Perkawinan Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah T2 752009012 BAB II

BAB II LANDASAN KONSEPTUAL PRANATA PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT

1. Perkawinan

Perkawinan merupakan perilaku mahluk, baik tumbuhan, hewan maupun manusia agar kehidupan dalam dunia terus berkembang biak dan berlanjut. Sebagai perilaku mahluk, perkawinan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Perkawinan adalah salah satu peristiwa penting, yang tidak hanya mengenai mereka yang bersangkutan seorang perempuan dan seorang laki-laki akan tetapi juga orang tua, saudara-saudara dan seluruh keluarga 20 serta juga bersangkut-paut dengan masyarakat setempat. 21 Dan, pada dasarnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat bertahan untuk selama-lamanya. A. Van Gennep mengungkapkan bahwa, perkawinan merupakan peristiwa peralihan atau perubahan status kedua mempelai; yang tadinya hidup terpisah, namun setelah melalui upacara-upacara peralihan rites de passage mereka hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami istri, membentuk keluarga sendiri, suatu keluarga yang mereka pimpin dan bina sendiri. 22 Selain itu, upacara- upacara tersebut mempunyai fungsi sosial, yaitu menyatakan kepada khalayak ramai tingkat hidup baru yang dicapai oleh keduanya. 23 20 Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia; Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Edisi ketiga, disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, Jakarta: CV Rajawali, 1981, 111-112. 21 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni, , 1997, 12 22 A. Van Gennep, dikutip oleh Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, cetakan keenam, Jakarta: Gunung Agung, 1983, 122-123 23 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, 1977, 90. Menurut Soekanto, perkawinan marriage adalah: “ikatan yang sah dan resmi antara seorang pria dengan seorang wanita, yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban- kewajiban antara mereka maupun keturunannya.” 24 Senada dengan itu, Carol R. Ember dan Melvin Ember mengatakan sebagai berikut: “Marriage merely means a socially approved sexual and economic union between a woman and a man. It is persumed, both by the couple and by others, to be more or less permanent, and it subsumes reciprocal rights and obligations between spouses and the future children.” 25 Dalam hal ini, perkawinan diartikan sebagai penyatuan seksual dan ekonomi antara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Di dalam perkawinan itu, keduanya mengadakan pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi masa depan anak-anak mereka. Secara universal masyarakat mempraktekkan perkawinan seperti definisi di atas sebagai cara menandai permulaan suatu perkawinan. Carol dan Melvin mengakui bahwa semua masyarakat memiliki cara- cara yang beragam untuk menandai permulaan suatu perkawinan. Ada beberapa kebudayaan yang menandainya dengan mempersiapkan upacara-upacara dan perayaan-perayaan secara resmi, ada juga kebudayaan yang menandai permulaan perkawinan dengan cara-cara yang tidak resmi, tanpa mengadakan upacara-upacara maupun perayaan. Jadi, setiap masyarakat memiliki cara yang berbeda untuk mengindikasikan bahwa suatu perkawinan sedang berlangsung. 26 Cara-cara yang menandai suatu perkawinan berlangsung secara resmi atau tidak resmi dalam masyarakat, menyangkut pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Bagaimanapun juga, secara eksplisit masyarakat melakukan transaksi-transaksi ekonomi sebelum atau sesudah perkawinan berlangsung. Transaksi dapat dilihat 24 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, Jakarta: Rajawali, tt, 289 25 Carol R. Ember and Melvin Ember, Anthropology, New Jersey: Englewood Cliffs, Prentice Hall, 1996, 360 26 Ibid, 361-385. dalam beberapa bentuk antara lain: pelayanan pengantin, pertukaran untuk perempuan, pertukaran pemberian, mas kawin mahar dan mas kawin yang tidak langsung. 27 Menurut Koentjaraningrat, mas kawin bride-price adalah sejumlah harta yang diberikan oleh seorang pemuda kepada seorang gadis dan kaum kerabat gadis, dan arti dasar dari mas kawin adalah harta pengganti. Bagi beberapa suku di Indonesia, mulanya istilah mas kawin mengandung arti harta pembelian. Misalnya, di Nias mas kawin disebut beuli niha; di Batak Toba pangoli; boli, buhor; di Ambon welin; di Bali patuku ; semuanya mengandung arti beli. Namun, pada masa sekarang mas kawin bukan lagi sebagai pembelian, melainkan sebagai syarat perkawinan yang harus dilakukan. 28 Di sini, terlihat jelas bahwa ada aspek-aspek ekonomi dalam perkawinan. Selain penyatuan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki- laki, dan aspek-aspek ekonomi yang menyertai suatu perkawinan, maka hal yang juga perlu diperhatikan adalah tujuan perkawinan. Perkawinan yang bahagia dan kekal merupakan tujuan, harapan dan idaman bagi setiap pasangan dan juga bagi seluruh keluarga. Untuk mewujudkan hal itu, cinta kasih dan janji komitmen saling setia sangat dibutuhkan dalam perkawinan. Menurut Michael P. Johnson, sebuah perkawinan membutuhkan komitmen sebagai patokan untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan komitmen perkawinan adalah: hubungan timbal balik antar pria dan wanita yang terkait dalam perkawinan untuk mempertahankan keharmonisan rumah tangga. 29 Michael P. Johnson 1991, dalam tulisannya yang berjudul: The Tripartite Nature of Marital 27 Ibid. 28 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi, 99-100 29 Esterliana. Wordpress.com...memahami-komitmen-perkawinan Commitment: Personal, Moral, and Structural Reasons to Stay Married , mengungkapkan: “ Personal commitment refers to the sense of wanting to stay in the relationship, moral commitment to feeling morally obligated to stay, and structural commitment to feeling constrained to stay regardless of the level of personal or moral commitment.” 30 Komitmen perkawinan perlu dipahami dalam tiga bentuk: pertama, komitmen personalpribadi, keinginan untuk bertahan dalam hubungan; kedua, komitmen moral, merasa bertanggung jawab secara moral untuk tetap tinggal; dan ketiga, komitmen struktural, merasa terpaksa untuk tinggal tanpa memperhatikan mutu dari komitmen pribadi atau komitmen moral. Jenis komitmen pribadi dan komitmen moral merupakan pengalaman yang berasal dari dalam diri individu dan berfungsi untuk seseorang memiliki sikap dan nilai terhadap suatu hubungan, sementara jenis komitmen struktural adalah sebagai pengalaman luar dari individu, yang menghambatnya untuk meninggalkan hubungan. 31 Menurut Johnson, ketiga komitmen perkawinan tersebut dipengaruhi oleh komponen-komponen sebagai berikut: 1. Komitmen pribadi, dipengaruhi oleh tiga komponen: 32 a individu ingin melanjutkan hubungan karena ada daya tarik yang kuat pada pasangannya; b merasa ada daya tarik dengan hubungan itu sendiri, artinya hubungan itu memang memuaskan; c identitas pasangan, hubungan yang dimiliki menjadi salah satu aspek konsep diri yang dianggap penting bagi individu itu. 30 Michael P. Johnson, The Tripartite Nature of Marital Commitment: Personal, Moral, and Structural Reasons to Stay Married , The Pennsylvania State University dalam “Journal of Marriage and the Family”, Vol. 61, No. 1 , Februari 1999, 160 31 Ibid. 161 32 Ibid. 2. Komitmen moral, juga memiliki tiga komponen yaitu: 33 a kewajiban untuk mempertahankan hubungan mengacu pada nilai-nilai tentang moralitas. Merasa bahwa sebuah pernikahan sebagai sesuatu yang berlangsung seumur hidup “sampai kematian memisahkan”; b merasa bertanggung jawab secara pribadi terhadap orang lain. Merasa tidak adil jika meninggalkan pasangannya, karena pasangannya membutuhkan dirinya dan ia juga merasa telah berjanji untuk sehidup semati dengan pasangannya itu; c seseorang merasa berkewajiban untuk melanjutkan hubungan karena ia memiliki nilai konsistensi secara umum. Ia berusaha mempertahankan apa yang sudah dimulainya dari waktu ke waktu, termasuk perkawinan. 3. Komitmen struktural, keinginan bertahan dalam suatu hubungan karena adanya faktor penahan yang menghambatnya untuk meninggalkan hubungan. Faktor penahan itu adalah: 34 a tidak adanya alternatif lain yang lebih baik; b tekanan sosial dari keluarga, teman dan masyarakat sebagai reaksi tidak setuju jika terjadi perceraian; c proses birokrasi dan prosedur hukum perceraian yang sulit, menghabiskan waktu serta biaya; d banyaknya investasi yang telah ditanamkan selama hubungan berlangsung dan tidak dapat diambil kembali irretrievable investments . Individu yang merasa telah banyak berkorban dalam hubungannya biasanya cenderung mempertahankan hubungan. Ketiga komitmen diatas sangat mempengaruhi kehidupan suatu perkawinan, karena komitmen yang rendah mengakibatkan kemungkinan untuk bercerai lebih 33 Ibid. 34 Ibid. 161-162 tinggi. Sebaliknya, jika ketiga komitmen itu tinggi kemungkinan suatu perkawinan untuk bertahan juga tinggi. Komitmen perkawinan dari masing-masing individu sangat penting untuk menentukan kelanggengan dan kebahagiaan dalam perkawinan. Jadi, perkawinan yang bahagia dan kekal merupakan tujuan semua orang, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 1 bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 35 Menurut Undang-undang yang berlaku, perkawinan tersebut harus dicatat pada Kantor Urusan Agama KUA, bagi mereka yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil KCS, bagi mereka yang beragama non Islam. 36 Pada hakekatnya tujuan dari pencatatan perkawinan adalah: agar ada kepastian hukum yang kuat bagi perkawinan; ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan lebih terjamin sesuai nilai-nilai norma keagamaan, adat serta kepentingan masyarakat. 37 Selain memperhatikan aturan-aturan perkawinan yang berlaku dalam undang- undang, perkawinan di Indonesia juga memperhatikan aturan-aturan perkawinan yang berlaku secara adat. Menurut Djaren Saregih, perkawinan di Indonesia dipengaruhi oleh cara menarik garis keturunan yang terdapat dalam masyarakat 35 Suryadi, Undang-undang tentang Perkawinan, Cetakan Pertama, Semarang: Aneka Ilmu, 1990, 2 36 Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975; bdk. Abdurrahman, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia , Bandung: Alumni, 1978, 15-16 37 Saidus Syahar, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya , Bandung: Alumni, 1981, 108 adat. Sebab itu, Masyarakat adat Indonesia mengenal beberapa bentuk perkawinan berdasarkan cara menarik garis keturunan yaitu: 38 1 Masyarakat unilateral adalah masyarakat yang menarik garis keturunannya hanya dari satu pihak saja, misalnya dari pihak laki-laki ayah saja atau dari pihak wanita ibu saja. Masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki ayah saja disebut masyarakat patrilateral kebapaan. Bentuk perkawinan masyarakat ini adalah dengan pembayaran “jujur” yaitu: pemberian uang atau barang kepada pihak perempuan. Sedangkan bagi masyarakat yang menarik garis keturunan hanya dari ibu saja disebut dengan masyarakat matrilateral , dan tidak ada pembayaran jujuran pada perkawinan ini. 2 Masyarakat bilateral parental adalah, masyarakat yang menarik garis keturunan dari kedua orang tua ayah maupun ibu. 39 Bentuk perkawinan pada masyarakat ini bertujuan untuk melanjutkan keturunan baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu. Pada masyarakat bilateral yang menjadi halangan atau larangan untuk melangsungkan perkawinan pada dasarnya hanyalah larangan yang ditentukan oleh kaidah kesusilaan dan agama. Sementara itu, Hukum Adat Indonesia mengenal 3 tiga sistem perkawinan yaitu : 40 1. Sistem Endogami, merupakan sistem dimana seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari suku keluarganya klennya sendiri. 38 Djaren Saregih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang Tentang Perkawinan Serta Peraturan Pelaksanaa nnya , Bandung: Tarsito, 1982, 9. 39 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 129-130. 40 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987,46-47 2. Sistem Exogami, perkawinan ini melarang seseorang melakukan perkawinan dengan orang yang satu kerabat klen dengan dirinya. Dengan kata lain, orang yang melakukan perkawinan harus mencari orang diluar sukunya. 3. Sistem Eleutherogami, adalah sistem perkawinan yang tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya pada sistem endogami dan sistem exogami. Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem eleutherogami ini hanyalah yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan, misalnya, hubungan paman dengan keponakan, hubungan dengan saudara kandung, antara ayah dan anak perempuannya atau ibu dengan anak laki- lakinya. 41 Sehubungan dengan beberapa pendapat di atas, maka perkawinan bagi orang Dayak Ngaju adalah ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bersepakat untuk membangun kehidupan bersama yang mempunyai dasar dan pengukuhan yang luhur dan suci. 42 Hermogenes Ugang mengungkapkan, bahwa perkawinan yang luhur dan suci itu, sudah ada sejak nenek moyang mereka yang pertama. 43 Perkawinan tersebut harus dipertahankan seumur hidup sampai maut memisahkan. Karena itu, jika terjadi pencemaran terhadap perkawinan, berarti telah mengotori keluhuran dan kesucian perkawinan, maka sanksi tertentu akan diberikan oleh adat. 44 Sedangkan bentuk perkawinan yang berlaku dalam masyarakat Dayak Ngaju adalah Bilateral Parental, yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan dari pihak ayah maupun pihak ibu. Sementara sistem perkawinan yang berlaku adalah 41 Ibid. 48 42 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan daerah Kalimantan Tengah Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan daerah, 1984, 82 43 Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran., 71-72 44 Ibid. sistem Eleutherogami, artinya perkawinan yang memperbolehkan seseorang untuk mengambil pasangan dari dalam atau pun dari luar suku Dayak. Dalam perkawinan masyarakat Dayak Ngaju, diberlakukan pula pemberian-pemberian dari pihak laki- laki kepada pihak perempuan Jalan Hadat sebagai persyaratan perkawinan. Pemberian-pemberian ini tidak memiliki pengertian seperti pemberian jujuran, tetapi mempunyai arti sebagai hadiah atau penghargaan dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dan keluarganya. 45 Pemberian jalan hadat tertulis dalam Surat Perjanjian Perkawinan adat Dayak Ngaju.