6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi
Depresi merupakan gangguan yang heterogen akibat terganggunya satu masa fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala
penyertanya, termasuk gangguan tidur dan nafsu makan, defisit dalam kognisi dan energi, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, timbul rasa putus asa, rasa bersalah
dan tidak berdaya, tidak berharga, serta bunuh diri Katzung et al., 2014. Depresi diakibatkan karena terjadinya gangguan keseimbangan antara neurotransmiter di
otak, karena berkurangnya serotonin 5-HT atau adrenalin di saraf-saraf otak Tjad dan Rahardja, 2010.
2.1.1 Patofisiologi depresi
Hingga saat ini, depresi masih dikaitkan dengan defisit dari fungsi atau jumlah monoamin hipotesis monoamin. Faktor neurotropik hipotesis
neurotropik dan endokrin hipotesis endokrin juga diketahui memiliki peranan penting dalam mencetuskan terjadinya depresi Katzung et al., 2014.
A. Hipotesis neurotrofik
Faktor pertumbuhan saraf, Brain-Derived Neurotrophic Factor BDNF memiliki peran penting dalam regulasi plastisitas, ketahanan, dan pembentukan
saraf neurogenesis. Brain-derived neurotrophic factor BDNF diperkirakan memberi pengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan neuron melalui
pengaktivan reseptor tirosin kinase B di neuron dan sel glia Katzung et al., 2014.
Stres memiliki kaitan dengan penurunan kadar BDNF dan berkurangnya dukungan neurotrofik. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan struktural
atrofik di hipokampus dan bagian lain seperti korteks frontalis medialis dan singulatus anterior. Hipokampus berperan penting dalam ingatan kontekstual dan
regulasi sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal PHA, sedangkan singulatus anterior berperan dalam integrasi rangsang emosi, sementara korteks frontalis
orbital medialis juga diduga berperan dalam ingatan, belajar dan emosi. Terjadinya depresi berkaitan dengan hilangnya aktivitas neurotrofik, dimana pada
depresi mayor terjadi pengurangan 5-10 volume hipokampus dan pengurangan substansial volume di singulus anterior dan korteks frontalis orbital medialis.
Berkurangnya volume pada struktur hipokampus akan bertambah sesuai lama sakit dan jumlah waktu ketika depresi yang terjadi tidak diobati Katzung et al.,
2014.
B. Hipotesis monoamin dan neurotransmiter lain.
Pada hipotesis monoamin, dijelaskan bahwa depresi yang terjadi dikaitkan dengan dengan terjadinya defisiensi pada jumlah atau fungsi serotonin 5-HT,
norepinefrin NE, dan dopamin DA dalam korteks dan limbus Katzung et al., 2014.
C. Hipotesis neuroendokrin
Hipotesis neuroendokrin menjelaskan keterkaitan kelainan hormon dengan terjadinya depresi. Terjadinya depresi dilaporkan berhubungan dengan
peningkatan kadar kortisol. Pada hipotesis ini disebutkan bahwa glukokortikoid eksogen dan peningkatan kortisol endogen diketahui berkaitan dengan gejala-
gejala mood dan defisit kognitif serupa dengan peningkatan yang terjadi pada depresi Katzung et al., 2014.
Peningkatan Kortisol Pada Depresi Seluruh respon umum dari proses adaptasi tubuh seperti menerima stresor
fisik dan psikologis dikendalikan oleh hipotalamus. Setelah menerima stresor, hipotalamus akan segera mengaktifkan saraf simpatis, dan mengeluarkan
Cortikotropin Releasing Hormon CRH. Cortikotropin Releasing Hormon CRH ini kemudian akan merangsang sekresi dari Adrenocorticotropic Hormone
ACTH, dimana ACTH kemudian akan menimbulkan rangsangan terhadap sekresi kortisol serta merangsang pengeluaran vasopresin Sherwood, 2001. Stresor yang
bersifat konstan akan mengakibatkan kenaikan kadar kortisol dan berpengaruh secara signifikan pada sistem homeostasis tubuh. Tingginya kadar kortisol ini
dapat digunakan sebagai salah satu indikator gangguan psikologis Silverthorne, 2001.
2.1.2 Terapi depresi