim hemicell ini efektif menghancurkan β-Mannan dalam makanan. Oleh sebab itu penulis tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian


(18)

bungkil inti sawit yang diberi hemicell dicampur dalam ransum terhadap performans itik Raja (Mojosari Alabio).

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh pemberian bungkil inti sawit yang diberi hemicell dicampur dalam ransum terhadap performans Itik Raja (Mojosari Alabio) umur 1-7 Minggu

Hipotesis Penelitian

Pemberian bungkil inti sawit yang diberi hemicell dicampur dalam ransum berpengaruh positif terhadap performans Itik Raja (Mojosari Alabio) umur 1-7 Minggu.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti, masyarakat dan kalangan akademik tentang pengaruh pemberian bungkil inti sawit yang diberi hemicell dicampur dalam ransum terhadap performans Itik Raja (Mojosari Alabio) umur 1-7 Minggu. Hasil penelitian nantinya dapat digunakan sebagai rujukan dalam penggunaan bungkil inti sawit yang diberi hemicell untuk itik, serta dapat digunakan sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Bungkil Inti Sawit (BIS)

Bungkil inti sawit adalah limbah ikutan proses ekstrasi inti sawit. Bahan ini dapat diperoleh dengan proses kimia atau dengan cara mekanik Davendra (1997). Zat makanan yang terkandung dalam bungkil inti sawit cukup bervariasi, tetapi kandungan yang terbesar adalah protein berkisar antara 18-19%

(Satyawibawa dan Widyastuti, 2000).

Gambar 1. Bungkil inti sawit

Sumber :

Kandungan protein BIS lebih rendah dari bungkil lainnya. Namun demikian masih layak dijadikan sebagai sumber protein. Kandungan asam amino essensial cukup lengkap dan imbangan Ca dan P cukup baik Lubis (1992). Dari hasil analisa proksimat dapat dilihat nilai nutrisi BIS.


(20)

Pada BIS terdapat 14-21% protein kasar terlihat pada (Tabel 1). Tingkatan ini adalah terlalu rendah untuk digunakan dalam awal pertumbuhan pada itik, tetapi protein cukup untuk pertumbuhan unggas yang sudah dewasa. Nwokolo et al (1986) menyatakan bahwa rata-rata ketersediaan dari asam amino untuk unggas adalah 63.3% untuk glisin sekitar 93.2% yang rendah adalah valin dan methinonin pada BIS, valin dan metionin sebaiknya diperoleh dari sumber lain, pada pemberian BIS untuk awal pertumbuhan itik.

Kandungan karbohidrat pada BIS dinyatakan oleh Knudsen (1997) bahwa total karbohidrat dari BIS, tidak termasuk lignin, akan berbuat 50%, dimana hanya 2.4% menjadi bobot molekular yang rendah dan 1.1% adalah mudah dicerna sisanya 42% adalah dalam wujud sukar dicerna yaitu polisakarida. Itu adalah, 81% dari karbohidrat yang terdapat pada BIS adalah sukar dicerna.

Tabel 1. Komposisi nutrisi bungkil inti sawit

Nutrisi Kandungan

Energi metabolis (Kkal/kg) 2810a

Protein kasar (%) 15,40b

Lemak kasar (%) 6,49a

Serat kasar (%) 9b

Abu (%) 5,18a

Sumber: a. Laboratorium Ilmu makanan ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanaian USU (2000)


(21)

Tabel 2. Komposisi asam dan ketersediaan amino pada bungkil inti sawit

Kandungan Zat Komposisi Ketersediaan

(A) (B) (C) (%) (D)

Arginin 2,18 2,68 2,40 93,2

Sistin 0,20 - - -

Glisin 0,82 0,91 0,84 63,3

Histidin 0,29 0,41 0,34 90,1

Isoleusin 0,62 0,60 0,61 86,1

Leusin 1,11 1,23 1,14 88,5

Metionon 0,30 0,47 0,34 91,0

Penilalanin 0,73 0,82 0,74 90,5

Thereonin 0,55 0,66 0,60 86,5

Lysin 0,59 0,69 0,61 90,0

Tyrosin 0,38 0,58 0,47 85,0

Serin 0,69 0,90 0,77 88,7

Valin 0,93 0,43 0,80 68,4

Triptopan 0,17 - 0,19 -

Sumber : a. Yeong (1980) c. Hutagalung (1980)

b. Nwokolo et al., (1986) d. NRC (1994)

Enzim Hemicell

Enzim hemicell adalah hasil fermentasi dari Bacillus lentus. Hemicell ini

mengandung β-mannase tinggi yang dapat menurunkan β-mannan, serat dalam

makanan yang diberikan, β-mannan dan turunannya yaitu β-galaktomannan merupakan faktor anti nutrisi bagi hewan monogastrik. Pemberian 2-4% dalam makanan dapat menyebabkan pertumbuhan lambat dan mengurangi efesiensi


(22)

pemberian ransum untuk broiler (Tabel 3 dan 4). Konsekuensinya β-mannan memperlambat pertumbuhan dan mengurangi efesiensi pemberian ransum

(Chemgen, 1999). Pengaruh negatif dari β-mannan dan perbandingan hasil

penggunaan β-mannan dengan β-mannase pada broiler, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Efek negatif β-mannan (β-galaktomannan)

Umur (hari) PBB FCR

Kontrol 15 0.243 1.752

Kontrol + 4 essens β-galaktomannan 15 0.158 2.272

Perbedaan - 0.085 0.520

Sumber : Andersoon et al., (1964) Poultry Science 43; 1091-1097

Tabel 4. Pebandingan hasil penggunaan β-galaktomannan dan β-mannase Umur (hari) PBB FCR

Kontrol 14 0.168 1.480

Kontrol + 2% β-galaktomannan 14 0.186 1.960.

Kontrol + 2% β-galaktomannan dan β-mannase 14 0.172 1.550

Sumber : Ray et al., (1982) Poultry Science 61; 488-494

Hemicell adalah enzim berbasis proprietari dan unik pakan aditif untuk digunakan dalam makanan unggas. Beberapa bahan pakan, termasuk bungkil

kedelai, mengandung β-mannan, sebuah serat anti-nutrisi yang menghambat kinerja ayam pedaging hidup. Hemicell® mendegradasi dan menghilangkan β -mannan. Matriks nilai dari Hemicell® yang telah dikembangkan dapat digunakan dalam merumuskan ransum broiler. Hemicell ® adalah produk non-transgenik.


(23)

Mekanisme Kerja Enzim Hemicell

Enzim bereaksi dalam pembentukan suatu senyawa kompleks antara enzim dengan substratnya sehingga memungkinkan enzim dapat bekerja pada substrat tersebut. Senyawa kompleks ini kemudian dipecah untuk menghasilkan suatu senyawa lain dan enzim yang tidak berubah.

E + S ES E + P

Dimana E adalah enzim dan S adalah subtrat, ES adalah kompleks enzim dan subtrat dan P adalah hasil baru yang dihasilkan oleh aksi enzim.

Peranan enzim dalam saluran pencernaan ditujukan terhadap pencernaan pati, lemak dan protein (Wahyu, 1992). Kadang kala enzim ditambahkan ke dalam ransum dengan maksud mempercepat pencernaan ransum tersebut atau mempertinggi penggunaannya (Anggorodi, 1994).

Banyak polisakarida termasuk galaktan, mannan, silan, araban dan asam uronat didapatkan di dalam fraksi hemicellulosa dari tanam-tanaman. Istilah hemicellulosa menunjukkan komponen-komponen tanaman yang tidak larut dalam air yang mendidih, larut di dalam alkali yang diencerkan dan didegradasi oleh asam yang deiencerkan. Penelitian menunjukkan bahwa ayam dapat menggunakan hemicellulosa sebagai sumber energi tapi dalam keadaan terbatas. Beberapa hidrolisa dapat terjadi di dalam proventriculus dan gizzard dalam lingkungan asam atau di dalam perut sederhana dari hewan, juga pencernaan melalu mikroba di dalam usus dapat melepaskan sejumlah energi (Wahyu, 1992).


(24)

Hemicell adalah bahan yang direkomendasikan untuk pakan unggas seperti ayam, untuk meningkatkan keseragaman kawanan ternak. Hemicell merupakan bahan berbasis enzim yang unik dimana dapat mengurangi stress, meningkatkan kekebalan pada hewan, membantu pencernaan dan meningkatkan nilai gizi pakan berbasis kedelai untuk hewan monogastrik seperti ayam pedaging dan babi.

Itik Raja (Mojosari Alabio)

Itik alabio merupakan hasil persilangan itik asli Kalimantan dengan itik peking. Nama alabio sendiri diberikan oleh drh. Saleh Puspo, seorang ilmuan yang melakukan pendalaman terhadap itik ini pada tahun 1952, sedangkan nama alabio diambil dari nama sebuah kota di kabupaten hulu sungai Utara Kalimantan Selatan yang terkenal sebagai tempat pemasaran itik. Ciri- ciri dari itik alabio antara lain sebagai berikut : 1) tubuh berukuran lebih besar dari pada itik petelur lain, 2) sikap berdirinya tidak terlalu tegak, yakni membuat sudut ± 60º dengan dasar tanah, 3) bobot badan itik betina dewasa 1,2 - 1,4 kg dan itik jantan dewasa 1,4 - 1,6 kg, 4) warna bulu pada betina kuning keabu - abuan dengan bulu sayap, ekor, dada, leher, dan kepala sedikit kehitaman. Sedangkan untuk itik jantan warna bulu cenderung lebih gelap dan pada sayap terdapat beberapa helai bulu suri berwarna hijau kebiru- biruan, 5) mempunyai garis putih di atas mata yang menyerupai alis, 5) paruh dan kaki berwarna kuning, baik pada jantan maupun betina, 6) produksi telur rata- rata 249 butir per tahun. (Supriyadi, 2009).

Itik mojosari banyak ditemukan di Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Sedangkan, penyebarannya mencakup daerah


(25)

Jawa Timur dan Jawa Barat. Itik Mojosari mempunyai ciri- ciri spesifik sebagai berikut : 1) bulu pada betinanya berwarna coklat tua kemerahan dengan beberapa variasi yang tampak di seluruh permukaan tubuh, sedangkan pada jantan bulu pada bagian kepala, leher, dan dada berwarna coklat gelap mendekati hitam, bagian perut agak keputih- putihan, serta pada bagian punggung coklat tua. Bulu di bagian ekornya melengkung ke atas dan pada bagian sayap terdapat bulu suri yang berwarna hitam mengkilap, 2) paruh dan kaki itik mojosari betina berwarna hitam, sedangkan pada itik jantan paruh dan kaki tampak lebih hitam dari betina, 3) selain itu, ada juga itik mojosari (betina dan jantan) yang berwarna putih polos dengan warna paruh dan kaki kuning. Itik seperti ini sering disebut itik mojosari putih, namun populasinya sudah sangat jarang, 4) bobot telur itik mojosari coklat rata- rata 69 g dan itik mojosari putih 65,2 g, 5) produksi telur itik mojosari

coklat 238 butir per tahun dan itik mojosari putih 219 butir per tahun ( Supriyadi, 2009).

Itik Raja merupakan itik jantan hasil persilangan dari itik Mojosari dan itik Alabio yang telah dilakukan oleh Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Palaihari Kalimantan Selatan maupun Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi, Bogor. Penamaan itik Raja karena itik ini memiliki keunggulan pertumbuhan yang lebih cepat dari pada itik jantan lainnya, dagingnya lebih tebal, dan aromanya tidak terlalu amis seperti itik pada umumnya (Supriyadi, 2009).

Itik Raja memiliki ciri sebagai berikut: 1) warna bulu coklat kehitaman dengan kombinasi warna putih pada bagian bawah dada dan perut, 2) bagian leher berbintik putih memanjang dari bawah mulut hingga bawah perut, 3) bagian sayap terdapat beberapa lembar bulu suri yang mengkilap berwarna biru kehitaman, 4)


(26)

bagian kepala terdapat garis putih tepatnya diatas mata menyerupai alis, 5) paruh dan kaki berwarna hitam tetapi ada juga yang berwarna kuning.

Gambar 2. Itik Raja Sumber : Supriyadi (2009)

Ditinjau dari segi pertumbuhannya, itik Raja mempunyai produktivitas yang tinggi, dengan pertambahan bobot badan per minggu di atas 200 gram. Pada umur 6 minggu, bobot badan sudah mencapai 1,21 Kg dengan FCR 2,14. Pada umur 7 minggu, bobot badan sudah mencapai 1,36, seperti ditunjukkan pada tabel 5 dibawah ini:

Tabel 5. Pertumbuhan bobot badan, jumlah pakan, dan FCR itik Raja berdasarkan umur dari berbagai tempat dan berbagai macam ransum


(27)

Umur (minggu)

Bobot badan (gram/ekor)

Jumlah pakan (gram/ekor)

FCR

1 148,4 91 0,61

2 354,4 280 1,05

3 606,3 420 1,30

4 774,5 469 1,63

5 998,9 616 1,88

6 1.211,8 714 2,14

7 1.359,3 819 2,50

8 1.466 879 2,92

Sumber: Supriyadi (2009)

Kebutuhan Nutrisi dan Ransum Itik

Kebutuhan gizi itik Raja sebagai itik pedaging adalah sebagai berikut:

Tabel 6. Kebutuhan gizi itik pedaging

Zat Unit 0-4 Minggu 4-6 Minggu

Protein % 20-21 19-20

Energy Kkal/kg 2.800-2.900 2.900-3.000

Sumber: Supriyadi (2009)

Dedak Padi

Dedak padi adalah bahan ransum yang diperoleh dari pemisahan beras dengan kulit gabahnya melalui proses penggilingab padi dari pengayakan hasil ikutan dari penumbukan padi. Dedak merupaan hasil ikutan dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang mengandung bagian luar yang tidak tebal,


(28)

tetapi tercampur dengan penutup beras. Hal ini mempengaruhi tinggi atau rendahnya kandungan serat kasar dedak (Parakkasi, 1995).

Kandungan nilai gizi dari dedak padi dapat kita lihat pada tabel 7 Tabel 7. Komposisi nutrisi dedak padi

Nutrisi Kandungan

Energy metabolis (Kkal/kg) 1630a

Protein kasar (%) 13a

Lemak kasar (%) 13a

Serat kasar (%) 13a

Abu (%) 11,7b

Sumber: a Siregar (2009), b Hartadi (2005).

Jagung

Jagung sampai saat ini merupakan butiran yang paling banyak digunakan dalam ransum unggas di Indonesia. Jagung merupakan salah satu bahan makanan terbaik bagi unggas yang digemukkan karena jagung memiliki energi netto yang tinggi (Anggorodi, 1985).

Tabel 8. Komposisi nutrisi jagung

Nutrisi Kandungan

Energy metabolis (Kkal/kg) 3370a

Protein kasar (%) 8,6a

Lemak kasar (%) 3,9a

Serat kasar (%) 2a

Abu (%) 11,7b

Sumber: a Siregar (2009) b Hartadi (2005).


(29)

]Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa merupakan salah satu sumber protein yang penting di Indonesia. Bungkil kelapa dapat memperbaiki defisiensi methionin dan lisin sehingga bungkil kelapa merupakan bahan makanan yang potensial bagi unggas (Anggorodi, 1985).

Tabel 9. Komposisi nutrisi bungkil kelapa

Nutrisi Kandungan

Energy metabolis (Kkal/kg) 1540a

Protein kasar (%) 18,56a

Lemak kasar (%) 1,8a

Serat kasar (%) 15a

Abu (%) 11,7b

Sumber: a Siregar (2009) b Hartadi (2005)

Tepung Ikan

Tepung ikan merupakan sumber protein utama bagi unggas, karena bahan ransum tersebut mengandung semua asam-asam amino yang dibutuhkan dalam jumlah cukup dan teristimewa merupakan sumber lisin dan methionin yang baik. Penggunaan tepung ikan dalam ransum unggas sering kali harus dibatasi untuk mencegah bau ikan yang meresap kedalam daging atau telur (Anggorodi, 1985).


(30)

Tabel 10. Komposisi tepung ikan

Nutrisi Kandungan

Energy metabolis (Kkal/kg) 2565a

Protein kasar (%) 55a

Lemak kasar (%) 8a

Serat kasar (%) 1a

Abu (%) 11,7b

Sumber: a Siregar (2009) b Hartadi (2005)

Minyak

Sumber energi paling tinggi untuk digunakan dalam ransum unggas adalah lemak dan minyak yang diperoleh dari industri pengolahan daging, hasil ikutan pembuatan sabun, pemurnian minyak nabati atau minyak nabati itu sendiri. Minyak nabati memiliki nilai energi metabolis yang lebih tinggi dibandingkan dengan lemak hewan dan lebih mudah dicerna (Anggorodi, 1985).

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah unsur nutrisi yang ada dalam pakan tersebut. Secara biologis itik mengkonsumsi makanan untuk proses hidupnya. Kebutuhan energi untuk fungsi-fungsi tubuh dan memperlancar reaksi-reaksi asam amino dari tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa ternak itik dalam mengkonsumsi makanannya digunakan untuk kebutuhan ternak tersebut (Wahyu, 1985).


(31)

Dalam mengkonsumsi ransum ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : umur, palatabilitas ransum, aktivitas ternak, energi ransum dan tingkat protein. Juga ditentukan oleh kualitas dan kuantitas dari ransum yang diberikan serta penggolongannya. Ransum yang diberikan pada ternak harus sesuai dengan umur dan berdasarkan kebutuhan, hal ini bertujuan selain untuk mengefesiensikan jumlah ransum pada ternak juga untuk mengetahui sejauh mana pertambahan berat badan yang dicapai (Anggorodi, 1979).

Faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ransum adalah palatabilitas ransum yang meliputi bau, rasa, dan tekstur. Lebih lanjut Tillman et al (1986) menjelaskan bahwa semakin palatebel suatu bahan pakan maka semakin banyak jumlah ransum yang dikonsumsi.

Tingkat konsumsi (Voluntary Feet Intake) adalah jumlah makanan yang tidak sengaja dikonsumsi oleh hewan bila bahan makanan tersebut diberikan secara ad bilitum. Konsumsi adalah faktor essensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menyesuaikan dengan kondisi tubuh serta stress yang diakibatkan oleh lingkungan, makanan yaitu sifat dan komposisi kimia makanan yang dapat mempengaruhi konsumsi (Parakkasi, 1995).

Konsumsi ransum dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penyakit, defisiensi zat nutrisi, kondisi berdebu, terlalu padat, kotor, kondisi lingkungan yang tidak baik, vaksinasi, pengobatan, ribut yang tidak biasa, pemindahan, penangkapan, memasukkan ke dalam peti yang semuanya itu menciptakan ancaman stres (Wahyu, 1992).


(32)

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh tipe ternak, suhu lingkungan, jenis ternak dan gizi yang ada dalam ransum yang dikemukakan oleh Suharno danNazaruddin (1994).

Tillman et al,. (1986) mengemukakan bahwa pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan badan yang dengan mudah dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan dengan pertumbuhan badan tiap hari, tiap minggu, atau tiap waktu lainnya

Pertumbuhan adalah suatu proses yang sangat komplek meliputi pertambahan bobot badan dan pertambahan seluruh jaringan tubuh secara serentak dan merata. Lebih lanjut Anggorodi (1985) menjelaskan bahwa pertumbuhan merupakan manisfestasi perubahan-perubahan dalam unit pertumbuhan terkecil yakni sel yang mengalami hiperplasi atau pertambahan jumlah sel hipertropi atau pembesaran ukuran sel.

Pertumbuhan murni menurut Anggorodi (1979) adalah pertambahan dalam bentuk dan bobot jaringan-jaringan tubuh seperti urat daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan tubuh lainnya (kecuali lemak). Kemampuan ternak mengubah zat-zat nutrisi ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan.

Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan adalah tingkat serat kasar dalam ransum. Lubis (1992) menjelaskan bahwa tingkat serat kasar yang tinggi


(33)

dalam ransum akan menurunkan konsumsi ransum yang pada gilirannya pertumbuhan juga akan menjadi lambat. Sebaliknya apabila kandungan serat kasar dalam ransum terlalu rendah mengakibatkan laju ransum dalam pencernaan meningkat sehingga dapat menurunkan pertumbuhan (Siregar et al, 1980).

Konversi Ransum

Konversi ransum adalah ransum yang habis dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu dibandingkan dengan pertambahan bobot badan (pada waktu tertentu) semakin baik mutu ransum semakin kecil konversinya (Rasyaf, 1995). Menurut Tillman et al, (1986), semakin banyak ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan produksi maka makin buruk lah konversi ransum. Baik buruknya konversi ransum ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya ransum, temperatur, lingkungan dan tujuan pemeliharaan serta genetik.

Konversi ransum adalah perbandingan antara jumlah yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan atau produksi yang dihasilkan) dalam kurun waktu yang sama. Konversi ransum adalah indikator teknis yang dapat menggambarkan tingkat efisensi penggunaan ransum dimana semakin rendah angka konversi ransum berarti semakin efisien penggunaannya dan sebaliknya semakin tinggi angka konversi ransum semakin tidak efisien penggunannya (Anggorodi, 1985).


(34)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak, Jln. Prof. Dr. A. Sofyan No 3, Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama 49 hari dari bulan Juli 2011 sampai bulan Agustus 2011.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah itik Raja umur 1 hari (DOD, Day Old Duck) sebanyak 100 ekor dengan kisaran bobot badan 36.8 ± 0.5 g. Bahan penyusun ransum terdiri dari bungkil inti sawit, hemicell, jagung, dedak padi, bungkil kelapa, bungkil kedelai, tepung ikan, minyak nabati, Top Mix. Air minum untuk memenuhi kebutuhan air dalam tubuh. Air gula untuk mengurangi stress dari kelelahan transportasi. Rodalon sebagai desinfektan kandang dan peralatan tempat pakan dan minum. Formalin 40% dan KMnO4 (Kalium permanganate) untuk fumigasi kandang. Vitamin dan suplemen

tambahan seperti Ciami.

Alat

Adapun alat yang digunakan adalah kandang litter (lantai) berukuran 100cm × 100cm × 80cm, sebanyak 20 unit dan tiap unit diisi 5 ekor anak itik


(35)

(DOD). Peralatan kandang terdiri dari 20 unit tempat pakan dan 20 unit tempat minum. Timbangan Salter digital kapasitas 3000 g untuk menimbang bobot badan itik dan menimbang ransum. Alat penerang dan pemanas berupa lampu pijar 40 watt sebanyak 20 buah. Thermometer sebagai pengukur suhu kandang. Alat pencatat data seperti buku data, alat tulis dan kalkulator. Alat pembersih kandang berupa sapu, sekop dan hand sprayer. Alat lain berupa plastik, ember dan pisau.

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 5 ekor. Dengan perlakuan pemberian ransum, yaitu :

R0 = ransum tanpa penggunaan BIS dan hemicell

R1 = ransum dengan penggunan 5 % BIS yang diberi hemicell 2cc/Kg

R2 = ransum dengan penggunaan 10 % BIS yang diberi hemicell 2cc/Kg

R3 = ransum dengan penggunaan 15 % BIS yang diberi hemicell 2cc/Kg

R4 = ransum dengan penggunaan 20 % BIS yang diberi hemicell 2cc/Kg

Ulangan yang didapat berasal dari rumus : t(n-1) ≥15

5(n-1 )≥15 5n-5≥15 5n≥20 n ≈ 4


(36)

Gambar 3. Denah susunan perlakuan :

R01 R13 R24 R34 R44

R12 R02 R33 R21 R42

R43 R32 R14 R03 R22

R31 R23 R04 R41 R11

Model matematika percobaan yang digunakan adalah :

Yij = µ + γi + εij

Dimana :

i = 1, 2, 3, . . . .i = perlakuan

j = 1, 2, 3, . . . .i = ulangan

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke j

µ = nilai tengah umum

γi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = efek galat percobaan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j


(37)

Parameter Penelitian

Parameter yang diukur dalam penelitian adalah :

1. Konsumsi Ransum (g/ekor/minggu)

Konsumsi ransum dihitung setiap minggu berdasarkan selisih antara jumlah ransum yang diberikan dengan jumlah sisa ransum. Atau dapat dirumuskan sebagai berikut:

Konsumsi ransum = Ransum yang diberikan – Ransum sisa

2. Pertambahan Bobot Badan (PBB) (g/ekor/minggu)

Diukur dengan menimbang bobot badan setiap minggu dikurangi dengan bobot badan minggu sebelumnya.

3. Konversi Ransum

Konversi ransum dihitung dengan cara membandingkan jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dicapai setiap minggunya. Dengan rumus sebagai berikut:

Ransum yang dikonsumsi Konversi Ransum =

Pertambahan Bobot Badan

Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah sistem litter (lantai), terdiri dari 20 unit, setiap unit terdapat 5 ekor anak itik (DOD). Sebelum anak itik dimasukkan,


(38)

kandang dibersihkan kemudian didesinfektan menggunakan Rodalon dan fumigasi menggunakan formalin 40% dan KMnO4. Kandang dilengkapi dengan

tempat pakan dan minum serta alat penerangan. Istirahat kandang dilakukan selama 1 minggu. Air gula diberikan pada saat DOD baru tiba untuk mengurangi stres selama perjalanan sampai ke kandang.

2. Random anak itik (DOD)

Sebelum anak itik dimasukkan ke dalam kandang, terlebih dahulu dilakukan penimbangan untuk mengetahui kisaran bobot badan awal yang akan digunakan, kemudian ditempatkan di dalam unit percobaan.

3 Penyusunan Ransum

Bahan penyusun ransum yang digunakan terdiri dari bungkil inti sawit, hemicell, tepung jagung, dedak padi, bungkiil kelapa, bungkil kedelai, tepung ikan, minyak nabati dan top mix.

Bahan penyusun ransum yang digunakan ditimbang terlebih dahulu sesuai komposisi susunan ransum yang telah ditentukan dalam formulasi tiap perlakuan. Metode yang digunakan dalam mencampur ransum adalah secara manual dan ransum disusun dua kali seminggu untuk mencegah terjadinya ketengikan pada ransum.

4 Pemeliharaan Itik

Itik dipelihara dalam kandang perlakuan yang diberi pemanas dan penerangan (lampu pijar 40 watt). Ransum dan air minum diberikan secara ad-libitum.


(39)

5 Pengambilan data

Pengambilan data dilakukan setiap minggu selama penelitian (7 minggu). Data yang diambil terdiri dari data konsumsi ransum dan data bobot badan dalam satuan gram/ekor.

6 Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah penelitian selesai dan semua data yang dibutuhkan telah diperoleh dengan analisis keragaman.


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Ransum

Pengambilan data konsumsi ransum itik dilakukan setiap minggunya, data konsumsi ransum diperoleh dengan cara melakukan penimbangan ransum yang diberikan kemudian dikurangkan dengan penimbangan ransum sisa yang dilakukan setelah seminggu. Data hasil pengamatan terhadap rataan konsumsi ransum itik disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Rataan konsumsi ransum itik raja selama penelitian (g/ekor/minggu)

Perlakuan Ulangan Rataan Sd

1 2 3 4

R0 550,88 578,34 537,87 548,80 553,97 17,22 R1 554,04 548,40 552,33 564,52 554,82 6,88 R2 555,97 573,42 545,58 529,94 551,22 18,26 R3 556,88 574,81 531,48 540,10 550,82 19,16 R4 549,92 538,67 554,59 559,14 550,58 8,79 Rataan 553,54 562,73 544,37 548,50 552,28 7,91

Tabel 11 memperlihatkan bahwa rataan konsumsi ransum itik raja selama penelitian sebesar 552,28 g/ekor/minggu. Konsumsi ransum itik raja tertinggi ditunjukan oleh perlakuan R1 (penggunaan hemicell® pada level BIS 5%) sebesar

554,82 g/ekor/minggu. Sedangkan rataan konsumsi ransum itik raja terendah diperoleh dari perlakuan R4 (penggunaan hemicell® pada level BIS 20%) sebesar

550,58 g/ekor/minggu. Hasil tersebut menunjukan bahwasanya semakin tinggi level BIS yang digunakan dalam ransum, maka tingkat konsumsi ransum itik akan semakin rendah sekalipun digunakan hemicell® dengan dosis yang sama pada berbagai level penggunaan BIS.


(41)

Perbedaan tingkat konsumsi ransum itik dari setiap perlakuan dapat diketahui setelah dilakukan analisis keragaman konsumsi ransum itik raja. Hasil sidik ragam perlakuan terhadap konsumsi ransum itik raja (Lampiran 3) menunjukan bahwa penggunaan hemicell® pada BIS memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi ransum itik raja. Tingkat konsumsi ransum itik raja dari kelima perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 15.

Sekalipun tingkat konsumsi ransum itik raja menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata. Namun dapat dilihat bahwa konsumsi ransum itik raja yang diberikan ransum perlakuan R1 lebih tinggi dari tingkat konsumsi ransum

perlakuan lainnya. Perbedaan konsumsi ransum ini menunjukan bahwa penggunan hemicell® pada level BIS 5% dapat meningkatkan konsumsi ransum itik raja. Hemicell® yang diberikan pada level BIS 5% berpengaruh positif terhadap kualitas ransum yang semakin baik. Kandungan nutrisi ransum perlakuan R1 yang lebih baik dari kandungan ransum perlakuan lainnya berpengaruh

terhadap tingkat konsumsi ransum itik raja yang semakin baik. Dibandingkan dengan ransum perlakuan lainnya dengan kandungan nutrisi yang lebih rendah atau dapat dikatakan masih terdapat defisiensi zat makanan dari ransum lainnya berpengaruh terhadap tingkat konsumsi ransum yang rendah pula. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wahyu (1992) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum dapat dipengaruhi oleh defisiensi zat makanan. Semakin baik kualitas suatu ransum, maka semakin baik pula tingkat konsumsi ransumnya.


(42)

Pertambahan Bobot Badan

Pengambilan data pertambahan bobot badan itik raja dilakukan setiap minggu. Data hasil pengamatan pertambahan bobot badan itik raja dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Rataan pertambahan bobot badan itik raja (g/ekor/minggu)

Perlakuan Ulangan Rataan Sd

1 2 3 4

R0 181,44 182,97 178,57 178,14 180,28 2,32 R1 182,04 183,57 181,74 180,17 181,88 1,39 R2 179,99 180,01 177,40 175,54 178,24 2,17 R3 178,46 180,20 176,30 176,73 177,92 1,78 R4 175,23 182,40 174,79 176,36 177,19 3,53 Rataan 179,43 181,83 177,76 177,39 179,10 2,02

Berdasarkan hasil pertambahan bobot badan itik raja dari Tabel 12 dapat

dilihat bahwa rataan pertambahan bobot badan itik raja sebesar 179,10 g/ekor/minggu. Rataan pertambahan bobot badan tertinggi terdapat pada

perlakuan R1 (penggunaan hemicell® pada level BIS 5%) sebesar

181,88 g/ekor/minggu dan hasil rataan pertambahan bobot badan terendah diperoleh dari perlakuan R4 (penggunaan hemicell® pada level BIS 20%) sebesar

177,19 g/ekor/ minggu.

Analisis keragaman pertambahan bobot badan itik raja (Lampiran 6) menunjukan bahwa semua perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap pertambahan bobot badan itik raja. Rataan pertambahan bobot badan itik raja dari kelima perlakuan dapat dilihat pada (Lampiran 16).

Berdasarkan Lampiran 16 dapat dilihat bahwa pertambahan bobot badan itik raja R1 lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Sekalipun pertambahan bobot


(43)

perbedaan yang nyata. Hasil pertambahan bobot badan itik raja yang diperoleh sesaui dengan tingkat konsumsi ransumnya. Seperti yang ditunjukan oleh perlakuan R1. Tingkat konsumsi ransumnya yang tinggi (554,82 g/ekor/minggu)

menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi pula (181,88 g/ekor/minggu). Begitu pula sebaliknya, tingkat konsumsi ransum yang rendah menghasilkan petambahan bobot badan yang rendah. Kualitas ransum dengan kandungan nutrisi yang lengkap pada ransum perlakuan R1 memberikan tingkat pertumbuhan yang

lebih maksimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (1985) yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan pertambahan bobot badan maksimal maka sangat perlu diperhatikan kualitas dan kuantitas ransum. Ransum tersebut harus mengandung zat makanan dalam keadaan cukup dan seimbang sehingga dapat menunjang pertumbuhan maksimal. Didukung juga pernyataan oleh Suharno dan Nazaruddin (1994), yang menyatakan bahwa pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh tipe ternak, suhu lingkungan, jenis ternak dan gizi yang ada dalam ransum.

Konversi Ransum

Konversi ransum adalah perbandingan jumlah yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan) dalam kurun waktu yang sama. Konversi ransum adalah indikator teknis yang dapat menggambarkan tingkat efisiensi penggunaan ransum, semakin rendah angka konversi ransum berarti semakin efisien. Rataan konversi ransum itik raja dari kelima perlakuan disajikan pada Tabel 13.


(44)

Tabel 13. Rataan konversi ransum itik raja selama penelitian

Perlakuan Ulangan Rataan Sd

1 2 3 4

R0 2.85 2.97 2.82 2.91 2.89 0.07

R1 2.82 2.80 2.86 2.96 2.86 0.07

R2 2.90 3.00 2.89 2.83 2.90 0.07

R3 2.91 2.98 2.83 2.86 2.90 0.06

R4 2.94 2.77 2.97 2.96 2.91 0.09

Rataan 2.89 2.90 2.87 2.90 2.89 0.01

Berdasarkan Tabel 13 diatas dapat dilihat bahwa rataan konversi ransum itik raja selama penelitian adalah 2.89. Konversi ransum terendah terdapat pada perlakuan R1 (penggunaan hemicell® pada level BIS 5%) sebesar 2.86

(penggunaan hemicell® pada level BIS 5%) dan rataan konversi ransum tertinggi terdapat pada perlakuan R4 (penggunaan hemicell® pada level BIS 20%)

sebesar 2.91.

Analisis keragaman perlakuan terhadap konversi ransum itik raja (Lampiran 9) menunjukan bahwa penggunaan hemicell® dengan level yang sama pada BIS memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap konversi ransum itik raja. Efisiensi pemanfaatan ransum yang baik menunjukan nilai konversi yang rendah. Seperti yang ditunjukan pada perlakuan R1, rataan

konsumsi ransum yang tertinggi (609.47 g/ekor/minggu) menghasilkan pertambahan bobot yang tertinggi (204.03 g/ekor/minggu) sehingga memberikan

nilai konversi yang terbaik (2.86). Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1985) yang menyatakan bahwa konversi ransum adalah indikator

teknis yang dapat menggambarkan tingkat efisensi penggunaan ransum dimana semakin rendah angka konversi ransum berarti semakin efisien penggunaannya dan sebaliknya semakin tinggi angka konversi ransum semakin tidak efisien


(45)

penggunannya. Hal ini didukung juga oleh Tillman et al., (1986) yang mengemukakan bahwa baik buruknya konversi ransum ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya ransum, temperatur, lingkungan dan tujuan pemeliharaan serta genetik.

Nilai konversi ransum itik raja selama penelitian dari kelima perlakuan dapat dilihat dari Lampiran 17.

Efisiensi pemanfaatan ransum ditunjukan oleh perlakuan R4, dimana

tingkat konsumsi ransumnya yang rendah (550,58 g/ekor/minggu) sejalan dengan pertambahan bobot badan itik raja (177,19 g/ekor/minggu) yang rendah. Hal ini menghasilkan nilai konversi ransum yang buruk/tinggi. Tingginya nilai konversi ransum itik raja pada perlakuan R4 disebabkan dari kualitas ransum yang tidak

sebaik ransum perlakuan R1. Tingginya level penggunaan BIS dalam ransum R4

sebesar 20%, menurunkan kualitas dari pada ransum itu sendiri sekalipun diberikan hemicell(R) pada BIS.

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Hasil penelitian baik konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum dari kelima perlakuan dapat dilihat pada tabel rekapitulasi berikut :


(46)

Tabel 14. Rekapitulasi hasil penelitian Perlak

uan

Peubah yang diamati Konsumsi pakan

(g/ekor/minggu)

Pertambahan bobot badan (g/ekor/minggu)

Konversi ransum

R0 553,97tn 180,28tn 2.89tn

R1 554,82tn 181,88tn 2.86tn

R2 551,22tn 178,24tn 2.90tn

R3 550,82tn 177,92tn 2.90tn

R4 550,58tn 177,19tn 2.91tn

Keterangan : Notasi yang sama pada kolom yang sama menunjukan perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05)

Berdasarkan tabel rekapitulasi diatas dapat dilihat bahwa konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan nilai konversi ransum itik raja yang paling baik diperoleh dari perlakuan R1 (554,82 g/ekor/minggu, 181,88 g/ekor/minggu

dan 2.86). Sedangkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan nilai konversi ransum itik raja yang paling buruk diperoleh dari perlakuan R4


(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penggunaan BIS yang diberi hemicell 2cc/Kg dapat diberikan sampai level 20% sebagai bahan penyusun ransum itik Raja umur 7 minggu.

Saran

Disarankan penggunaan bungkil inti sawit yang diberi hemicell 2cc/Kg sebagai bahan penyusun ransum itik Raja umur 7 minggu baiknya pada level 20% dan bisa diuji cobakan ke level yang lebih tinggi.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J.O., and R.E., Warnick, 1964. Value of Enzyme Suplement In Ration Containing Certain Legume Seed Meals or Gum. Poultry Science 43:1091 -1097.

Anggorodi, H.R., 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anggorodi, H.R., 1985. Ilmu Pakan Ternak Unggas. UI-Press, Jakarta.

Anggorodi, H.R., 1994. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Gramedia, Jakarta.

Chemgen. 1999. Hemicell Feed Enzyme. Analytical Chemistry Laboratory, USA.

Davendra, C., 1997. Utilization of Feedingstuff from Palm Oil. P.16. Malaysian Agriculture and Research Development Institute Serdang, Malaysian.

Hanafiah, K.A., 2003. Rancangan Percobaan. Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Palembang.

Hartadi, H., L.E. Harris., L.C, Kearl., S. Lebdosoekojo., dan A.D, Tillman, 2005. Tabel-Tabel dan Komposisi Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia. Published by The International. Feed Stuff Institude Utah Agric. Exp. St., Utah State University, Logan, Utah.


(49)

Hutagalung, R. I., 1980. Availability of Feedstuffs for Farm Animals. Proccedings First Asia-Australia Animal Science Congress, Abstract No 40:15.

Knudsen, K. E. B. 1997. Carbohydrate and Lignin Contents of Plant Materials Used in Animal Feeding. Animal Feed Science Technology 67:319-338.

Laboratorium Ilmu Nutrisi Dan Pakan Ternak, 2000. Hasil Analisa Komposisi _____ Nutrisi Bungkil Inti Sawit. Program studi peternakan FP USU, Medan.

Lubis, D.A., 1992. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan II, PT. Pembangunan, Jakarta.

Luckstadt, C. 2009. Benefits of an acidifier on gut microbiota in broilers. Asian Poult. April 2009. 56-57.

National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry Eighth Revised Edition. National Academy of Sciences. Washington, DC.

Nwokolo , E. N., Bragg, D. B. And Saben, H. S., 1986. The Availability of Amino Acids From Palm Kernel, Soybean, Cotton Seed Meal for The Growing Chick. Poultry Science 31:189-194.

Parakkasi. A., 1995. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Ruminan. UI-Press, Jakarta.

Ray, S.M.H., Pubolos and M.C., Gennis, 1982. The Effect Of Purified Guar Degradation Enzyme. Poultry Science 61:488-494. Hemicell Feed Enzyme Analyytical Chemistry Laboratory, USA.

Satyawibawa, I., dan Y.E. Widyastuti. 2000. Kelapa Sawit. Usaha Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Aspek Pemasaran. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.


(50)

Sembiring, P., 2006. Biokonversi Limbah Pabrik Minyak Inti Sawit Dengan Phanerochaete Chrysosporium Dan Implikasinya Terhadap Performans Ayam Broiler. Disertasi. UNPAD. Bandung.

Siregar, A, P, N. Sabarani, dan P. Sumoprawiro,. 1980. Teknik Beternak Ayam Pedaging Indonesia Cetakan Ke-1. Mergie group, Jakarta.

Siregar, Z., 2009. Pemanfaatan Hasil Samping Perkebunan dengan Penambahan _____ Mineral dan Hidrolisat Bulu Ayam. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Suharno, B. dan Nazaruddin. 1994. Ternak Komersil. Penebar Swadaya, Jakarta.

Supriyadi. 2009. Panen Itik Pedaging dalam 6 Minggu. PT.Penebar Swadaya. Jakarta.

Tillman. A.D., H., Hartadi, S., Reksohadiprodjo, S., Prawirokusuma dan S., Lebdosoekojo, 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wahyu, J., 1985. Ilmu Nutrisi Unggas, UGM- Press, Yogyakarta.

Wahyu. J. 1992. IImu Nutrisi Ternak Unggas. UGM-Press, Yogyakarta.

Walton, J.R. 1977. A Mechanism of growth promotion: Non-lethal feed antibiotic induced cell wall lesions in enteric bacteria. In: Antibiotics and Antibiosis. (Woodbine, M., ed.). pp 259-264. Butterworths, London.


(51)

Yeong , S. W., 1980. Amino Acid Availability of Palm Kernel Cake. Palm Oil Sludge and Sludge Fermentated Product (Prolima) In Studies with Chickens. Mardi Research bulletin 11:84-88.


(52)

Lampiran 1. Konsumsi ransum itik Raja selama penelitian (g/ekor/minggu) Perlaku

an

Konsumsi ransum (g/ekor/minggu)

Total Rataa n

I II III IV V VI VII

R01 101,0 1 216,4 7 450,9 0 591,1 7 666,2 9 865,3 9 964,9 1 3856, 15 550,8 8 R02 109,6

6 224,7 8 479,3 3 630,5 9 714,3 3 879,0 4 1010, 66 4048, 38 578,3 4 R03 97,01 200,6 8 484,0 0 619,8 6 715,5 3 781,3 3 866,7 0 3765, 10 537,8 7 R04 103,5

7 217,1 2 458,5 4 588,1 7 689,6 8 834,6 4 949,9 0 3841, 60 548,8 0 R11 97,70 208,7 4 436,1 7 573,2 4 714,9 1 850,0 8 997,4 6 3878, 30 554,0 4 R12 102,6

7 210,0 8 472,6 8 592,9 7 720,4 3 844,9 5 895,0 3 3838, 80 548,4 0 R13 101,6

2 229,7 5 447,3 4 593,9 9 705,6 0 817,3 4 970,6 8 3866, 32 552,3 3 R14 101,6

2 251,5 8 457,9 3 611,8 6 723,2 3 851,8 4 953,5 7 3951, 63 564,5 2

R21 104,2 8 219,2 5 464,8 3 594,1 5 693,8 9 846,4 6 968,9 1 3891, 77 555,9 7 R22 106,6

0 224,0 3 481,1 0 633,8 2 712,9 7 876,8 5 978,5 6 4013, 92 573,4 2 R23 95,82 213,9 2 452,0 5 586,5 3 671,0 1 865,4 6 934,2 5 3819, 04 545,5 8 R24 93,19 199,0 9 481,9 1 575,3 8 711,0 1 782,6 3 866,3 6 3709, 57 529,9 4 R31 95,69 220,2 3 444,3 5 598,6 3 699,2 6 870,3 3 969,7 0 3898, 18 556,8 8 R32 98,88 225,0 8 459,8 7 638,3 2 716,6 6 884,9 7 999,8 8 4023, 65 574,8 1 R33 95,63 201,3 4 488,7 9 579,4 0 705,5 7 785,2 7 864,3 6 3720, 37 531,4 8 R34 94,08 213,6 9 451,9 4 591,4 8 657,5 2 833,7 7 938,2 6 3780, 73 540,1 0 R41 97,19 217,2 3 435,0 1 597,0 0 674,0 8 867,1 1 961,8 3 3849, 46 549,9 2 R42 96,84 208,2 6 474,2 0 597,9 0 685,5 8 806,3 9 901,5 1 3770, 67 538,6 7 R43 92,72 218,8 4 469,2 0 598,1 3 687,4 2 873,0 4 942,8 2 3882, 16 554,5 9 R44 93,51 217,5 479,1 606,3 681,4 873,2 962,6 3913, 559,1


(53)

1 8 7 6 8 8 99 4 Lampiran 2. Rataan konsumsi ransum itik Raja selama penelitian (g/ekor/minggu)

Perlakuan Ulangan Total Rataan Sd

1 2 3 4

R0 550,88 578,34 537,87 548,80 2215,89 553,97 17,22 R1 554,04 548,40 552,33 564,52 2219,29 554,82 6,88 R2 555,97 573,42 545,58 529,94 2204,90 551,22 18,26 R3 556,88 574,81 531,48 540,10 2203,28 550,82 19,16 R4 549,92 538,67 554,59 559,14 2202,33 550,58 8,79 Total 2767,69 2813,63 2721,86 2742,50 11045,68 Rataan 553,54 562,73 544,37 548,50 552,28 7,91

Lampiran 3. Analisis keragaman konsumsi ransum itik Raja

SK DB JK KT Fhitung Ftabel

5% 1%

Perlakuan 4 61,86 15,46 0,07tn 3,06 4,89

Galat 15 3364,14 224,28

Total 19,00 3426,00

FK 6100356,12

KK 2,71%

Lampiran 4. PBB itik Raja selama penelitian (g/ekor/minggu) Perlaku

an

Pertambahan bobot badan (g/ekor/minggu)

Total Rataa n

I II III IV V VI VII

R01 54,6

0 110,7 0 200,4 0 245,3 0 233,6 0 220,2 0 205,3 0 1270,1 0 181,4 4

R02 55,2

0 113,1 0 201,4 0 248,4 0 238,8 0 214,4 0 209,5 0 1280,8 0 182,9 7

R03 53,3

0 109,8 0 200,0 0 242,0 0 234,6 0 210,6 0 199,7 0 1250,0 0 178,5 7

R04 52,7

0 109,2 0 198,5 0 242,2 0 232,7 0 211,3 0 200,4 0 1247,0 0 178,1 4

R11 55,2

0 111,3 0 201,0 0 235,9 0 234,2 0 220,8 0 215,9 0 1274,3 0 182,0 4

R12 55,8

0 113,7 0 202,0 0 249,0 0 239,4 0 215,0 0 210,1 0 1285,0 0 183,5 7

R13 53,9

0 120,4 0 200,6 0 242,6 0 235,2 0 211,2 0 208,3 0 1272,2 0 181,7 4


(54)

R14 53,3 0 119,8 0 199,1 0 242,8 0 233,3 0 211,9 0 201,0 0 1261,2 0 180,1 7

R21 52,0

0 108,1 0 197,8 0 240,7 0 231,0 0 217,6 0 212,7 0 1259,9 0 179,9 9

R22 52,6

0 110,5 0 198,8 0 245,8 0 235,2 0 211,8 0 205,4 0 1260,1 0 180,0 1

R23 50,7

0 107,2 0 197,4 0 239,4 0 232,0 0 218,0 0 197,1 0 1241,8 0 177,4 0

R24 50,1

0 106,6 0 195,9 0 239,6 0 230,1 0 208,7 0 197,8 0 1228,8 0 175,5 4

R31 50,9

0 107,0 0 186,7 0 239,6 0 239,9 0 216,5 0 208,6 0 1249,2 0 178,4 6

R32 51,5

0 109,4 0 187,7 0 244,7 0 234,1 0 229,7 0 204,3 0 1261,4 0 180,2 0

R33 50,6

0 106,1 0 196,3 0 238,3 0 229,9 0 216,9 0 196,0 0 1234,1 0 176,3 0

R34 49,0

0 105,5 0 194,8 0 238,5 0 225,0 0 217,6 0 206,7 0 1237,1 0 176,7 3

R41 50,1

0 106,2 0 185,9 0 238,8 0 229,1 0 215,7 0 200,8 0 1226,6 0 175,2 3

R42 50,7

0 108,6 0 196,9 0 243,9 0 233,3 0 239,9 0 203,5 0 1276,8 0 182,4 0

R43 48,8

0 105,3 0 195,5 0 237,5 0 225,1 0 216,1 0 195,2 0 1223,5 0 174,7 9

R44 51,2

0 104,7 0 194,0 0 237,7 0 224,2 0 226,8 0 195,9 0 1234,5 0 176,3 6

Lampiran 5. Rataan PBB itik Raja selama penelitian (g/ekor/minggu)

Perlakuan Ulangan Total Rataan Sd

1 2 3 4

R0 181,44 182,97 178,57 178,14 721,13 180,28 2,32 R1 182,04 183,57 181,74 180,17 727,53 181,88 1,39 R2 179,99 180,01 177,40 175,54 712,94 178,24 2,17 R3 178,46 180,20 176,30 176,73 711,69 177,92 1,78 R4 175,23 182,40 174,79 176,36 708,77 177,19 3,53 Total 897,16 909,16 888,80 886,94 3582,06 Rataan 179,43 181,83 177,76 177,39 179,10 2,02


(55)

Lampiran 6. Analisis keragaman PBB itik Raja selama penelitian

SK DB JK KT Fhitung Ftabel

5% 1%

Perlakuan 4 59,64 14,91 2,69tn 3,06 4,89

Galat 15 83,08 5,54

Total 19,00 142,72

FK 641556,67

KK 1,31%

Lampiran 7. Konversi ransum itik Raja selama penelitian

Perlakuan Konversi pakan Total Rataan

I II III IV V VI VII

R01 1.85 1.96 2.25 2.41 2.85 3.93 4.70 19.95 2.85 R02 1.99 1.99 2.38 2.54 2.99 4.10 4.82 20.81 2.97 R03 1.82 1.83 2.42 2.56 3.05 3.71 4.34 19.73 2.82 R04 1.97 1.99 2.31 2.43 2.96 3.95 4.74 20.35 2.91

R11 1.77 1.88 2.17 2.43 3.05 3.85 4.62 19.77 2.82 R12 1.84 1.85 2.34 2.38 3.01 3.93 4.26 19.61 2.80 R13 1.89 1.91 2.23 2.45 3.00 3.87 4.66 20.00 2.86 R14 1.91 2.10 2.30 2.52 3.10 4.02 4.74 20.69 2.96

R21 2.01 2.03 2.35 2.47 3.00 3.89 4.56 20.30 2.90 R22 2.03 2.03 2.42 2.58 3.03 4.14 4.76 20.99 3.00 R23 1.89 2.00 2.29 2.45 2.89 3.97 4.74 20.23 2.89 R24 1.86 1.87 2.46 2.40 3.09 3.75 4.38 19.81 2.83

R31 1.88 2.06 2.38 2.50 2.91 4.02 4.65 20.40 2.91 R32 1.92 2.06 2.45 2.61 3.06 3.85 4.89 20.84 2.98 R33 1.89 1.90 2.49 2.43 3.07 3.62 4.41 19.81 2.83 R34 1.92 2.03 2.32 2.48 2.92 3.83 4.54 20.04 2.86

R41 1.94 2.05 2.34 2.50 2.94 4.02 4.79 20.58 2.94 R42 1.91 1.92 2.41 2.45 2.94 3.36 4.43 19.42 2.77 R43 1.90 2.08 2.40 2.52 3.05 4.04 4.83 20.82 2.97 R44 1.83 2.08 2.47 2.55 3.04 3.85 4.91 20.73 2.96


(56)

Lampiran 8. Rataan konversi ransum itik Raja selama penelitian

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4

R0 2.85 2.97 2.82 2.91 11.55 2.887

R1 2.82 2.80 2.86 2.96 11.44 2.860

R2 2.90 3.00 2.89 2.83 11.62 2.904

R3 2.91 2.98 2.83 2.86 11.58 2.896

R4 2.94 2.77 2.97 2.96 11.65 2.912

Total 14.43 14.52 14.37 14.52 57.84

Rataan 2.89 2.90 2.87 2.90 2.89

Lampiran 9. Analisis keragaman konversi ransum itik Raja selama penelitian

SK DB JK KT Fhitung Ftabel

5% 1%

Perlakuan 4 0.007 0.002 0.31tn 3.06 4.89

Galat 15 0.081 0.005

Total 19.00 0.088

FK 167.258


(57)

Lampiran 10. Formulasi ransum kontrol tanpa BIS yang diberi hemicell

No Bahan

Batas Penggunaan

(%) PK (%)

EM (kkal/kg)

SK (%)

LK (%)

Ca (%)

P (%)

Lisin (%)

Metionin (%)

1 BIS - - - - - - - - -

2 Tepung Jagung 60.00 5.16 2022.00 1.20 2.34 0.12 0.48 0.24 0.11 3 Dedak Halus 1.00 0.14 16.30 0.13 0.13 0.00 0.02 0.01 0.03 4 Bungkil Kelapa 2.00 0.36 30.80 0.30 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00 5 Tepung Ikan 10.00 6.12 256.50 0.26 0.79 0.77 0.39 0.46 0.15 6 Top Mix 2.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 0.18 0.00 0.00 7 Minyak Nabati 2.00 0.00 172.00 0.00 2.00 0.00 0.00 0.01 0.01 8 B.Kedelai 23.00 9.22 526.70 0.99 0.20 0.08 0.15 0.66 0.15 Total 100.00 21.00 3064.30 2.88 5.50 1.20 1.22 1.38 0.45


(58)

Lampiran 11. Formulasi ransum dengan 5% BIS yang diberi hemicell

No Bahan

Batas Penggunaan

(%)

PK (%)

EM (kkal/kg)

SK (%)

LK

(%) Ca (%)

P (%)

Lisin (%)

Metionin (%)

1

BIS + Enzim hemicell


(59)

2 Tepung Jagung 60.00 5.16 2022.00 1.20 2.34 0.12 0.48 0.24 0.11 3 Dedak Halus 1.00 0.13 16.30 0.13 0.13 0.00 0.02 0.01 0.03 4 Bungkil Kelapa 0.50 0.09 7.70 0.08 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 5 Tepung Ikan 10.00 6.12 256.50 0.26 0.79 0.77 0.39 0.46 0.15

6 Top Mix 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 0.18 0.00 0.00

7 Minyak Nabati 2.00 0.00 172.00 0.00 2.00 0.00 0.00 0.01 0.01 8 B.Kedelai 20.50 8.22 469.45 0.89 0.18 0.07 0.14 0.59 0.13


(60)

Lampiran 12. Formulasi ransum dengan 10% BIS yang diberi hemicell

No Bahan

Batas Penggunaan

(%)

PK (%)

EM (kkal/kg)

SK (%)

LK

(%) Ca (%)

P (%)

Lisin (%)

Metionin (%)

1

BIS + Enzim hemicell

2 cc/Kg 10.00 2.93 281.00 0.94 0.92 0.03 0.06 0.00 0.00

2 Tepung Jagung 59.00 5.07 1988.30 1.18 2.30 0.12 0.47 0.24 0.11 3 Dedak Halus 0.50 0.07 8.15 0.07 0.07 0.00 0.01 0.00 0.03 4 Bungkil Kelapa 1.00 0.19 15.40 0.15 0.02 0.00 0.01 0.01 0.00 5 Tepung Ikan 10.00 6.12 256.50 0.26 0.79 0.77 0.39 0.46 0.15

6 Top Mix 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 0.18 0.00 0.00

7 Minyak Nabati 2.00 0.00 172.00 0.00 2.00 0.00 0.00 0.01 0.01 8 B.Kedelai 16.50 6.62 377.85 0.71 0.15 0.05 0.11 0.48 0.11


(61)

(62)

Lampiran 13. Formulasi ransum dengan 15% BIS yang diberi hemicell

No Bahan

Batas penggunaan

(%)

PK (%)

EM (kkal/kg)

SK (%)

LK (%)

Ca (%)

P (%)

Lisin (%)

Metionin (%)

1

BIS + Enzim hemicel 2

cc/Kg 15.00 4.40 421.50 1.42 1.38 0.05 0.10 0.00 0.00

2 Tepung Jagung 56.50 4.86 1904.05 1.13 2.20 0.11 0.45 0.23 0.10

3 Dedak Halus 0.50 0.07 8.15 0.07 0.07 0.00 0.01 0.00 0.03

4 Bungkil Kelapa 0.50 0.09 7.70 0.08 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00

5 Tepung Ikan 10.00 6.12 256.50 0.26 0.79 0.77 0.39 0.46 0.15

6 Top Mix 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 0.18 0.00 0.00

7 Minyak Nabati 2.00 0.00 172.00 0.00 2.00 0.00 0.00 0.01 0.01

8 B.Kedelai 14.50 5.81 332.05 0.63 0.13 0.05 0.10 0.42 0.09


(63)

Lampiran 14. Formulasi ransum dengan 20% BIS yang diberi hemicell

No Bahan

Batas Penggunaan

(%)

PK (%)

EM (kkal/kg)

SK (%)

LK (%)

Ca (%)

P (%)

Lisin (%)

Metionin (%)

1

BIS + Enzim hemicel 2

cc/Kg 20.00 5.87 562.00 1.89 1.84 0.06 0.13 0.00 0.00

2 Tepung Jagung 54.00 4.64 1819.80 1.08 2.11 0.11 0.43 0.22 0.10 3 Dedak Halus 0.50 0.07 8.15 0.07 0.07 0.00 0.01 0.00 0.03 4 Bungkil Kelapa 0.50 0.09 7.70 0.08 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 5 Tepung Ikan 10.00 6.12 256.50 0.26 0.79 0.77 0.39 0.46 0.15

6 Top Mix 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 0.18 0.00 0.00

7 Minyak Nabati 2.00 0.00 172.00 0.00 2.00 0.00 0.00 0.01 0.01 8 B.Kedelai 12.00 4.81 274.80 0.52 0.11 0.04 0.08 0.35 0.08


(64)

Lampiran 15.


(65)

Lampiran 16.


(66)

Lampiran 17.


(1)

(2)

Lampiran 13. Formulasi ransum dengan 15% BIS yang diberi hemicell

No Bahan

Batas penggunaan (%) PK (%) EM (kkal/kg) SK (%) LK (%) Ca (%) P (%) Lisin (%) Metionin (%) 1

BIS + Enzim hemicel 2

cc/Kg 15.00 4.40 421.50 1.42 1.38 0.05 0.10 0.00 0.00

2 Tepung Jagung 56.50 4.86 1904.05 1.13 2.20 0.11 0.45 0.23 0.10

3 Dedak Halus 0.50 0.07 8.15 0.07 0.07 0.00 0.01 0.00 0.03

4 Bungkil Kelapa 0.50 0.09 7.70 0.08 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00

5 Tepung Ikan 10.00 6.12 256.50 0.26 0.79 0.77 0.39 0.46 0.15

6 Top Mix 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 0.18 0.00 0.00

7 Minyak Nabati 2.00 0.00 172.00 0.00 2.00 0.00 0.00 0.01 0.01

8 B.Kedelai 14.50 5.81 332.05 0.63 0.13 0.05 0.10 0.42 0.09


(3)

Lampiran 14. Formulasi ransum dengan 20% BIS yang diberi hemicell

No Bahan

Batas Penggunaan (%) PK (%) EM (kkal/kg) SK (%) LK (%) Ca (%) P (%) Lisin (%) Metionin (%) 1

BIS + Enzim hemicel 2

cc/Kg 20.00 5.87 562.00 1.89 1.84 0.06 0.13 0.00 0.00

2 Tepung Jagung 54.00 4.64 1819.80 1.08 2.11 0.11 0.43 0.22 0.10

3 Dedak Halus 0.50 0.07 8.15 0.07 0.07 0.00 0.01 0.00 0.03

4 Bungkil Kelapa 0.50 0.09 7.70 0.08 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00

5 Tepung Ikan 10.00 6.12 256.50 0.26 0.79 0.77 0.39 0.46 0.15

6 Top Mix 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 0.18 0.00 0.00

7 Minyak Nabati 2.00 0.00 172.00 0.00 2.00 0.00 0.00 0.01 0.01

8 B.Kedelai 12.00 4.81 274.80 0.52 0.11 0.04 0.08 0.35 0.08


(4)

Lampiran 15.


(5)

Lampiran 16.


(6)

Lampiran 17.