Kekuasaan Keuchik Dalam Sistem Pemerintahan Gampong (Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe)
KEKUASAAN
KEUCHIK
DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN GAMPONG
( Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan
Banda Sakti Kota Lhokseumawe )
Dwi Putri Masitah
100906092
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
(2)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
DWI PUTRI MASITAH (100906092)
KEKUASAAN KEUCHIK DALAM SISTEM PEMERINTAHAN GAMPONG
( Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe )
Rincian isi skripsi, 122 halaman, 5 tabel, 4 gambar, 23 buku, 2 situs internet, 5 jurnal, 4 qanun serta 4 Undang-Undang.
ABSTRAK
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menempatka pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang yang tinggi. Pengakuan negara atas kekhususan daerah Aceh ini terakhir diberikan melalui Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa Gampong atau dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau dengan nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. Dengan demikian gampong merupakan salah satu strata pemerintahan dalam susunan Pemerintahan Aceh yang berada diwilayah Kabupaten/Kota.
Gampong merupakan kesatuan masyarakat hukum yang dipimpin oleh seorang keuchik dan memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintaha Gampong adalah pembagian wilayah administratif setingkat desa di langsung dibawah kecamatan. Gampong Tumpok Teungoh berada dibawah Mukim Lhokseumawe Utara Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.
Penelitian ini menguraikan kekuasaan yang dimiliki seorang keuchik dalam sebuah pemerintahan gampong. Keuchik adalah kepala eksekutif gampong dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong yang merupakan representatif dari masyarakat gampong, dan diberi mandat dan kepercayaam untuk menjalankan pemerintahan, menetapkan berbagai
(3)
kebijakan gampong dan menjalankan pemerintahan gampong yang lebih banyak berorientasi pada adat dan syari’at islam.
Teori-teori yang digunakan dalam menjelaskan penelitian ini adalah teori kekuasaan dan teori elit. Teori kekuasaan digunakan untuk menganalisis bentuk kekuasaan dan sumber kekuasaan yang dimiliki keuchik. Beberapa pendapat para ahli mengenai kekuasaan peneliti gunakan antara lain pendapat dari Max Weber, Miriam Budiarjo, Ramlan Surbakti, Inu Kencana dan Wahidin. Penggunaan teori elit adalah untuk mengkaji kedudukan keuchik dalam suatu pemerintahan gampong mengingat dalam sebuah pemerintahan gampong terdapat 3 pilar pemerintahan yang memerintah yakni keuchik, teungku imeum meunasah, dan tuha peut. Para ahli yang pendapatnya mengenai teori elit yang digunakan peneliti antara lain Mosca dan Pareto, Ariestoteles, Lipset dan Solari, dan Schrool.
(4)
UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE
DWI PUTRI MASITAH (100906092)
Keuchik Powers In The System Of Gampong Government (Powers of Local Elites in the Gampong Tumpok Teungoh Village, District of Banda Sakti Lhokseumawe)
Details of the contents of the thesis, 122 pages, 5 tables, 4 images, 23 books, 2 internet sites, 5 journals , 4 Acts and 4 qanuns.
ABSTRACT
Constitutional system of the Republic of Indonesia put Aceh as a unit of local government that is privileged and special, distinctive character associated with the history of the struggle of the people of Aceh who have resilience and high fighting spirit. State recognition of the specificity of the Aceh region administered through Law Number 11 Year 2006 on Governing Aceh. In this Act stated that the Village or by any other name is a legal public entity is under Mukim and led by keuchik or by any other name is entitled to organize their own domestic affairs. Thus the village is one of Government in the arrangement of the strata of government that are in the territory of Aceh Regency / City. Gampong a legal community unit led by a keuchik and have boundaries that the authority to regulate and manage the interests of the local community based on the origin and local customs that are recognized and respected in the administration system of the Republic of Indonesia. Gampong is a village-level administrative divisions in the province of Aceh, Indonesia. The position of the village is under Mukim. Mukim and position directly under the district. Gampong Tumpok Teungoh is under Mukim Lhokseumawe Northern, Banda Sakti District of Lhokseumawe City.
This study outlines a keuchik power possessed in a village government. Keuchik is the chief executive in the village of village governance that is representative of the village community, and given the mandate and trust to run the government, establishes policies to govern the village and the village is much more oriented to the customary and Islamic Syari'ah.
The theories used in this research is to explain the theory and the theory of the power elite. Power theory is used to analyze the shape of power and a source of power possessed keuchik. Some experts opinion regarding the use of power researchers, among others, the opinion of Max Weber, Miriam Budiardjo, Ramlan Surbakti, Inu Kencana and
(5)
Wahidin. The use of elite theory is to examine keuchik position in a given village government in a village government, there are 3 pillars that govern the administration keuchik, teungku imeum meunasah, and tuha peut. The expert opinion on the use of elite theory researchers are, Mosca and Pareto, Ariestoteles, Lipset and Solari, and Schrool.
(6)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, oleh:
Nama : Dwi Putri Masitah
Nim :100906092
Judul : Kekuasaan Keuchik Dalam Sistem Pemerintahan Gampong (Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe) Dilaksanakan pada:
Hari :
Tanggal : Pukul :
Tempat : Ruang Sidang FISIP USU Tim Penguji:
Ketua :
Dra. T. Irmayani, M.Si
NIP. 196806301994032001 ( )
Penguji Utama :
Drs. Zakaria, MSP
NIP. 195801151986011002 ( )
Penguji Tamu :
Drs. Tonny P. Situmorang, M.Si
(7)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh
Nama : Dwi Putri Masitah
Nim :100906092
Judul : Kekuasaan Keuchik Dalam Sistem Pemerintahan Gampong (Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe)
Menyetujui:
Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing
Dra. T. Irmayani, M.Si
(NIP. 19680630199403200) (NIP. 197512222008121002)
Faisal Andri Mahrawa, S.IP., M.Si
Mengetahui, Dekan FISIP USU
NIP. 196805251992031002 (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)
(8)
Karya ini dipersembahkan untuk
Ayahanda Tercinta dan Ibunda Tercinta
(9)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kekuasaan Keuchik Dalam Sistem Pemerintahan Gampong Studi Kasus : Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe”. Skripsi ini menguraikan kekuasaan yang dimiliki oleh keuchik selaku kepala eksekutif dalam sebuah pemerintahan gampong yang berada di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik dari Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M. Si, sebagai Dekan FISIP USU. Kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si sebagai Ketua Jurusan Departemen Ilmu Politik, Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si, Sekretaris Departemen Ilmu Politik FISIP. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang tulus kepada Bapak Faisal Andri Mahrawa S.IP., M.Si sebagai Penasehat Akademik dan Dosen Pembimbing yang senantiasa memberikan waktu dan banyak bimbingan berupa masukan dan kritik yang sangat membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dosen dan staf pengajar Departemen Ilmu Politik yang telah meluangkan waktu untuk mendidik penulis selama menjalani masa perkuliahan. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Kak Ema, Pak Burhan dan Kak Siti yang membantu penulis dalam urusan administratif kampus.
Secara khusus penulis mengucapkan kepada kedua orang tua tersayang, Papa Erman Tanjung dan Ibu Setiawati atas cinta, kasih sayang, doa dan kesabaran dalam membesarkan dan mendidik penulis kearah yang lebih baik. Terimakasih kepada kakak dan adik penulis, Hesty Nurcahyanti dan Muhammad Rifqi Sakti yang telah memberikan doa dan dukungan selama ini kepada penulis. Serta terimakasih kepada Muhammad Algi Vari yang sudah
(10)
memberikan waktu, menemani dan memberi dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Indi, Mia, Bira, Cino, dan Lana yang telah memberikan semangat, dukungan, dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. Juga penulis ucapkan terimakasih kepada teman-teman Ilmu Politik stambuk 2010 yang telah membantu penulis selama 8 semester ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Terakhir penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, baik dari pihak Kantor Keuchik Gampong Tumpok Teungoh, yakni Bapak H. Hermansyah, S.Ag selaku keuchik dan Bapak Muzakkir Sy selaku sekretaris gampong, Bapak Soflya selaku anggota tuha peut Gampong Tumpok Teungoh dan Masyarakat Gampong Tumpok Teungoh yang sudah bersedia menjadi narasumber saya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan dan kelemahan. Oleh sebab itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas semua bantuan dari semua pihak dalam penyelesaian skripsi ini dan berharap skripsi ini memberikan manfaat bagi kita.
Medan, Juli 2014
Dwi Putri Masitah 100906092
(11)
DAFTAR ISI
Halaman Judul Halaman
Abstraksi ... ii
Abstract ... iv
Halaman Pengesahan ... v
Halaman Persetujuan ... vi
Lembar Persembahan ... vii
Kata Pengantar ... viii
Daftar Isi ... xi
Daftar Tabel ... xiv
Daftar Gambar ... xv
BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah ... 1
2. Perumusan Masalah ... 7
3. Tujuan Penelitian ... 8
4. Manfaat Penelitian ... 8
5. Kajian Teoritis ... 9
Teori Kekuasaan ... 9
Teori Elit ... 15
(12)
6.1.Jenis Penelitian ... 23
6.2.Lokasi dan Objek Penelitian ... 23
6.3.Teknik Pengumpulan Data ... 24
6.4.Teknik Analisis Data ... 24
7. Sistematika Penulisan ... 26
BAB II SISTEM PEMERINTAHAN GAMPONG TUMPOK TEUNGOH KECAMATAN BANDA SAKTI KOTA LHOKSEUMAWE .. 28
2.1. Sejarah Pembentukan Gampong. ... 29
2.2. Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe ... .. 47
1.2.1 Sejarah Pembentukan Gampong Tumpok Tengoh ... 47
1.2.2 Lokasi dan Keadaan Geografis Gampong Tumpok Teungoh 51 1.2.3 Penduduk Gampong Tumpok Teungoh ... 55
1.2.4 Pemerintahan Gampong Tumpok Teungoh ... 56
1.2.5 Keuchik Gampong Tumpok Teungoh ... 72
1.2.6 Tata Cara Pemilihan Keuchik ... 77
BAB III KEKUASAAN KEUCHIK DI GAMPONG TUMPOK TEUNGOH KECAMATAN BANDA SAKTI KOTA LHOKSEUMAWE 3.1 Proses Pembuatan Kebijakan di Gampong Tumpok Teungoh ... 86
3.2 Kekuasaan Keuchik Dalam Proses Pembuatan Kebijakan di Gampong Tumpok Teungoh ... 93
(13)
3.3 Pembuatan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong
di Gampong Tumpok Teungoh ... 95 3.4. Kekuasaan Keuhcik Dalam Proses Pembuatan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Gampong di Gampong Tumpok Teungoh ... 101 3.5 Kekuasaan Keuchik Sebagai Hakim Gampong di Gampong Tumpok
Teungoh ... 103
BAB IV PENUTUP
1.1 Kesimpulan ... 111 1.2 Saran ... 116
(14)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Perbandingan Struktur Pemerintahan ... 39 Tabel 2 Matriks Perbedaan Pengaturan Kelembagaan Desa dan Gampong
di Aceh ... 40 Tabel 3 Beda Gampong dan Desa ... 43 Tabel 4 Data Kependudukan Berdasarkan Dusun Gampong Tumpok
Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe ... 55 Tabel 5 Susunan Pengurus Tuha peut Yang Ada Di Gampong Tumpok
Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe Periode
(15)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Struktur Organisasi Pemerintahan Aceh Masa Kerajaan Islam ... 38 Gambar 2 Peta Kota Lhokseumawe ... 53 Gambar 3 Peta Kecamatan Banda Sakti ... 54 Gambar 4 Bagan Struktur Organisasi Pemerintah Gampong Tumpok
(16)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
DWI PUTRI MASITAH (100906092)
KEKUASAAN KEUCHIK DALAM SISTEM PEMERINTAHAN GAMPONG
( Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe )
Rincian isi skripsi, 122 halaman, 5 tabel, 4 gambar, 23 buku, 2 situs internet, 5 jurnal, 4 qanun serta 4 Undang-Undang.
ABSTRAK
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menempatka pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang yang tinggi. Pengakuan negara atas kekhususan daerah Aceh ini terakhir diberikan melalui Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa Gampong atau dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau dengan nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. Dengan demikian gampong merupakan salah satu strata pemerintahan dalam susunan Pemerintahan Aceh yang berada diwilayah Kabupaten/Kota.
Gampong merupakan kesatuan masyarakat hukum yang dipimpin oleh seorang keuchik dan memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintaha Gampong adalah pembagian wilayah administratif setingkat desa di langsung dibawah kecamatan. Gampong Tumpok Teungoh berada dibawah Mukim Lhokseumawe Utara Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.
Penelitian ini menguraikan kekuasaan yang dimiliki seorang keuchik dalam sebuah pemerintahan gampong. Keuchik adalah kepala eksekutif gampong dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong yang merupakan representatif dari masyarakat gampong, dan diberi mandat dan kepercayaam untuk menjalankan pemerintahan, menetapkan berbagai
(17)
kebijakan gampong dan menjalankan pemerintahan gampong yang lebih banyak berorientasi pada adat dan syari’at islam.
Teori-teori yang digunakan dalam menjelaskan penelitian ini adalah teori kekuasaan dan teori elit. Teori kekuasaan digunakan untuk menganalisis bentuk kekuasaan dan sumber kekuasaan yang dimiliki keuchik. Beberapa pendapat para ahli mengenai kekuasaan peneliti gunakan antara lain pendapat dari Max Weber, Miriam Budiarjo, Ramlan Surbakti, Inu Kencana dan Wahidin. Penggunaan teori elit adalah untuk mengkaji kedudukan keuchik dalam suatu pemerintahan gampong mengingat dalam sebuah pemerintahan gampong terdapat 3 pilar pemerintahan yang memerintah yakni keuchik, teungku imeum meunasah, dan tuha peut. Para ahli yang pendapatnya mengenai teori elit yang digunakan peneliti antara lain Mosca dan Pareto, Ariestoteles, Lipset dan Solari, dan Schrool.
(18)
UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE
DWI PUTRI MASITAH (100906092)
Keuchik Powers In The System Of Gampong Government (Powers of Local Elites in the Gampong Tumpok Teungoh Village, District of Banda Sakti Lhokseumawe)
Details of the contents of the thesis, 122 pages, 5 tables, 4 images, 23 books, 2 internet sites, 5 journals , 4 Acts and 4 qanuns.
ABSTRACT
Constitutional system of the Republic of Indonesia put Aceh as a unit of local government that is privileged and special, distinctive character associated with the history of the struggle of the people of Aceh who have resilience and high fighting spirit. State recognition of the specificity of the Aceh region administered through Law Number 11 Year 2006 on Governing Aceh. In this Act stated that the Village or by any other name is a legal public entity is under Mukim and led by keuchik or by any other name is entitled to organize their own domestic affairs. Thus the village is one of Government in the arrangement of the strata of government that are in the territory of Aceh Regency / City. Gampong a legal community unit led by a keuchik and have boundaries that the authority to regulate and manage the interests of the local community based on the origin and local customs that are recognized and respected in the administration system of the Republic of Indonesia. Gampong is a village-level administrative divisions in the province of Aceh, Indonesia. The position of the village is under Mukim. Mukim and position directly under the district. Gampong Tumpok Teungoh is under Mukim Lhokseumawe Northern, Banda Sakti District of Lhokseumawe City.
This study outlines a keuchik power possessed in a village government. Keuchik is the chief executive in the village of village governance that is representative of the village community, and given the mandate and trust to run the government, establishes policies to govern the village and the village is much more oriented to the customary and Islamic Syari'ah.
The theories used in this research is to explain the theory and the theory of the power elite. Power theory is used to analyze the shape of power and a source of power possessed keuchik. Some experts opinion regarding the use of power researchers, among others, the opinion of Max Weber, Miriam Budiardjo, Ramlan Surbakti, Inu Kencana and
(19)
Wahidin. The use of elite theory is to examine keuchik position in a given village government in a village government, there are 3 pillars that govern the administration keuchik, teungku imeum meunasah, and tuha peut. The expert opinion on the use of elite theory researchers are, Mosca and Pareto, Ariestoteles, Lipset and Solari, and Schrool.
(20)
BAB I
PENDAHULUAN
2. Latar Belakang Masalah
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menempatka pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang yang tinggi. Pengakuan negara atas kekhususan daerah Aceh ini terakhir diberikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).1
UUPA ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman MoU (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah
da
dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 18B Ayat (1) dan Ayat (2) yang menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan
1
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.
(21)
istimewa, serta menghormati satuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menjelaskan bahwa pengertian desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government 2
Desa Adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti , diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.
2
Sejauh ini ada tiga perspektif untuk menempatkan kedudukan desa di Indonesia dan di banyak Negara. Tiga bentuk tersebut adalah desa sebagai kesatuan masyarakat/ desa adat (self governing community), desa otonom (local self government) dan desa administratif (local state government) atau di Indonesia dikenal dengan nama kelurahan.Pada prinsipnya self-governing community adalah komunitas lokal diatas negara, yang mengelola hidupnya sendiri dengan menggunakan lembaga lokal. Self Government adalah suatu pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah untuk mengatur pemerintah sendiri, kecuali menyangkut tiga kebijakan moneter atau keuangan, keamanan, serta kebijakan luar negeri.
(22)
ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.3
Gampong dalam konteks Qanun
Oleh sebab itu, di masa depan Desa dan Desa Adat dapat melakukan perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam status yang sama seperti itu, Desa dan Desa Adat diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2014.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa Gampong atau dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau dengan nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. Dengan demikian gampong merupakan salah satu strata pemerintahan dalam susunan Pemerintahan Aceh yang berada diwilayah Kabupaten/Kota.
4
3
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa 4
Qanun, adalah sejenis peraturan daerah (Perda) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota . Tujuannnya untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
No. 5 Tahun 2003 merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan (terendah), mempunyai pimpinan pemerintahan dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. Sebagai kesatuan masyarakat hukum dan merupakan bagian dari struktur pemerintahan, gampong memiliki hak dan kekuasaan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dalam lingkungannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gampong mempunyai tugas
(23)
menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, membina masyarakat dan meningkatkan pelaksanaan syariat Islam.5
Sebagai kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh, gampong merupakan kumpulan hunian atau komunitas yang diikat oleh satu meunasah (madrasah). Gampong sendiri terdiri dari beberapa jurong, Tumpok (kumpulan rumah) atau ujong (ujung gampong).
6
Penanda dari wilayah suatu gampong bisa dilihat dari keadaan fisik atau topografi alam setempat untuk menandai wilayah gampong yang satu dengan yang lain digunakan batas alam (sungai, tanah, gunung dan bukit). Gampong memiliki karakteristik yang ditandai dengan pola pemukiman yang padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Terdapat bangunan rumah berbentuk rumah panggung dengan meunasah sebagai tempat beribadah yang terletak di tengah-tengah gampong.7
Satuan komunitas tersebut merupakan entitas kolektif yang didasarkan pada hubungan saling mengenal dan saling membantu dalam ikatan geneologis maupun teritorial. Satuan komunitas ini membentuk kesatuan masyarakat hukum yang pada asalnya bersifat komunal. Pada mulanya satuan-satuan komunitas tersebut terbentuk atas kebutuhan anggotanya sendiri. Untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidupnya mereka membuat lembaga yang diperlukan. Lembaga yang dibentuk mencakup lembaga politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Dengan demikian, lembaga yang
5
Abdurrahman, Reusam Gampong, Majalah Jeumala, Edisi No. XXVII Juli 2008, Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2008, hal. 13.
6
M. Arief, Sanusi. Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekronstruksi Pasca Tsunami, Bogor: Pustaka Latin, 2005, hal 11.
7
Hiraswari Gayatri, Irine dan Septi Satriani (ed). Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung Aceh Era
(24)
terbentuk sangat beragam, tergantung pada pola-model tertentu berdasarkan adat-istiadat komunitas yang bersangkutan.
Karena konsep kekuasaan di Aceh tidak memisakan antara adat dan agama, maka konsep kekuasaan ini dijabarkan dalam pemerintahan hingga ke tingkat gampong. Gampong sendiri memiliki struktur pemerintahan yang dinamakan pemerintahan gampong. Gampong sebagai kesatuan masyarakat hukum memiliki hak dan kekuasaan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat terutama dalam meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, gampong memiliki peran dan fungsi yang strategis, yakni gampong memiliki susunan pemerintahan yang asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, penyelenggaraan pemerintah gampong merupakan subsistem dari penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan juga subsistem Pemerintahan Nasional, Gampong juga dapat melakukan penyusunan produk hukum, baik hukum publik, hukum perdata maupun hukum adat yang dirumuskan dalam bentuk qanun gampong, memiliki harta kekayaan, harta benda atau aset, bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan.
Gampong sebagai perwujudan demokrasi. Di dalam gampong dibentuk lembaga Tuha peut atau dengan sebutan lain sebagai lembaga yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, menetapkan legislasi serta mengawasi jalannya pemerintahan gampong. Di Gampong juga dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat sesuai kebutuhan yang merupakan mitra kerja Pemerintah Gampong dan juga memiliki sumber pembiayaan sendiri.
(25)
Pemerintahan gampong merupakan penyelenggara pemerintahan yang dilaksanakan oleh tiga pilar pemerintah gampong yaitu keuchik, Teungku imam meunasah, dan badan permusyawaratan gampong yang disebut Tuha peut (sekumpulan orang yang dituakan karena memiliki beberapa kelebihan). Tiga lembaga pemerintah gampong ini berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan gampong. Peranan masing-masing lembaga sudah diatur dimana keuchik mengurusi masalah pemerintahan, teungku imam meunasah dalam bidang keagamaan dan tuha peut sebagai perwakilan masyarakat gampong.8
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana kekuasaan yang dimiliki seorang keuchik, bagaimana ia menggunakan kekuasaannya untuk menjalankan sebuah pemerintahan gampong. Menarik bahwa disamping memimpin suatu gampong, seorang keuchik harus juga mengetahui secara mendalam tentang hukum Islam, menguasai adat-istiadat dan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat gampong yang Kekuasaan eksekutif berada pada kepala desa atau Keuchik. Keuchik merupakan representatif dari masyarakat gampong yang diberi mandat dan kepercayaan untuk menjalankan roda pemerintahan, menetapkan berbagai kebijakan gampong dalan upaya mensejahterakan masyarakat gampong. Urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh Keuhchik lebih banyak berorientasi pada adat. Hal itu sebagai implikasi dari kehidupan keseharian masyarakat gampong yang masih patuh menjalankan serta melestarikan nilai-nilai adat-istiadat dalam kehidupan bermasyarakat.
8
Hurgronje, C Snouck, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya. Jakarta: Indonesian–Netherlands Cooperation in Islamic Studies.1996 hal 53.
(26)
dipimpinnya dalam tujuan menjaga keamanan, kenyamanan, kerukunan, dan ketertiban masyarakat gampong.
3. Perumusan Masalah
Penelitian ini membutuhkan suatu rumusan masalah yang merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari jalan pemecahannya atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah dan pembatasan masalah.9
9
Usman, Husaini & Purnomo. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung:Bumi Aksara. Hal 26
Keuchik dalam jabatannya sebagai kepala gampong, selain mengeluarkan peraturan atau kebijakan untuk mengatur pemerintahan gampong, namun juga mengurus segala hal dalam kaitannya menyangkut kesejahteraan gampong, antara lain sebagai hakim perdamaian antar penduduk, pemelihara kelestarian adat-istiadat dan syari’at Islam, dan lain-lain.
Maka pada penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah “ Praktik kekuasaan elit lokal yang dimiliki keuchik dalam sebuah sistem pemerintahan gampong dalam hal ini Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda sakti Kota Lhokseumawe”
(27)
Dari masalah di atas, maka pertanyaan yang akan menjawab masalah pada penelitian ini adalah bagaimana praktik kekuasaan Keuchik Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe ?
4. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
2. Mendeskripsikan kekuasaan praktik yang dimiliki keuchik dalam sistem pemerintahan gampong di Gampong Tumpok Teungoh, Kota Lhokseumawe.
3. Memahami dan menganalisis kekuasaan Keuchik dilihat dari Teori Kekuasaan.
5. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat terlebih lagi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan referensi tentang teori kekuasaan.
2. Secara akademis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya ilmu pengetahuan dalam bidang politik dan dapat menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosisal dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Secara praktis, bagi penulis sendiri penelitian ini memiliki manfaat dalam mengembangkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk menulis karya ilmiah
(28)
dan sebagai tahap akhir dalam penyelesaian program Strata Satu di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
5. Kajian Teoritis
Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari segi mana penelitian masalah yang akan diteliti.
Teori Kekuasaan
Kekuasaan (power) merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemahaman. Pertama, pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua, pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan ini berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan bahkan menerima tekanan pada sisi yang lain. 10
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah lakunya seseorang itu menjadi sesuai dengan keinginan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
11
10
Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2007, hal. 1 11
Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. Hal 35
Gejala kekuasaan ini adalah gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat yang hidup bersama. Ramlan Surbakti mendefinisikan kekuasaan
(29)
sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak lain berperilaku sesuai kehendak pihak yang mempengaruhi. Setiap manusia sekaligus merupakan subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Misalnya presiden membuat undang-undang (subjek dari kekuasaan), tetapi disamping itu dia harus tunduk pada undang-undang (objek dari kekuasaan). Hampir tidak ada seorangpun didunia ini yang tidak pernah memberi perintah ataupun menerima perintah. Hal ini kelihatan jelas dalam organisasi militer yang bersifat hirarkis dimana seorang prajurit diperintah oleh komandannya, sedangkan komandan ini diperintah pula oleh atasannya.
Kekuasaan menurut Ramlan Surbakti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, “kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berfikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.” Kekuasaan dilihat sebagai interaksi antara pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi, atau yang satu mempengaruhi dan yang lain mematuhi.12
Kekuasaan menurut Inu Kencana, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan terentu. Kekuasaan yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak
12
(30)
lain untuk kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan jadi, kekuasaan dapat didefenisikan sebagai hasil pengaruh yang diinginkan seseorang atau sekelompok orang.13
13
Inu kencana, Ilmu Politik, Jakarta: Rineke Cipta, 2000, hal. 53.
Kekuasaan adalah gejala yang selalu ada dalam proses politik. Politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral, karena begitu berkaitannya antara keduanya. Tujuan umum pemegang kekuasaan adalah untuk mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum ini dikelompokkan menjadi tujuan positif dan negatif. Kekuasaan positif ialah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dipandang penting dan diharuskan, sedangkan kekuasaan negatif ialah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah pihak lain mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak perlu, tetapi juga merugikan pihaknya.
Dengan kata lain, kekuasaan yang dimaksud adalah kemampuan untuk bertindak, untuk memerintah dan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mengubah tingkah laku atau mengerjakan apa yang dikehendaki dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan atau kepercayaan. Kedudukan diperoleh dengan cara kekuasaan fisik, pewarisan, pengangkatan dan lain sebagainya. Kekayaan diperoleh dengan cara menguasai beberapa sumber-sumber ekonomi maupun warisan yang diberikan. Sedangkan kepercayaan dapat diperoleh dengan mendapatkan dukungan masyarakat atau seorang pemimpin yang dianggap mempunyai wibawa.
(31)
Menurut Max Weber, kekuasaan adalah kemampuan, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemampuan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini. Sedangkan Laswell berpendapat bahwa kekuasaan itu adalah suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama. 14
Menurut pandangan Wahidin bahwa dalam perspektif yang lebih teknis, rincian dari sumber daya kekuasaan secara formal administratif ada 6 sumber kekuasaan, yaitu: 15
1) Kekuasaan Balas Jasa (RewardPower)
Yakni kekuasaan yang legitimasinya bersumber dari sejumlah balas jasa yang sifatnya positif ( uang perlidungan, perkembangan karier, janji positif dan sebagainya) yang diberikan kepada pihak penerima guna melaksanakan sejumlah perintah dan persyaratan lain. Faktor ketundukan seseorang atas kekuasaan dimotivasi oleh hal itu dengan harapan jika telah melakukan sesuatu akan memperoleh seperti yang dijanjikan.
2) Kekuasaan Paksaan (Coercive Power)
Berasal dari perkiraan yang dirasakan orang bahwa hukuman (dipecat, ditegur, didenda, dijatuhi hukuman fisik dan sebagainya) akan diterima jika mereka tidak melaksanakan perintah pimpinan. Kekuasaan akan menjadi suatu motivasi yang bersifat repressif terhadap kejiwaan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan pimpinan itu dan
14
Miriam Budiarjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hal 60 15
(32)
melaksanakan seperti apa yang dikehendaki. Jika tidak paksaan yang diperkirakan akan dijatuhkan.
3) Kekuasaan Legitimasi (LegitimatePower)
Kekuasaan yang berkembang atas dasar nilai-nilai internal yang mengemuka dan sering bersifat kontroversial bahwa seorang pimpinan mempunyai hak yang sah untuk mempengaruhi bawahannya. Sementara itu dalam sisi yang lain, seseorang mempunyai kewajiban untuk menerima pengaruh tersebut karena seorang lainnya ditentukan sebagai pimpinannya atau petinggi sementara dirinya seorang bawahan. Legitimasi yang demikian dapat diperoleh atas dasar aturan formal akan tetapi bisa juga bersumber pada kekuasaan muncul karena kekuatan alamiah dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang mendudukan seseorang beruntung memperoleh legitimasi suatu keputusan.
4) Kekuasaan Pengendalian atas Informasi (Control of InformationPower)
Kekuasaan ini ada dan berasal dari kelebihan atas suatu pengetahuan dimana orang lain tidak mempunyai. Cara ini dipergunakan dengan pemberian atau penahanan informasi yang dibutuhkan oleh orang lain maka mau tidak mau harus tunduk (secara terbatas) pada kekuasaan pemilik informasi. Pemilik informasi dapat mengatur sesuatu yang berkenaan dengan peredaran informasi, atas legitimasi kekuasaan yang dimilikinya.
5) Kekuasaan Panutan (ReferentPower)
Kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman secara kultural dari orang-orang dngan berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari
(33)
pemahaman religiositas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat-sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaannya.
6) Kekuasaan Keahlian (ExpertPower)
Kekuasaan ini ada dan merupakan hasil dari tempahan yang lama muncul karena suatu keahlian atau ilmu pengetahuan. Kelebihan ini menjadikan seorang pemimpin dan secara alamiah berkedudukan sebagai pemimpin dalam bidang keahliannya itu. Seorang pemimpin merefleksikan kekuasaan dalam batas-batas keahliannya itu dan secara terbatas pula orang lain tunduk pada kekuasaan yang bersumber dari keahlian yang dimilikinya karena ada kepentingan terhadap keahlian sang pemimpin.
Menurut Charles F. Andrian ilmuan politik pada umumnya menggambarkan distribusi kekuasaan itu ke dalam tiga bentuk, yakni model elite yang memerintah, model pluralis dan model populis. Model yang pertama, melukiskan kekuasan sebagai yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang yang disebut elite. Sedangkan model pluralis, yang menggambarkan kekuasaan sebagai yang dimiliki oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat dan berbagai lembaga-lembaga dalam pemerintahan. Dan kelompok populis, yang melukiskan kekuasaan sebagai yang dipegang oleh setiap individu warga Negara atau rakyat secara kolektif.16
16
Ibid., hal 56 Teori Elit
(34)
Di dalam kehidupan bermasyarakat dapat ditemukan adanya perbedaan di antara umat manusia satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu tidak hanya sebatas perbedaan yang bersifat fisik, tetapi juga perbedaan lainnya seperti bakat keterampilan dan kekayaan. Perbedaan tersebut dapat dinyatakan sebagai titik awal bagi munculnya kelompok-kelompok yang mempunyai keunggulan apabila dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya dalam suatu masyarakat yang sama. Anggota masyarakat yang mempunyai keunggulan pada gilirannya akan tergabung dalam suatu kelompok yang lebih dikenal dengan sebutan elit.
Secara etimologi kata elite berasal bahasa Latin ‘‘Eligere’’ yang berarti terpilih. Kata itu juga di gunakan di francis pada abad ke XIV yang mengandung pengertian yakni memilih.17
Terminologi elit, sebagaimana diungkapkan oleh Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, Suzanne Keller pemikir yang tergolong dalam elite theoritis memang menunjukan pada kelompok atau golongan yang ada di suatu masyarakat yang memiliki keunggulan atau superioritas apabila dibandingkan dengan kelompok atau golongan yang lainnya.18
Kata elite pada abad XVII digunakan untuk menggambarkan barang-barang dengan kualitas sempurna, penggunaan kata itu kemudian diperluas untuk merujuk kelompok-kelompok sosial yang unggul, misalnya unit-unit militer kelas satu atau tingkatan
17
Suzanne Keller. Penguasa dan Kelompok elit Peranan Elit dalam Masyarakat Modem. terjemahan Zahara D
Noer .Jakarta: Rajawali Press.1995.hal.3 18
(35)
bangsawan yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka teori elit memandang bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas yaitu sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah dan sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.19
Elit sering diartikan sebagai sekumpulan orang sebagai individu yang superior, yang berada dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan kekuasaan adalah kelompok yang berada di lingkaran kekuasaan maupun yang sedang berkuasa. Mosca dan Pareto dalam membagi stratifikasi masyarakat ke dalam dua kategori yaitu:20
1. Elit yang memerintah (governing elite). Kelas ini terdiri dari individu-individu yang secara langsung atau tak langsung mengendalikan dan memainkan peranan yang besar dalam pemerintahan.
2. Elit yang tidak memerintah (non-elite). Kelas ini terdiri dari individu-individu di luar sirkulasi pemerintahan.
Elit berdasarkan kajian teoritis yang dibangun awal-awalnya oleh Mosca dalam The Rulling Class, Pareto dan Michels mempunyai beberapa prinsip umum yaitu :21
1. Adanya kekuasaan politik, seperti juga barang-barang sosial lainnya di distribusikan dengan tidak merata. Gagasan Pareto tentang orang berdasarkan pemilikan akan barang yang berwujud kekayaan, kecakapan atau kekuasaan politik merupakan hal yang menunjukkan prinsip itu.
19
T.B. Bottomore.Elite dan Masyarakat. Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2006 hal. 1
20
SP Varma. Teori Politik Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo, Persada.2001. hal 202 21
Mas’oed Mohtar dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik.Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1986. Hal 78-79
(36)
2. Secara umum masyarakat dikategorikan ke dalam dua kelompok, mereka yang memiliki kekuasaan politik penting dan mereka yang tidak memilikinya.
3. Elit bersifat homogen, bersatu, dan memiliki kesadaran kelompok. Elit itu bukan merupakan penjumlahan orang saja tetapi individu yang berada dalam komunitas elit itu saling mengenal satu dengan yang lainnya, memiliki latar belakang yang sama (walaupun memiliki pandangan yang berbeda), memiliki nila-nilai yang sama dan kepentingan yang sama. dan anggotanya berasal dari satu lapisan masyarakat yang sangat terbatas
4. Elit mengatur sendiri kelangsungan hidupnya dan anggotanya berasal dari satu lapisan masyarakat yang sangat terbatas
5. Elit besifat otonom dan kebal akan gugatan dari siapapun yang diluar kelompoknya mengenai keputusan-keputusan yang dibuatnya. Semua persoalan politik penting diselesaikan menurut kepentingan atau tindakan kelompok.
Secara universal, Pareto dan Mosca memberikan konsep-konsep mengenai elit bahwa dalam setiap masyarakat senantiasa ada dan harus ada suatu kelompok minoritas yang memerintah masyarakat itu. Kelompok kecil itu merupakan kelas politik elit yang menduduki jabatan komando yang memerintah dan memegang kendali atas pemegang keputusan politik.22
Perbedaan antara konsepsi Pareto dan Mosca ialah bahwa elit politik itu dibedakan dari elit-elit lain yang kurang dekat dihubungkan dengan penggunaan kekuasaan, meskipun
22
(37)
mereka mungkin memiliki pengaruh sosial yang besar. Seperti halnya yang dapat kita lihat dengan seketika, gagasan tentang elit pada mulanya dipertentangkan dengan gagasan tentang sosial.
Elit sering diartikan sebagai individu-individu yang superior, yang berbeda dengan massa yang menguasai struktur dan jaringan-jaringan kekuasaan atau kelompok-kelompok sosial yang berada dalam lingkaran kekuasaan maupun yang sedang melaksanakan kekuasaan. Menurut Pareto menyebutkan bahwa elit politik terdiri dari dua komponen yaitu :
1. Elit Politik Lokal merupakan individu-individu yang menduduki jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilu dan dipilih dalam proses yang demokratis di tingkat lokal. Mereka yang menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat kebijakan-kebijakan politik. Elit politik itu seperti: Gubernur, Bupati dan Walikota, Pimpinan DPRD, para anggota DPRD, dan pemimpin-pemimpin partai politik.
2. Elit Non-Politik Lokal adalah seseorang atau individu yang menduduki jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik ini seperti: elit keagamanaan, elit organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan serta profesi dan lain sebagainya.
Menurut Pareto dan Mosca secara prinsip mereka menyatakan pendapat bahwa disetiap sistem masyarakat baik struktur masyarakat yang masih bersifat tradisional ataupun
(38)
tatanan masyarakat modern, pasti ditemukan sekelompok kecil minoritas individu yang memerintah anggota masyarakat lainnya.
Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).23
Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap masyarakat, suatu minoritas membuat keputusan-keputusan besar. Konsep teoritis yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca.
24
Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit
23
Lihat Jayadi Nas, Konflik Elit Di Sulawesi Selatan Analisis Pemerintahan dan Politik Lokal, Hal. 33. 24
(39)
adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat.
Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick. Menurutnya ada dua tradisi akademik tentang elit. Pertama, dalam tradisi yang lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul, atau menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Ke dua, dalam tradisi yang lebih baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik kelompok yang menghimpun yang menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai sektor dan tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.
Lipset dan Solari menunjukkan bahwa elit adalah mereka yang menempati posisi di dalam masyarakat di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting, yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan oleh Czudnowski bahwa elit adalah mereka yang mengatur segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yang memainkan peran utama yang fungsional dan terstruktur dalam berbagai lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri, komunikasi dan sebagainya.25
25
Ibid. Hal. 36
(40)
Schrool menyatakan bahwa elit menjadi golongan utama dalam masyarakat yang didasarkan pada posisi mereka yang tinggi dalam struktur masyarakat. Posisi yang tinggi tersebut terdapat pada puncak struktur masyarakat, yaitu posisi tinggi dalam bidang ekonomi, pemerintahan, kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan bebas. 26
Pandangan ilmuwan sosial di atas menunjukkan bahwa elit memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang memiliki/bersumber dari penghargaan masyarakat terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber kekuasaan itu bisa berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan, agama, kekerabatan, kepandaian dan keterampilan. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Charles F. Andrain yang menyebutnya sebagai sumber daya kekuasaan, yakni : sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian.
27
6. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistis, kompleks dan rinci. Penelitian yang menggunakan pendekatan induksi yang mempunyai tujuan penyusunan teori atau hipotesis melalui pengungkapan fakta.28
26
Ibid 27
Ibid. 38 28
Erlina, Metodologi Penelitian, Medan: USU Press, 2011, hal 14
Aplikasi penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor
(41)
mengungkapkan bahwa “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.29
6.1 Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.30
6.2 Lokasi dan Objek Penelitian
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusahan mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada masa sekarang. Penelitian deskriptif memusatkan perhatian kepada pemecahan masalah-maslaah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian dilaksanakan.
Untuk mendapatkan informasi dan data-data yang diperlukan, penelitian ini mengambil lokasi penelitian di wilayah Gampong Tumpok Teungoh , Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Sedangkan objek penelitian adalah pejabat Gampong Tumpok Teungoh dan warga Gampong Tumpok Teungoh.
29
Lecy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994, hal 3 30
Hadawari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1987, hal 63
(42)
6.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan, adalah penelitian atau kajian lapangan (field research), seperti wawancara dan observasi.31
6.4 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data primer peneliti menggunakan daftar pertanyaan wawancara dalam pengumpulan data, maka sumber data disebut informan, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui sumber seperti buku, laporan, jurnal dan lain-lain.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan lebih banyak bersifat uraian dari hasil wawancara dan studi dokumentasi. Data yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif serta diuraikan dalam bentuk deskriptif. Menurut Patton, analisis data adalah “proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan uraian dasar”.32 Definisi tersebut memberikan gambaran tentang betapa pentingnya kedudukan analisis data dilihat dari segi tujuan penelitian. Prinsip pokok penelitian kualitatif adalah menemukan teori dari data.Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Burhan Bungin, yaitu sebagai berikut:33
31
Tatang M. Arimin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal 130 32
Lecy J. Moleong, op.cit., hal 103 33
(43)
1. Pengumpulan Data (Data Collection)
Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data. Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara dan studi dokumentasi.
2. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan.
3. Display Data
Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajiannya juga dapat berbentuk matrik, diagram, tabel dan bagan.
4. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and Verification)
Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah disajikan. Antara display data dan penarikan kesimpulan terdapat aktivitas analisis data yang ada. Masalah reduksi data,
(44)
penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang terkait. Selanjutnya data yang telah dianalisis, dijelaskan dan dimaknai dalam bentuk kata-kata untuk mendiskripsikan fakta yang ada di lapangan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kemudian diambil intisarinya saja. Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap tahap dalam proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya melalui metode wawancara yang didukung dengan studi dokumentasi.
7. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang terperinci dari skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan ke dalam 4 bab, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, masalah penelitian, kerangka teori, dan metodologi penelitian.
BAB II : SISTEM PEMERINTAHAN GAMPONG TUMPOK TEUNGOH
KECAMATAN BANDA SAKTI KOTA LHOKSEUMAWE
Bab ini berisi pembahasan tentang profil gampong dan deskripsi dari sistem pemerintahan gampong, serta deskripsi dari elit lokal yang ada di sistem pemerintahan gampong, Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang
(45)
teori kekuasaan dalam elit lokal, dalam hal ini sistem pemerintahan gampong.
BAB III : KEKUASAAN KEUCHIK DI GAMPONG TUMPOK TEUNGOH KECAMATAN BANDA SAKTI KOTA LHOKSEUMAWE
Bab ini akan menyajikan hasil analisa dari wawancara mengenai bagaimana seorang keuchik menggunakan kekuasaannya dalam sistem pemerintahan gampong, dan analisa kekuasaan keuchik menggunakan teori kekuasaan dan teori pembagian kekuasaan.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab terakhir ini akan berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan, dan juga terdapat saran-saran dari hasil penelitian yang dilakukan.
(46)
BAB II
SISTEM PEMERINTAHAN GAMPONG TUMPOK TEUNGOH KECAMATAN
BANDA SAKTI KOTA LHOKSEUMAWE
Secara harfiah, pemerintahan berarti sebagai subyek melakukan tugas dan kegiatan tersebut sebagai pemerintah. Menurut Pamudji S, Pemerintahan diartikan menjadi dua, yakni dalam arti luas dan artian sempit. Pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional). Sedangkan pemerintah dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organisasi eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan.34
Oleh sebab itu pemerintahan desa harus ada struktur kepemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan dalam masyarakat tertentu. Desa yang otonom akan memberi ruang yang luas pada perencanaan pembangunan yang merupakan kebutuhannya nyata masyarakat dan tidak banyak terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi dan pemerintah. Potensi lain yang perlu dikembangkan dan diberdayakan adalah kelembagaan.
Mengingat bahwa pemerintah desa merupakan suatu organisasi, maka organisasi itu haruslah sederhana dan efektif serta memperhatikan dan mengingat kenyataan masyarakat setempat.
34
(47)
Kelembagaan yang ada di desa tidak perlu di seragamkan pada setiap desa. Suatu hal yang penting bahwa lembaga sosial merupakan wadah aspirasi masyarakat yang menjadi pendorong dinamika masyarakat desa, lembaga-lembaga sosial yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan budaya.
2.1 Sejarah Pembentukan Gampong
Siapa yang tidak mengenal Provinsi Aceh. Provinsi yang memiliki julukan ‘serambi mekah’ ini menyandang sebagai daerah istimewa yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya yang memiliki karakteristik khas sebagai daerah yang menerapkan syariah islam. Dikeluarkannya Undang-undang Pemerintahan Aceh sebagai manifestasi diakuinya Aceh sebagai daerah khusus dan berhak menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan kekhususan Aceh. Melalui Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ini juga Aceh ingin mengembalikan ciri kedaerahan yang selama ini telah tumbuh dan berkembang, hidup dan dijadikan pedoman oleh orang Aceh.35
Ciri khas kedaerahan Aceh ini bisa dilihat dari nilai maupun norma yang telah diimplementasikan dalam bentuk lembaga adat dan sosial sebagai bagian dari interaksi masyarakat Aceh. Manifestasi dari identitas khas Aceh ini bisa dilihat dari keberadaan kelembagaan yang asli yaitu gampong. Gampong merupakan sebutan untuk desa atau unit
35
(48)
pemerintahan terendah dalam struktur pemerintahan yang ada di Provinsi Aceh. Aceh memiliki konsep kekuasaan yang dibangun dari dua pilar, yakni agama dan adat. konsep kekuasaan ini diwujudkan melalui lembaga-lembaga kekuasaan dan sosial dari tingkat pusat (kesultanan) hingga ke tingkat gampong sebagai unit pemerintahan terkecil.36
Gampong sudah dikenal sejak zaman pemerintahan kerajaan Aceh pada tahun 1514. Pada saat itu bentuk pemerintahan terendah yang asli lahir dari masyarakat dalam sususan pemerintahan kerajaan Aceh yakni gampong. Gampong ini muncul pada suatu Qanun Maeukata Alam Al Arsyi yang menyebutkan bahwa kerajaan Aceh Raya Darussalam tersusun dari gampong (kampung/kelurahan), mukim (kumpulan gampong-gampong), sagoe (federasi dari beberapa nanggroe dan kerajaan).37
Dalam perjalanan sejarahnya, gampong memiliki lika-liku yang beragam disetiap rezim politik yang memerintah di Indonesia. baik pada masa kolonial dan pasca Indonesia merdeka. Pada masa kolonial belanda, Aceh dibagi menjadi dua bagian, yakni daerah indirect yang terdiri dari leih dari 100 zelfbestuur/landschap, dan daerah direct yang terdiri atas beberapa puluh daerah adat dan administratif. Untuk daerah zelfbestuur sendiri dipimpin oleh uleebalang, tentu saja sifat mengalir dari kesetiaan gampong dihentikan.
38
36
Gayatri, Irine H. 2007 Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh,LIPI Press.Hal 110
37
M.Mansur Amin,dkk.1988. Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan.Jakarta: Pustaka Grafika Kita. Hal 42-43
38
Nugroho Notosusanto et,al. 1990. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta:Depdikbud. Hal 146
(49)
Pada masa kolonial belanda, gampong banyak mengalami trasformasi sosial dan pergeseran nilai dan ikatan tradisional antara uleebalang, ulama dan warga gampong. Adanya praktik tanam paksa membuat ikatan tradisional antara warga gampong dan elit gampong berubah menjadi ikatan kontrak. Belanda secara efektif menjalankan politik indirect rule sampai ke unit pemerintahan paling bawah membuat para uleebalang menjadi kaki tangan belanda dalam mengontrol komoditas pertanian di gampong, sedangkan disisi lain, peranan ulama bagi gampong disingkirkan.39
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, salah satu agenda yang dipersiapkan bagi daerah-daerah di Indonesia yakni mengenai otonomi daerah. Desa diakui sebagai komunitas rakyat yang otonom dengan diakuinya hak – hak istimewa. Entitas otonom itu
Tidak berhenti sampai disitu, corak politik indirect rule yang diterapkan oleh pemerintah kolonial belanda membuat kepemimpinan gampong bercorak patrimonial. Kondisi gampong makin diperparah dengan masuknya penjajahan Jepang (1942-1945) di Indonesia. Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang, gampong di Aceh juga mengalami hal seperti demikian.
39
Suhartono.et,al. 2001. Politik Lokal: Parlemen Desa (Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah). Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Hal 44
(50)
seperti Zelfbestuurlandschappen dan Volksgemeenschappen 40
Melemahnya otoritas pranata pemerintahan gampong seperti uleebalang, keuchik, dan ulama tidak sekuat pada masa lampau karena adanya trasnformasi sosial dari pola
merujuk pada istilah Gampong di Aceh. Hak otonomi diberikan negara di tingkat paling bawah sampai ke desa bukan kelurahan sebagai kesatuan masyarakat untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Undang-Undang 22 tahun 1948 menyebutkan bahwa Desa sebagai daerah yang memiliki bentuk dan wewenang yang otonom untuk mengatur dan menjalankan pemerintahannya sendiri.
Meskipun otonomi dan diakuinya hak-hak istimewa bagi unit pemerintahan terkecil sudah diakui oleh pemerintah pusat. namun pada masa revolusi (1945-1950) terjadi kemerosotan terhadap komoditi pertanian yang berimbas pada stagnansi ekonomi gampong. Gampong yang pada awalnya merupakan tanah tempat bercocok tanam yang didiami oleh sekelompok manusia kini semakin ditinggalkan karena memudarnya ikatan sosial dan ikatan territorial.
40
Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen, secara tegas menyebutkan adanya dua kategori berbeda mengenai pemerintahan asli di Republik Indonesia. Keduanya adalah "Zelfbesturende landschappen" dan “Volksgemeenschappen”. Masyarakat hukum adat termasuk ke dalam kategori yang kedua. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan contoh volksgemeenschappen itu adalah nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Sementara zelfbesturende landschappen adalah pemerintahan swapraja yaitu suatu pemerintahan pribumi yang memperoleh otonominya karena sejumlah perjanjian dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
(51)
kehidupan agraris ke pola semi-urban mengakibatkan reduksi identitas cultural warga gampong.41
Pada masa orde baru berkuasa yakni tahun 1966 sampai dengan tahun 1998 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Isi dari Undang-Undang ini lebih bernuansa sentralistik. Melalui UU no. 5 tahun 1974 pemerintah Orde Baru menerapkan sistem sentralistis dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah mulai dari provinsi sampai ke desa. Pemerintah daerah dijadikan instrumen pemerintah pusat agar bisa melaksanakan semua kebijakan pusat secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, pemerintah pusat tidak memperkuat daerah otonom, tapi memperkuat wilayah administrasi. 42
Pada masa orde baru terjadi tekanan politik terhadap desa, dalam konteks negara Orde Baru yakni ketika rezim memberlakukan Undang-Undang No. 5/Th. 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan kelembagaan desa. Aturan ini mendefenisikan desa dalam pengertian administratif, yaitu suatu satuan pemerintahan desa sebagai strategi untuk mengontrol desa. Dengan demikian, secara resmi desa berada di rantai terbawah hierarki birokrasi sistem pemerintahan nasional. Akibatnya desa menjadi bagian dari struktur negara, yang meniadakan otonomi asli desa. Potret desa tersebut juga berlangsung
41
Hiraswari Gayatri, Irine dan Septi Satriani (ed). Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung Aceh Era
Otonomi Khusus. Jakarta:LIPI Press, 2007, hal 114
42
Hanif Nurcholis.2011.Hubungan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Serta Peran Wakil Pemerintah.Jakarta:Jurnal Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Terbuka Jakarta Vol. 2 No 2
(52)
di gampong di Aceh, daerah nusantara yang selama sekian puluh tahun sejak 1976 hingga 2003 mengalami abnormalitas politik karena berlangsungnya konflik bersenjata.
Bisa dilihat bahwa orde baru secara sistematis melakukan penghancuran terhadap eksistensi gampong di Aceh. Berbekal UU No 5 tahun 1979 yang berisi tentang penyeragaman satuan unit pemerintahan terkecil sebagai desa ini, orde baru juga menaruh elit-elit baru untuk menguasai pemerintahan daerah Aceh dalam rangka mengontrol gampong melalui teknokrat lokal, birokrasi militer dan ulama yang telah dikooptasi melalui MUI.43
Dampak dari pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa juga dirasakan oleh masyarakat Aceh di mana sebelumnya ada Keuchik yang memiliki otoritas mengurus dan menyelesaikan berbagai persoalan pemerintahan menurut adat, Teungku Imuem Meunasah berkompeten menangani persoalan di bidang keagamaan. Sedangkan sebutan untuk desa disebut dengan Gampong. Dan apabila ada persoalan di sebuah gampong langsung diselesaikan secara internal di dalam Gampong. Sedangkan pada saat pemberlakuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, Para keuchik atau pimpinan gampong tidak lebih dari kepanjangan tangan birokrasi di atasnya, yang tunduk dengan skema pembangunan, tanpa dapat melakukan inisiatif untuk membangun gampong jabatan
43
Hiraswari Gayatri, Irine dan Septi Satriani (ed). Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung Aceh Era
(53)
Teungku Imuem meunasah dihilangkan dari kelembagaan formal menjadi informal. Dan terjadinya penyeragaman sebutan desa di seluruh Indonesia.
Demikian juga halnya fungsi lembaga perwakilan gampong atau lembaga Tuha peut Gampong yang menyamai fungsi sebagai Lembaga Perwakilan dihapus dan diganti menjadi Lembaga Musyawarah Desa atau disebut LMD. Dalam kenyataannya LMD juga tidak mendapat peran yang maksimal, karena bisa dipastikan bahwa peranan LMD dalam rezim orde baru sangat impoten tidak bisa memenuhi representasi masyarakat karena diketuai oleh kepala desa sebagai kepanjangan tangan pemerintah secara bersamaan. Sehubungan dengan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia yang menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh memiliki ketahanan dan daya juang yang tinggi.
Setelah Rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998, sistem pemerintahan sentralistik mulai tergantikan posisinya oleh sistem pemerintahan desentralistik. Gelombang arus demokratisasi yang semakin populer dan menjadi pilihan negara-negara dalam sistem pemerintahannya khususnya di negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Terlebih lagi saat itu keadaan di Indonesia sangat mendukung, karena runtuhnya rezim Orde Baru. Masyarakat khususnya yang di daerah-daerah, yang selama ini merasa terbelenggu karena sistem pemerintahan orde baru, kemudian menyambut baik glombang demokratisasi di Indonesia. Menyambut proses demokratisasi di Indonesia, pemerintah kemudian
(54)
mengeluarkan Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Undang-Undang ini mengakui Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak asal-usul dan adat-istiadatnya. Oleh karena itu Desa bisa disebut dengan nama lain atau sesuai dengan kondisi sosial-budaya setempat.
Pada masa reformasi ini pula momentum bagi gampong untuk merevitalisasi diri. Dikeluarkannya UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi NAD yang ditindaklanjuti dengan Qanun No 5/2003 tentang gampong dalam membuka ruang guna kembali lagi ke adat dan agama islam. Gampong-gampong kembali untuk membangun kembali seperti bentuk dahulu sebagai self-governing community di unit pemerintahan terkecil di Aceh.
Pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Aceh dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.
(55)
Sebelum keluarnya Undang-undang Pemerintahan Aceh ini telah diberlakukan Undang- undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan untuk Aceh Besar telah mengeluarkan Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Gampong yang merupakan penjabaran dari Pasal 41 Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong. Qanun tersebut dimaksudkan untuk menata Pemerintahan Gampong yang salah satunya bertujuan untuk pembangunan masyarakat di Gampong.
Pengaturan sekarang ini, sudah melalui perjalanan sejarah yang panjang dalam konteks pengelolaan pemerintahan gampong di Indonesia. Terdapat empat masa pentiong yang harus dilihat dalam perkembangan pemerintahan mukim dan gampong, yakni :
1. Masa Kerajaan Aceh
2. Masa Orde Lama (1945-1979) 3. Masa Orde Baru (1979-1999)
4. Masa Orde Reformasi (1999-sekarang)
Gambar 1
(56)
Masing-masing masa pemerintahan memiliki struktur sendiri. Pemakaian pola berdasarkan strutur tersebut masing-masing, tidak bisa dilepaskan oleh peta politik yang terjadi. Dengan demikian, dalam lingkup yang luas, permasalahan pemerintahan gampong sebenarnya tidak lepas dari bagaimana perkembangan politik yang berlangsung di masa itu.
Tabel 1
Perbandingan Struktur Pemerintahan Sultan
Sagoe (Panglima Sagoe)
Mukim
Gampong
Kawom
Sagoe (Panglima Sagoe)
Mukim
Gampong
Kawom
Sagoe (Panglima Sagoe)
Mukim
Gampong
(57)
Masa Kerajaan
Aceh Masa Orde Lama Masa Orde Baru Masa Orde Reformasi
Sultan Pemerintahan pusat Pemerintahan pusat Pemerintahan pusat
Panglima Sagoe
Pemerintahan Provinsi
Pemerintahan Daerah Tingkat
I Pemerintahan Provinsi
Ulee Balang Pemerintahan Keresidenan
Pemerintahan Daerah Tingkat II
Pemerintahan Kabupaten/Kota
Imeum Mukim Pemerintahan
Kabupaten Pemerintahan Kecamatan
Pemerintahan Kecamatan
Keuchik Pemerintah
Kewedanaan
Pemerintahan Desa /
Pemerintah Kelurahan Pemerintahan Mukim
Pemerintahan
Mukim Pemerintahan Gampong
Pemerintahan Gampong
Sumber : dikutip dari Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, 2009, A Study of Panglima Laot, UN FAO Banda Aceh
Perubahan-perubahan regulasi ini menyebabkan perubahan pada pengaturan kelembagaan desa dan gampong di Aceh. Pemegang kekuasaan dalam bidang lembaga mengalami perubahan. Perubahan-perubahan itu dapat kita lihat dalam tabel berikut:
(58)
Tabel 2
Matriks Perbedaan Pengaturan Kelembagaan Desa dan Gampong di Aceh
Perangkat
Gampong (UU No. 11/Th.2006), Bab XV Pasal 115,116
Keuchik dan Sekretaris Gampong
Badan
Permusyawaratan Gampong atau
Tuha peut. Perangkat Desa
(UU
No.32/Th.2004)
Kepala Desa dan Perangkat Desa
B a m u s d e s ( Badan
Permusyawarata n Desa)
Perangkat
Gampong (Qanun No. 5/Th. 2003)
Keuchik dan Teungku / Imam Meunasah
Tuha peut
Perangkat Desa (UU No. 22/Th. 1999) Kepala desa, sekretaris desa. Badan Perwakilan Desa (BPD) Perangkat Desa
(UU No. 5/Th. 1979
Kepala Desa Lembaga Musyawarah Desa (LMD) Gampong Periode Kesultanan Aceh
Keuchik, waki menjalankan tugas uleebalang di gampong untuk mengawasi dan mengurusi kampung; imeum atau tengku meunasah menjalankan urusan bidang keagamaan Ureueng Tuha representasi dari masyarakat gampong sebagai lembaga pertimbangan dan penasihat keuchik. Lembaga
Eksekutif
Legislatif
Universitas
(59)
No. 1 2 Sekretaris gampong dan perangkat gampong lainnya. Secara langsung pada masyarakat pemilih Camat Sekretaris desa, Lembaga kemasyaraka tan desa Secara administratif kepada Bamusdes. Kepala Desa & Bamusdes Keurani Gampong dan
Kepala Urusan; Unsur Pelaksana (Tuha Adat, Keujreun Blang, Peutua Seunuboek, Pawang Laot, dan lain-lain); Kepala
Duson/Jurong. Bertanggung jawab kepada rakyat
melaluui Tuha peut
Keuchik , Bendahara,
Tuha peut Sekdes dan Kaur; Tokoh agama & adat; Kepala Dusun Kepada rakyat desa melalui LPJ. Kepala Desa, BPD
a. Sekdes dan Kepala Urusan b. Pimpinan Keagamaan c. Kepala Dusun d. Bidang Adat
Kepada pejabat berwenang melalui camat dan memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada Lembaga Musyawarah Desa
Kepala Desa ( Keppres nomor 8 tahun 1980, dilakukan LKMD) Keujreun Blang, Peutua Seunubok, Panglima Laot, dan lain-lain. Uleebalang, Sultan Aceh - Universitas Sumatera
(60)
Perangkat Eksekutif Pertanggu ng Jawaban Eksekutif Penyusuna n Anggaran dan Proyek 3 4 5 Diatur dengan qanun kabupaten/kota.
Sumber : Sulaiman Tripa, Rekonstruksi Gampong di Aceh, 2003 www.Acehinstitute.org ; C Snouck Hurgronje, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: Indonesian–Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1996), hal. 46.; Undang-Undang Pemerintahan Aceh (Law of Aceh Governance) No. 11 Thn. 2006, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 78–79.
Pendapatan Asli Desa, bagi hasil pajak retribusi kabupaten/kota, perimbangan keuangan pusat dan daerah dari kabupaten/kota, bantuan pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, hibah dan
b d i
Pendapatan Asli Gampong, Bantuan Pemerintah, Bantuan lain pemerintah atasan, sumbangan pihak ketiga; pinjaman gampong; (Instruksi Gubernur Provinsi NAD No. 04/Instr/2006 tentang Pedoman Alokasi Dana Gampong/ ADG) Pendapatan Asli desa Pendapatan Asli Desa, Bantuan Pemerintah, dan Bantuan lain pemerintah atasan. Universitas Sumatera
(61)
Hasi l p er tan ia n m el al u i t an ah m il ik ga m pong S um be r p en d ap at an 6 Tabel 3
Beda Gampong dan Desa No.
Variabel Pemerintahan Gampong Pemerintahan Desa
1. Peraturan Perundangan
• UU No. 18/2001 • Qanun No.5/2003
• UU. No. 32/2004 • PP No. 72/2005 2. Struktur
Pemerintahan
Di Bawah Mukim Di Bawah Kecamatan
3. Tugas • Menyelenggarakan
pemerintahan
• Melaksanakan pembangunan • Membina masyarakat • Meningkatkan pelaksanaan
Syariat Islam
• Penyelenggaraan urusan pemerintahan
• Pembangunan • Kemasayrakatan
4. Fungsi • Penyelenggaraan pemerintahan • Pelaksanaan pembangunan • Pembinaan kemasyarakatan • Syariat islam
• Percepatan pelayanan
• Penyelesaian sengketa hukum
• Penyelenggaraan urusan pemerintahan
• Pembangunan • Kemasayrakatan
5. Kewenangan • Kewenangan yang sudah ada
• Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak
(62)
berdasarkan aturan perundang-undangan
• Kewenangan melaksanakan tugas perbantuan yang disertai biaya
asal-usul desa • Urusan pemerintahan
kabupaten/kota yang diserahkan kepada desa • Tugas pembantuan (disertai
biaya)
• Urusan pemerintahan lainnya. Pembentukan,
pembubaran, Penggabungan
• Prakarasa masyarakat dengan memperhatikan persyaratan dan sosial budaya
• Dapat dihapus dan digabung apabila tidak lagi memenuhi persyaratan : jumlah penduduk minimal, luas wilayah, jumlah dusun/jurong, kondisi sosial budaya, potensi ekonomi dan SDA, sarana dan prasarana pemerintahan
• Pembentukann, penghapusan, dan/atau penggabungan desa dengan memperhatikan asal-ususlnya atas prakarsa masyarakat.
6. Eksekutif • Keuchik dan Imeum meunasah
• Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif
• Imeum Adalah penanggung jawab keagamaan
• Pemerintah Desa (kepala desa dan perangkat desa)
Tugas Eksekutif Tugas dan Kewajiban Keuchik
• Memimpin pemerintahan • Membina kehidupan
beragama dan pelaksanaan syariat islam
• Memelihara kelestarian adat • Memejukan perekonomian • Memelihara ketentraman • Menjadi hakim perdamaian • Mengajukan rancangan
reusam
• Mengajukan RAPBG • Mewakili gampongnya
didalam dan diluar
Tugas Kepala desa : • menyelenggarakan urusan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan
• memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa
• mengajukan rancangan peraturan desa
• menetapkan peraturan desa • menyusun dan mengajukan anggaran perbelanjaan desa • membina masyarakat dan
perekonomian
(63)
pengadilan
Tugas dan fungsi Imeum meunasah
• Memimpin kegiatan keagamaan
• Peningkatan peribadatan • Peningkatan pendidikan
agama
• dll
• mewakili desa didalam dan diluar pengadilan
• melaksanakan wewenang lain sesuai peraturan perundang-undangan
7. Legislatif • Tuha peut Gampong • Mitra kerja pemerintah
gampong
• Unsur : ulama, tokoh masyarakat, pemuka adat, cendikiawan
• Dibentuk melalui musyawarah gampong Tugas dan fungsi Tuha peut :
1. Meningkatkan pelaksanaan syari’at islam dan adat 2. Memelihara kelestarian adat 3. Fungsi legislasi
4. Fungsi anggaran 5. Fungsi pengawasan 6. Menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat
Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
8. Pertanggungjawaban eksekutif
• Keuchik bertanggung jawab kepada rakyat
• Tuha peut dapat meminta pertanggung jawaban keuchik
• Keuchik menyampaikan laporan kepada Imeum Mukim
9. Perangkat eksekutif • Sekretaris
• Staff (beberapa urusan)
• Sekretaris desa • Perangkat desa (PNS) 10. Keuangan dan Masalah keuangan gampong, Keuangan desa adalah semua hak
(1)
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, Dengan segala hormat dan kerendahan hati berikut ini dikemukakan beberapa saran-saran yang dapat menjadi bahan pertimbangan dan perhatian bagi kesejahteraan masyarakat Gampong Tumpok Teungoh , saran-saran tersebut adalah :
• Penerapan qanun mukim secara sempurna. Pihak-pihak Pemda (Camat s/d Propinsi) harus mensosialisasikan & menerapkan qanun secara benar. Pihak Gampong harus mengetahui & mampu menterjemahkan isi qanun mengenai mukim/gampong kedalam berbagai kehidupan sosial masyarakt gampong/mukim
• Keuchik untuk dapat lebih melibatkan camat & warga gampong dalam perencanaan dalam pemerintahan gampong.
• Ada komitmen dari pemerintah pusat sampai dengan tingkat kecamatan untuk menjadikan gampong sebagai mitra kerja dalam pembangunan daerah
• Transparansi informasi yang jelas bagi masyarakat atas kegiatan pemerintahan gampong, baik dari segi pemerintahan dan pembangunan gampong.
• Keuchik dan Mukim diberi kewenangan untuk pengelolaan sumber daya alam dalam wilayahnya
• Perangkat gampong & mukim secara terus menerus harus meningkatkan pengetahuan mengenai qanun & kebijakan daerah mengenai gampong & mukim
• Hendaknya hubungan antara pemerintah dan masyarakat terjalin akrab sehingga masyarakat mengetahui semua keputusan dan kebijakan yang di ambil pemerintah.
(2)
• Lemahnya Aparatur Penyelenggara Pemerintah Gampong dalam memahami Tugas dan Fungsi masing-masing lembaga.
• Lemahnya Aparatur Pemerintah Gampong dalam menjalankan fungsi manajemen organisasi Pemerintahan Gampong, baik dalam aspek Perencanaan Pembangunan Gampong (RPJMG dan RKPG), Perencanaan dan Pengelolaan APBG (Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong)
• Rendahnya pengetahuan dan ketrampilan Aparatur Pemerintahan Gampong (Keuchik-Tuha peut) dalam membuat regulasi atau kebijakan-kebijakan (Peraturan Desa/Qanun Gampong)
• Hampir sebagian besar pemerintah gampong di Aceh tidak memiliki kantor sehingga dalam menjalankan manajemen organisasi menggunakan fasilitas tempat ibadah yang disebut dengan Meunasah (Mushola Gampong)
• Pemerintah Gampong di Aceh sebagian besar belum memiliki sarana dan prasarana penunjang dalam penyelenggaraan pemerintah, seperti perangkat komputer, struktur organisasi pemerintah gampong, serta sarana penunjang ke-administrasian lainya.
• Semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan yang terjadi pada pemerintahan gampong menuntut keuchik dan perangkat gampong untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas pelayanan gampong
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abbas, Syahrizal 2009. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Jakarta:Prenada Media Group.
Amin,M.Mansur dkk.1988. Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan. Jakarta: Pustaka Grafika Kita.
Arimin, Tatang M. 2000. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Budiarjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University Press. Bottomore, T.B..2006. Elite dan Masyarakat. Jakarta: Akbar Tandjung Institute.
Erlina. 2011. Metodologi Penelitian, Medan: USU Press.
Hurgronje, C Snouck. 1996. Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya. Jakarta: Indonesian– Netherlands Cooperation in Islamic Studies.
Kencana Syafe’I, Inu, 1998. Pengantar Ilmu Politik, Remaja Rosda Karya, Bandung, Maksudi, Beddy Iriawan. 2012. Sistem Politk Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik dan
(4)
Mas’oed, Mohtar dan Colin Mac Andrews. 1986. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
M. Arief, Sanusi. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekronstruksi Pasca Tsunami, Bogor: Pustaka Latin.
Nas, Jayadi. 2007. Konflik Elit Di Sulawesi Selatan Analisis Pemerintahan dan Politik Lokal. Jakarta:Yayasan Massaile dan Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin
Nawawi, Hadawari. 1987. Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Pamudji S. 1983. Perbandingan Pemerintahan. Jakarta:Bina Aksara
Qanun Aceh Nomor 09 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat
Qanun Kota Lhokseumawe No 07 Tahun 2009 Tentang Penghapusan Kelurahan Dan Pembentukan Gampong Dalam Wilayah Pemerintahan Kota Lhokseumawe.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam
(5)
Sulaiman, M. Isa dan HT Syamsuddin, 2001. Pedoman Adat Aceh: Peradilan dan Hukum Adat, Banda Aceh:Penerbit LAKA Prov.NAD.
Surbakti, Ramlan, 1992.Memahami Ilmu Politik, Jakarta, Grasindo.
Van Langen, K.I.H, 2001. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Alih Bahasa Aboe Bakar, Banda Aceh:Penerbit Pusat Dokumentasi dan Informasi AcehUndang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11/2006. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Usman, Husaini & Purnomo. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung:Bumi Aksara Varma, SP.2001. Teori Politik Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo, Persada.
Wahidin, Samsul. 2007. Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Belajar.
(6)
Abdurrahman, Reusam Gampong, 2008. Majalah Jeumala, Edisi No. XXVII Juli 2008, Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh.
Gayatri, Irine Hiraswari dan Septi Satriani (ed). 2007. Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung Aceh Era Otonomi Khusus. Jakarta:LIPI Press.
Gayatri, Irine H. 2007 Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh,LIPI Press.
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, 2009, A Study of Panglima Laot, UN FAO Banda Aceh Tripa, Sulaiman (2003). Rekonstruksi Gampong di Aceh. www.acehinstitute.org pada 15
Februari 2014.