Karakteristik Penderita Spondilitis Tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010-Juni 2013

(1)

KARAKTERISTIK PENDERITA SPONDILITIS TUBERKULOSIS

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2013

TESIS MAGISTER

OLEH:

MOHAMMAD SHAHREZA

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

PERNYATAAN

KARAKTERISTIK PENDERITA SPONDILITIS TUBERKULOSIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 9 April 2015


(3)

PROFIL PENDERITA SPONDILITIS TUBERKULOSIS

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2013

ABSTRAK

Tujuan: Untuk mengetahui profil / karakteristik penderita spondilitis tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik pada kurun waktu Januari 2010 – Juni 2013.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif, dan data sekunder diambil dari rekam medis pasien dan dokumentasi pasien. Kriteria inklusi adalah semua pasien spondilitis tuberkulosis yang ditatalaksana di Departemen/SMF Orthopaedi dan Traumatologi FKUSU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Hasil: Dari penelitian ini didapatkan 66 orang penderita. Setiap variabel diolah dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi, diagram dan persentase. Dilakukan juga tabel silang untuk menganalisis dan melihat proporsi beberapa variabel.

Kesimpulan: Pada penelitian ini, dijumpai penderita berjenis kelamin laki-laki 36 orang dan perempuan 30 orang. Penderita terbanyak adalah berusia 26 – 45 tahun (kategori usia dewasa menurut Depkes RI) yakni sebanyak 46%. Indeks massa tubuh penderita yang terbanyak adalah normoweight yakni sebanyak 67%. Dari seluruh penderita, lebih banyak penderita yang tidak pernah didiagnosa TB paru sebelumnya, yakni sebanyak 8%. Semua penderita tidak pernah didiagnosa tuberkulosis ekstra paru yang lain. Keluhan utama penderita yang terbanyak adalah nyeri (53%). Level keterlibatan tulang belakang yang terbanyak adalah lumbal (39,4%). Derajat frankel yang terbanyak adalah Frankel Excellent (tidak ada defisit neurologis), yakni sebanyak 47%. Dari seluruh penderita, lebih banyak penderita yang ditatalaksana secara non-operatif (59,09%).


(4)

PROFILE OF SPINAL TUBERCULOUS PATIENT IN H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL DURING JANUARY 2010 – JUNE 2013

ABSTRACT

Purpose: To acquire profile / characteristic of spinal tuberculous patient in H. Adam Malik General Hospital during January 2010 – June 2013.

Method: The design of this study is descriptive. The secondary data was obtained from medical record and patient documentation. Inclusion criteria ia all spinal tuberculous patient that was treated by the Department of Orthopaedic and Traumatology, USU Faculty of Medicine / H. Adam Malik General Hospital.

Result: From this study, 66 patients was obtained. Each of the variable is studied and served in the form of distribution table, diagram and percentage. Cross tabulation also done to analayze and see the proportion af certain variables.

Conclusion: In this study, 36 male and 30 female patients were found.. Most of the patients is in 36-45 years of age (adult criteria according to Ministry of Health), which is 46%. Most patients has a nomoweight body mass index, which is 67%. Most of the patients has never been diagnosed with lung tuberculosis before (8%), and oll of the paients have no other extra pulmonary tuberculosis. Most of the patients complain of pain (53%). The most involved spine is the lumbar spine (39,4). Most patients has no neurological deficit (47%), and most of them was treated non-operatively (59,09%). Keyword: spinal tuberculosis, low back pain, infection, vertebrae


(5)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan pembuatan penelitian magister yang berjudul KARAKTERISITK PENDERITA SPONDILITIS TUBERKULOSIS DI RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2013.

Proposal ini merupakan rangkaian kegiatan akademis dalam rangka menyelesaikan pendidikan jenjang magister di Program Pendidikan Doketr Spesialis Ilmu Orthopaedi dan Traumatologi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para guru kami di Departemen Orthopaedi dan Traumatologi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yakni Prof. dr. Hafas Hanafiah, Sp.B, Sp.OT(K), FICS, Prof. dr. Nazar Moesbar, Sp.B, Sp.OT(K), dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT, dr. Otman Siregar, Sp.OT(K), dr. Husnul Fuad Albar, Sp.OT, dr. Pranajaya Dharma Kadar, Sp.OT, dr. Aga Shahri Putera Ketaren, Sp.OT, dan dr. Heru Rahmadhany, Sp.OT, dr. Iman Dwi Winanto, Sp.OT.

Akhirnya, penulis menghrapkan kritik, saran dan masukan terhadap hasil penelitian magister ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

I.1 Latar Belakang Masalah 1

I. 2 Rumusan Masalah 2

I.3 Tujuan Penelitian 2

I.4 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

II.1 Kerangka Teoritis 5

II.1.1 Definisi 5

II.1.2 Insidensi 5

II.1.3 Patogenesa 6

II.1.4. Gambaran Klinis 13

II.1.5. Pemeriksaan Penunjang 15

II.1.6 Penanganan 19

II.1.7 Penatalaksanaan Medis 20

II.2 Kerangka Konsepsional 23

BAB 3 METODE PENELITIAN 27

3.1 Jenis Penelitian 27

3.2. Lokasi Penelitian 27

3.3. Sasaran Penelitian 27

3.4. Pelaksanaan Penelitian 27

3.5. Populasi dan Sampel Penelitian 28

3.6. Analisis Data 28

BAB 4 HASIL PENELITIAN 29

BAB 5 PEMBAHASAN 38

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 45


(7)

Daftar Grafik

No Grafik Judul Grafik Hal.

Grafik 1 Distribusi jenis kelamin penderita spondilitis TB 28 Grafik 2 Distribusi usia penderita spondilitis TB 28 Grafik 3 Distribusi usia penderita spondilitis TB berdasarkan kategori

Departemen Kesehatan

29

Grafik 4 Distribusi jenis kelamin penderita spondilitis TB berdasarkan kelompok usia

29

Grafik 5 Distribusi indeks massa tubuh penderita spondilitis TB 30 Grafik 6 Distribusi indeks massa tubuh penderita berdasarkan usia 30 Grafik 7 Distribusi penderita berdasarkan pernah atau tidaknya

didiagnosis TB paru

31

Grafik 8 Distribusi penderita berdasarkan pernah atau tidaknya didiagnosis TB ekstra paru lainnya

31

Grafik 9 Proporsi keluhan utama penderita 32

Grafik 10 Proporsi keluhan utama penderita berdasarkan jenis kelamin 32

Grafik 11 Level Keterlibatan Tulang Belakang. 33

Grafik 12 Tabel silang antara level keterlibatan tulang belakang dengan keluhan utama pasien

33

Grafik 13 Proporsi derajat defisit neurologis penderita 34 Grafik 14 Grafik 14. Proporsi derajat defisit neurologis penderita

berdasarkan letak lesi

34

Grafik 15 Grafik 15. Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB 35 Grafik 16 Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan level

keterlibatan tulang belakang

35

Grafik 17 Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan level keterlibatan tulang belakang

36


(8)

PROFIL PENDERITA SPONDILITIS TUBERKULOSIS

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2013

ABSTRAK

Tujuan: Untuk mengetahui profil / karakteristik penderita spondilitis tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik pada kurun waktu Januari 2010 – Juni 2013.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif, dan data sekunder diambil dari rekam medis pasien dan dokumentasi pasien. Kriteria inklusi adalah semua pasien spondilitis tuberkulosis yang ditatalaksana di Departemen/SMF Orthopaedi dan Traumatologi FKUSU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Hasil: Dari penelitian ini didapatkan 66 orang penderita. Setiap variabel diolah dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi, diagram dan persentase. Dilakukan juga tabel silang untuk menganalisis dan melihat proporsi beberapa variabel.

Kesimpulan: Pada penelitian ini, dijumpai penderita berjenis kelamin laki-laki 36 orang dan perempuan 30 orang. Penderita terbanyak adalah berusia 26 – 45 tahun (kategori usia dewasa menurut Depkes RI) yakni sebanyak 46%. Indeks massa tubuh penderita yang terbanyak adalah normoweight yakni sebanyak 67%. Dari seluruh penderita, lebih banyak penderita yang tidak pernah didiagnosa TB paru sebelumnya, yakni sebanyak 8%. Semua penderita tidak pernah didiagnosa tuberkulosis ekstra paru yang lain. Keluhan utama penderita yang terbanyak adalah nyeri (53%). Level keterlibatan tulang belakang yang terbanyak adalah lumbal (39,4%). Derajat frankel yang terbanyak adalah Frankel Excellent (tidak ada defisit neurologis), yakni sebanyak 47%. Dari seluruh penderita, lebih banyak penderita yang ditatalaksana secara non-operatif (59,09%).


(9)

PROFILE OF SPINAL TUBERCULOUS PATIENT IN H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL DURING JANUARY 2010 – JUNE 2013

ABSTRACT

Purpose: To acquire profile / characteristic of spinal tuberculous patient in H. Adam Malik General Hospital during January 2010 – June 2013.

Method: The design of this study is descriptive. The secondary data was obtained from medical record and patient documentation. Inclusion criteria ia all spinal tuberculous patient that was treated by the Department of Orthopaedic and Traumatology, USU Faculty of Medicine / H. Adam Malik General Hospital.

Result: From this study, 66 patients was obtained. Each of the variable is studied and served in the form of distribution table, diagram and percentage. Cross tabulation also done to analayze and see the proportion af certain variables.

Conclusion: In this study, 36 male and 30 female patients were found.. Most of the patients is in 36-45 years of age (adult criteria according to Ministry of Health), which is 46%. Most patients has a nomoweight body mass index, which is 67%. Most of the patients has never been diagnosed with lung tuberculosis before (8%), and oll of the paients have no other extra pulmonary tuberculosis. Most of the patients complain of pain (53%). The most involved spine is the lumbar spine (39,4). Most patients has no neurological deficit (47%), and most of them was treated non-operatively (59,09%). Keyword: spinal tuberculosis, low back pain, infection, vertebrae


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat lebih dari 8 juta kasus baru tuberkulosa dan lebih kurang 3 juta orang meninggal akibat penyakit ini.1 Tuberkulosis sering dijumpai di daerah dengan penduduk yang padat, sanitasi yang buruk dan malnutrisi.2 Walaupun manifestasi tuberkulosis biasanya terbatas pada paru, penyakit ini dapat mengenai organ apapun, seperti tulang,traktus genitourinarius dan sistem saraf pusat.3

Tuberkulosa tulang dan sendi merupakan 35% dari seluruh kasus tuberkulosa ekstrapulmonal dan paling sering melibatkan tulang belakang

4

, yaitu sekitar 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang.5 Keterlibatan spinal biasanya merupakan akibat dari penyebaran hematogen dari lesi pulmonal ataupun dari infeksi pada sistem genitourinarius.

Percival Pott pertama kali menguraikan tentang tuberkulosa pada tulang belakang pada tahun 1779. Destruksi pada diskus dan korpus vertebra yang berdekatan, kolapsnya elemen spinal dan kifosis berat dan progresif kemudian dikenal sebagai Pott’s disease.

6

6

Walaupun begitu tuberkulosa spinal telah diidentifikasi pada mumi di Mesir sejak 3000 tahun sebelum masehi dengan lesi skeletal tipikal dan analisis DNA.

Spondilitis tuberkulosa memiliki distribusi di seluruh dunia dengan prevalensi yang lebih besar pada negara berkembang. Tulang belakang adalah tempat keterlibatan tulang yang paling sering, yaitu 5-15% dari seluruh pasien dengan tuberkulosis.

7

Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang dianggap paling berbahaya karena keterlibatan medula spinalis dapat menyebabkan gangguan neurologis. Daerah lumbal dan torakal merupakan daerah yang paling sering terlibat, sedangkan insidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2-3%.

8

9


(11)

Defisit neurologis pada spondilitis tuberkulosa terjadi akibat pembentukan abses dingin, jaringan granulasi, jaringan nekrotik dan sequestra dari tulang atau jaringan diskus intervertebralis, dan kadang-kadang trombosis vaskular dari arteri spinalis.

Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit kronik dan lambat berkembang dengan gejala yang telah berlangsung lama. Riwayat penyakit dan gejala klinis pasien adalah hal yang penting, namun tidak selalu dapat diandalkan untuk diagnosis dini. Nyeri adalah gejala utama yang paling sering. Gejala sistemik muncul seiring dengan perkembangan penyakit. Nyeri punggung persisten dan lokal, keterbatasan mobilitas tulang belakang, demam dan komplikasi neurologis dapat muncul saat destruksi berlanjut. Gejala lainnya menggambarkan penyakit kronis, mencakup malaise, penurunan berat badan dan fatigue. Diagnosis biasanya tidak dicurigai pada pasien tanpa bukti tuberkulosa ekstraspinal.

10

Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa meliputi pemberian obat-obatan dan juga dengan intervensi bedah. Dekompresi agresif, pemberian obat anti tuberkulosis selama 9-12 bulan dan stabilisasi tulang belakang dapat memaksimalkan terjaganya fungsi neurologis.

6,10

I.2. Rumusan Masalah 9

Dari latar belakang diatas, maka timbul permasalahan yang dapat dianalisis yaitu bagaimana gambaran karakteristik penderita spondilitis tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2010 – Juni 2013.

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum: Untuk mengetahui karakteristik penderita spondilitis tuberkulosis di RSUP Haji Adam Malik Medan.


(12)

Tujuan Khusus:

1. Mengetahui karakteristik sosiodemografi (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan) penderita

2. Mengetahui karakteristik indeks massa tubuh penderita 3. Mengetahui karakteristik riwayat penyakit tuberkulosis paru

4. Mengetahui karakteristik riwayat penyakit tuberkulosisb ekstra paru selain spondilitis tuberkulosis

5. Mengetahui karakteristik keluhan utama penderita 6. Mengetahui karakteristik lokasi infeksi penderita 7. Mengetahui karakteristik defisit neuorologis penderita 8. Mengetahui karakteristik tatalaksana penderita

I.4. Manfaat Penelitian

I.4.1. Manfaat Teoritik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai spondilitis tuberkulosis, sehingga dapat menyadari pentingnya penanganan awal pada kasus spondilitis tuberkulosis.

I.4.2. Manfaat Praktik Langsung

Dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui insidensi dari spondilitis tuberkulosis ditinjau dari gambaran epidemiologisnya sehingga didapatkan data yang jelas dari kasus spondilitis tuberkulosis, dan juga sebagai bahan masukan dalam hal perencanaan dan penanggulangan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian spondilitis tuberkulosis.


(13)

I.4.3. Manfaat Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan proses untuk menyelesaikan program studi, selain itu hal ini juga dapat menambah wawasan bagi penulis dalam rangka penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh.


(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Kerangka Teoritis

II.1.1. Definisi

Spondilitis tuberkulosa adalah suatu peradangan tulang vertebra yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosa. 11

II.1.2. Insidensi

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi masalah utama.

Berdasarkan data surveilans dan survei, WHO memperkirakan terdapat 9.27 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2007 (139 per 100.000 populasi). Dari 9.27 kasus baru ini, diperkirakan 44% atau 4.1 juta (61 per 100.000 populasi) adalah kasus baru dengan smear-positif. India, China, Indonesia, Nigeria dan Afrika Selatan menduduki peringkat pertama hingga kelima dalam hal jumlah total insiden kasus. Menurut laporan WHO tahun 2009, insidensi tuberkulosa di Indonesia pada tahun 2007 adalah 528.000 kasus atau 228 per 100.000 populasi per tahun. Dari jumlah ini, 236.000 merupakan kasus dengan smear positif atau 102 per 100.000. Prevalensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2007adalah 566.000 atau 244 per 100.000 populasi per tahun.

13

Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus

14

13

, dan lebih kurang 50% kasus tuberkulosa tulang adalah spondilitis tuberkulosa.10 Lebih kurang 45% pasien dengan keterlibatan spinal


(15)

mengalami defisit neurologis.6 Tulang belakang adalah daerah yang paling sering terlibat, yaitu 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang, 15% dari kasus tuberkulosa ekstrapulmonal dan 3-5% dari seluruh kasus tuberkulosa.

Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, namun tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang, diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena.

15

13

Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat

9,13

karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu diikuti dengan area servikal dan sakral.13 Insidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2-3%.9 Pada penelitian oleh Androniku, et al (2002), terhadap 42 pasien spondilitis tuberkulosa, destruksi korpus vertebra paling sering melibatkan vertebra torakalis (83%), diikuti vertebra lumbal (23%) dan vertebra servikal (13%).

II.1.3. Patogenesa

8

Tuberkulosis biasanya memiliki pola seperti yang diuraikan oleh Wallgreen, yang membagi perkembangan dan resolusi penyakit menjadi 4 tahap. Tahap pertama, yang berlangsung dari 3 hingga 8 minggu setelah Mt yang terhirup tertahan di alveoli, bakteri tersebar melalui sirkulasi limfatik ke kelenjar limfe regional di paru, membentuk apa yang disebut sebagai kompleks Ghon atau kompleks primer. Pada saat ini, terdapat konversi reaktivitas tuberkulin.12

Individu dengan tuberkulosa paru aktif mengeluarkan droplet yang mengandung basil tuberkul yang dapat dihirup oleh individu lain (gambar 1). Jika droplet ini memasuki ruang alveolar, sel dendritik paru dan makrofag akan menangkap mikroorganisme. Beberapa makrofag yang terinfeksi akan tetap pada jaringan paru, sedangkan beberapa sel dendritik yang terinfeksi akan bermigrasi ke kel limfe. Sel T di


(16)

kelenjar limfe akan teraktivasi dan bermigrasi untuk mengenali fokus mycobacteria di paru. Lesi granulomatosa terbentuk dan mengandung bakteri, mencegah perkembangan penyakit. Pada pasien dengan imunokompeten, infeksi berhenti pada tahap ini. Walapun begitu, kontrol infeksi tidak lengkap dan patogen tidak dimusnahkan, sehingga terdapat risiko reaktivasi, bahkan bertahun-tahun setelah infeksi.19

Gambar 1. Infeksi, perjalanan penyakit dan mekanisme imun pada tuberkulosis

Dikutip dari : Kaufmann S H. New Issue in tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2004 ;63(Suppl II) : ii50-ii56)

Tahap kedua, berlangsung selama 3 bulan, ditandai oleh penyebaran bakteri secara hematogen ke berbagai organ; pada saat ini pada beberapa individu, dapat terjadi penyakit akut dan kadang-kadang fatal, dalam bentuk meningitis tuberkulosa atau tuberkulosa milier. Inflamasi pada pleura dapat terjadi pada tahap ketiga, yang berlangsung 3 hingga 7 bulan dan menyebabkan nyeri dada berat, namun tahap ini dapat berlangsung hingga 2 tahun. Tahap akhir atau resolusi kompleks primer, dimana penyakit ini tidak berkembang, dapat berlangsung hingga 3 tahun. Pada tahap ini, lesi ekstrapulmonal yang lebih perlahan berkembang, misalnya pada tulang dan sendi, yang sering muncul sebagai nyeri punggung kronik dapat terjadi pada beberapa individu. 12,20


(17)

Spondilitis tuberkulosa biasanya terjadi akibat penyebaran hematogen atau penyebaran langsung dari nodus limfatikus paraorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus infeksi tuberkulosa ekstraspinal.13,21 Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.

Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri interkostalis atau lumbal yang memberikan suplai darah ke dua vertebra yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra di atasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena.

13

Lesi mendasar pada spondilitis tuberkulosa adalah kombinasi dari osteomielitis dan artritis yang biasanya melibatkan lebih dari satu vertebra. Aspek anterior dari corpus vertebra yang berdekatan dengan subchondral plate biasanya terkena. Tuberkulosa dapat menyebar dari daerah tersebut ke diskus intervertebralis di dekatnya. Pada orang dewasa, penyakit pada diskus terjadi sekunder akibat penyebaran infeksi dari korpus vertebra. Pada anak-anak, karena vaskularisasinya, diskus dapat merupakan tempat infeksi primer.

13,22

Seperti yang diuraikan sebelumnya, penyebaran basil tuberkulosa secara hematogen merupakan hal utama dalam patogenesis spondilitis tuberkulosa. Keterlibatan langsung dari suatu tempat paraspinal yang berdekatan jarang dijumpai. Penyebaran vena retrograde melalui pleksus Batson’s, yang berjalan secara subchondral pada korpus vertebra dan mengalirkan darah pada vena basivertebral di tengah korpus vertebra, telah diusulkan, namun tampaknya kurang diterima. Hal yang lebih umum diterima adalah bahwa penyebaran hematogen terjadi melalui jalur arteri. Pada orang dewasa, korpus vertebra memiliki suplai arteri anterior dan posterior. Di anterior, arteri lumbal, interkostal atau vertebra yang berdekatan bercabang menjadi sepasang arteri segmental yang menembus ke korteks vertebra tanpa arteriol anostomose. Di posterior, arteri spinal bercabang pada tiap foramen intervertebral dan membentuk jaringan anastomotik kraniokaudal dengan level yang berdekatan. (gambar 2a). Arteri nutrien, yang mensuplai vertebra, bercabang menjadi end arterioles yang berakhir ke aspek anterior dari vertebral end plates. Mycobacteria dapat terperangkap (tertahan) di arteriol ini. (gambar 2b). Perluasan lebih lanjut dari infeksi akan


(18)

mengganggu korteks dan menyebar ke celah diskus yang berdekatan (gambar 2c). Ini menyebabkan sedikit penyempitan celah diskus, namun sangat minimal jika dibandingkan dengan penyempitan diskus pada spondilitis piogenik. Seiring dengan perkembangan infeksi, bagian lateral dan anterior dari korpus vertebra dapat hancur dan menyebabkan kolaps angular. Penyebaran subligamentosa lebih lanjut di bawah ligamen longitudinalis anterior menyebabkan perluasan kraniokaudal dari infeksi ke multipel korpus vertebra yang berdekatan, dengan ciri destruksi tulang anterior.5

Gambar 2. Patogenesis Spondilitis Tuberkulosa

Dikutip dari : Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.

Terjadinya nekrosis perkijauan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avaskular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Diskus intervertebralis yang avaskular relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga


(19)

diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus,sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya end arteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.

Bersamaan dengan perubahan pada tulang, terdapat infeksi jaringan lunak dengan pembentukan abses ’dingin’ paravertebral dan/atau keterlibatan epidural. Abses paraspinal dapat menjadi sangat besar sehingga menekan struktur sekitarnya.

13

5

Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang nekrotik akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinalis anterior.13 Pada kasus infeksi servikalis atas, abses paravertebral dapat terlihat sebagai abses retrofaring.5


(20)

Gambar 3. Penyebaran basil tuberkel pada vertebra

McLain RF, Isada C. Spinal Tuberculosis Deserves A Place On The Radar Screen. Cleveland Clinic Journal of Medicine.2004; 71:537-49.

Infeksi Bakteri dan Patologi Tulang

Sejumlah bakteri, termasuk Mt, tampaknya terlibat dalam patologi tulang. Terdapat tiga kemungkinan bagaimana bakteri menyebabkan hilangnya tulang yang patologis yaitu : (1) bakteri secara langsung menghancurkan komponen nonseluler tulang dengan membebaskan asam dan protease; (2) bakteri menyebabkan proses seluler yang menstimulasi degradasi tulang, atau (3) bakteri menghambat sintesis matriks tulang (gambar 4).23

Gambar 4. Komponen Bakteri dan Patologi Tulang

Nair S P, Meghi S, Wilson M, et al. Bacterially induced bone destruction : mechanisms and misconceptions. Infection and Immunity. 1997 ; 64 (7) : 2371-2380.

Tidak diketahui secara pasti bagaimana infeksi Mt pada tulang menyebabkan penghancuran tulang. Tulang yang sehat dipertahankan oleh keseimbangan dinamis antara sel osteoblast yang membentuk matriks tulang dan sel osteoclast yang meresoprsi tulang. Infeksi


(21)

Mt pada tulang belakang tampaknya mengubah keseimbangan dinamis ini, menyebabkan hilangnya matriks ekstraseluler dari tulang vertebra dan kolaps vertebra. 24

Sekarang telah diketahui bahwa bakteri yang terlibat dalam penyakit tulang mengandung atau memproduksi molekul dengan efek poten terhadap sel tulang. Salah satu dari molekul ini adalah chaperonin, yang merupakan subgrup chaperones.

24

Chaperones atau protein stres atau heat-shock protein adalah protein yang disintesis sebagai respon terhadap stres. Chaperone terlibat dalam berbagai fungsi seluler esensial, seperti metabolisme, pertumbuhan, diferensiasi dan kematian sel terprogram, dan mempengaruhi aktivasi enzim dan reseptor. Salah satu subgrup chaperone, yaitu chaperonin , kini banyak menjadi fokus perhatian. Chaperonin terdiri dari dua kelompok protein, yaitu chaperonin 60 (cpn60) dan chaperonin 10 (cpn10).

Bukti menunjukkan bahwa molekul chaperone memiliki aksi biologis selain aktivitas untuk protein-folding intraseluler.

25

24

Aktivitas yang sangat poten dari cpn60 adalah resorpsi tulang. Hilangnya tulang adalah faktor kunci pada penyakit spondilitis tuberkulosa.25 Chaperonin60 adalah faktor osteolitik yang aktif. Telah dilaporkan bahwa cpn60 tertentu juga dapat menstimulasi sintesis sitokin. Penelitian terkini menunjukkan bahwa kerja dari cpn60 pada tulang mungkin disebabkan oleh aktivasi langsung osteoklas dan perekrutan osteoklas.

Dalam suatu studi ditemukan bahwa aktivitas resorpsi tulang dari Mt disebabkan oleh cpn10 yang sama aktifnya dengan sitokin osteolitik yang paling poten, interleukin-1. Chaperonin 10 dari Mt juga menghambat proliferasi dari osteoblas yang dikultur.

23

24

Selain menstimulasi penghancuran tulang secara in vitro dan pada kultur sel, cpn10 Mt juga menginduksi monosit secara invitro untuk mensintesa dan mensekresi sitokin pro-inflamasi.25 Cpn10 dipostulasikan sebagai komponen utama yang bertanggung jawab terhadap resorpsi tulang pada spondilitis tuberkulosa.

Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dan timbul deformitas berbentuk kifosis (angulasi posterior) yang progresifitasnya tergantung dari derajat kerusakan,level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.

26

Deformitas kifosis disebabkan kolaps pada vertebra anterior. Suatu abses dingin dapat terbentuk jika infeksi meluas ke ligamen dan jaringan lunak di dekatnya.

13

21 Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area


(22)

lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar dari berat badan akan ditransmisikan ke posterior sehingga terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal.

Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa.Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang (kifosis) atau pada kanalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan tulang. Kanalis spinalis dapat menyempit oleh abses, jaringan granulasi atau invasi dura secara langsung, menyebabkan kompresi medula spinalis dan defisit neurologis.

13,21

Fakta bahwa defisit neurologis sering dijumpai pada daerah servikal dapat dijelaskan oleh diameter melintang kanalis spinalis yang relatif kecil terhadap diameter medula spinalis servikalis. Gejala neurologis dapat disebabkan oleh satu atau lebih penjelasan berikut : subluksasi vertebra, penekanan medula spinalis oleh tulang, diskus atau abses, respon inflamasi lokal dan vaskulitis tuberkulosa.

13,27,28

9

II.1.4. Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari spondilitis tuberkulosa sangat bervariasi. Tipe dan intensitas gejala bergantung pada level keterlibatan spinal, keparahan penyakit dan durasi infeksi.6 Pasien biasanya muncul dengan kombinasi dari manifestasi sistemik seperti penurunan berat badan, demam, fatigue dan malaise dan nyeri punggung.1,6 Rasa nyeri bervariasi dari ringan dan menetap hingga berat dan berhubungan dengan aktivitas. Nyeri biasanya terlokalisir pada tempat yang terlibat dan paling sering dijumpai pada vertebra torakalis. Nyeri dapat bersifat konstan dan ringan, menggambarkan destruksi progresif dari celah diskus dan elemen vertebra yang terlibat, atau dapat juga berat dan secara langsung berhubungan dengan pergerakan spinal dan weight-bearing, yang disebabkan oleh disrupsi diskus lebih lanjut dan instabilitas spinal, kompresi akar saraf atau fraktur patologis.

Abses dalam kanalis spinalis dapat menekan medula spinalis, dan gejala neurologis dapat muncul dengan cepat. Bergantung pada level keterlibatan,abses spinal dapat menyebabkan gejala penekanan akar saraf, menyerupai herniasi diskus atau dapat


(23)

menyebabkan kompresi medula spinalis yang progresif menyebabkan paraplegia atau tetraplegia jika tidak ditangani.

Gejala neurologis dari keterlibatan spinal tampak tidak jelas pada awalnya, namun akan berkembang seiring waktu. Level keterlibatan medula spinalis menentukan level gangguan. Jika tuberkulosis servikal berkembang dan menyebabkan kompresi medula spinalis atau akar saraf, tanda-tanda awal adalah kelemahan, nyeri, dan kebas pada ekstremitas atas dan bawah. Deformitas atau abses progresif kemudian akan meningkatkan tekanan pada medula spinalis, dan gejala akhirnya berkembang menjadi tetraplegi.

6

Spondilitis tuberkulosa servikalis merupakan gambaran yang jarang dijumpai, namun lebih serius karena komplikasi neurologis yang serius lebih cenderung terjadi. Kondisi ini dicirikan dengan nyeri dan kaku pada leher. Pasien dengan lesi yang melibatkan vertebra servikal bawah dapat mengalami disfagi atau stridor. Gejala dapat mencakup tortikolis, suara parau dan defisit neurologis.

6

Hampir semua pasien dengan spondilitis tuberkulosa menunjukkan berbagai derajat deformitas vertebra (kifosis). Defisit neurologis dapat terjadi pada awal perjalanan penyakit, yang bergantung pada level kompresi medula spinalis. Spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis atas dapat menyebabkan gejala yang berkembang cepat. Abses retrofaring dijumpai pada hampir semua kasus. Manifestasi neurologis terjadi pada awal penyakit dan bervariasi dari kelumpuhan saraf tunggal hingga hemiparese atau tetraparese.

21

21

Banyak penderita spondilitis tuberkulosa (62-90% pasien pada suatu studi) tidak menunjukkan bukti adanya tuberkulosis ekstraspinal, yang menyulitkan diagnosis yang segera.

II.1.5. Pemeriksaan Penunjang

21

Diagnosis spondilitis tuberkulosa harus dijajaki jika terdapat kecurigaan klinis, bahkan jika tidak dijumpai gambaran radiologi paru yang mendukung. Spondilitis tuberkulosa juga harus selalu diduga jika gambaran radiologis menunjukkan proses destruksi vertebra.21

Algoritma diagnostik untuk infeksi tulang belakang dapat dilihat pada gambar 5. Terlepas dari agen penyebabnya, gejala klinis yang paling sering adalah nyeri punggung dan spasme otot para vertebral. 29


(24)

Gambar 5. Algoritma Diagnostik Infeksi Tulang Belakang

Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008 ; 20 (4) : 471-479.

Dapat dijumpai peningkatan laju endap darah (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam. Pemeriksaan apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.

Foto polos anterior-posterior dan lateral merupakan pemeriksaan imejing awal yang dilakukan pada tiap pasien dengan nyeri punggung kronis dan progresif. Pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa, gambaran radiologis bergantung pada luas dan durasi infeksi. Gambaran radiologis awal dapat terlihat normal pada penyakit tuberkulosis, namun seiring perjalanan waktu, penyempitan celah diskus dan reaksi end-plate dapat menjadi gambaran yang menonjol.

13

Foto polos harus dievaluasi untuk destruksi tulang, sklerosis tulang, disrupsi end-plate,destruksi pedikel, diskus intervertebralis dan jaringan lunak paravertebral.

6

28

Gambaran radiologis yang mendukung diagnosis tuberkulosis mencakup keterlibatan banyak level, relatif tidak terkenanya diskus intervertebralis, abses paravertebral yang besar, dan penyebaran subligamentosa.2


(25)

Gambar 6. Foto Polos Vertebra pada Spondilitis Tuberkulosa

Dikutip dari : Harisinghani M G, McLoud T C, Shepard J, et al. Tuberculosis from Head to Toe. Radiographics. 2000 ; 20 : 449-470

Destruksi endplate dan destruksi korpus vertebra adalah dua tanda yang paling bermanfaat pada foto polos untuk mendiagnosa spondilitis tuberkulosa dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (>79%). Adanya jaringan lunak paravertertebral dan destruksi pedikel memiliki spesifisitas yang tinggi namun sensitifitas yang rendah, sedangkan penyempitan diskus memiliki sensitifitas yang tinggi namun spesifisitas yang rendah. Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas dari foto polos adalah 82.8% dan 83.9% secara berurutan. (tabel 1)


(26)

Tabel 1. Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran Foto Polos Vertebra Pada Spondilitis Tuberkulosa

Dikutip dari : Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589

Pada foto polos, temuan dini yang paling sering adalah penyempitan diskus dan osteolisis vertebra. Kemudian diikuti dengan bayangan paravertebra, kolaps vertebra dan angulasi vertebra pada kasus lanjut. Abnormalitas ini mungkin tidak dijumpai pada foto polos hingga 8 minggu.

Kalsifikasi di sekitar paraspinal paling baik terlihat dengan CT Scan, yang juga paling baik untuk menunjukkan sejumlah fragmen tulang kecil yang mungkin masih berada di daerah tulang yang rusak. CT scan juga paling baik menunjukkan perluasan anatomis dari destruksi tulang, terutama elemen posterior dan juga membantu untuk mengklarifikasi apakah gangguan pada kanalis spinalis disebabkan oleh keterlibatan jaringan lunak atau tulang.

28,30

Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas pilihan untuk evaluasi adanya infeksi tulang belakang.

30

31

Magnetic resonance imaging adalah metode investigasi pilihan untuk diagnosis spondilitis karena berbagai keuntungannya, mencakup sensitifitas yang tinggi pada tahap awal, gambaran epidural dan paravertebral yang lebih jelas, keterlibatan medula spinalis dan kemungkinan untuk membedakan infeksi tuberkulosa dari yang lain.

Mycobacterium tuberculosis membentuk tuberkel dengan nekrosis central caseating yang menunjukkan intensitas sinyal intermediat pada gambaran T2-weighted. Spondilitis tuberkulosa menunjukkan derajat edema marrow yang kurang luas dibandingkan spondilitis piogenik.

28

Pada MRI, berbagai gambaran yang perlu dievaluasi adalah intensitas sinyal dari vertebra dan diskus intervertebralis yang terlibat pada T1W, T2W dan gambaran


(27)

contrast-enhanced, destruksi korpus vertebra dan vertebral end plate, luasnya keterlibatan korpus vertebra, massa jaringan lunak paraspinal atau pembentukan abses, derajat gangguan kanalis spinalis dengan atau tanpa kompresi akar saraf atau medula spinalis dan alignment vertebra.

Penelitian oleh Kotze dkk (2006) terhadap gambaran MRI 23 pasien spondilitis tuberkulosa yang telah dikonfirmasi secara histologis dan menemukan gambaran sebagai berikut : pembentukan abses paravertebral yang melibatkan banyak level, penyebaran subligamentosa ke berbagai level, hiperintensitas pada vertebra yang terkena pada gambaran T2 dan hipointensitas vertebra yang terkena pada gambaran T1.

28

Perubahan radiologis tipikal adalah perubahan pada dua korpus vertebra yang berdekatan dengan destruksi diskus intervertebralis dan adanya abses paravertebral. Gambaran MRI dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (>80%) adalah disrupsi endplate

(100%,81.4%), jaringan lunak paravertebral (96.8%, 85.3%) dan intensitas sinyal tinggi pada diskus intervertebralis pada T2W (80.6%, 82.4%). Tanda pada MRI dengan sensitifitas tinggi namun spesifisitas rendah adalah edema bone marrow (90.3%, 76.5%), bone marrow enhancement (100%, 42.5%), keterlibatan elemen posterior (93.5%, 76.5%), stenosis kanalis (87.1%, 26.5%) dan kompresi medula spinalis atau akar saraf 980.6%, 38.2%). Gambaran MRI dengan sensitifitas yang rendah namun spesifisitas tinggi adalah enhancement diskus intervertebralis (63.3%, 84.2%), kolaps vertebra (58.1%, 85.3%), dan deformitas kifosis (67.7%, 82.4%). Detail sensitifitas dan spesifisitas tiap gambaran MRI terlihat pada tabel 2. Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas MRI untuk spondilitis tuberkulosa adalah 100% dan 88.2% secara berturut-turut.

27

28

Tabel 2. Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran MRI pada Spondilitis Tuberkulosa

Dikutip dari : Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589


(28)

Gambar 7. Gambaran MRI Spondilitis Tuberkulosa

Dikutip dari :Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.

Jika terdapat kecurigaan klinis terhadap adanya suatu spondilitis tuberkulosa dan gambaran radiologis menunjukkan lesi destruktif yang membutuhkan terapi bedah, maka debridement lesi akan menyediakan materi yang cukup banyak untuk kultur dan diagnosis. Namun, jika ditemukan pada awal perjalanan penyakit, mungkin tidak ada indikasi untuk intervensi bedah. Untuk kasus ini, biopsi jarum yang diarahkan dengan CT atau MRI dapat memberikan material diagnostik. Dengan arahan imejing, jarum halus dapat ditujukan ke rongga abses melalui dinding otot posterior. Jika didapatkan cairan abses, cairan ini dapat ditarik melalui jarum halus tanpa kesulitan. Jika dijumpai jaringan granulasi, mungkin diperlukan suatu trocar untuk memperoleh spesimen jaringan.

II.I.6. Penanganan Spondilitis tuberkulosis 6

Pada pasien dengan infeksi spinal, tujuan terapi adalah untuk menghilangkan penyakit dan untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal.6 Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversi; beberapa penulis menganjurkan pemberian obat-obatan saja sedangkan yang lain merekomendasikan pemberian obat-obatan dengan intervensi bedah. Penatalaksanaan optimal spondilitis tuberkulosa bersifat individual pada tiap kasus. Strategi manajemen optimal bergantung


(29)

pada luas dan lokasi destruksi tulang, adanya deformitas spinal dan instabilitas, dan keparahan gangguan neurologis.9 Dekompresi agresif, pemberian obat antituberkulosa selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi neurologis.9

II.1.7. Penatalaksanaan Medis/Konservatif 1. Pemberian Nutrisi yang Bergizi

2. Istirahat dan Immobilisasi 13

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakang dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sampai dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. 13 Immobilisasi leher dapat dilakukan dengan menggunakan cervical brace selama 6-18 bulan.20

3. Pemberian Obat Anti Tuberkulosa

Pemberian obat-obatan tetap menjadi prinsip utama penatalaksanaan pada individu dengan tuberkulosis. Awalnya dianggap bahwa tuberkulosa skeletal memerlukan penatalaksanaan selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang buruk dari obat antituberkulosis ke struktur tulang; walaupun begitu terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa tuberkulosa skeletal dapat diterapi dengan pemberian obat yang lebih singkat. Untuk infeksi spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British and American Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan. Respon pengobatan dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan nyeri punggung, dan kembalinya defisit neurologis,jika ada. Jika pasien tidak menunjukkan respon terhadap terapi, pengobatan harus diperpanjang hingga 9-12 bulan. Terapi untuk individu yang sensitif terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial atau intensif selama 2 bulan dengan 4 jenis obat, yaitu isoniazid (H) (5mg/kgBB/hari 10 mg/kgBB/hari hingga 300 mg/hari) , rifampicin (R) (10 mg/kgBB/hari hingga 600 mg/hari), pyrazinamide (Z) (15-30


(30)

mg/kgBB/hari) dan etambutol (E) (15-25 mg/kgBB/hari) , diikuti dengan fase lanjutan 4-7 bulan, dengan isoniazid dan rifampicin.

Menurut The Medical Research Council, terapi pilihan untuk spondilitis tuberkulosa di negara yang sedang berkembang adalah isoniazid dan rifampicin selama 6-9 bulan.

13,15,21

13

Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, lama pengobatan untuk tuberkulosa tulang adalah 9-12 bulan, dengan panduan OAT yang diberikan adalah 2 RHZE/ 7-10 RH. 18

II.1.8. Penatalaksanaan Bedah

Intervensi bedah diperlukan pada kasus lanjut dengan destruksi tulang ekstensif, pembentukan abses atau gangguan neurologis. Tujuan pembedahan adalah untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal. Pembedahan juga memfasilitasi kemoterapi yang sukses, karena kavitas abses menimbulkan lingkungan yang melindungi basil dari antibiotik sistemik. Ketika diperlukan pembedahan, hasilnya paling baik jika dilakukan pada awal proses penyakit, sebelum terbentuk fibrosis dan jaringan parut. Selanjutnya,pembentukan jaringan parut yang padat menyebabkan perlekatan ke pembuluh darah besar atau struktur vital, menyebabkan diseksi dan paparan pembedahan menjadi berbahaya. Respon klinis terhadap pembedahan juga lebih cepat dan lebih lengkap pada pasien dengan penyakit aktif jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kronis dan deformitas.

Indikasi untuk pembedahan pada spondilitis tuberkulosa secara umum mencakup defisit neurologis (perburukan neurologis akut, paraparesis), deformitas spinal dengan instabilitas atau nyeri, tidak menunjukkan respon terhadap terapi medis (kifosis atau instabilitas yang terus berlanjut), abses paraspinal yang besar, biopsi diagnsotik.

6,36

Indikasi pembedahan mencakup faktor klinis (keterlibatan saraf, paraplegia, dan abses retrofaring besar yang menyebabkan gangguan ventilasi atau menelan), faktor pengobatan (defisit persisten atau progresif saat pemberian terapu konservatif yang sesuai, faktor imejing yaitu keterlibatan panvertebral (skoliosis atau kifosis berat pada foto polos,destruksi global pada CT atau MRI) atau kompresi ekstradural (kompresi


(31)

medula spinalis akibat jaringan granulasi pada MRI) dan faktor pasien (spasme yang menyakitkan atau kompresi akar saraf).

Keterlibatan vertebra servikalis cukup jarang dan pasien biasanya menunjukkan gejala nyeri, kaku dan tortikolis. Abses yang besar dapat menyebabkan suara serak, stridor dan disfagia. Indikasi untuk pembedahan adalah jika abses menyebabkan disfagia, stridor, atau kesulitan bernafas.

2

2

Pada spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis, faktor yang membenarkan intervensi bedah dini adalah defisit neurologis dengan frekuensi dan keparahan yang berat, kompresi abses yang berat yang menyebabkan disfagi atau asfiksia, instabilitas vertebra servikalis.

Dengan indikasi yang tepat, tindakan bedah lebih unggul dalam mencegah perburukan neurologis, mempertahankan stabilitas, pemulihan dan mobilisasi segera. Oguz et al (2008) menerapkan suatu sistem klasifikasi untuk panduan terapi dan membagi spondilitis tuberkulosa menjadi tiga tipe. (table 6)

21

37

Tabel 6. Klasifikasi Spondilitis Tuberkulosa Dikutip dari : Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M,et al. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics. 2008 ; 32 : 127-133.


(32)

II.2. Kerangka Konsepsional

Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Definisi Operasional

1. Penderita Spondilitis Tuberkulosis

Adalah semua pasien yang berobat di departemen/SMF Orthopaedi dan Traumatologi RSUP H.Adam Malik, baik di poliklinik maupun rawat inap, pada periode Januari 2010- Juni 2013 yang didiagnosis menderita Spondilitis tuberkulosis

2. Jenis kelamin

Jenis kelamin dikelompokkan menjadi skala ordinal, yaitu pria atau wanita

Penderita

Spondilitis

Karakteristik:

-

Jenis kelamin

-

Usia

-

Indeks massa tubuh

-

Riwayat penyakit TB paru

-

Riwayat penyakit TB ekstra

paru selain spondilitis TB

-

Keluhan utama

-

Lokasi infeksi

-

Defisit neurologis


(33)

3. Usia

Usia adalah usia responden penelitian saat pertama kali didiagnosis dengan Spondilitis Tuberkulosis. Usia dikelompokkan dalam skala nominal, berdasarkan kriteria Depkes, yaitu:

a. Balita (0-5 tahun)

b. Kanak-kanak (5-11 tahun) c. Remaja (12-25 tahun) d. Dewasa (26-45 tahun) e. Lansia (46-65 tahun)

4. Indeks massa tubuh

Indeks massa tubuh adala perbandingan antara berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan m2

Besarnya nilai IMT dikelompokkan ke dalam skala nominal, yaitu:

. Data berat badan dan tinggi badan yang diambil adalah data saat pertama kali pasien didiagnosis menderita spondilitis tuberkulosis.

a. Underweight (IMT < 18,5)

b. Normoweight (IMT antara 18,5 – 22,9) c. Overweight (IMT antara 23 – 24,9)

d. Obesitas (IMT lebih dari atau sama dengan 25)

5. Riwayat penyakit TB paru

Riwayat penyakit TB paru adalah parameter yang menjelaskan apakah responden pernah atau sedang menderita TB paru atau tidak. Diagnosis TB paru dapat saja ditegakkan secara klinis, pemeriksaan sputum ataupun radiologis, selama ditegakkan oleh dokter atau dokter spesialis.

Riwayat penyakit TB paru dikelompokkan dalam skala nominal, yaitu: a. Pernah atau sedang didiagnosis TB paru


(34)

6. Riwayat penyakit TB ekstra paru selain spondilitis TB

Riwayat penyakit TB ekstra adalah parameter yang menjelaskan apakah responden juga pernah atau sedang menderita infeksi TB di tempat lain selain di paru dan tulang belakang. Dalam hal ini, infeksi TB dapat berupa pleuritis TB, limfadenitis TB, meningitis TB, laringitis TB, kolitis TB, atau infeksi TB di tempat manapun selain paru dan tulang belakang, selama diagnosis ditegakkan oleh dokter atau dokter spesialis.

Riwayat penyakit TB ekstra paru selain spondilitis TB dikelompokkan dalam skala nominal, yaitu:

a. Pernah atau sedang didiagnosis TB ekstra paru selain spondilitis TB b. Tidak pernah didiagnosis TB ekstraparu selain spondilitis TB

7. Keluhan utama

K eluhan utama adalah keluhan yang dirasakan paling mengganggu hingga membuat pasien datang berobat. Keluhan utama dikelompokkan ke dalam skala ordinal, yatu:

a. Nyeri pinggang

b. Benjolan di tulang belakang c. Abses atau fistel

d. Deformitas

8. Lokasi infeksi

Lokasi infeksi adalah bagian dari vertebra yang mengalami infeksi tuberkulosis. Lokasi infeksi dikelompokkan ke dalam skala ordinal, yaitu:

a. Cervical (C1 – C8) b. Thorakal (Th1 – Th12) c. Lumbal (L1 – L5) d. Sakral (S1 – S5)


(35)

Defisit neurologis adalah paramaeter yang menjelaskan apakah pasien menunjukkan kelainan pada fungsi neurologis baik defisit sensorik (kebas, mati rasa), defisit motorik (kelumpuhan), defisit autonom (inkontinensia, retensio, anhidrosis), atau ketiganya.

Defisit neurologis dikelompokkan ke dalam skala nominal, yaitu: a. Ada defisit neurologis

b. Tidak ada defisit neurologis

10.Tatalaksana

Tata laksana adalah jenis penatalaksanaan yang diberikan pada pasien, baik berupa tatalaksana operatif (apapun metode operasinya), ataupun non operatif, yaitu hanya mengonsumsi obat anti tuberkulosis saja.

Tatalaksana dikelompokkan ke dalam skala ordinal, yaitu: a. Tatalaksana operatif

b. Tatalaksana non-operatif


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan desain cross sectional (potong lintang). Dengan satu kali pengamatan, melalui telaah rekam medik, akan didapatkan data karakterisitik penderita spondilitis tuberkulosis pada penderita yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan data pada rekam medis penderita yang di diagnosa dengan osteomielitis kronik yang berobat pada rentang waktu Januari 2010 – Juni 2013.

3.3. Sasaran Penelitian

Pasien yang melakukan pengobatan baik berupa rawat jalan di poliklinik Orthopaedi maupun pasien yang rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan pada rentang waktu Januari 2010 – Juni 2013.

3.4. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan pada penderita yang datang berobat di RSUP Haji Adam Malik medan dan diagnosis dengan Spondilitis Tuberkulosis pada rentang periode waktu Januari 2010 – Juni 2013 yang datanya diambil melalui telaah rekam medis.


(37)

Populasi terjangkau dalam peneitian ini adalah semua penderita yang pernah berobat di bagian Orthopedi RSUP H. Adam Malik Medan baik berobat jalan ke poliklinik maupun rawat inap dari periode Januari 2010-Juni 2013.

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya. Sampel pada penelitian ini dipilih dengan menggunakan metode total sampling. Pada teknik ini semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihian dimasukkan menjadi sampel penelitian.

Adapun kriteria inklusi dalam pemilihan sampel diantaranya:

(1) Rekam medis dari penderita yang didiagnosis dengan spondilitis tuberkulosis (2) Rekam medis yang datanya diisi dengan lengkap

3.6. Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan statistik deskriptif yang terkomputerisasi dari data sekunder hasil telaah rekam medis. Selanjutnya analisis dan pembahasan data dijabarkan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi dan narasi.


(38)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan metode yang diuraikan pada Bab 3, peneliti berhasil mendapatkan data 66 pasien yang termasuk ke dalam kriteria inklusi. Adapun karakteristik pasien sebagai berikut.

4.1 Karakteristik Jenis Kelamin

Grafik 1. Distribusi jenis kelamin penderita spondilitis TB

4.2 Karakteristik Usia 4.2.1 Distribusi usia

55% 45%

Laki-Laki (n=36) Perempuan (n=30)


(39)

Grafik 2. Distribusi usia penderita spondilitis TB 4.2.2 Distribusi usia berdasarkan kategori Departemen Kesehatan

Grafik 3. Distribusi usia penderita spondilitis TB berdasarkan kategori Departemen Kesehatan

4.2.3 Distribusi jenis kelamin berdasarkan usia

Grafik 4. Distribusi jenis kelamin penderita spondilitis TB berdasarkan kelompok usia

12% 6%

18% 52%

12%

Balita (n=8) Kanak-Kanak (n=4) Remaja (n=12) Dewasa (n=35) Lansia (n=8)

1 2

7

22

4 7

2

5

12

4

Balita Kanak-Kanak Remaja Dewasa Lansia


(40)

(41)

4.3 Karakteristik Indeks Massa Tubuh 4.3.1 Distribusi Indeks Massa Tubuh

Grafik 5. Distribusi indeks massa tubuh penderita spondilitis TB

4.3.2 Distribusi Indeks Massa Tubuh berdasarkan usia

Grafik 6. Distribusi indeks massa tubuh penderita berdasarkan usia 16%

67% 17%

0%

Underweight (n=11) Normoweight (n=44) Overweight (n=11) Obesitas (n=0)

5

1 1

4

0 2

1

8

27

6

1 2

3 3

2

0 0 0 0 0

Balita Kanak-Kanak Remaja Dewasa Lansia


(42)

4.4 Karakteristik Pernah atau Tidak Menderita TB Paru

Grafik 7. Distribusi penderita berdasarkan pernah atau tidaknya didiagnosis TB paru

4.5 Karakteristik Pernah atau Tidak Menderita TB Ekstra Paru Lainnya

Grafik 8. Distribusi penderita berdasarkan pernah atau tidaknya didiagnosis TB ekstra paru lainnya

8%

92%

Menderita (n=5) Tidak menderita (n=61)

0%

100%

Menderita (n=5) Tidak menderita (n=61)


(43)

4.6 Karakteristik keluhan utama 4.6.1 Proporsi keluhan utama penderita

Grafik 9. Proporsi keluhan utama penderita

4.6.1 Proporsi keluhan utama penderita berdasarkan jenis kelamin

Grafik 10. Proporsi keluhan utama penderita berdasarkan jenis kelamin 23%

53% 20%

4%

Kelemahan (n=15) Nyeri (n=35) Deformitas (n=13) Abses (n=3)

9

18

6

3 6

17

7

0

Lemah Nyeri Deformitas Abses


(44)

4.7 Karakteristik level keterlibatan tulang belakang 4.7.1 Proporsi level keterlibatan tulang belakang

Grafik 11. Level Keterlibatan Tulang Belakang.

4.7.2 Proporsi lebel keterlibatan tulang belakang berdasarkan keluhan utama penderita

Grafik 12. Tabel silang antara level keterlibatan tulang belakang dengan keluhan utama pasien

2% 32% 24% 39% 3% Cervical (n=1) Torakal (n=21) Torakolumbal (n=16) Lumbal (n=26) Sacral (n=2) 1 11 0 3 0 0 6 8 19 2 0 3 6 4 0 0 1 2 0 0

Cervical Torakal Torako-Lumbal Lumbal Sacral


(45)

4.8 Karakteristik derajat deficit neurologis berdasarkan kategori frankel 4.8.1 Proporsi derajat defisit neurologis penderita

Grafik 13. Proporsi derajat defisit neurologis penderita

4.8.2 Proporsi derajat defisit neurologis penderita berdasarkan letak lesi

Grafik 14. Proporsi derajat defisit neurologis penderita berdasarkan letak lesi 3%

6%

21%

23%

47% Frankel A (n=2)

Frankel B (n=4) Frankel C (n=14) Frankel D (n=15) Frankel E (n=31)

0 0 2 0 0 0 2 0 2 0 0 9 3 2 0 1 4 6 4 0 0 6 5 18 2

Cervical Torakal Torako-lumbal Lumbal Sacral


(46)

4.9 Karakteristik tatalaksana

4.9.1 Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB

Grafik 15. Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB

4.9.2 Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan level keterlibatan tulang belakang

Grafik 16. Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan level keterlibatan tulang belakang

41%

59%

Operatif (n=27) Nonoperatif (n=39)

0

7 7

13

0 1

14

9

13

2

Cervical Torakal Torako-lumbal Lumbal Sacral


(47)

4.9.3 Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan derajat frankel

Grafik 17. Proporsi tatalaksana penderita spondilitis TB berdasarkan level keterlibatan tulang belakang

4.9.3 Tatalaksana penderita berdasarkan keluhan utama

Grafik 18. Tatalaksana penderita berdasarkan keluhan utama pasien.

0 1

9

6

11

2 3

5

9

20

Frankel A Frankel B Frankel C Frankel D Frankel E

Operatif Non Operatif

5

16

4

3 10

19

9

0

Lemah Nyeri Deformitas Abses


(48)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian ini, didapati 66 orang penderita spondilitis TB dengan proporsi sebanyak 36 orang laki-laki (54,5%) dan 30 orang perempuan (45,5%). Data ini menunjukkan bahwa penyakit ini tidak mendominasi satu jenis kelamin saja, sehingga baik laki-laki maupun perempuan dapat terkena.

5.2 Usia

Berdasarkan hasil penelitian, maka didapati bahwa usia penderita spondilitis TB bervariasi, dengan penderita termuda berusia 2 tahun, dan yang tertua berusia 65 tahun, dengan rata-rata usia penderita 28 tahun.

Lebih lanjut, jika umur dikelompokkan menjadi kategori sesuai dengan Departemen Kesehatan, maka dari keseluruhan 66 orang penderita, maka didapati penderita yang termasuk kategori balita adalah sebanyak 8 orang, kategori kanak-kanak 4 orang, kategori remaja sebanyak 12 orang, kategori dewasa 35 orang, kategori lanjut usia 8 orang.

Kelompok penderita terbanyak adalah kategori dewasa, yakni berusia 26 – 45 tahun, yakni sebanyak 35 orang atau 46 persen dari total sampel. Pada kelompok usia ini, terdapat penderita dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 22 orang dan jenis kelamin perempuan sebanyak 12 orang.

Terlihat bahwa spondilitis TB banyak menyerang penderita laki-laki dengan usia yang produktif, sehingga hal ini dapat menurunkan produktivitas penderita sehingga berakibat bagi terputusnya mata pencaharian penderita dan membuat beban ekonomi keluarga yang semakin bertambah.

5.3 Indeks Massa Tubuh

Berdasarkan indeks massa tubuh, maka didapati pasien yang berada dalam kategori underweight sebanyak 11 orang (16%), normoweight sebanyak 44 orang (67%), overweight sebanyak 11 orang (17%), dan tidak ada yang berada dalam kategori


(49)

obesitas. Dari data ini terlihat bahwa mayoritas penderita berada dalam status gizi normoweight. Hal ini merupakan kebalikan dari asumsi bahwa tuberculosis erat kaitannya dengan status gizi yang buruk.

Jika dilakukan tabel silang antara indeks massa tubuh dan kelompok usia, maka didapati data-data sebagai berikut. Pada kelompok balita, dari keseluruhan 8 pasien, didapati status gizi penderita yang terbanyak adalah underweight, yakni berjumlah 5 orang (62,5%); lalu diikuti oleh status gizi normoweight sebanyak 2 orang (25%) dan

Pada kelompok kanak-kanak, dari keseluruhan 4 pasien, dijumpai 2 orang berada dalam status gizi overweight (50%), 1 orang dalam status gizi underweight (25%), dan 1 orang lagi dalam status gizi normoweight (25%).

Pada kelompok remaja, dari keseluruhan 12 pasien, maka status gizi normoweight sebanyak 8 orang (66,6%), dan status gizi overweight sebanyak 3 orang (25%), dan underweight sebanyak 1 orang (8,3%).

Pada kelompok usia dewasa, yang merupakan kelompok dengan persentase penderita terbanyak pada populasi penderita spondilitis TB, maka dari 34 orang, ditemukan status gizi yang terbanyak adalah normoweight, yakni 27 orang (79%), diikuti status gizi underweight sebanyak 4 orang (11,7%), lalu status gizi overweight sebanyak 3 orang (2,9%).

Pada kelompok usia lansia, dari 8 orang penderita, maka status gizi terbanyak adalah normoweight, sebanyak 6 orang (75%), dan overweight sebanyak 2 orang (25%). Dari data di atas, dapat dilihat bahwa status gizi penderita pada setiap kelompok usia didominasi oleh status gizi normoweight. Hal ini mencerminkan bahwa penderita spondilitis TB dapat saja terlihat sehat dan baik jika dinilai melalui indeks massa tubuh.

5.4 TB Paru

Berdasarkan pernah atau tidaknya penderita didiagnosa mengalami tuberculosis paru, maka sebanyak 5 orang menderita TB paru (8%) dan sebanyak 61 orang tidak menderita TB paru (92%). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas penderita spondilitis TB yang berobat ke poliklinik orthopaedi tidak mengalami gejala-gejala TB paru.


(50)

Berdasarkan pernah atau tidaknya penderita didiagnosa mengalami tuberculosis ekstra paru, maka keseluruhan 66 orang penderita tidak menderita tuberculosis ekstra paru. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena manifestasi TB ekstrapulmonal memang yang terbanyak adalah berupa spondilitis TB.

5.6 Keluhan Utama

Berdasarkan keluhan utama penderita, maka didapati penderita dengan keluhan utama berupa kelemahan tungkai sebanyak 15 orang (23%), keluhan nyeri sebanyak 35 orang (53%), keluhan deformitas atau gibbus sebanyak 13 orang (20%), dan keluhan abses sebanyak 3 orang (4%). Dari data di atas, terlihat bahwa hal yang paling banyak dikeluhkan oleh penderita adalah nyeri pada punggung.

Jika dielaborasi lebih lanjut, berdasarkan jenis kelamin penderita, maka dari 36 orang penderita laki-laki, maka sebanyak 18 orang (50%) mengeluhkan nyeri, 9 orang mengeluhkan lemah (25%) mengeluhkan lemah, 6 orang mengeluhkan deformitas (16,6%), dan 3 orang menluhkan abses (8%). Dari 30 orang penderita perempuan, maka sebanyak 17 orang (56,6%) mengeluhkan nyeri, sebanyak 7 orang (23,3%) mengeluhkan deformitas/gibbus, dan sebanyak 6 orang (020%) mengeluhkan lemah. Maka dari data di atas, baik pada penderita laki-laki dan perempuan, yang menjadi keluhan terbanyak adalah nyeri.

5.7 Level Keterlibatan

Berdasarkan level keterlibatan tulang belakang, maka dijumpai penderita dengan letak lesi di cervical sebanyak 1orang (1,5%), lesi torakal sebanyak 21 orang (31,8%), lesi torako-lumbal sebanyak 16 orang (24,2%), lumbal 26 orang (39,4%) dan sacral sebanyak 2 orang (3,0%). Dari data di atas, maka level keterlibatan tulang belakang yang terbanyak adalah lumbal (39%) lalu diikuti torakal (32%); dan yang paling sedikit adalah cervical (2%). Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa pada tulang belakang cervical jarang dijumpai spondilitis TB, jika dibandingkan dengan torakal dan lumbal.

Jika dilakukan tabel silang antara level keterlibatan tulang belakang dengan keluhan utama, maka didapati pada lesi cervical, satu-satunya pasien mengeluhkan


(51)

kelemahan tungkai. Pada letak lesi torakal, dari 21 pasien, maka 11 orang (52,3%) mengeluhkan kelemahan tungkai sebagai keluhan utamanya, lalu diikuti nyeri sebanyak 6 orang (28,5%), lalu deformitas sebanyak 3 orang (14,2%), dan abses sebanyak 1 orang (0,4%). Pada letak lesi torako-lumbal, maka dari 16 pasien, keluhan terbanyak adalah nyeri, yakni sebanyak 8 orang (50%), diikuti dengan deformitas sebanyak 6 orang (37,5%), lalu abses sebanyak 2 orang (12,5%). Pada letak lesi lumbal, dari total 26 pasien, maka keluhan terbanyak adalah berupa nyeri, yakni sebanyak 19 orang (73%), diikuti deformitas sebanyak 4 orang (15,3%), dan kelemahan tungkai sebanyak 3 orang (11,5%). Pada letak lesi sacral, dari total 2 pasien, maka kedua-duanya mengeluhkan nyeri sebagai keluhan utama.

Dari data di atas, maka didapatkan data bahwa pada letak lesi torakal, maka kelamahan tungkai menjadi keluhan utama terbanyak; pada letak lesi torako-lumbal dan lesi lumbal, maka nyeri menjadi keluhan utama terbanyak. Hal ini dapat dijelaskan oleh karena volume kanal vertebrae torakal yang lebih sempit dibandingkan lumbal sehingga kemungkinan untuk mendapatkan kompresi dari spinal cord menjadi lebih bermakna.

5.8 Derajat deficit neurologis

Berdasarkan derajat deficit neurologis berdasarkan kategori frankel, maka didapati penderita dengan kategori frankel A sebanyak 2 orang (3%), frankel B sebanyak 4 orang (6%), frankel C sebanyak 14 orang (21,2%), frankel D sebanyak 15 orang (22,7%) dan frankel E sebanyak 31 orang (47%).

Jika dilakukan tabel silang antara derajat frankel dan letak lesi tulang belakang, maka didapati data sebagai berikut. Pada letak lesi cervical, dijumpai satu-satunya penderita berada dalam kategori frankel D.

Pada letak lesi torakal, maka dari 21 penderita, dijumpai penderita dengan frankel C sebanyak 9 orang (42,8%), diikuti dengan frankel D sebanyak 4 orang (19%), lalu frankel E sebanyak 6 orang (28,5%) dan frankel B sebanyak 2 orang (0.9%). Lalu jika digabungkan antara frankel A,B,C,D, maka dijumpai proporsi pasien sebanyak 15 orang dari seluruh 21 penderita (71,4%). Hal ini menunjukkan bahwa pada letak lesi torakal, maka sebesar 71,4% penderita berada dalam keadaan deficit neurologis, dibandingkan dengan 28,5% yang berada dalam keadaan tanpa deficit neurologis.


(52)

Pada letak lesi torako-lumbal, maka dijumpai proporsi derajat frankel yang terbanyak adalah frankel D, sebanyak 6 orang dari total 16 orang (37,5%), diikuti frankel E sebanyak 5 orang (31,2%), lalu diikuti frankel C sebanyak 3 orang (18,7%), dan frankel A sebanyak 2 orang (12,5%). Jika proporsi frankel A,B,C,D digabungkan maka didapati penderita sejumlah 11 orang dari total 16 orang (68,75%). Hal ini menunjukkan bahwa pada letak lesi torakal, maka sebesar 68,75% penderita mengalami deficit neurologis, dibandingan dengan 31,2 % yang tidak mengalami deficit neurologis. Pada letak lesi lumbal, maka dari 26 penderita, dijumpai sebanyak 18 orang termasuk kategori frankel E (69,2%), diikuti frankel D sebanyak 4 orang (15,3%), frankel B sebanyak 2 orang (7,6%), dan frankel C sebanyak 2 orang (7,6%). Jika proporsi frankel A,B,C,D digabungkan maka didapati penderita sejumlah 8 orang, dari total 26 orang (30,07%). Hal ini menunjukkan bahwa pada letak lesi lumbal, sebesar 69,2% penderita berada dalam kondisi tanpa deficit neurologis, dibandingkan dengan 30,07% yang mengalami deficit neurologis.

Pada letak lesi sacrum, maka dari total 2 penderita, kedua-duanya berada pada ketegori frankel E.

Dari data di atas, maka dapat dilihat bahwa pada letak lesi torakal dan torako-lumbal, maka lebih banyak penderita yang berada dalam keadaan deficit neurologis, sedangkan pada letak lesi lumbal, maka lebih banyak penderita yang berada dalam keadaan tanpa desifit neurologis.

5.9 Tatalaksana

Berdasarkan tatalaksana, maka dijumpai sebanyak 27 orang (40,9%) penderita menjalani tindakan operatif, dan sebanyak 39 orang (59,09%) tidak menjalani tindakan operatif. Dari 27 orang yang menjalani tindakan operatif, maka 20 orang menjalani tindakan operasi prosedur stabilisasi posterior dan fusi tulang belakang, lalu sebanyak 7 orang, menjalani tindakan debridement.

Jika dilakukan tabel silang antara tatalaksana penderita berdasarkan level keterlibatan tulang belakang, maka dijumpai data sebagai berikut. Pada letak lesi cervical, satu-satunya pasien ditatalaksana secara non-operatif. Satu-satunya pasien


(53)

pada letak lesi cervical ini berada pada kategori frankel D, dan mengeluhkan kelemahan tungkai. Pada letak lesi torakal, maka dari 21 pasien, dijumpai bahwa sebanyak 7 orang (33,3%) ditatalaksana secara oepratif, dan 14 orang (66,6%) ditatalaksana secara non-operatif. Pada letak lesi torako-lumbal, maka dari 16 pasien, dijumpai sebanyak 7 orang (43,7%) ditatalaksana secara operatif, dan sebanyak 9 orang (56,2%) ditatalaksana secara non-operatif. Pada letak lesi lumbal, maka dari 26 pasien, maka sebanyak 13 orang ditatalaksana secara operatif dan 13 orang secara non-operatif. Pada letak lesi sacral, dari 2 penderita, kesemuanya ditatalksana secara non-operatif.

Jika dilakukan tabel silang antara tatalaksana penderita berdasarkan derajat frankel, maka didapati data sebagai berikut. Pada penderita frankel A, maka dari 2 penderita, kedua-duanya ditatalaksana secara non-operatif. Pada penderita frankel B, dari 4 penderita, maka 3 orang (75%0 ditatalaksana secara non-operatif, dan 1 orang (25%) ditatalaksana secara operatif. Pada penderita frankel C, maka dari 14 penderita, 9 orang (64,2%) ditatalaksana secara operatif, dan 5 orang (35,7%) ditatalaksana secara non-operatif. Pada penderita frankel D, maka dari 15 pendertia, 9 orang (60%) ditatalaksana secara non-operatif, sedangkan 6 orang (40%) ditatalaksana secara operatif. Pada 31 orang penderita dengan frankel E, maka sebanyak 20 orang (64,5%) ditatalaksana secara non-operatif, dan sebanyak 11 orang (35,4%) ditatalaksana secara oepratif. Jika proporsi frankel A,B,C,D digabungkan, maka dijumpai penderita yang menjalani tindakan operatif sebanyak 16 orang dari 35 orang (45,7%) dan yang menjalani tatalaksana non-operatif sebanyak 19 orang dari 35 orang (54,2%). Artinya pada penderita dengan deficit neurologis, dijumpai lebih banyak penderita yang menjalani tatalaksana non-operatif. Demikian juga pada penderita dengan frankel E, atau tanpa deficit neurologis, dijumpai lebih banyak penderita yang menjalani tatalaksana non-operatif (20 orang berbanding dengan 11 orang, atau 64,5% berbanding 35,4%).

Jika dilakukan tabel silang antara tatalaksana dengan keluhan utama, maka dari 15 orang penderita yang mengeluhkan kelemahan, maka 10 orang (66,6%) tidak menjalani pembedahan dan 5 orang (33,3%) ditatalaksana secara operatif. Dari kelompok penderita yang mengeluhkan nyeri, yakni sebanyak 35 orang, maka 19 orang (54,2%) tidak menjalani tindakan pembedahan, dan 16 orang (45,71%) menjalani


(54)

pembedahan. Dari 13 orang penderita yang mengeluhkan deformitas, maka sebanyak 9 orang (69,2%) ditatalaksana secara non-oepratif, dan sebanyak 4 orang (30,7%) ditatalaksana secara operatif. Dari 3 orang yang mengeluhkan abses, maka semuanya ditatalaksana secara oeparatif.


(55)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dalam kurun waktu Januari 2010 sampai dengan Juni 2013, dijumpai 66 pasien spondilitis TB yang ditatalaksana oleh Departemen Orthopaedi dan Traumatologi FKUSU/RSUP H. Adam Malik Medan, dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Penderita berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan. 2. Penderita terbanyak adalah berusia tahun (kategori dewasa).

3. Indeks massa tubuh yang terbanyak adalah normoweight

4. Lebih banyak penderita yang tidak pernah didiagnosa TB paru sebelumnya

5. Semua penderita tidak pernah didiagnosa TB ekstra paru yang lain 6. Keluhan utama penderita yang terbanyak adalah nyeri

7. Level keterlibatan tulang belakang yang terbanyak adalah lumbal

8. Derajat frankel yang terbanyak adalah Frankel E (tidak ada deficit neurologis)

9. Lebih banyak penderita yang ditatalaksana secara non-operatif

6.2 Saran

6.2.1 Edukasi kepada masyarakat luas tentang penyakit spondilitis TB sebagai sebuah penyakit yang dapat memberikan disabilitas yang berat.

6.2.2 Meningkatkan kerjasama multidispilin, terutama dengan sejawat neurologi, rehabilitasi medic, penyakit dalam, ilmu gizi tentang perawatan komprehensif penderita spondilitis TB

6.2.3 Meningkatkan kerapian dan kelengkapan rekam medis sebagai sebuah bahan informasi yang sangat bernilai dalam melakukan penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan

6.2.4 Membuat standar rekam medis yang baku khusus untuk pasien-pasien spondilitis TB agar dapat dilihat perkembangan dari pengobatan


(56)

6.2.5 Melakukan penelitian lebih lanjut tentang luaran klinis dari penanganan spondilitis TB secara operatif dan non-operatif


(57)

DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic Society. Diagnostic standards and classification of tuberculosis in adults and children. Am J respir Crit. 2000 ; 161 : 1376-1395.

2. Spiegel DA, Singh GK, Banskota AK. Tuberculosis of the Musculoskeletal System. Techniques in Orthopaedics. 2005 ; 20 (2) : 167-178.

3. Harisinghani M G, McLoud T C, Shepard J, et al. Tuberculosis from Head to Toe. Radiographics. 2000 ; 20 : 449-470

4. Golden M P,Vikram H R. Extrapulmonary tuberculosis : An overview. Am Fam Physician. 2005 ; 72 : 1761-8.

5. Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.

6. McLain RF, Isada C. Spinal Tuberculosis Deserves A Place On The Radar Screen. Cleveland Clinic Journal of Medicine.2004; 71:537-49.

7. Ringhausen FC, Tannapfel A, Nicolas V, et al. A fatal case of spinal tuberculosis mistaken for metastatic lung cancer : recalling ancient Pott’s disease. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials. 2009 ; 8 : 32

8. Androniku S, Jadwat S, Douis H. Patterns of disease on MRI in 53 children with tuberculous spondylitis and the role of gadolinium. Pediatr Radiol. 2002 ; 32 : 798-805. 9. Abdeen K. Surgery for tuberculosis of the cervical spine. The Internet Journal of

Neurosurgery. 2006 ; 3 : 2

10. Palama E, Golias C, Illiadis I, et al. Pulmonary miliary tuberculosis complicated with tuberculous spondylitis : an extraordinary rare association : a case report. Cases Journal. 2009 ; 2 : 7983

11. Pedoman Penatalaksanaan spondilitis Tuberkulosa. Departemen Neurologi FK USU Medan. 2008.

12. Smith I. Mycobacterium tuberculosis pathogenesis and molecular determinants of virulence. Clinical Microbiology Reviews. 2003 ; 16 : 463-496

13. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. 2002. Available from :

14. Global tuberculosis control : epidemiology, strategy, financing : WHO report 2009. Available from :

pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/spondilitis_tuberkulosa.pdf


(58)

15. McDevitt P, Moyer MT, Goldman JN, Mathew A, et al. Extrapulmonary tuberculosis presenting as Pott’s disease with associated paraesophageal fistula. Hospital Physician. 2008 : 36-40

16. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Jawetz,Melnick & Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran.Edisi 20. Jakarta : EGC. 1996. p. 302-310.

17. Kayser FH, Bienz KA, Eckert J. Medical Microbiology.2005. New York. Thieme. 18.

19. Kaufmann S H. New Issue in tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2004 ;63(Suppl II) : ii50-ii56)

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta. 2006

20.

21. Hidalgo JA. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). 2008. Available from : Solomon L, warwick DJ, Nayagam S. Apley’s system of orthopaedics and fractures. Eight edition. New York :Oxford university press, 2001.

22.

emedicine.medscape.com/article/226141

23. Nair S P, Meghi S, Wilson M, et al. Bacterially induced bone destruction : mechanisms and misconceptions. Infection and Immunity. 1997 ; 64 (7) : 2371-2380.

Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletalsystem. Third edition. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins, 1999 : 226-231.

24. Meghji S, White PA, Nair S P, et al. Mycobacterium tuberculosis chaperonin stimulates bone resorption : a potential contributory factor in Pott’s disease. J Exp Med. 1997 ; 1241-1246.

25. Ranford JC, Coates A R M, Henderson B. Chaperonins are cell-signalling proteins : the unfolding bioligy of molecular chaperones. Expert reviews in molecular medicine.

2000. Available from :

26. Qamra R, Mande SC, Coates ARM, et al. The unusual chaperonins of Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis. 2005 ; 85 : 385-394.

27. Kotze D J, Erasmus L J. MRI findings in proven mycobacterium tuberculosis spondylitis. SA journal of Radiology. 2006 ; 10 (2) : 6-12.

28. Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589. 29. Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving concepts. Curr Opin

Rheumatol. 2008 ; 20 (4) : 471-479.

30. Joseffer SS, Cooper PR. Modern imaging of spinal tuberculosis. J Neurosurg Spine. 2005 ; 2: 145-150.


(59)

31. Ledermann H P, Schweitzer M E, Morrison W B, et al. MR imaging findings in spinal infections : rules or myths ?. RSNA. 2003 ; 228 (2) : 506-514

32. Hong SH, Kim SM, Ahn JM,et al. Tuberculous versus pyogenic arthritis: MR imaging evaluation. Radiology. 2001 ; 218 : 848-853.

33. Kurth R, Haas WH. Epidemiology, diagnostic possibilities and treatment of tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2002 ; 61 (Suppl II) : ii59-ii61.

34. Gamboa F, Dominguez J, Padilla E, et al. Rapid diagnosis of extrapulmonaru tuberculosis by ligase chain reaction amplification. Journal of Clinical Mycrobiology. 1998 ; 36 (5) : 1324-1329.

35. Manelfe C. Infections of the spine imaging. Available from :

36. Ge Z, Wang Z, Wei M. Measurement of the concentration of three antituberculosis drugs in the focus of spinal tuberculosis. Eur Spine . 2008 ; 17 : 1482-1487.

www.star-program.com/resource.ashx/abstract/232

37. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M,et al. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics. 2008 ; 32 : 127-133.


(1)

pembedahan. Dari 13 orang penderita yang mengeluhkan deformitas, maka sebanyak 9

orang (69,2%) ditatalaksana secara non-oepratif, dan sebanyak 4 orang (30,7%)

ditatalaksana secara operatif. Dari 3 orang yang mengeluhkan abses, maka semuanya

ditatalaksana secara oeparatif.


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1

Kesimpulan

Dalam kurun waktu Januari 2010 sampai dengan Juni 2013, dijumpai 66 pasien

spondilitis TB yang ditatalaksana oleh Departemen Orthopaedi dan

Traumatologi FKUSU/RSUP H. Adam Malik Medan, dengan karakteristik

sebagai berikut:

1.

Penderita berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan.

2.

Penderita terbanyak adalah berusia tahun (kategori dewasa).

3.

Indeks massa tubuh yang terbanyak adalah normoweight

4.

Lebih banyak penderita yang tidak pernah didiagnosa TB paru

sebelumnya

5.

Semua penderita tidak pernah didiagnosa TB ekstra paru yang lain

6.

Keluhan utama penderita yang terbanyak adalah nyeri

7.

Level keterlibatan tulang belakang yang terbanyak adalah lumbal

8.

Derajat frankel yang terbanyak adalah Frankel E (tidak ada deficit

neurologis)

9.

Lebih banyak penderita yang ditatalaksana secara non-operatif

6.2

Saran

6.2.1 Edukasi kepada masyarakat luas tentang penyakit spondilitis TB sebagai sebuah

penyakit yang dapat memberikan disabilitas yang berat.

6.2.2 Meningkatkan kerjasama multidispilin, terutama dengan sejawat neurologi,

rehabilitasi medic, penyakit dalam, ilmu gizi tentang perawatan komprehensif

penderita spondilitis TB

6.2.3 Meningkatkan kerapian dan kelengkapan rekam medis sebagai sebuah bahan

informasi yang sangat bernilai dalam melakukan penelitian di bidang kedokteran

dan kesehatan


(3)

6.2.5 Melakukan penelitian lebih lanjut tentang luaran klinis dari penanganan

spondilitis TB secara operatif dan non-operatif


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic Society. Diagnostic standards and classification of tuberculosis in adults and children. Am J respir Crit. 2000 ; 161 : 1376-1395.

2. Spiegel DA, Singh GK, Banskota AK. Tuberculosis of the Musculoskeletal System. Techniques in Orthopaedics. 2005 ; 20 (2) : 167-178.

3. Harisinghani M G, McLoud T C, Shepard J, et al. Tuberculosis from Head to Toe. Radiographics. 2000 ; 20 : 449-470

4. Golden M P,Vikram H R. Extrapulmonary tuberculosis : An overview. Am Fam Physician. 2005 ; 72 : 1761-8.

5. Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.

6. McLain RF, Isada C. Spinal Tuberculosis Deserves A Place On The Radar Screen. Cleveland Clinic Journal of Medicine.2004; 71:537-49.

7. Ringhausen FC, Tannapfel A, Nicolas V, et al. A fatal case of spinal tuberculosis mistaken for metastatic lung cancer : recalling ancient Pott’s disease. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials. 2009 ; 8 : 32

8. Androniku S, Jadwat S, Douis H. Patterns of disease on MRI in 53 children with tuberculous spondylitis and the role of gadolinium. Pediatr Radiol. 2002 ; 32 : 798-805. 9. Abdeen K. Surgery for tuberculosis of the cervical spine. The Internet Journal of

Neurosurgery. 2006 ; 3 : 2

10. Palama E, Golias C, Illiadis I, et al. Pulmonary miliary tuberculosis complicated with tuberculous spondylitis : an extraordinary rare association : a case report. Cases Journal. 2009 ; 2 : 7983

11. Pedoman Penatalaksanaan spondilitis Tuberkulosa. Departemen Neurologi FK USU Medan. 2008.

12. Smith I. Mycobacterium tuberculosis pathogenesis and molecular determinants of virulence. Clinical Microbiology Reviews. 2003 ; 16 : 463-496

13. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. 2002. Available from :

14. Global tuberculosis control : epidemiology, strategy, financing : WHO report 2009. Available from :

pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/spondilitis_tuberkulosa.pdf


(5)

15. McDevitt P, Moyer MT, Goldman JN, Mathew A, et al. Extrapulmonary tuberculosis presenting as Pott’s disease with associated paraesophageal fistula. Hospital Physician. 2008 : 36-40

16. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Jawetz,Melnick & Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran.Edisi 20. Jakarta : EGC. 1996. p. 302-310.

17. Kayser FH, Bienz KA, Eckert J. Medical Microbiology.2005. New York. Thieme. 18.

19. Kaufmann S H. New Issue in tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2004 ;63(Suppl II) : ii50-ii56)

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta. 2006

20.

21. Hidalgo JA. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). 2008. Available from : Solomon L, warwick DJ, Nayagam S. Apley’s system of orthopaedics and fractures. Eight edition. New York :Oxford university press, 2001.

22.

emedicine.medscape.com/article/226141

23. Nair S P, Meghi S, Wilson M, et al. Bacterially induced bone destruction : mechanisms and misconceptions. Infection and Immunity. 1997 ; 64 (7) : 2371-2380.

Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletalsystem. Third edition. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins, 1999 : 226-231.

24. Meghji S, White PA, Nair S P, et al. Mycobacterium tuberculosis chaperonin stimulates bone resorption : a potential contributory factor in Pott’s disease. J Exp Med. 1997 ; 1241-1246.

25. Ranford JC, Coates A R M, Henderson B. Chaperonins are cell-signalling proteins : the unfolding bioligy of molecular chaperones. Expert reviews in molecular medicine.

2000. Available from :

26. Qamra R, Mande SC, Coates ARM, et al. The unusual chaperonins of Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis. 2005 ; 85 : 385-394.

27. Kotze D J, Erasmus L J. MRI findings in proven mycobacterium tuberculosis spondylitis. SA journal of Radiology. 2006 ; 10 (2) : 6-12.

28. Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med Assoc Thai. 2007 ; 90(8) : 1581- 1589. 29. Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving concepts. Curr Opin

Rheumatol. 2008 ; 20 (4) : 471-479.

30. Joseffer SS, Cooper PR. Modern imaging of spinal tuberculosis. J Neurosurg Spine. 2005 ; 2: 145-150.


(6)

31. Ledermann H P, Schweitzer M E, Morrison W B, et al. MR imaging findings in spinal infections : rules or myths ?. RSNA. 2003 ; 228 (2) : 506-514

32. Hong SH, Kim SM, Ahn JM,et al. Tuberculous versus pyogenic arthritis: MR imaging evaluation. Radiology. 2001 ; 218 : 848-853.

33. Kurth R, Haas WH. Epidemiology, diagnostic possibilities and treatment of tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2002 ; 61 (Suppl II) : ii59-ii61.

34. Gamboa F, Dominguez J, Padilla E, et al. Rapid diagnosis of extrapulmonaru tuberculosis by ligase chain reaction amplification. Journal of Clinical Mycrobiology. 1998 ; 36 (5) : 1324-1329.

35. Manelfe C. Infections of the spine imaging. Available from :

36. Ge Z, Wang Z, Wei M. Measurement of the concentration of three antituberculosis drugs in the focus of spinal tuberculosis. Eur Spine . 2008 ; 17 : 1482-1487.

www.star-program.com/resource.ashx/abstract/232

37. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M,et al. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics. 2008 ; 32 : 127-133.