BAB II LANDASAN KONSEPTUAL PRANATA
PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT
1. Perkawinan
Perkawinan merupakan perilaku mahluk, baik tumbuhan, hewan maupun manusia agar kehidupan dalam dunia terus berkembang biak dan berlanjut.
Sebagai perilaku mahluk, perkawinan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Perkawinan adalah salah satu peristiwa penting, yang tidak hanya mengenai mereka yang bersangkutan seorang perempuan dan seorang laki-laki akan tetapi juga
orang tua, saudara-saudara dan seluruh keluarga
20
serta juga bersangkut-paut dengan masyarakat setempat.
21
Dan, pada dasarnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat bertahan untuk
selama-lamanya. A. Van Gennep mengungkapkan bahwa, perkawinan merupakan peristiwa
peralihan atau perubahan status kedua mempelai; yang tadinya hidup terpisah, namun setelah melalui upacara-upacara peralihan
rites de passage
mereka hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami istri, membentuk keluarga
sendiri, suatu keluarga yang mereka pimpin dan bina sendiri.
22
Selain itu, upacara- upacara tersebut mempunyai fungsi sosial, yaitu menyatakan kepada khalayak
ramai tingkat hidup baru yang dicapai oleh keduanya.
23
20
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia; Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Edisi ketiga, disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, Jakarta: CV Rajawali, 1981, 111-112.
21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni, , 1997, 12
22
A. Van Gennep, dikutip oleh Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, cetakan keenam, Jakarta: Gunung Agung, 1983, 122-123
23
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, 1977, 90.
Menurut Soekanto, perkawinan
marriage
adalah: “ikatan yang sah dan resmi antara seorang pria dengan seorang wanita, yang menimbulkan hak-hak dan
kewajiban- kewajiban antara mereka maupun keturunannya.”
24
Senada dengan itu, Carol R. Ember dan Melvin Ember mengatakan sebagai berikut:
“Marriage merely means a socially approved sexual and economic union between a woman and a man. It is persumed, both by the couple and by others, to be more or less permanent,
and it subsumes reciprocal rights and obligations between spouses and the future children.”
25
Dalam hal ini, perkawinan diartikan sebagai penyatuan seksual dan ekonomi antara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Di dalam perkawinan itu,
keduanya mengadakan pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi masa depan anak-anak mereka. Secara universal masyarakat mempraktekkan
perkawinan seperti definisi di atas sebagai cara menandai permulaan suatu perkawinan. Carol dan Melvin mengakui bahwa semua masyarakat memiliki cara-
cara yang beragam untuk menandai permulaan suatu perkawinan. Ada beberapa kebudayaan yang menandainya dengan mempersiapkan upacara-upacara dan
perayaan-perayaan secara resmi, ada juga kebudayaan yang menandai permulaan perkawinan dengan cara-cara yang tidak resmi, tanpa mengadakan upacara-upacara
maupun perayaan. Jadi, setiap masyarakat memiliki cara yang berbeda untuk mengindikasikan bahwa suatu perkawinan sedang berlangsung.
26
Cara-cara yang menandai suatu perkawinan berlangsung secara resmi atau tidak resmi dalam masyarakat, menyangkut pertimbangan-pertimbangan ekonomi.
Bagaimanapun juga, secara eksplisit masyarakat melakukan transaksi-transaksi ekonomi sebelum atau sesudah perkawinan berlangsung. Transaksi dapat dilihat
24
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, Jakarta: Rajawali, tt, 289
25
Carol R. Ember and Melvin Ember, Anthropology, New Jersey: Englewood Cliffs, Prentice Hall, 1996, 360
26
Ibid, 361-385.
dalam beberapa bentuk antara lain: pelayanan pengantin, pertukaran untuk perempuan, pertukaran pemberian, mas kawin mahar dan mas kawin yang tidak
langsung.
27
Menurut Koentjaraningrat, mas kawin
bride-price
adalah sejumlah harta yang diberikan oleh seorang pemuda kepada seorang gadis dan kaum kerabat
gadis, dan arti dasar dari mas kawin adalah harta pengganti. Bagi beberapa suku di Indonesia, mulanya istilah mas kawin mengandung arti harta pembelian. Misalnya,
di Nias mas kawin disebut
beuli niha;
di Batak Toba
pangoli; boli, buhor;
di Ambon
welin;
di Bali
patuku
; semuanya mengandung arti beli. Namun, pada masa sekarang mas kawin bukan lagi sebagai pembelian, melainkan sebagai syarat
perkawinan yang harus dilakukan.
28
Di sini, terlihat jelas bahwa ada aspek-aspek ekonomi dalam perkawinan.
Selain penyatuan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki- laki, dan aspek-aspek ekonomi yang menyertai suatu perkawinan, maka hal yang
juga perlu diperhatikan adalah tujuan perkawinan. Perkawinan yang bahagia dan kekal merupakan tujuan, harapan dan idaman bagi setiap pasangan dan juga bagi
seluruh keluarga. Untuk mewujudkan hal itu, cinta kasih dan janji komitmen saling setia sangat dibutuhkan dalam perkawinan. Menurut Michael P. Johnson,
sebuah perkawinan membutuhkan komitmen sebagai patokan untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan komitmen
perkawinan adalah: hubungan timbal balik antar pria dan wanita yang terkait dalam perkawinan untuk mempertahankan keharmonisan rumah tangga.
29
Michael P. Johnson 1991, dalam tulisannya yang berjudul:
The Tripartite Nature of Marital
27
Ibid.
28
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi, 99-100
29
Esterliana. Wordpress.com...memahami-komitmen-perkawinan
Commitment: Personal, Moral, and Structural Reasons to Stay Married
, mengungkapkan:
“
Personal commitment refers to the sense of wanting to stay in the relationship, moral commitment to feeling morally obligated to stay, and
structural commitment to feeling constrained to stay regardless of the level
of personal or moral commitment.”
30
Komitmen perkawinan perlu dipahami dalam tiga bentuk:
pertama,
komitmen personalpribadi, keinginan untuk bertahan dalam hubungan;
kedua,
komitmen moral, merasa bertanggung jawab secara moral untuk tetap tinggal; dan
ketiga,
komitmen struktural, merasa terpaksa untuk tinggal tanpa memperhatikan mutu dari komitmen pribadi atau komitmen moral. Jenis komitmen pribadi dan
komitmen moral merupakan pengalaman yang berasal dari dalam diri individu dan berfungsi untuk seseorang memiliki sikap dan nilai terhadap suatu hubungan,
sementara jenis komitmen struktural adalah sebagai pengalaman luar dari individu, yang menghambatnya untuk meninggalkan hubungan.
31
Menurut Johnson, ketiga komitmen perkawinan tersebut dipengaruhi oleh komponen-komponen sebagai berikut:
1. Komitmen pribadi, dipengaruhi oleh tiga komponen:
32
a individu ingin melanjutkan hubungan karena ada daya tarik yang kuat pada pasangannya;
b merasa ada daya tarik dengan hubungan itu sendiri, artinya hubungan itu memang memuaskan; c identitas pasangan, hubungan yang dimiliki menjadi
salah satu aspek konsep diri yang dianggap penting bagi individu itu.
30
Michael P. Johnson, The Tripartite Nature of Marital Commitment: Personal, Moral, and Structural Reasons to Stay Married
, The Pennsylvania State University dalam “Journal of
Marriage and the Family”, Vol. 61, No. 1 , Februari 1999, 160
31
Ibid. 161
32
Ibid.
2. Komitmen moral, juga memiliki tiga komponen yaitu:
33
a kewajiban untuk mempertahankan hubungan mengacu pada nilai-nilai tentang moralitas.
Merasa bahwa sebuah pernikahan sebagai sesuatu yang berlangsung seumur hidup “sampai kematian memisahkan”; b merasa bertanggung jawab secara
pribadi terhadap orang lain. Merasa tidak adil jika meninggalkan pasangannya, karena pasangannya membutuhkan dirinya dan ia juga merasa
telah berjanji untuk sehidup semati dengan pasangannya itu; c seseorang merasa berkewajiban untuk melanjutkan hubungan karena ia memiliki nilai
konsistensi secara umum. Ia berusaha mempertahankan apa yang sudah dimulainya dari waktu ke waktu, termasuk perkawinan.
3. Komitmen struktural, keinginan bertahan dalam suatu hubungan karena adanya faktor penahan yang menghambatnya untuk meninggalkan hubungan.
Faktor penahan itu adalah:
34
a tidak adanya alternatif lain yang lebih baik; b tekanan sosial dari keluarga, teman dan masyarakat sebagai reaksi tidak
setuju jika terjadi perceraian; c proses birokrasi dan prosedur hukum perceraian yang sulit, menghabiskan waktu serta biaya; d banyaknya
investasi yang telah ditanamkan selama hubungan berlangsung dan tidak dapat diambil kembali
irretrievable investments
. Individu yang merasa telah banyak berkorban dalam hubungannya biasanya cenderung
mempertahankan hubungan.
Ketiga komitmen diatas sangat mempengaruhi kehidupan suatu perkawinan, karena komitmen yang rendah mengakibatkan kemungkinan untuk bercerai lebih
33
Ibid.
34
Ibid. 161-162
tinggi. Sebaliknya, jika ketiga komitmen itu tinggi kemungkinan suatu perkawinan untuk bertahan juga tinggi. Komitmen perkawinan dari masing-masing individu
sangat penting untuk menentukan kelanggengan dan kebahagiaan dalam perkawinan.
Jadi, perkawinan yang bahagia dan kekal merupakan tujuan semua orang, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
Pasal 1 bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
35
Menurut Undang-undang yang berlaku, perkawinan tersebut harus dicatat pada Kantor Urusan Agama KUA, bagi mereka yang beragama Islam dan Kantor
Catatan Sipil KCS, bagi mereka yang beragama non Islam.
36
Pada hakekatnya tujuan dari pencatatan perkawinan adalah: agar ada kepastian hukum yang kuat
bagi perkawinan; ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan lebih terjamin sesuai nilai-nilai norma keagamaan, adat serta kepentingan masyarakat.
37
Selain memperhatikan aturan-aturan perkawinan yang berlaku dalam undang- undang, perkawinan di Indonesia juga memperhatikan aturan-aturan perkawinan
yang berlaku secara adat. Menurut Djaren Saregih, perkawinan di Indonesia dipengaruhi oleh cara menarik garis keturunan yang terdapat dalam masyarakat
35
Suryadi, Undang-undang tentang Perkawinan, Cetakan Pertama, Semarang: Aneka Ilmu, 1990,
2
36
Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975; bdk. Abdurrahman, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia
, Bandung: Alumni, 1978, 15-16
37
Saidus Syahar, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya , Bandung: Alumni, 1981, 108
adat. Sebab itu, Masyarakat adat Indonesia mengenal beberapa bentuk perkawinan berdasarkan cara menarik garis keturunan yaitu:
38
1 Masyarakat
unilateral
adalah masyarakat yang menarik garis keturunannya hanya dari satu pihak saja, misalnya dari pihak laki-laki ayah saja atau dari
pihak wanita ibu saja. Masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki ayah saja disebut masyarakat
patrilateral
kebapaan. Bentuk perkawinan masyarakat ini adalah dengan pembayaran “jujur” yaitu:
pemberian uang atau barang kepada pihak perempuan. Sedangkan bagi masyarakat yang menarik garis keturunan hanya dari ibu saja disebut dengan
masyarakat
matrilateral
, dan tidak ada pembayaran jujuran pada perkawinan ini.
2 Masyarakat
bilateral
parental adalah, masyarakat yang menarik garis keturunan dari kedua orang tua ayah maupun ibu.
39
Bentuk perkawinan pada masyarakat ini bertujuan untuk melanjutkan keturunan baik dari pihak
bapak maupun dari pihak ibu. Pada masyarakat bilateral yang menjadi halangan atau larangan untuk melangsungkan perkawinan pada dasarnya
hanyalah larangan yang ditentukan oleh kaidah kesusilaan dan agama.
Sementara itu, Hukum Adat Indonesia mengenal 3 tiga sistem perkawinan yaitu :
40
1. Sistem Endogami, merupakan sistem dimana seseorang hanya diperbolehkan
kawin dengan orang dari suku keluarganya klennya sendiri.
38
Djaren Saregih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang Tentang Perkawinan Serta Peraturan Pelaksanaa nnya
, Bandung: Tarsito, 1982, 9.
39
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 129-130.
40
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987,46-47
2. Sistem Exogami, perkawinan ini melarang seseorang melakukan perkawinan
dengan orang yang satu kerabat klen dengan dirinya. Dengan kata lain, orang yang melakukan perkawinan harus mencari orang diluar sukunya.
3. Sistem Eleutherogami, adalah sistem perkawinan yang tidak mengenal
larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya pada sistem endogami dan sistem exogami. Larangan-larangan yang terdapat dalam
sistem eleutherogami ini hanyalah yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan, misalnya, hubungan paman dengan keponakan, hubungan dengan saudara
kandung, antara ayah dan anak perempuannya atau ibu dengan anak laki- lakinya.
41
Sehubungan dengan beberapa pendapat di atas, maka perkawinan bagi orang Dayak Ngaju adalah ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang bersepakat untuk membangun kehidupan bersama yang mempunyai dasar dan pengukuhan yang luhur dan suci.
42
Hermogenes Ugang mengungkapkan, bahwa perkawinan yang luhur dan suci itu, sudah ada sejak nenek moyang mereka yang
pertama.
43
Perkawinan tersebut harus dipertahankan seumur hidup sampai maut memisahkan. Karena itu, jika terjadi pencemaran terhadap perkawinan, berarti telah
mengotori keluhuran dan kesucian perkawinan, maka sanksi tertentu akan diberikan oleh adat.
44
Sedangkan bentuk perkawinan yang berlaku dalam masyarakat Dayak Ngaju adalah
Bilateral
Parental, yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan dari pihak ayah maupun pihak ibu. Sementara sistem perkawinan yang berlaku adalah
41
Ibid. 48
42
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan daerah Kalimantan Tengah
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan daerah, 1984, 82
43
Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran., 71-72
44
Ibid.
sistem Eleutherogami, artinya perkawinan yang memperbolehkan seseorang untuk mengambil pasangan dari dalam atau pun dari luar suku Dayak. Dalam perkawinan
masyarakat Dayak Ngaju, diberlakukan pula pemberian-pemberian dari pihak laki- laki kepada pihak perempuan
Jalan Hadat
sebagai persyaratan perkawinan. Pemberian-pemberian ini tidak memiliki pengertian seperti pemberian
jujuran,
tetapi mempunyai arti sebagai hadiah atau penghargaan dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dan keluarganya.
45
Pemberian
jalan hadat
tertulis dalam Surat Perjanjian Perkawinan adat Dayak Ngaju.