FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS

(1)

ABSTRACT

INHIBITORS FACTOR OF IMPLEMENTING REGIONAL POLICY RULES IN BANDAR LAMPUNG NUMBER 3 OF 2010 CONCERNING ON

PROMOTING STREET CHILDREN , BUMMER AND BEGGARS

by

SATRIA RAHMADANI PUTRA

Government's efforts in addressing the issue of Street Children, Homeless and Beggars always have across obstacles. Bandar Lampung city has issued Regional Regulation No. 3 of 2010 on the Living Enhancement of Waif Children, Homeless and Beggars. However, based on latest data has shown that since the implementation of such regulation, the number of street children, homeless and beggars have increased. The purpose of this study was to analyze Inhibiting factor toward the implementing the regulation No. 3 of 2010 on the living enhancement of Street Children, Homeless and Beggars.

The theory used in this research is about Theory of Inhibiting Factors expressed by Darwin cover Interest, Principle Benefits, Culture, Executive Officers and Budget . Type of research is a qualitative approach using descriptive analysis, and then data research was collected through interviews. The data obtained from the study was analyzed using descriptive analysis techniques


(2)

Based on interviews, it can be concluded that the obstruction of implementing such regulation is caused by the conflict of interest among the person or group of person who make benefit due to the existence of waif children , the homeless and the beggars . On the other hand, most people do not know the intent and the purpose of the legislation due to the lack of socializing itself. Psycho- mentality of the children, the homeless and beggars to keep cadge on and on. Furthermore the enforcement of legislation supremacy could be less. Either a fine or jail sentences by the executing officers have not been running as well. It could be caused by very limited budget , especially in the construction of shelter homes of Street Children , Homeless and Beggars


(3)

ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN

2010 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS

Oleh

SATRIA RAHMADANI PUTRA

Upaya Pemerintah dalam mengatasi permasalahan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis selalu menemukan hambatan. Kota Bandar Lampung telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis, akan tetapi berdasarkan data menunjukkan bahwa sejak dikeluarkannya kebijakan tersebut, jumlah Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis justru mengalami peningkatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Bandar Nomor 3 tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Teori Faktor-Faktor Penghambat yang diungkapkan oleh Darwin yaitu aspek Kepentingan, Azas Manfaat, Budaya, Aparat Pelaksana dan Anggaran. Tipe penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif, Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui wawancara


(4)

dan data yang diperoleh dari hasil penelitian akan di analisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif

Berdasarkan hasil wawancara, dapat dikemukakan simpulan bahwa penghambat pelaksanaan Perda tersebut dikarenakan adanya kepentingan dari orang atau sekelompok yang mendapatkan keuntungan dari keberadaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis tersebut. Disisi lain masyarakat belum mengetahui maksud dan tujuan dari Perda, dikarenakan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah. Mentalitas para Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis untuk meminta-minta, serta budaya masyarakat yang masih memanjakan. Kemudian penegakan sanksi Perda, baik berupa denda maupun hukuman kurungan oleh aparat pelaksana yang belum berjalan, serta anggaran yang sangat terbatas, terutama dalam hal pembangunan panti penampungan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis

Kata kunci : kemiskinan, kebijakan.


(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka menjamin penyelenggaraan tertib pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan adanya hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diletakkan dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah. Sehubungan dengan hal itu, maka pelaksanaan otonomi daerah diarahkan pada otonomi yang nyata dan bertanggung jawab agar dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.

Pengertian daerah otonom sebagaimana ditegaskan dalam “ Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengurus dan mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia ”.

Pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah daerah


(6)

setempat dalam pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka berbagai kewenangan serta pembiayaan kini dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Mulai saat itu pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, melaksanakan, serta mengevaluasi kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Melalui pemberian otonomi, banyak daerah-daerah yang berkembang sangat pesat terutama pada daerah perkotaan, tetapi juga tidak sedikit daerah yang mengalami banyak kesulitan dan tantangan pembangunan. Bagi daerah-daerah yang mengalami perkembangan pesat, ternyata juga menghadapi masalah dan tantangan, yaitu pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, sementara ketersediaan lahan pemukiman terbatas. Begitu juga pada daerah yang maju pesat, menjadi daya tarik bagi warga di daerah-daerah sekitarnya, sementara keterampilan mereka untuk mencari penghidupan di Kota sangat terbatas. Kondisi inilah yang pada akhirnya menyebabkan lahirnya masalah-masalah perkotaan, antara lain kriminalitas, pengangguran, dan tumbuhnya anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

Persoalan-persoalan kota sebagaimana yang tergambarkan diatas, juga terjadi di Kota Bandar Lampung. Sejumlah warga Kota Bandarlampung menyayangkan pemerintah setempat belum melaksanakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,


(7)

Gelandangan dan Pengemis. "Buktinya masih banyak pengemis dan gelandangan di perempatan lampu merah.

Tabel 1. Jumlah gelandangan dan pengemis tahun 2010-2012

No Tahun Jumlah

1 2010 55 orang

2 2011 65 orang

3 2012 73 orang

sumber data dinas sosial 2010-2012

Keberadaan mereka sangat mengganggu dan mengkhawatirkan. Sehingga tidak jarang masyarakat yang mengungkapkan kegelisahannya pada aparat pemerintah yang seharusnya melaksanakan perda tersebut," Menurut Nasrul, warga Kedaton, Bandar Lampung, Minggu. Ia pun menjelaskan, di pertigaan Jalan Teuku Umar dengan Jalan A Rivai arah RSUD Abdoel Moeloek Lampung sudah dipasang tentang perda tersebut yang dilengkapi gambar Wali Kota Bandarlampung Herman HN. "Di sana jelas tertulis larangan dan ancaman memberikan sesuatu kepada pengemis atau anak jalanan, tetapi masih banyak pengemis di sana," menurutnya.

Semestinya, menurutnya jika melarang pengguna jalan memberikan sesuatu, para pengemis dan anak jalanan tersebut dilakukan pembinaan agar tidak


(8)

"beroperasi" lagi. "Umumnya pengendara memberikan sesuatu memang karena iba atau khawatir kendaraannya diganggu oleh mereka. Semestinya pemerintah menertibkan para pengemis dan anak jalanan tersebut," menurutya lagi. Warga lainnya, Adi Wibowo mengatakan hal serupa bahwa belum terlihat aksi dari aparat pemerintah untuk menertibkan dan mengeksekusi pelaku pelanggar perda tersebut. "Kita pengguna jalan serba salah. Ingin memberikan sesuatu terutama berupa uang kepada pengemis dan anak jalanan itu, namun larangan dalam perda jelas yakni ada ancaman hukuman penjara dan denda yang cukup besar.

Karena itu, ia pun meminta pemerintah setempat segera melakukan penertiban kepada anak jalanan dan pengemis yang masih beroperasi di sejumlah pertigaan atau perempatan lampu merah. Pantauan di sejumlah lokasi yang kerap dijadikan tempat oleh para pengemis, pengamen dan anak jalanan untuk meminta-minta yakni di pertigaan Jalan Teuku Umar-A Rivai (arah RSUD Abdoel Moeloek), pertigaan Jalan Teuku Umar-Jalan Urip Sumoharjo, pertigaan Jalan Teuku Umar-ZA Pagaralam-Sultan Agung, perempatan Jalan Sultan Agung-Jalan Ki Maja. Ketika pagi hingga sore pengemisnya mayoritas lansia, sedangkan sore hingga malam hari anak-anak dan remaja. Umumnya mereka berpindah-pindah di sejumlah lokasi strategis tersebut, ungkap warga Tanjung Karang Pusat ini saat diwawancarai pada tanggal 2 maret 2012 lalu.


(9)

Sementara itu, di dalam Perda Kota Bandarlampung No. 03 Tahun 2010, tertulis ketentuan larangan yakni Setiap orang atau anak jalanan, gelandangan dan pengemis dilarang mengemis, mengamen atau menggelandang di tempat umum dan jalanan. Kemudian, Setiap orang atau sekelompok orang dilarang melakukan kegiatan mengemis yang mengatasnamakan lembaga sosial atau panti asuhan dan pengemis yang menggunakan alat bantu di tempat umum dan jalanan yang dapat mengancam keselamatannya, keamanan dan kelancaran penggunaan fasilitas umum.

Juga tertuang, setiap orang atau sekelompok orang tidak dibenarkan memberi uang dan atau barang kepada anak jalanan, gelandangan dan pengemis serta pengemis yang mengatasnamakan lembaga sosial atau panti asuhan dan pengemis yang menggunakan alat bantu yang berada di tempat umum dan jalanan. Sedangkan sanksi dalam perda tersebut yakni, pelaku akan dikenakan sanksi berupa pembinaan dengan cara interogasi, identifikasi serta membuat perjanjian yang mengikat agar mereka tidak melakukan kegiatan mengemis di tempat umum dan atau jalanan yang disaksikan oleh aparat dan atau petugas yang berwenang dan perjanjian dimaksud dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

Bagi gelandangan dan pengemis yang telah memperoleh pembinaan ternyata masih melakukan aktivitas mengemis akan diancam hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (Lima juta


(10)

rupiah). Dan bagi mereka yang memberikan sesuatu, diancam sanksi berupa kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (Satu juta rupiah).

(http://www.lampungpost.com/aktual Diakses Pada Tanggal 6 Agustus 2012 Pukul 14.00 WIB)

Dari hasil pengamatan penulis pada tanggal 23 Juni 2102 di beberapa lokasi dan pusat Kota Banar Lampung diantaranya yaitu Lampu Merah Kampus Universitas Lampung, Lampu Merah Way Halim dan Lampu Merah Kampus Teknokrat contohnya pun masih ditemukan sekelompok Anak jalanan, Gelandangan dan Pengemis yang berkeliaran melakukan aktifitasnya. Masalah keberadaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis terutama di kota-kota besar memang menjadi warna tersendiri serta menjadikan pekerjaan rumah bagi pemerintah Kota Bandar Lampung. Melihat kondisi seperti itu, Pemerintah Kota Bandar Lampung mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.

Pemerintah Kota Bandar Lampung telah beberapa kali melakukan penertiban anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Akan tetapi setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah tersebut, ternyata langkah penertiban anak jalanan, gelandangan dan pengemis yang sebelumnya pernah dijalankan hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan, yaitu terdapat permasalahan-permasalahan dalam proses pelaksanaan implementasi


(11)

kebijakan tersebut yang dinilai kurang efektif, Sementara sudah dua tuhan Peraturan Daerah tersebut sudah diberlakukan.

Hal-hal tersebut di atas adalah pendorong semangat peneliti untuk melakukan penelitian mengenai Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Bandar Nomor 3 tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Faktor-Faktor Apakah yang menghambat Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Bandar Nomor 3 tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Bandar Nomor 3 tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis kegunaan penelitian ini adalah sebagai sumbangan bagi perkembangan ilmu pemerintahan yang berkaitan dengan salah satu kajian pemerintahan, khususnya mengenai kebijakan pemerintah dalam


(12)

pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.

2. Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan penilaian kebijakan yang dibuat pemerintah Kota Bandar Lampung dalam rangka melakukan pembinaan terhadap Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Kebijakan

Kebijakan menurut para ahli seperti yang telah dikemukaan oleh Dye dalam (Leo Agustino, 2008:7) mengemukakan bahwa, kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan. Sementara menurut Carl Friedrich dalam (Leo Agustino, 2008:7) mengartikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu .

Kebijakan menurut pendapat Carl Friedrich yang dikutip oleh Wahab (Friedrich dalam Wahab, 2004:3) bahwa:

“Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan”

Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan dan umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus


(14)

mencari peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang diinginkan.

Hal tersebut berarti kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Apabila kebijakan berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut akan mendapat kendala ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik-praktik yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Dari pengertian tentang kebijakan pemeritah yang dikemukakan para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan pemerintah dalam penelitian ini adalah suatu lingkup kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah atau aktor pejabat pemerintah yang dilaksanakan maupun yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah atau kelompok lain untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga dalam penelitian ini peneliti akan melihat pelaksanaan dari adanya kebijakan pemerintah Kota Bandar Lampung dalam melakukan pembinaan anak jalanan,gelandangan dan pengemis dan kaitannya dengan ketertiban umum.

B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan Stewart yang dikutip oleh


(15)

Winarno, menjelaskan bahwa implementasi kebijakan adalah: “Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan eknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Lester dan Stewart dalam Winarno, 2002:101-102).

Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.

Implementasi kebijakan menurut Nugroho terdapat dua pilihan untuk mengimplementasikannya, yaitu langsung mengimplementasikannya dalam bentuk program-program dan melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2003:158). Oleh karena itu, implementasi kebijakan yang telah dijelaskan oleh Nugroho merupakan dua pilihan, dimana yang pertama langsung mengimplementasi dalam bentuk program dan pilihan kedua melalui formulasi kebijakan.

Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implmentasi Van Meter dan Van Horn juga


(16)

mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi, yaitu:

1. Ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumber-sumber kebijakan

3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana

4.Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

5. Sikap para pelaksana, dan

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik (Meter dan Horn dalam Wahab, 2004:79)

Keberhasilan suatu implementasi menurut kutipan Wahab dapat dipengaruhi berdasarkan faktor-faktor di atas, yaitu: Kesatu yaitu ukuran dan tujuan diperlukan untuk mengarahkan dalam melaksanakan kebijakan, hal tersebut dilakukan agar sesuai dengan program yang sudah direncanakan. Kedua,

sumber daya kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses implementasi kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan waktu (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:142).

Sumber-sumber kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber penggerak dan pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran pembiayaan kebijakan agar tidak menghambat proses


(17)

kebijakan. Sedangkan waktu merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan kebijakan, karena waktu sebagai pendukung keberhasilan kebijakan. Sumber daya waktu merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan. Ketiga, keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi pelaksana kebijakan.

Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya. Menurut Subarsono kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor, kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya (Subarsono, 2006:7). Keempat, komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya koordinasi implementasi kebijakan.

Menurut Hogwood dan Gunn yang dikutip oleh Wahab bahwa: “Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur administrasi yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yaitu praktik pelaksanaan kebijakan”. (Hogwood dan Gunn dalam Wahab, 2004:77).

Berdasarkan teori diatas maka Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula


(18)

sebaliknya. Kelima, menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Widodo, bahwa karakteristik para pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi (Meter dan Horn dalam Subarsono, 2006:101). Sikap para pelaksana dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai pelaksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap disiplin.

Hal tersebut dilakukan karena dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, setiap badan/instansi pelaksana kebijakan harus merasa memiliki terhadap tugasnya masing-masing berdasarkan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Keenam, dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino adalah sejauh mana lingkungan eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan, lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi, sosial, dan politik. (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:144). Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan suatu implementasi.

1. Tahap-tahap Implementasi Kebijakan

Untuk mengefektifkan implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka diperlukan adanya tahap-tahap implementasi kebijakan. (M. Irfan Islamy 1997: 102-106) membagi tahap implementasi dalam 2 bentuk, yaitu:


(19)

a. Bersifat self-executing, yang berarti bahwa dengan dirumuskannya dan disahkannya suatu kebijakan maka kebijakan tersebut akan terimplementasikan dengan sendirinya, misalnya pengakuan suatu negara terhadap kedaulatan negara lain.

b. Bersifat non self-executing yang berarti bahwa suatu kebijakan publik perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan pembuatan kebijakan tercapai. (Islamy 1997: 102-106).

Ahli lain, Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn dalam Solichin Abdul Wahab (1991: 36) dalam buku analisis kebijakan: dari formulasi ke implementasi kebijakan negara mengemukakan sejumlah tahap implementasi sebagai berikut:

Tahap I Terdiri atas kegiatan-kegiatan:

a. Menggambarkan rencana suatu program dengan penetapan tujuan secara jelas

b. Menentukan standar pelaksanaan

c Menentukan biaya yang akan digunakan beserta waktu pelaksanaan.

Tahap II: Merupakan pelaksanaan program dengan mendayagunakan struktur staf, sumber daya, prosedur, biaya serta metode

Tahap III: Merupakan kegiatan-kegiatan: a. Menentukan jadwal


(20)

c.Mengadakan pengawasan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program.Dengan demikian jika terdapat penyimpangan atau pelanggaran dapat diambil tindakan yang sesuai dengan segera. (Hogwood dan Lewis dalam Wahab 1991: 36)

Jadi implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan perencanaan penetapan waktu dan pengawasan, sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab, yaitu mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan.

Yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha administratif maupun usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran (target grup) tetapi memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh pada impelementasi kebijakan negara.

2. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan

Menurut Budi Winarno implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan: “ Alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk


(21)

menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Winarno 2002:102).

Adapun syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna menurut teori implementasi Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gun yang dikutif oleh abdul wahab, yaitu :

a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak

akan mengalami gangguan atau kendala yang serius. Hambatan-hambatan tersebut mungkin sifatnya fisik, politis dan sebagainya. b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang

cukup memadai.

c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia; d. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh suatu

hubungan kausalitas yang handal.

e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

f. Hubungan saling ketergantungan kecil.

g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.


(22)

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di lingkungannya. Menurut James Anderson, masyarakat mengetahui dan melaksanakan suatu kebijakan publik dikarenakan :

1. Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-keputusan badan-badan pemerintah;

2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan;

3. Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah, konstitusional, dan dibuat oleh para pejabat pemerintah yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan;

4. Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan itu lebih sesuai dengan kepentingan pribadi;

5. Adanya sanksi-sanksi tertentu yaang akan dikenakan apabila tidak melaksanakan suatu kebijakan. (Suggono, 1994:23)

Berdasarkan teori diatas bahwa faktor pendukug implementasi kebijakan harus didukung dan diterima oleh masyarakat, apabila anggota masyarakat mengikuti dan mentaati sebuah kebijakan maka sebuah implementasi kebijakan akan berjalan sesuai tujuan yang telah ditetapkan tanpa ada hambatan-hambatan yang mengakibatkan sebuah kebijakan tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.


(23)

3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:235), menjelaskan yang dimaksud dengan penghambat adalah hal yang menjadi penyebab atau karenanya tujuan atau keinginan tidak dapat diwujudkan.

Menurut Bambang Sunggono dalam buku Hukum dan kebijakan publik, implementasi kebijakan mempunyai beberapa faktor penghambat, yaitu:

a. Isi kebijakan

Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci, sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau programprogram kebijakan terlalu umum atau sama sekali tidak ada.

Kedua, karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan.

Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan dapat juga menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat terjadi karena kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia.


(24)

b. Informasi

Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik.Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.

c. Dukungan

Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut.

d. Pembagian potensi

Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas. (Sunggono, 1994: 149-153).


(25)

Sementara menurut Darwin (1999) menyatakan bahwa ada 5 aspek yang menjadi penghambat implementasi kebijakan, yaitu:

a. Kepentingan

Dalam proses implementasi suatu kebijakan publik seringkali menimbulkan konflik dari kelompok sasaran atau masyarakat, artinya terbuka peluang munculnya kelompok tertentu diuntungkan (gainer),

sedangkan dipihak lain implementasi kebijakan tersebut justru merugikan kelompok lain (looser), (Agus Dwiyanto,2000).

Implikasinya, masalah yang muncul kemudian berasal dari orang-orang yang merasa dirugikan. Upaya untuk menghalang-halangi, tindakan

complain bahkan benturan fisik biasa saja terjadi. Singkatnya, semakin besar konflik kepentingan yang terjadi dalam implementasi kebijakan publik, maka semakin sulit pula proses implementasi nantinya, demikian pula sebaliknya.

b. Azas manfaat

Dalam konteks pemerintahan yang efektif, pemerintah haruslah menyelesaikan persoalan-persoalan, walaupun tidak bisa dikatakan seluruh persoalan, karena keterbatasan diri pemerintah sendiri, untuk kemudian memberdayakan masyarakat atau melalui LSM dan organisasi lainnya untuk menyelesaikan persoalan mereka yang muncul dalam masyarakat.


(26)

Pada tataran “menyelesaikan persoalan” tersebut, artinya kebijakan sebagai upaya intevensi pemerintah harus bermanfaat bagi masyarakat baik langsung atau tidak langsung, dimana manfaat itu bagi pemerintah sendiri akan berdampak sangat positif. Jika dilihat dari aspek bermanfaat atau tidak, maka semakin bermanfaat implementasi kebijakan publik, dengan sendirinya dalam proses implementasi nantinya akan lebih mudah, mudah dalam arti untuk waktu yang tidak begitu lama implementasi, sebaliknya bila tidak bermanfaat, maka akan sulit dalam proses implementasi lebih lanjut.

c. Budaya

Aspek lain yang harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan publik adalah perubahan perilaku kelompok sasaran atau masyarakat, maksudnya sebelum implementasi kebijakan kelompok sasaran atau masyarakat melakukan sesuatu dengan pola implementasi kebijakan terdahulu. Ketika suatu kebijakan baru diimplementasikan, terjadi perubahan baik dalam finansial, cara atau tempat lain sebagainya. Perubahan tersebut akan menimbulkan resistensi dari kelompok sasaran.

Masalahnya, lebih banyak implementasi kebijakan yang menuntut perubahan perilaku, baik sedikit atau banyak, artinya pengambil kebijakan seharusnya memilih alternatif kebijakan yang paling kecil menimbulkan pengaruh pada perubahan perilaku kelompok sasaran atau masyarakat.


(27)

d. Aparat pelaksana

Aparat pelaksana atau implementor merupakan factor lain yang menentukan apakah satu kebijakan publik sulit atau tidak diimplementasikan. Komitmen untuk berperilaku sesuai tujuan kebijakan penting dimiliki oleh aparat pelaksana. Oleh Darwin (1999) mengatakan bahwa dalam hal ini diperlukan pengembangan aturan yang jelas dan sistem monitoring dan kontrol yang efektif dan transparan yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya perilaku aparat yang berlawanan dengan tujuan publik tersebut. Selain itu, masyarakat perlu diberdayakan agar lebih kritis dalam menyikapi perilaku aparat yang menyimpang. Perlu juga dipraktekkan, pilihan program sebagai upaya mengimplementasikan kebijakan in-built mekanisme yang menjamin transparansi dan pengawasan, hal ini penting untuk mengarahkan perilaku aparat. Selain itu, kualitas aparat dalam melaksanakan proses implementasi pun menjadi kendala yang sering dijumpai, terutama menyangkut implementasi kebijakan yang menumbuhkan keterampilan khusus.

e. Anggaran

Suatu program akan dapat terimplementasi dengan baik jika didukung oleh sumber daya yang memadai, dalam hal ini dapat berbentuk dana, peralatan teknologi, dan sarana serta prasarana lainnya. Kesulitan untuk melaksanakan satu program terkait erat dengan beberapa hal yang disebut


(28)

terakhir, bila sumber daya yang ada tidak mendukung, maka implementasi program tersebut nantinya akan menemui kesulitan.

Dari kedua pendapat ahli diatas terkait dengan faktor-faktor penghambat Implementasi Kebijakan, maka penulis menjadikan pendapat dari Darwin (1999) sebagai faktor-faktor penghambat Implementasi Kebijakan yaitu :

1. Kepentingan 2. Azas manfaat 3. Budaya

4. Aparat pelaksana 5. Anggaran

Karena sangat sesuai dengan kondisi dan keterbutuhan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

4. Model-Model Implementasi Kebijakan

Model Implementasi Daniel Mazmanian dalam Leo Agustino (2008:144), “berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasikan variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi”.


(29)

Variable-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu:

1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap

2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat 3. Variabel-variabel diluar Undang-undang yang mempengaruhi

implementasi.

Model yang dikembangkan oleh Donald Van Metter dan Carl Van Horn dalam Leo Agustino (2008:141), Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan pubik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel”.

Model ini mengandaikan bahwa imlementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik. Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implmentasi menurut Van Meter dan Van Horn juga mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi, yaitu:

1. Ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumber-sumber kebijakan

3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana

4.Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan pelaksanaan 5. Sikap para pelaksana, dan


(30)

Keberhasilan suatu implementasi menurut kutipan Agustino dapat dipengaruhi berdasarkan faktor-faktor di atas, yaitu:

1. Yaitu ukuran dan tujuan diperlukan untuk mengarahkan dalam melaksanakan kebijakan, hal tersebut dilakukan agar sesuai dengan program yang sudah direncanakan.

2. Kedua, sumber daya kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses implementasi kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan waktu (Meter dan Horn dalam Agustino, 2008:142). Sumber-sumber kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber penggerak dan pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran pembiayaan kebijakan agar tidak menghambat proses kebijakan. Sedangkan waktu merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan kebijakan, karena waktu sebagai pendukung keberhasilan kebijakan. Sumber daya waktu merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan. pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran pembiayaan kebijakan agar tidak menghambat proses kebijakan. Sedangkan waktu merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan kebijakan, karena waktu sebagai pendukung keberhasilan kebijakan. Sumber daya waktu merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan.

3. Keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya.

4. Sikap/kecendrungan para Pelaksana, sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan.

5. Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana, merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik

6. Dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino adalah sejauh


(31)

mana lingkungan eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan, lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi, sosial, dan politik (Meter dan Horn dalam Agustino, 2008:144). Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan suatu implementasi. lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi, sosial, dan politik (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:144). Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan suatu implementasi.

Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn Dalam Solichin (2008:71): Model ini kerap kali disebut sebagai The top down approach, menurutnya untuk mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia 4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kausalitas yang andal

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya

6. Hubungan saling ketergantungan harus sedikit

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan 8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat 9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

Berdasakan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down, maksudnya menurunkan atau menafsirkan


(32)

alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan.

Berdasarkan atas beberapa uraian tentang model implementasi kebijakan tersebut, maka diperkirakan dan diharapkan implementasi kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung dapat di analisa menggunakan model-model tersebut, tetapi lebih di tekankan pada penggunaan model implementasi yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn.

Kerangka analisis implementasi kebijakan tersebut sangat jelas dan diharapkan dapat memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik, juga memungkinkan analisis tersebut dapat mendestrifsikan hubungan antara pelaksanaan program dan hasilnya. Yaitu untuk menganalisis proses implementasi kebijakan Walikota Bandar Lampung tentang pembinaan para anak jalanan,gelandangan dan pengemis di Kota Bandar Lampung dalam rangka menjawab berbagai permasalahan dalam penelitian ini.

C. Tinjauan Tentang Pembinaan

Menurut Poerwadarmita (1987) Pembinaan adalah suatu usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.


(33)

Menurut Thoha (1989) Pembinaan adalah suatu proses, hasil atau pertanyaan menjadi lebih baik, dalam hal ini mewujudkan adanya perubahan, kemajuan, peningkatan, pertumbuhan, evaluasi atau berbagai kemungkinan atas sesuatu. Menurut Widjaja (1988) Pembinaan adalah suatu proses atau pengembangan yang mencakup urutan-urutan pengertian, diawali dengna mendirikan membutuhkan memelihara pertumbuhan tersebut yang disertai usaha – usaha perbaikan, menyempurnakan dan mengembangkannya.

Sedangkan jika yang terdapat pada Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung no 3 tahun 2010 tentang Pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, maka yang dimaksud dengan Pembinaan adalah Segala upaya atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan/ atau masyarakat untuk mengatasi masalah anak jalanan, gelandangan dan pengemis dan keluarganya supaya dapat hidup dan mencari nafkah dengan tetap mengutamakan hak-hak dasar bagi kemanusiaan.

Dalam mewujudkan tujuan pembinaan pada Peraturan Daerah Kota Bandar lampung nomor 3 tahun 2010 tentang Pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, maka diselenggarakan program yang terencana, yakni:

1. Usaha pencegahan

2. Usaha penanggulangan, dan 3. Rehabilitasi sosial


(34)

D. Tinjauan Tentang Anak jalanan, gelandangan dan pengemis

Sesuai Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung no 3 tahun 2010 tentang Pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, maka yang dimaksud dengan Anak jalanan, gelandangan dan pengemis adalah:

1. Anak jalanan

Anak jalanan selanjutnya disebut Anjal adalah anak berusia 0 s/d 18 tahun yang beraktifitas dijalanan antara 4-8 jam perhari

2. Gelandangan

Gelandangan adalah seseorang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai norma kehidupan yang layak dalam masyarakat, tidak mempunyai mata pencaharian dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap.

3. Pengemis

Pengemis adalah seseorang atau kelompok dan/ atau bertindak atas nama lembaga sosial yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-meminta di jalanan dan/ atau ditempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain

E. Kerangka Pikir

Setelah disahkannya Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan anak jalanan, Gelandangan dan Pengemis, maka


(35)

pada dasarnya itu dijadikan dasar pedoman dalam melakukan Pembinaan yang terpadu bagi Anak jalanan, gelandangan dan pengemis tersebut. Namun sepanjang dua tahun perjalanan Kebijakan tersebut sejak tahun 2010 ternyata masih dirasakan tidak optimal.

Untuk mempermudah memahami kerangka pikir ini, maka secara sederhana penulis menggambarkan kedalam bagan berikut ini :

BAGAN KERANGKA PIKIR Perda Kota Bandar Lampung No. 3 tahun 2010

tentang Pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis

Pelaksanaan Perda (Bermasalah), masih banyak anak jalanan, gelandangan dan pengemis yang berada pada beberapa titik lokasi di Kota Bandar Lampung

Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan menurut Darwin (1999) : 1. Kepentingan

2. Azas manfaat 3. Budaya

4. Aparat pelaksana 5. Anggaran


(36)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif, yang artinya penelitian yang mengelola data dan fakta yang ada untuk selanjutnya dinalisis. Teori-teori, konsep-konsep dan data hasil penelitian yang diperoleh dilapangan digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan dan menjawab permasalahan yang ada di lapangan menurut Masri Singarimbun (1995: 65).

Menurut Hadari Nawawi (2001: 63) menjelaskan :

”Penelitian deskriptif adalah sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang nampak sebagaimana adanya, yang tidak terbatas, pada pengumpulan data dan penyusunan data, tetapi melihat analisa dan interpretasi tentang arti data itu”.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian menyatakan pokok persoalan apa yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian kualitatif. Hal ini karena penelitian kualitatif tidak dimulai dari sesuatu yang kosong atau tanpa adanya masalah, baik


(37)

masalah-masalah yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui kepustakaan ilmiah. (Moleong, 2005:62).

Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus yang berisi pokok masalah yang masih bersifat umum. Penetapan fokus dalam penelitian kualitatif sangat penting karena untuk membatasi studi dan untuk mengarahkan pelaksanaan suatu penelitian atau pengamatan. Fokus dalam penelitian ini bersifat tentatif yang artinya dapat berubah sesuai dengan situasi dengan latar belakang penelitian.

Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah untuk membatasi studi dan bidang kajian penelitian, karena tanpa adanya fokus penelitian, maka peneliti akan terjebak pada melimpahnya volume data yang diperoleh dilapangan, Oleh karena itu fokus penelitian memiliki peranan yang sangat penting dalam membimbing dan mengarahkan jalannya penelitian, melalui fokus penelitian, informasi yang diperoleh dari lokasi penelitian sesuai dengan konteks permasalahan yang akan diteliti.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka fokus dalam penelitian ini adalah mengenai Faktor-faktor penghambat implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Yang akan dilihat dari:


(38)

2. Azas manfaat 3. Budaya

4. Aparat pelaksana 5. Anggaran

C. Penentuan Informan

Penentuan informan merupakan hal yang sangat penting untuk mendapatkan hasil penelitian. Sumber data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang baru diperoleh melalui wawancara dengan penentuan informan berdasarkan teknik purposive sampling dimana penentuan informan berdasarkan pertimbangan tertentu.

Teknik penentuan informan dilakukan secara purposive sampling. Berkaitan dengan teknik purposive sampling, menurut Spreadley dan Faisal (1990: 67) teknik pengambilan sampel purposive adalah sampel ditetapkan secara sengaja oleh peneliti, dalam hubungan ini lazimnya dinyatakan atas kriteria-kriteria atau pertimbangan-pertimbangan tertentu, jadi tidak melalui proses pemilihan sebagaimana yang dilakukan dalam teknik random.

Selanjutnya, Spreadley dan Faisal mengungkapkan, agar memperoleh informasi yang lebih terbukti berdasarkan informan, terdapat beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan:

1. Subjek yang lama dan intensif dengan suatu kegiatan atau aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian;


(39)

2. Subjek yang masih terkait secara penuh dan aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian;

3. Subjek yang mempunyai cukup banyak informasi, banyak waktu, dan kesempatan untuk dimintai keterangan;

4. Subjek yang berada atau tinggal pada sasaran yang mendapat perlakuan yang mengetahui kejadian tersebut

Menurut Sugiyono (2009: 52), sumber informasi yang dipilih secara purposive sampling adalah :

Sebagai sampel sumber data yang ditetapkan secara sengaja untuk peneliti lazimnya didasarkan atas kreteria atau pertimbangan-pertimbangan. Penggunaan purposive sampling bertujuan untuk mengambil sampel secara subyektif dengan anggapan bahwa sampel yang diambil itu merupakan keterwakilan (representatif) bagi peneliti, sehingga pengumpulan data yang langsung pada sumbernya dapat dilakukan secara proporsional demi keakuratan penelitian”.

Adapun Informan yang akan menjadi sumber informasi bagi penulis dalam penelitian ini, yaitu:

1.Kepala Rehabilitasi Dinas Sosial Kota Bandar Lampung 2.Ka Sie Penertiban Kesatuan Pol PP

3.LSM LADA (Lembaga Advokasi dan Perlindungan Anak) 4.Ketua Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung

5.DR. Barthoven Vivit Nurdin (Akademisi)

6.Objek kebijakan (Anak Jalanan,Gelandangan dan Pengemis)


(40)

Berdasarkan permasalahan yang ada beserta fokus penelitian di atas maka yang akan menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah berasal dari Anak jalanan, gelandangan dan pengemis dan Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung yaitu dinas atau instansi pemerintah yang terkait dengan upaya Pembinaan Anak jalanan, gelandangan dan pengemis di Kota Bandar Lampung.

Penelitian ini perlu didukung dengan adanya data yang akurat dan lengkap. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan sumbernya yaitu:

1. Data Primer

Data primer merupakan sumber dari penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya. Berasal dari catatan yang relevan dengan masalah yang sedang diteliti melalui teknik wawancara. Sumber data primer diperoleh dari 1. Dinas Sosial Kota Bandar Lampung

2. Tim penertiban yang terdiri dari Ketua Tim (Kepala Kantor Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung) beserta Personil Pol PP.

3. Anak jalanan, gelandangan dan pengemis

Data primer ini diperoleh peneliti dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada sumber data. Data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan hasil wawancara berdasarkan panduan melalui daftar pertanyaan yang dilakukan oleh peneliti terhadap sumber data.


(41)

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara atau sumber data yang dicatat oleh pihak lain. Data sekunder dapat berupa dokumen yaitu Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Teknik Wawancara

Wawancara mendalam yaitu melakukan tanya jawab atau percakapan langsung dengan seluruh sumber data yang ada berdasarkan daftar pertanyaan yang diajukan oleh peneliti sebagai panduan sumber data untuk memperoleh kejelasan mengenai Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak jalanan, gelandangan dan pengemis

2. Observasi

Nasution dalam Sugiyono (2006: 226) menerangkan bahwa:

“Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan, para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Data itu dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang sangat canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan elektron)


(42)

maupun yang sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat diobservasi dengan jelas”

Berdasarkan definisi di atas, maka observasi merupakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data atau gambaran yang jelas dari objek penelitian yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Dalam obeservasi ini, penelitian ini mengkaji tentang Pembinaan Anak jalanan, gelandangan dan pengemis yang ditangani oleh pihak Pemerintah Kota Bandar Lampung.

Berdasarkan uraian tersebut, maka kegiata observasi dalam penelitian ini akan ditujukan pada kondisi objektif aktifitas dan langkah-langkah serta upaya yang ditempuh oleh pihak Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung dalam Implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak jalanan, gelandangan dan pengemis

3. Dokumentasi

Teknik pengumpulan dokumentasi dalam penelitian ini berupa catatan, literatur, jurnal atau skripsi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, agenda dan sebagainya. Dokumentasi dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang berkaitan dengan Pembinaan Anak jalanan, gelandangan dan pengemis di daerah Kota Bandar Lampung.


(43)

F. Teknik Pengolahan Data

Mengacu pada Winarno Surakhmad (dalam Sugiyono, 2006: 226) teknik pengolahan data merupakan teknik operasional setelah data terkumpul. Adapun tahap-tahap pengolahan data pada penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan dan wawancara tersebut kemudian diolah dengan cara :

1. Tahap Editing

Data yang diperoleh akan dokoreksi atau diperiksa apakah terdapat kesalahan atau meragukan, sehingga perlu disempurnakan.

2. Tahap Tabulasi

Pengolahan data dilakukan dengan pembuatan tabel terhadap data yang diperoleh, tidak semua data dimuat dalam bentuk tabel.

3. Tahap Interpretasi Data

Yaitu data yang telah diartikan atau didefinisikan baik melalui tabel maupun narasi yang diinterpretasikan untuk kemudian dilakukan penarikan kesimpulan sebagai hasil dari penelitian.

G. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan di analisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Teknik ini merupakan teknik analisis yang bertujuan untuk memberikan gambaran (deskripsi) tentang suatu


(44)

fenomena sosial. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data dapat dilakukan dalam beberapa tahap :

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ”kasar” yang muncul dari hasil wawancara. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisa yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan dapat ditarik dan diverifikasi.

2. Penyajian Data

Menurut Milles dan Huberman (1992 : 16-19), penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian yang sering digunakan pada data kualitatif adalah bentuk teks naratif (peristiwa-peristiwa yang ditampilkan secara berurutan). Transkip yang telah direduksi dilakukan display berdasarkan fokus penelitian dalam bentuk tabel dan narasi.

3. Verifikasi dan Kesimpulan

Dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keterangan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proporsi.


(45)

Dari data yang diperoleh diambil kesimpulanya. Pada awalnya kesimpulan itu belum jelas, namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan jelas. Hasil verifikasi data terhadap responden kemudian ditarik kesimpulan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. (Miles dan Huberman, 1992: 15-21)


(46)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Dinas Sosial Kota Bandar Lampung

1. Dasar Hukum terbentuknya Dinas Sosial

- Peraturan Wali Kota Bandar Lampung Nomor 15 Tahun 2008 tentang Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Sosial Kota Bandar Lampung

- Peraturan Daerah Nomor 03 tahun 2008 tentang pembentukkan organisasi Dinas Daerah Kota Bandar Lampung dan Keputusan Walikota Bandar Lampung Nomor 19 tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja Dinas Sosial Kota Bandar Lampung

Sumber: Profil Dinas Sosial Kota Bandar Lampung

2. Kedudukan, Tugas Pokok, dan Fungsi Dinas Sosial a. Kedudukan

Dinas Sosial adalah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah.


(47)

Dinas Sosial mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintah daerah dibidang Kesejahteraan Sosial berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

c. Fungsi :

Dalam melaksanakan tugas pokok, Dinas Sosial mempunyai fungsi : 1.Perumusan kebijakan teknis dibidang Kesejahteraan Sosial

2.Penyelenggaraan urusan Pemerintahan dan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya

3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya, dan 4.Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya

3. Susunan Organisasi

1. Susunan organisasi Dinas Sosial terdiri dari : a. Kepala Dinas

b. Sekretariat, membawahi :

1. Sub Bagian Penyusunan Program, Monitoring dan Evaluasi 2. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian

3. Sub Bagian Keuangan


(48)

1. Seksi Pemberdayaan dan Peningkatan Peran Kelembagaan Sosial dan Kemitraan

2. Seksi Pendayagunaan Sumber Dana Sosial

3. Seksi Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kejuangan d. Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, membawahi :

1. Seksi Pelayanan Sosial Anak, Lanjut Usia, dan Rehabilitasi Penyandang Cacat

2. Seksi Pelayanan Rehabilitasi Tuna Sosial

3. Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi Korban Narkoba e. Bidang Bantuan dan Jaminan Sosial, membawahi :

1. Seksi Bantuan Sosial Korban Bencana Alam dan Sosial 2. Seksi Penanggulangan Korban Tindak Kekerasan 3. Seksi Bantuan Fakir Miskin dan Jaminan Sosial f. Bidang Pengembangan Sosial, membawahi :

1. Seksi Penelitian dan Penyuluhan Kesejahteraan Sosial 2. Seksi Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial

3. Seksi Kesejahteraan Keagamaan


(49)

Struktur organisasi pada Dinas Sosial Kota Bandar Lampung dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

(Struktur Organisasi Dinas Sosial Kota Bandar lampung)

B. Gambaran Umum Kantor Kesatuan Polisi Pamong Paraja Kota Bandar Lampung

1. Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung merupakan salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 4 tahun 2008 tentang organisasi, tata kerja

Kepala Dinas

Sekretaris Kelompok Fungsional

Sub Bagian Tata Usaha

Jaminan Sosial Rehabilitasi

Pemberdayaan Sosial

UPTD


(50)

lembaga teknis daerah Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung, serta peraturan Walikota Bandar Lampung No. 30 tahun 2008 Tentang Tugas dan Fungsi, tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung.

Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung merupakan lembaga teknis daerah yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketetntraman dan ketertiban umum, selain itu juga merupakan unsur pendukung Pemerintah Daerah serta keputusan Kepala Daerah Kota Bandar Lampung. Satuan Polisi Pamong Praja merupakan bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh seorang kepala satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Kota Bandar Lampung.

(Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung 2012)

2. Tugas Pokok dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung

Berdasarkan peraturan Walikota Bandar Lampung No. 30 Tahun 2008 tentang tugas, fungsi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung. Maka tugas pokok satuan Polisi Pamong Praja membantu Walikota Bandar Lampung untuk memelihara dan


(51)

menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menjalankan produk hukum daerah.

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai fungsi:

1. Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman umum, serta penegakan produk hukum daerah

2. Pelaksanaan kebijakan pemeliharaandan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum di daerah

3. Pelaksanaan kebijakan penegakan produk hukum daerah

4. Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketetntraman dan ketertiban umum serta penegakan produk hukum daerah aparat kepolisian negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau aparatur lainnya

5. Pengawasan terhadap masyarakat agar memenuhi dan mentaati produk hukum daerah

6. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

3. Visi dan Misi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung Visi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung adalah: terwujudnya lingkungan yang tertib dan tentram.


(52)

Upaya untuk mencapai visi tersebut dijabarkan pada misi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung yaitu sebagai berikut:

1. Meningkatkan SDM yang berkompeten dibidangnya dan didukung oleh sarana prasarana yang memadai

2. Meingkatkan koordnasi antara lintas satuan kerja

3. Meningkatkan tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam ketertiban umum dan peraturan hukum daerah

(Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung 2012)

4. Tujuan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung

Tujuan merupakan penjabaran/implementasi dari pernyataan misi, dengan adanya tujuan akan memberikan arah yang lebih jelas untuk mencapai sasaran yang dituju. Kantor satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung menentukan sejumlah tujuan yang relevan untuk setiap misi yaitu:

1. Tujuan yang hendak dicapai dari misi yang pertama adalah terwujudnya keterpaduan program penertiban ketentraman dan penegakan Perda, perlu adanya koordinasi yang terencana dan tepat arah, sehingga rencana yang ada akan dilaksanakan perlu dukungan dari seluruh satuan kerja di Kota Bandar Lampung agar berjalan efektif dan efisien.

2. Tujuan yang hendak dicapai dari misi kedua adalah terwujudnya penertiban, pengawasan yang berkaitan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik maka personil yang duduk pada pemerintah


(53)

dituntut secara profesioal untuk meningkatkan kinerja yang semaksimal mungkin.

3. Tujuan yang hendak dicapai dari misi ketiga adalah agar sarana dan prasarana Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung sebagai suatu keharusan dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan berupa penyediaan sarana yang telah diprogramkan setiap tahun.

(Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung 2012)

5. Struktur Organisasi

Struktur organisasi pada Satuan Polisi Pamong Praja dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

(Struktur Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar lampung WAKIL WALIKOTA

KEPALA SATUAN

SUB BAGIAN TATA USAHA

Seksi

Penegakan Perda Dan Perundang-Undangan

Seksi Pembinaan Masyarakat Seksi

Kesemaptaan dan Ketentraman


(54)

C. Gambaran Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Advokasi Anak (LADA)

LSM LADA merupakan salah satu dari sekian banyak lembaga yang fokus terhadap penanganan permasalahan anak. Beberapa penanganan yang sering dilakukan oleh Lembaga Advokasi Anak ini antara lain Advokasi kebijakan untuk perlindungan anak, Pendampingan anak dan keluarga, dan Penguatan ekonomi keluarga

1. Visi dan Misi

a. Visi

Penyelenggara Negara, masyarakat, dan orang tua, memenuhi dan melindungi seluruh hak anak tanpa diskriminasi

b. Misi

1. Sistem negara yang demokratis yang memberikan perlindungan, pemenuhan, serta menghormati hak anak.

2.Terwujudnya kesadaran masyarakat dan orangtua dalam memenuhi, melindungi dan menghormati hak-hak anak.


(55)

2. Target Kelompok

1. Anak yang berkerja di perkebunan karet 2. Anak yang berhadapan dengan hukum 3. Anak yang dilacurkan

4. Anak Jalanan

5. Anak dari kaum miskin kota 6 Anak Korban Perdagangan Orang 7. Anak Korban Kekerasan

3. Program Utama

1.Advokasi Kebijakan Perlindungan Anak

LADA mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan peraturan-peraturan daerah untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak anak. LADA, misalnya, turut menggagas Perda Pelayanan Hak-hak Anak Provinsi. Perda ini menjadi acuan kabupaten kota dalam upaya pemenuhan hak-hak anak

2. Pendampingan anak

LADA memberikan layanan-layanan langsung bagi anak dalam bentuk layanan pendidikan (termasuk pelatihan ketrampilan kerja), layanan bantuan hukum, kesehatan dan sebagainya.


(56)

3. Penguatan Ekonomi

Bagi anak-anak yang sudah menginjak usia di atas usia kerja, LADA membantu anak-anak ini membangun usaha bersama dan sebelumnya anak-anak ini diberikan kesempatan magang di usaha-usaha lokal. Selain anak, LADA juga membantu orangtua untuk meningkatkan ekonomi keluarganya melalui pengembangan usaha kecil.

Terkait dengan pelaksanaan Peraturan Daerah No 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota Bandar Lampung, terdapat perbedaan fokus dari ketiga institusi / lembaga tersebut, baik Dinas Sosial, Satuan Polisi Pamong Praja maupun LSM LADA memiliki peran tersendiri. Secara keseluruhan, Dinas Sosial sebagai pemangku kebijakan dalam hal penanganan dan pembinaan terhadap Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis, demikian juga dalam proses rehabilitasi.

Satuan Polisi Pamong Praja selaku petugas dalam penertiban atau kegiatan razia kepada Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis, sedangkan LSM LADA adalah lembaga monitoring yang melakukan kontrol terhadap berjalannya Perda tersebut, dalam pelaksanaannya banyak sekali memberikan masukan kepada Pemerintah, baik sebelum Perda tersebut diberlakukan ataupun setelah disahkannya kebijakan tersebut.


(57)

D. Gambaran Umum Kebijakan Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis

Keberadaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota Bandar Lampung memang salah satu fenomena yang menjadi sorotan Pemerintah Daerah. Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 diharapkan dapat mengurangi jumlah anak jalanan, gelandangan dan pengemis yang ada di kota Bandar Lampung. Mengingat jumlah gelandangan dan pengemis semakin meningkat setiap tahunnya.

Berkurangnya jumlah gelandangan dan pengemis ini sangat berpengaruh dengan keadaan lingkungan kota Bandar Lampung. Diharapkan dengan berkurangnya jumlah gelandangan dan pengemis kota Bandar lampung menjadi kota yang bersih, rapih dan lebih nyaman seperti isi dari slogan yang terpampang di atas gapura-gapura yang ada di kota Bandar Lampung yaitu Lampung Tapis Berseri. Akan tetapi, pada kenyataannya masalah gelandangan dan pengemis inibelum sepenuhnya tertangani. Masih terlihatnya gelandangan dan pengemis terutama di pusat kota yang menjadi pusat perekonomian seperti pasar-pasar, emperan toko bahkan dijembatan-jembatan penyebrangan.

Dampak yang dapat ditimbulkan dengan adanya gelandangan dan pengemis ialah keadaan lingkungan yang kotor. Pada umumnya gelandangan tinggal atau tidur di teras-teras toko, bawah jembatan bahkan bawah pohon yang beralaskan kardus atau koran-koran bekas. Ketika mereka berpindah tempat,


(58)

acapkali meninggalkan alas tempat tidur mereka sehingga meninggalkan sampah yang berujung pada masalah kebersihan. Selain itu adanya gelandangan dan pengemis ini juga menyebabkan rasa ketidaknyamanan masyarakat luas. Contohnya saja ketika mereka beroperasi di jembatan-jembatan penyebrangan ataupun di teras toko yang memungkinkan banyak orang yang melewatinya sehingga cukup menganggu pengguna jalan tersebut.

Adanya pengemis juga cukup meresahkan masyarakat, banyak yang menganggap bahwa adanya pengemis dan gelandangan sangat mengganggu masyarakat. Keberadaan mereka bisa saja mengakibatkan masalah kejahatan (kriminal). Dari masalah-masalah inilah yang nantinya keberadaan mereka benar-benar tidak di harapkan oleh masyarakat luas. Maka penting untuk melihat apa saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan kebijakan Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ini.


(59)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Berdasarkan uraian dan keterangan yang telah dijabarkan dalam pembahasan mengenai analisis implementasi kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam Pembinaan anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis maka dapat disimpulkan bahwa Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis, yaitu :

1. Adanya tindakan eksploitasi dari orang tua serta tekanan dari preman yang mendapatkan keuntungan dari keberadaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis tersebut.

2. Masyarakat belum mengetahui maksud dan tujuan dari Perda, dikarenakan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah

3. Kemiskinan dan Mentalitas para Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis untuk meminta-minta, serta budaya masyarakat yang masih memanjakan.

4. Penegakan sanksi Perda, baik berupa denda maupun hukuman kurungan oleh aparat pelaksana yang belum berjalan.

5. Anggaran yang sangat terbatas, terutama dalam hal pembangunan panti penampungan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis


(60)

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah :

a. Pemerintah harus melakukan penindakan terhadap orang tua dan preman yang melakukan eksploitasi terhadap Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis

b. Pemerintah harus mengoptimalkan sosialiasi Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis kepada masyarakat.

c. Pemerintah bersama LSM terkait harus melakukan pembinaan dan pendampingan secara tersistematis

d. Penegakan sanksi terhadap pelanggar Perda

e. Pemerintah harus menambahkan anggaran dalam pelaksanaan Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis


(61)

(62)

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung Dunn, William N. Zoo. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada. Mada University Press.

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik. Gava Media. Yogyakarta Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Sangadji, Etta Mamang., dan Sopiah. 2010. Metodelogi Penelitian Pendekatan Praktis Dalam Penelitian. CV. Andi Offset. Yogyakarta.

Siagian, Sondang P. 2001. Analisis Serta Perumusan Kebijaksanaan Dan Strategi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Alfabeta. Bandung

Arikunto, Suharsini. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rieneka cipta. Jakarta


(63)

Perundang-undangan :

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 03 Tahun 2010 tentang Pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis

UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Website :

(http://www.lampungpost.com/aktual Diakses Pada Tanggal 6 Agustus 2012) (8tunas8.wordpress.com/2011/07/23/metode-penelitian-triangulasi/)


(1)

54

acapkali meninggalkan alas tempat tidur mereka sehingga meninggalkan sampah yang berujung pada masalah kebersihan. Selain itu adanya gelandangan dan pengemis ini juga menyebabkan rasa ketidaknyamanan masyarakat luas. Contohnya saja ketika mereka beroperasi di jembatan-jembatan penyebrangan ataupun di teras toko yang memungkinkan banyak orang yang melewatinya sehingga cukup menganggu pengguna jalan tersebut.

Adanya pengemis juga cukup meresahkan masyarakat, banyak yang menganggap bahwa adanya pengemis dan gelandangan sangat mengganggu masyarakat. Keberadaan mereka bisa saja mengakibatkan masalah kejahatan (kriminal). Dari masalah-masalah inilah yang nantinya keberadaan mereka benar-benar tidak di harapkan oleh masyarakat luas. Maka penting untuk melihat apa saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan kebijakan Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ini.


(2)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Berdasarkan uraian dan keterangan yang telah dijabarkan dalam pembahasan mengenai analisis implementasi kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam Pembinaan anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis maka dapat disimpulkan bahwa Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis, yaitu :

1. Adanya tindakan eksploitasi dari orang tua serta tekanan dari preman yang mendapatkan keuntungan dari keberadaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis tersebut.

2. Masyarakat belum mengetahui maksud dan tujuan dari Perda, dikarenakan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah

3. Kemiskinan dan Mentalitas para Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis untuk meminta-minta, serta budaya masyarakat yang masih memanjakan.

4. Penegakan sanksi Perda, baik berupa denda maupun hukuman kurungan oleh aparat pelaksana yang belum berjalan.

5. Anggaran yang sangat terbatas, terutama dalam hal pembangunan panti penampungan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis


(3)

83

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah :

a. Pemerintah harus melakukan penindakan terhadap orang tua dan preman yang melakukan eksploitasi terhadap Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis

b. Pemerintah harus mengoptimalkan sosialiasi Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis kepada masyarakat.

c. Pemerintah bersama LSM terkait harus melakukan pembinaan dan pendampingan secara tersistematis

d. Penegakan sanksi terhadap pelanggar Perda

e. Pemerintah harus menambahkan anggaran dalam pelaksanaan Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis


(4)

(5)

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung

Dunn, William N. Zoo. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada. Mada University Press.

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik. Gava Media. Yogyakarta

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Sangadji, Etta Mamang., dan Sopiah. 2010. Metodelogi Penelitian Pendekatan Praktis Dalam Penelitian. CV. Andi Offset. Yogyakarta.

Siagian, Sondang P. 2001. Analisis Serta Perumusan Kebijaksanaan Dan Strategi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Alfabeta. Bandung

Arikunto, Suharsini. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rieneka cipta. Jakarta


(6)

Rahmat, Jallaludin. 1997. Metode Penelitian. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Perundang-undangan :

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 03 Tahun 2010 tentang Pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis

UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Website :

(http://www.lampungpost.com/aktual Diakses Pada Tanggal 6 Agustus 2012) (8tunas8.wordpress.com/2011/07/23/metode-penelitian-triangulasi/)


Dokumen yang terkait

PERAN DINAS SOSIAL DALAM PENERTIBAN ANAK JALANAN, PENGEMIS DAN GELANDANGAN DI KOTA BANDAR LAMPUNG

20 104 46

EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS

0 8 61

EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN,GELANDANGAN DAN PENGEMIS

2 7 62

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEMENUHAN HAK ANAK JALANAN DAN IMPLEMENTASINYA DI KOTA PADANG BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS, PENGAMEN DAN PEDAGANG ASONGAN

0 1 17

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 Kota Medan Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis Serta Praktek Tuna Susila

0 1 9

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEMENUHAN HAK ANAK JALANAN DAN IMPLEMENTASINYA DI KOTA PADANG BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS, PENGAMEN DAN PEDAGANG ASONGAN

0 0 1

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEMENUHAN HAK ANAK JALANAN DAN IMPLEMENTASINYA DI KOTA PADANG BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS, PENGAMEN DAN PEDAGANG ASONGAN

0 0 1

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEMENUHAN HAK ANAK JALANAN DAN IMPLEMENTASINYA DI KOTA PADANG BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS, PENGAMEN DAN PEDAGANG ASONGAN

0 0 15

PENEGAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PEMBERI UANG KEPADA PENGEMIS DI KOTA MAKASSAR (PERDA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS DAN PENGAMEN)

0 1 86

Implementasi Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan Gelandangan Pengemis dan Pengamen di Kota Tangerang - FISIP Untirta Repository

0 0 12