DESKRIPSI KENAKALAN REMAJA AKIBAT ORANG TUA BROKEN HOME PADA SISWA KELAS XI SMA ARJUNA BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

(1)

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

Program Studi Bimbingan Konseling

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh

RACHMAWITA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Jurusan Ilmu Pendidikan Program Studi Bimbingan Konseling

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2012

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


(2)

DESKRIPSI KENAKALAN REMAJA AKIBAT ORANG TUA BROKEN HOME PADA SISWA KELAS XI SMA ARJUNA

BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh RACHMAWITA

Masalah dalam penelitian ini adalah kenakalan remaja. Adapun permasalahan adalah banyaknya kenakalan remaja yang terjadi di sekolah akibat orangtua broken home, salah satunya terjadi di SMA Arjuna Bandar Lampung. Adapun rumusan permasalahannya adalah “Bagaimanakah deskripsi kenakalan remaja akibat orangtua broken home pada siswa pada siswa kelas XI SMA Arjuna Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013?”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi kenakalan remaja akibat orangtua broken home pada siswa pada siswa kelas XI SMA Arjuna Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan angket dan dokumentasi. Subjek dalam penelitian ini adalah 17 orang siswa SMA Arjuna Bandar Lampung yang memiliki kenakalan yang kompleks.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa beberapa hal yang mengakibatkan kenakalan ramaja akibat orangtua broken home adalah a) Kebiasaan orang-orang di sekitar rumah yang sering tidak harmonis atau bermusuhan dengan persentase 70,59%, b) Tidak adanya kedisiplinan di rumah dengan persentase sebesar 94,12%, c) Orang tua yang kurang memperhatikan prestasi anak dengan persentase sebesar 64,71%, d) Kurangnya komunikasi orang tua dengan persentase sebesar 73,53%, e) Peraturan yang sangat kaku dengan persentase sebesar 94,12%, f) Peraturan yang tidak konsisten dengan persentase sebesar 64,71%, g) Senioritas sebagai upaya pendisiplinan dengan persentase sebesar 52,94%, h) Wewenang senior terhadap juniornya dengan persentase sebesar 100,00%.

Saran dalam penelitian adalah 1) agar guru bimbingan dan konseling hendaknya lebih tanggap untuk menanggulangi kenakalan remaja di sekolah, dan berkoordinasi dengan orangtua dalam menunjang perkembangan anak yang mengalami orangtua broken home. 2) Orang tua hendaknya memberikan contoh yang baik pada anak dan harus lebih memperhatikan prestasi anak, menciptakan suasana harmonis dirumah, dengan lebih memperbanyak komunikasi antar anggota keluarga. 3) Sekolah dapat membuat peraturan yang tidak kaku dan hendaknya sekolah konsisten dengan aturan tersebut, sehingga anak dapat mematuhi aturan tersebut dengan baik dan meminimalisir wewenang senior atau senioritas sebagai upaya pendisiplinan.


(3)

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

(Skripsi)

Oleh

RACHMAWITA

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2012


(4)

SANWACANA

Puji dan syukur hanya milik Allah SWT sebagai satu-satunya Rabb yang memiliki alam semesta, karena dengan limpahan Rahmat, Hidayah dan Karunia-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul " Deskripsi Kenakalan

Akibat Orang Tua Broken Home Pada Siswa Kelas XI SMA Arjuna Bandar

Lampung Tahun Pelajaran 2012 - 2013". Dalam penyusunan skripsi ini penulis medapat bimbingan, arahan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat

1. Bapak Dr. Bujang Rahman, M.Si selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Umu

Pendidikan Universitas Lampung;

2. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III FKIP

Universitas Lampung;

3. Bapak Drs. Baharuddin Risyak, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan

Universitas Lampung;

4. Bapak Drs. Yusmansyah, M.Si, selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan

Konseling dan sekaligus selaku Pembimbing Utama yang telah membimbing penulis bila mendapat kesulitan.

5. Bapak Drs. Muswardi Rosra, M.Pd selaku Pembimbing Akademik yang dengan

sabar memberikan bimbingan, masukan, motivasi, saran dan kritik untuk menyelesaikan skripsi ini;


(5)

memberikan motivasi, masukan, saran dan kritik, untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf dan Karyawan FKIP Universitas Lampung,

yang telah banyak membantu selama penulis dalam menuntut ilmu;

9. Teristimewa untuk Ayahanda Hi. Casmir Sangun yang ada di syurga dan

Ibunda tercinta Hj. Rosmiyati, atas motivasi dan do’a yang tiada henti untuk keberhasilanku serta kakakku Nurvia Mirnasari, S.Kom, iparku Hanami Imam Ditama, S.E;

10. Tercinta Suamiku sayang, Muhammad Fik Fauzar, S.E., yang sudah memberikan banyak dorongan, motivasi, dan kesabaran, dalam menemaniku menyelesaikan studi ini.

11. Sahabat-sahabatku : Arlia, Egri, Eka, Ellen, Wisni, Dian, Cimut, Ipeh, Cinqu, Riky, Sagus, Michan, Bob, Juni, Ucil, Dwi, lili, Cucut, Keken, En-en. Terima kasih telah memberikan warna tersendiri dalam perjalanan hari-hariku.

12. Saudara-saudaraku : Mbak Leli, Ayuk Amel, Ayuk Arli, Wak Enda, Mas Tok, Wak Binda, Mbak Mie. Terima kasih telah memotivasiku selama ini. 13. Teman-temanku dan keluarga besar Bimbingan dan Konseling Universitas

Lampung dan Teman-teman seangkatan dan seperjuangan dari pendidikan Bimbingan dan Konseling angkatan 2005 Kakak tingkat dan adik tingkat di keluarga besar bimbingan dan konseling universitas lampung.

14. Rekan-rekan mahasiswa PPL FKIP Universitas Lampung, terima kasih untuk pengertian dan kerjasamanya dan telah membantu penulis dalam suka maupun


(6)

kekompakan dan kekeluargaan yang telah terjalin.

15. Dewan guru beserta tenaga administrasi, staf Perpustakaan SMA Arjuna Bandar Lampung yang telah banyak membantu selama penelitian.

16. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, besar harapan penulis, bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Bandar Lampung, Desember 2012

Penulis,


(7)

PERSEMBAHAN

Teruntuk Anugerah Terindah dari Allah,

Alm.Ayah yang belum sempat melihat kesuksesanku dan

Bunda tercinta. Saat ini, hanya ini yang bisa saya

persembahkan. Semoga karya sederhana ini bisa

menjadi bukti betapa hati ini ingin membuat kalian

bangga.

Teruntuk Atu dan kakak tersayang,

Terima Kasih atas segala perngertian dan motivasinya

Teruntuk Suamiku Tercinta,

Terima kasih atas waktu yang berharga, kesabaran,

keikhlasan, dan kesetiaan menemaniku

Inilah sebuah pemikiran sederhana yang pernah kalian

torehkan dan menjadi inspirasiku.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Rachmawita, lahir di Tanjung Karang Provinsi Lampung tanggal 02 Februari 1987, adalah anak kedua dari 2 bersaudara, pasangan Bapak Ir. Hi. Casmir Sangun (Alm) dengan Ibu Hj. Rosmiyati.

Pendidikan yang dilalalui oleh penulis, yaitu Taman Kanak-kanak (TK) Pertiwi Provinsi Lampung, diselesaikan tahun 1993. Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Rawalaut Bandar Lampung (Teladan) diselesaikan tahun 1999. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 2 Bandar Lampung, diselesaikan tahun 2002, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Bandar Lampung, diselesaikan tahun 2005.

Di tahun ajaran baru 2005/2006, penulis terdaftar sebagai Mahasiswi jurusan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung pada program studi S1 Bimbingan Konseling Tahun 2005. Penulis melakukan Praktik Lapangan Bimbingan Konseling (PLBK) di SMP Mutiara Natar, Lampung Selatan Tahun 2008.

Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam beberapa kegiatan organisasi. Di tingkat universitas penulis aktif di organisasi bela diri Taekwondo tahun 2007-2008. Selain itu, penulis juga aktif di organisasi tingkat program studi yaitu Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008.


(9)

MOTTO

“ Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Maka apabila kamu telah selesai ( dari sesuatu urusan),

kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,

dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu

berharap. ”


(10)

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

SANWACANA ... viii

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Identifikasi Masalah ... 4

3. Pembatasan Masalah ... 5

4. Perumusan Masalah ... 5

B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

1. Tujuan Penelitian ... 6

2. Kegunaan Penelitian ... 6

C. Ruang Lingkup Penelitian... 6

D. Kerangka Pemikiran... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kenakalan Remaja ... 9

1. Pengertian Remaja ... 9

2. Perkembangan Anak Usia Remaja ... 11

3. Kenakalan Remaja ... 14

4. Jenis-jenis Kenakalan Remaja ... 15

5. Faktor-faktor Penyebab Kenakalan Remaja ... .. 17

B. Keluarga Broken Home ... 19

1. Pengertian Keluarga ... 19

2. Keluarga Broken Home ... 20

3. Fungsi Keluarga ... 23

4. Pola Asuh Orang Tua ... 25

5. Bentuk-bentuk Pola Asuh Orang Tua ... 26

6. Tugas-tugas Orang Tua ... 31

C. Kenakalan Remaja Akibat Orang Tua Broken Home ... 32

III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

B. Metodologi Penelitian ... 37

C. Subjek Penelitian ... 39

D. Variabel Penelitian dan Devinisi Operasional Variabel ... 40

E. Teknik Pengumpulan Data ... 41

F. Prosedur Penelitian ... 42

G. Uji Instrumen Penelitian ... 43


(11)

C. Pembahasan ... 52 V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 60 B. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... ...


(12)

i

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tabel 1 Jumlah Anak Broken Home... 2 2. Tabel 2 Permasalahan Siswa... 3 3. Tabel 3 Distribusi frekuensi dan persentase faktor lingkungan rumah

yang kurang baik... 45 4. Tabel 4 Distribusi frekuensi dan persentase orang tua memberikan

contoh kurang baik pada anak... 46 5. Tabel 5 Distribusi frekuensi dan persentase ketidakharmonisan di rumah.. 46 6. Tabel 6 Distribusi frekuensi dan persentase karakter anak

yang kurang baik... 47 7. Tabel 7 Distribusi frekuensi dan persentase faktor lingkungan sekolah... 48


(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

1. Latar Belakang

Keluarga adalah sekelompok individu yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang terikat dalam perkawinan yang sah. Dalam kehidupan bermasyarakat, keluarga adalah unit satuan terkecil. Di dalam keluarga; ayah, ibu, dan anak memiliki kewajiban dan hak yang berbeda. Ayah dan ibu memiliki peranan yang sangat penting bagi perkembangan anak. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya peranan orangtua dalam mengasuh anak, sangatlah menentukan anak dimasa mendatang, yang pada saatnya menentukan kualitas manusia Indonesia.

Karena keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi tumbuh kembang anak sejak lahir sampai dewasa, oleh karena itu fungsi keluarga menjadi sangat penting untuk diketahui setiap orangtua. Pembinaan kesejahteraan keluarga sangat erat kaitannya dengan pembinaan anak dalam keluarga, oleh karena orang tua yang mempunyai peran penentu dalam keluarga perlu diberikan bekal pengetahuan tentang pola asuh anak dalam keluarga. Menurut Steven, anak yang orang tuanya broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang berasal


(14)

dari keluarga yang tidak utuh. Di mana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya.

Perhatian yang diperlukan anak dari orang tuanya adalah disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan anak, walaupun hanya untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya. Menanyakan sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya, hobinya, cita-cita dan keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa aneh jika temannya mendapatkan perhatian seperti itu dari orang tuanya, karena zaman sekarang hal tersebut menjadi sangat mahal harganya dan tidak semua anak mendapatkannya.

Menurut hasil penelitian pada Desember 2012 di SMA Arjuna Bandar Lampung, peneliti mendapatkan:

Tabel 1.1 : Jumlah Anak Orang tua broken home Jenis

Orang tua broken

home Laki-Laki Perempuan Total

Murni 7 3 10

Semu 9 5 14

Total 16 8 24


(15)

Anak sangat membutuhkan sentuhan dari orang tuanya, dalam bentuk sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk membuat anak menjadi peka terhadap lingkungannya. Selain itu, belaian, pelukan, ciuman, kecupan, senyuman diperlukan untuk membuat kehangatan jiwa dalam diri anak dan membantu menguasai emosinya. Berdasarkan informasi yang didapat di SMA Arjuna Bandar Lampung, bahwa terdapat beberapa siswa yang menunjukkan perilaku atau sikap yang melanggar tata tertib atau aturan yang ada di sekolah. Hal ini teridentifikasi dari sejumlah siswa yang memiliki permasalahan sebagai berikut :

Tabel 1.2 : Permasalahan Siswa

No. Jenis Masalah Laki-Laki Perempuan

1. Sering Bolos Sekolah 5 -

2. Sering Berhutang dengan Teman 2 1

3. Tersisih dari Lingkungan Sosial di Sekolah - 2

4. Melawan Guru di Kelas 2 -

5. Berkelahi - 2

6. Berjudi di Sekolah 5 -

TOTAL 14 5

Sumber : Guru BK

Dampak dari keegoisan dan kesibukan orang tua serta kurangnya waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki karakter; mudah emosi, kurang konsentrasi belajar, tidak peduli terhadap lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung, senang mencari perhatian orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang tua, tidak memiliki tujuan hidup, dan kurang memiliki daya juang.


(16)

Berdasarkan hal tersebut tergambar bahwa kenakalan remaja akibat orang tua broken home sebagai perilaku agresif tidak bisa didiamkan dan diabaikan begitu saja. Perlu ada upaya dari berbagai pihak untuk mengatasi kenakalan remaja yang terjadi di sekolah, salah satunya yaitu guru bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan konseling yang dilakukan di sekolah membuat guru bimbingan dan konseling mengetahui banyak permasalahan yang dihadapi siswa di sekolah, termasuk permasalahan siswa orang tua broken home..

Guru bimbingan dan konseling juga seringkali menjadi tempat siswa-siswa melaporkan masalah yang mereka alami di sekolah, termasuk diantaranya kasus orang tua broken home yang menimpa mereka. Siswa cenderung bercerita kepada guru bimbingan dan konseling guna mendapat penyelesaian dari masalahnya tersebut. Guru bimbingan dan konseling dituntut agar dapat memberi perhatian dan penanganan yang mendalam bagi siswa-siswa yang terlibat dalam kasus orang tua broken home. Berdasarkan fungsi dan layanan bimbingan dan konseling, guru bimbingan dan konseling juga dapat memberikan kontribusi nyata dalam mengatasi kenakalan remaja akibat orang tua broken home.

2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut :

1. Terdapat siswa dalam keluarga orang tua broken home yang sering


(17)

2. Terdapat siswa dalam keluarga orang tua broken home yang sering berhutang dengan temannya

3. Terdapat siswa dalam keluarga orang tua broken home yang merasa

tersisih dari lingkungan sosialnya di sekolah.

4. Terdapat siswa yang tidak mengindahkan perintah gurunya.

5. Terdapat siswa yang sering berkelahi baik di dalam maupun di luar sekolah

6. Terdapat siswa yang berjudi di dalam lingkungan sekolah

3. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka perlu adanya pembatasan masalah. Hal ini disesuaikan dengan judul penelitian yang akan diteliti, agar apa yang hendak dicapai dalam penelitian ini dapat terarah dengan baik. Maka dalam hal ini peneliti membatasi pada “deskripsi kenakalan remaja akibat orang tua broken home pada siswa kelas XI SMA Arjuna Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013”.

4. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah : “Bagaimanakah deskripsi kenakalan remaja akibat orang tua broken home pada siswa pada siswa kelas XI SMA Arjuna Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013?”


(18)

B. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi kenakalan remaja akibat orang tua broken home pada siswa pada siswa kelas XI SMA Arjuna Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep-konsep bimbingan, khususnya kajian bimbingan konseling mengenai anak remaja yang mengalami broken home dan bermasalah di sekolah.

2. Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu sumbangan informasi dan pemikiran, bagi siswa, orang tua, guru pembimbing dan tenaga kependidikan lainnya dalam penanganan anak remaja yang mengalami broken home dan bermasalah di sekolah.

3. Menjadi bahan masukan kepada guru pembimbing dalam

melaksanakan proses pemberian bantuan layanan bimbingan konseling berkenaan dengan anak remaja yang mengalami broken home dan bermasalah di sekolah.

C. Ruang Lingkup Penelitian


(19)

Ruang lingkup objek dari penelitian ini adalah terdiri dari kenakalan remaja akibat orang tua broken home.

2. Ruang Lingkup Subjek Penelitian

Ruang lingkup subjek penelitian ini adalah siswa / peserta didik dalam usia remaja yang melakukan kenakalan di sekolah.

3. Ruang Lingkup Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Sekolah Menengah Atas Arjuna Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013.

D. Kerangka Pemikiran

Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya peranan orangtua dalam mengasuh anak, sangatlah menentukan anak dimasa mendatang, yang pada saatnya menentukan kualitas manusia Indonesia. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya.

Perhatian yang diperlukan anak dari orang tuanya adalah disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan anak, walaupun hanya untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya.


(20)

Menanyakan sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya, hobinya, cita-cita dan keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa aneh jika temannya mendapatkan perhatian seperti itu dari orang tuanya, karena zaman sekarang hal tersebut menjadi sangat mahal harganya dan tidak semua anak mendapatkannya.

Anak yang orang tua broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh. Di mana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Remaja

Tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan yang terjadi sejak berada dalam kandungan dan terus berlangsung sampai dewasa, dalam preses mencapai dewasa inilah anak akan mengalami tumbuh kembang terasuk masa remaja. Masa remaja adalah masa transisi antara masa anak dan dewasa, dimana terjadi pertumbuhan, timbul ciri-ciri seks skunder, terjadi perubahan-perubahan psikologik dan kognitid. Tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologisnya.

Menurut Soetjiningsih (2007 : 134) berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat berbagai bentuk definisi remaja yaitu :

1) Pada buku-buku pediatric, pada umumnya mendefinisikan remaja adalah bila seseorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki.

2) Menurut Undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum menikah.

3) Menurut Undang-undang Perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk tinggal.

4) Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, anak dianggap sudah remaja apabila cukup matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki.


(22)

5) Menurut Pendidikan Nasional, anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah.

6) Menurut WHO (World Health Organization), remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun.

Lebih lanjut Sarlito mengelompokkan definisi remaja sesuai dengan profil redddmaja Indonesia yang seragam dan berlaku secara nasional adalah dalam batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah, dengan beberapa kriteria sebagai berikut :

1) Usia sebelas tahun adalah usia ketika pada umumya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (kriteria fisik).

2) Pada masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah dianggap akil baligh, baik menurut adat mauun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial). 3) Pada usia terebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan

perkembangan jiwa, seperti tercapainya identitas diri (ego identity,

menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan teracapainya puncak perkambangan kognitif (Pieget) maupun moral (Kohlberg) (Kriteria Psikologi). 4) Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi

peluang bagi mereka yang sampai pada batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum dapat memberikan pendapat sendiri, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, orang-orang yang sampai batas 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologi, masih dapat digolongkan remaja. Golongan ini cukup banyak terdapat di Indonesia, terutama dari kalangan masyarakat kelas menengah ke atas yang mempersyaratkan berbagai hal (terutama pendidikan setinggi-tingginya) untuk mencapai kedewasaan. Akan tetapi dalam kenyataannya cukup banyak pula orang yang mencapai kedewasaannya sebelum usia tersebut.

5) Dalam definisi di atas, status perkawinan sangat menentukan. Hal itu karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh. Seorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan diperlukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Oleh karena itu definisi remaja di sini dibatasi khusus yang belum menikah. (Sarlito, 14-15 : 2008).


(23)

Dari dua kutipan diatas dapat penulis simpukan bahwa remaja merupakan suatu fase perkembangan pada anak pada usia tertentu diantara 10 sampai 24 tahun yang ditandai dengan pertumbuhan fisik maupun psikis dan juga mencakup kriteria sosial dimasyarakat Indonesia pada umumnya dengan perkembangan yang potensial, baik dilihat dari segi aspek kognitif, emosi dan tentunya yang belum menikah.

2. Perkembangan Anak Usia Remaja

Menurut Gunarsa (2004 : 4): Perkembangan tidak terbatas dalam arti tumbuh menjadi besar tetapi mencakup rangkaian perubahan yang bersifat progresif, teratur, koheren, dan berkesinambungan. Jadi antara satu tahap perkembangan dengan tahap perkembangan berikutnya tidak terlepas. Perkembangan adalah perubahan kearah kemajuan menuju terwujudnya hakekat manusia yang bermartabat atau berkualitas. Perkembangan memiliki sifat holistik (menyeluruh atau kompleks) yaitu: terdiri dari berbagai aspek baik fisik ataupun psikis, terjadi dalam beberapa tahap (saling berkesinambungan), ada variasi individu dan memiliki prinsip keserasian dan keseimbangan.

Perkembangan Individu memiliki beberapa prinsip-prinsip yaitu: Never ending process (perkembangan tidak akan pernah berhenti), Semua aspek perkembangan saling mempengaruhi (aspek emosional, aspek disiplin, aspek agama dan aspek sosial),Perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu (karena perkembangan individu dapat terjadi perubahan perilaku yang dapat dipertahankan atau bahkan ditinggalkan).


(24)

Perkembangan merupakan proses yang tidak akan berhenti dan setiap perkembangan memiliki tahapan tahapan yaitu : tahap direncanakan, tahap kandungan, tahap anak, tahap remaja, tahap dewasa, dan tahap lansia, ada juga yang menggunakan patokan umur yang dapat pula digolongkan dalam masa intraterin, masa bayi, masa anak sekolah, masa remaja dan masa adonelen yang lebih lanjut akan disebut dengan periodesasi perkembangan.

Berikut tahapan-tahapan perkembangan remaja : a. Perkembangan Emosi

Emosi merupakan situasi psikologi yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Perceraian adalah suatu hal yang harus dihindari, agar emosi anak tidak menjadi terganggu. Perceraian adalah suatu penderitaan atau pengalaman tramatis bagi anak.

Adapun dampak pandangan keluarga broken home terhadap perkembangan emosi remaja:

- Perceraian orang tua membuat tempramen anak terpengaruh, pengaruh yang tampak secara jelas dalam perkembangan emosi itu membuat anak menjadi pemurung, pemalas (menjadi agresif) yang ingin mencari perhatian orang tua atau orang lain. Mencari jati diri dalam suasana rumah tangga yang tumpang dan kurang serasi. - Peristiwa perceraian itu menimbulkan ketidakstabilan emosi.


(25)

- Ketidakberartian pada diri remaja akan mudah timbul, sehingga dalam menjalani kehidupan remaja merasa bahwa dirinya adalah pihak yang tidak diharapkan dalam kehidupan ini.

- Remaja yang kebutuhannya kurang dipenuhi oleh orang tua, emosi marahnya akan mudah terpancing.

b. Perkembangan Sosial Remaja

Tingkah laku sosial kelompok yang memungkinkan seseorang berpartisipasi secara efektif dalam kelompok atau masyarakat.

Dampak keluarga Broken home terhadap perkembangan sosial remaja adalah :

- Perceraian orang tua menyebabkan ketidakpercayaan diri terhadap kemampuan dan kedudukannya, dia merasa rendah diri, menjadi takut untuk keluar dan bergaul dengan teman-teman.

- Anak sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. Anak yang dibesarkan dikeluarga pincang, cenderung sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan, kesulitan itu datang secara alamiah dari diri anak tersebut.

- Dampak bagi remaja putri yang tidak mempunyai ayah berperilaku dengan salah satu cara yang ekstrim terhadap laki-laki, mereka sangat menarik diri pasif dan minder kemungkinan yang kedua terlalu aktif, agresif dan genit.


(26)

c. Perkembangan Kepribadian

Perceraian ternyata memberikan dampak kurang baik terhadap perkembangan kepribadian remaja. Remaja yang orang tuanya bercerai cenderung menunjukan ciri-ciri :

- Berperilaku nakal - Mengalami depresi

- Melakukan hubungan seksual secara aktif - Kecenderungan pada obat-obat terlarang

Keadaan keluarga yang tidak harmonis tidak stabil atau berantakan (broken home) merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian remaja yang tidak sehat.

3. Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Menurut kartono, kenakalan remaja dikenal dengan istilah juvenile deliquency

merupakan gejala patologis pada remaja disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Menurut Santrock, kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal.

Menurut Kartini kenakalan remaja atau Juvenile Deliquency ialah perilaku jahat atau dursila atau kejahatan atau kenakalan anak-anak muda ; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan


(27)

remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku menyimpang.

Kemudian menurut Sarlito (2006: 206) “kenakalan remaja adalah semua tingkah laku yang dilakukan anak yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma, agama, etika, peraturan sekolah, keluarga dan lainnya).

Kenakalan remaja mempunyai dampak yaitu akan menghambat diri remaja dalam proses sosialisasinya dengan teman, guru dan masyarakat. Perilaku penyesuaian diri yang salah biasanya di dorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam penyelesaian sesuatu tanpa melihat secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, membolos dan melanggar tata tertib sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa kenakalan remaja disebabkan karena adanya dorongan baik dari lingkungan. kenakalan remaja adalah suatu tindakan yang dilakukan remaja yang dianggap melanggar aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku baik di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.

4. Jenis-jenis Kenakalan Remaja

Dalam kesehariannya remaja melakukan sosialisasi dengan lingkungan sekitar, sekolah, dan teman sejawat yang biasanya mempengaruhi perilaku siswa tersebut apabila teman sejawat lebih besar ke hal yang


(28)

positif, maka berdampak positif jg terhadap kepribadian mereka tetapi bila lebih besar terhadap hal-hal yang negatif maka akan berdampak terhadap perilaku mereka yang biasa disebut kenakalan remaja yang terdiri dari berbagai jenis. Menurut Hariyadi (2003: 160) Jenis-jenis kenakalan remaja antara lain:

a. Membohong : memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutupi kesalahan.

b. Membolos : pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

c. Kabur : meninggalkan rumah tanpa izin orang tua atau menentang keinginan orang tua.

d. Keluyuran : pergi sendiri maupun kelompok tanpa tujuan dan mudah menimbulkan perbuatan iseng yang negatif.

e. Bersenjata tajam : memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain sehingga terangsang untuk menggunakannya.

f. Pergaulan buruk : bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk sehingga mudah terjerat dengan perkara yang benar-benar kriminal.

g. Berpesta pora berhura-hura : berpesta pora semalam tanpa pengawasan, sehingga timbul tindakan-tindakan yang kurang bertanggung jawab (amoral dan asosial)

Kemudian menurut Anne, kenakalan remaja memiliki gejala-gejala antara lain yaitu :

a. Anak tidak disukai teman-temannya sehingga bersikap menyendiri. b. Anak sering menghindar dari tanggung jawab mereka di rumah dan di

sekolah.

c. Anak sering mengeluh kalau mereka memiliki permasalahan yang mereka sendiri tidak bisa selesaikan.

d. Anak mengalami phobia atau gelisah yang berbeda dengan orang-orang normal.

e. Anak jadi suka berbohong.

f. Anak suka menyakiti teman-temannya. g. Anak tidak sanggup memusatkan perhatian.

Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa jenis-jenis kenakalan remaja adalah membohong, membolos, kabur meninggalkan rumah, keluyuran,


(29)

bersenjata tajam,pergaulan buruk, berpesta pora, berhura-hura, tidak disukai teman-temannya, menghindar dari tanggung jawab, suka menyakiti teman-temannya.`

5. Faktor-Faktor Penyebab Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma social yang berlaku. Di kalangan remaja, memiliki banyak teman adalah merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak teman, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya. Secara lebih jelas menurut Kartini (2002: 25) yang menguraikan teori penyebab kenakalan remaja sebagai berikut :

a. Teori Biologis

Tingkah laku sosipatik atau delikuen pada anak-anak remaja dan muncul karena beberapa faktor fisiologis dan struktur jasmaniah yang dibawa sejak lahir.

b. Teori Psikogenis

Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delikuen anak-anak dari aspek psikologis atau kejiwaan. Antara lain faktor intelegensi, cirri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis dan lain-lain.


(30)

c. Teori Sosiologis

Penyebab tingkah laku anak-anak delikuen pada remaja adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh tekanan kelompok, peranan social, status social atau internalisasi simbolis yang keliru.

d. Teori Subkultur.

Menurut teori subculture ini, sumber juvenile delinquency ialah : sifat-sifat suatu struktur social dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familiar, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh para remaja delinquent tersebut.

Kemudian menurut Hariyadi, (2003: 161): Berbagai hal yang melatar belakangi terjadinya kenakalan remaja antara lain:

a. Penyebab dari dalam diri remaja itu sendiri (internal) - Kurangnya penyaluran emosi

- Kelemahan dalam pengendalian dorongan-dorongan dan kecenderungannya

- Kegagalan prestasi sekolah atau pergaulan - Kekurangan dalam pembentukan hati nurani b. Penyebab dari luar si remaja (eksternal)

- Lingkungan keluarga - Lingkungan masyarakat.

Perkembangan teknologi yang menimbulkan keguncangan pada remaja yang belum memiliki kekuatan mental untuk menerima perubahan-perubahan baru. Kepadatan penduduk yang menimbulkan persoalan demografis dan bermacam kenakalan remaja.

Berdasarkan beberpa pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa beberapa hal yang melatar belakangi kenakalan remaja adalah penyebab dari dalam diri siswa itu sendiri (internal) dan penyebab dari luar diri remaja itu sendiri (eksternal).


(31)

B. Keluarga Broken home 1. Pengertian Keluarga

Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan organisasi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya keluarga merupakan wadah pertama dan utama yang fundamental bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Di dalam keluarga, anak akan mendapatkan pendidikan pertama mengenai berbagai tatanan kehidupan yang ada di masyarakat. Keluargalah yang mengenalkan anak akan aturan agama, etika sopan santun, aturan bermasyarakat, dan aturan-aturan tidak tertulis lainnya yang diharapkan dapat menjadi landasan kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan. Keluarga pula yang akan menjadi motivator terbesar yang tiada henti saat anak membutuhkan dukungan dalam menjalani kehidupan.

Menurut Pujosowarno (1994 : 11): Keluarga merupakan suatu persetujuan hidup atas dasar perkawinan antar orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki atu seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak baik anaknya sendiri atau adonpsi dan tinggal dalam rumah tangga. Adapun menurut Bustaman (2001 : 89): Keluarga adalah kelompok-kelompok orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan perakwinan darah atau adonpsi yang membantuk satu sama lain dan berikatan dengan melalui peran-peran tersendiri sebagai anggota keluarga dan pertahanan kebudayaan masyarakat yang berlaku dan menciptakan kebudayaan sendiri.


(32)

2. Keluarga Broken home

Istilah “Broken home” biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun dan sejahtera akibat sering terjadi konflik yang menyebabkan pada pertengkaran yang bahkan dapat berujung pada perceraian. Hal ini akan berdampak besar terhadap suasana rumah yang tidak lagi kondusif, orang tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya sehingga berdampak pada perkembangan anak khususnya anak remaja.

Jika remaja diharapkan pada kondisi “broken home” dimana orang tua mereka tidak lagi menjadi panutan bagi dirinya maka akan berdampak besar pada perkembangan dirinya. Dampak psikis yang dialami oleh remaja yang mengalami broken home, remaja menjadi lebih pendiam, pemalu, bahkan despresi berkepanjangan.

Faktor lingkungan tempat remaja bergaul adalah sarana lain jika orang tua sudah sibuk dengan urusannya sendiri. Jika remaja berada di lingkungan pergaulan yang negatif, karena keadaannya labil maka tidak menutup kemungkinan remaja akan tercebur dalam lembah pergaulan yang tidak baik.

Broken home adalah kurangnya perhatian dari keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua sehingga membuat mental seorang anak menjadi frustasi, brutal dan susah diatur. Broken home sangat berpengaruh besar pada mental seorang pelajar hal inilah yang mengakibatkan seorang pelajar tidak mempunyai minat untuk


(33)

berprestasi. Broken home juga bisa merusak jiwa anak sehingga dalam sekolah mereka bersikap seenaknya saja, tidak disiplin di dalam kelas mereka selalu berbuat keonaran dan kerusuhan hal ini dilakukan karena mereka hanya ingin mencari simpati pada teman-teman mereka bahkan pada guru-guru mereka. Untuk menyikapi hal semacam ini kita perlu memberikan perhatian dan pengerahan yang lebih agar mereka sadar dan mau berprestasi.

Pada umumnya penyebab utama broken home ini adalah kesibukkan kedua orang tua dalam mencari nafkah keluarga seperti hal ayah bekerja dan ibu menjadi wanita karier. Hal inilah yang menjadi dasar seorang tidak memiliki keseimbangan dalam menjalankan aktifitas sehari hari dan malah sebaliknya akan merugikan anak itu sendiri, dikala pulang sekolah dirumah tidak ada orang yang bisa diajak berbagi dan berdiskusi, membuat anak mencari pelampiasan diluar rumah seperti bergaul dengan teman – temannya yang secara tidak langsung memberikan pengaruh bagi perkembangan mental anak

Istilah "broken home" biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan akibat orang tua yang tak lagi peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah. Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh. Di mana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup


(34)

keluarganya. Namun orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya.

Anak akan menjadi keluarga broken home, apabila pengasuhan yang dilakukan terganggu. Jika tidak terganggu, maka broken home tidak akan menjadi bagian dari keluarga. Inilah beberapa perilaku orang tua menurut peneliti yang bisa menghasilkan sebuah keluarga broken home:

a. Tidak bisa beradaptasi dalam pengasuhan

b. Terus mengajari anak pelajaran-pelajaran dan berharap anak akan

berubah perilakunya.

c. Menciptakan kondisi yang mendorong anak untuk gagal (selalu

terburu-buru di pagi hari, meninggalkan anak-anak tanpa orang dewasa di dekat mereka, tidak menyediakan cukup waktu untuk mendengarkan anak-anak)

d. Bereaksi penuh kemarahan terhadap anak-anak

e. Memiliki motivasi untuk membalas dendam terhadap mantan

pasangan atau orang lain

f. Tidak memberikan pilihan pada anak-anak

g. Hanya memberikan sedikit peringatan atau tanpa peringatan sama

sekali ketika menghukum anak-anak, sehingga anak-anak tidak memiliki kesempatan untuk mengubah perilakunya.


(35)

h. Mengutamakan kehidupan sosialnya sendiri di atas kepentingan

anak-anak, atau tidak memiliki kehidupan sosial sama sekali.

i. Sering berganti-ganti pasangan kencan

j. Selalu menunggui anak-anak di manapun mereka berada k. Tidak menciptakan batasan-batasan

l. Tidak bisa diduga, misalnya marah karena sebuah perilaku hari ini

namun tertawa karena perilaku yang sama di hari yang lain

m. Membiarkan anak tidak terkontrol dan tidak hormat kepada orang lain n. Menyelamatkan anak-anak dari konsekuensinya sebagai anak di

usianya 3. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga adalah bertanggungjawab dalam menjaga dan menumbuh kembangkan anggota-anggotanya (Sulaiman, 1995). Pemenuhan kebutuhan para anggota sangat penting, agar mereka dapat mempertahankan kehidupannya, yang berupa 1) pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial, 2) kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal dalam rangka mengembangakan intelektual, sosial, mental, emosional dan spritual.

Apabila kebutuhan dasar anggota keluarga dapat dipenuhi, maka kesempatan untuk berkembang lebih luas lagi dapat diwujudkan, yang akan memberikan kesempatan individu maupun keluarga mampu merealisasikan diri lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan


(36)

mereka, misal aspek budaya, intelektual dan aspek sosial. Adapun menurut Maslow, kebutuhan manusia tersebut terbagi ke dalam 1) kebutuhan makan, minum, dan seks, 2) kebutuhan akan rasa aman, 3) kebutuhan kasih sayang, 4) kebutuhan akan penghargaan, dan 5) kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan potensi diri sendiri dan aktualisasi diri.

Bila ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah RI. No. 21 tahun 1994 mengenai penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, telah dirumuskan delapan fungsi keluarga sebagai jembatan menuju terbentuknya sumber daya pembangunan yang handal dengan ketahanan keluarga yang kuat dan mandiri, yaitu:

1) Fungsi Keagamaan, fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2) Fungsi Sosial Budaya, fungsi ini memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.

3) Fungsi Cinta kasih, fungsi ini berguna untuk memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin.

4) Fungsi Melindungi, fungsi ini dimaksudkan untuk menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga.

5) Fungsi Reproduksi, fungsi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa.

6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang. 7) Fungsi Ekonomi, fungsi ini sebagai unsur pendukung kemandirian

dan ketahanan keluarga.

8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, fungsi ini memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras,


(37)

seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.

4. Pola Asuh Orang Tua

Pada usia sekolah anak tidak dapat terlepas dari kedua orang tuanya. Perhatian, perlindungan, kasih sayang, dan juga rasa aman terhadap kelanjutan pendidikannya masih sangat dibutuhkan oleh anak. Secara langsung ataupun tidak langsung proses interkasi sosial anak dilingkungan baik keluarga, masyarakat dan sekolah akan sangat terpengaruh oleh keadaan pola asuh orang tuanya.

Menurut Gunarsa (2010 : 10) Pola asuh orang tua adalah kemampuan menjalin hubungan yang akrab dengan anak, memberikan tauladan bagi anak-anaknya dalam segala hal, sehingga anaknya merasa aman dan mendapatkan perhatian serta kasih sayang.

Lebih lanjut menurut Utami, pola asuh adalah proses penanaman nilai positif oleh orang tua mengenai tujuan hidup, hak-hak orang lain, masa depan dan kegembiraan bersama. Anak akan menerima nilai tersebut jika orang tua memegang nilai tersebut. Tidak hanya koreksi terhadap perilaku anak saja yang dibutuhkan tetapi juga peraturan harus diimplementasikan terlebih dahulu oleh orang tua atau siapa saja yang berhubungan dengan anak.

Dari kedua kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah sebuah proses, penanaman nilai yang diberikan kepada anak mengenai tujuan hidup, hak-hak orang lain, masa depan dan kegembiraan bersama dengan implementasi berupa pemberian tauladan oleh orang tua kepada anak.


(38)

5. Bentuk-bentuk Pola Asuh Orang Tua

Menurut Hersey & Blanchard dalam Prasetyawati (2007 : 23) “ pola asuh orang tua terdiri atas 4 macam yaitu pola asuh neglectfulling, pola asuh indulgent, pola asuh otoriter, dan pola asuh authoritative.”

Kebanyakan anak yang berhasil setelah menjadi dewasa berasal dari keluarga dengan orang tua yang bersikap positif yang mana sikap ini disebut sebagai pola asuh orang tua yang bersikap positif, yang mana sikap ini disebut sebagai pola asuh orang tua kepada anak.

Empat macam pola asuh tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Pola asuh neglectfulling

Adalah bentuk pola asuh dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau ambil pusing mempedulikan kehidupan anaknya. Biasanya anak yang hidup dalam keluarga yang menerapkan pola asuh seperti ini akan mengalami banyak kesulitan, antara lain :

1) Anak mempunyai harga diri yang rendah 2) Anak tidak mempunyai kontrol diri yang baik 3) Kemampuan sosial anak yang buruk

4) Anak akan merasa ia bukan bagian yang penting untuk orang tuanya.

Biasanya anak yang terbiasa dengan pola asuh seperti ini akan terus terbawa sampai ia dewasa dan melakukan hal yang sama pula terhadap anaknya kelak.


(39)

b. Pola asuh Indulgent

Pola asuh indulgent adalah istilah bagi pola asuh orang tua yang selalu terlibat dalam semua aspek kehidupan anak. Namun tidak ada tuntutan dan kontrol dari orang tua terhadap anak. Orang tua cenderung membiarkan anak melakukan apa saja sesuai keinginan anaknya. Bahasa sederhananya, orang tua selalu menuruti keinginan anak, apapun keinginan tersebut, tanpa pertimbangan apakah baik/buruk bagi anak. Biasanya orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini akan berkilah bahwa sikap yang diambilnya didasarkan rasa sayang terhadap anak.

c. Pola asuh Otoriter

Pola pengasuhan otoriter adalah pola pengasuhan yang kaku, diktator dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa banyak alasan. Banyak ditemukan penerapan hukuman fisik dan aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan di baliknya. Orang tua tak mau repot-repot berpikir bahwa peraturan yang kaku seperti itu justru akan menimbulkan serangkaian efek negatif bagi anak.

Dampak buruk pola asuh otoriter terhadap anak, antara lain : 1) Anak merasa tidak bahagia

2) Anak menjadi ketakutan

3) Anak tidak terlatih untuk berinisiatif 4) Selalu tegang


(40)

5) Tidak mampu menyelesaikan masalahnya (problem solvingnya buruk)

6) Kemampuan berkomunikasi juga buruk d. Pola asuh authoritative

Orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini akan membiarkan anak memilih untuk melakukan apa yang menurut anak baik, tetapi tetap harus ada batasan apa yang seharusnya dilakukan. Pola ini sering mendorong anak untuk mandiri, tetapi orang tua tetap menetapkan batasan kontrol. Orang tua biasanya bersikap hangat, penuh welas asih kepada anak, bisa menerima alasan dari semua tindakan anak, mendukung tindakan anak yang konstruktif. Anak yang terbiasa dengan pola asuh ini akan membawa dampak yang menguntungkan, antara lain :

- Anak merasa bahagia

- Anak mempunyai kontrol diri dan rasa percaya dirinya terpupuk - Anak mampu mengatasi stress

- Anak mempunyai keinginan untuk berprestasi

- Anak mampu berkomunikasi secara baik dengan teman-temannya dan orang dewasa.

Sedangkan Menurut Baurin (2007 : 34), terdapat 4 macam pola asuh orang tua:

a. Pola asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka.


(41)

Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. b. Pola asuh Otoriter

Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

c. Pola asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.


(42)

Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.

Sedangkan Menurut Baumrind dalam Wawan (2010) pola asuh orang tua dapat diidentifikasikan menjadi 3, yaitu:

a. Pola asuh Demokratis

Pola asuh orang tua yang demokratis pada umumnya ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat semacam aturan-aturan yang disepakati bersama. Orang tua yang demokratis ini yaitu orang tua yang mencoba menghargai kemampuan anak secara langsung.

b. Pola asuh Otoriter

Pola asuh otoriter ditandai dengan orang tua yang melarang anaknya dengan mengorbankan otonomi anak.

c. Pola asuh Permisif

Pola asuh permisif ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas kepada anak untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan keinginan anak.


(43)

Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bentuk-bentuk pola asuh orang tua bermacam-macam, yang menjadi bentuk pola asuh orang tua dan selanjutnya oleh penulis dijadikan indikator dalam peneltian ini adalah ; Pola asuh Demokratis, Pola asuh Otoriter, Pola asuh Permisif dan Pola asuh Penelantar.

6. Tugas-tugas Orang Tua

Salah satu hak anak yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak (KHA) adalah mendapatkan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Sebagai tempat tumbuh kembangnya anak, rumah menjadi institusi paling awal dan terpenting bagi anak. Saat anak tidak merasa nyaman di tengah-tengah keluarganya, dapat dipastikan ada masalah yang mengganggunya. Bukan untuk waktu sementara, masalah yang dialami anak di lingkungan keluarga pun akan berimbas pada kehidupannya di masa-masa berikutnya. Ketimpangan antara keadaan yang diharapkan anak dengan kenyataan yang dialaminya menjadi pemicu terganggunya perkembangan pribadi anak.

Tugas-tugas yang dilakukan oleh orang tua yang cukup baik, secara garis besar adalah:

a. Memenuhi kebutuhan fisik yang paling pokok; sandang, pangan dan kesehatan

b. Memberikan ikatan dan hubungan emosional, hubungan yang erat ini merupakan bagian penting dari perkembangan fisik dan emosional yang sehat dari seorang anak.


(44)

c. Memberikan suatu landasan yang kokoh, ini berarti memberikan suasana rumah dan kehidupan keluarga yang stabil.

d. Membimbing dan mengendalikan perilaku.

e. Memberikan berbagai pengalaman hidup yang normal, hal ini diperlukan untuk membantu anak anda matang dan akhirnya mampu menjadi seorang dewasa yang mandiri. Sebagian besar orang tua tanpa sadar telah memberikan pengalaman-pengalaman itu secara alami. f. Mengajarkan cara berkomunikasi, orang tua yang baik mengajarkan

anak untuk mampu menuangkan pikiran kedalam kata-kata dan memberi nama pada setiap gagasan, mengutarakan gagasan-gagasan yang rumit dan berbicara tentang hal-hal yang terkadang sulit untuk dibicarakan seperti ketakutan dan amarah.

g. Membantu anak anda menjadi bagian dari keluarga. h. Memberi teladan.

C. Kenakalan Remaja Akibat Keluarga Broken home

Menurut bower, pengaruh keluarga yang bisa menyebabkan kenakalan remaja adalah :

Keluarga yang Broken home

Masa remaja adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami saat kritis sebab ia akan menginjak ke masa dewasa. Remaja berada dalam masa

peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari identitasnya. Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa


(45)

orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau

keluarganya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa fungsi keluarga adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka dalam masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi tersebut. Sebab dalam masa yang kritis seseorang kehilangan pegangan yang memadai dan pedoman hidupnya. Masa kritis diwarnai oleh konflik-konflik internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, cita-cita dan kemauan yang tinggi tetapi sukar ia kerjakan sehingga ia frustasi dan sebaginya.

masalah keluarga yang broken home bukan menjadi masalah baru tetapi merupakan masalah yang utama dari akar-akar kehidupan seorang anak. Keluarga merupakan dunia keakraban dan diikat oleh tali batin, sehingga menjadi bagian yang vital dari kehidupannya.

Menurut Bower, penyebab timbulnya kenakalan remaja akibat orang tua

broken home antara lain: a. Orang tua yang bercerai

Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan yang telah terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri antara suami istri tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar dan menjauh ke dalam dunianya sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi sehingga masing-masing merasa serba asing tanpa


(46)

ada rasa kebertautan yang intim lagi. b. Kebudayaan bisu dalam keluarga

Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu tersebut justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali batin. Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu terjadi diantara orang yang tidak saling mengenal dan dalam situasi yang perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja; anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri. Mereka lebih baik berdiam diri saja. Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang sama dialog mempunyai peranan yang sangat penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog dalam masa kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orang tua terlalu menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya. Ternyata perhatian orang tua dengan memberikan kesenangan materiil belum mampu menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan kedudukannya dengan benda mahal dan bagus. Menggantikannya berarti melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda mati.


(47)

Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada kebudayaan bisu. Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog juga disisipi oleh rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Awal perang dingin dapat disebabkan karena suami mau memenangkan pendapat dan pendiriannya sendiri, sedangkan istri hanya mempertahankan keinginan dan kehendaknya sendiri.

Dalam mengatasi kenakalan remaja yang paling dominan adalah dari keluarga yang merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak. Di dalam menghadapi kenakalan anak pihak orang tua kehendaknya dapat mengambil dua sikap bicara yaitu:

Sikap atau cara yang bersifat preventif

Yaitu perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk menjauhkan si anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan pergaulan yang buruk. Dalam hat sikap yang bersifat preventif, pihak orang tua dapat memberikan atau mengadakan tindakan sebagai berikut :

a. Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak.

b. Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu. c. Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak.

d. Menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam satu ikatan keluarga.

Disamping keempat hal yang diatas maka hendaknya diadakan pula:

a. Pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna. b. Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif. c. Rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.


(48)

d. Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya. Sikap atau cara yang bersifat represif

Yaitu pihak orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam kegiatan sosial yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak seperti menjadi anggota badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut serta dalam diskusi yang khusus mengenai masalah kesejahteraan anak-anak. Selain itu pihak orang tua terhadap anak yang bersangkutan dalam perkara kenakalan hendaknya

mengambil sikap sebagai berikut :

a. Mengadakan introspeksi sepenuhnya akan kealpaan yang telah diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan. b. Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan yang menimpa anaknya.

c. Meminta bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam mengawasi perkembangan kehidupan anak, apabila dipandang perlu. d. Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari.


(49)

III. METODOLOGI PENELITIAN

Penerapan teori terhadap suatu permasalahan memerlukan metode khusus yang dianggap relevan dan membantu pemecahan masalah. Metode tersebut dipergunakan untuk melaksanakan penelitian sekarang. Penelitian ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Metode peneilitian merupakan suatu ilmu yang membicarakan tentang berbagai cara yang harus ditempuh secara ilmiah dengan maksud untuk menemukan dan menguji kebenaran suatu penelitian.

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Arjuna Bandar Lampung yaitu di jalan Tulang Bawang Enggal Bandar Lampung pada Tahun Pelajaran 2012/2013.

B. Metodologi Penelitian

Dalam proses penelitian seorang peneliti akan menggunakan satu atau beberapa metode. Menurut P. Subagyo (1991:2), metode penelitian adalah "suatu arah atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan". Dengan pemilihan metode, peneliti memiliki arah untuk memecahkan masalah yang akan diteliti. Jenis metode yang dipilih dan digunakan dalam penelitian tentunya harus sesuai dengan sifat dan karakteristik penelitian yang dilakukan.


(50)

Salah satu ciri dari kegiatan ilmiah adalah terdapat suatu metode yang tepat dan sistematis sebagai penentu kearah pemecahan masalah, ketetapan memilih metode merupakan persyaratan yang utama agar dapat tercapainya hasil yang diharapkan. Menurut Arikunto (2006) “metode penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk memperoleh data dengan tujuan tertentu. Cara ilmiah ini berarti kegiatan itu dilandasi oleh keilmuan”. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskripsi itu sendiri adalah penelitian yang memberi gambaran cermat mengenai suatu individu, kendala, gejala ataupun pada kelompok tertentu. Nazir (2007:54), yang menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode dalam penelitian status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau kelas peristiwa pada masa sekarang. Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang digunakan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi pada masa sekarang yang dilakukan dengan melakukan pengumpulan data dan analisis/pengolahan data, membuat kesimpulan dan laporan dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara objektif mengenai keadaan yang sedang terjadi. Dalam penelitian ini berfokus pada analisis pekerjaan dan aktivitas yang merupakan pemaparan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang diselidiki. Pendekatan ini digunakan karena masalah yang diteliti memerlukan suatu pengungkapan yang bersifat deskriptif analisa pekerjaan dan aktifitas. Menurut Nazir (2007:61) :


(51)

Penelitian deskriptif analisa pekerjaan dan aktifitas adalah merupakan penelitian yang ditujukan untuk menyelidiki secara terpennci aktivrtas dan pekerjaan manusia, dan hasil penelitian tersebut dapat membenkan rekomendasi-rekomendasi untuk keperluan masa yang akan datang”.

Metode penelitian deskriptif ini akan menggambarkan tentang keadaan yang

sebenarnya mengenai kenakalan remaja akibat broken home pada siswa kelas

XI SMA Arjuna Bandar Lampung .

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah sumber data untuk menjawab masalah. Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas XI SMA Arjuna Bandar Lampung. Peserta didik berusia 15-18 tahun, dan duduk di kelas XI SMA Arjuna Bandar Lampung. Subjek penelitian dipilih guru bimbingan konseling atas informasi tentang peserta didik yang melakukan kenakalan di sekolah dan mengalami

broken home baik murni maupun semu. Kemudian peserta didik diberikan angket yang berisi beberapa pertanyaan, guna memudahkan peneliti dan guru bimbingan konseling dalam menentukan peserta didik yang masalah dan kenakalannya paling kompleks. Awalnya subjek penelitian jumlahnya

banyak, lama-lama menjadi sedikit. Kemudian dipilih siswa broken home

yang banyak melakukan kenakalan di sekolah, dan yang mengalami permasalahan dengan orang tuanya di rumah.

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel


(52)

Variabel merupakan salah satu komponen penting dalam suatu penelitian, karena memahami dan menganalisis setiap variabel membutuhkan optimalisasi berpikir bagi peneliti. Menurut Arikunto (2006:118) variabel adalah "objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian". Variabel dapat dinyatakan sebagai hal yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti.

Berdasarkan pengertian di atas maka penelitian mempunyai 1 variabel/variabel tunggal (bukan variabel bebas/variabel terikat). Variabel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ”kenakalan remaja akibat

orang tua broken home pada siswa”.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau konstrak dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan, ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstrak atau variabel tersebut. (Nazir, 2007:126)

Penelitian ini terdiri dari satu variabel/variabel tunggal (bukan variabel

bebas/variabel terikat) yaitu, kenakalan remaja akibat orang tua broken

home pada siswa. Untuk memudahkan pengamatan dan pengukuran

variabel penelitian, maka perlu didefinisikan secara operasional sebagai berikut :


(53)

Kenakalan remaja adalah semua tingkah laku yang dilakukan anak yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma, agama, etika, peraturan sekolah, keluarga dan lainnya).

Adapun yang diukur dalam penelitian ini adalah beberapa faktor

penyebab kenakalan remaja akibat orang tua broken home, dengan

menggunakan angket dengan indikator – indikator sebagai berikut :

a. Lingkungan rumah yang kurang baik

b. Orang tua memberikan contoh kurang baik pada anak

c. Ketidak harmonisan di rumah

d. Karakter Anak

e. Faktor lingkungan sekolah

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam suatu penelitian selalu terjadi proses pengumpulan data untuk memperoleh data yang sejelas-jelasnya. Menurut Arikunto (2006:126), metode pengumpulan data ialah "cara memperoleh data." Peneliti akan menggunakan beberapa metode atau cara untuk memperoleh data-data yang diperlukan.

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang lebih lengkap. Dalam penelitian ini, peneliti meggunakan instrumen berupa angket.


(54)

Angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memproleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal yang ia ketahui (Arikunto, 2002).

Angket yang dibuat meliputi butir-butir pertanyaan atau pernyataan tentang faktor-faktor yang akan diungkap. Kaitannya dalam membuat instrumen yang digunakan sesuai dengan tujuan penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan angket kenakalan remaja. Angket ini dipergunakan dalam penelitian untuk mengumpulkan data-data tentang

kenakalan remaja akibat broken home pada siswa kelas XI SMA Arjuna

Bandar Lampung.

F. Prosedur Penelitian

Penelitian merupakan proses ilmiah dimana salah satu syaratnya yaitu harus sistematis. Sistematis artinya di dalam suatu penelitian harus terdapat prosedur yang jelas dalam pelaksanaanya. Prosedur penelitian harus jelas mulai dari persiapan hingga pelaksanaannya.

Prosedur dalam penelitian ini mengacu pada prosedur penelitian yang dikemukakan oleh Santoso dan Royanto (2009:65). Penelitian ini dimulai dari tahap persiapan, yakni peneliti mempersiapkan instrumen berupa angket dan pedoman wawancara. Setelah itu, peneliti terjun ke lapangan dengan berbekal surat izin penelitian dari fakultas. Setelah di lapangan peneliti mulai melaksanakan penelitian, dengan terlebih dahulu mencari calon partisipan. Partisipan yang pertama dalam penelitian ini yaitu koordinator bimbingan


(55)

dan konseling sekolah. Dari koordinator bimbingan dan konseling di sekolah ini lah akan diperoleh partisipan lainnya yang terkait dengan masalah dalam

penelitian ini, seperti siswa yang mengalami broken home serta guru

bimbingan dan konseling yang ikut andil dalam mengatasi kenakalan remaja

broken home yang terjadi di sekolah tersebut.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam penelitian ini yaitu adanya isu etis, sehingga peneliti melakukan beberapa upaya agar hal tersebut dapat diminimalisir, yaitu antara lain dengan merahasiakan identitas partisipan. Sebab itu, dalam penelitian ini nama informan akan dirahasiakan yakni dengan mengunakan inisial huruf. Syarat lain dalam penelitian kualitatif yaitu informan memiliki hak untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh peneliti terhadap dirinya. Sehubungan dengan hal itu, maka peneliti akan mencoba menjelaskan secara lisan tujuan dilaksanakannya penelitian ini dan mengungkapkan peran informan tersebut sebagai sumber data yang relevan dalam penelitian ini.

G. Uji Instrumen Penelitian

Dalam suatu penelitian, hendaknya harus dilakukan dulu pengujian terhadap instrumen yang akan digunakan. Instrumen penelitian yang akan diuji adalah angket kenakalan remaja. Untuk menguji apakah instrumen yang digunakan sudah valid serta reliabel atau belum, maka perlu dilakukan uji coba instrumen. Hasil uji coba instrumen akan dianalisis untuk diketahui tingkat validitas dan reliabilitasnya. Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel.


(56)

1. Uji Validitas

Menurut Kartini (2006 : 99), "Alat ukur/pengukur yang berfungsi dengan baik akan mampu mengukur dengan tepat mengenai gejala-gejala sosial tertentu. Alat ukur tersebut disebut valid atau jitu".

Pengujian validitas instrument terhadap validitas konstruk. Validitas konstruksi dilakukan dengan analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrument dalam suatu faktor, dan mengkorelasikan skor factor dan skor total. (Sugiyono, 2011 : 177). Selanjutnya dalam memberikan interprestasi terhadap koefesien korelasi, Masrun menyatakan “item yang mempunyai korelasi positif dengan kriterium (skor total) serta korelasi yang tinggi, menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula, biasanya syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah kalau r = 0,30”. Jadi kalau korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,30 maka butir dalam instrument dinyatakan tidak valid. (dalam Sugiyono, 2010 : 188-189). Pengujian validitas instrument dalam penelitian ini dengan menggunakan program SPSS versi 17 for Windows.

2. Uji Reliabilitas

Uji reabilitas bertujuan untuk mengetahui apakah suatu instrument cukup dapat dipercaya untukdigunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument sudah baik.


(57)

Uji reabilitas dilakukan setelah semua butir instrumenya dinyatakan valid. Perhitungan reabilitas instrumen menggunakan rumus koefesien Alpha Cronbach dalam program SPSS versi 17 for Windows.

H. Analisis Data

Analisis data adalah “mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasikan data berdasarkan jenis variabel dari seluruh respoden, emnyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Untuk penelitian yang tidak merumuskan hipotesis, langkah terakhir tidak dilakukan. (Sugiyono, 2010 : 207)

Berdasarkan teori diatas, maka teknik analisis data yang dilakukan meliputi : Analisis data dalam penelitian ini adalah mengumpulan jawaban yang diperoleh melalui penyebaran angket dan dari jawaban tersebut kemudian dapat dianalisis berdasarkan skor setiap jawaban responden. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Mengelompokkan data berdasarkan variabel.

2. Membuat tabulasi data hasil jawaban ceklist responden secara

keseluruhan.

3. Menetapkan kategori kenakalan remaja akibat broken home dengan

beberapa katagori.

4. Melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah.

5. Menentukan besarnya persentase kenakalan remaja akibat broken home

siswa dan menetapkan persentasenya. Dengan menggunakan rumus : %

100

% x

N n


(58)

Dimana:

TP % = Tingkat persentase

n = Jumlah jawaban responden “Ya”


(59)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kenakalan remaja akibat

orang tua broken home. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,

diperoleh kesimpulan bahwa beberapa hal yang mengakibatkan kenakalan

remaja akibat orang tua broken home sebagai berikut :

1. Lingkungan rumah yang kurang baik, yang terdapat pada aspek :

- Kebiasaan orang-orang di sekitar rumah yang sering tidak harmonis

atau bermusuhan, dengan persentase sebesar 70,59 %.

- Tidak adanya kedisiplinan di rumah, dengan persentase sebesar 94,12 %

2. Orang tua memberikan contoh yang kurang baik pada anak, yang

terdapat pada aspek Orang tua yang kurang memperhatikan prestasi anak, dengan persentase sebesar 64,71 %.

3. Ketidak harmonisan dirumah, yang terdapat pada aspek Kurangnya

komunikasi orang tua, dengan persentase sebesar 73,53 %.

4. Factor lingkungan sekolah, yang terdapat pada aspek :

- Peraturan yang sangat kaku, dengan persentase sebesar 94,12 %.

- Peraturan yang tidak konsisten, dengan persentase sebesar 64,71 %.

- Senioritas sebagai upaya pendisiplinan, dengan persentase sebesar


(60)

- Wewenang senior terhadap juniornya, dengan persentase sebesar 100,00 %.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis maka saran yang dapat diajukan yaitu:

1. Guru Bimbingan dan Konseling.

Guru bimbingan dan konseling hendaknya lebih tanggap untuk menanggulangi kenakalan remaja di sekolah, dan berkoordinasi dengan

orang tua dalam menunjang perkembangan anak yang mengalami broken

home.

2. Orang tua.

- Orang tua hendaknya memberikan contoh yang baik pada anak dan

harus lebih memperhatikan prestasi anak.

- Menciptakan suasana harmonis dirumah, dengan lebih memperbanyak

komunikasi antar anggota keluarga.

3. Sekolah

- Membuat peraturan yang tidak kaku dan hendaknya sekolah konsisten

dengan aturan tersebut, sehingga anak dapat mematuhi aturan tersebut dengan baik

- Meminimalisir wewenang senior atau senioritas sebagai upaya


(1)

dan konseling sekolah. Dari koordinator bimbingan dan konseling di sekolah ini lah akan diperoleh partisipan lainnya yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini, seperti siswa yang mengalami broken home serta guru bimbingan dan konseling yang ikut andil dalam mengatasi kenakalan remaja broken home yang terjadi di sekolah tersebut.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam penelitian ini yaitu adanya isu etis, sehingga peneliti melakukan beberapa upaya agar hal tersebut dapat diminimalisir, yaitu antara lain dengan merahasiakan identitas partisipan. Sebab itu, dalam penelitian ini nama informan akan dirahasiakan yakni dengan mengunakan inisial huruf. Syarat lain dalam penelitian kualitatif yaitu informan memiliki hak untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh peneliti terhadap dirinya. Sehubungan dengan hal itu, maka peneliti akan mencoba menjelaskan secara lisan tujuan dilaksanakannya penelitian ini dan mengungkapkan peran informan tersebut sebagai sumber data yang relevan dalam penelitian ini.

G. Uji Instrumen Penelitian

Dalam suatu penelitian, hendaknya harus dilakukan dulu pengujian terhadap instrumen yang akan digunakan. Instrumen penelitian yang akan diuji adalah angket kenakalan remaja. Untuk menguji apakah instrumen yang digunakan sudah valid serta reliabel atau belum, maka perlu dilakukan uji coba instrumen. Hasil uji coba instrumen akan dianalisis untuk diketahui tingkat validitas dan reliabilitasnya. Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel.


(2)

1. Uji Validitas

Menurut Kartini (2006 : 99), "Alat ukur/pengukur yang berfungsi dengan baik akan mampu mengukur dengan tepat mengenai gejala-gejala sosial tertentu. Alat ukur tersebut disebut valid atau jitu".

Pengujian validitas instrument terhadap validitas konstruk. Validitas konstruksi dilakukan dengan analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrument dalam suatu faktor, dan mengkorelasikan skor factor dan skor total. (Sugiyono, 2011 : 177).

Selanjutnya dalam memberikan interprestasi terhadap koefesien korelasi, Masrun menyatakan “item yang mempunyai korelasi positif dengan kriterium (skor total) serta korelasi yang tinggi, menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula, biasanya syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah kalau r = 0,30”. Jadi kalau korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,30 maka butir dalam instrument dinyatakan tidak valid. (dalam Sugiyono, 2010 : 188-189). Pengujian validitas instrument dalam penelitian ini dengan menggunakan program SPSS versi 17 for Windows.

2. Uji Reliabilitas

Uji reabilitas bertujuan untuk mengetahui apakah suatu instrument cukup dapat dipercaya untukdigunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument sudah baik.


(3)

Uji reabilitas dilakukan setelah semua butir instrumenya dinyatakan valid. Perhitungan reabilitas instrumen menggunakan rumus koefesien Alpha Cronbach dalam program SPSS versi 17 for Windows.

H. Analisis Data

Analisis data adalah “mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasikan data berdasarkan jenis variabel dari seluruh respoden, emnyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Untuk penelitian yang tidak merumuskan hipotesis, langkah terakhir tidak dilakukan. (Sugiyono, 2010 : 207)

Berdasarkan teori diatas, maka teknik analisis data yang dilakukan meliputi : Analisis data dalam penelitian ini adalah mengumpulan jawaban yang diperoleh melalui penyebaran angket dan dari jawaban tersebut kemudian dapat dianalisis berdasarkan skor setiap jawaban responden. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Mengelompokkan data berdasarkan variabel.

2. Membuat tabulasi data hasil jawaban ceklist responden secara keseluruhan.

3. Menetapkan kategori kenakalan remaja akibat broken home dengan beberapa katagori.

4. Melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah.

5. Menentukan besarnya persentase kenakalan remaja akibat broken home siswa dan menetapkan persentasenya. Dengan menggunakan rumus :

% 100

% x

N n


(4)

Dimana:

TP % = Tingkat persentase

n = Jumlah jawaban responden “Ya”


(5)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kenakalan remaja akibat orang tua broken home. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa beberapa hal yang mengakibatkan kenakalan remaja akibat orang tua broken home sebagai berikut :

1. Lingkungan rumah yang kurang baik, yang terdapat pada aspek :

- Kebiasaan orang-orang di sekitar rumah yang sering tidak harmonis atau bermusuhan, dengan persentase sebesar 70,59 %.

- Tidak adanya kedisiplinan di rumah, dengan persentase sebesar 94,12 %

2. Orang tua memberikan contoh yang kurang baik pada anak, yang

terdapat pada aspek Orang tua yang kurang memperhatikan prestasi anak, dengan persentase sebesar 64,71 %.

3. Ketidak harmonisan dirumah, yang terdapat pada aspek Kurangnya

komunikasi orang tua, dengan persentase sebesar 73,53 %. 4. Factor lingkungan sekolah, yang terdapat pada aspek :

- Peraturan yang sangat kaku, dengan persentase sebesar 94,12 %. - Peraturan yang tidak konsisten, dengan persentase sebesar 64,71 %. - Senioritas sebagai upaya pendisiplinan, dengan persentase sebesar


(6)

- Wewenang senior terhadap juniornya, dengan persentase sebesar 100,00 %.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis maka saran yang dapat diajukan yaitu:

1. Guru Bimbingan dan Konseling.

Guru bimbingan dan konseling hendaknya lebih tanggap untuk menanggulangi kenakalan remaja di sekolah, dan berkoordinasi dengan orang tua dalam menunjang perkembangan anak yang mengalami broken home.

2. Orang tua.

- Orang tua hendaknya memberikan contoh yang baik pada anak dan harus lebih memperhatikan prestasi anak.

- Menciptakan suasana harmonis dirumah, dengan lebih memperbanyak

komunikasi antar anggota keluarga. 3. Sekolah

- Membuat peraturan yang tidak kaku dan hendaknya sekolah konsisten

dengan aturan tersebut, sehingga anak dapat mematuhi aturan tersebut dengan baik

- Meminimalisir wewenang senior atau senioritas sebagai upaya