EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS

(1)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2010

TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS

Oleh

RAFFKY ARIANSYAH

Anak yang hidup di jalan merupakan salah satu permasalahan krusial yang menyertai proses pembangunan. Masalah anak yang hidup di jalan merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, khususnya yang berada di daerah perkotaan. Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga fisik, mental maupun spiritual dalam kelompok tersebut. Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah efektivitas penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan apakah faktor-faktor penghambat efektivitas penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 dan upaya apakah yang dapat dilakukan untuk mengefektifkan penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010

Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, yaitu dengan melakukan studi kepustakaan, mencari literatur-literetur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, serta melakukan wawancara secara lisan terhadap narasumber untuk mendapatkan data pendukung guna penulisan skripsi ini.


(2)

Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan,gelandangan dan pengemis. Faktor-faktor penghambat penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat itu sendri, faktor kebudayaan. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengefektifkan penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 dengan memberikan sosialisasi maupun himbauan langsung kepada masyarakat sebelum mengefektifkan sanksi pidana di dalam Perda itu, lalu keseluruhan dari faktor penghambat efektivitas penerapan sanksi pidana dalam Perda tersebut harus diatasi dengan mencari sumber atau akar persoalan timbulnya anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu Pemerintah Kota Bandar Lampung membuat aturan pendukung Perda tersebut yang isinya mengatur tentang pemberdayaan pengemis dan anak jalanan agar mereka tidak kembali ke jalan seperti pemberian bekal keterampilan dan pemberian beasiswa bagi pengemis yang masih berusia sekolah, pengembangan sistem informasi kependudukan yang terpadu, pengembangan balai latihan kerja atau balai wirausaha, memperluas pelayanan dan rehabilitasi sosial.

Kata Kunci : Efektivitas Sanksi Pidana, Pengemis-Anjal, Perda Kota Bandar Lampung


(3)

(4)

(5)

(6)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 28 Maret 1992 merupakan putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Hendarmansyah dan Ibu Ruliati.

Penulis telah menyelesaikan pendidikan formal pada Taman Kanak-kanak Karya Utama Bandar Lampung, pada tahun 2004 penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Tanjung Senang Bandar Lampung, menamatkan Sekolah Menengah Pertamanya di SMP Negeri 21 Bandar Lampung pada tahun 2007 dan pada tahun 2010 menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 5 Bandar Lampung.

Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).

Pada tahun 2013 penulis mengikuti dan menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sukamaju, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran. Selama perkuliahan penulis aktif mengikuti kegiatan di PSBH (Pusat Studi Bantuan Hukum) Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(7)

MOTO

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari

betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.

- Thomas Alva Edison

"Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat kesalahan,

selama ia menjadi lebih bijaksana daripada sebelumnya."

-Alexander Pope

Belajarlah dari kesalahan orang lain. Anda tak dapat hidup cukup lama untuk

melakukan semua kesalahan itu sendiri.

- Martin Vanbee

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit

kembali setiap kali kita jatuh.


(8)

Dengan segala ketulusan dan kerendahan hari

Kuucapkan rasa syukur kepada Allah SWT,

Ku persembahkan karya kecil ku ini teruntuk :

Untuk Ibuku tercinta & Ayah

Yang tidak pernah berhenti menghaturkan doa

Dalam tiap hembusan nafas di tiap sujudnya, serta selalu

memberikan cinta dan kasih sayangnya kepadaku

yang selalu memberikan semangat, nasihat dan motivasi untuk

terus dapat menyelesaikan studiku selama ini

Adikku Tercinta

Lidya Ajeng Sari dan Indah Fitri Sari

Yang selalu memberikan dukungan moril kepadaku

Seluruh keluarga besar dan seluruh sahabatku

Atas dukungannya selama ini


(9)

SANWACANA

Alhamdulillah, segala puji penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan segala limpahan rahmat, hidayah, karunia dan ridho-nya, penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efektivitas Penerapan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis”.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H. M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Firganefi, S.H., M.H Selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarahan, motivasi dan sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H Selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, dorongan, dan semangat kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini


(10)

pemikiran, sehingga selesainya skripsi ini

5. Bapak Irzal Ferdiansyah, S.H., M.H Dosen Pembahas II, yang telah sudi meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan pemikiran, sehingga selesainya skripsi ini

6. Ibu Rini Fathanah, S.H. M.H Selaku Pembimbing Akademik yang telah bersedia membantu dalam proses perkuliahan hingga proses terselesaikannya skripsi ini

7. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, bimbingan dan bantuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung

8. Untuk Instansi tempat penulis melakukan riset, terima kasih atas bantuannya 9. Untuk Sahabat Terbaikku TERRY ABDULRAHMAN M S.H., M DONI

KURNIAWAN, MISYI GUSTHINI S.S., AJI RIDHO UTAMA S.H

10. Untuk teman-teman KKN Desa Sukamaju yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini

11. Semua teman-teman ku Angkatan 2010 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

12. Seluruh anggota PSBH

13. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, semangat dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu


(11)

menerima segala kritikan dan saran demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala yang diberikan oleh semua pihak dalam penulisan skripsi ini dan semoga skripsi ini akan dapat

bermanfaat bagi para pembaca. Amin Ya Robbal Alamin…

Bandar Lampung, September 2014 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………. 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………. 8

D. Kerangka Teori dan Konseptual ……….. 9

E. Sistematika Penulisan ……… 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Efektivitas Hukum ……….. 17

B. Pengertian Sanksi Pidana ……….. 17

C. Peraturan Daerah ………... 20

D. Ketentuan Pidana dalam Peraturan Daerah ……….. 26

E. Teori Efektivitas Hukum dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum……….. 30

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ………. 37

B. Sumber dan Jenis Data ……….. 37

C. Penentuan Responden ... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ………... 39


(13)

B. Efektivitas penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak

jalanan,gelandangan dan pengemis……… 43 C . Faktor penghambat sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar

Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis tidak diterapkan/ tidak

efektif………...………. 47 D. Upaya mengefektifkan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Nomor 3

Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan

pengemis……… 54

V. PENUTUP

A. Simpulan ………... 59 B. Saran ………. 62

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena anak yang hidup di jalan (atau yang selama ini kita kenal sebagai Anak Jalanan) merupakan salah satu permasalahan krusial yang menyertai proses pembangunan. Masalah anak yang hidup di jalan merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, khususnya yang berada di daerah perkotaan. Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga fisik, mental maupun spiritual dalam kelompok tersebut.

Dinamika kehidupan anak yang hidup di jalan berjalan sinkronis dengan kompleksitas permasalahan perkotaan yang berakar pada kondisi kemiskinan yang ada di daerah perkotaan maupun di daerah pinggiran kota. Sebagian besar dari mereka adalah para urbanisan yang tidak mempunyai bekal pendidikan dan ketrampilan yang memadai sehingga mereka tidak mampu memasuki sektor formal dan akhirnya mereka terpaksa bekerja seadanya di sektor informal. Mereka menciptakan pemukiman di sekitar pusat pertumbuhan ekonomi dan membuat komunitas dalam kelompok


(15)

orang-orang berpendapatan rendah atau kaum menengah kebawah. Dalam kehidupan perkotaan, keberadaan anak yang hidup di jalan sangat identik dengan munculnya kantong-kantong kemiskinan di beberapa wilayah perkotaan. Untuk menutup kebutuhan hidupnya, anak dipandang sebagai salah satu sumber daya dalam keluarga, mau tidak mau harus ikut bekerja demi tercukupinya kebutuhan hidup tersebut.

Anak menjadi pelaku maupun sebagai korban akibat dari kesejahteraan yang tidak terpenuhi. Padahal setiap anak Indonesia adalah aset bangsa. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Keberadaan anak jalanan gelandangan dan pengemis perlu dilindungi dan kesejahteraannya perlu ditingkatkan. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar secara rohani, jasmani maupun sosial. Di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi. Pemeliharaan kesejahteraan belum dapat dilaksanakan oleh anak sendiri, sehingga kesempatan, pemeliharaan dan usaha menghilangkan hambatan tersebut hanya


(16)

akan dapat dilaksanakan dan diperoleh bilamana usaha kesejahteraan anak terjamin.

Secara umum materi muatan Perda tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis mengandung nuansa yang pendekatan yang sifatnya represif melalui penerapan sanksi yang tegas. Materi-materi perda yang dianggap perlu dalam keberlangsungan pembangunan rumah tangga daerah dan kenyamanan, ketertiban menuju kesejahteraan masyarakat daerah, maka dibentuklah perda salah satunya tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis di Kota Bandar Lampung.

Setelah Perda berlaku dan mengikat maka akan timbul berbagai permasalahan penerapan dan penegakan perda. Proses penegakan Perda dalam penerapannya tidak efektif seperti yang dicita-citakan dikarenakan banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pembentuk peraturan perudang-undangan agar warga masyarakat mematuhi hukum adalah dengan mencantumkan sanksi yang akan dikenakan kepada setiap orang atau badan hukum yang tidak mematuhi ketentuan hukum tersebut. Pencantuman sanksi ini diharapkan dapat menimbulkan rangsangan agar orang tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum atau melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh hukum.

Peraturan perundang-undangan yang memuat sanksi pidana, antara lain adalah Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis menentukan :


(17)

Pasal 16

(1) Pelanggaran atas ketentuan pada Pasal 13 ayat (1) dan (2) peraturan daerah ini akan dikenakan sanksi berupa pembinaan dengan cara interogasi, identifikasi serta membuat perjanjian yang mengikat agar mereka tidak melakukan kegiatan mengemis ditempat umum dan atau jalanan yang disaksikan oleh aparat dan atau petugas yang berwenang dan perjanjian dimaksud dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

(2) Bagi gelandangan dan pengemis yang telah memperoleh pembinaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) kemudian selanjutnya ternyata masih melakukan aktivitas mengemis akan di ancam hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (Lima Juta Rupiah).

Pasal 17

(1) Pelanggaran atas ketentuan pada Pasal 14 peraturan daerah ini diancam sanksi berupa denda dan atau ancaman pidana kurungan.

(2) Pembinaan bagi pengguna jalan yang diduga melanggar atas ketentuan pada Pasal 14, dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian yang mengikat agar tidak melakukan tindakan yang sama dan perjanjian dimaksud dapat dijadikan alat bukti di pengadilan.

(3) Sanksi denda dan atau ancaman kurungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah)

Salah satu larangan bagi orang atau sekelompok orang yang diatur dalam Perda Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis, ditentukan dalam Pasal 13 dan 14, yaitu :

Pasal 13

(1) Setiap orang atau anak jalanan, gelandangan dan pengemis dilarang mengemis, mengamen, atau menggelandang di tempat umum dan jalanan. (2) Setiap orang atau sekelompok orang dilarang melakukan kegiatan mengemis

yang mengatas namakan lembaga sosial atau panti asuhan dan pengemis yang menggunakan alat bantu di tempat umum dan jalanan yang dapat mengancam keselamatannya, keamanan dan kelancaran pengguna fasilitas umum.


(18)

Pasal 14

Setiap orang atau sekelompok orang tidak dibenarkan memberi uang dan atau barang kepada anak jalanan, gelandangan dan pengemis serta pengemis yang mengatasnamakan lembaga sosial atau panti asuhan dan pengemis yang menggunakan alat bantu yang berada di tempat umum dan jalanan.

Kenyataannya dapat dilihat, bahwa saat ini masih banyak anak-anak di jalanan yang meminta-minta. Upaya pemecahan masalah anak jalanan dapat dilakukan secara berencana dalam konteks memberikan perlindungan dan mengaktualisasi hak-hak anak yang amat kompleks. Tindakan razia terhadap anak jalanan yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja, yang kemudian mengirimkannya ke panti-panti sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk dibina. Akan tetapi tak lama kemudian, mereka kembali lagi ke jalanan.

Memang sangat sulit untuk mengajak anak-anak jalanan kembali ke dunia normal anak pada umumnya, seperti bersekolah dan tinggal dengan tenang di rumah. Mereka lebih menikmati bermain dan mencari uang di pinggir jalan, yang menurut mereka lebih bebas. Hal inilah yang mempersulit kinerja Pembina anak jalanan untuk mengatasi mereka.

Melaksanakan tindakan tanpa kajian serius atas dampak sosial, hukum, psikologis bagi anak jalanan dan lingkungan, selain merupakan tindakan sepihak, juga kontra produktif. Seharusnya hasil tindakan adalah dapat berarti bagi Pemerintah daerah dan bagi anak jalanan agar mereka bisa fungsional, dapat melaksanakan berbagai fungsi kehidupan sebagai anak sehari-hari dengan baik seperti layaknya anak yang berada dalam lingkungan sebuah keluarga.


(19)

Upaya pengentasan anak jalanan tidak mungkin tanpa kerja sama, anak jalanan tidak harus ditangani sendiri oleh Dinas Sosial. Hal yang keliru jika pemerintah dan masyarakat masih berpikir demikian. Selain anak jalanan sebagai masalah sosial yang berbeban berat yang kompleksitas yang tinggi sehingga tidak mungkin dimonopoli satu instansi, pemenuhan hak anak terutama anak jalanan harus melibatkan serta merupakan tanggungjawab berbagai instansi. Mereka yang berurusan dengan kesehatan, pendidikan, agama, perempuan, dan tenaga kerja perlu dilibatkan.

Saatnya menggunakan, mengkaji, kebijakan dan pengetahuan indigenous. Jika kebijakan demikian dilakukan dengan serius maka dapat menjawab berbagai macam kebutuhan serta hak-hak anak jalanan di negeri ini, dan yang utama tumbuh kembang anak secara fisik dan psikis berlangsung dengan wajar serta normal.

Penanganan pengemis yang masih tergolong anak-anak juga harus diikuti penguatan program di bidang pemberdayaan, agar betul-betul dapat menekan jumlah mereka dimasa mendatang. Pemerintah Kota Bandar Lampung hanya fokus kepada penegakkan Perda Nomor. 3 Tahun 2010, akan percuma karena isi Perda itu tidak memuat tentang pemberdayaan mereka.

Perda Nomor. 3 Tahun 2010 yang berisikan larangan pemberian uang bagi pengemis atau pengamen oleh pengendara itu hanya bertujuan mengurangi jumlah pengemis di jalan protokol Bandar Lampung, namun tidak menyentuh akar masalah. Perda tersebut tidak memberikan solusi tentang upaya pengurangan


(20)

pengemis jalanan dalam jangka panjang. Terlebih banyak yang masih berusia anak-anak, Perda tersebut hanya sekedar menjadi simbol.

Bertolak dari uraian tersebut penulis tertarik untuk membahas masalah sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor. 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis melalui skripsi yang

berjudul “Efektivitas penerapan sanksi pidana dalam peraturan daerah nomor 3

tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis”.

B. Permasalahan dan Ruang lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, maka disusun rumusan masalah yang akan di teliti sebagai berikut :

a. Bagaimanakah efektivitas penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis ?

b. Apakah faktor penghambat penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis tidak diterapkan/ tidak efektif ?

c. Apakah upaya yang dapat dilakukan untuk mengefektifkan penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis ?


(21)

2. Ruang Lingkup

Ruang Lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana terhadap Efektivitas penerapan sanksi pidana dalam Perda tersebut. Ruang lingkup tempat penelitian skripsi ini, dilakukan di wilayah hukum Dinas Sosial Kota Bandar Lampung, Sat.Pol.PP Kota Bandar Lampung, DPRD Kota Bandar Lampung dan Lembaga Advokasi Anak (LAdA) Bandar Lampung tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah :

a. Untuk mengetahui efektivitas sanksi pidana dalam Perda Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis tidak diterapkan.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat penerapan sanksi pidana dalam Perda Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.

c. Untuk mengetahui upaya mengefektifkan penerapan sanksi pidana dalam Perda Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.


(22)

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana khusunya mengenai efektivitas penerapan sanksi pidana dalam Perda Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota Bandar Lampung.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada Pemda Kota Bandar Lampung dalam rangka upaya mengefektifkan penerapan sanksi pidana dalam Perda Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.1

Penulisan skripsi ini, perlu dibuat sebuah kerangka teoritis untuk mengidentifikasi data yang akan jadi pengantar bagi penulis dalam menjawab permasalahan skripsi ini. Kerangka teoritis yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah mencakup teori Efektivitas Hukum dan teori tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.

1


(23)

Teori tentang Efektivitas Hukum yaitu sebagai berikut : 2

Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur. Metode berpikir yang digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu.

Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.

Diperlukan kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi agar hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap tindak atau perilaku manusia. Kondisi-kondisi yang harus ada adalah antara lain bahwa hukum harus dapat dikomunikasikan. Komunikasi hukum lebih banyak tertuju pada sikap, oleh karena sikap merupakan

2

Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta


(24)

suatu kesiapan mental sehingga seseorang mempunyai kecendurangan untuk memberikan pandangan yang baik atau buruk, yang kemudian terwujud di dalam perilaku nyata.

Apabila yang dikomunikasikan tidak bisa menjangkau masalah-masalah yang secara langsung dihadapi oleh sasaran komunikasi hukum maka akan dijumpai kesulitan-kesulitan. Hasilnya yaitu hukum tidak punya pengaruh sama sekali atau bahkan mempunyai pengaruh yang negatif. Hal itu disebabkan oleh karena kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi dan dipahami, sehingga mengakibatkan terjadinya frustasi, tekanan, atau bahkan konflik.

Untuk mengetahui apakah hukum itu benar benar diterapkan atau dipatuhi oleh masyarakat maka harus dipenuhi beberapa faktor yaitu :

1. Faktor hukumnya sendiri 2. Faktor penegak hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum 4. Faktor masyarakat itu sendri

5. Faktor kebudayaan

Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum itu,juga merupakan tolak ukur dari efektivitas hukum.

Pasal 13 dan 14 Perda Kota Bandar Lampung No. 3 Tahun 2010 menentukan :

Pasal 13

(1) Setiap orang atau anak jalanan, gelandangan dan pengemis dilarang mengemis, mengamen, atau menggelandang di tempat umum dan jalanan. (2) Setiap orang atau sekelompok orang dilarang melakukan kegiatan mengemis


(25)

menggunakan alat bantu di tempat umum dan jalanan yang dapat mengancam keselamatannya, keamanan dan kelancaran pengguna fasilitas umum.

Pasal 14

Setiap orang atau sekelompok orang tidak dibenarkan memberi uang dan atau barang kepada anak jalanan, gelandangan dan pengemis serta pengemis yang mengatasnamakan lembaga sosial atau panti asuhan dan pengemis yang menggunakan alat bantu yang berada di tempat umum dan jalanan.

Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis menentukan :

Pasal 16

(1) Pelanggaran atas ketentuan pada Pasal 13 ayat (1) dan (2) peraturan daerah ini akan dikenakan sanksi berupa pembinaan dengan cara interogasi, identifikasi serta membuat perjanjian yang mengikat agar mereka tidak melakukan kegiatan mengemis ditempat umum dan atau jalanan yang disaksikan oleh aparat dan atau petugas yang berwenang dan perjanjian dimaksud dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

(2) Bagi gelandangan dan pengemis yang telah memperoleh pembinaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) kemudian selanjutnya ternyata masih melakukan aktivitas mengemis akan di ancam hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (Lima Juta Rupiah).

Pasal 17

(1) Pelanggaran atas ketentuan pada Pasal 14 peraturan daerah ini diancam sanksi berupa denda dan atau ancaman pidana kurungan.

(2) Pembinaan bagi pengguna jalan yang diduga melanggar atas ketentuan pada Pasal 14, dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian yang mengikat agar tidak melakukan tindakan yang sama dan perjanjian dimaksud dapat dijadikan alat bukti di pengadilan.

(3) Sanksi denda dan atau ancaman kurungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah)


(26)

Faktanya ketentuan Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 Perda Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 ini tidak diterapkan dan tidak efektif. Pengggunaan teori efektivitas hukum dari Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum diharapkan akan dapat menjawab permasalahan tersebut, baik permasalahan pertama yaitu mengetahui efektivitas penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan,gelandangan dan pengemis maupun permasalahan kedua, yaitu mengetahui faktor penghambat penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan,gelandangan dan pengemis tidak diterapkan/ tidak efektif serta permasalahan ketiga, yaitu mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengefektifkan penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti atau diketahui.3

Konseptual berdasarkan pada skripsi ini akan diuraikan untuk memberikan kesatuan pemahaman, yaitu :

3


(27)

1. Efektivitas adalah pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan (hasil guna). Efektivitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.4

2. Penerapan adalah perbuatan yang menerapkan sebuah metode dalam mencapai hasil tujuan yang maksimal sesuai dengan tujuan.5

3. Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah.6

4. Hukum Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu. Dikatakan Simons bahwa strafbaar feit itu adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.7

5. Anak jalanan selanjutnya disebut anjal adalah anak berusia 0 s/d 18 tahun yang beraktivitas di jalanan antara 4-8 jam per hari.

4

Ulum, MD Ihyaul, 2008, Sektor Publik, UMM Press, Malang.

5

Abdilah, Pius, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia Modern, Surabaya, Kartika

6

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 1 butir 7

7


(28)

6. Gelandangan adalah seseorang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai norma kehidupan yang layak dalam masyarakat, tidak mempunyai mata pencaharian dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap.8

7. Pengemis adalah seseorang atau kelompok dan/ atau bertindak atas nama lembaga sosial yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di jalanan dan/ atau di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi bertujuan untuk memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai pembahasan skripsi yang dapat dilihat dari hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain dari seluruh isi tulisan dari sebuah skripsi dan untuk mengetahui serta lebih memudahkan memahami materi yang ada dalam skripsi ini sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pendahuluan merupakan bagian yang memuat latar belakang masalah, kemudian permasalahan dan ruang lingkup, selanjutnya juga memuat tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual sebagai acuan dalam membahas skripsi serta sistematika penulisan.

8

Perda Kota Bandar Lampung No. 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengantar dalam pemahaman dan pengertian umum tentang pokok bahasan mengenai pengertian sanksi pidana, tujuan sanksi pidana, peraturan daerah, dan ketentuan pidana dalam perda.

III. METODE PENELITIAN

Bagian ini merupakan bagian yang menguraikan tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pendekatan masalah, sumber data, jenis data, tekhnik pengumpulan data, pengolahan dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri dari faktor yang menyebabkan sanksi pidana dalam Perda Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis tidak diterapkan dan tidak efektif, serta upaya mengefektifkan sanksi pidana dalam Perda Kota Bandar Lampung tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil akhir yang memuat kesimpulan penulis berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan. Selanjutnya terdapat juga saran-saran penulis yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Efektivitas Hukum

Menurut Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang efektivitas hukum, dibicarakan pula tentang Validitas hukum. Validitas hukum berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum., bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma-norma-norma-norma hukum. Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.

B. Pengertian Sanksi Pidana

Sanksi pidana atau sering disebut pidana saja (yang selanjutnya disebut pidana) merupakan istilah yang lebih khusus dari istilah hukuman. Maka, perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Agar memberikan gambaran yang lebih luas, berikut dikemukakan beberapa difinisi atau pendapat dari para sarjana sebagai berikut : 1. Roeslan Saleh menyatakan, “Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud

suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik

itu”.9

9


(31)

2. Sudarto mengemukakan, “Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu”.10

Berdasarkan kedua definisi di atas dapatlah dinyatakan, bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau cirri-ciri sebagai berikut :

1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (yang berwenang); dan

3. Pidana itu dikenakan kepada sesorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

“Selain ketiga unsur di atas, pidana harus juga merupakan pernyataan pencelaan terhadap diri si pelaku. Penambahan unsur pencelaan ini dimaksudkan untuk membedakan secara jelas antara pidana (punishment) dengan tindakan perlakuan perlakuan (treatment).11

Concept of punishment bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu : (a) pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan; dan (b)

pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku”.

Dengan demikian perbedaan antara punishment dengan treatment tidak didasarkan

10

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni.

11

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, Hal. 5


(32)

pada ada tidaknya unsur pertama, yaitu “penderitaan”, tetapi harus didasarkan pada ada tidaknya “pencelaan” sebagai unsur kedua.12

Tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya adalah suatu penderitaan atau nestapa. Hakekat pidana adalah menyerukan untuk tertib (tot de orde roepen). Pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan, yakni untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik atau perbaikan hubungan yang dirusak antar sesama manusia.13

Ada yang menyatakan tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupakan suatu pencelaan (censure) atau suatu penjeraan (discouragement) atau merupakan suatu penderitaan (suffering). Ketidak setujuan ini bertolak pada pengertian yang luas, bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang, sejak penahanan dan pengusutan tersangka oleh polisi sampai vonis dijatuhkan. Sebab, keseluruhan proses pidana itu sendiri (sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan) merupakan suatu pidana.14

Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa pidana mengandung dua arti. Pertama dalam arti luas, adalah keseluruhan proses pidana itu sendiri (sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan). Kedua, dalam arti sempit adalah pengenaan penderitaan dan pencelaan kepada pelaku tindak pidana.

12

Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit. hal 7

13

Saleh, Roeslan, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta, Aksara Baru.

14


(33)

C. Peraturan Daerah

Salah satu produk reformasi di bidang peraturan perundang-undangan adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disingkat TAP MPR No.III/MPR/2000) sebagai pengganti TAP MPRS No.XX/MPRS/1966. TAP MPR No.III/MPR/2000 tersebut sangat strategis dan urgen sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan akademis maupun praktis berkaitan dengan eksistensi dan isi (khususnya lampiran II) TAP MPRS No.XX/MPRS/1966. Secara lengkap penulis kutipkan isi Pasal 2 TAP MPR No.III/MPR/2000 yang menentukan :

Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya.

Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah : 1. Undang-undang Dasar 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 3. Undang-undang

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) 5. Peraturan Pemerintah

6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah

Konsekuensi dari ketentuan Pasal 2 TAP MPR No.III/MPR/2000 tersebut adalah, bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Sehubungan dengan tata urutan peraturan perundang-undangan, Apabila ternyata peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya bertentangan dengan yang lebih tinggi, maka peraturan perundang-undangan yang lebih rendah


(34)

batal demi hukum atau dapat dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang

berlaku”.15

Salah satu yang menarik dari ketentuan Pasal 2 TAP MPR No.III/MPR/2000 adalah Peraturan Daerah (Perda) yang dimuat secara eksplisit sebagai tata urutan yang paling bawah dari peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Perda yang dalam TAP MPRS No.XX/MPRS1966 tidak dimuat secara eksplisit, tetapi dalam TAP MPR No.III/MPR/2000 dimuat secara eksplisit. Hal ini menandakan suatu era baru di mana otonomi daerah yang seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab diakui eksistensinya dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dalam Perubahan Kedua UUD 1945 maupun TAP MPR No.III/MPR/2000.

Perlu diketahui dahulu persepsi mengenai Perda, sebelum diuraikan lebih lanjut :

Perda sebagai salah satu bentuk/jenis peraturan perundang-undangan yang merupakan subsistem peraturan perundang-undangan (hukum) nasional. Artinya, suatu Perda tidak lepas dari asas dan sistem hukum (peraturan perundang-undangan) nasional. Walaupun Perda hanya berlaku untuk daerah tertentu di wilayah Republik Indonesia, namun Perda tersebut baik secara asas hukum maupun hirarki, tunduk kepada asas-asas hukum yang berlaku umum di Indonesia. Dengan demikian bangsa Indonesia khususnya penyelenggara Pemerintah Daerah harus membuang jauh-jauh pikiran bahwa Perda itu lepas dari konteks atau koridor system peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.16

Persepsi mengenai Perda sebagaimana dikemukakan diatas membawa konsekuensi, bahwa penyusunan dan perancangan (suncang) Perda harus

15

Aziz Machmud, 2000, Reformasi di Bidang Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, Rajawali. hal, 23.

16


(35)

mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat pada undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, antara lain :

1. Harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi :

a) Kejelasan Tujuan

Pembentukan Perda harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai

b) Kelembagaan atau Organ Pembentuk yang tepat

Setiap Perda harus dibuat oleh lembaga/pejabat yang berwenang membentuk Perda, Pasal 136 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan, “Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”

c) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan

Pembentukan Perda harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Perda.

d) Dapat dilaksanakan

Setiap pembentukan Perda harus memperhitungakan efektifitas Perda tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Pembentukan Perda Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis jelas tidak memperhitungkan efektifitasnya. Sebab, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis Perda tersebut tidak akan efektif, karena tidak memiliki landasan filosofis, yuridis maupun sosiologis yang kuat.


(36)

e) Kedayagunaan dan Kehasilgunaan

Pembuatan Perda harus benar-benar didasarkan pada kebutuhan dan kemanfaatan bagi pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Artinya, jika ada atau tidaknya Perda tidak ada pengaruhnya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka pembuatan Perda tidak diperlukan

f) Kejelasan Rumusan

Setiap perda harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata/terminologi, dan bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, agar tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya

g) Keterbukaan

Proses pembentukan Perda mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Artinya, semua lapisan masyarakat berkesempatan seluas-luasnya member masukan dalam proses pembuatan Perda.

2. Materi muatan perda harus mengandung asas-asas sebagai berikut : a) Pengayoman

Setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

b) Kemanusiaan

Setiap materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional


(37)

c) Kebangsaan

Setiap materi muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

d) Kekeluargaan

Setiap materi muatan Perda harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan

e) Kenusantaraan

Setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila

f) Bhinneka Tunggal Ika

Setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

g) Keadilan

Setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali

h) Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan

Setiap materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender dan status sosial


(38)

i) Ketertiban dan Kepastian Hukum

Setiap materi muatan Perda harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum

j) Keseimbangan, Keserasian dan Keselarasan

Setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan, antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Selain harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, penyusunan dan perancangan (suncang) Perda juga harus mengikuti dan memenuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, antara lain ketentuan Pasal 136 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan :

(1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.

i. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembentukan

ii. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah

iii. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertetangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

iv. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah di undangkan dalam lembaran daerah.


(39)

D. Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Daerah

Lampiran Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, huruf C.3. menentukan , “ Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap

ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah”.

Perumusan ketentuan pidana dalam perda sebagaimana ditentukan dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -undangan,huruf C.3 diatas dikaitkan dengan pendapat Muladi yang

menyatakan, bahwa “Hukum pidana materil (subtantive criminal law) yang berisi 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu: (1) perumusan perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan yang dikriminalisasikan; (2) pertanggungjawaban pidana atau

pelaku perbuatan yang dapat dipidana; dan (3) sanksi atau pidana”, menunjukan,

bahwa ketentuan pidana di samping memuat secara tegas pidana yang diancamkan terhadap pelaku perbuatan yang dilarang (perbuatan pidana), juga mengandung ketentuan yang mengkriminalisasi suatu perbuatan sekaligus menetapkan seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang sebagai pelaku tindak pidana.17

Pernyataan di atas mengandung konsekuensi, bahwa suatu perbuatan yang dilarang tidak akan menjadi tindak pidana, kecuali jika ada ketentuan pidananya atau diancam pidana. Demikian juga halnya dengan pelaku perbuatan yang dilarang tidak akan menjadi pelaku tindak pidana, kecuali ada ketentuan pidana

17

Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.


(40)

yang mengancam pelaku tersebut dengan pidana dengan demikian, ketentuan pidana dalam perda pada hakikatnya merupakan ketentuan yang mengkriminalisasi suatu perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh perda.

Pemuatan ketentuan pidana dalam perda dilihat dari sisi aparat berarti memberikan kewenagan kepada aparatur Pemerintah Daerah untuk memaksa setiap orang dalam daerah tersebut mematuhi larangan dan perintah yang ditentukan dalam perda.

Dilihat dari sudut kebijakan, perumusan ketentuan pidana dalam perda merupakan kebijakan yang strategis sekaligus krusial dalam mewujudkan kepatuhan hukum masyarakat. Berkaitan dengan perumusan ketentuan pidana sebagai suatu kebijakan bahwa:

Dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan harus diperhatikan hal-hal yang pada initinya sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan itu, maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah dan ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dihendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian baik material maupun spritual atas warga.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan biaya dan hasil (costbenefed principle).


(41)

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai melampaui beban tugas (overbelasting).18

Keputusan untuk melakukan kriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai macam faktor termasuk :

a. keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang dicari atau yang ingin dicapai (the proportionallity of the means used in relationship to the out come obtained) ;

b. analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan yang dicari the cost analysis of thr out come in (relationship to the objectives sought)

c. penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia (the appraisal of objectives sought i n relationship to other priorities in the allocation or resourches on human power)

d. pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan (dipandang dari segi) pengaruh-pengaruhnya yang sekunder ( the social impact of criminalization in terms of its scondary effects).19

Tinjauan dari kacamata kebijakan terhadap perumusan ketentuan pidana dalam perda sebagaimana diuraikan di atas memberikan beberapa pemahaman, bahwa perumusan ketentuan pidana dalam perda merupakan kebijakan dalam rangka menegakkan atau mengfungsionalisasikan/mengoperasionalisasikan perda tersebut. Ini berarti, bahwa perumusan ketentuan pidana dalam perda bukanlah keharusan, melainkan merupakan pilihan yang ada pada hakikatnya sama dengan pilihan penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan. Oleh karena tersebut. Ini berarti, bahwa perumusan ketentuan pidana dalam perda bukanlah keharusan, melainkan merupakan pilihan yang pada hakikatnya sama dengan

18

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni.

19

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian Terhadap Pembaruan


(42)

pilihan penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu penggunaan ketentuan pidana sebagai sarana pemaksa dalam penegakan perda wajib pula memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Tujuan Otonomi Daerah, yaitu mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Perbuatan yang dilarang dan diperintahkan dalam perda yang dikenai ketentuan pidana harus merupakan perbuatan yang tidak di kehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian baik material maupun spritual atas warganya.

3. Penggunaan ketentuan pidana dalam perda harus pula memperhitungkan biaya dan hasil (costbenefed principle).

4. Penggunaan ketentuan pidana dalam perda harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai melampaui beban tugas (overbelasting).

5. Pengaruh sosial perumusan ketentuan pidana dalam perda yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruhnya.


(43)

E. Teori-teori Efektivitas Hukum

Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur. Metode berpikir yang digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu.20

Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.

Diperlukan kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi agar hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap tindak atau perilaku manusia. Kondisi-kondisi yang harus ada adalah antara lain bahwa hukum harus dapat dikomunikasikan.

20


(44)

Komunikasi hukum lebih banyak tertuju pada sikap, oleh karena sikap merupakan suatu kesiapan mental sehingga seseorang mempunyai kecendurangan untuk memberikan pandangan yang baik atau buruk, yang kemudian terwujud di dalam perilaku nyata.

Apabila yang dikomunikasikan tidak bisa menjangkau masalah-masalah yang secara langsung dihadapi oleh sasaran komunikasi hukum maka akan dijumpai kesulitan-kesulitan. Hasilnya yaitu hukum tidak punya pengaruh sama sekali atau bahkan mempunyai pengaruh yang negatif. Hal itu disebabkan oleh karena kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi dan dipahami, sehingga mengakibatkan terjadinya frustasi, tekanan atau bahkan konflik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH., MA antara lain : 21

1. Faktor hukumnya sendiri

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur kehidupan

21


(45)

masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang.

2. Faktor penegak hukum

Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian law enforcement itu adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi serta upaya pembinaan kembali terpidana.

Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh karena itu seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam unsur- unsur sebagai berikut : (1) peranan yang ideal / ideal role ; (2) peranan yang seharusnya / expected role; (3) peranan yang


(46)

dianggap oleh diri sendiri / perceived role; dan (4) perana yang sebenarnya dilakukan / actual role.

Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri, tapi dalam prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu masih banyak di langgar oleh para penegak hukum. Akibat perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak memiliki integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan menimbulkan pikiran-pikiran negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.

Ada tiga elemen penting yang mempengaruhi mekanisme bekerjanya aparat dan aparatur penegak hukum, antara lain : (1) istitusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (2) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya; dan (3) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat diwujudkan secara nyata


(47)

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.

4. Faktor masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. Masyarakat Indonesia mempunyai pendapat mengenai hukum sangat berfariasi antara lain :

1. hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;

2. hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan; 3. hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas

yang diharapkan;

4. hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis) ; 5. hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;

6. hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa; 7. hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;

8. hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik; 9. hukum diartikan sebagai jalinan nilai;


(48)

Berbagai pengertian tersebut di atas timbul karena masyarakat hidup dalam konteks yang berbeda, sehingga yang seharusnya dikedepankan adalah keserasiannya, hal inin bertujuan supaya ada titik tolak yang sama. Masyarakat juga mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengindentifikasi dengan petugas (dalam hal ini adalah penegak hukum adalah sebagai pribadi).

5. Faktor kebudayaan

Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan kebudayaan. Struktur mencangkup wadah atau bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga hukum formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yangmerupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan estrim yang harus diserasikan.

Pasangan nilai yang berperan dalam hukum menurut Soerdjono Soekanto adalah sebagai berikut :


(49)

1. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman.

2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/seakhlakan

3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/ inovatisme.

Dengan adanya keserasian nilai dengan kebudayaan masyarakat setempat diharapkan terjalin hubungan timbal balik antara hukum adat dan hukum positif di Indonesia, dengan demikian ketentuan dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Kemudian diharapkan juga adanya keserasian antar kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada tempatnya.


(50)

III. METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Masalah

Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk melihat bagaimana teori-teori, asas-asas, dan doktrin-doktrin hukum yang berhubungan atau kaitannya dengan Efektivitas Penerapan Sanksi Pidana di dalam Perda. Adapun pendekatan yuridis empiris yaitu metode pendekatan dilakukan dengan berdasarkan fakta objektif yang didapatkan dalam penelitian lapangan baik berupa hasil wawancara dengan responden, hasil kuisioner atau alat bukti lain yang diperoleh dari narasumber.

B.Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini meliputi data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.22

22


(51)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan seterusnya, yang meliputi:

a. Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor

III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata urutan Peraturan Perundang-undangn;

(2) Undang –Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

(3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

(4) Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun2010 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi literatur-literatur ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hak uji materil

c. Bahan hukum tersier

Yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder , antara lain kamus dan ensiklopedia.


(52)

C.Penentuan Responden

Untuk penulisan skripsi ini penulis mengambil responden penelitian yang ada kaitannya dengan masalah-masalah yang dibahas. Adapun responden dalam penelitian ini adalah Kabid Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kota Bandar Lampung, Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Sat.Pol.PP Kota Bandar Lampung, Kasubag Persidangan Sekretariat DPRD Kota Bandar Lampung dan Koordinator Penanganan Kasus dan Pengorganisir LSM LAda Bandar Lampung.

Adapun responden dalam penelitian ini yaitu :

1. Kabid Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kota Bandar Lampung : 1 orang 2. Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Sat.Pol.PP Kota Bandar

Lampung : 1 orang

3. Kasubag Persidangan Sekretariat DPRD Kota Bandar Lampung : 1 orang 4. Koordinator Penanganan Kasus dan Pengorganisir LSM

LAdA Bandar Lampung : 1 orang

Jumlah : 4 orang

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini, dilakukan dengan menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu :


(53)

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, perundang-undangan, buku-buku, media massa dan bahan tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik yang diperoleh dari studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka diolah dengan cara sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti mengenai kelengkapan, kejelasan, dan kebenaranya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis.


(54)

E.Analisis Data

Analisis data dalam penalitian ini menggunakan analisis kualitatif. Artinya menguraikan data yang telah diolah secara rinci kedalam bentuk kalimat-kalimat (deskriptif). Berdasarkan hasil analisis data tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu metode penarikan data yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum guna menjawab permasalahan berdasarkan penelitian yang dilakukan.


(55)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan , maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Efektivitas penerapan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan,gelandangan dan pengemis antara lain :

a. Penerapan sanksi pidana dalam Perda Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 belum berjalan efektif karena aturan yang bersifat represif seharusnya sedapat mungkin dihindari karena tidak akan menyelesaikan persoalan. Untuk menekan jumlah anak jalanan, gelandangan dan pengemis harus dicabut dulu akar masalahnya. Hulu persoalannya adalah faktor ekonomi, maka pemerintah semestinya bergegas untuk membuat kebijakan dan langkah mensejahterakan masyarakat.

b. Dalam penerapannya, sanksi pidana dan ketentuan larangan dalam Perda Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 itu sendiri yang sukar untuk diterapkan dan nilai-nilai yang terdapat di masyarakat dimana memberi pada pengemis atau kepada peminta-minta yang membutukan bukan merupakan sebuah tindakan kriminal.


(56)

c. Pelaksanaan Perda Kota Bandar Lampung No 3 Tahun 2010 belum berjalan efektif, karena kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia, belum dapat dikatakan efektif dan selama ini operasi belum menyentuh akar persoalan ditambah lagi kegiatan penertiban selama ini lebih bersifat tidak rutin dan sementara.

2. Faktor penghambat sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis tidak efektif antara lain :

a. Faktor hukumnya sendiri

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.

b. Faktor penegak hukum

Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian law enforcement itu adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.


(57)

d. Faktor masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum.

e. Faktor kebudayaan

Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup struktur, subtansi dan kebudayaan.

3. Upaya mengefektifkan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis dapat dilakukan dengan memberikan sosialisasi maupun himbauan langsung kepada masyarakat sebelum mengefektifkan sanksi pidana di dalam Perda itu, lalu keseluruhan dari faktor penghambat efektivitas penerapan sanksi pidana dalam Perda tersebut harus diatasi dengan mencari sumber atau akar persoalan timbulnya anak jalanan, gelandangan dan pengemis serta dengan mengingatkan Pemda untuk menyiapkan aparat penegak hukum dan kelengkapan peraturan teknis dari Perda itu. Karena kalau dua hal itu tidak dipikirkan secara matang-matang, maka Perda itu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.


(58)

B. Saran

Berdasarkan simpulan diatas, maka saran-saran yang dapat penulis berikan sebagai berikut :

a. Solusi yang dapat dilakukan Pemerintah Kota Bandar Lampung adalah membuat aturan pendukung Perda tersebut yang isinya mengatur tentang pemberdayaan pengemis dan anak jalanan agar mereka tidak kembali ke jalan. Misalnya, pemberian bekal keterampilan dan pemberian beasiswa bagi pengemis yang masih berusia sekolah.

b. Mengusulkan kepada pemerintah untuk segera membangun tempat khusus bagi para pengemis serta menyediakan fasilitas untuk meningkatkan kemampuan produktif ekonomi mereka.

c. Pengembangan sistem informasi kependudukan yang terpadu dan Pengembangan balai latihan kerja atau balai wirausaha.

Dengan pengembangan sistem informasi kependudukan terpadu diharapkan dapat menjadi data statistik jumlah penduduk miskin di Bandar Lampung dan sebaran tempat tinggal kelompok masyarakat miskin ini. Dari data ini diharapkan dapat dirumuskan strategi pemecahan masalah agar kelompok masyarakat miskin ini dapat memperluas akses terhadap layanan-layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah Bandar Lampung dan juga membuka akses terhadap pekerjaan yang sesuai dengan karakteristik ekonomi di wilayah domisili kelompok masyarakat miskin tersebut serta Pengembangan balai latihan kerja dan balai wirausaha ini diperlukan agar kelompok masyarakat miskin ini dapat ditingkatkan kemampuan dan kapasitasnya


(59)

sehingga kelompok tersebut juga tidak hanya mengharapkan sedekah dan mengemis dari anggota masyarakat lain namun juga dapat meningkatkan taraf kehidupannya menjadi lebih baik dengan memiliki keahlian tertentu yang dapat dimanfaatkan untuk mencari dan/atau menciptakan pekerjaan.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Abdilah, Pius, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia Modern, Surabaya, Kartika Aziz Machmud, 2000, Reformasi di Bidang Peraturan Perundang-undangan,

Jakarta, Rajawali.

Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni.

Saleh, Roeslan, 1962, Teori Hukum Pidana. Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta, Aksara Baru.

Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press.

Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, 1980, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta, CV. Rajawali

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni.

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian Terhadap Pembaruan Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru.

Seidman, B, Robert , 1995, Mekanisme Pembentukan dan Pengawasan Peraturan Daerah, Citra Aditva Bakti, Bandung


(61)

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan pengemis.

Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung, 2010, Bandar Lampung, Unila Press


(1)

c. Pelaksanaan Perda Kota Bandar Lampung No 3 Tahun 2010 belum

berjalan efektif, karena kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia,

belum dapat dikatakan efektif dan selama ini operasi belum menyentuh

akar persoalan ditambah lagi kegiatan penertiban selama ini lebih bersifat

tidak rutin dan sementara.

2. Faktor penghambat sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota Bandar

Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan,

gelandangan dan pengemis tidak efektif antara lain :

a. Faktor hukumnya sendiri

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik

penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara

kepastian hukum dan keadilan.

b. Faktor penegak hukum

Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan

hukum atau law enforcement. Bagian-bagian law enforcement itu adalah

aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan

kemanfaat hukum secara proporsional.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana

untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang

berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup

tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,


(2)

61

d. Faktor masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat

tertentu mengenai hukum.

e. Faktor kebudayaan

Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat

sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah

sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non

material. Hal ini dibedakan sebab sebagai suatu sistem (atau subsistem dari

sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup struktur, subtansi dan

kebudayaan.

3. Upaya mengefektifkan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah

Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan

pengemis dapat dilakukan dengan memberikan sosialisasi maupun himbauan

langsung kepada masyarakat sebelum mengefektifkan sanksi pidana di

dalam Perda itu, lalu keseluruhan dari faktor penghambat efektivitas

penerapan sanksi pidana dalam Perda tersebut harus diatasi dengan mencari

sumber atau akar persoalan timbulnya anak jalanan, gelandangan dan

pengemis serta dengan mengingatkan Pemda untuk menyiapkan aparat

penegak hukum dan kelengkapan peraturan teknis dari Perda itu. Karena

kalau dua hal itu tidak dipikirkan secara matang-matang, maka Perda itu


(3)

B. Saran

Berdasarkan simpulan diatas, maka saran-saran yang dapat penulis berikan

sebagai berikut :

a. Solusi yang dapat dilakukan Pemerintah Kota Bandar Lampung

adalah membuat aturan pendukung Perda tersebut yang isinya mengatur

tentang pemberdayaan pengemis dan anak jalanan agar mereka tidak kembali

ke jalan. Misalnya, pemberian bekal keterampilan dan pemberian beasiswa

bagi pengemis yang masih berusia sekolah.

b. Mengusulkan kepada pemerintah untuk segera membangun tempat

khusus bagi para pengemis serta menyediakan fasilitas untuk meningkatkan

kemampuan produktif ekonomi mereka.

c. Pengembangan sistem informasi kependudukan yang terpadu dan

Pengembangan balai latihan kerja atau balai wirausaha.

Dengan pengembangan sistem informasi kependudukan terpadu diharapkan

dapat menjadi data statistik jumlah penduduk miskin di Bandar Lampung

dan sebaran tempat tinggal kelompok masyarakat miskin ini. Dari data ini

diharapkan dapat dirumuskan strategi pemecahan masalah agar kelompok

masyarakat miskin ini dapat memperluas akses terhadap layanan-layanan

dasar yang disediakan oleh pemerintah Bandar Lampung dan juga membuka

akses terhadap pekerjaan yang sesuai dengan karakteristik ekonomi di

wilayah domisili kelompok masyarakat miskin tersebut serta Pengembangan

balai latihan kerja dan balai wirausaha ini diperlukan agar kelompok


(4)

63

sehingga kelompok tersebut juga tidak hanya mengharapkan sedekah dan

mengemis dari anggota masyarakat lain namun juga dapat meningkatkan

taraf kehidupannya menjadi lebih baik dengan memiliki keahlian tertentu


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdilah, Pius, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia Modern, Surabaya, Kartika

Aziz Machmud, 2000, Reformasi di Bidang Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, Rajawali.

Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni.

Saleh, Roeslan, 1962, Teori Hukum Pidana. Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta, Aksara Baru.

Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum, Rajawali, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press.

Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, 1980, Sosiologi Hukum Dalam

Masyarakat, Jakarta, CV. Rajawali

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni.

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian Terhadap

Pembaruan Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru.

Seidman, B, Robert , 1995, Mekanisme Pembentukan dan Pengawasan Peraturan

Daerah, Citra Aditva Bakti, Bandung


(6)

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 2004, Jakarta, CV. Laksana Mandiri

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan dan pengemis.

Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung, 2010, Bandar Lampung,


Dokumen yang terkait

Pengaturan Ketentuan Sanksi Pidana Dalam Peraturan Daerah

11 124 202

PERAN DINAS SOSIAL DALAM PENERTIBAN ANAK JALANAN, PENGEMIS DAN GELANDANGAN DI KOTA BANDAR LAMPUNG

20 104 46

FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS

7 90 63

EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN,GELANDANGAN DAN PENGEMIS

2 7 62

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEMENUHAN HAK ANAK JALANAN DAN IMPLEMENTASINYA DI KOTA PADANG BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS, PENGAMEN DAN PEDAGANG ASONGAN

0 1 17

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEMENUHAN HAK ANAK JALANAN DAN IMPLEMENTASINYA DI KOTA PADANG BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS, PENGAMEN DAN PEDAGANG ASONGAN

0 0 1

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEMENUHAN HAK ANAK JALANAN DAN IMPLEMENTASINYA DI KOTA PADANG BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS, PENGAMEN DAN PEDAGANG ASONGAN

0 0 1

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEMENUHAN HAK ANAK JALANAN DAN IMPLEMENTASINYA DI KOTA PADANG BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS, PENGAMEN DAN PEDAGANG ASONGAN

0 0 15

PENEGAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PEMBERI UANG KEPADA PENGEMIS DI KOTA MAKASSAR (PERDA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS DAN PENGAMEN)

0 1 86

Implementasi Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan Gelandangan Pengemis dan Pengamen di Kota Tangerang - FISIP Untirta Repository

0 0 12