Kewenangan Pemerintah Pusat Terhadap Pembatalan Peraturan Daerah

(1)

(2)

i

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : Farhan Bestyardi NIM: 109048000055

Pembimbing

NIP. 196911211994031001

KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435H/2014M


(3)

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum.


(4)

iii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(5)

Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434H/2013M. penelitian ini menganalisis kewenangan pemerintah pusat dalam pembatalan peraturan daerah dan menganalisis produk hukum atau lembaga yang memiliki wewenang terhadap pembatalan peraturan daerah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum dan secara praktis maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk menganalisis kasus kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat dalam pembatalan peraturan daerah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, pendapat ahli, makalah-makalah dan lainnya. Dalam studi kepustakaan, penulis menganalisis permasalahan dalam pengujian perda oleh pemerintah. Dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan pembatalan peraturan daerah hanya dengan peraturan presiden. Namun dalam pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 menyatakan bahwa perda dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Kata Kunci : Peraturan Daerah, Pembatalan, Pengawasan, Mendagri, Peraturan Presiden

Pembimbing : Drs. H. Asep Syarifuddin, S.H., M.H. Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d Tahun 2013


(6)

v

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, dengan berkah rahmat, nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN

PERATURAN DAERAH.”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada suri tauladan umat, Nabi besar kita Muhammad SAW, yang telah memberikan pengaruh besar terhadap umat manusia, beliaulah yang telah merubah umat manusia dari zaman kelam menuju zaman yang berakhlak dan beradab.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Bapak Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

diberikan untuk membimbing saya.

4. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Fajri Hidayat dan Ibunda Titin Nuraeni, yang selalu mengirimkan doa dan mencurahkan kasih sayangnya, serta memberikan bantuan baik moril juga materiil dalam penyusunan skripsi ini.

5. Kakak-kakak dan adik saya yang memberikan semangat dan kebersamaan ketika di rumah untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. 7. Sahabat-sahabat penulis seperjuangan semasa kuliah di Ilmu Hukum Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yaitu Abiyudin, Arif, Roma, Maulana, Muchtar, Saddam, Zaki, Gagat, Ihsan, Imam Machdi, Zakim, Agung, Syamsul, Daus, Aldo dan seluruh mahasiswa UIN Jakarta Khususnya prodi Ilmu Hukum 2009, PSM dan HMI terima kasih atas bantuan, motivasi, dan saran-sarannya selama penulis menimba ilmu.


(8)

vii

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian dan terimakasih.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Jakarta, Januari 2014


(9)

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 7

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D.Tinjauan Kajian Terdahulu ... 9

E. Kerangka Konseptual ... 10

F. Metode Penelitian ... 11

G.Sistematika Penelitian ... 14

BAB II PEMBENTUKAN, FUNGSI DAN MUATAN PERATURAN DAERAH ... 16

A.Pengertian Peraturan Daerah ... 16


(10)

ix

B.Tinjauan Umum Peraturan Presiden ... 36

C.Bentuk Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah ... 40

D.Pengawasan Peraturan Daerah di Indonesia ... 47

E. Pengujian Peraturan Daerah Oleh Mahkamah Agung ... 52

BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DALAM PENGAWASAN DAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH ... 55

A.Kewenangan Menteri Dalam Negeri Dalam Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah.. ... 55

B.Analisis Hubungan Kewenangan Menteri Dalam Negeri Dengan Peraturan Presiden Dalam Pembatalan Peraturan Daerah.. ... 59

C.Analisis Peraturan Presiden dalam Pembatalan Peraturan Daerah .. 67

D.Produk Hukum/Lembaga Yang Berwenang Dalam Pembatalan Peraturan Daerah ... 70

BAB V PENUTUP ... 75

A.Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 77


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) disebutkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Dan pada ayat 6

disebutkan bahwa “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”

Penjelasan Pasal 18 UUD NRI 1945 menerangkan bahwa karena Negara Indonesia itu adalah suatu negara kesatuan, Indonesia tidak akan mempunyai daerah didalam lingkungannya yang juga berbentuk negara. Wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi pula menjadi kabupaten/kota. Daerah-daerah itu bersifat otonom, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.1

Keberhasilan otonomi daerah bergantung pada pemerintahan daerah yang didalamnya terdapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD) dan Kepala Daerah dan perangkat daerah serta masyarakatnya, juga ketentuan-ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dengan memperhatikan sarana dan prasarana serta dana/pembiayaan yang terbatas secara efisien, efektif dan professional. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu

1

C.S.T Kansil, Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Hukum Administratif Daerah, Cet-12, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) h. 3


(12)

ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan atau pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global,2 dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah berwenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan daerah (selanjutnya disebut perda) ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Subtansi atau materi muatan perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah dan subtansi materi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.3

Perda ini jika dilihat dari muatannya memiliki fleksibilitas yang sangat sempit karena dilarang bertentangan dengan peraturan diatasnya yang bersifat nasional yang sangat banyak jumlahnya. Dalam hal pembentukan perda, DPRD dan Gubernur atau

2

HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka Sosialisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Cet-2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) h. 37

3

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 37


(13)

Bupati/Walikota berhak memberikan rancangan peraturan daerah. Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau Bupati/Walikota.

Program penyusunan perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah (selanjutnya disebut Prolegda), sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi perda. Ada berbagai jenis perda yang ditetapkan oleh pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota antara lain:

a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah;

c. Tata Ruang Wilayah Daerah;

d. APBD;

e. Rencana Program Jangka Menengah Daerah; f. Perangkat Daerah;

g. Pemerintahan Desa; h. Pengaturan umum lainnya 4

Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan. Disamping pemerintahan daerah merupakan subsistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan

4

S. Bambang Setyadi, Pembentukan Peraturan Daerah, (Yogyakarta: Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol, 5 Nomor 2, 2007) h. 2


(14)

perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejak otonomi daerah digulirkan, sudah ribuan perda dibuat oleh pemerintah daerah baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, dan sudah banyak pula perda yang telah dibatalkan, karena perda-perda tersebut dianggap bermasalah dan berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah-daerah serta juga membebani masyarakat dan lingkungan.5

Terkait dengan banyaknya perda yang dianggap bermasalah baik karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan berdampak pada kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya, sebagai instrumen hukum negara, dalam logika deduktif tertutup perangkat hukum sudah dibuat mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan.

Mekanisme penyelesaian konflik peraturan ini dilakukan lewat pengujian peraturan perundang-undangan tersebut. Perda yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dikenal dua model kewenangan pengawasan, yaitu judicial review

oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah.6

5

Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Cet-1, (Jakarta: HuMa, Seri Pengembangan Wacana, Nomor 1, 2002) h. 16

6

Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie, Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945, Cet-1 (Malang: Universitas Negeri Malang, UM Press, 2007) h.76-77


(15)

Disini penulis akan membahas lebih banyak tentang model pengujian yang kedua yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau yang lebih dikenal dengan istilah

executive review. Dalam hal pengawasan terhadap daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi perintah bahwa perda yang dibuat oleh DPRD bersama kepala daerah agar disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Terkait dengan pembatalan perda, Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa :

“Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.” Kemudian Pasal 145 ayat (2)

menyebutkan “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.” Ayat (3) menyebutkan “Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)”.

Dalam hal ini, terdapat permasalahan dalam pengujian perda oleh pemerintah adalah masalah bentuk hukum pembatalan perda. Bentuk hukum pembatalan perda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah dengan Peraturan Presiden. Namun banyak dalam pembatalan perda sepanjang ini dilakukan dengan menggunakan Keputusan/Peraturan Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut Kepmendagri/Permendagri). Dengan demikian, pembatalan perda melalui Kepmendagri/Permendagri merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu


(16)

terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan perda harus dalam bentuk Peraturan Presiden bukan Kepmendagri sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Selanjutnya terdapat masalah lain dalam hal pembatalan perda ini yakni, dalam pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 yang menyatakan bahwa perda tentang APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang daerah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut Mendagri) yang sekarang banyak menggunakan Kepmendagri/Permendagri. Tentu saja hal ini bertentangan dengan pasal sebelumnya, yakni pasal 145 ayat (3) yang memberikan wewenang pembatalan perda hanyalah dengan menggunakan Peraturan Presiden. Karena permasalahan yang terdapat pada saat ini, penulis serius untuk mengkaji dan menganalisis terkait permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya.

Dalam permasalahan ini penulis lebih fokus meneliti pada kewenangan pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden dan Kepmendagri/Permendagri dalam pengawasan dan pembatalan peraturan-peraturan daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam

skripsi ini dengan judul “KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP


(17)

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian skripsi ini, penulis membatasi penelitian hanya membahas mengenai kewenangan pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden dan Kepmendagri/Permendagri dalam memutuskan pembatalan peraturan-peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan didalam kewenangan pemerintah pusat terhadap pembatalan peraturan daerah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam memutuskan keputusan terhadap pembatalan peraturan-peraturan daerah di Indonesia?

b. Bagaimanakah penerapan pasal 145 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pembatalan Perda Ditetapkan dengan Peraturan Presiden?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis kewenangan pemerintah pusat dalam pembatalan perda. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:


(18)

a. Untuk menganalisa bagaimana kewenangan yang dimiliki Menteri Dalam Negeri untuk memutuskan keputusan terhadap pembatalan perda.

b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan pasal 145 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerntahan Daerah bahwa pembatalan Perda Ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Manfaat Teoritis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai analisis yang dilakukan terhadap pemerintah pusat dalam pembatalan peraturan daerah yang ditinjau dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Memperkaya khazanah penelitian ilmiah dan ilmu hukum Kelembagaan Negara.

b. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu : 1) Bagi Akademis

Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan yang kelak dapat diterapkan dalam dunia nyata sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila


(19)

dan UUD 1945 serta dalam kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat internasional.

2) Bagi Masyarakat Umum

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk mengetahui tata cara pembatalan peraturan daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

3) Bagi Pemerintah

Dapat memberikan masukan kepada pemerintah pusat agar memahami sejauh mana kewenangan-kewenangannya dalam pembatalan perda.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam penelitian atau pembuatan skripsi terkadang ada tema yang berkaitan dengan penelitian yang kita jalankan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda. Dari penelitian ini, penulis menemukan penelitian lain, Yaitu: Skripsi yang dibuat oleh Yance Arizona yang berjudul Disparitas Pengujian Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat dan Mahkamah Agung, Fakultas Hukum Andalas 2007. Skripsi ini menganalisis perbandingan pengujian dan pembatalan peraturan daerah oleh pemerintah pusat dan Mahkamah Agung, perbedaan penelitian Yance Arizona dengan penulis terletak pada materi yang dikaji, dimana penulis lebih fokus menganalisis tentang kewenangan pemerintah pusat dalam membatalkan peraturan daerah.


(20)

E. Kerangka Konseptual

Kerangka konsepsional adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala biasanya dinamakan fakta sedangkan konsep merupakan uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.7 Penulisan skripsi ini mengunakan definisi operasional dan teori sebagai berikut :

1. Peraturan Daerah

Peraturan daerah adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota yang dibentuk oleh DPRD dengan Kepala Daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.

2. Keputusan Menteri Dalam Negeri

Keputusan Menteri Dalam Negeri merupakan putusan yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

3. Peraturan Presiden

Peraturan presiden merupakan sebuah pengaturan yang dilakukan presiden tanpa memerlukan persetujuan DPR, yang merupakan bagian dari tugas dan fungsi pemerintahan

7


(21)

4. Teori Hans Kelsen

Norma-norma hukum berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm). 8

5. Teori Hans Nawiasky

Norma hukum suatu Negara berkelompok-kelompok dan pengelompokan hukum dalam suatu Negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu:

a) Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) b) Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara) c) Formell Gesetz (Undang-undang „formal‟)

d) Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom)9

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam

8

Hans Kelsen, lihat Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2011) h. 41

9

Hans Nawiasky, lihat Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2011) h. 44-45


(22)

peraturan perundang-udangan, literatur, pendapat ahli, makalah-makalah dan hasil penelitian yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat dalam memberikan putusan pembatalan peraturan daerah. Sumber data yang dikumpulkan berupa data sekunder yaitu data yang telah dalam keadaan siap pakai bentuknya dan isinya telah disusun oleh penulis terlebih dahulu dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.10 Contohnya seperti artikel ilmiah dan bahan-bahan dari internet.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam skripsi ini dengan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute approach) dan Pendekatan Kasus (Case approach).Pendekatan perundang-undangan (statute approach), diterapkan guna memahami bagaimana pembatalan peraturan daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pendekatan Kasus (Case approach) diterapkan dalam mengamati telaah beberapa kasus pembatalan perda yang dibatalkan dengan peraturan perundangan yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Serta beberapa kasus yang relevan dengan isu hukum yang telah di pecahkan.

10

Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT . Raja Grafindo, 1994) h. 37


(23)

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu: a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat.11 Bahan hukum yang digunakan penulis merupakan bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah

3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel12 yang berkaitan dengan penelitian ini, yang memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah buku-buku, skripsi, tesis, dan disertasi serta artikel ilmiah dan tulisan di internet mengenai pembatalan peraturan daerah.

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 52 12


(24)

c. Bahan non-hukum

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,13 seperti Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan lain-lain.

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana kewenangan pemerintah pusat terhadap pembatalan peraturan daerah.

G. Sistematika Penelitian

Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih memperjelaskan ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2012. Adapun urutan dan tata letak masing masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.

13


(25)

BAB I : Pendahuluan, memuat: Latar Belakang, dilanjutkan dengan Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Tinjauan Umum Peraturan Daerah. Bab ini membahas Pengertian, Fungsi, Materi Muatan, Pembentukan dan Kedudukan Perda Dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan.

BAB III : Tinjauan Umum tentang Fungsi, Muatan, dan Kedudukan Keputusan Menteri dan Peraturan Presiden, dan Membahas Bentuk Pengawasan Peraturan Daerah.

BAB IV : Analisa Yuridis Terhadap Kepmendagri dan Peraturan Presiden terhadap Pembatalan Perda. Juga Membahas Produk Hukum yang Berwenang Pembatalan Peraturan Daerah di Indonesia.

BAB V : Penutup. Dalam bab penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.


(26)

16 BAB II

PEMBENTUKAN, FUNGSI DAN MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Pengertian Peraturan Daerah 1. Pengertian Peraturan Daerah

Perda merupakan peraturan yang ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Dibentuknya perda merupakan salah satu rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.14 Perda yang dibuat oleh satu daerah, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan baru mempunyai kekuatan mengikat setelah diundangkan dengan dimuat dalam lembaran daerah.15

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama antara DPRD dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat dua pengertian tentang perda, yakni peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota.

14

B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita, Cet-2 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010) h. 156

15

Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Cet-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2005) h. 131


(27)

Peraturan daerah provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedang peraturan daerah kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Dari segi pembentukan, perda ini menyerupai pembentukan undang-undang, yaitu suatu produk hukum yang dibuat oleh presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (Selanjutnya disebut DPR). Dari segi materi dan wilayah berlakunya, undang-undang itu mengatur semua urusan publik baik bersifat kenegaraan maupun pemerintahan dan berlaku secara nasional, sedangkan materi perda hanya berkenaan dengan administrasi atau pemerintahan dan hanya berlaku pada wilayah tertentu atau bersifat lokal.

Materi muatan perda mencakup semua urusan rumah tangga daerah baik dalam rangka otonomi maupun atas dasar pembantuan, baik yang bersifat wajib maupun pilihan sebagaimana ditentukan dalam pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Materi muatan perda itu sangat banyak dan setiap saat dapat berkembang seiring dengan perkembangan zaman. 16

16

Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet-1 (Jakarta: PT Pustaka Mandiri, 2010) h. 103


(28)

2. Landasan Filosofis, Sosilogis, Yuridis dan Politis Peraturan Daerah

Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di Indosesia, perda dalam pembentukannya tunduk pada asas maupun teknik dalam penyusunan perundang-undangan yang telah ditentukan. Hal yang sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diantaranya adalah menyangkut tentang landasannya. Landasan yang dimaksud disini adalah pijakan, alasan atau latar belakang mengapa perundangan-undangan itu harus dibuat. Menurut Bagir Manan ada 4 Landasan yang digunakan dalam menyusun perundang-undangan agar menghasilkan perundang-undangan yang tangguh dan berkualitas.17

a. Landasan Filosofis

Yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar suatu rencana atau draft peraturan negara. Suatu rumusan perundang-undangan harus mendapat pembenaran (recthvaardiging) yang dapat diterima dan dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup maysarakat yaitu cita-cita kebenaran (idée der waarheid), cita-cita keadilan (idée der grerecthsigheid) dan cita-cita kesusilaan (idée der eedelijkheid).18

17

W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono, Legal Drafting Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Press, 2009) h. 13

18

Budiman N.P.D, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan,Cet-1, (Yogyakarta: UII Press, 2005)h. 33


(29)

Setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai dalam kehidupan kenegaraan. Menurut Sooly Lubis, landasan filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintah) ke dalam suatu rancangan atau draft peraturan negara.19

Peraturan hukum (peraturan perundang-undangan) merupakan pembadanan dari norma hukum/kaidah hukum dan merupakan sarana yang paling lengkap untuk mengutarakan apa yang dikehendaki oleh norma hukum. Peraturan hukum menggunakan sarana untuk menampilkan norrma hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat, dengan menggunakan konsep-konsep/pengertian-pengertian untuk menyampaikan kehendaknya.20

Dengan demikian perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan filosofis (filosofis grondflag) apabila rumusannya mendapat pembenaran yang dikaji secara filosofis. Dalam konteks negara Indonesia yang menjadi induk dari landasan filosofis ini adalah Pancasila sebagai suatu sistem nilai nasional bagi sistem kehidupan bernegara.

19

M. Sooly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Cet-1, (Bandung: Mandar Maju, 1989) h. 7

20

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah, Cet-1, (Jakarta: Kencana, 2010) h. 17


(30)

b. Landasan Sosiologis

Yakni satu peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup. Ini berarti bahwa hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat.21 Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang mendorong perlunya pembuatan perundang-undangan (peraturan daerah), yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu pengaturan.22

Sebagai contoh dibidang perikanan, salah satu instrument pengaturan adalah perizinan perikanan. Dalam hubungan ini dibuatlah perda untuk menghindari terjadinya penangkapan ikan yang melebihi penangkapan semestinya, demikian pula penggunaan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dapat merusak sumber daya perikanan, sedangkan hal ini tidak dikehendaki oleh masyarakat. Karenanya perlu dihindari dengan membuat peraturan daerah tentang izin usaha perikanan.

Peraturan daerah tersebut mengatur berbagai hal agar sumber daya perikanan tetap dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, dan bahkan melalui pengaturan tersebut diharapkan dapat lebih menguntungkan

21

Rosyidi Ranggawidjaja, Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010) h. 21

22

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah, Cet-1,(Jakarta: Kencana, 2010) h.25


(31)

masyarakat dan negara melalui usaha perikanan yang dalam ketentuannya juga mengatur mengenai pungutan retribusi izin usaha perikanan.

Dalam kondisi demikian inilah maka perundang-undangan tidak mungkin lepas dari gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat. Dengan melihat kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka penyusunan suatu perundang-undangan maka tidak begitu banyak lagi pengarahan institusi kekuasaan dalam melaksanakannya.

c. Landasan yuridis

Landasan yuridis atau landasan hukum yang menjadi landasan dalam pembuatan peraturan undangan, adalah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan menjadi dasar kewenangan. Dari sini akan diketahui, apakah seorang pejabat atau badan mempunyai kewenangan membentuk peraturan itu atau apakah urusan yang diatur itu berada dibawah kewenangan mengatur badan itu, serta apakah materi muatan yang akan diatur menjadi kompetensi mengatur dari jenis peraturan yang akan dirancang.23

Landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum/dasar hukum untuk pembentukan suatu perundang-undangan. Landasan yuridis pada pembentukan perda yakni mengacu pada pasal 18 UUD NRI 1945 yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah

23


(32)

untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lainnya demi menjalankan otonomi dan tugas pembatuan.

d. Landasan Politis

Landasan politis adalah garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi sebuah kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara.24 Landasan merupakan “ruh” yang mengarahkan kebijakan untuk memberi proteksi struktural dan kemasyarakatan guna mencegah kemungkinan kekacauan sistem pada kebijakan publik dan kegelisahan dalam masyarakat, baik dalam lingkup daerah maupun dalm lingkup nasional.25

Hukum sebagai produk politik merupakan anggapan yang benar. Norma peraturan perundang-undangan harus berlandaskan pada haluan politik pemerintahan yang termuat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini dapat diungkapkan pada garis politik seperti pada saat ini tertuang pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Program Legislasi Daerah (Prolegda), dan juga kebijakan Program Pembangunan Nasioal (Propenas) sebagai arah kebijakan pemerintah yang akan di laksanakan selama pemerintahannya ke depan. Ini berarti memberi pengarahan dalam pembuatan

24

Jimly Asshiddiqie & M Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jederal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2012) h. 172

25

Supardan Modoeng, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Perca, 2005) h. 69-70


(33)

peraturan perundang-undangan yang akan dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.

B. Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Daerah

1. Fungsi Peraturan Daerah

Fungsi perda merupakan fungsi yang bersifat atribusi yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama pasal 136, dan juga merupakan fungsi delegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Fungsi perda adalah untuk menyelenggarakan pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan dalam rangka penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun fungsi peraturan daerah ini, sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan pengaturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.

b. Menyelenggarakan pengaturan sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

d. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Menurut Maria Farida Indrati S yang dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi disini adalah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat.26

26

Maria Farida Indrati Soeprapto Buku I. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 232


(34)

2. Materi Muatan Peraturan Daerah

Materi muatan perda merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari materi muatan undang-undang, atau keputusan presiden, karena perda merupakan peraturan pelaksana undang-undang dan keputusan presiden.27 Dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dijelaskan bahwa materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, juga menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kemudian dalam pasal 138 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa materi muatan perda itu mengandung beberapa asas sebagai berikut:

a. Pengayoman b. Kemanusiaan c. Kebangsaan d. Kekeluargaan e. Kenusantaraan f. Bineka tunggal ika g. Keadilan

h. Kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan i. Ketertiban dan kepastian hukum dan atau

j. Keseimbangan, keselarasan dan keserasian

27

HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 132


(35)

Selanjutnya dalam ayat (2) menjelaskan bahwa selain asas yang disebutkan di atas, perda dapat memuat asas yang lain asalkan sesuai dengan substansi perda yang bersangkutan.

C. Pembentukan Peraturan Daerah dan Kedudukannya

1. Pembentukan Peraturan Daerah

Pembentukan perda sesuai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa perencanaan penyusunan perda dilakukan dalam Prolegda dengan judul Rancangan Peraturan Daerah (Selanjutnya disebut raperda), dan tahapan sebagai berikut:

1) Penyusunan Prolegda

a. Penyusunan prolegda dilaksanakan oleh DPRD dan pemerintah daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun (prolegda dilakukan setiap tahun sebelum penetapan raperda tentang APBD)

b. Penyusunan prolegda antara DPRD dan pemerintah daerah dikoordinasikan oleh DPRD melalui alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.

c. Penyusunan prolegda di lingkungan DPRD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi yang lebih lanjut diatur dengan peraturan DPRD, begitu pula penyusunan di lingkungan pemerintah daerah dikoordinasikan oleh biro hukum yang lebih lanjut diatur dengan peraturan kepala daerah.


(36)

d. Hasil penyusunan disepakati menjadi Prolegda dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD dan ditetapkan dengan keputusan DPRD.

2) Penyusunan raperda

a. Raperda berasal dari DPRD atau kepala daerah dimana raperda tersebut disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. b. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi raperda yang

berasal dari DPRD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi, dan yang berasal dari kepala daerah dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

c. Penyusunan raperda yang berasal dari kepala daerah lebih lanjut diatur dengan peraturan presiden dan raperda dapat juga diajukan oleh anggota komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi28 yang ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam Peraturan DPRD.

d. Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan dengan surat pimpinan DPRD kepada kepala daerah, dan yang disiapkan oleh kepala daerah disampaikan dengan surat pengantar kepala daerah kepada pimpinan DPRD.

28

Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Pada Pemerintahan Daerah, Cet-1, (Yogyakarta: Pusat Studi FH UII, 2005) h. 71


(37)

e. Apabila dalam satu masa sidang DPRD dan kepala daerah menyampaikan raperda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah raperda dari DPRD sedangkan raperda dari kepala daerah dijadikan untuk dipersandingkan.

3) Pembahasan dan penetapan raperda

a. Pembahasan raperda dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilaksanakan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD.

b. Raperda dapat ditarik kembali sebelum dibahas oleh DPRD dan kepala daerah sedangkan raperda yang sedang dibahas dapat ditarik hanya dengan persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah.

c. Raperda yang telah disetujui bersama, disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah.

d. Raperda ditetapkan oleh kepala daerah dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan kepala daerah, jika tidak ditandatangani dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak disetujui bersama, maka raperda tersebut sah menjadi peraturan daerah.


(38)

Lalu dalam hal penetapan perda H.A.W. Wijaya menambahkan bahwa peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 29 Selanjutnya menurut Nomensen Sinamo menjelaskan peraturan daerah dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat c. Kesesuaian antara jenis

d. Dapat dilaksanakan

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan f. Kejelasan rumusan dan

g. Keterbukaan30

2. Kedudukan Peraturan Daerah dalam Peraturan Perundang-undangan

Secara materiil, kedudukan perda dalam peraturan perundang-undangan nasional selalu menempati kedudukan yang strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi secara formal kedudukan perda belum diakui dalam hierarki peraturan perundang-undangan baik pada masa awal kemerdekaan maupun pada era demokrasi terpimpin. Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tentang Peraturan Tentang Jenis dan Bentuk Peraturan.

29

HAW Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU 32 2004, Cet-2, (Jakarta: PT Raja Grrafindo Persada, 2005) h. 244

30

Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan daerah di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Pustaka Mandiri, 2010) h. 102


(39)

Dalam undang-undang ini belum dikenal perda dalam hierarki, justru peraturan menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang berada dibawah peraturan pemerintah. Hal ini dapat dimengerti, mengingat Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 menganut sistem parlementer, sehingga presiden hanya bertindak sebagai kepala negara dan tidak mempunyai wewenang untuk membentuk keputusan yang bersifat mengatur.31

Dalam sistem hukum nasional, tata urutan perundang-undangan secara

positiefrechttelijk lebih lanjut diatur dalam Tap MPRS Nomor X/MPRS/1996 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia.32 Tetapi didalamnya perda tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan.

Kedudukan perda dalam jenis dan hierarki perundang-undangan mulai dikenal/diakui setelah ditetapkan Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.33 Dalam pasal 2 dirumuskan bahwa peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan hukum dibawahnya, yang meliputi: (1) UUD 1945, (2) Tap MPR, (3) Undang-undang, (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, (5) Peraturan Pemerintah, (6) Keputusan Presiden, (7) Peraturan Daerah. Dalam pasal

31

Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku I. Ilmu Perundang-undangan (Proses dan Teknik Pembentukannya),Cet-1, (Yogyakarta: Kansius, 2007) h. 71

32

Engelbrecht. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 2006) h. 54

33

Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 2006) h. 24


(40)

3 butir 7 dirumuskan bahwa perda merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan yang dibentuk oleh DPRD bersama kepala daerah.

Pasca perubahan UUD NRI 1945 dan setelah Tap MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, kedudukan perda secara formal dalam peraturan perundang-undangan nasional menempati posisi kuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Selanjutnya setelah dirubahnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disini perda menjadi dua bentuk pertama, perda provinsi dan kedua perda kabupaten/kota. Dalam pasal 7 ayat (1), perda merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya dibawah Peraturan Presiden.

Perda merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang pembentukannya melibatkan lembaga perwakilan. Itu sebabnya jenis perda tersebut mempunyai keistimewaan dalam hal materi muatannya. Perda mempunyai keistimewaan karena dapat memuat ketentuan pidana dalam materi muatannya. Perda juga merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang jenis dan kedudukannya diatur dalam UUD NRI 1945.34

34

Ahmad Yani, Pembentukan Undang-undang Dan Perda, Cet-1, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 13


(41)

BAB III

KEWENANGAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH

A. Tinjauan Umum Keputusan Menteri

1. Dasar Hukum dan Fungsi Keputusan Menteri

Jabatan Menteri Negara menurut ketentuan Pasal 17 UUD NRI 1945 itu haruslah diisi berdasarkan merit sistem. Itulah konsekuensi dari pilihan sistem pemerintahan presidensil yang dianut dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian kekuasaan para Menteri Negara bersifat meritokratis (meritocracy), sehingga dalam memimpin kementerian yang menjadi tugasnya, para menteri itu pula diharapkan bekerja menurut standar yang bersifat meritokratis.35

Berkenaan dengan tugas menteri dibidangnya, salah satunya dapat menerbitkan keputusan/peraturan menteri guna memberikan payung hukum dalam melaksanakan pemerintahan. Oleh karena itu, menurut Maria Farida S, ada empat fungsi dan dasar diterbitkannya keputusan menteri adalah sebagai berikut: a. Menyelenggarakan peraturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan

kekuasaan pemerintah dibidangnya.

b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan presiden.

Fungsi ini merupakan delegasian berdasarkan ketentuan pasal 17 UUD NRI 1945 perubahan yang menentukan bahwa:

1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden 3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

35

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Cet-2, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) h.176


(42)

c. Menyelenggarakan peraturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang secara tegas menyebutkannya.

d. Menyelengarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan pemerintah yang tegas-tegas menyebutkannya.36

Keputusan menteri ini merupakan salah satu instrument hukum, sehingga keberadaan Keputusan Menteri masih sangat diperlukan dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan diatasnya yang secara tegas mendelegasikan.37

2. Materi Muatan Keputusan Menteri

Materi muatan berkaitan erat dengan jenis peraturan perundang-undangan dan terkait dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan pendelegasian, materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan norma peraturan menteri harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup bidang tugasnya menteri atau kementeriannya yang berasal dari pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.38

Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus memperhatikan materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan tersebut. A.Hamid S. Attamimi membagi sepuluh materi muatan peraturan perundang-undangan, yakni:

36

Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 225-227

37

Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi Indonesia, Cet-1, (Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Volume Cet-1, Nomor 2, 2004) h. 120

38

Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi Indonesia, Cet-1, (Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Volume Cet-1, Nomor 2, 2004) h.124


(43)

a. Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Tap MPR b. Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD

c. Yang mengatur hak-hak asasi manusia

d. Yang mengatur hak dan kewajiban warga Negara e. Yang mengatur pembagian kekuasaan Negara

f. Yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tinggi negara g. Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara

h. Yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan

i. Yang dinyatakan oleh suatu undang untuk diatur dengan undang-undang. 39

Dalam konteks ini, A. Hamid S. Attamimi mempertegas bahwa perincian butir-butir diatas menunjukkan pena-pena penguji (testpennen) untuk menguji apakah suatu materi peraturan perundang-undangan negara termasuk materi muatan atau tidak. Berkenaan dengan materi muatan keputusan menteri, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak ditegaskan secara implisit mengenai materi muatannya.

Akan tetapi menurut Maria Farida Indrati Soeprapti, materi muatan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Keputusan Menteri yakni merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari materi muatan undang-undang atau Keputusan Presiden, karena peraturan

39

A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Cet-1, (Jakarta: Disertasi Doktor UI, 1990) h. 218-219


(44)

undangan lainnya merupakan peraturan pelaksanaan undang-undang dan Keputusan Presiden.40

Telah dijelaskan diatas, bahwa fungsi Keputusan Menteri adalah dalam rangka menyelenggaarakan ketentuan Pasal 17 ayat 1 UUD NRI 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden sehingga materi muatan Keputusan Menteri harus bersumber dan berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, baik bersumber dari delegasi maupun atribusi.

3. Kedudukan Keputusan Menteri Dalam Hierarki Perundang-undangan

Jika dilihat eksistensi atau kedudukan Keputusan/Peraturan Menteri dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini, tentunya ada sedikit penegasan dan pengakuan Keputusan/Peraturan menteri. Dalam rumusan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hierarki terdiri dari UUD NRI 1945, Tap MPR, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota. Artinya bila hanya menelaah pasal tersebut, maka akan menimbulkan beberapa penafsiran yang salah satunya menyatakan bahwa Keputusan/Peraturan Menteri itu tidak diakui dan tidak masuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

40

Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 243


(45)

Oleh karenanya harus ditelaah dan dikaji lebih mendalam rumusan yang terkandung dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) dikatakan bahwa:

1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Kemudian sebagai pendukung argumentasi dalam pasal di atas, maka jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan pasal 7 ayat 1 yakni salah satunya peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri sebagaimana tertera pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dari penjelasan pasal 8 di atas, dapat disimpulkan bahwa, Menteri dapat membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang disebut Keputusan Menteri/Peraturan Menteri, sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan adanya rumusan “sepanjang diperintah oleh peraturan perundang

-undangan yang lebih tinggi” dalam pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut, maka Menteri hanya dapat membentuk Keputusan/Peraturan Menteri apabila


(46)

undang-undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden secara tegas memerintahkan (menetapkan).

Dari kajian teori dan ilmu perundang-undangan ketentuan tersebut telah membatasi kewenangan menteri dalam melaksanakan fungsi pemerintahan yang diembannya, sebagai penyelenggara sebagian bidang pemerintahan yang diberikan oleh Presiden, serta menerapkan kembali kebiasaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam sistem parlementer.41

B. Tinjauan Umum Peraturan Presiden

1. Fungsi dan Dasar Hukum Pembentukan Peraturan/Keputusan Presiden

Pembentukan Peraturan Presiden yang berfungsi pengaturan yang dilakukan presiden tanpa memerlukan persetujuan DPR, yang merupakan bagian dari tugas dan fungsi pemerintahan. Peraturan Presiden tersebut dapat berupa (i) pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan pemerintah dan (ii) pengaturan hal-hal lain yang tidak termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan negara tersebut di atas.42 Menurut Maria Farida Indrati S, fungsi Peraturan Presiden yang berisi pengaturan adalah:

a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

41

Maria Farida Indrati Soeprapto, Jenis Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, (Jakarta: Makalah Biro Hukum dan Organisasi Dept. Kehutanan RI, 2005) h. 9

42

A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Cet-1, (Jakarta: Disertasi Doktor UI, 1990) h. 235


(47)

Fungsi ini merupakan suatu kewenangan atribusi dari UUD NRI 1945 kepada Presiden, dan sesuai dengan pendapat dari G. Jellinek bahwa di dalam kekuasaan pemerintahan itu termasuk pula fungsi mengatur dan memutus. Fungsi ini dapat dilaksanakan dengan membentuk suatu peraturan perundang-undangan, di dalam hal ini adalah pembentukan suatu Keputusan Presiden (baik bersifat mengatur atau menetapkan).

Keputusan Presiden dalam melaksanakan fungsi yang pertama ini merupakan Keputusan Presiden yang mandiri, yaitu Keputusan Presiden yang merupakan sisa dari peraturan perundang-undangan yang tertentu batas lingkupnya yaitu undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan presiden yang merupakan pengaturan delegasian.

b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan pemerintah yang tegas-tegas menyebutkannya.

c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam peraturan pemerintah meskipun tidak tegas-tegas menyebutkannya.

Kedua fungsi tersebut (a dan b) merupakan fungsi Peraturan Presiden yang merupakan fungsi delegasian dari peraturan pemerintah dan sekaligus undang-undang yang dilaksanakannya. Fungsi Peraturan Presiden disini merupakan fungsi yang berdasarkan stufentheorie, dimana suatu peraturan yang di bawah itu selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi di atasnya.

Peraturan Presiden disini merupakan peraturan yang bersifat delegasian/limpahan yang kewenanganya terletak/diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah, sehingga Keputusan Presiden di sini hanya mengatur lebih lanjut saja, tidak membentuk suatu kebijakan baru.43

2. Materi Muatan Keputusan/Peraturan Presiden

Materi muatan dari Keputusan/Peraturan Presiden ini harus dilihat dari dua segi sesuai dengan fungsi Keputusan/Peraturan Presiden tersebut. Keputusan/Peraturan Presiden adalah pengaturan yang dibuat oleh Presiden sebagai penyelenggaraan fungsi pemerintahan sesuai dengan ketentuan dalam

43

Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 223-225


(48)

pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945, dimana fungsi ini merupakan atribusi dari UUD NRI 1945, sedangkan fungsi dari keputusan presiden lainnya adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dari peraturan pemerintah baik yang secara tegas-tegas memintanya ataupun yang secara tidak tegas-tegas, dimana fungsi disini merupakan delegasi dari peraturan pemerintah yang melaksanakan suatu undang-undang.

Berdasarkan kedua fungsi tersebut maka materi muatan suatu keputusan presiden merupakan materi muatan sisa dari materi muatan undang-undang dan peraturan pemerintah, yaitu materi yang bersifat atribusian, serta materi muatan yang merupakan delegasian dari undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Dalam hal luas dan batas lingkupnya, kewenangann yang bersifat atribusi, yaitu dalam membentuk keputusan presiden yang mandiri, merupakan kewenangan yang sangat luas dibandingkan dengan kewenangan yang berasal dari delegasi undang-undang atau peraturan pemerintahnya.44

Materi muatan Keputusan/Peraturan Presiden menurut pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijelaskan bahwa materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintah.

44

Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kansius, 2007) h. 224


(49)

3. Kedudukan Peraturan Presiden

Dalam rangka melaksanakan undang-undang, Presiden sebagai kepala pemerintahan tentu haruslah diberikan ruang gerak yang cukup untuk berkreatifitas. Presiden harus memiliki keleluasaan untuk mengatur sendiri kebijakan yang akan ditetapkan dalam rangka melaksanakan undang-undang itu. Prinsip yang berkenaan dengan ruang gerak inilah yang dalam konsep hukum administrasi Negara disebut sebagai freies ermessen. Presiden dianggap sudah seyogyanya dapat menetukan sendiri norma-norma aturan kebijakan atau policy rules (beleidsregels) yang diperlukan untuk menjalankan undang-undang.45

Oleh karena itu, Presiden sebaiknya tetap dimungkinkan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah dalam rangka menjalankan undang-undang, dan sekaligus menetapkan peraturan kebijakan atau beleidsregels (policy rules) yang disebut dengan nomeklatur Peraturan Presiden.46 Maka dari pengertian Peraturan Presiden yang telah dijelaskan, Peraturan Presiden dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana Peraturan Presiden berada di atas perda dan di bawah Peraturan Pemerintah. Artinya, Peraturan Presiden di sini terikat oleh hierarki dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

45

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003) h. 275

46

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003) h. 176


(50)

C. Bentuk Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah

Secara umum pengertian pengawasan dapat diartikan sebagai proses menentukan apa yang harus dikerjakan, kemudian dilakukan koreksi atau pembenahan dengan maksud hasil yang ingin dicapai tadi sesuai dengan apa yang telah direncanakan terdahulu. George R. Ferry menitikberatkan pengawasan pada tingkat evaluasi serta koreksi terhadap hasil yang telah dicapai, dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana, maka dilkukan pada akhir suatu kegiatan setelah kegiatan tersebut menghasilkan sesuatu. 47

Sedangkan definisi yang diberikan oleh Henry Farol dapat diketahui hakekat pengawasan adalah suatu tindakan menilai (menguji) apakah sesuatu telah berjalan dengan rencana yang telah ditentukan. Dengan pengawasan itu akan dapat ditemukan kesalahan-kesalahan yang kemudian dapat diperbaiki dan yang lebih penting lagi jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali. 48

Berkaitan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya pembentukan peraturan daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, selama ini dikenal adanya pengawasan preventif dan represif, adapun penjelasan kedua pengawasan tersebut adalah:

47

Moh Hasyim, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif Dalam Negara Hukum Pancasila, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Iustum” Nomor 6 Vol. 3, 1996) h.65

48

Moh Hasyim, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif Dalam Negara Hukum Pancasila, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Iustum” Nomor 6 Vol. 3, 1996) h.65


(51)

1. Pengawasan Preventif

Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum keputusan atau peraturan efektif berlaku (voordat een besluit of regeling in werking kan treden).49 Pengawasan preventif ini berbentuk memberi pengesahan atau tidak memberi pengesahan. Sesuai dengan sifatnya, pengawasan preventif dilakukan sesudah keputusan daerah ditetapkan, tetapi sebelum keputusan itu mulai berlaku.

Irawan Soejito menegaskan bahwa pengawasan preventif ini hanya dilakukan terhadap keputusan kepala daerah dan peraturan daerah, yang berisi atau mengatur materi-materi tertentu. Ada beberapa bentuk pengawasan preventif ini yaitu pengesahan (goedkeuring), persetujuan (toestemming vooraf), pembebasan/dispensasi (ontheffing), pemberian kuasa (machtiging) dan pernyataan tidak keberatan (verklaring van geen bezwaar).50

Berdasarkan pemahaman tentang pengawasan preventif di atas, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Darah, telah dijabarkan mengenai pengawasan preventif rancangan peraturan daerah propinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota antara lain:

49

Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h.78

50

Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 85


(52)

a. Pengawasan Preventif Rancangan Peraturan Daerah Propinsi

Dalam rumusan pasal 185 ayat 1-4, dikatakan:

1. Raperda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

2. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.

3. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi raperda tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi perda dan peraturan gubernur.

4. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi raperda tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, gubernur bersarna DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.

b. Pengawasan Preventif Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Ketentuan mengenai pengawasan preventif raperda kabupaten/kota, diatur dalam beberapa rumusan pasal yang termuat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yakni pasal 186, 187, 188 dan 189, adapun jelasnya rumusan pasal-pasal di atas adalah:

Pasal 186 ayat 1-4 menyatakan:

1. Rancangan perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.


(53)

2. Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan perda kabupaten/kota dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bupati/walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi perda dan peraturan Bupati/Walikota.

4. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, bupati/walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi.

Kemudian pasal 187 ayat 1-4 menyatakan:

1. Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 181 ayat (3) tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan yang disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD.

2. Rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota.

3. Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD beserta lampirannya disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak DPRD tidak rnengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan perda tentang APBD.

4. Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri atau gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala daerah menetapkan rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala daerah.


(54)

Dari pelaksanaan pengawasan preventif rancangan peraturan daerah propinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota di atas juga berlaku pasal 188 yang menyatakan proses penetapan raperda tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan APBD menjadi perda dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, Pasal 186, dan pasal. 187.

Kemudian pasal 189 menjelaskan juga proses penetapan raperda tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Tata Ruang daerah menjadi perda, berlaku pasal 185 dan pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak dan retribusi daerah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang.

2. Pengawasan Represif

Pengawasan represif dilakukan setelah keputusan atau peraturan perundang-undangan diberlakukan atau berkenaan dengan keputusan-keputusan organ lebih rendah yang telah mempunyai kekuatan hukum.51 Pengawasan represif adalah pembatalan atau penangguhan terhadap pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah tingkat atasnya.52 Pengawasan represif ini berwujud: a) Mempertangguhkan berlakunya suatu

51

Ridwan. Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 79

52

Misdayanti dan Kartasapoetra, Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah, Cet-2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993) h. 29


(55)

peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah, b) Membatalkan suatu peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah.53

Pembatalan dilakukan jika peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tertentu bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.54 Dengan demikian, menurut Irawan Soejito pengawasan represif dapat dijalankan terhadap:

a. Semua peraturan daerah, baik yang tidak/belum disahkan maupun peraturan daerah yang tidak memerlukan pengesahan.

b. Semua keputusan kepala daerah, termasuk keputusan kepala daerah yang berisi:

1. Keputusan pemberian pengesahan 2. Keputusan penolakan pengesahan 3. Keputusan pembatalan

4. Keputusan yang telah disahkan

5. Keputusan untuk melakukan suatu tindak hukum 6. Dan lain-lain.55

a. Pengawasan Represif Peraturan Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota:

Salah satu kewenangan pemerintah terhadap pembatalan peraturan daerah, telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mekanismenya diatur dalam Pasal 145, yaitu sebagai berikut:

53

Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Cet-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 51

54

Ridwan. Dimensi Hukum Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 79

55

Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Cet-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 52


(56)

1. Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.

2. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.

3. Keputusan pembatalan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 4. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut perda dimaksud.

5. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

6. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan ;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

7. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perda dimaksud dinyatakan berlaku.

Proses pembatalan perda sesuai dengan Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini, penulis mengambarkannya dengan sebuah skema yang penulis lampirkan pada lembar lampiran halaman x.


(57)

D. Pengawasan Peraturan Daerah di Indonesia

1. Sejarah Pengawasan Peraturan Daerah Sebelum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah

Pada awal kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah diatur dalam Undang Dasar 1945 pasal 18. Lalu dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah. Di masa ini belum ada pemerintah daerah, yang ada adalah Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Demikian pula belum ada daerah otonom, karena suasananya adalah permulaan kemerdekaan.56

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri

Dalam undang-undang ini pengaturan mengenai pengawasan perda hanya dijelaskan bahwa perda tidak boleh mengatur yang sudah diatur oleh undang-undang, peraturan pemerintah dan perda yang lebih tinggi tingkatannya, dan perda juga tidak boleh bertentangan dengannya, hal ini diatur pada pasal 28. Pengawasan perda dalam undang-undang ini tidak

56

Bayu Surianingrat, Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu Analisa, Jilid I, Cet-1, (Jakarta: Dewaruci Press, 1980) h. 30


(1)

Marbun B.N. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita. Cet-2. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010)

Misdayanti dan Kartasapoetra. Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah. Cet-2. (Jakarta: Bumi Aksara. 1993)

Modoeng Supardan. Teknik Perundang-undangan di Indonesia. (Jakarta: Perca. 2005)

Natabaya HAS. Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Cet-1. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006)

Ranggawidjaja Rosyidi. Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo. 2010)

Rozali Abdullah. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Cet-1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2005)

Sinamo Nomensen. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Cet-1. (Jakarta: PT Pustaka Mandiri, 2010)

Soejito Irawan. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Cet-1. (Jakarta: Bina Aksara. 1983)

Soekanto Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet-3. (Jakarta : UI Press, 1986) Soeprapto Maria Farida Indirati. Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi

dan Materi Muatan). Cet-1. (Yogyakarta: Kanisius, 2007)

, Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan). Cet-5. (Yogyakarta: Kanisius, 2011)

Soerjono Soekanto dan Sri mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta: PT . Raja Grafindo, 1994)

Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie, Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945. Cet-1. (Malang: Universitas Negeri Malang, UM Press, 2007)


(2)

Sunarno Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Cet-1. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)

Surianingrat Bayu. Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu Analisa, Jilid I. Cet-1. (Jakarta: Dewaruci Press. 1980)

W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono. Legal Drafting Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Press, 2009)

Widjaja HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka Sosialisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Cet-2. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)

Yani Ahmad. Pembentukan Undang-undang Dan Perda. Cet-1. ( Jakarta: Rajawali Pers. 2011)

B. Majalah Ilmiah

Hasyim, Mohamad, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif dalam Negara Hukum Pancasila, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII. Jurnal hukum “Ius Quia

Iustum”Nomor 6, Volume 3, 1996

Laica Marzuki, Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarta: Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, 2007

Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah,

Yogyakarta: Fakultas Hukum UII. Jurnal hukum “Ius Quia Tustum” Nomor

18, Volume 8, 2001

Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Seri Pengembangan Wacana HuMa, Nomor 1, 2002

Setyadi, S. Bambang, Pembentukan Peraturan Daerah, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 5, Nomor 2, 2007


(3)

Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi Indonesia, Dirjen Peraturan peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Volume 1, Nomor 2, 2004

C. Karya Ilmiah

Attamimi, A. Hamid S, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I PelitaIV),Jakarta: Disertasi Doktor UI, 1990

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Jenis Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, Jakarta: Makalah Biro Hukum dan Organisasi Dept. Kehutanan RI, 2005

D. Website

I made Suwandi, Direktur urusan pemerintahan daerah, dirjen otonomi daerah Depdagri, (http://anggaran.wordpress.com/2006/06/07/problem-hukum-pengujian-perda/) diakses pada tanggal 7 November 2013

http://khafidsociality.blogspot.com/2011/09/mekanisme-pembatalan-peraturan daerah.html diakses pada tanggal 5 September 2013

http://www.kemendagri.go.id/produk-hukum/category/keputusan-menteri diakses pada tanggal 17 Juli 2013

E. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan


(4)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

Tap MPRS Nomor X/MPRS/1996 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia

Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan

Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.


(5)

Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 277 Tahun 2009 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 14 Tahun 2002 tentang Penerimaan Daerah Bukan Pajak atas Perusahaan Pengguna Tenaga Kerja Warga Negara Asing

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 214 Tahun 2008 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Jasa Pariwisata

Keputusan Menteri Dalam Nomor 194 Tahun 2009 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Nomor 53 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Perfilman dan Penggunaan Sistem Distribusi Antena Parabola (TV Kabel)

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil


(6)

Presiden DPRD

Kepala Daerah

PERDA Mendagri

Disampaikan paling lama 7 hari

PERPRES

Ditetapkan paling lama 60 hari sejak Perda

diterima Presiden

Apabila Perda bertentangan dengan peraturan lebih tinggi dan kepentingan umum Perda disampaikan

kepada Presiden Perda disetujui bersama dan

ditetapkan

Kepala Daerah Menghentikan pelaksanaan Perda

DPRD dan Kepala Daerah mencabut Perda

tersebut Penghentian dan pencabutan Perda paling lama 7 hari Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.