Kecernaan Ransum Mengandung Berbagai Tingkat Bungkil Inti Sawit di Tambahkan Hemicell pada Itik Raja Umur 8 Minggu

TINJAUAN PUSTAKA Broiler

  Itik atau lebih dikenal dengan unggas pedaging adalah itik jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur 5 - 6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Itik memiliki kelebihan dan kelemahan, kelebihannya adalah dagingnya empuk, ukuran badan besar, bentuk dada lebar, padat dan berisi, efisiensi terhadap ransum cukup tinggi, sebagian besar dari ransum diubah menjadi daging dan pertambahan bobot badan sangat cepat sedangkan kelemahannya adalah memerlukan pemeliharaan secara intensif dan cermat, relatif lebih peka terhadap suatu infeksi penyakit dan sulit beradaptasi (Murtidjo, 1987).

  Ransum Itik

  Pemberian ransum pada itik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan berproduksi itik tersebut. Untuk produksi maksimum dilakukan dalam jumlah cukup, baik kualitas maupun kuantitas. Ransum itik harus seimbang antara kandungan protein dengan energi dalam ransum. Disamping itu kebutuhan vitamin dan mineral juga harus diperhatikan. Sesuai dengan tujuan pemeliharaannya yaitu memproduksi daging sebanyak - banyaknya dalam waktu singkat, maka jumlah pemberian ransum tidak dibatasi (ad libitum). Itik selama masa pemeliharaannya mempunyai dua macam ransum yaitu itik starter dan itik

  finisher (Kartadisastra, 1994).

  Persyaratan mutu ransum untuk anak itik (itik starter) berbeda dengan mutu ransum broiler pada masa akhir (itik finisher). Perbedaan ini sesuai dengan kebutuhan nutrisi itik sesuai dengan fase pertumbuhannya. Berikut kebutuhan nutrisi itik sesuai dengan fase pertumbuhannya (Tabel 1 dan Tabel 2).

  Tabel 2. Persyaratan mutu untuk itik ras pedaging masa akhir (itik finisher) No. Parameter Satuan Persyaratan

  11. Asam amino : Lisin % Min. 0.90 Metionin % Min. 0.30 Metionin + sistin % Min. 0.50

  10. Energi termetabolis (EM) kkal/kg Min. 2900

  9. Total alfatoxin µg/kg Maks. 50.00

  8. Fosfor (P) tersedia % Min. 0.40

  7. Fosfor (P) total % 0.60 - 1.00

  6. Kalsium (Ca) % 0.90 - 1.20

  5. Abu % Maks. 8.00

  4. Serat kasar % Maks. 6.00

  3. Lemak kasar % Maks. 8.00

  2. Protein kasar % Min. 18.00

  1. Kadar air % Maks. 14.00

  Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2006)

  Tabel 1. Persyaratan mutu untuk anak itik ras pedaging (itik starter) No. Parameter Satuan Persyaratan

  11. Asam amino : Lisin % Min. 1.10 Metionin % Min. 0.40 Metionin + sistin % Min. 0.60

  10. Energi termetabolis (EM) kkal/kg Min. 2900

  9. Total alfatoxin µg/kg Maks. 50.00

  8. Fosfor (P) tersedia % Min. 0.40

  7. Fosfor (P) total % 0.60 - 1.00

  6. Kalsium (Ca) % 0.90 - 1.20

  5. Abu % Maks. 8.00

  4. Serat kasar % Maks. 6.00

  3. Lemak kasar % Maks. 7.40

  2. Protein kasar % Min. 19.00

  1. Kadar air % Maks. 14.00

  Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2006)

  Saluran Pencernaan Itik

  Itik tidak mengeluarkan urine cair. Urine pada unggas mengalir ke dalam kloaka dan dikeluarkan bersama – sama feses. Warna putih yang terdapat dalam ekskreta itik sebagian besar adalah asam urat, sedangkan nitrogen urine mamalia kebanyakan adalah urea. Saluran pencernaan yang relatif pendek pada unggas digambarkan pada proses pencernaan cepat (lebih kurang empat jam) (Anggorodi, 1985).

  Kemampuan adaptasi saluran pencernaan berdasarkan atas fungsi fisiologis tergantung pada pasokan nutrisi yang diberikan pada periode perkembangan awal setelah menetas. Menurut Zhou et al. (1990), status nutrisi dan pola pemberian ransum dapat memodifikasi fungsi saluran pencernaan.

  Kapasitas saluran pencernaan pada itik periode awal dalam memanfaatkan nutrisi (asam amino dan gula) telah dilaporkan oleh Rovira et al. (1994).

  Pemberian protein atau asam amino dalam jumlah banyak dapat meningkatkan daya serap usus atau berakibat sebaliknya dengan pembatasan ransum.

  Kemampuan usus dalam memanfaatkan nutrisi ditentukan oleh perkembangan saluran percernaan secara fisiologis yang dilihat dari segi aktivitas enzim.

  Meskipun aktivitas enzim pencernaan pada umumnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : Genetis, komposisi ransum dan intake (Nitsan et al., 1991). Intake lebih berpengaruh terhadap produksi dan aktivitas enzim pencernaan.

  Makin banyak jumlah ransum yang dikonsumsi makin aktif kegiatan saluran pencernaan untuk mencerna sehingga dapat merangsang pertumbuhan organ pencernaan. Jenis ransum seperti misalnya perbedaan kandungan serat, juga dapat menentukan perkembangan organ pencernaan (Siri et al., 1992).

  Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat - zat makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh (Anggorodi, 1985). Ayam merupakan ternak non ruminansia yang artinya ternak yang mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya bagian - bagian penting dari alat pencernaan adalah mulut, farinks, esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang saluran pencernaan oleh gerakan peristaltik yang disebabkan karena adanya kontraksi otot di sekeliling saluran (Tillman dkk., 1991).

  Seperti kita ketahui bahwa itik tidak mempunyai gigi geligi untuk mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat melumatkan makanan. Oleh karena itu, daya cerna itik terhadap ransumnya lebih rendah 10% dari pada ternak lain (Kartadisastra, 1994).

  Pencernaan secara mekanik tidak terjadi di dalam mulut melainkan di

  

gizzard (empedal) dengan menggunakan batu - batu kecil atau grid yang sengaja

  dimakan, lalu masuk ke dalam usus halus. Disini terjadi proses penyerapan pencernaan dengan menggunakan enzim - enzim pencernaan yang disekresikan oleh usus halus seperti cairan duodenum, empedu, pankreas dan usus. Di dalam usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad renik yang berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh usus halus (proteolitik) (Tillman dkk., 1991).

  Didalam empedal bahan - bahan makanan mendapat proses pencernaan secara mekanis. Partikel - partikel yang besar secara mekanik akan diperkecil dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis di dalam saluran pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan mekanis maupun enzimatis dalam mempersiapkan ransum banyak dilakukan dengan menggiling bahan - bahan ransum tersebut (Parakkasi, 1990).

  Kecernaan/Daya Cerna

  Nilai sebenarnya kecernaan ditunjukkan dari bagian yang hilang setelah bahan makanan dicerna, diserap dan dimetabolis (Schneider dan Flatt, 1973 dan Tillman dkk., 1991).

  Perbedaan nilai kecernaan disebabkan oleh adanya perbedaan pada sifat makanan yang diproses, termasuk kesesuaiannya untuk dihidrolisis oleh enzim pencernaan itik (amilase, tripsin, kimotripsin, kolesterol esterase, sukrase dll.) (Kompiang dan Ilyas, 1983; Sukarsa dkk., 1985; Wahju, 1997).

  Faktor lain yang ikut mempengaruhi nilai kecernaan antara lain : (1). Tingkat proporsi bahan dalam ransum, (2). Komposisi kimia, (3). Tingkat protein ransum dan (4). Mineral (Maynard et al., 1979; Bautrif, 1990; Wahju 1997).

  Menurut Tillman dkk. (1998) kecernaan dapat diartikan banyaknya atau jumlah proporsional zat - zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat makanan yang terdapat di dalam feses dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan (Cullison 1978). Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian ransum, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan dan gangguan saluran pencernaan (Church and Pond, 1988). Dinyatakan oleh Anggorodi (1990) yang mempengaruhi daya cerna adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya. Jenis kelamin, umur dan strain mempunyai pengaruh terhadap daya cerna protein dan asam - asam amino, tetapi pengaruhnya tidak konsisten (Doeschate et al., 1993).

  Prinsip penentuan kecernaan zat - zat makanan adalah menghitung banyaknya zat - zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan banyaknya zat makanan yang dikeluarkan melalui feses (Ranjhan, 1980).

  Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam ransum (Ranjhan, 1980). Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman dkk., 1998).

  Tingkat kecernaan/daya cerna suatu ransum menggambarkan besarnya zat - zat makanan yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses hidup pokok (maintenance), pertumbuhan, produksinya maupun reproduksi (Ginting, 1992).

  Pencernaan Ransum

  Penentuan kecernaan/daya cerna dari suatu ransum dapat diketahui dimana harus dipahami terlebih dahulu dua hal yang penting yaitu : Jumlah nutrien yang terdapat dalam ransum dan jumlah nutrien yang dapat dicerna dan dapat diketahui bila ransum telah mengalami proses pencernaan (Tillman dkk., 1991).

  Anggorodi (1979) menyatakan bahwa pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu ransum adalah usaha menentukan jumlah nutrisi dari suatu ransum yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan presentasi nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrisi yang dimakan dan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi yang tidak terdapat dalam feses inilah yang diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap.

  Awal Pemberian Ransum

  Di peternakan komersil seringkali day old dulck (DOD) tidak langsung diberi makan, tetapi dipuasakan tiga hari, dengan tujuan mengoptimalkan sisa kuning telur dan peradangan sisa kuning telur (omphalistis) menjadi berkurang. Faktanya adalah ayam yang dipuasakan akan mengalami penyerapan sisa kuning telur menjadi lebih lama, sehingga peluang untuk terinfeksi oleh kuman lingkungan menjadi jauh lebih besar (Noy dan Sklan, 1996 dalam Unandar 1997).

  Pemberian ransum pada itik seawal mungkin memang berpengaruh terhadap perkembangan usus. Vili akan berkembang sempurna, peristaltik akan dipacu seawal mungkin sehingga sistem transport dalam usus berlangsung baik. Enzim pankreas dan garam empedu digertak seawal mungkin, seiring dengan makanan yang masuk. Berat badan berbeda nyata sejalan dengan penyerapan ransum yang maksimal, sehingga itik yang diberi ransum lebih dini mempunyai penampilan akhir lebih baik (Sulistyonigsih, 2004). Konsumsi itik yang diberi ransum hari ke-1, ternyata konsumsi ransumnya lebih tinggi sebesar 4.8% daripada itik yang diberi ransum hari ke-2 (Sulistyonigsih, 2004).

  Selanjutnya Unandar (1997) menyatakan ada beberapa efek negatif akan muncul jika terjadi keterlambatan pemberian ransum/minum pada tahap awal kehidupan dari ayam (lebih dari 2 hari). Efek negatif akan tersebut antara lain bobot badan tidak akan mencapai bobot standar.

  Kuning telur dapat memenuhi kebutuhan nutrisi pada masa embrional dalam telur hingga menetas. Sisa kuning telur yang mengandung air (50%), protein (28%) diantaranya maternal antibodi (7%), dan lipid (20%) dianggap memenuhi kebutuhan DOD. Kebutuhan yang dapat dipenuhi dari kuning telur tertera dalam Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3. Kebutuhan energi dan protein yang terpenuhi dari kuning telur

  Energi Kasar Protein Umur

  Diet Yolk Diet Yolk (Hari)

  (Kcal) (%) (Kcal) (%) (Kcal) (%) (Kcal) (%)

  1

  9.30

  50

  9.40

  50

  0.46

  57

  0.35

  43

  2

  19.80

  74

  6.80

  26

  0.97

  56

  0.77

  44

  3

  35.10

  94

  2.40

  6

  1.72

  90

  0.20

  10

  4

  54.20

  98

  0.90

  2

  2.66

  94

  0.17

  6

  5 69.00 100

  0.40

  3.39

  99

  0.04

  1 Sumber : Widjaja (1999) Kenyataanya sisa kuning telur ini sangat terbatas dan hanya cukup untuk mempertahankan kehidupannya bukan untuk pertumbuhannya. Pada hari pertama saja hanya 50% dari kebutuhan energi dan 43% dari kebutuhan protein yang dapat dipenuhi dari sisa kuning telur yang ada. Hari ketiga biasanya peternak baru mulai memberi ransum pada anak itik, ternyata sisa kuning telur yang ada hanya mensuplai 6% dari kebutuhan energi dan 10% untuk kebutuhan protein (Widjaja, 1999).

  Proses utama yang terjadi dalam pertumbuhan anak itik, yaitu : Hiperplasia (pertambahan jumlah sel - sel tubuh) dan hipertrofi (perbesaran ukuran sel tubuh). Proses hiperplasia lebih besar daripada hipertropia pada minggu pertama dan kedua, minggu ketiga seimbang dan berikutnya hipertropia lebih dominan. Tentu saja apabila persedian sel - sel tidak ada jumlah yang cukup pada minggu pertama, akan sangat sulit untuk mencapai pertumbuhan maksimal pada minggu - minggu selanjutnya.

  Manfaat yang dapat dilihat dari pemberian ransum awal adalah : a. Sistem pencernaan makanan

  Pemberian ransum akan marangsang perkembangan usus. Vili dapat berkembang sempurna. Motilitas/peristaltik juga dipacu seawal mungkin, sehingga sistem transport dalam usus berlangsung baik. Enzim pankreas dan garam empedu digertak seawal mungkin, seiring dengan makanan yang masuk.

  b.

  Sistem imunitas

  • Antibodi maternal

  Metabolisme yang sempurna akan mendukung proses penyerapan antibodi maternal (dari induk). Antibodi maternal menjadi kunci pertahanan tubuh di minggu awal, pada saat organ limfoid belum merespon secara maksimal dan menghasilkan antibodi aktif jika penyerapan zat kebal induk tidak maksimal, berarti ayam tidak akan mendapat perlindungan yang lebih baik terhadap serangan bibit penyakit dari lingkungan, sehingga kematian akan lebih tinggi dan penampilan ayam tidak bisa maksimal (Unandar 1997).

  • Menstimulasi perkembangan jaringan limfoid sepanjang usus. Jaringan yang paling mudah untuk menggertak sistem kekebalan lokal adalah dengan pemberian ransum sedini mungkin. Gut Associated Lymphoid Tisue (GALT) seperti ceca tonsil, peyer patches di sepanjang usus akan segara beraktivitas maksimal beberapa saat setelah adanya gertakan ransum. Puasa justru akan
menstimulasi sekresi korticosteroid yang menghambat proliferasi sel - sel tubuh yang bertanggung jawab pada sistem imun.

  c.

  Penampilan ayam Berat badan dan konversi ransum berbeda nyata sejalan dengan penyerapan ransum yang maksimal dan sistem pertahanan tubuh yang dapat diandalkan.

  Pada beberapa penelitian, ternyata jika proses penyerapan sisa kuning telur berjalan secara normal, maka kondisi seperti ini akan mengaktivasi organ yang

  itik berkaitan dengan proses pada (Noy et al., 1996; Unandar 1997).

  Kondisi cekaman pada anak itik akan meningkatkan produksi

  

adenokortikotropil hormone (ACTH) oleh kelenjar pituitari pada otak. Salah satu

  efek dari tingginya kadar hormon adalah menurunnya metabolisme tubuh secara umum, termasuk penyerapan kuning telur pada anak ayam (lihat pada Gambar 1).

  Gangguan penyerapan kuning telur akan berdampak pada gangguan nutrisi yang terlihat pada pertumbuhan yang lebih lambat. Kuning telur yang tersisa akan terkontaminasi oleh mikroorganisme, menyebabkan terjadinya radang pusar anak ayam (omphalistis). Penyerapan zat kebal induk yang terdapat pada sisa kuning telur juga akan terhambat sehingga pada akhirnya menurunkan daya tahan tubuh dan kepekaan terhadap penyakit jadi meningkat. Secara keseluruhan semua kondisi yang ada menyebabkan penampilan akhirnya itik menjadi buruk.

  Gambar 1. Efek lanjut stresor pada DOD (Unandar, 2002) Stresor

  Adenocorticotropil hormone (ACTH)

  Stresor Stresor DOD

  Aktivitas fisiologis tubuh (Absorpsi kuning telur)

  Kuning telur yang persisten Absorpsi zat kebal induk

  Gangguan nutrisional Terlambat tumbuh

  Kontaminasi kuman Daya tahan tubuh

  Omphalitis Terlambat tumbuh, kematian dan problem asites meningkat

  Peka terhadap penyakit

  Kegunaan Kuning Telur (Yolk) pada Anak Itik

  Banyak pendapat yang menyatakan bahwa anak ayam sejak berumur satu sampai dua hari masih mempunyai cadangan makanan yang tertimbun dalam tubuh berupa sisa – sisa kuning telur (yolk). Cadangan makanan tersebut masih cukup untuk memenuhi kebutuhan anak itik selama 48 jam sejak menetas.

  Sebagian ahli lainnya berpendapat, sekalipun mempunyai sisa – sisa kuning telur, bahwa anak ayam masih membutuhkan makanan. Pendapat ini pun masuk akal, sebab pertumbuhan pertama dari anak ayam berlangsung sangat cepat, sehingga banyak membutuhkan zat putih telur (protein). Karena itu sisa – sisa kuning telur tadi tidak mencukupi kebutuhan anak itik untuk mendukung pertumbuhan tubuhnya (Muslim, 1993).

  Anak itik yang baru menetas dapat bertahan tidak makan selama dua hari sejak ia ditetaskan, karena di dalam perutnya masih ada sisa kuning telur yang digunakan sebagai sumber energi (Rasyaf, 1989).

  Pada perkembangan embrio selanjutnya, kuning telur merupakan sumber energi. Selama penetasan, kuning telur terdiri dari 20% adalah berat badan anak ayam dan mengandung 20 – 40% lemak serta 20 – 25% protein. Menjelang berakhirnya masa inkubasi sisa kuning telur terkumpul di dalam rongga abdominal. Bagi anak ayam yang baru menetas, kuning telur tersedia sebagai energi sedangkan protein untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Sisa kuning telur cukup untuk kelangsungan hidup anak ayam hingga umur 3 – 4 hari tanpa diberikan ransum, tetapi tidak dapat mendukung perkembangan saluran pencernaan dan sistem kekebalan ataupun pertambahan berat badan. Selanjutnya kebanyakan protein berisi berbagai biomolekuler berharga seperti maternal antibodi yang digunakan untuk kekebalan pasif yang berguna daripada sebagai sumber asam amino. Pecahan lipid dari kuning telur sebagian besar berisi trigliserida, phospolipid dan sejumlah kecil ester kolesterol serta asam lemak tidak bebas. Pada saat penetasan anak itik, kuning telur dimanfaatkan baik oleh endositosis dari kandungan kuning telur ke dalam sirkulasi atau oleh batang kuning telur ke dalam usus halus. Pergerakan anti peristaltik mentransfer kuning telur ke usus halus dimana acyl – lipid di cerna oleh enzim lipase dari pankreas dan diserapnya (Charoen Pokphand Bulletin Service, 2006).

  

Pemberian Ransum yang Lebih Awal dapat Mempercepat Penyerapan

Kuning Telur

  Sisa kuning telur pada umumnya akan habis hingga 4 hari setelah menetas. Studi terbaru mengindikasikan bahwa sisa kuning telur digunakan lebih cepat oleh anak itik yang sudah mendapatkan ransum lebih awal pada anak ayam broiler saat menetas adalah 6,5 gram, yang berkurang menjadi 0,4 gram dalam waktu 96 jam pada anak itik yang diberi ransum segera setelah menetas (Gambar 2), tetapi berat kuning telur yang tersisa pada anakitikyang dipuasakan 24 dan 48 jam adalah 0,7 gram dan 1,5 gram setelah 96 jam. Hal ini disebabkan karena gerakan anti peristaltik yang mentransfer kuning telur hingga ke duodenum karena dirangsang dengan kehadiran makanan di dalam saluran usus. Tetapi pada proses penetasan anak ayam di perunggasan komersial, anak itik akan ditransfer dari inkubator ketika sebagian besar telah terlepas dari kerabang telur. Diikuti dengan proses selanjutnya seperti sexing, vaksinasi dan pengemasan yang dilakukan sebelum dimasukkan ke dalam box untuk dikirim. Jadi dalam kenyataannya, anak ayam seringkali tidak mendapatkan air minum dan ransum, yang menyebabkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan terlambat. Oleh karena segera setelah penetasan merupakan periode kritis untuk perkembangan dan kelangsungan hidup bagi anak ayam (Charoen Pokphand Bulletin Service, 2006).

  Gambar 2. Grafik pengaruh pemberian ransum yang awal dan terlambat terhadap

  i sisa kuning telur pada anak itik Efek Kuning Telur (Yolk) di dalam Pertambahan Berat Badan

  Studi terbaru mengenai day old chick (DOD) itik menjelaskan bahwa setelah penetasan, anak itik yang mendapatkan ransum lebih cepat akan dicapai berat lebih besar dibandingkan dengan anak itik yang dipuasakan 48 jam (Gambar 3). Gambar 3. Grafik pengaruh ketiadaan ransum setelah penetasan (0 – 48 jam)

  ii terhadap berat badan itik pada interval 48 jam

  Sedangkan pada anak itik yang diberi ransum segera dan dipuasakan 24 jam tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap berat badan. Dilaporkan juga dari studi lain bahwa ayam yang tidak diberi ransum dan air minum dalam kurun waktu 48 jam setelah menetas dapat menurunkan berat badan 7,8 % dibandingkan dengan anak itik yang diberi ransum segera setelah menetas. Pada percobaan lain dilaporkan bahwa pullet dan anak itik yang dipuasakan selama 48 jam atau lebih akan memperlambat pertambahan berat badan dan perkembangan usus, menurunkan areal penyerapan usus dan membatasi kapasitas pengambilan nutrien yang penting, jadi merupakan kontribusi untuk pertumbuhan terlambat di kemudian hari akan menurun. Pemberian ransum yang lebih cepat pada anak itik akan meningkatkan persentase daging dada yang dihasilkan hingga 7 – 9% jika dibandingkan dengan anak itik yang dipuasakan. Hal ini berkaitan dengan perbedaan perkembangan kerangka dan otot atau efek jangka panjang dengan pemberian ransum yang lebih awal (Charoen Pokphand Bulletin Service, 2006).

  Keterlambatan pemberian ransum ternyata memberikan efek yang negatif terhadap pertambahan berat badan itik. Keterlambatan pemberian ransum setelah 15 jam pengiriman DOD menyebabkan pertambahan berat badan itik lebih lambat. Pada hari ke-7 sampai hari ke-8, itik yang diberikan ransum lebih awal menghasilkan berat badan yang lebih tinggi 20 g dibandingkan berat badan ayam yang terlambat 15 jam diberi ransum. Pengaruh keterlambatan ini terlihat sangat signifikan pada umur 35 – 40 hari. Perbedaan berat badan mencapai 80 g yang mana dapat mengurangi pendapatan peternak itik (Charoen Pokphand Bulletin Service, 2006). Pengaruh bobot badan terhadap keterlambatan pemberian ransum setelah 15 jam pengiriman anak itik dapat dilihat pada Gambar 4.

  Gambar 4. Grafik pengaruh bobot badan terhadap keterlambatan pemberian ransum setelah 15 jam pengiriman DOD

  Efek Kuning Telur (Yolk) terhadap Perkembangan Saluran Pencernaan

  Pada saat penetasan, anatomi sistem pencernaan anak itik belum sempurna dan kapasitas fungsi awalnya belum berkembang seluruhnya. Saluran pencernaan mengalami perubahan morfologi (bertambahnya panjang usus serta kepadatan dan tinggi vili) dan perubahan fisiologi (meningkatnya produksi pankreas dan enzim pencernaan) termasuk meningkatnya area permukaan pencernaan dan penyerapan. Segera setelah periode penetasan, berat usus halus akan meningkat lebih cepat dari berat tubuh dan akan terus meningkat hingga maksimum sampai umur 6 – 10 hari. Namun organ pencernaan seperti gizzard (rempela) ukurannya tidak menunjukkan peningkatan perubahan paralel dalam ukuran yang relatif.

  Keberadaan nutrisi pada lumen usus akan merangsang pertumbuhan vili usus. Morfologi epithelium usus terutama dipengaruhi oleh ketiadaan makanan. Hal ini dilaporkan bahwa tinggi villi duodenum dan perputaran sel usus secara signifikan berkurang pada anak itik yang dipuasakan 24 jam. Dilaporkan juga bahwa tidak adanya ransum dan air minum dalam 24, 48 dan 72 jam setelah anak itik menetas akan mempengaruhi perkembangan vili usus. Jadi, pengaruh peningkatan pertumbuhan dari pemberian ransum yang lebih awal dapat diterangkan dengan perubahan perkembangan saluran pencernaan. Data hasil penelitian mengungkapkan bahwa pemberian ransum lebih awal pada anak itik setelah menetas (dalam waktu 24 – 48 jam) akan mempengaruhi perkembangan saluran pencernaan (Tabel 4).

  Tabel 4. i Pengaruh bagian organ tertentu (% berat badan) terhadap ketiadaan

  i ransum pada umur 4 hari Ketiadaan Proventriculus

  ransum

  Hati dan Pankreas Duodenum Jejenum Ileum setelah Gizzard penetasan

  0 jam

  3.76

  7.91

  0.38

  2.94

  2.82

  2.12 24 jam

  3.71

  8.03

  0.36

  2.89

  2.85

  2.07 48 jam

  3.24

  7.80

  0.20

  2.78

  2.39

  1.65 Itik yang diberikan ransum lebih awal akan meningkatkan permukaan penyerapan usus, menuju ke asimilasi nutrisi yang lebih besar dan tumbuh lebih baik. Usus halus akan berkembang lebih baik dengan adanya makanan, namun jika ransum eksogenous tidak ada maka anak itik akan berkembang dipacu dengan mengkonsumsi ransum dan enzim ini akan terus menerus disekresikan relatif konstan jika anak ayam mengkonsumsi ransum. Anak itik yang mencerna makanan maka aktifitas enzim tripsin, amilase dan lipase akan meningkat yang berkorelasi dengan peningkatan berat usus dan berat badan. Pengambilan nutrisi seperti glukosa dan metionin adalah rendah (25 – 30%) segera setelah ayam menetas. Pemberian ransum yang rendah natrium akan menurunkan pengambilan nutrisi di usus sehingga disarankan nutrisi penting diberikan di awal periode penetasan. Pankreas, hati dan usus halus berkembang cepat setelah anak ayam menetas, sehingga hal ini perlu diperhatikan. Pemberian ransum lebih awal akan merangsang perkembangan organ tersebut, meningkatkan kapasitas pencernaan dan penyerapan usus. Total aktifitas enzim pencernaan cenderung meningkat selama periode setelah bereaksi dengan adanya makanan dalam usus (Charoen Pokphand Bulletin Service, 2006).

  Pematangan Sistem Pencernaan

  Disamping kemampuan day old dulck (DOD) dalam mengatur temperatur tubuhnya pematangan yang sempurna dari saluran pencernaan adalah hal yang sama penting terhadap performance itik. Sebelum anak itik pipping (mematuk kerabang telur) pada hari ke-19 inkubasi, embrio akan mulai menarik kuning telurnya ke dalam tubuhnya dan pada akhir hari ke-20 di dalam telur, keseluruhan kuning telur telah diserap. Residu kuning telur kaya akan lemak yang penting sebagai sumber energi untuk anak itik dan selanjutnya merupakan pematangan dari semua organ menjadi sempurna dan kontrol fisiologis (Charoen Pokphand Bulletin Service, 2007).

Energi Metabolisme

  Energi berasal dari dua kata Yunani yaitu : En yang berarti dalam dan

  Ergon yang berarti kerja. Energi yang terdapat dalam bahan makanan tidak

  seluruhnya digunakan oleh tubuh. Untuk setiap bahan makanan minimal ada 4 nilai energi yaitu energi bruto (gross energy atau combustible energi), energi dapat dicerna, energi metabolisme dan energi neto (Wahju, 1997). Metabolisme merupakan keseluruhan proses perubahan kimiawi yang dikendalikan oleh enzim yang terjadi dalam sel, organ atau organisme yang bertujuan mensintesis makro molekul dalam bahan makanan untuk melaksanakan suatu fungsi tertentu dalam sel (Rifai dkk., 1990), untuk produksi energi, kemudian sebagian disimpan dan sisanya dibuang sebagai limbah kotoran (Stauffer, 1989).

  Proses pencernaan dan metabolisme di dalam tubuh ternak akan mengolah sebagian senyawa kimia yang masuk menembus dinding usus menjadi energi yang tersedia, yang kemudian akan digunakan untuk berbagai keperluan baik untuk hidup pokok, aktivitas maupun untuk menghasilkan produk (Amrullah, 2002). Gas yang dihasilkan oleh ternak unggas biasanya diabaikan sehingga energi metabolisme merupakan energi bruto bahan pakan atau ransum dikurangi dengan energi bruto feses dan urin (NRC, 1994). Banyaknya feses tergantung pada kuantitas bahan yang tidak tercerna seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin (Anggorodi, 1985).

  Penentuan kandungan energi metabolisme bahan makanan secara biologis dilakukan pertama kali oleh Hill et al. (1960). Metode Hill pada dasarnya mengukur konsumsi energi dengan energi ekskreta. Metode ini menggunakan Cr

  2 O 3 sebagai indikator. Selain itu, metode ini menampilkan prinsip penentuan

  energi metabolisme melalui substitusi glukosa dalam ransum basal yang diketahui energi metabolismenya dengan bahan yang akan diuji dalam proporsi tertentu.

  Sibbald dan Slinger (1963); Valdes dan Leeson (1992) mengembangkan metode substitusi dengan suatu rumus turunan untuk menghitung energi metabolisme bahan pakan dalam ransum perlakuan. Sibbald (1976) mengembangkan metode baru dalam menentukan energi bruto bahan pakan dengan mengukur energi bruto feses dan energi bruto endogenous. Metode ini dapat mengetahui nilai energi metabolisme murni (EMM), yaitu energi metabolisme yang sudah dikoreksi dengan energi endogenous. Akan tetapi metode ini mengandung unsur pemberian makanan secara paksa.

  Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa metode Sibbald mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya beberapa bahan pakan/ransum mungkin sulit dimasukkan secara paksa. McNab (2000) menambahkan bahwa metode ini dapat menimbulkan stres pada ternak. Akan tetapi, kelebihan dari metode Sibbald diantaranya adalah jumlah bahan makanan uji yang dibutuhkan sedikit, melibatkan sedikit analisis kimia, waktu singkat dan biaya yang murah (Farrel, 1978). Metode Farrell lebih memperhatikan kesejahteraan hewan karena tidak ada unsur pemaksaan. itik yang digunakan juga tidak memerlukan pemulihan kondisi. Melatih v untuk makan terus menerus dalam waktu satu jam dan pembuatan pellet dalam jumlah besar merupakan pembatas metode Farrell.

  Pelleting ransum juga akan mempengaruhi nilai energi metabolisme ransum tersebut (McNab, 2000).

  Menurut Sibbald (1979), energi metabolisme semu (EMS) merupakan perbedaan antara energi ransum dengan energi feses dan urin, dimana pada unggas feses dan urin bercampur menjadi satu dan disebut ekskreta. Energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) biasanya paling banyak digunakan untuk memperkirakan nilai energi metabolisme. EMSn berbeda dengan EMS karena EMSn telah dikoreksi oleh retensi nitrogen (RN) dimana RN bisa bernilai positif atau negatif. Energi metabolisme murni (EMM) merupakan EM yang dikoreksi dengan energi endogenous. Energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen (EMMn) memiliki hubungan yang sama dengan EMM seperti halnya EMSn terhadap EMS. Menurut Sibbald dan Wolynetz (1985) energi metabolisme dapat dinyatakan dengan empat peubah, yaitu EMS, EMSn, EMM dan EMMn.

  Jumlah energi yang dapat dimanfaatkan sewaktu ransum masuk ke tubuh unggas bergantung pada komposisi bahan makanan dan zat makanan dalam ransum, spesies, faktor genetis, umur unggas, juga kondisi lingkungan (Amrullah, 2003).

  Daya cerna suatu bahan pakan dipengaruhi oleh kandungan serat kasar, keseimbangan zat - zat makanan dan faktor ternak (bobot badan) yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai energi metabolisme suatu bahan pakan. Hal ini didukung oleh pernyataan Mc. Donald dkk. (1994) bahwa rendahnya daya cerna terhadap suatu bahan pakan mengakibatkan banyaknya energi yang hilang dalam bentuk ekskreta sehingga nilai energi metabolisme menjadi rendah.

  Besarnya konsumsi ransum pada berbagai umur tidak tetap. Jumlahnya bervariasi sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi atau dapat dikatakan kebutuhan energi seekor ternak selain dicerminkan dari jumlah konsumsi ransum, juga ditentukan dari pertambahan bobot badan per harinya.

  Kebutuhan energi akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan yang cepat (NRC, 1994).

  Retensi Nitrogen

  Retensi nitrogen adalah sejumlah nitrogen dalam protein ransum yang masuk ke dalam tubuh kemudian diserap dan digunakan oleh ternak (Sibbald dan Wolynetz, 1985). Retensi nitrogen itu sendiri merupakan hasil konsumsi nitrogen yang dikurangi ekskresi nitrogen dan nitrogen endogenous.

  Sibbald (1980) menyatakan bahwa nitrogen endogenous ialah nitrogen yang terkandung dalam ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan yang terdiri dari peluruhan sel mukosa usus, empedu dan peluruhan sel saluran pencernaan. Genetik, umur dan bahan pakan merupakan faktor yang mempengaruhi retensi nitrogen karena tidak semua protein yang masuk kedalam tubuh dapat diretensi (Wahju, 1997).

  Selain itu menurut NRC (1994), nilai retensi nitrogen berbeda untuk setiap jenis ternak, umur dan faktor genetik. Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen urin dan energi dibandingkan dengan ternak yang tidak meretensi nitrogen.

  Pengukuran retensi nitrogen ransum bertujuan untuk mengetahui nilai kecernaan protein ransum. Retensi nitrogen dapat bernilai positif atau negatif tergantung pada konsumsi nitrogen. Ewing (1963) menyatakan bahwa retensi nitrogen yang menurun dengan meningkatnya protein ransum mungkin disebabkan sebagian kecil digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Hal ini menunjukkan pentingnya energi yang cukup dalam ransum jika itik digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein berdasarkan keseimbangan protein. Retensi nitrogen akan negatif apabila nitrogen yang dikeluarkan melebihi konsumsi nitrogen, sebaliknya retensi nitrogen akan positif apabila nitrogen yang dikonsumsi melebihi nitrogen yang dikeluarkan melalui ekskreta (Parakkasi, 1983).