Perjanjian Perkawinan Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah T2 752009012 BAB II

sistem Eleutherogami, artinya perkawinan yang memperbolehkan seseorang untuk mengambil pasangan dari dalam atau pun dari luar suku Dayak. Dalam perkawinan masyarakat Dayak Ngaju, diberlakukan pula pemberian-pemberian dari pihak laki- laki kepada pihak perempuan Jalan Hadat sebagai persyaratan perkawinan. Pemberian-pemberian ini tidak memiliki pengertian seperti pemberian jujuran, tetapi mempunyai arti sebagai hadiah atau penghargaan dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dan keluarganya. 45 Pemberian jalan hadat tertulis dalam Surat Perjanjian Perkawinan adat Dayak Ngaju.

2. Perjanjian Perkawinan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah: “persetujuan tertulis atau lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu; syarat.” 46 Dalam hal ini, perjanjian adalah persetujuan antara dua orang atau lebih, berdasarkan syarat-syarat yang telah disepakati bersama. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. ” 47 Perjanjian melahirkan perikatan, dan perikatan itu melahiran hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pihak yang berjanji. Jadi, rumusan perjanjian adalah: 1 Suatu perbuatan; baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan, 2 antara sekurang-kurangnya dua orang; 3 perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji 45 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Adat dan Upacara Perkawinan, 68 46 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 1988, 548. 47 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Ed. 1, Cet. 2 Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, 2 tersebut. 4 Suatu sebab perjanjian tidak terlarang; artinya tidak bertentangan dengan undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan. 48 Pada mulanya keberadaan perjanjian perkawinan di Indonesia kurang begitu populer dan kurang mendapat perhatian, karena mengadakan perjanjian perkawinan mengenai harta antara calon suami isteri dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sesuatu hal yang kurang pantas dan dapat dianggap menyinggung satu sama lainnya. 49 Namun, seiring adanya kemajuan di berbagai bidang dan adanya tata nilai individualisme yang telah merasuk dalam sistem kehidupan masyarakat Indonesia, dalam perkembangan selanjutnya perjanjian perkawinan menjadi suatu kebutuhan hukum yang perlu mendapatkan pemikiran dan perhatian dari masyarakat. 50 Secara umum, perjanjian perkawinan mengandung pengertian suatu hubungan hukum yang menyangkut harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang melahirkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban yang melekat pada subyek hukum yang bersangkutan. 51 Dalam hal ini, perjanjian tersebut dibuat oleh calon suami isteri. Soetojo berpendapat bahwa, perjanjian perkawinan menurut hukum perkawinan adalah perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung, berdasarkan asas kebebasan dan kesepakatan bersama dengan tetap berpegang pada hukum, agama dan kesusilaan. 52 Ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 29 mengatakan bahwa 48 Ibid., 7-8 49 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993, 147 50 Ibid. 51 Ibid. 52 Lihat Soetojo Prawirodamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, 1994, 57, Lihat juga, K. Wantjik Saleh, SH, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, 59 perjanjian perkawinan itu harus dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan, 53 dan harus mulai berlaku pada waktu itu dilakukan. 54 Apabila suatu perjanjian kawin telah diadakan, maka perjanjian ini tidak boleh diubah selama perkawinan berlangsung kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. 55 Dalam masyarakat Dayak Ngaju, perjanjian perkawinan adalah kesepakatan antara kedua belah pihak calon mempelai dan orang tua calon mempelai, mengenai jalan hadat yang menjadi tanggung jawab pihak calon mempelai laki-laki, hak dan kewajiban masing-masing, sanksi hukum bagi yang melakukan pelanggaran, pengaturan pembagian harta benda bersama termasuk hak anak dan hak ahli waris jika perkawinan itu tidak mendapatkan anak. Perjanjian perkawinan itu dibuat secara tertulis sebelum pelaksanaan perkawinan, yang ditandatangani oleh kedua calon mempelai, orang tua, saksi-saksi perkawinan, Damang atau Mantir Adat. 56 Persyaratan Jalan hadat dalam Masyarakat Dayak Ngaju merupakan pemenuhan dari hukum adat.

3. Hukum Adat