Makna puisi tersebut menceritakan suasana hati pengarang. Pengarang mengandaikan bunyi ombak tidak berada di pasir pantai. Akan tetapi, keadaan
sebaliknya dalam dirinya, di lubuk jantung, dan di dasar hatinya dia merasakan teguran. Kerinduan yang menyadarkan mimpinya untuk merasakan kedamaian.
Pengarng mengandaikan jika kedamaian tidak menetes pada bunga-bunga di pagi hari. Namun, dalam indahnya serangkai puisi adalah kesejukan yang
menghadirkankan ketenangan pada hari-hari sunyi pengarang di dalam penjara. Dalam puisi tersebut terdapat baris
“karena engkaulah embun” yang berarti kedamaian. Fungsi majas metafora pada puisi tersebut untuk
membandingkan benda atau hal dengan benda atau hal lain, yaitu kedamaian jiwa dengan
“embun”. Penggunaan metafora tersebut berkaitan dengan logika yang membawa imajinasi pembaca agar maksud yang ingin disampaikan pengarang
tercapai. Baris
“karena engkaulah embun” digambarkan pengarang sebagai kedamaian jiwa yang ingin diwujudkan. Kedamaikan yang ingin dirasakan
pengarang dalam hari-hari suramnya di penjara. Hal ini diperkuat dengan baris puisi selajutnya, yaitu
“yang meneteskan kesejukan pada hari-hari kelamku”.
4.2.3 Majas Perumpamaan Epos epic simile
Dalam kumpulan puisi Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S terdapat majas perumpamaan epos sejumlah tiga belas, di antaranya betapa ia
mengajar kearifan seperti burung-burung gereja yang bercanda dalam kemesraan, kutu busuk merayap melalui tembok seperti mobil lapis baja turun ke
medan perang, tubuhku yang pipih seperti papan dan darahku yang tinggal
beberapa tetes saja, tahun demi tahun seperti bajak yang bermain di lumpur waktu merekatkan getah-getah rindu, bukit-bukit kayu putih dikurasnya seperti
keringat ini menggeletar dijamah matahari, sepenuhnya seperti burung-burung yang tekun menyulam sarangnya, dan sebagianya. Penggunaan majas
perumpamaan epos terdapat dalam puisi-puisi Sutikno W.S yaitu Yang Kita Rebut dan Nyanyikan Ini, Pemandangan, Aku dan Kutu Busuk, Nyanyian Pandak, Di
Bukit-bukit Walgan Ini, Ode, Khotbah di Balik Malam, Purnama di Walgan Lama, dan Di Ladang.
Fungsi majas perumpamaan epos untuk menyamakan dengan cara membandingkan dua hal yang berbeda dalam kaitannya dengan logika. Salah satu
puisi dalam kumpulan puisi Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S yang menggunakan majas perumpamaan epos adalah puisi yang berjudul
“Aku dan Kutu Busuk
”. Berikut kutipannya.
Aku dan Kutu Busuk -dongeng untuk gotri
dari langit-langit sel kutu busuk merayap melalui tembok
seperti mobil lapis baja turun ke medan perang
dari balik sungutnya, ai ia mengintip seperti mata-mata
tubuhku yang pipih seperti papan dan darahku
yang tinggal beberapa tetes saja kutu busuk yang malang
ia butuh hidup ia harus makan
dan ingin dihisapnya darahku tak peduli
aku hanya seorang tahanan
yang untuk hidup menyuap hanya seratus gram nasi
untuk sepenuh hari tapi hidup memanglah pertarungan
bagiku, juga kutu busuk itu yang kuat maju
yang lemah menggigit debu dan ia pun kalah
pada ujung telunjuk jariku kekalahan besar
dari orang-orang yang paling kalah 1972-Salemba
NdK hlm. 25-26
Makna puisi tersebut menceritakan pengarang dan kutu busuk. Pengarang membayangkan dari atap penjara oarang-orang yang memenjarakannya
mengawasi seperti mobil lapis baja turun ke medan perang. Di balik alis orang- orang yang memenjarakannya, mata mereka mengintip seperti mata-mata. Kutu
busuk seakan mengintip tubuh pengarang yang kurus dan kematian akan segera datang seperti papan dan darahku yang tinggal beberapa tetes saja. Pengarang
berpikiran terhadap
orang-orang yang
memenjarakannya juga
sangat memperihatinkan, yang butuh hidup layak dan sejahtera. Mereka menyengsarakan
hidup pengarang untuk menyiksa secara perlahan. Namun, pengarang tidak pernah peduli. Dia hanyalah seorang tahanan yang hidupnya hanya untuk makan sesuap
nasi di penjara. Akan tetapi, hidup adalah perjuangan baginya, bagi orang-orang yang memenjarakannya. Seseorang menang akan hidup, yang kalah akan mati.
Pengarang seakan merasakan orang-orang yang telah memenjarakannya telah kalah darinya seperti kutu yang dia bunuh dengan telunjuk jarinya. Dia merasa
kekalahan itu adalah kekalahan besar dari orang-orang yang kalah.
Dalam puisi tersebut terdapat baris “kutu busuk merayap melalui tembok
seperti mobil lapis baja turun ke medan perang ” dan “tubuhku yang pipih seperti
papan dan darahku yang tinggal beberapa tetes saja ”. Baris “kutu busuk merayap
melalui tembok seperti mobil lapis baja turun ke medan perang ” yang berarti kutu
busuk seperti mobil berlapis baja yang siap bertempur di tempat pertempuran dimaksudkan orang-orang yang memenjarakan pengarang yang selalu
mengawasinya. Baris “tubuhku yang pipih seperti papan dan darahku yang tinggal
beberapa tetes saja ” yang berarti tubuhn pengarang yang kurus dan kematian akan
segera datang. Fungsi majas perumpamaan epos untuk menyamakan dengan cara membandingkan dua hal yang berbeda dalam kaitannya dengan logika, yaitu
“kutu busuk” dengan “mobil lapis baja” dan “tubuh pipih” dengan “papan”. Penggunaan perumpamaan epos tersebut berkaitan dengan logika yang membawa
imajinasi pembaca agar maksud yang ingin disampaikan pengarang tercapai. Baris
“kutu busuk merayap melalui tembok seperti mobil lapis baja turun ke medan perang
”, pengarang menggambarkan kutu busuk yang merayap di dinding penjara diumpamakan pengarang seperti mobil-mobil baja yang siap
tempur di medan perang untuk menghadapi musuh-musuhnya. Baris
“tubuhku yang pipih seperti papan dan darahku yang tinggal beberapa tetes saja
” digambarkan pengarang tubuhnya yang kurus, diumpamakan pengarang seperti papan yang tipis dan darahnya tinggal hanya beberapa tetes saja
karena kematian akan segera menghampirinya. Fungsi majas perumpamaan epos dalam kumpulan puisi Nyanyian dalam
Kelam karya Sutikno W.S untuk membandingkan benda atau hal dengan benda
atau hal lain dalam kaitannya dengan logika. Salah satu puisi dalam kumpulan puisi Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S yang menggunakan majas
perumpamaan epos juga terdapat pada puisi yang berjudul “Di Bukit-bukit
Walgan Ini ”. Berikut kutipannya.
Di Bukit-bukit Walgan Ini
1. dibukit-bukit walgan ini
kehidupan berjalan seperti iringan kereta mati
daun-daun kayu putih diperasnya seperti tubuh ini
luluh diterjang api bukit-bukit kayu putih
dikurasnya seperti keringat ini menggeletar dijamah matahari
daun-daun bukit-bukit
tubuh-tubuh renta terik matahari mengusir mimpi
2. di bukit-bukit walgan ini
langit meluang sunyi kepak elang menghilang
menghalau dirinya sendiri hutan sagu di kejauhan
manusia menyimpan keinginan untuk merdeka dan bicara
mengenai dunia yang rapuh karena karena luka-lukanya langit, o warna kedalaman itu
paya-paya melukiskan kebiruannya merangkul bumi
yang tidur dalam kesengsaraannya
3. di bukit-bukit walgan ini
pribumi terusir dari ladangnya orang-orang buangan
dirampas kasih sayangnya ilalang dan kusu-kusu
bunga perdu mengorak di rerantingnya putih seperti salju
bukit-bukit padang-padang belantara
dan di sini manusia menggenggam nasibnya sendiri
1973-Buru NdK hlm. 43-44
Puisi tersebut terdiri atas tiga bagian. Makna puisi bagian pertama menceritakan pengarang yang hidup di tanah pengasingan. Di bukit-bukit yang
bernama Walgan keadaan kehidupan manusia seperti kereta jenazah yang berjalan beriringan bersama-sama. Daun-daun kayu putih yang diperas untuk diambil
keuntungannya seperti tubuh pengarang yang diperas tenaganya dan hancur berkeping-keping dihantam api. Bukit-bukit kayu putih dan pengarang sama-sama
dieksploitasi untuk diambil sumberdayanya hingga badannya penuh keringat menggigil bi bawah panas terik sinar matahari. Daun-daun, bukit-bukit, tubuh-
tubuh loeih yang tua, dan panas terik sinar matahari yang telah menghadang dan menjauhkan mimpi-mimpi pengarang.
Bagian kedua menceritakan di bukit-bukit yang bernama walgan masiih ada langit yang membuka waktu-waktu kesepian. Kepak sayap burung elang
menghilang meninggalkan pengarang sendirian di tanah pengasingan. Hutan sagu yang terlihat di kejauhan terdapat banyak manusia yang menyembunyikan
keinginannya untuk bebas keluar dari tanah pengasingan dan ingin berbicara tentang tanah pengasingan yang lemah kesakitan karena penderitaan-penderitaan
yang dialami manusia. Langit ternyata masih mempunyai corak untuk memaknai semua itu. Rawa-rawa yang ditumbuhi pohon-pohon menggambarkan
kehindahannya yang membentang membatani tanah pengasingan yang sedang terbaring lelah karena kesengsaraan yang dialami manusia.
Bagian ketiga menceritakan keadaan di bukit-bukit yang bernama Walgan orang-orang asli yang tinggal di sana pergi dengan paksa dari tanah-tanah yang
mereka tanami, karena mereka tidak bisa lagi bekerja. Sedangkan orang-orang tahanan yang terbuang dan di asingkan direbut kasih sayangnya dengan paksa.
Ilalang dan kelompok-kelompok bunga perdu tumbuhan yang tidak berbatang besar, jenis rumput-rumput terurai berjatuhan di ranting-rantingnya. Bunga yang
berwarna putih seperti salju. Kenyataan yang terjadi dalam kehidupan di tanah pengasingan tergantung pada diri mereka masing-masing. Kehidupan yang tidak
semulus dan seperti yang mereka impikan. Bukit-bukit, tanah-tanah luas yang tidak dikelola, dan manusia yang berada di tanah pengasingan memegang dan
menanggung nasibnya sendiri-sendiri. Dalam puisi tersebut terdapat baris
“dikurasnya seperti keringat ini menggeletar dijamah matahari
”. Baris “dikurasnya seperti keringat ini menggeletar dijamah matahari
” yang berarti pengarang dipaksa bekerja hingga badannya penuh keringat menggigil karena terkena panas terik sinar matahari.
Fungsi majas
perumpamaan epos
untuk menyamakan
dengan cara
membandingkan dua hal yang berbeda dalam kaitannya dengan logika, yaitu
bukit-bukit dan tubuh pengarang yang sama-sama dieksploitasi. Penggunaan perumpamaan epos tersebut berkaitan dengan logika yang membawa imajinasi
pembaca agar maksud yang ingin disampaikan pengarang tercapai. Baris
“dikurasnya seperti keringat ini menggeletar dijamah matahari” yang berarti bukit kayu putih diambil sumber dayanya dikuras seperti juga tubuh
pengarang yang dipaksa bekerja hingga badannya penuh keringat menggigil karena terkena panas terik sinar matahari. Di tanah pengasingan pengarang
dipaksa berkerja hingga keringatnya bercucuran yang membuat mimpinya semakin menjauh. Hal ini diperkuat dengan baris puisi selanjutnya, yaitu
“daun- daun bukit-bukit tubuh-tubuh renta terik matahari mengusir mimpi
”.
4.2.4 Majas Personifikasi