I. Kewenangan Daerah Otonom
Karena   berkaitan   dengan   otonomi   daerah,   maka   pengkajian   mengenai permasalahan   tersebut   diawali   dengan   Pasal   18  Undang-undang   Dasar   1945   yang
menyebutkan dalam ayat 1 nya bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya disebutkan dalam ayat 2 bahwa
“Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah”. Hal ini juga diatur dalam
pasal 2 ayat UU Pemda. Berdasarkan penjelasan pasal 2 ayat 2 UU Pemda, yang dimaksud dengan
asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa “pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintah daerah itu sendiri
dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupatenkota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupatenkota ke desa” sehingga berdasarkan
pasal   ini,   dapat   dikatakan   bahwa   Pemerintah   Kabupaten   Tabanan   mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan secara mandiri atau
disebut juga dengan otonomi daerah. Pengertian otonomi daerah dapat dilihat pada pasal 1 angka 5 UU Pemda yang
menyebutkan otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk   mengatur   dan   mengurus   sendiri   urusan   pemerintahan   dan   kepentingan
masyarakat   setempat   sesuai   dengan   peraturan   perundang-undangan”.   Wewenang tersebut mencakup wewenang untuk mengelola kekayaan milik daerah, khususnya
kabupaten tabanan.
4
Membahas   sumber   wewenang   sangatlah   berkaitan   erat   dengan   prinsip penyelenggaraan pemerintahan yakni prinsip dekonsentrasi, tugas pembantuan dan
desentralisasi   karena   berdasarkan   prinsip   dekonsentrasi   dan   desentralisasi   terjadi pelimpahan dan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Berdasarkan pasal 1 angka 8 UU Pemda dekonsentrasi adalah “pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah danatau
kepada   instansi   vertikal   di   wilayah   tertentu”.   Melalui   prinsip   dekonsentrasi   ini dilakukan “pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya
atau   aparatmya   di   daerah   untuk   melaksanakan   wewenang   tertentu   dalam menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah”
1
. Pada   hakekadnya,   alat   pemerintah   pusat   ini,   melaksanakan   “pemerintahan
sentral di daerah-daerah dan berwenang mengambil keputusan sendiri sampai tingkat tertentu   berdasarkan   kewenangannya”
2
.   Untuk   itu   alat   yang   bersangkutan bertanggungjawab langsung terhadap pemerintah pusat yang memikul semua biaya
dan tanggungjawab terakhir mengenai urusan-urusan dekonsentrasi tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa urusan-urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh aparat
pemerintah   pusat   seperti   Gubernur   di   daerah   tetap   menjadi   tanggung   jawab pemerintah  pusat.  Dalam  penjelasan Peraturan  Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001
tentang   Penyelenggaraan   Dekonsentrasi,   ditentukan   bahwa   tujuan   diselenggarakan dekonsentrasi adalah:
a. Meningkatkan   efisiensi   dan   efektivitas   penyelenggaraan   pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan terhadap kepentingan umum;
b. Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi negara;
1 H. Andi Mustari Pide,1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta, h. 30.
2 Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, h. 4.
5
c. Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nacional; d. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tugas pembantuan, dalam pasal 1 angka 9 UU Pemda adalah “penugasan dari Pemerintah   kepada   daerah   danatau   desa,   dari   pemerintah   provinsi   kepada
kabupatenkota danatau desa serta dari pemerintah kabupatenkota kepada desa untuk melaksanakan   tugas   tertentu”.   Dasar   pemikiran   untuk   dilaksanakannya   tugas
pembantuan ini, karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Jadi, beberapa urusan pemerintahan masih
merupakan urusan pemerintah pusat, akan tetapi adalah berat sekali bagi pemerintah pusat  untuk  melaksanakan   urusan  yang  masih   menjadi  wewenangnya   berdasarkan
dekonsentrasi karena : 
Terbatasnya kemampuan perangkat pemerintah pusat di daerah. 
Dari segi daya guna dan hasil guna, kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan pemerintah pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri
oleh aparatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya.
 Dari   segi   sifatnya,   berbagai   urusan   pemerintah   pusat   sangat   sulit   untuk
dilaksanakan dengan baik tanpa keikutsertaan pemerintah daerah.
3
Untuk itulah UU Pemda memberikan kemungkinan alternatif bagi penyelenggaraan pemerintahan   di   daerah   untuk   melaksanakannya   sesuai   dengan   asas   tugas
pembantuan. Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan ditentukan bahwa tujuan diterapkannya
prinsip   tugas   pembantuan   adalah   untuk   ”memperlancar   pelaksanaan   tugas   dan penyelesaian permasalahan serta membantu pengembangan pembangunan bagi daerah
dan desa”.
3 Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, , 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, PT. Bina Aksara, Jakarta, h. 117.
6
Kemudian prinsip yang penting untuk dikaji dalam pembahasan ini adalah desentralisasi karena  prinsip ini  menyebabkan adanya  daerah  otonom dan  melalui
prinsip ini  dilakukan  penyerahan  wewenang pemerintahan kepada  daerah  otonom, khususnya   wewenang   untuk   mengelola   kekayaan   milik   daerah   kabupaten.   Secara
etimologis   istilah   desentralisasi   berasal   dari   bahasa   latin   yaitu   “de   =   lepas,   dan centrum = pusat, sehingga dapat diartikan melepaskan dari pusat. Dari sudut pandang
ketatanegaraan,   yang   dimaksud   desentralisasi   adalah   pelimpahan   kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri
daerah otonom”
4
. Berdasarkan pasal 1 angka 6 UU Pemda, daerah otonom merupakan “kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa   sendiri   berdasarkan   aspirasi   masyarakat   dalam   sistem   Negara   Kesatuan Republik   Indonesia”.   Penyerahan   wewenang   ini   dimaksudkan   “memberikan
kesempatan   kepada   aparat   daerah   termasuk   wakil-wakil   rakyatnya   untuk berpartisipasi   di   dalam   merencanakan   dan   melaksanakan   berbagai   kebijakan
pembangunan tanpa harus mendapat arahn dan atau diarahkan oleh pusat”
5
. Kewenangan   untuk   mengatur   sendiri   urusan   pemerintahan   mengandung
makna bahwa daerah, dengan inisiatif sendiri dapat membentuk peraturan-peraturan yang   berwujud   Perda.   Hal   ini   merupakan   prinsip   otonomi   daerah   dimana   negara
dalam hal ini memberikan kewenangan ke daerah-daerah otonom untuk mengurus sendiri pemerintahannya. Namun disisi lain, berdasarkan prinsip Negara Kesatuan,
4 Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT. Media Sarana Press, Jakarta, h. 71.
5 A.W. Widjaja, 1992, Titik Berat Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta, h. 21.
7
maka hanya terdapat satu kekuasaan pemerintahan yaitu pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat tetap berwenang untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna
melaksanakan   tugas-tugas   penyelenggaraan   kepentingan   umum,   hal   ini   dikenal dengan   istilah  Freies   Ermessen.   Berkenaan   dengan   hal   tersebut,   E.Utrecht
menyebutkan terdapat tiga kekuasaan pemerintah daerah, yaitu: I. Membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-
soal genting yang belum ada pengaturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang-undang pusat;
II. Membuat aturan atas dasar delegasi, karena pembuat undang-undang pusat tidak   mampu   memperhatikan   tiap-tiap   soal  yang  timbul   dalam   pergaulan
sehari-hari,   sehingga   penyesuaian   antara   peraturan   perundang-undangan yang dibuat oleh pusat dengan keadaan yang sungguh-sungguh terjadi di
masyarakat menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah.
III. Kewenangan  untuk menafsirkan  sendiri  aturan  perundang-undangan  yang dibuat oleh pusat.
6
Dasar   pemikiran   untuk   dilakukan   penyerahan   wewenang   untuk menyelenggarakan   urusan   pemerintahan   kepada   daerah   otonom   berdasarkan
desentralisasi adalah: a. Kemampuan pemerintah berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas;
b. Wilayah negara sangat luas, terdiri lebih dari 3000 pulau-pulau besar dan kecil;
c. Pemerintah   tidak   mungkin   mengetahui   seluruh   dan   segala   macam kepentingan dan kebutuhan rakyat yang tersebar di seluruh pelosok negara;
d. Hanya   rakyat   setempatlah   yang   mengetahui   kebutuhan,   kepentingan,   dan masalah yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara
yang sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut; e. Dilihat   secara   hukum,   Undang-undang   Dasar   1945     pasal   18,   menjamin
adanya daerah dan wilayah. Sebagai konsekuensinya pemerintah diwajibkan melaksanakan asas desentralisasi dan dekonsentrasi.
f. Adanya   sejumlah   urusan   pemerintahan   yang   bersifat   kedaerahan   dan memang lebih berdayaguna dan berhasilguna jika dilaksanakan oleh daerah;
g. Daerah mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk menyelenggarakan   urusan   rumah   tangganya   maka   desentralisasi
dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
7
6 Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h.16. 7 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi
Pemerintahan Di Daerah, Sinar Grafika Jakarta, h. 33.m
8
Dengan adanya penyerahan urusan pemerintah ini, maka berdasarkan pasal 3ayat 3 UU Pemda, pemerintah daerah termasuk pemerintah kabupaten Tabanan
mempunyai kewenangan wajib dan pilihan karena dalam pasal ini ditentukan bahwa “Urusan   pemerintahan   yang   menjadi   kewenangan   pemerintah   daerah   terdiri   atas
urusan wajib dan urusan pilihan”. Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat 3 UU Pemda, yang   dimaksud   dengan   urusan   wajib   adalah   urusan   yang   sangat   mendasar   yang
berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara antara lain: a. Perlindungan hak konstitusional;
b. Perlindungan kepentingan nacional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia; dan c. Pemenuhan   komitmen  nasional  yang  berhubungan   dengan  perjanjian  dan
konvensi internasional. Kemudian dalam penjelasan pasal ini juga ditentukan bahwa yang dimaksud dengan
urusan pilihan adalah “urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi
unggulan   daerah”.   Sehubungan   dengan   ini   dalam   pasal   14   ayat   1   UU   Pemda ditentukan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupatenkota merupakan urusan yang berskala kabupatenkota meliputi: a. Perencanaan, dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan;
l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
9
p. Urusan   wajib   lainnya   yang   diamanatkan   oleh   peraturan   perundang- undangan.
Kemudian yang menjadi urusan pemerintahan kabupatenkota yang bersifat pilihan berdasarkan ayat 2 pasal ini meliputi “urusan pemerintahan yang secara nyata ada
dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”. Dari uraian sebelumnya
dapat dikatakan bahwa retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan merupakan   urusan   pilihan   bagi   Pemerintah   Kabupaten   Tabanan,   sehingga   Bupati
Kabupaten  Tabanan   memiliki  kewenangan   untuk  menyelenggarakan  urusan-urusan pemerintahan   sehubungan   dengan   retribusi   pemakaian   kekayaan   milik   daerah
kabupaten   tabanan.   Bersifat   pilihan   disini   diartikan   bahwa   seandainya   Bupati Kabupaten   Tabanan   tidak   melakukan   pungutan   retribusi   terhadap   kekayaan   milik
daerah,   maka   hal   tersebut   tidaklah   serta-merta   menjadi   kewenangan   Provinsi, melainkan tetap menjadi kewenangan kabupaten karena kekayaan milik kabupaten,
hanya saja rakyat kabupaten tabanan dibebaskan dari pungutan retribusi tersebut.
II. Konstruksi Perda