Uji Efek Ekstrak Etanol Biji Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Aloksan
UJI EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI JENGKOL
(Pithecellobium lobatum Benth.) TERHADAP PENURUNAN
KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN
GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ALOKSAN
SKRIPSI
OLEH: ELYSA NIM 071501066
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
UJI EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI JENGKOL
(Pithecellobium lobatum Benth.) TERHADAP PENURUNAN
KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN
GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ALOKSAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH: ELYSA NIM 071501066
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
PENGESAHAN SKRIPSI
UJI EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI JENGKOL
(Pithecellobium lobatum Benth.) TERHADAP PENURUNAN
KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN
GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ALOKSAN
OLEH: ELYSA NIM 071501066
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: 2 Agustus 2011
Pembimbing I, Panitia Penguji,
Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195103261978022001 NIP 195311281983031002
Pembimbing II, Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.
NIP 195103261978022001
Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt.
NIP 195107231982032001 Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt. NIP 195304031983032001
Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. NIP 195208241983031001 Dekan,
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Uji Efek Ekstrak Etanol Biji Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Aloksan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus tiada terhingga kepada Ayahku Ang Kim Seng dan Ibuku Erlin Kemi tercinta, serta Adikku Belliana dan Suhendro Anggara atas doa, dorongan dan semangat baik moril maupun materil kepada penulis selama masa perkuliahan hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan.
2. Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan nasehat kepada penulis dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.
(5)
3. Ibu Dra. Fat Aminah, M.Sc., Apt., selaku penasehat akademik yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan.
4. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., Ibu Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt., Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritikan kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.
5. Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt. selaku Kepala Laboratorium Penelitian, Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt. selaku Kepala Laboratorium Farmakologi, dan Bapak Drs. Awaluddin Saragih. M.Si., Apt. selaku Kepala Laboratorium Obat Tradisional yang telah memberikan fasilitas dan bantuan selama penelitian.
6. Sahabat-sahabatku Benny Harmoko, Jessica, Stefanie Fanggara, dan Margaret yang telah memberi doa, dukungan, dan motivasi. Senior dan junior mahasiswa fakultas farmasi dan teman-teman seperjuangan di farmasi stambuk 2007 darwin, sariaty, riwandi , febri dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan yang diberikan selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Harapan saya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan kefarmasian.
Medan, 2 Agustus 2010 Penulis,
Elysa
(6)
UJI EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI JENGKOL (Pithecellobium lobatum Benth.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS
PUTIH JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ALOKSAN Abstrak
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pengobatan penyakit ini memerlukan jangka waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang mahal, oleh karena itu banyak penderita berusaha mengendalikan kadar glukosa darahnya menggunakan bahan alam seperti biji jengkol. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui skrining fitokimia, karakteristik simplisia biji jengkol dan efek ekstrak etanol biji jengkol terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus yang diinduksi aloksan.
Hasil skrining fitokimia simplisia menunjukkan adanya saponin, tanin, alkaloid, flavonoid, glikosida dan steroid/triterpenoid. Hasil mikroskopik serbuk simplisia terlihat rambut penutup berbentuk bintang, sklereid, serat sklerenkim, dan sel parenkim. Hasil karakteristik simplisia biji jengkol terhadap kadar air 6,64%, kadar sari larut dalam air 23,63%, kadar sari larut dalam etanol 17,15%, kadar abu total 1,47%, dan kadar abu tidak larut dalam asam 0,23%. Ekstraksi simplisia biji jengkol dilakukan dengan cara perkolasi menggunakan pelarut etanol 96%. Uji efek antidiabetes menggunakan tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi aloksan dosis 125 mg/kg bb secara intraperitoneal. Tikus diabetes dikelompokkan dalam lima kelompok perlakuan, dan masing-masing kelompok 6 ekor tikus. Kelompok I diberi suspense Na-CMC 0,5% b/v, kelompok II, III, dan IV diberikan ekstrak etanol biji jengkol (EEBJ) dengan dosis 200, 400, 600 mg/kg bb, dan kelompok V diberi metformin dosis 50 mg/kg bb per oral selama 7 hari berturut-turut. Selanjutnya, pengukuran kadar glukosa darah diamati dan diukur dengan alat Glukometer pada hari ke-4 dan hari ke-7. Data hasil pengujian dianalisis dengan metode analisis variansi (ANAVA) kemudian dilanjutkan dengan metode Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol biji jengkol telah memberikan efek penurunan KGD tikus ke batas normal pada hari ke-7 pemberian sediaan uji. Rata-rata KGD pada hari ke-7 pemberian EEBJ dosis 200 mg/kg bb menjadi 152,00 mg/dl, dosis 400 mg/kg bb menjadi 124,83 mg/dl, dan dosis 600 mg/kg bb menjadi 96,00 mg/dl. EEBJ dosis 600 mg/kg bb memberikan efek penurunan kadar glukosa darah yang paling baik dibandingkan dengan dosis 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb. Hasil uji statistik (α = 0,05) menunjukkan bahwa esktrak etanol biji jengkol (EEBJ) dosis 600 mg/kg bb tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan metformin dosis 50 mg/kg bb dalam menurunkan kadar gula darah tikus yang diinduksi aloksan.
Kata Kunci: jengkol (Pithecellobium lobatum Benth.), diabetes mellitus, kadar glukosa darah, aloksan
(7)
THE EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF JENGKOL SEED (Pithecolobium lobatum Benth.) TO DECREASE BLOOD GLUCOSE LEVELS OF WHITE MALE WISTAR RATS INDUCED ALLOXAN
Abstract
Diabetes mellitus (DM) is one of the disease which the prevalence is increasing from year to year. Treatment of this disease require long periods of time and relatively expensive, therefore many people are trying to control their blood glucose levels using natural ingredients one likes jengkol seed. The aim of this study was to determine the phytochemical screening, characteristics of simplicia jengkol seed and the effect of ethanol extract of jengkol seed to decrease blood glucose levels of rat induced aloksan.
The result of phytochemical screening showed that the simplicia have saponins, tannins, alkaloids, flavonoids, glycosides and steroids/triterpenoids. The results of microscopic simplicia jengkol seed have hair lid looks star-shaped, sklereid, sklerenkim fibers, and parenchyma cells. The result of the characterization of simplicia jengkol seed moisture content 6.64%, water-soluble extract concentration 23.63%, soluble in ethanol extract concentration 17.15%, total ash content 1.47%, and insoluble ash content in acid 0.23%. The extraction was done by percolation using 96% ethanol. The subject of this study using white rats of Wistar strain were induced aloksan dose 125 mg / kg bw by intraperitoneal. Diabetic rats were randomly divided into five treatment groups, and each 6 rats per group. Group I was given Na-CMC 0,5% b/v, group II, III, and IV were given ethanol extract of jengkol seed (EEJS) with a dose of 200, 400, 600 mg/kg bw, group V was given metformin dose 50 mg/kg bw by per oral for 7 consecutive days. Furthermore, measurement of blood glucose levels were observed and measured with a meter Glucometer on day 4 and day 7. Test result data were analyzed by the method of Analysis of Variance (ANAVA) followed by Duncan's method to see the difference between treatments.
The analysis showed that administration of EEJS has effect to decrease blood glucose levels to normal level on day 7 given extract. The average of blood glucose levels on day 7 for EEBJ dose of 200 mg/kg bw is 152.00 mg/dl, dose of 400 mg/kg bw is 124.83 mg/dl, and dose 600 mg/kg bw is 96.00 mg/dl. EEJS dose 600 mg/kg bw give the best effect to decrease blood glucose levels than dose 200 mg/kg bw and 400 mg/kg bw. The results of statistical tests (α = 0.05) showed that ethanol extract of jengkol seeds (EEBJ) dose of 600 mg/kg bw did not give a significant differences with metformin dose of 50 mg/kg bw in lowering blood glucose levels of rats induced alloxan.
Keywords : jengkol (Pithecellobium lobatum Benth.), diabetes mellitus, blood glucose levels, aloksan
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang ... 1
1.2Perumusan Masalah ... 3
1.3Hipotesis ... 4
1.4Tujuan Penelitian ... 4
1.5Manfaat Penelitian ... 5
1.6Kerangka Konsep Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Uraian Tumbuhan ... 6
2.1.1 Sistematika Tumbuhan ... 6
2.1.2 Sinonim ... 6
(9)
2.1.4 Habitat dan Daerah Tumbuh ... 7
2.1.5 Morfologi Tumbuhan ... 7
2.1.6 Kandungan Kimia ... 7
2.1.7 Khasiat Tumbuhan ... 8
2.2 Ekstraksi ... 8
2.3 Diabetes Mellitus ... 10
2.3.1 Pankreas ... 11
2.3.2 Klasifikasi Diabetes mellitus ... 11
2.3.3 Diagnosa Diabetes mellitus ... 13
2.3.4 Patogenesis Diabetes mellitus ... 14
2.3.5 Komplikasi Diabetes mellitus ... 16
2.3.6 Manajemen Pengobatan Diabetes mellitus ... 17
2.4 Insulin ... 19
2.5 Monitoring Diabetes mellitus ... 20
2.6 Aloksan ... 21
BAB III METODE PENELITIAN ... 23
3.1 Alat-Alat ... 23
3.2 Bahan-Bahan ... 23
3.3 Prosedur Pembuatan Simplisia ... 24
3.3.1 Pengumpulan Bahan Tumbuhan ... 24
3.3.2 Identifikasi Tumbuhan ... 24
3.3.3 Pembuatan Simplisia ... 24
3.4.Pembuatan Pereaksi ... 25
(10)
3.4.2 Pereaksi Dragendorff ... 25
3.4.3 Pereaksi Mayer ... 26
3.4.4 Pereaksi Besi (III) Klorida 4,5% b/v ... 26
3.4.5 Pereaksi Molish ... 26
3.4.6 Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M ... 26
3.4.7 Pereaksi Asam Sulfat 6 N ... 26
3.4.8 Pereaksi Asam Klorida 2 N ... 26
3.4.9 Pereaksi Liebermann-Burchard ... 26
3.4.10 Larutan Kloral Hidrat ... 27
3.4.11 Pembuatan Larutan Induksi Aloksan ... 27
3.4.12 Pembuatan Suspensi Na-CMC 0,5% b/v ... 27
3.4.13 Pembuatan Suspensi Metformin dosis 50 mg/kg bb ... 27
3.4.14 Pembuatan Suspensi Ekstrak Etanol Biji Jengkol ... 27
3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 28
3.5.1 Pemeriksaan Makroskopik dan Organoleptik ... 28
3.5.2 Pemeriksaan Mikroskopik ... 28
3.5.3 Penetapan Kadar Air ... 28
3.5.4 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air ... 29
3.5.5 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol ... 30
3.5.6 Penetapan Kadar Abu Total ... 30
3.5.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut dalam Asam ... 30
3.6 Skrining Fitokimia ... 31
3.6.1 Pemeriksaan Flavonoid ... 31
(11)
3.6.3 Pemeriksaan Saponin ... 32
3.6.4 Pemeriksaan Tanin ... 32
3.6.5 Pemeriksaan Glikosida ... 33
3.6.6 Pemeriksaan Steroid / Triterpenoid ... 33
3.7 Pembuatan Ekstrak Etanol Buah Jengkol (EEBJ) ... 33
3.8 Penyiapan Hewan Percobaan ... 34
3.9 Pengujian Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah ... 34
3.9.1 Penggunaan Blood Glucose Test Meter “GlucoDrTM ”... 34
3.9.2 Pengukuran Kadar Glukosa Darah (KGD) ... 35
3.9.3 Pengujian Efek Ekstrak Etanol Biji Jengkol (EEBJ) terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus yang Diinduksi Aloksan ... 36
3.10 Analisis Data ... 37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38
4.1 Hasil Skrining Fitokimia dan Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 38
4.2 Hasil Uji Farmakologi ... 39
4.2.1 Pengaruh Induksi Aloksan terhadap Kenaikan Kadar Glukosa Darah ... 41
4.2.2 Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah Setelah Perlakuan ... 42
4.2.2.1 Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Diabetes pada Hari ke-4 setelah pemberian sediaan uji ... 42
4.2.2.2 Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Diabetes pada Hari ke-7 setelah pemberian sediaan uji ... 44
4.2.2.3 Persentase Penurunan Rata-Rata KGD Tikus ... 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 51
5.1 Kesimpulan ... 51
(12)
5.2 Saran ... 52 DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN ... 56
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan Jengkol (Pithecellobium
lobatum Benth.) ... 56
Lampiran 2. Gambar Hasil Makroskopik ... 57
Lampiran 3. Gambar Hasil Mikroskopik Penampang Melintang Biji Jengkol dan Serbuk Simplisia Biji Jengkol ... 59
Lampiran 4. Perhitungan Hasil Penetapan Kadar Air Serbuk Simplisia Biji Jengkol ... 60
Lampiran 5. Perhitungan Hasil Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air Serbuk Simplisia Biji Jengkol ... 61
Lampiran 6. Perhitungan Hasil Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol Serbuk Simplisia Biji Jengkol ... 62
Lampiran 7. Perhitungan Hasil Penetapan Kadar Abu Total dan Kadar Abu Tidak Larut dalam Asam Serbuk Simplisia Biji Jengkol ... 63
Lampiran 8. Hasil Karakterisasi dan Skrining Fitokimia Simplisia Biji Jengkol ... 65
Lampiran 9. Tabel Maksimum Larutan Sediaan Uji untuk Hewan ... 66
Lampiran 10. Tabel Konversi Dosis Hewan dengan Manusia ... 67
Lampiran 11. Contoh Perhitungan Dosis ... 68
Lampiran 12. Daftar F Tabel ... 72
Lampiran 13. Data Pengukuran Kadar Glukosa Darah(KGD) Tikus ... 73
Lampiran 14. Data Pengukuran Rata-Rata KGD Tikus Setelah Perlakuan .. 76
Lampiran 15. Data Pengukunan Kadar Glukosa Darah Tikus ... 77
Lampiran 16. Perbandingan KGD Tikus Untuk Setiap Pengukuran ... 78
Lampiran 17. Analisis SPSS ... 79
(14)
Lampiran 19. Alat-Alat yang Digunakan ... 83
Lampiran 20. Bagan Kerja Penelitian ... 85
Lampiran 21. Data Hasil Orientasi Uji Toleransi Glukosa ... 86
(15)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Presentasi klinis diabetes mellitus ... 12 Tabel 2.2 Kategori status glukosa ... 13 Tabel 4.1 Hasil rata-rata KGD tikus puasa sebelum dinduksi
aloksan dosis 125 mg/kg bb ... 40 Tabel 4.2 Hasil uji Anava KGD puasa tikus normal sebelum
diinduksi aloksan dosis 125 mg/kg bb ... 41 Tabel 4.3 Hasil rata-rata KGD tikus setelah diinduksi aloksan
dosis 125 mg/kg bb... 41
Tabel 4.4 Hasil uji Anava KGD tikus setelah diinduksi aloksan
dosis 125 mg/kg bb... 42 Tabel 4.5 Hasil pengukuran rata-rata KGD tikus diabetes pada hari ke-4
setelah pemberian sediaan uji ... 43 Tabel 4.6 Hasil uji Anava hari ke-4 setelah pemberian sediaan
uji pada tikus diabetes ... 43 Tabel 4.7 Hasil uji Duncan pada hari ke-4 setelah pemberian sediaan
uji pada tikus diabetes ... 44 Tabel 4.8 Hasil pengukuran rata-rata KGD tikus diabetes pada
hari ke-7 setelah pemberian sediaan uji ... 45 Tabel 4.9 Hasil uji Anava hari ke-7 setelah pemberian sediaan
uji pada tikus diabetes ... 45 Tabel 4.10 Hasil uji Duncan pada hari ke-7 setelah pemberian sediaan
uji pada tikus diabetes ... 46 Tabel 4.11 Persentase rata-rata penurunan KGD tikus ... 48 Tabel 4.12 Hasil uji Duncan persentase penurunan KGD tikus pada
(16)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1 Skema kerangka konsep penelitian ... 5 Gambar 4.1 Grafik hasil pengukuran KGD setelah perlakuan... 47
(17)
UJI EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI JENGKOL (Pithecellobium lobatum Benth.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS
PUTIH JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ALOKSAN Abstrak
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pengobatan penyakit ini memerlukan jangka waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang mahal, oleh karena itu banyak penderita berusaha mengendalikan kadar glukosa darahnya menggunakan bahan alam seperti biji jengkol. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui skrining fitokimia, karakteristik simplisia biji jengkol dan efek ekstrak etanol biji jengkol terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus yang diinduksi aloksan.
Hasil skrining fitokimia simplisia menunjukkan adanya saponin, tanin, alkaloid, flavonoid, glikosida dan steroid/triterpenoid. Hasil mikroskopik serbuk simplisia terlihat rambut penutup berbentuk bintang, sklereid, serat sklerenkim, dan sel parenkim. Hasil karakteristik simplisia biji jengkol terhadap kadar air 6,64%, kadar sari larut dalam air 23,63%, kadar sari larut dalam etanol 17,15%, kadar abu total 1,47%, dan kadar abu tidak larut dalam asam 0,23%. Ekstraksi simplisia biji jengkol dilakukan dengan cara perkolasi menggunakan pelarut etanol 96%. Uji efek antidiabetes menggunakan tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi aloksan dosis 125 mg/kg bb secara intraperitoneal. Tikus diabetes dikelompokkan dalam lima kelompok perlakuan, dan masing-masing kelompok 6 ekor tikus. Kelompok I diberi suspense Na-CMC 0,5% b/v, kelompok II, III, dan IV diberikan ekstrak etanol biji jengkol (EEBJ) dengan dosis 200, 400, 600 mg/kg bb, dan kelompok V diberi metformin dosis 50 mg/kg bb per oral selama 7 hari berturut-turut. Selanjutnya, pengukuran kadar glukosa darah diamati dan diukur dengan alat Glukometer pada hari ke-4 dan hari ke-7. Data hasil pengujian dianalisis dengan metode analisis variansi (ANAVA) kemudian dilanjutkan dengan metode Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol biji jengkol telah memberikan efek penurunan KGD tikus ke batas normal pada hari ke-7 pemberian sediaan uji. Rata-rata KGD pada hari ke-7 pemberian EEBJ dosis 200 mg/kg bb menjadi 152,00 mg/dl, dosis 400 mg/kg bb menjadi 124,83 mg/dl, dan dosis 600 mg/kg bb menjadi 96,00 mg/dl. EEBJ dosis 600 mg/kg bb memberikan efek penurunan kadar glukosa darah yang paling baik dibandingkan dengan dosis 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb. Hasil uji statistik (α = 0,05) menunjukkan bahwa esktrak etanol biji jengkol (EEBJ) dosis 600 mg/kg bb tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan metformin dosis 50 mg/kg bb dalam menurunkan kadar gula darah tikus yang diinduksi aloksan.
Kata Kunci: jengkol (Pithecellobium lobatum Benth.), diabetes mellitus, kadar glukosa darah, aloksan
(18)
THE EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF JENGKOL SEED (Pithecolobium lobatum Benth.) TO DECREASE BLOOD GLUCOSE LEVELS OF WHITE MALE WISTAR RATS INDUCED ALLOXAN
Abstract
Diabetes mellitus (DM) is one of the disease which the prevalence is increasing from year to year. Treatment of this disease require long periods of time and relatively expensive, therefore many people are trying to control their blood glucose levels using natural ingredients one likes jengkol seed. The aim of this study was to determine the phytochemical screening, characteristics of simplicia jengkol seed and the effect of ethanol extract of jengkol seed to decrease blood glucose levels of rat induced aloksan.
The result of phytochemical screening showed that the simplicia have saponins, tannins, alkaloids, flavonoids, glycosides and steroids/triterpenoids. The results of microscopic simplicia jengkol seed have hair lid looks star-shaped, sklereid, sklerenkim fibers, and parenchyma cells. The result of the characterization of simplicia jengkol seed moisture content 6.64%, water-soluble extract concentration 23.63%, soluble in ethanol extract concentration 17.15%, total ash content 1.47%, and insoluble ash content in acid 0.23%. The extraction was done by percolation using 96% ethanol. The subject of this study using white rats of Wistar strain were induced aloksan dose 125 mg / kg bw by intraperitoneal. Diabetic rats were randomly divided into five treatment groups, and each 6 rats per group. Group I was given Na-CMC 0,5% b/v, group II, III, and IV were given ethanol extract of jengkol seed (EEJS) with a dose of 200, 400, 600 mg/kg bw, group V was given metformin dose 50 mg/kg bw by per oral for 7 consecutive days. Furthermore, measurement of blood glucose levels were observed and measured with a meter Glucometer on day 4 and day 7. Test result data were analyzed by the method of Analysis of Variance (ANAVA) followed by Duncan's method to see the difference between treatments.
The analysis showed that administration of EEJS has effect to decrease blood glucose levels to normal level on day 7 given extract. The average of blood glucose levels on day 7 for EEBJ dose of 200 mg/kg bw is 152.00 mg/dl, dose of 400 mg/kg bw is 124.83 mg/dl, and dose 600 mg/kg bw is 96.00 mg/dl. EEJS dose 600 mg/kg bw give the best effect to decrease blood glucose levels than dose 200 mg/kg bw and 400 mg/kg bw. The results of statistical tests (α = 0.05) showed that ethanol extract of jengkol seeds (EEBJ) dose of 600 mg/kg bw did not give a significant differences with metformin dose of 50 mg/kg bw in lowering blood glucose levels of rats induced alloxan.
Keywords : jengkol (Pithecellobium lobatum Benth.), diabetes mellitus, blood glucose levels, aloksan
(19)
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Perubahan gaya hidup dan sosial ekonomi akibat urbanisasi dan modernisasi terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif potensial terjadi dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi penyebab utama kematian di Indonesia. Beberapa jenis penyakit yang masuk dalam kelompok penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi, hiperlipidemia, dan sebagainya. Salah satu yang harus diwaspadai adalah diabetes mellitus (DM) (Sudoyo, dkk., 2007).
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun dan merupakan “the great imitator” (pemicu utama) karena penyakit ini jika tidak ditangani akan menjadi hiperglikemia kronik pada diabetes yang menyebabkan komplikasi paling banyak dan menimbulkan berbagai keluhan akibat adanya disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Sudoyo, dkk., 2007).
Menurut data WHO (World Health Organization), Indonesia menempati urutan keempat terbesar dalam jumlah penderita diabetes mellitus di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan Cina. Jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia
(20)
diperkirakan mengalami peningkatan dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2030 mendatang (Hans, 2008).
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindroma klinik yang ditandai adanya poliuria, polidipsia, dan polifagia, disertai peningkatan glukosa darah atau hiperglikemia. Pengobatan diabetes mellitus selama ini diterapi dengan pemberian obat-obat oral antidiabetik (OAD), atau dengan suntikan insulin serta melakukan diet karbohidrat serta olahraga teratur (Suherman, 2007). Penyakit ini memerlukan pengobatan jangka waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang mahal. Oleh karena itu, banyak penderita yang berusaha mengendalikan kadar glukosa darahnya dengan cara tradisional menggunakan bahan alam (Widowati, dkk., 1997).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk obat herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan, dan pengobatan penyakit. Obat herbal juga telah diterima secara luas di negara berkembang dan negara maju, 65 % dari penduduk negara maju dan 80 % penduduk dari negara berkembang telah menggunakan obat herbal. Diantara 250.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi yang ada, hanya 6% yang telah diteliti aktivitas biologisnya dan 15% untuk konstituen kimianya (Heinrich, dkk., 2004). Salah satu tumbuhan yang digunakan secara empiris oleh masyarakat untuk pengobatan diabetes yang belum dimanfaatkan secara optimal dan belum diketahui manfaatnya secara luas yaitu tumbuhan jengkol (Pithecellobium lobatum Benth.) (Widowati, dkk., 1997). Kandungan senyawa kimia pada biji, kulit batang, dan daun jengkol adalah saponin, flavonoid, dan tanin (Hutapea, 1994). Biji jengkol, terutama yang sudah tua, merupakan bagian
(21)
tanaman yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Selain itu, tumbuhan ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Jengkol diketahui dapat mencegah diabetes dan bersifat diuretik serta baik untuk kesehatan jantung (Roswaty, 2010). Secara tradisional ramuan buah jengkol tua dan kulit buahnya digunakan dengan cara dikeringkan dan dibuat seperti bubuk kopi kemudian diseduh air panas dan diminum secara rutin untuk menurunkan glukosa darahnya. Pengujian khasiat tumbuhan jengkol dalam menurunkan kadar glukosa darah ini secara ilmiah baru dilakukan oleh Bambang Wispiyono (1991) menggunakan bagian kulit batang pohon jengkol (Widowati, dkk., 1997), dan oleh Dr. Soetijoso Soemitro (1987) menggunakan kulit halus biji jengkol (Jis, dkk., 1990), sedangkan terhadap biji jengkol belum dilakukan penelitian.
Berdasarkan informasi di atas, maka dilakukan pemeriksaan skrining fitokimia, karakterisasi simplisia biji jengkol, dan penelitian efek ekstrak etanol biji jengkol terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus putih galur Wistar yang diinduksi aloksan.
1.2Perumusan Masalah
Perumusan masalah dari uraian di atas adalah:
a. Apakah kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak etanol biji jengkol dari hasil skrining fitokimia?
b. Apakah dengan melakukan karakterisasi simplisia biji jengkol dapat diperoleh karakteristik simplisia biji jengkol?
(22)
c. Apakah ekstrak etanol biji jengkol mempunyai efek terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi aloksan?
d. Apakah ada perbedaan yang nyata antara ekstrak etanol biji jengkol dengan Metformindalam memberikan efek penurunan kadar glukosa darah tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi aloksan?
1.3Hipotesis
Hipotesis dari perumusan masalah di atas adalah:
a. Kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak etanol biji jengkol dari hasil skrining fitokimia adalah saponin, flavonoid, dan tanin.
b. Karakteristik simplisia biji jengkol dapat diperoleh dengan melakukan karakterisasi simplisia biji jengkol.
c. Ekstrak etanol biji jengkol mempunyai efek terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi aloksan. d. Tidak ada perbedaan yang nyata antara ekstrak etanol biji jengkol dengan
Metforminterhadap efek penurunan kadar glukosa darah tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi aloksan.
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian di atas adalah:
a. Untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak etanol biji jengkol dari hasil skrining fitokimia.
(23)
b. Untuk memperoleh hasil karakteristik simplisia biji jengkol.
c. Untuk mengetahui efek ekstrak etanol biji jengkol secara ilmiah terhadap penurunan kadar glukosa darah.
d. Untuk membandingkan efektivitas penurunan glukosa darah dari ekstrak etanol biji jengkol dengan Metformin.
1.5Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan :
a. Dapat digunakan sebagai sumber informasi golongan senyawa kimia yang terdapat dalam biji jengkol.
b. Karakteristik simplisia biji jengkol dapat digunakan sebagai pembanding dalam pembuatan simplisia.
c. Meningkatkan obat tradisional menjadi obat herbal terstandar.
d. Untuk menambah daftar inventaris tanaman obat yang telah diuji khasiatnya secara ilmiah dalam menurunkan kadar glukosa darah.
1.6Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Bebas Variabel Terikat
Ekstrak Etanol Biji Jengkol
Aloksan
Tikus Normal
Tikus Diabetes
Kadar Glukosa
Darah Tikus Uji Pendahuluan (Karakterisasi dan Skrining Fitokimia)
(24)
Gambar 1.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian Metformin
(25)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Jengkol adalah tumbuhan khas di wilaya digemari di ini juga banyak ditemukan di Malaysia dan Thailand (Anonim, 2009). Namun, asal-usul tanaman jengkol tidak diketahui dengan pasti. Di Sumatera, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, tumbuhan jengkol banyak ditanam di kebun atau pekarangan secara sederhana (Roswaty, 2010).
2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Sistematika tumbuhan jengkol : Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Fabales
Suku : Mimosaceae Marga : Pithecellobium
Spesies : Pithecellobium lobatum Benth (Pandey, 2003). 2.1.2 Sinonim
Sinonim dari tumbuhan jengkol, antara lain: Zygia jiringa (Jack) Kosterm.,
(26)
2.1.3 Nama Daerah
Nama daerah dari tumbuhan jengkol adalah jering (Gayo), joring (Batak), jarieng (Minangkabau), jaring (Lampung), jengkol (Sunda), jengkol, jering, jingkol (Jawa), blandingan (Bali), lubi (Sulawesi Utara) (Hutapea, 1994; Heyne, 1987)
2.1.4 Habitat dan Daerah Tumbuh
Tumbuhan ini merupakan pohon di bagian barat Nusantara, tingginya sampai 26 m, dibudidayakan secara umum oleh penduduk di Jawa dan di beberapa daerah tumbuh menjadi liar. Tumbuh paling baik di daerah dengan musim kemarau yang tidak terlalu panjang (Heyne, 1987).
2.1.5 Morfologi Tumbuhan
Akar tunggang berwarna coklat kotor. batang tegak, bulat, berkayu, banyak percabangan. Daun majemuk, anak daun berhadapan, berbentuk lonjong, panjang 10-20 cm, lebar 5-15 cm, tepi rata, ujung runcing, pangkal membulat, pertulangan menyirip, berwarna hijau tua. Bunga majemuk, berbentuk tandan, terletak di ujung batang, dan ketiak daun, berwarna ungu, kelopak berbentuk mangkok, benang sari dan putik berwarna kuning, mahkota berbentuk lonjong berwarna putih kekuningan. Buah berbentuk bulat pipih, berwarna coklat kehitaman. Biji berbentuk bulat pipih, berkeping dua, dan berwarna putih kekuningan (Hutapea, 1994).
2.1.6 Kandungan Kimia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman jengkol banyak mengandung zat, antara lain adalah sebagai berikut: protein, kalsium, fosfor, asam
(27)
jengkolat, vitamin A dan B1, karbohidrat, minyak atsiri, saponin, alkaloid, terpenoid, steroid, tanin, dan glikosida. Karena kandungan zat-zat tersebut di atas, maka jengkol memberikan petunjuk dan peluang sebagai bahan obat, seperti yang telah dimanfaatkan orang pada masa lalu (Pitojo, 1994). Biji, kulit batang, kulit buah dan daun jengkol mengandung beberapa senyawa kimia, diantaranya saponin, flavonoid dan tanin (Hutapea, 1994).
2.1.7 Khasiat Tumbuhan
Kulit buah jengkol digunakan untuk obat borok (Hutapea, 1994) dan luka bakar (steffi, dkk., 2009). Daunnya berkhasiat sebagai obat eksim, kudis, luka dan bisul (Hutapea, 1994), sedangkan kulit batang (Wispiyono, B., 1991) dan kulit halus biji jengkol (Soemitro, S., 1987) sebagai penurun kadar gula darah (Widowati, dkk., 1997 ; Jis, dkk., 1990).
2.2 Ekstraksi
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan.Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk (Ditjen POM,2000).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
(28)
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan tekanan,agar bahan sesedikit mungkin terkena panas. Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet (Ditjen POM,2000).
Ada beberapa cara metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000), yaitu: dengan cara dingin (seperti : maserasi, perkolasi), dan cara panas (seperti : refluks, sokletasi, digesti, infundasi dan dekoktasi).
1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Remaserasi berarti melakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat pertama,dan seterusnya.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan / penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).
(29)
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
4. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik 5. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, umumnya dilakukan pada suhu 40-50oC.
6. Infundasi
Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 96-98oC (bejana infus tercelup dalam penagas air mendidih) selama 15-20 menit. 7. Dekoktasi
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (90-98oC)
2.3 Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dimana terdapat adanya gangguan dalam metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein akibat penurunan dalam sekresi insulin, sensitivitas insulin, atau keduanya (Triplitt, dkk., 2008). Sindrom resistensi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi
(30)
peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas. Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi sindrom metabolik yang dapat menjadi awal suatu diabetes mellitus (Sudoyo, dkk., 2007). Diabetes mellitus (DM) mempunyai sindroma klinik yang ditandai adanya poliuria, polidipsia, dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dl atau postprandial ≥ 200 mg/dl atau glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl) (Suherman, 2007).
2.3.1 Pankreas
Pankreas adalah suatu organ lonjong, kira-kira 15 cm, yang terletak di belakang lambung dan sebagian di belakang hati. Dalam pankreas terdapat 4 jenis sel endokrin, yakni:
a. sel alfa (α), yang memproduksi hormon glukagon, proglucagon, glucagon-like peptides (GLP)
b. sel-beta (β), yang memproduksi hormon insulin, C-peptide, proinsulin, amylin, γ-aminobutyric acid (GABA)
c. sel-D (δ), yang memproduksi somatostatin
d. sel-PP (Sel-F), yang memproduksi pancreatic polypeptide (PP), yang mungkin berperan pada penghambatan sekresi endokrin dan empedu (Tan, dan Rahardja, 2007).
2.3.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan etiologinya menurut American
Diabetes Association (2005) meliputi:
1. DM tipe 1 adanya destruksi sel beta-langerhans pada pankreas, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut, akibat kelainan autoimun (antibodi
(31)
sel islet, antibodi insulin, dan antibodi asam glutamat dekarboksilase) atau idiopatik.
2. DM tipe 2, bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.
3. DM tipe lain, akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat / zat kimia, infeksi, imunologi, sindroma genetik lain. Bentuk ini biasanya disebabkan oleh adanya malnutrisi disertai kekurangan protein. Dulu jenis ini disebut Diabetes Terkait Malnutrisi (MRDM), tetapi oleh karena patogenesis jenis ini tidak jelas maka tidak lagi disebut MRDM tetapi Diabetes Tipe Lain.
4. Diabetes Kehamilan (Diabetes Gestasional), adalah diabetes yang timbul selama kehamilan (Sudoyo, dkk., 2007)
Tabel 2.1 Presentasi Klinis Diabetes Mellitus (Triplitt, dkk., 2008)
Karakteristik DM Tipe 1 DM Tipe 2
Usia < 30 tahun > 30 tahun
Onset tak terduga Bertahap
Bobot tubuh Kurus obesitas atau memiliki
riwayat obesitas
Resistensi insulin tidak ada Ada
Autoantibodi sering ada Jarang
Gejala Simtomatik Asimtomatik
Diagnosis adanya keton Ada tidak ada
Tergantung terapi insulin Ada tidak ada Komplikasi akut diabetes ketoasidosis Hiperglikemik hiperosmolar
(32)
Komplikasi mikrovaskular Tidak Ada Komplikasi makrovaskular Jarang Ada
2.3.3 Diagnosa Diabetes Mellitus
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa dapat juga dilihat dari keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien berupa lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita (Sudoyo, dkk., 2007).
Menurut Triplitt, dkk., (2008), berikut kategori status glukosa darah puasa (GDP) dan tes toleransi glukosa oral (OGTT) pada Tabel 2.2 di bawah ini:
Tabel 2.2. Kategori Status Glukosa
Kategori Status Glukosa
Glukosa Darah Puasa (GDP)
Normal <100 mg/dL (5,6 mmol/L) GDP Terganggu 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) Diabetes Mellitus ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)
2 jam Sesudah Beban Glukosa
(Tes Toleransi Glukosa Oral)
Normal <140 mg/dL (7,8 mmol/L) GDP Terganggu 140-199 mg/dL (7,8-11,1 mmol/L) Diabetes Mellitus ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Selain itu juga terdapat nilai atau indeks diagnostik tambahan yang dibagi atas 2 bagian, yakni:
(33)
Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan C-peptide, serta nilai HbA1C “Glycosylated hemoglobin” (WHO memakai istilah “Glyclated hemoglobin”).
b. Indeks proses diabetogenik
Untuk penilaian proses diabetogenik dilakukan dengan penentuan tipe dan sub-tipe HLA (Human Leucocyte Antigen), seperti adanya tipe atau titer antibodi yang ditujukan pada sel islet pankreas (islet cell antibodies, ICA), insulin autoantibodi (IAA), anti GAD (Glutamic Acid Decarboxylase). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pancreas dan menyebabkan kerusakan sel. GAD adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-aminobutyric acid
(GABA). Adanya ICA, IAA, dan anti GAD ini menunjukkan risiko tinggi
berkembangnya penyakit ke arah DM tipe 1. (Sudoyo, dkk., 2007 ; Widijanti, dkk., 2011).
2.3.4 Patogenesis Diabetes Mellitus
DM tipe 1 atau dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena adanya kerusakan sel pankreas (reaksi autoimun) menyebabkan defisiensi absolut fungsi sel beta pankreas. Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa.Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai
(34)
terjadi pada setiap usia. Prevalensi DM tipe 1 ini masih sedikit dalam populasi (Triplitt, dkk., 2008).
DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM dikenal sebagai Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan
kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. DM tipe 2 ini sering dijumpai pada individu yang obesitas. Kasus ini umumnya dijumpai pada usia > 30 tahun (Triplitt, dkk., 2008).
Sindroma klinik yang sering dijumpai pada diabetes mellitus yakni poliuria, polidipsia dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dikonsumsi mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen, dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Semua proses tersebut terganggu pada DM, glukosa tidak dapat masuk ke sel hingga energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Sebenarnya hiperglikemia sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali bila kadarnya tinggi sekali sehingga darah menjadi hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Yang berbahaya adalah glikosuria yang timbul, karena glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga diuresis meningkat disertai hilangnya berbagai elektrolit (poliuria). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada pasien DM sehingga terjadi koma hiperglikemik hiperosmolar nonketosis. Karena adanya dehidrasi, maka tubuh berusaha mengatasinya dengan banyak minum (polidipsia). Selain itu, polifagia juga timbul karena adanya perangsangan pusat nafsu makan di
(35)
hipotalamus akibat kurangnya pemakaian glukosa di sel, jaringan, dan hati (Suherman, 2007).
Normalnya lemak yang berada dalam aliran darah, melewati hati dan dipecah menjadi gliserol dan asam lemak. Asam lemak kemudian diubah menjadi senyawa keton (asam asetoaseat, aseton, asam betahidroksibutirat) dan dilepaskan ke aliran darah kembali untuk disirkulasikan ke sel tubuh agar dimetabolisme menjadi energi, CO2 dan air. Pada saat terjadi gangguan metabolit, lipolisis bertambah dan lipogenesis terhambat, akibatnya dalam jaringan terbentuk senyawa keton lebih cepat daripada sel tubuh dapat memetabolismenya. Maka, terjadi akumulasi senyawa keton dan asidemia (penurunan pH darah dan meningkatnya ion hidrogen dalam darah). Sistem buffer tubuh berusaha untuk menetralkan perubahan pH yang ditimbulkannya, tetapi bila ketosis yang timbul lebih hebat maka pH darah tidak dapat dinetralisir dan terjadi diabetik ketoasidosis. Keadaan klinis ini ditandai dengan nafas yang cepat dan dalam, disebut pernafasan Kussmaul, disertai adanya bau aseton (Suherman, 2007).
2.3.5 Komplikasi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan terjadinya komplikasi kronik, baik mikrovaskular maupun makrovaskular. Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik DM. Perubahan dasar / disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal.
Pada retinopati diabetik terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah dan kemudian terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan
(36)
menyebabkan kelainan mikrovaskular berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan tekanan glomelular, dan disertai meningkatnya matriks ekstraseluler akan menyebabkan terjadinya perubahan penebalan membran basal, ekspansi mesangial, dan hipertrofi glomelular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya glomerulosklerosis. Pada komplikasi kardiovaskular, umumnya terjadi aterosklerosis akibat adanya plak pada daerah subintimal pembuluh darah yang kemudian berlanjut pada terjadinya penyumbatan pembuluh darah dan kemudian sindrom koroner akut (Sudoyo, dkk., 2007).
2.3.6 Manajemen Pengobatan Diabetes Mellitus
Tujuan terapi dari manajemen DM ini adalah mengurangi resiko terjadinya komplikasi penyakit mikrovaskular (seperti neuropati, retinopati, dan nefropati) dan makrovaskular (seperti hipertensi, jantung koroner, stroke), mengurangi mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup (Triplitt, dkk., 2008).
Langkah pertama dalam mengelola diabetes mellitus selalu dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa perencanaan makan / terapi nutrisi medik, olahraga, dan penurunan berat badan. Bila dengan langkah tersebut sasaran terapi pengendalian DM belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Sudoyo, 2007).
(37)
1. Sulfonilurea (misalnya: tolbutamid, klorpropamida, glibenklamida, gliklazida, glipizida, glikidon dan glimepirida)
Mekanisme kerja sulfonilurea dengan menstimulasi insulin dari sel beta-pankreas. Sulfonilurea berikatan dengan reseptor sulfonilurea yang memiliki afinitas tinggi yang berkaitan dengan saluran K-ATP pada sel β -pankreas, akan menghambat effluks kalium sehingga terjadi depolarisasi kemudian membuka saluran Ca dan menyebabkan influks Ca sehingga meningkatkan pelepasan insulin . Di samping itu, sulfonilurea juga dapat meningkatkan kepekaan reseptor terhadap insulin di hati dan di perifer. 2. Kalium-channel blockers (misalnya: repaglinida, nateglinida)
Golongan ini mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea, hanya pengikatan reseptornya terjadi di tempat lain dan kerjanya lebih singkat.
3. Biguanida (misalnya: metformin)
Berbeda dengan sulfonilurea, obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan gula-darah pada orang sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan sehingga berat badan tidak meningkat, maka dapat diberikan pada penderita yang kegemukan. Penderita ini biasanya mengalami resitensi insulin, sehingga sulfonilurea kurang efektif.
Mekanisme kerjanya yaitu dengan meningkatkan kemampuan insulin untuk memindahkan glukosa ke dalam sel (insulin sensitizers).
4. Glukosidase-inhibitors (misalnya: akarbose dan miglitol)
Obat golongan ini bekerja dengan merintangi enzim alfa-glukosidase di mukosa duodenum, sehingga reaksi penguraian polisakarida menjadi
(38)
monosakarida terhambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga puncak kadar gula darah dapat dihindarkan.
(39)
5. Thiazolidindion (misalnya: rosiglitazon dan pioglitazon)
Obat golongan ini bekerja dengan mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas jaringan perifer untuk insulin (insulin sensitizers).
6. Penghambat DPP-4 (dipeptidylpeptidase-4 blockers)
Obat golongan baru ini bekerja dengan menghambat enzim DPP-4 sehingga produksi hormon incretin tidak menurun. Adanya hormon incretin berperan utama dalam produksi insulin di pankreas dan pembentukan hormon GLP-1 (glukagon-like peptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotropic polypeptide) di saluran cerna yang juga berperan dalam produksi insulin. Dengan penghambatan enzim DPP-4 akan mengurangi penguraian dan inaktivasi incretin, GLP-1 dan GIP, sehingga kadar insulin akan meningkat (Tan, dan Rahardja, 2007).
2.4. Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta pankreas, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah (Sudoyo, 2007).
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang
(40)
kemudian dihimpun dalam gelumbung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Disini, dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel (Sudoyo, 2007).
2.5 Monitoring Diabetes Mellitus
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated haemoglobin, khususnya HbA1C. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin (Triplitt, dkk., 2008). Kategori status glukosa darah puasa dan 2 jam PP dapat dilihat pada Tabel 2.2 di atas.
Nilai HbA1C normal menurut ACA (American College of Endocrinology) dan AACE (American Association of Clinical Endocrinologists) adalah < 6,5%, sedangkan menurut ADA (American Diabetes Assosiation) adalah < 7% (Triplitt, dkk., 2008). Di dalam sirkulasi darah, terdapat sel darah merah yang membentuk molekul hemoglobin. Glukosa yang melekat pada hemoglobin ini membentuk molekul glycated haemoglobin yang disebut hemoglobin A1c atau HbA1C. Kadar HbA1C akan meningkat secara signifikan bila kadar glukosa darah meningkat (Anonim, 2011). Karena itu, pengukuran HbA1C merupakan gold standard untuk kontrol glikemik jangka panjang pada pasien diabetes. HbA1C digunakan untuk memonitoring (follow-up) penatalaksanaan terapi obat dan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat. Oleh karena itu, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali untuk dapat mengontrol terapi pengobatan pasien diabetes (Triplitt, dkk., 2008).
(41)
2.6 Aloksan
Pada uji farmakologi / bioaktivitas pada hewan percobaan, keadaan diabetes mellitus dapat diinduksi dengan cara pankreaktomi dan pemberian zat kimia. Zat kimia sebagai induktor (diabetogen) bisa digunakan aloksan, streptozotozin, diaksosida, adrenalin, glukagon, EDTA yang diberikan secara parenteral. Diabetogen yang lazim digunakan adalah aloksan karena obat ini cepat menimbulkan hiperglikemi yang permanen dalam waktu dua sampai 3 hari (Suharmiati, 2003).
Aloksan adalah suatu substrat yang secara struktural adalah derivat pirimidin yang sederhana. Aloksan tersedia sebagai hidrasi aloksan dalam larutan encer. Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat. Aloksan (2,4,5,6-tetraoxypirimidin) secara selektif merusak sel dari pulau langerhans dalam pankreas yang mensekresi hormon insulin (Anonim, 2010).
Aloksan dapat diberikan secara parenteral seperti intravena, intraperitoneal atau subkutan pada hewan percobaan. Dosis aloksan yang diperlukan untuk menginduksi diabetes tergantung pada hewan percobaan yang digunakan, rute administrasi dan status nutrisi. Pemberian dosis secara intavena yang biasa digunakan untuk menginduksi diabetes pada tikus adalah 65 mg/kg BB, sedangkan secara intraperitoneal atau subkutan dosis efektifnya harus 2-3 kali lebih tinggi. Pemberian dosis secara intraperitoneal di bawah 150 mg/kg BB mungkin sudah cukup untuk menginduksi diabetes pada tikus (Szkudelski, 2001).
Hal ini juga harus ditekankan bahwa kisaran dosis diabetogenik dari aloksan cukup sempit dan apabila overdosis dapat menjadi toksik dapat
(42)
menyebabkan kematian banyak hewan. Kematian yang terjadi kemungkinan besar karena toksisitas nekrotik sel tubular ginjal, khususnya ketika dosis aloksan terlalu tinggi diberikan (Szkudelski, 2001).
(43)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental yang meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi sampel, pembuatan simplisia, pembuatan pereaksi, pemeriksaan karakteristik simplisia, skrining fitokimia. Penyiapan hewan percobaan, pengujian efek ekstrak etanol biji jengkol terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus putih jantan dengan metode induksi aloksan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data hasil penelitian dianalisis dengan metode analisis variansi (ANAVA) dengan tingkat kepercayaan 95%, dilanjutkan dengan metode uji Duncan untuk melihat perbedaan nyata antar perlakuan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 17. Bagan kerja penelitian dapat dilihat pada Lampiran 20 halaman 85.
3.1 Alat-Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi lemari pengering, blender (Philip), oven (Memmert), neraca listrik (Mettler Toledo), neraca hewan (GW-1500), mikroskop, desikator, penangas air, freeze dryer (Virtis) , rotary
evaporator (Heidolph WB 2000), Glucometer (GlucoDrTM) dan Glucotest strip
(GlucoDrTM strip test) , magnetic stirer, spuit, oral sonde, mortir dan stamfer,
alat-alat gelas dan alat-alat laboratorium lainnya.
(44)
Bahan tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji jengkol (Pithecellobium lobatum Benth). Bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisa kecuali dinyatakan lain adalah kloral hidrat, toluen, kalium iodida, bismuth nitrat, asam nitrat, iodium, α-naftol, besi (III) klorida, timbal (II) asetat, serbuk seng, serbuk magnesium, asam asetat anhidrida, isopropanol, natrium hidroksida, asam klorida pekat, asam sulfat pekat, kloroform, n-heksan, metanol, etanol 96% (teknis), larutan fisiologis NaCl 0,9%, aloksan (Sigma Aldrich), Na-CMC (Natrium-Carboxy Methyl Cellulose), metformin, dan air suling (teknis).
3.3 Prosedur Pembuatan Simplisia 3.3.1 Pengumpulan Bahan Tumbuhan
Sampel yang digunakan adalah biji jengkol (Pithecellobium lobatum) yang masih segar dan tua. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel diambil dari pasar tradisional di Pasar Pancur Batu, jalan Jamin Ginting, Kabupaten Deli Serdang , Provinsi Sumatera Utara.
3.3.2 Identifikasi Tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan Steffi (2010) di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 56.
3.3.3 Pembuatan Simplisia
Bahan baku biji jengkol tua yang masih segar dikumpulkan, dibuang bagian yang tidak diperlukan (sortasi basah), dicuci bersih di bawah air mengalir,
(45)
ditiriskan, dan ditimbang berat basahnya. Biji jengkol selanjutnya dirajang dengan ukuran ± 2 mm dan dikeringkan di lemari pengering hingga kering, dibuang benda-benda asing atau pengotoran-pengotoran lain yang masih tertinggal pada simplisia kering (sortasi kering), kemudian ditimbang berat keringnya dan diblender hingga agak halus dan disimpan dalam wadah plastik yang tertutup rapat.
3.4 Pembuatan Pereaksi
Pembuatan larutan pereaksi bouchardat, dragendorff, mayer, besi (III) klorida 4,5% b/v, molish, timbal (II) asetat 0,4 M, asam sulfat 6 N, asam klorida 2 N, liebermann-Burchard, kloralhidrat, pembuatan larutan induksi aloksan, pembuatan suspensi Na-CMC 0,5% b/v, pembuatan suspensi metformin dosis 50 mg/kg bb, pembuatan suspensi EEBJ dosis 200 mg/kg bb, EEBJ dosis 400 mg/kg bb, dan EEBJ dosis 600 mg/kg bb.
3.4.1 Pereaksi Bouchardat
Sebanyak 2 g iodium dan 4 g kalium iodida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Depkes, 1995).
3.4.2 Pereaksi Dragendorff
Sebanyak 8 g bismut (III) nitrat dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat. Pada wadah lain sebanyak 27,2 g kalium iodida dilarutkan dalam 50 ml air suling, kemudian kedua larutan dicampurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna. Selanjutnya diambil lapisan jernih dan diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Depkes, 1995).
(46)
3.4.3 Pereaksi Mayer
Sebanyak 1,36 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling 60 ml. Pada wadah lain sebanyak 5 g kalium iodida dilarutkan dalam 10 ml air suling. Kemudian dicampur dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Depkes, 1995). 3.4.4 Pereaksi Besi (III) Klorida 4,5% b/v
Sebanyak 4,50 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air hingga 100 ml (Depkes, 1995).
3.4.5 Pereaksi Molish
Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Depkes, 1995).
3.4.6 Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M
Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Depkes, 1995).
3.4.7 Larutan Asam Sulfat 6 N
Sebanyak 29,42 g asam sulfat pekat dilarutkan dengan air suling hingga 100 ml (Depkes, 1995).
3.4.8 Larutan Asam Klorida 2 N
Sebanyak 7,29 g asam klorida pekat dilarutkan dengan air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).
(47)
Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 5 ml asam sulfat pekat, lalu ditambahkan 50 ml etanol ke dalam campuran tersebut (Merck and darmstadt, 1978).
(48)
3.4.10 Larutan Kloralhidrat
Sebanyak 50 g kloralhidrat dilarutkan dalam 20 ml air suling (Depkes, 1995).
3.4.11 Pembuatan Larutan Induksi Aloksan
Aloksan dilarutkan dalam larutan NaCl 0,9% b/v dengan konsentrasi 5% b/v. Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 11 halaman 68.
3.4.12 Pembuatan Suspensi Na-CMC 0,5% b/v
Sebanyak 0,5 g Na-CMC 0,5% b/v ditaburkan dalam lumpang yang berisi ±30 ml air suling panas. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, lalu digerus sampai homogen, diencerkan dengan air suling dan dimasukkan ke labu tentukur 100 ml, dicukupkan volumenya dengan air suling hingga 100 ml.
3.4.13 Pembuatan Suspensi Metformin dosis 50 mg/kgBB
Tablet Metformin digerus dan diambil sebanyak 60 mg, dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi Na-CMC 0,5% b/v sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen, volume dicukupkan hingga 5 ml. Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 11 halaman 69.
3.4.14 Pembuatan Suspensi Ekstrak Etanol Biji Jengkol dengan 3 Variasi Dosis yakni dosis 200 mg/kg BB, 400 mg/kgBB, 600 mg/kg BB
Sejumlah 200 mg, 400 mg, dan 600 mg ekstrak etanol biji jengkol dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi Na-CMC 0,5% b/v sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen hingga 5 ml. Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 11 halaman 71.
(49)
(50)
3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam (Depkes RI, 1995 ; WHO, 1992).
3.5.1 Pemeriksaan Makroskopik dan Organoleptik
Pemeriksaan makroskopik dan organolepik dilakukan dengan mengamati bentuk, bau, rasa, warna dan ukuran dari biji jengkol segar, dan serbuk simplisia biji jengkol. Hasil pemeriksaan makroskopik dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 57.
3.5.2 Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap biji jengkol segar dan serbuk simplisia biji jengkol. Biji jengkol dipotong melintang dan membujur lalu diletakkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, selanjutnya diamati di bawah mikroskop. Begitu juga halnya pemeriksaan pada serbuk simplisia. Hasil pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 59.
3.5.3 Penetapan Kadar Air
Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi toluena). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, pendingin, tabung penyambung, tabung penerima 5 ml berskala 0,05ml, alat penampung dan pemanas listrik. Cara kerja :
(51)
Dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat, lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992). Hasil penetapan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 60.
3.5.4 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air
Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Hasil penetapan kadar sari larut dalam air dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 61.
(52)
3.5.5 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol
Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Hasil penetapan kadar sari larut dalam etanol dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 62. 3.5.6 Penetapan Kadar Abu Total
Sebanyak 2 atau 3 g serbuk simplisia dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Hasil penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman 63.
3.5.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut dalam Asam
Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu
(53)
yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Hasil penetapan kadar abu total larut dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman 63.
3.6 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa golongan flavoinoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid. 3.6.1 Pemeriksaan Flavanoid
Serbuk simplisia ditimbang 0,5 g, lalu ditambahkan 10 ml metanol, direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling, setelah dingin ditambahkan 5 ml petroleum eter, dikocok hati-hati, lalu didiamkan sebentar. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40oC, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etilasetat, disaring. Filtratnya digunakan untuk uji flavonoid dengan cara berikut :
a. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 2 ml etanol 96%, lalu ditambah 0,5 g serbuk Zn dan 2 ml asam klorida 2 N. Didiamkan selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat. Jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-3-flavonol).
b. Sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 96%, lalu ditambah 0,1 g serbuk Mg dan 10 tetes asam klorida pekat. Jika terjadi warna merah jingga sampai warna merah ungu menunjukkan adanya flavonoid. Jika terjadi warna kuning jingga menunjukkan adanya flavon, kalkon dan auron (Depkes, 1995).
(54)
3.6.2 Pemeriksaan Alkaloid
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi :
a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff
Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan diatas (Depkes, 1995).
3.6.3 Pemeriksaan Saponin
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes,1995).
3.6.4 Pemeriksaan Tanin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Depkes, 1995).
(55)
3.6.5 Pemeriksaan Glikosida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml campuran etanol 96%-air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit, lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran kloroform-isopropanol (3:2) sebanyak 3 kali. Pada kumpulan sari lapisan isopropanol diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dengan 2 ml metanol untuk larutan percobaan. 0,1 ml larutan percobaan diuapkan diatas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes Molish, kemudian ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat, terbentuk cincin berwarna ungu pada batas cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes, 1995).
3.6.6 Pemeriksaan Steroid / Triterpenoid
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding cawan. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne, 1987).
3.7 Pembuatan Ekstrak Etanol Biji Jengkol (EEBJ)
Pembuatan ekstrak etanol biji jegkol dilakukan dengan metode perkolasi. Caranya 500 gram serbuk simplisia dimaserasi dengan etanol 96% selama 3 jam. Selanjutnya dipindahkan massa tersebut sedikit demi sedikit ke dalam perkolator,
(56)
tambahkan etanol 96% secukupnya hingga simplisia terendam dan terdapat cairan penyari di atasnya, perkolator ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan selama 24 jam. Kemudian kran perkolator dibuka dan dibiarkan cairan ekstrak menetes dengan kecepatan 1 ml per menit dan ditambahkan etanol 96% berulang-ulang secukupnya dengan meletakkan corong pisah di atas perkolator dan diatur kecepatan penetesan cairan penyari sama dengan kecepatan tetesan perkolat,sehingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia. Perkolasi dihentikan jika 500 mg perkolat yang keluar terakhir diuapkan, tidak meninggalkan sisa. Perkolat kemudian disuling dan diuapkan dengan tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari 500C menggunakan rotary evaporator, kemudian dipekatkan dengan bantuan alat freeze dryer sehingga diperoleh ekstrak kental sebanyak 97 gram (Depkes, 1986).
3.8 Penyiapan Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih jantan galur Wistar dengan berat badan 200 g (±10%) sebanyak 30 ekor , dikelompokkan dalam 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus. Sebelum pengujian, terlebih dahulu tikus dikondisikan selama 1 minggu dalam kandang yang baik untuk menyesuaikan dengan lingkungannya.
3.9 Pengujian Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah 3.9.1 Penggunaan Blood Glucose Test Meter “GlucoDrTM ”
Kadar glukosa darah diukur dengan alat glucometer menggunakan tes strip yang bekerja secara enzimatis.
(57)
Alat yang digunakan untuk mengukur kadar glukosa darah adalah
GlucoDrTM. Glucometer ini secara otomatis akan hidup ketika test strip dimasukkan dan akan mati setelah beberapa menit test strip dicabut. GlucoDrTM
check strip dimasukkan ke alat GlucoDrTM sehingga glucometer ini akan hidup secara otomatis, kemudian dicocokkan kode nomor yang muncul pada layar dengan yang ada pada vial GlucoDrTM test strip. Tes strip yang dimasukkan pada
glucometer pada bagian layar akan tertera angka yang harus sesuai dengan kode vial GlucoDrTM test strip, kemudian pada layar monitor glucometer muncul tanda siap untuk diteteskan darah. Caranya dengan menyentuh 1 tetes darah yang keluar ke tes strip dan ditarik sendirinya melalui aksi kapiler. Ketika wadah terisi penuh oleh darah, alat mulai mengukur kadar glukosa darah. Hasil pengukuran diperoleh selama 11 detik. Gambar alat dapat dilihat pada Lampiran 18 halaman 82.
3.9.2 Pengukuran Kadar Glukosa Darah (KGD)
Sebelum percobaan dilakukan, tikus dipuasakan (tidak diberi makan tetapi tetap diberi minum) selama 18 jam, lalu ditimbang berat badan tikus masing-masing dan diberi tanda pada ekor. Kemudian masing-masing-masing-masing tikus diukur kadar gula darah puasa dengan cara mengambil darah melalui pembuluh darah vena dibagian ekor yang ditusuk menggunakan jarum suntik. Darah yang keluar disentuhkan pada strip test yang telah terpasang pada alat glucometer dan dibiarkan alat mengukur kadar gula darah secara otomatis. Angka yang tampil pada layar dicatat sebagai kadar gula darah (mg/dl).
(58)
3.9.3 Pengujian Efek Ekstrak Etanol Biji Jengkol (EEBJ) terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus yang Diinduksi Aloksan Tikus yang telah dipuasakan ditimbang berat badannya, ditentukan kadar glukosa darah puasa, kemudian masing-masing tikus diinduksi dengan aloksan dosis 125 mg/kg BB secara intraperitoneal. Tikus diberi makan dan minum seperti biasa, diamati tingkah laku tikus dan bobot badan, dan diukur kadar glukosa darahnya pada hari ke-4 hingga hari berikutnya hingga menunjukkan kenaikan kadar glukosa darah tikus untuk digunakan dalam pengujian. Tikus dianggap diabetes apabila kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl (Triplitt, dkk., 2008) dan telah dapat digunakan untuk pengujian. Selanjutnya disebut sebagai tikus diabetes.
Tikus diabetes yang sudah dapat digunakan dan diukur kadar glukosa darahnya, dikelompokkan secara acak menjadi 5 kelompok, yang masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus dan diberi perlakuan secara per oral, yakni: Kelompok I : Tikus diabetes diberikan larutan suspensi Na-CMC 0,5% b/v Kelompok II : Tikus diabetes diberikan suspensi EEBJ dosis 200 mg/kg bb Kelompok III : Tikus diabetes diberikan suspensi EEBJ dosis 400 mg/kg bb Kelompok IV : Tikus diabetes diberikan suspensi EEBJ dosis 600 mg/kg bb Kelompok V : Tikus diabetes diberikan suspensi metformin dosis 50 mg/kg bb
Kelima kelompok diberi perlakuan selama 7 hari berturut-turut. Selanjutnya pengukuran kadar glukosa darah diukur pada hari ke-4 dan hari ke-7 setelah pemberian sediaan uji pada tikus diabetes menggunakan alat ukur Glucometer GlucoDrTM.
(59)
3.10 Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan metode analisis variansi (ANAVA) dengan tingkat kepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan uji rata-rata Duncan untuk melihat perbedaan nyata antar perlakuan. Analisis Statistik ini
(60)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Skrining Fitokimia dan Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Hasil identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Steffi (2010) di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara adalah tumbuhan jengkol (Pithecellobium lobatum Benth.) famili Mimosaceae. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 56.
Hasil makroskopik biji jengkol segar berbentuk bulat pipih, berkeping dua, berwarna coklat mengkilap, berbau khas dan tidak berasa. Hasil mikroskopik serbuk simplisia biji jengkol terlihat rambut penutup berbentuk bintang, pembuluh tapis (floem), pembuluh kayu (xilem) dengan penebalan bentuk tangga, sklereid, serat sklerenkim, dan sel parenkim. Hasil makroskopik dapat dilihat pada Lampiran 2 hal 57, dan hasil mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 3 hal 59.
Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia menunjukkan adanya kandungan saponin, tanin, alkaloid, flavonoid, glikosida dan steroid/triterpenoid. Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia biji jengkol yaitu penetapan kadar air 6,64%, kadar sari yang larut dalam air 23,63%, kadar sari yang larut dalam etanol 17,15%, kadar abu total 1,47%, kadar abu tidak larut asam 0,23%. Standarisasi simplisia untuk biji jengkol belum tertera pada monografi buku Materi Medika Indonesia, sehingga diharapkan untuk hasil karakterisasi ini dapat digunakan
(61)
sebagai pembanding dalam pembuatan simplisia. Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia biji jengkol dan skrining fitokimia dapat dilihat pada Lampiran 8 hal 65.
Ekstraksi serbuk biji jengkol dilakukan dengan cara perkolasi menggunakan etanol 96%, dengan maksud agar kandungan kimia yang terdapat dalam biji jengkol dapat tersari dengan sempurna dalam cairan penyari. Ekstrak cair (perkolat) dari 500 g serbuk simplisia biji jengkol yang diperkolasi, dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator diperoleh ekstrak kental ±220 ml, kemudian dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer diperoleh ekstrak kering 97 gram (rendemen 19,4 %).
4.2 Hasil Uji Farmakologi
Pada penelitian ini menggunakan tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi aloksan dosis 125 mg/kg bb secara intraperitoneal untuk memperoleh tikus diabetes dengan KGD (kadar gula darah) ≥ 200 mg/dl (Triplitt, C.L., dkk., 2008). Sebelumnya dilakukan orientasi efek penurunan KGD dengan pemberian EEBJ dosis 100 mg/kg bb dan 200 mg/kg bb dengan uji toleransi glukosa. Hasil orientasi menunjukkan EEBJ dosis 200 mg/kg bb lebih menunjukkan penurunan yang lebih cepat dibandingkan dengan 100 mg/kg bb yang mempunyai kecepatan penurunan KGD yang hampir sama dengan kelompok kontrol toleransi glukosa. Oleh karena itu, dosis untuk pengujian selanjutnya digunakan EEBJ dosis 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan 600 mg/kg bb. Hasil orientasi uji toleransi glukosa dapat dilihat pada Lampiran 21 halaman 86. Selanjutnya dilakukan orientasi dengan metode induksi aloksan. Dari hasil orientasi menggunakan EEBJ dosis 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb, dan 600 mg/kg bb pada tikus diabetes diperoleh
(62)
pengukuran kadar glukosa darah yang sudah mencapai batas normal pada kelompok EEBJ dosis 600 mg/kg bb dalam 7 hari pemberian. Hasil orientasi dengan metode induksi aloksan dapat dilihat pada Lampiran 22 halamam 88.
Tikus diabetes dikelompokkan dalam 5 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus diabetes yaitu kelompok kontrol yang diberi suspensi Na-CMC 0,5% b/v sebanyak 1% bb, kelompok uji dengan 3 variasi dosis perlakuan (suspensi EEBJ dosis 200 mg/kg bb, suspensi EEBJ dosis 400 mg/kg bb, dan suspensi EEBJ dosis 600 mg/kg bb), dan kelompok pembanding menggunakan suspensi metformin dosis 50 mg/kg bb.
Sebelum tikus diinduksi dengan aloksan dosis 125 mg/kg bb, terlebih dahulu tikus dipuasakan 18 jam. Hasil pengukuran rata-rata KGD tikus puasa untuk setiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1 Hasil rata-rata KGD tikus setelah puasa selama 18 jam sebelum diinduksi aloksan dosis 125 mg/kg bb
No
Tikus Normal (sebelum diinduksi aloksan dosis 125 mg/kg bb)
Rata-rata KGD puasa (mg/dl)
KGD puasa tikus normal (mg/dl) 1 2 3 4 5
Kontrol Na-CMC 0,5% EEBJ 200 mg/kg bb EEBJ 400 mg/kg bb EEBJ 600 mg/kg bb Metformin 50 mg/kg bb
81,83 82,00 81,83 83,67 82,83
< 100 mg/dl
Rata – rata 82,43
Berdasarkan hasil analisis statistik pada Tabel 4.2 di bawah ini diperoleh F hitung (0,15) < F tabel (2,76) pada α = 0,05 berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa tikus yang digunakan dalam kondisi fisiologis yang homogen, yakni dalam kadar glukosa darah normal,
(63)
sehingga dapat digunakan sebagai hewan uji. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini.
(64)
Tabel 4.2 Hasil uji Anava KGD puasa tikus normal sebelum diinduksi aloksan dosis 125 mg/kg bb
Sumber Variasi JK DB KT F hitung F table
Perlakuan 15,53 4 3,88 0,15 2,76
Galat 633,83 25 25,35
Total 649,37 29
4.2.1 Pengaruh Induksi Aloksan terhadap Kenaikan Kadar Glukosa Darah Tikus normal yang sudah diukur KGD puasanya, diinduksi dengan aloksan dosis 125 mg/kg bb secara intraperitoneal, diamati tingkah laku tikus dan bobot badan, serta diukur kadar glukosa darahnya pada hari ke-4 hingga hari berikutnya sampai menunjukkan kenaikan kadar glukosa darah sehingga tikus dapat mulai digunakan dalam pengujian. Tikus yang telah memiliki kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl, selanjutnya disebut tikus diabetes. Hasil rata-rata dari peningkatan KGD tikus ditunjukkan pada Tabel 4.3 di bawah ini.
Tabel 4.3 Hasil rata-rata KGD tikus setelah diinduksi aloksan dosis 125 mg/kg bb
No Tikus setelah diinduksi aloksan 125 mg/kg bb
Rata-rata KGD puasa (mg/dl) KGD puasa tikus diabetes (mg/dl) 1 2 3 4 5
Kontrol Na-CMC 0,5% EEBJ 200 mg/kg bb EEBJ 400 mg/kg bb EEBJ 600 mg/kg bb Metformin 50 mg/kg bb
378,67 367,00 361,17 432,00 383,50
≥ 200 mg/dl
Berdasarkan Tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa penginduksian aloksan dosis 125 mg/kg bb untuk semua hewan percobaan menghasilkan kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl, ini menunjukkan tikus sudah berada dalam kondisi diabetes.
Hasil uji analisis statistik pada Tabel 4.4 di bawah ini juga diperoleh F hitung (2,44) < F tabel (2,76) pada α = 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan yang
(65)
yang homogen (tikus diabetes) dan dapat digunakan sebagai hewan uji pada pengujian efek EEBJ terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus.
Tabel 4.4 Hasil uji Anava KGD tikus setelah diinduksi aloksan dosis 125 mg/kg
Sumber Variasi JK DB KT F hitung F table
Perlakuan 18851,80 4 4712,95 2,44 2,76
Galat 48221,67 25 1928,87
Total 67073,47 29
4.2.2 Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah Setelah Perlakuan
Tikus diabetes diberi perlakuan yaitu kelompok I diberi suspensi Na-CMC 0,5% sebanyak 1% bb, Kelompok II, III dan IV masing-masing diberi suspensi EEBJ dosis 200, 400, 600 mg/kg bb dan kelompok V diberi suspensi metformin dosis 50 mg/kg bb. Perlakuan hanya diberikan selama 7 hari karena dengan pemberian EEBJ dosis 600 mg/kg bb telah menunjukkan penurunan kadar glukosa darah tikus sampai batas normal dengan kadar glukosa darah antara 70 sampai 100 mg/dl (Triplitt, dkk., 2008). Sama halnya dengan efek penurunan KGD yang dihasilkan oleh suspensi metformin dosis 50 mg/kg bb.
Pemberian sediaan uji pada setiap kelompok tikus yang sudah diabetes selanjutnya dianggap sebagai hari pertama pemberian sediaan uji (hari ke-1).
4.2.2.1 Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Diabetes pada Hari ke-4 Setelah Pemberian Sediaan Uji
Pengukuran kadar glukosa darah tikus diabetes pada hari ke-4 setelah pemberian suspensi EEBJ dosis 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan 600 mg/kgbb dan metformin dosis 50 mg/kg bb sudah mulai terlihat adanya penurunan KGD tetapi belum dicapai kadar glukosa darah normal. Sedangkan, pada kelompok kontrol Na-CMC 0,5% tidak tampak adanya penurunan kadar glukosa darah
(1)
Lampiran 19. (Lanjutan)
Gambar Rotary Evaporator (Heidolph WB 2000)
(2)
Lampiran 20. Bagan kerja penelitian
(3)
(4)
Lampiran 21. Data Hasil Orientasi Uji Toleransi Glukosa
1.
Setelah pemberian larutan glukosa 50% b/v dosis 5 g/kg bb
No. Hewan BB Tikus (g) KGD Puasa (mg/dl)
KGD setelah pemberian larutan glukosa 50% b/v (mg/dl)
Waktu (menit)
30 60 90 120 150 180
1. 2. 3. 178 181 180 97 91 89 212 202 207 193 197 191 178 188 184 169 174 168 154 159 153 129 134 131
Rata-rata 92,33 207,00 193,67 183,33 170,33 155,33 131,33
2.
Setelah pemberian suspensi Ekstrak Etanol Biji Jengkol dosis 100 mg/kg bb
No. Hewan BB Tikus (g) KGD Puasa (mg/dl)
KGD setelah pemberian larutan glukosa 50% b/v dan EEBJ dosis 100 mg/kg bb (mg/dl)
Waktu (menit)
30 60 90 120 150 180
1. 2. 3. 178 181 180 99 87 92 202 211 206 191 184 187 176 169 173 163 162 159 144 151 147 128 126 129
Rata-rata 92,67 206,33 187,33 172,67 161,67 147,33 127,67
3.
Setelah pemberian suspensi Ekstrak Etanol Biji Jengkol dosis 200 mg/kg bb
No. Hewan BB Tikus (g) KGD Puasa (mg/dl)
KGD setelah pemberian larutan glukosa 50% b/v dan EEBJ dosis 200 mg/kg bb (mg/dl)
Waktu (menit)
30 60 90 120 150 180
1. 2. 3. 183 181 177 101 87 95 197 207 216 173 176 183 159 148 163 143 139 142 132 124 129 123 113 119
Rata-rata 94,33 206,67 177,33 156,67 141,33 128,33 118,33
(5)
Lampiran 21. (Lanjutan)
4.
Setelah pemberian suspensi Metformin dosis 50 mg/kg bb
No. Hewan
BB Tikus
(g)
KGD Puasa (mg/dl)
KGD setelah pemberian larutan glukosa 50% b/v dan metformin dosis 50 mg/kg bb (mg/dl)
Waktu (menit)
30 60 90 120 150 180
1. 2. 3.
183 179 186
91 89 85
213 221 218
187 191 196
175 169 174
155 149 142
124 110 116
96 87 92
(6)
Lampiran 22. Data Hasil Orientasi Metode Induksi Aloksan
Kelompok BB Tikus (g) KGD Puasa sebelum diinduksi aloksan (mg/dl) KGD puasa setelah diinduksi aloksan (mg/dl)KGD setelah pemberian sediaan uji (mg/dl)
Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7 I II III IV V 186,1 183,2 190,6 188,5 189,6 79 89 82 83 96 383 380 382 421 447 383 380 382 421 447 375 357 325 328 316 389 324 302 287 294 328 306 284 213 241 373 254 227 186 184 435 219 178 126 121 497 185 134 95 89