PENGARUH KONSENTRASI IBA (Indole Butyric Acid) DAN JENIS MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT NANAS (Ananas comosus [L.] Merr) ASAL TUNAS MAHKOTA

(1)

ABSTRACT

EFFECT OF CONCENTRATION OF IBA (Indole Butyric Acid) AND TYPES OF MEDIA PLANTING TO GROWTH

OF PINEAPPLE (Ananas comosus [L.] Merr) SEEDLING FROM CROWN CUTTING

By

FIDIA OCTAVIA SARI

Pineapple is one type of fruit that has a very bright prospect agribusiness, both in the domestic and overseas markets. Domestic market demand for pineapple fruit tended to increase with increasing population and increasing public awareness of nutritional needs and the growing demand for industrial raw materials processing fruits. The state of a limited number of materials a constraint propagation seedlings in quantity and uniform in the field. Efforts to be made to obtain the seed from crown cutting. One of the environmental factors that affect the success of growing pineapple seed from crown cutting are types of media planting is used and implementation factors that support it are treatment in provision seedling are giving root auxin groups, such asIBA (Indole Butyric Acid).

This study was conducted to (1) determine the effect of IBA concentration on the growth of pineapple seedlings from crown cutting, (2) determine the effect of the type of growing media on growth of pineapple seedling from crown cutting, and (3) determine the effect of IBA concentration on the growth of pineapple seedling from crown cutting on each type of growing media.

The study was conducted since February until May 2012 in the greenhouse building Horticulture, Faculty of Agriculture, University of Lampung. The treatment design is a factorial (5x2) arranged in randomize completely block design with three replications.. The first factor is the concentration of IBA (A), which consists of: without IBA (a0), IBA 100 ppm (a1), IBA 200 ppm (a2), IBA 400 ppm (a3), and IBA 600 ppm (a4). The second factor is the type of planting medium (B), which consists of river sand (b1) and volcanic sand (b2). Means homogenity among the treatments were tested using Bartlett test and the aditivity data were tested with Tukey test. If both tests are not significance then data were analyzed with analysis of variance. Separation of means value were analyzed using Least Significant Difference (LSD) at 5 % significance level.

The results showed that the concentration of IBA 600 ppm treatment effect on seedling growth shown by the increasing number of roots produced. Treatment planting medium used had no effect on all observed variables. IBA concentration on root wet weight depending on the type of planting medium used.

Key words: Concentration of IBA (Indole Butyric Acid), pineapple, and types of media planting.


(2)

ABSTRAK

PENGARUH KONSENTRASI IBA (Indole Butyric Acid) DAN JENIS MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN

BIBIT NANAS (Ananas comosus [L.] Merr) ASAL TUNAS MAHKOTA

Oleh

FIDIA OCTAVIA SARI

Nanas merupakan salah satu jenis buah-buahan yang memiliki prospek agribisnis sangat cerah, baik di pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Permintaan pasar dalam negeri terhadap buah nanas cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan gizi dan meningkatnya permintaan bahan baku industri pengolahan buah-buahan. Keadaan jumlah materi perbanyakan yang terbatas menjadi kendala penyediaan bibit dalam jumlah banyak dan seragam di lapang. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh bibit tersebut adalah dengan setek tunas mahkota. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan penyetekan nanas adalah media tanam yang digunakan dan faktor pelaksanaan yang menunjangnya adalah perlakuan dalam penyetekan yaitu pemberian zat perangsang akar golongan auksin, seperti IBA (Indole Butyric Acid).

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh konsentrasi IBA terhadap

pertumbuhan bibit nanas asal tunas mahkota, (2) mengetahui pengaruh jenis media tanam terhadap pertumbuhan bibit nanas asal tunas mahkota, dan (3) mengetahui pengaruh

konsentrasi IBA terhadap pertumbuhan bibit nanas asal tunas mahkota pada masing-masing jenis media tanam.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Mei 2012 di rumah kaca gedung Hortikultura, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Perlakuan disusun secara faktorial (5x2) dalam Rancangan Kelompok Teracak Sempurna (RKTS) dengan tiga ulangan. Faktor pertama yaitu pemberian IBA (A), yang terdiri dari: tanpa IBA (a0), IBA 100 ppm (a1), IBA 200 ppm (a2), IBA 400 ppm (a3), dan IBA 600 ppm (a4). Faktor kedua adalah jenis media tanam (B) , yang terdiri dari media pasir kali (b1) dan pasir vulkanik (b2). Data yang diperoleh diuji dengan uji Bartlett untuk menguji homogenitas ragam dan uji Tukey untuk menguji sifat kemenambahan model. Bila kedua uji tersebut tidak nyata maka data dianalisis

ragam. Pemisahan nilai tengah menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf α

sebesar 5 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perlakuan konsentrasi IBA 600 ppm berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit yang ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah akar yang

dihasilkan. Perlakuan media tanam yang digunakan tidak berpengaruh pada semua variabel yang diamati. Konsentrasi IBA terhadap bobot basah akar bergantung pada jenis media tanam yang digunakan.


(3)

(4)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Mei 2012 di rumah kaca gedung Hortikultura, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, polybag diameter 20 cm, nampan, hand sprayer, kamera digital, kertas label, penggaris, alat tulis, kertas folio, tisue, bibit nanas kultivar Smooth Cayenne Lampung asal penyetekan daun mahkota, zat pengatur tumbuh IBA (Indole Butyric Acid), fungisida, pasir kali, pasir vulkanik, arang sekam, dan kompos.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan rancangan kelompok teracak sempurna secara faktorial (5x2). Faktor pertama yaitu konsentrasi IBA (A), yang terdiri dari: tanpa IBA (a0), IBA 100 ppm (a1), IBA 200 ppm (a2), IBA 400 ppm (a3), dan IBA 600 ppm (a4). Faktor kedua adalah jenis media tanam (B) yang terdiri dari media pasir kali (b1) dan pasir vulkanik (b2). Pemberian IBA dilakukan dengan cara penyemprotan masing-masing sebanyak tiga kali untuk setiap tanaman. Pengelompokan dilakukan

berdasarkan tinggi tanaman. Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Kesamaan ragam antarperlakuan diuji dengan Uji Bartlett, kemenambahan model diuji dengan Uji Tukey. Jika


(5)

asumsi terpenuhi, data dianalisis ragam. Pengujian hipotesis diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Peluang untuk melakukan kesalahan jenis pertama ditentukan sebesar 0,05.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan kegiatan yaitu persiapan media tanam, pemasangan label, persiapan bahan tanam, aplikasi IBA dan pemeliharaan. Skema pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema pelaksanaan penelitian.

3.4.1 Persiapan Media Tanam

Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari campuran kompos : arang sekam : pasir kali (b1) dan campuran kompos : arang sekam : pasir vulkanik (b2) dengan

Persiapan Media Tanam

Pemasangan Label

Pemeliharaan Aplikasi IBA Persiapan Bahan Tanam


(6)

perbandingan 1 : 1 : 1. Penyiapan media tanam dilakukan satu minggu sebelum tanam. Sebelum media digunakan, dilakukan pengukuran daya serap air pada sampel masing-masing jenis media tanam dengan menggunakan polybag (Gambar 4). Masing-masing jenis media dengan ukuran polybag yang sama ditimbang untuk mengetahui bobot awal, kemudian disiram sampai jenuh lalu dikeringanginkan selama 3x24 jam. Kemudian media ditempatkan kembali ke dalam polybag dan dilakukan penyiraman dengan air hingga jenuh dan ditimbang kembali untuk mengetahui daya serap air pada masing-masing media.

Gambar 4. Sampel media untuk analisis daya serap air.

3.4.2 Pemasangan Label

Pemasangan label dilakukan sebelum penanaman setek. Masing-masing polybag yang telah diisi dengan media tanam kemudian diberi label sesuai dengan perlakuan dan ulangan yang telah ditetapkan.

3.4.3 Persiapan Bahan Tanam

Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit nanas yang berasal dari mahkota buah (crown) kultivar Smooth cayenne yang telah berumur 8 bulan setelah

persemaian (Gambar 5). Bibit yang digunakan rata–rata telah memiliki 10 helai daun dengan tinggi berkisar 14 – 25 cm. Penanaman bibit nanas ke media tanam yang baru diawali


(7)

dengan pembongkaran tanaman. Pembongkaran tanaman dilakukan secara manual dengan tangan. Akar tanaman yang ada dipotong secara keseluruhan dengan menggunakan gunting. Setiap polybag yang digunakan masing–masing ditanami satu bibit nanas.

Gambar 5. Bibit nanas asal tunas mahkota.

3.4.4 Aplikasi IBA

Aplikasi IBA diberikan dalam bentuk cair dengan beberapa konsentrasi yaitu

0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 400 ppm, dan 600 ppm. Pemberian IBA dilakukan dengan cara penyemprotan dengan menggunakan hand sprayer sebelum bibit nanas ditanam ke dalam pot perlakuan (Gambar 6). Pemberian dilakukan secara berulang masing-masing sebanyak tiga kali yang diberikan pada pangkal tanaman sesuai dengan konsentrasi pada setiap perlakuan dan kemudian dikeringanginkan selama satu jam. Volume semprot yang digunakan sebanyak 2 ml/bibit dengan total bibit 120 batang yang terbagi dalam tiga ulangan. Bibit yang telah diberi IBA ditanam dalam polybag yang telah diisi media campuran kompos : arang sekam : pasir kali (b1) dan campuran kompos : arang sekam : pasir vulkanik (b2) dengan


(8)

Gambar 6. Tahapan aplikasi IBA.

3.4.5 Pemeliharaan

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma, pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari sehingga kelembaban media tanam terjaga karena suhu udara dalam rumah kaca cukup tinggi sehingga evapotranspirasi cukup tinggi dan dapat mempengaruhi pertumbuhan bibit yang ditanam. Untuk menghindari serangan cendawan, dilakukan penyiraman media tanam menggunakan fungisida sebelum tanam dengan konsentrasi 2 g/l sebanyak 240 ml/bibit tanaman nanas.


(9)

Penyiangan gulma dilakukan jika media tanam ditumbuhi gulma yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, dengan cara manual yaitu mencabut langsung gulma yang tumbuh pada media tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sebagai pencegahan dengan menjaga sanitasi lingkungan tumbuh tanaman. Pengendalian hama dilakukan secara manual dan mekanis yaitu dengan membuang secara langsung hama yang mengganggu tanaman serta memasang paranet di sekitar rumah kaca.

3.5 Variabel Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada saat bibit dari bahan tanam yang berumur 12 bulan berumur 3 bulan sejak bibit dipindahkan ke dalam pot perlakuan.

1. Jumlah akar (helai)

Perhitungan jumlah akar dilakukan dengan menghitung jumlah keseluruhan akar primer yang terbentuk dari setiap bibit kemudian diambil nilai rata-ratanya. Akar yang dihitung telah mencapai panjang minimal 1 cm. Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian.

2. Panjang akar primer (cm)

Pengukuran panjang akar dilakukan pada akar yang memiliki panjang minimal 1cm dengan menggunakan mistar. Pengukuran dilakukan dari pangkal sampai ujung akar kemudian diambil nilai rata–ratanya. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian.

3. Bobot basah akar (gram)

Perhitungan bobot basah akar dilakukan pada akhir penelitian. Perhitungan dilakukan dengan cara menimbang keseluruhan akar tanaman yang dihasilkan setelah dilakukan pemotongan akar pada tanaman sampel. Perhitungan bobot basah akar dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik.


(10)

4. Bobot kering akar (gram)

Bobot kering akar dihitung dengan terlebih dahulu mengeringkan akar pada oven bersuhu 70 o

C selama lebih kurang 24 jam kemudian ditimbang. Bobot kering akar dihitung pada akhir penelitian.

5. Pola pertumbuhan akar nanas

Pertumbuhan bibit nanas secara keseluruhan termasuk akar digambarkan dengan foto yang diambil dengan menggunakan kamera digital. Pengambilan gambar dilakukan pada akhir penelitian.

6. Pertambahan tinggi tanaman (cm)

Pertambahan tinggi tunas yaitu selisih antara tinggi tanaman pada akhir penelitian dengan tinggi tanaman awal perlakuan. Tanaman diukur dari pangkal tunas sampai ujung daun yang terpanjang kemudian diambil nilai rata-ratanya.

7. Pertambahan jumlah daun (helai)

Pertambahan jumlah daun yaitu jumlah daun yang tumbuh setelah perlakuan sampai akhir penelitian. Daun yang tumbuh di ujung tanaman (pucuk) ditandai sebagai daun yang dianggap sudah tumbuh sebelum perlakuan.

8. Panjang daun (cm)

Pengukuran panjang daun dilakukan pada akhir penelitian dengan cara diukur dari pangkal daun sampai ujung daun dengan menggunakan mistar. Pengukuran dilakukan pada daun tertinggi pertama dan kedua. Daun yang diukur adalah yang ukurannya besar yaitu pada posisi daun ke 5 – 7 dari pucuk tanaman.


(11)

9. Lebar daun (cm)

Pengukuran lebar daun dilakukan pada akhir penelitian dengan cara diukur permukaan daun terlebar dengan menggunakan mistar. Pengukuran dilakukan pada daun terlebar pertama dan kedua. Daun yang diukur adalah yang ukurannya besar yaitu pada posisi daun ke 5 – 7 dari pucuk tanaman.

10. Pertambahan bobot basah tajuk tanaman (gram)

Perhitungan bobot basah tajuk tanaman dilakukan pada akhir penelitian. Perhitungan dilakukan dengan cara menimbang tanaman sampel setelah pemotongan akar dengan

timbangan analitik. Data yang digunakan merupakan hasil selisih antara bobot tajuk tanaman pada akhir penelitian dengan bobot tajuk tanaman sebelum perlakuan.


(12)

PENGARUH KONSENTRASI IBA (Indole Butyric Acid) DAN JENIS MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN

BIBIT NANAS (Ananas comosus [L.] Merr) ASAL TUNAS MAHKOTA

(Skripsi)

Oleh

FIDIA OCTAVIA SARI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Morfologi tanaman nanas. ... 21

2. Proses pembentukan akar pada setek. ... 22

3. Skema pelaksanaan penelitian. ... 30

4. Sampel media untuk analisis daya serap air. ... 31

5. Bibit nanas asal tunas mahkota. ... 32

6. Tahapan aplikasi IBA. ... 33

7. Perkembangan akar bibit tanaman nanas umur 3 bulan setelah pembibitan (12 bulan dari penyetekan). ... 41

8. Perkembangan bibit tanaman nanas umur 3 bulan setelah pembibitan (12 bulan dari penyetekan) pada ulangan I. ... 57

9. Perkembangan bibit tanaman nanas umur 3 bulan setelah pembibitan (12 bulan dari penyetekan) pada ulangan II. ... 58

10. Perkembangan bibit tanaman nanas umur 3 bulan setelah pembibitan (12 bulan dari penyetekan) pada ulangan III. ... 59

11. Denah tata letak percobaan. ... 60


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

SANWACANA ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 4

1.3 Landasan Teori ... 4

1.4 Kerangka Pemikiran ... 11

1.5 Hipotesis ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1 Botani Tanaman Nanas ... 14

2.2 Morfologi Tanaman Nanas ... 16

2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Nanas ... 17

2.4 Perbanyakan Vegetatif Nanas ... 18

2.5 Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh terhadap Tanaman Nanas ... 23

2.6 Media Perbanyakan ... 24

III. BAHAN DAN METODE ... 29

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

3.2 Bahan dan Alat ... 29

3.3 Metode Penelitian ... 29

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 30

3.4.1 Persiapan Media Tanam ... 31

3.4.2 Pemasangan Label ... 31

3.4.3 Persiapan Bahan Tanam ... 32


(15)

3.4.5 Pemeliharaan ... 34

3.5 Variabel Pengamatan ... 34

I.V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1 Hasil Penelitian ... 38

4.2 Pembahasan ... 45

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1 Kesimpulan ... 51

5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

LAMPIRAN ... 56 Tabel 5 – 15 ... 61 – 72 Gambar 8 – 11 ... 57 – 60


(16)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1990. Dasar-Dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung. 85 hlm.

Acquaah, G. 2002. Horticulture – Principles and Practices. 2nd Edition. Prentice Hall, New Jersey. 787 p.

Alrasyid, H dan A. Widiarti. 1990. Pengaruh Penggunaan Hormon IBA terhadap Persentase Hidup Stek Khaya anthoteca. Buletin Penelitian Hutan No.523. P usat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. P.1 - 22

Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia. Jakarta. 485 hlm. Dwidjoseputro, D. 1990. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia. Jakarta. 342 hlm. Edmond, J.B., T.L. Senn, F.S. Andrews, andR.G. Halfacre. 1983. Fundamentals of

Horticulture. McGraw-Hill Book Co. Inc. New York. 560 p.

George, E.F. 1996. Plant Propagation by Tissue Culture. Second Edition 1993/1996. Exegetics Limited. England. Pp. 719 – 730.

Hanum, M. 2010. Pengaruh Jenis Media Tanam terhadap Pertumbuhan Bibit Tanaman Asparagus (Asparagus officinalis L.). (Skripsi). Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 38 hlm.

Hartmann, H.T., D.E. Kester, and F.T. Davies Jr. and R.L. Geneve. 1997. Plant

Propagation Principles And Practices. 6th ed. Pentice-Hall, Inc. Engle Wood. New York. 750 p.

Harjadi, S. S. 1989. Dasar-Dasar Hortikultura. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 506 hal.

Irwanto. 2001. Pengaruh Hormon IBA (Indole Butyric Acid) terhadap Persen Jadi Stek Pucuk Meranti Putih (Shorea montigena). (Skripsi). Universitas Pattimura. Ambon. 26 hlm.

Jiputro. 2011. Ragam Media Tanam. http://www.kebonkembang.com/panduan-dan-tip-rubrik-35/145-ragam-media-tanam.html. Diunggah pada tanggal 20 November 2011 pukul 20:08 WIB.


(17)

Kapisa, N dan E. Sapulete. 1994. Percobaan Stek Pucuk Anisoptera megistrocarpa. Buletin Penelitian Kehutanan Vol X (3). Parapat, Balai Penelitian Kehutanan Pematang

Siantar.

Krisantini, S. A. Aziz, Yudiwanti. 1993. Mempelajari Beberapa Pupuk dan Media untuk Budidaya Hidroponik Sederhana Pada Tanaman Hortikultura.

Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 32 hlm. Kusumo, S. 1984. Zat Pengatur Tum buh Tanaman. CV. Yasaguna. Jakarta.

75 hlm.

Lingga, P. dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. 150 hlm.

Lukitariati S., N.L.P. Indriyani, A. Susiloadi, dan M.J. Anwarudin. 1996. Pengaruh Naungan dan Konsentrasi Asam Indol Butirat terhadap Pertumbuhan Bibit Batang Bawah

Manggis. Jurnal Hortikultura 6 (3): 220 - 226.

Marliana, N., D. Rusnandi. 2007. Teknik aklimatisasi planlet anthurium pada beberapa media tanam. Buletin Teknik Pertanian. Vol. 12(1): 38-40.

McCown, B.H. 1988. Adventitious Rooting of Tissue Culture Plants. In: Adventitious Rooting Formations in Cutting: Advances in Plant Sciences Series. Vol 2. T.D. Davis, B.E. Haissing and N. Sankhla (Eds). Dioscorides Press. Portland, Oregon. Pp 289 – 302.

Murbandono. 2006. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta. 54 hlm. Nasa . 2005. Hormonik (Hormon Tumbuh / ZPT). http://www.supernasa. com /

2012/04/peran-dan-fungsi-hormonik.html.. Diakses pada 9 September 2012 pukul 19:29 WIB.

Nugroho E. D. S., Y. Sulyo dan R.H. Maaswinkel. 2004. Media dan Pemupukan NPK untuk Pengakaran Stek Krisan. Prosiding Seminar Nasional

Florikultura: Membangun Industri Florikultura yang Berdaya Saing Melalui Penerapan Inovasi Teknologi Berbasis Potensi Nasional Bogor, 4 - 5 Aug 2004. Balai Penelitian Tanaman Hias, Cianjur. Cianjur: 79 - 83. Poerwanto, R. 2003. Bahan Ajar Budidaya Buah-Buahan. Progam Studi

Hortikultura. Fakultas Pertanian. I nstitut Pertanian Bogor.

Prabowo, I. 2005. Teknik Perawatan Tanaman Nanas (Ananas comusus [L.] Merr) Lahan Kering di PT. Great Giant Pineaple Lampung Tengah. Laporan Praktik Umum. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 72 hlm.


(18)

Prihandini, P.W. dan Teguh P. 2007. Petunjuk Teknis Pembuatan Kompos Berbahan Kotoran Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Pasuruan. 27 hlm.

Purwanto, A.W. 2006. Aglonema Pesona Kecantikan Sang Ratu Daun. Kanisius. Yogyakarta. 80 hlm.

Pusat Kajian Buah Tropika. 2008. Perbanyakan Massal Bibit Nenas dengan Stek Daun. PKBT LPPM Institut Pertanian Bogor. Bogor. 20 hlm.

Rahardja, P.C. 1993. Kultur Jaringan:Teknik Perbanyakan secara Modern. Penebar Swadaya. Jakarta 52 hlm.

Rachmawati, .Y.A. 2008. Pengaruh Konsentrasi IBA dan Jumlah Buku pada Keberhasilan Penyetekan Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz and Pav.) dengan Media Pasir Malang. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 61 hlm.

Ramadiana, S. 2008. Respon Pertumbuhan Setek Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata

var. Lorentii) Pada Pemberian Berbagai Konsentrasi IBA dan Asal Bahan Tanam. Prosiding Dies ke- 43 UNILA. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.

Rismunandar. 1995. Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. 58 hlm. Rocky. 2009. Sejarah Morfologi dan Klasifikasi Nanas. http://rocky16

amelungi..wordpress.com/2009/08/26/74/. Diakses pada 27 Agustus 2012 pukul 00:27 WIB.

Rukmana, R. 1995. Nanas Budidaya dan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. 60 hlm. Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Plant Physiology. Third Edition. WadsworthPubl.

Co. Belmont, California. 343 p.

Samson, J.A. 1986. Tropical Fruits-Tropical Agriculture Series. 2nd edition. John Wiley and Sons, Inc. New York. 335 p.

Sintia, M. 2007. Pengaruh Beberapa Dosis Kompos Jerami Padi dan Pupuk Nitrogen Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt.).

http://repository. unand.ac.id/16790/ 1/jurnal_ MEGI_SINTIA_(07111024).pdf. Diakses 27 Juli 2012 pukul 00:17 WIB.

Sunarjono, H.H. 2000. Prospek Perkebunan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta. 176 hlm. Super-Grow. 2007. Indole-3-Butyric Acid. http://www.Supergrow.biz./

IndoleButiricAcidPlantRooting Hormone.jsp. Diakses tanggal 27 Juli 2012 pukul 19:29 WIB.


(19)

Sutiyoso, Y. 2004. Anggrek Potong Dendrobium. Penebar Swadaya. Jakarta. 78 hlm.

Tim Karya Tani Mandiri. 2010. Pedoman Bertanam Buah Nanas. Nuansa Aulia. Bandung. 176 hlm.

Tohir, K. A. 1981. Pedoman Bercocok Tanam Pohon Buah-Buahan. Pradnya Paramita. 328 hal.

Verheij, E. W. M. dan R. E. Cornel. 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2 Buah-Buahan yang Dapat Dimakan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan

Tanaman PAU Bioteknologi IPB. Bogor. 145 hlm.

Weaver, R. J. 1972. Plant Growth Substances in Agriculture. W. H. Freeman Co. San Fransisco. pp 119 - 121.

Widyastuti, Y.E. 2000. Mengenal Buah Unggul Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta. 256 hlm.

Wiguna, I. 2007. Berkebun Organik dengan Cocopeat. Trubus. Jakarta. 98 hlm.

Wudianto, R. 1999. Membuat Setek, Cangkok, dan Okulasi. Penebar Swadaya. Jakarta. 150 hlm.

Wuryaningsih, S. dan Darliah. 1994. Pengaruh Media Sekam Padi terhadap

Pertumbuhan Tanaman Hias Pot Spathiphyllum. Buletin Penelitian Tanaman Hias Vol 2(2) : 119 - 129.

Yasman, I dan W.T.M.Smits. 1988. Metode Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Balai Penelitian Kehutanan. Samarinda. Hlm. 23 – 31.


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Prospek agribisnis nanas sangat cerah, baik di pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Permintaan pasar dalam negeri terhadap buah nanas cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan gizi dan meningkatnya permintaan bahan baku industri pengolahan buah-buahan.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik, produksi buah nanas di Indonesia selama lima tahun terakhir, terhitung sejak tahun 2005 hingga 2010 mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar ± 45 %. Tahun 2005 produksi nanas sebanyak 925.082 ton per tahun dan tahun 2010 produksi nanas mencapai angka 1.406.445 ton per tahun. Selain dikonsumsi segar, nanas juga dapat diolah menjadi produk makanan dan minuman, seperti selai, sari buah, koktail, dan lain-lain (Sunarjono, 2000).

Menurut Collins (1960) dalam Prabowo (2005), tanaman nanas dapat diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan cabang-cabang vegetatif seperti tunas yang tumbuh dari batang yang terletak di bawah permukaan tanah (ratoon sucker), tunas yang tumbuh dari mata tunas aksilar pada batang (shoot), tunas yang tumbuh di dasar buah (slips), dan tunas yang tumbuh di pucuk buah (crown). Semua materi perbanyakan tersebut memiliki

keterbatasan dalam jumlah materi tanaman yang dihasilkan.

Keadaan bahan tanam yang terbatas tersebut menjadi kendala penyediaan bibit dalam jumlah banyak dan seragam di lapang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh


(21)

bibit adalah dengan setek tunas mahkota, namun tanaman yang tumbuh tidak disertai dengan pertumbuhan perakaran yang padat. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk

meningkatkan pertumbuhan akar pada tumbuhan dengan menggunakan zat pengatur tumbuh (zpt).

Perbanyakan bibit nanas dengan setek tunas mahkota memiliki keunggulan karena dari satu mahkota nanas dapat dihasilkan bibit sekitar 20 – 25 sehingga bibit nanas yang dapat dihasilkan cukup banyak. Selain itu, perbanyakan dengan setek tunas mahkota nanas ini membutuhkan waktu yang relatif singkat, bibit yang dihasilkan seragam, dan lebih mudah untuk ditransportasikan jika dibandingkan dengan bahan perbanyakan lainnya (Pusat Kajian Buah Tropika, 2008).

Perbanyakan tanaman nanas dengan setek tunas mahkota ini terutama dibutuhkan untuk pengembangan tanaman nanas di daerah-daerah selain sentra produksi nanas dalam skala pembukaan lahan yang cukup luas. Selain itu, jumlah bibit yang dihasilkan dari tunas batang jumlahnya terbatas sekitar dua hingga tiga anakan sehingga teknik perbanyakan tanaman dengan setek tunas mahkota ini perlu dilakukan untuk memperoleh jumlah bibit yang lebih banyak dalam waktu yang relatif singkat.

Keberhasilan perbanyakan tanaman dengan cara setek dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam berupa tanaman yang salah satunya adalah bahan setek yang digunakan dan faktor luar terdiri dari faktor lingkungan dan faktor pelaksanaan. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan penyetekan nanas adalah media tanam yang digunakan dan faktor pelaksanaan yang menunjangnya adalah perlakuan dalam penyetekan salah satunya pemberian zat perangsang akar (Hartmann, Kester, Davies, dan Geneve, 1997). Jenis zpt yang umum digunakan untuk memacu perakaran tanaman nanas adalah golongan auksin, seperti IBA (Indole Butyric Acid). Pemberian zpt itu sendiri


(22)

dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan perendaman, pengolesan pasta, atau penyemprotan berkala.

Menurut Purwanto (2006), media tumbuh berfungsi sebagai tempat tumbuh tanaman serta penyedia air dan hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Menurut Prayugo (2007), media tanam yang digunakan umumnya cenderung identik dengan tanah. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, media tanam pengganti tanah mulai digunakan, di antaranya arang sekam, pasir, serta bahan organik seperti kompos. Berdasarkan penelitian Rachmawati (2008), media tanam yang baik pada penyetekan sirih merah adalah campuran pasir malang dan sekam karena memiliki porositas yang tinggi serta memiliki kandungan mineral. Selain itu, pasir malang yang merupakan pasir vulkanik ini memiliki kandungan silika (SiO) yang tinggi sehingga membuat kualitasnya menjadi sangat baik (Jiputro, 2011).

Sehubungan dengan permintaan pasar untuk buah nanas yang semakin meningkat, produksi buah nanas itu sendiri mengalami kendala dalam hal menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dan berkualitas untuk memenuhi permintaan pasar tersebut. Dengan demikian, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan produksi bibit nanas yang berkualitas dengan

memanfaatkan bahan dari mahkota buah.

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian disusun sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh konsentrasi IBA terhadap pertumbuhan bibit nanas asal tunas mahkota.

2. Mengetahui pengaruh jenis media tanam terhadap pertumbuhan bibit nanas asal tunas mahkota.


(23)

3. Mengetahui pengaruh konsentrasi IBA terhadap pertumbuhan bibit nanas asal tunas mahkota pada masing-masing jenis media tanam.

1.3 Landasan Teori

Perbanyakan tanaman secara vegetatif pada nanas dilakukukan untuk mendapatkan tanaman yang memiliki sifat sama dengan induknya. Bibit yang diperoleh melalui perbanyakan generatif yaitu dengan biji secara genetis tidak seragam karena mengalami segregasi. Oleh karena itu, produksi bibit nanas dalam jumlah yang banyak dan seragam dilakukan secara vegetatif, salah satunya dengan setek tunas mahkota. Namun tunas yang tumbuh dari penyetekan tunas mahkota memiliki perakaran yang tidak padat sehingga perlu usaha untuk memperbanyak pertumbuhan akar pada tunas tersebut.

Tujuan dari perbanyakan setek adalah tumbuhnya akar dan tunas. Sel-sel somatis yang telah dewasa mempunyai kemampuan kembali untuk membentuk tunas atau daun baru. Keadaan inilah yang memungkinkan untuk perbanyakan tanaman dengan menggunakan setek (Ashari, 1995).

Perbanyakan dengan cara setek menjadi pilihan bagi pengebun buah-buahan dan tanaman hias karena memerlukan bahan tanam sedikit, tetapi dapat diperoleh jumlah bibit tanaman dalam jumlah banyak. Tanaman yang dihasilkan dari setek biasanya mempunyai persamaan dalam umur, ukuran tunas, ketahanan terhadap penyakit dan sifat lainnya (Wudianto, 1999).

Salah satu cara perbanyakan setek tanaman nanas adalah dengan menggunakan tunas

mahkota (crown). Pemotongan setek menggunakan pisau atau gunting yang tajam dan steril berguna untuk menghasilkan permukaan potongan yang halus, sehingga akan mempermudah terjadinya pembentukan kalus pada bagian pangkal setek. Kalus inilah yang berperan penting untuk perakaran (Wudianto, 2005). Menurut Ashari (1995), kalus merupakan sekumpulan


(24)

sel-sel parenkim yang laju pertumbuhannya tidak seragam. Pembentukan kalus pada setek merupakan wujud daya tumbuh baru dari daya regenerasi tanaman.

Meskipun dalam penyetekan nantinya akan tumbuh akar dengan sendirinya, namun waktu yang dibutuhkan cukup lama. Oleh karena itu, perlu diberikan zat pengatur tumbuh untuk mempercepat pertumbuhan akar. Menurut Hartmann et. al. (1997), penggunaan zat pengatur tumbuh dapat menambah persentase setek berakar, mempercepat pertumbuhan akar,

menambah jumlah akar, dan meningkatkan mutu akar.

Zat pengatur tumbuh merupakan suatu senyawa organik bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, serta merubah proses fisiologi tumbuhan. Menurut Abidin (1990), pengatur pertumbuhan di dalam tanaman ada lima kelompok yaitu auksin, giberelin, sitokinin, etilen dan zat penghambat lainnya dengan ciri khas dan pengaruh yang berbeda pada proses fisiologis. Pengatur pertumbuhan yang penting dan efektif untuk merangsang pembentukan akar tanaman adalah golongan auksin (Rahardja, 1993). Auksin secara alami sudah terdapat dalam tanaman akan tetapi untuk lebih mempercepat proses perakaran setek maka perlu ditambahkan dalam jumlah dan konsentrasi tertentu untuk dapat merangsang perakaran (Yasman dan Smits, 1988).

Menurut Lingga (2001), keuntungan menggunakan zat pengatur tumbuh adalah dapat

memperbaiki sistem perakaran, mempercepat keluarnya akar bagi tanaman muda, membantu tanaman dalam menyerap unsur hara dari dalam tanah, dan menigkatkan proses fotosintesis. IBA (Indole Butyric Acid) merupakan salah satu zat pengatur tumbuh golongan auksin yang dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan akar (Wiesman et al,. 1989) dalamSalisbury dan Ross (1995).

Auksin sintetik seperti IAA dan IBA digunakan untuk mendorong pertumbuhan akar dari setek tanaman berkayu dan berbatang lunak. Menurut konsep Skoog dan Miller (1957)


(25)

dalam Yusnita (2003) bahwa dalam kultur jaringan dengan menggunakan eksplan empulur tembakau, pemberian nisbah auksin yang lebih tinggi daripada sitokinin akan mendorong pembentukan akar.

Auksin banyak disintesis di jaringan meristem di dalam ujung-ujung tanaman seperti pucuk, kuncup bunga, tunas daun dan lain-lainnya lagi (Dwidjoseputro, 1990). Kusumo (1984) menyatakan perakaran yang timbul pada setek disebabkan oleh dorongan auksin yang berasal dari tunas dan daun. Tunas yang sehat pada batang adalah sumber auksin dan merupakan faktor penting dalam perakaran.

Kadar auksin yang terdapat pada organ setek bervariasi. Pada setek yang

memiliki kadar auksin tinggi, lebih mampu menumbuhkan akar dan menghasilkan persen hidup setek lebih tinggi daripada setek yang memiliki kadar yang rendah. Sebagaimana diketahui bahwa auksin adalah jenis hormon penumbuh yang dibuat oleh tanaman dan berfungsi sebagai katalisator dalam metabolisme dan berperan sebagai penyebab perpanjangan sel (Alrasyid dan Widiarti, 1990).

Menurut Wudianto (1999), IBA mempunyai sifat yang lebih baik daripada IAA (Indole Acetic Acid) dan NAA (Naphthalena Acetic Acid). IBA yang diberikan pada setek berada di tempat pemberiannya tetapi IAA biasanya mudah menyebar ke bagian lain sehingga

menghambat perkembangan pertumbuhan pucuk, sedangkan NAA mempunyai kisaran (range) kepekatan yang sempit sehingga batas kepekatan yang meracuni dari zat ini sangat mendekati kepekatan optimum. Dengan demikian IBA paling cocok untuk merangsang aktivitas perakaran karena kandungan kimianya lebih stabil, daya kerjanya lebih lama, dan lebih persisten (Wattimena, 1988). Dengan semakin cepatnya pembentukan akar setek yang diberikan perlakuan IBA, semakin lebih baik sistem perakarannya sehingga air dan unsur-unsur hara dalam tanah yang diserap setek akan lebih banyak (Irwanto, 2001).


(26)

Dari sebuah penelitian memperlihatkan jumlah berkas pembuluh pada akar bertambah sehubungan dengan pemberian IBA. Mekanisme terbentuknya akar dengan pemberian auksin ini akan meningkatkan permeabilitas dinding sel yang akan mempertinggi penyerapan unsur, di antaranya N, Mg, Fe, dan Cu untuk membentuk klorofil yang sangat diperlukan untuk mempertinggi fotosintesis. Dengan fotosintesis yang semakin tinggi maka hasil

fotosintesis yang dihasilkan akan meningkat pula dan secara bersamaan auksin akan bergerak ke akar untuk memacu pembentukan giberelin dan sitokinin di akar yang akan membantu pembentukan dan perkembangan akar. Penambahan kandungan auksin eksogen di akar akan meningkatkan tekanan turgor akar sehingga giberelin dan sitokinin endogen di akar akan di angkut ke atas atau ke tajuk tanaman (Nasa, 2005).

Konsentrasi IBA yang digunakan tergantung jenis tanaman. Konsentrasi IBA yang

digunakan untuk tanaman berkayu adalah 3000 – 6000 ppm, tanaman semi berkayu 2000 – 4000 ppm, tanaman berbatang lunak 2000 – 3000 ppm, dan untuk tanaman herbaceous

adalah 500 - 1000 ppm (Super-Grow, 2007).

Menurut Irwanto (2001) penggunaan IBA pada dosis 100 ppm memberikan 83,33 persen setek tumbuh dan meningkatkan jumlah akar pada meranti putih (Shorea montigena) tetapi tidak meningkatkan pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun pada stek pucuk meranti putih. Hal ini lebih disebabkan oleh IBA yang memiliki sifat penyebaran (mobilitas) yang sangat kecil dan hanya berpengaruh pada tempat yang diberikan. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Alrasyid dan Widiarti (1990) bahwa Setek Khaya anthoteca yang direndam selama 1 - 3 jam dengan konsentrasi larutan zat pengatur tumbuh IBA 100 ppm menghasilkan rata-rata persen tumbuh yang berbeda nyata dengan persen hidup setek tanpa perlakuan zat pengatur tumbuh yaitu berkisar antara 85 - 97%. Sedangkan rata-rata persen hidup setek tanpa perlakuan zat pengatur tumbuh 61,25%.


(27)

Keberhasilan perbanyakan tanaman dengan cara setek ditentukan dengan pemilihan media tanam yang tepat. Hal tersebut karena media merupakan material yang bersentuhan langsung dengan akar, bagian tanaman yang sangat penting untuk penyerapan air dan unsur hara (Sintia, 2007). Media tanam yang baik adalah (1) cukup kuat untuk menahan pertumbuhan, (2) mampu menahan kelembaban, (3) sistem aerasi dan drainase yang baik, (4) bebas dari penyakit dan (5) salinitas rendah (Hartmann et. al., 1997). Keberhasilan setek tunas mahkota nanas ditunjang oleh media tanam yang baik dan sesuai dengan karakter tanaman sehingga diperlukan adanya komposisi media tanam yang tepat. Beberapa jenis bahan organik yang biasa digunakan sebagai media tanam antara lain arang sekam, dan kompos yang dicampur dengan bahan anorganik seperti pasir kali dan pasir vulkanik.

Yasman dan Smits (1984) dalam Irwanto (2001) menyatakan bahwa tekstur dan aerasi media tanam lebih mempengaruhi proses pengakaran bila dibandingkan dengan sifatkimianya seperti keasaman dan lain-lain. Oksigen yang cukup juga dapat mempercepat proses pengkaran.

Pasir dianggap sesuai dan memadai sebagai media pertumbuhan dan perakaran karena

mempunyai bobot yang cukup berat sehingga mempermudah tegaknya setek . Pasir vulkanik adalah batuan beku berupa lava dengan komposisi basaltic atau andesitic dengan struktur scoria atau vesicular (mempunyai rongga-rongga) akibat keluarnya gelembung gas selama erupsi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati (2008) bahwa pemberian IBA 2000 ppm berpengaruh pada waktu muncul tunas tanaman sirih merah dengan menggunakan media tanam pasir vulkanik. Hal ini diduga karena pasir vulkanik memiliki daya memegang air yang kuat sehingga tidak cepat kering.

Arang sekam juga biasa digunakan sebagai komponen media tanam. Menurut Sutiyoso (2004), arang sekam mempunyai rongga yang banyak sehingga bisa dijadikan media


(28)

mempunyai aerasi dan drainase yang baik. Media ini memiliki kelemahan kandungan hara yang rendah (kadar karboniumnya yang tinggi) dan mudah menyerap panas.

Selain pasir, pasir vulkanik dan arang sekam, kompos juga sering digunakan sebagai campuran media tanam. Kompos adalah zat akhir suatu proses fermentasi bahan organik dengan humifikasi fermentasi suatu pemupukan dicirikan oleh hasil bagi C/N yang menurun. Kompos mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan antara lain memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan, memperbesardaya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai, menambah daya ikat airpada tanah, memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah, mempertinggi dayaikat tanah terhadap zat hara, mengandung hara yang lengkap walaupun jumlahnyasedikit, membantu proses pelapukan bahan mineral, memberi ketersediaan bahanmakanan bagi mikroba.

Kompos dibuat dari bahan organik yang berasal dari bermacam-macam sumber. Dengan demikian, kompos merupakan sumber bahan organik dan nutrisi tanaman. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulose15 - 60%, hemiselulose 10 - 30%, lignin 5 - 30%, protein 5 - 30%, bahan mineral (abu) 3 - 5%, di samping itu terdapat bahan larut air panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea, garam amonium) sebanyak 2 - 30% dan 1 - 15% lemak larut eter dan alkohol, minyak dan lilin (Sutanto, 2002).

1.4 Kerangka Pemikiran

Di antara cara perbanyakan vegetatif, cara setek lebih ekonomis, lebih mudah, tidak memerlukan keterampilan khusus dan lebih cepat bila dibandingkan dengan cara perbanyakan vegetatif lainnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan penyetekan antara lain: umur setek, media, drainase media, intesitas cahaya, teknik pemotongan dan konsentrasi zpt yang digunakan.


(29)

Pada dasarnya penanaman setek memerlukan syarat-syarat tertentu yang perlu untuk

dipenuhi. Syarat-syarat tersebut antara lain: kelembaban tinggi > 80%, suhu 24 – 32 oC, dan media mempunyai aerasi yang baik dan juga dapat menjaga kelembaban media dengan baik. Pada saat mengambil bahan setek, pohon induk harus dalam keadaan sehat dan tidak sedang bertunas. Kondisi daun pada tunas mahkota yang hendak digunakan sebagai bahan setek sebaiknya berwarna hijau tua. Dengan demikian seluruh daun dapat melakukan fotosintesis yang menghasilkan zat makanan dan karbohidrat yang nantinya akan disimpan dalam organ penyimpanan, antara lain di batang. Karbohidrat pada batang ini penting sebagai sumber energi yang dibutuhkan pada waktu pembentukan akar baru.

Pengakaran dapat terjadi lebih cepat bila diberi zat pengatur tumbuh (zpt). Proses pemberian zpt harus memperhatikan jumlah dan konsentrasinya agar didapatkan waktu tumbuh dan sistem perakaran yang baik. Konsentrasi dan jumlah zat pengatur tumbuh tergantung pada faktor-faktor seperti umur bahan setek, waktu atau lamanya pemberiaan zpt, cara pemberian zpt, jenis tanaman dan sistem setek yang digunakan. Zat pengatur tumbuh auksin yang baik untuk perakaran tanaman adalah kelompok IBA (Indole Butyric Acid). IBA bersifat

persisten, artinya penguraiannya oleh enzim-enzim tanaman dapat dikatakan sangat lambat. Demikian juga translokasi (pengangkutan ke bagian lain) IBA berjalan lambat, sehinga IBA tetap berada di sekitar aplikasinya. Ketiga sifat tersebut menyebabkan IBA efektif dalam induksi perakaran.

Konsentrasi dalam penggunaan IBA merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap perkembangan akar. Penggunaan konsentrasi yang terlalu tinggi akan mencegah

pertumbuhan tunas dan akar, sedangkan konsentrasi yang terlalu rendah menjadi tidak efektif. Cara aplikasi IBA untuk memacu perakaran tanaman dapat dilakukan dengan cara pengolesan dalam bentuk pasta atau penyemprotan dalam bentuk larutan.


(30)

Selain penggunaan zpt yang tepat, media tanam juga merupakan komponen utama dalam menentukan keberhasilan perkembangan perakaran bibit hasil penyetekan. Media tanam yang akan digunakan harus disesuaikan dengan jenis tanaman yang ingin ditanam. Hal ini kerena setiap daerah memiliki kelembaban dan kecepatan angin yang berbeda. Secara umum, media tanam harus dapat menjaga kelembaban sekitar akar, menyediakan cukup udara, dan dapat menahan ketersediaan unsur hara. Pemilihan media tanam yang tepat diharapkan dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Beberapa jenis bahan organik yang biasa digunakan sebagai media tanam antara lain arang sekam dan kompos yang dicampur dengan bahan anorganik seperti pasir kali dan pasir vulkanik.

Aplikasi atau cara pemberian IBA dilakukan dengan cara penyemprotan dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu 0 (kontrol), 100 ppm, 200 ppm, 400 ppm dan 600 ppm. Pertumbuhan bibit nanas dari tunas mahkota tergantung dari konsentrasi IBA dan jenis media tanam yang digunakan.

1.5 Hipotesis

Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, dapat disusun hipotesis sebagai berikut:

1. Terdapat konsentrasi IBA yang terbaik dalam mempengaruhi pertumbuhan bibit nanas asal tunas mahkota.

2. Pertumbuhan bibit nanas asal tunas mahkota pada media bercampur pasir vulkanik lebih baik dibandingkan pasir kali.

3. Pengaruh konsentrasi IBA pada pertumbuhan bibit nanas asal tunas mahkota bergantung pada jenis media tanam yang digunakan.


(31)

Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhlukNya. Di bumi itu ada buah-buahan & pohon kurma yang mempunyai

kelopak mayang.

Dan biji-bijian yang berkulit & bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?

(QS. Ar Rahman: 10 - 13)

Karakter tidak dapat dikembangkan dalam kemudahan dan ketenangan. Hanya melalui berbagai pengalaman dan penderitaan

jiwa dapat diperkuat, visi dibersihkan, ambisi diilhami dan keberhasilan yang dicapai..


(32)

Alhamdulillahi Rabbil Alamin

Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT

Karya kecil ini kupersembahkan sebagai wujud bakti dan

sayangku kepada

Papa Mama tercinta atas Doa, cinta kasih, dan motivasi yang

selalu diberikan demi kesuksesanku..

Abang, kakak, dan adikku..

Sahabat

Sosok seorang “Yanda” yang kelak mengimamiku..

dan


(33)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 8 Oktober 1988, anak ketiga dari empat bersaudara yang merupakan putri dari pasangan Bapak Agus Syamsir dan Ibu Korlenawati.

Penulis mengawali pendidikan formal di Taman Kanak-Kanak (TK) Kartini Tanjung Karang diselesaikan pada tahun 1994, Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Langkapura diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Bandar Lampung

diselesaikan pada tahun 2003, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 7 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan program Diploma (D3) di Program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya Tanaman Pangan, Politeknik Negeri Lampung melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diselesaikan pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa alih program di Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah mengikuti Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura Indonesia 2011 dengan tema “Kemandirian Produk Hortikultura untuk Memenuhi Pasar Domestik dan Ekspor” yang diselenggarakan Perhimpunan Hortikultura Indonesia (PERHORTI) pada tanggal 23 – 24 November 2011.


(34)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Pengaruh Konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan Jenis Media Tanam terhadap Pertumbuhan Bibit Nanas (Ananas comosus [L.] Merr) Asal Tunas Mahkota” adalah salah

satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian di Universitas Lampung.

Selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak baik berupa informasi, saran, maupun dukungan moril dan materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:

1. Ibu Ir. Rugayah, M.P. selaku Pembimbing Pertama dan pembimbing akademik atas kesediaannya memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan, penelitian hingga proses penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Ir. Yohannes C. Ginting, M.P. selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya memberikan bimbingan dan arahan selama penulis melakukan penelitian sampai penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Ir. Kus Hendarto, M.S. selaku Penguji bukan pembimbing yang telah memberikan saran dan nasihat selama proses penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P. selaku Ketua Jurusan Agroteknologi. 5. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

6. Seluruh dosen dan staf Program Studi Agroteknologi atas bantuan dan semangat yang diberikan.


(35)

7. Papa dan Mama tercinta yang selalu memberikan doa, perhatian, kasih sayang, bantuan moril dan materil, serta motivasi yang luar biasa.

8. Abang, Kakak, dan Adikku tersayang yang selalu menjadi motivasiku dalam melangkah meraih kesuksesan.

9. Keluarga besarku tersayang yang telah banyak membantu dan memberiku semangat selama ini.

10.Hidayat Saputra, S.P. atas doa, bimbingan, motivasi, waktu, tenaga, canda tawa, perhatian dan kasih sayangnya selama ini.

11.Rekan seperjuangan penulis “Kiyai” Itha Anggalia atas kerjasama, bantuan, motivasi, dan saran yang diberikan kepada penulis.

12.Teman-teman alih program POLINELA Randona Yeka Putri, Riyo Jatmiko, “Bli” Made Indra M., Tri Naftalia S., Prajanti Anuka Dewi, Yeffi, dan Surya A. Ginting atas

kebersamaan dan kerjasamanya.

13.Teman-teman Hortikultura ‘07, Agronomi ’06 dan ’07, Budidaya Perairan ’11, dan keluarga kecilku di THP Julfi R. Amelia, Ike, Hartono, Thifa, dkk. atas bantuan, kebersamaan, dan semangat yang telah diberikan.

14.Sahabat-sahabatku Vivi, Choirul, Nia, Desi, Rahma, Ika terimakasih atas doa,

persahabatan dan keceriaan yang selalu menjadi semangatku selama proses penyelesaian skripsi ini.

15.Adik-adik tingkatku angkatan ’08, ’09, ’10, ’11 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, serta semua pihak yang telah banyak membantu selama penulis melakukan penelitian sampai penyelesaian skripsi ini.


(36)

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin.

Bandar Lampung, November 2012 Penulis,


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Tanaman Nanas

Tanaman nanas (Ananas comusus [L.] Merr) berasal dari Amerika Selatan (Brazilia) dibawa dalam perjalanan Columbus ke Amerika. Tanaman nanas masuk ke Indonesia pada abad ke- 15 (1599). Penanaman nanas di dunia berpusat di negara-negara Brazil, Hawaii, Afrika Selatan, Kenya, Pantai Gading, Mexico, dan Puerte Rico. Di Asia tanaman nanas ditanam di Negara-Negara Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia, daerah penghasil nanas yang terkenal selain Lampung ialah Subang, Bogor, Riau, Palembang, dan Blitar (Rukmana, 1995).

Taksonomi tanaman nanas menurut Widyastuti (2000), dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Kelas : Angiospermae (berbiji tertutup) Ordo : Farinosae (Bromeliales)

Famili : Bromiliaceae

Genus : Ananas

Species : Ananas comosus [L.] Merr

Kerabat dekat spesies nanas cukup banyak, terutama nanas liar yang biasa

dijadikan tanaman hias, misalnya A. braceteatus (Lindl) Schultes, A. Fritzmuelleri, A. erectifolius L.B. Smith, dan A. ananassoides (Bak) L.B. Smith.


(38)

Berdasarkan habitus tanaman, terutama bentuk daun dan buah dikenal empat jenis golongan nanas, yaitu: Cayenne (daun halus, tidak berduri, buah besar), Queen (daun pendek berduri tajam, buah lonjong mirip kerucut), Spanyol/Spanish (daun panjang kerdil, berduri halus sampai kasar, buah bulat dengan mata datar) dan Abacaxi (daun panjang berduri kasar, buah silindris atau seperti piramida). Kultivar nanas yang banyak ditanam di Indonesia adalah golongan Cayenne dan Queen. Golongan Spanish dikembangkan di kepulauan India Barat, Puerte Rico, Mexico, dan Malaysia. Golongan Abacaxi banyak ditanam di Brazilia,

golongan nanas ini biasanya dibudidayakan untuk dimanfaatkan seratnya.

Nanas Cayenne bukan nanas asli Indonesia, melainkan hasil introduksi dari Eropa. Namun, nanas ini cocok ditanam di Indonesia sehingga sekarang telah menyebar di Indonesia. Ukuran buahnya sangat besar yaitu sekitar 2,5 kg per buah. Bentuk buahnya silinder dengan bagian ujung lebih kecil dibandingkan bagian pangkal. Bila matang kulit berwarna kuning orange berbelang hijau dan bermata buah

datar. Rasa daging buah nanas ini agak asam, kandungan airnya lebih banyak, serat buahnya lebih kasar, sehingga jenis ini lebih cocok untuk dijadikan nanas kaleng (Widyastuti, 2000).

2.2 Morfologi Tanaman Nanas

Tanaman nanas berbentuk semak dan hidupnya bersifat tahunan (perennial). Tanaman nanas terdiri dari akar, batang, daun, batang, bunga, buah dan tunas-tunas. Akar nanas dapat dibedakan menjadi akar tanah dan akar samping, dengan sistem perakaran yang terbatas. Akar-akar melekat pada pangkal batang dan termasuk berakar serabut (monocotyledonae).


(39)

Kedalaman perakaran pada media tumbuh yang baik tidak lebih dari 50 cm, sedangkan di tanah biasa jarang mencapai kedalaman 30 cm.

Batang tanaman nanas berukuran cukup panjang yaitu 20 - 25 cm atau lebih, tebal dengan diameter 2,0 - 3,5 cm, dan beruas pendek. Batang sebagai tempat melekat akar, daun bunga, tunas dan buah, sehingga secara visual batang tersebut tidak nampak karena disekelilingnya tertutup oleh daun. Tangkai bunga atau buah merupakan perpanjangan batang.

Daun nanas panjang, liat, dan tidak mempunyai tulang daun utama. Pada daun, umumnya ditumbuhi duri tajam dan ada yang tidak berduri. Tetapi ada pula yang durinya hanya ada di ujung daun. Duri nanas tersusun rapi menuju ke satu arah menghadap ujung daun.

Daun nanas tumbuh memanjang sekitar 130 - 150 cm, lebar antara 3 - 5 cm atau lebih, permukaan atas daun atas halus mengkilap berwarna hijau tua atau merah tua bergaris atau coklat kemerah-merahan. Sedangkan permukaan daun bagian bawah berwarna keputih-putihan atau keperak-perakan. Jumlah daun tiap batang tanaman sangat bervariasi antara 70 - 80 helai yang tata letaknya seperti spiral, yaitu mengelilingi batang mulai dari bawah sampai ke atas arah kanan dan kiri.

Nanas mempunyai rangkaian bunga majemuk pada ujung batangnya. Bunga bersifat hemaprodit dan berjumlah antara 100 – 200 bunga, masing-masing berkedudukan di ketiak daun pelindung. Jumlah bunga membuka setiap hari, berjumlah sekitar 5 - 10

kuntum. Pertumbuhan bunga dimulai dari bagian dasar menuju bagian atas memakan waktu 10 - 20 hari. Waktu dari menanam sampai terbentuk bunga sekitar 6 - 16 bulan.

Pada umumnya pada sebuah tanaman atau sebuah tangkai buah hanya tumbuh satu buah saja. Akan tetapi, karena pengaruh lingkungan dapat pula membentuk lebih dari satu buah pada satu tangkai yang disebut multiple fruit (buah ganda). Pada ujung buah biasanya tumbuh


(40)

tunas mahkota tunggal, tetapi ada pula tunas yang tumbuh lebih dari satu yang biasa disebut

multiple crown (mahkota ganda) (Rocky, 2009).

2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Nanas

Tanaman nanas dapat tumbuh pada keadaan iklim basah maupun kering, baik tipe iklim A, B, C maupun D, E, F. Tipe iklim A terdapat di daerah yang amat basah, B (daerah basah), C (daerah agak basah), D (daerah sedang), E (daerah agak basah), dan F (daerah kering) (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).

Tanaman nanas toleran terhadap kekeringan karena mempunyai sel-sel penyimpan air yang efektif (sukulenta) dan kisaran curah hujannya antara 1000 – 1.500 mm per tahun. Kondisi berawan pada musim hujan menyebabkan pertumbuhan terhambat, buah menjadi kecil, kualitas menurun dan kadar gula menjadi berkurang. Tanaman nanas cocok pada tanah liat berpasir karena mudah dikeringkan dan mengandung bahan organik tinggi dengan pH 4,5 – 6,5 serta mempunyai drainase yang baik karena tanaman yang terendam air akan mudah mengalami pembusukan akar. Akan tetapi, tanaman nanas dapat dibudidayakan pada tipe tanah yang sangat bervariasi, seperti tanah gambut yang mempunyai pH 3 – 5 (Verheij dan Cornel, 1997).

2.4 Perbanyakan Vegetatif Nanas

Tanaman nanas dapat diperbanyak dengan cara generatif maupun vegetatif. Akan tetapi, perbanyakan generatif tidak pernah dilakukan karena biji yang dapat dihasilkan oleh tanaman sedikit sekali. Selain itu, daya tumbuh bijinya sangat rendah dan apabila berhasil tumbuh maka keturunan yang diperoleh akan mengalami segregasi sehingga sifat yang diperoleh tidak sesuai dengan induknya. Hal tersebut menjadi salah satu kendala dalam menghasilkan benih nanas yang memiliki kemurnian serta daya tumbuh yang tinggi (Sunarjono, 2000).


(41)

Teknik generatif jarang dilakukan dalam perbanyakan nanas dan biasanya dipergunakan di balai penelitian untuk memperoleh varietas baru melalui perkawinan silang. Hal ini dikarenakan perbanyakan dari biji membutuhkan waktu yang lama dan mempunyai keragaman yang tinggi (Tohir, 1981).

Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk mempertahankan sifat unggul tanaman induk adalah dengan perbanyakan vegetatif. Perbanyakan vegetatif adalah proses pembiakan tanaman tanpa adanya peleburan sel kelamin jantan dengan sel kelamin betina. Dasar perbanyakan vegetatif adalah kemampuan sel-sel tanaman membentuk kembali jaringan-jaringan dan bagian-bagian tanaman lainnya menjadi suatu tanaman baru (Wudianto, 1999).

Perbanyakan vegetatif dilakukan dengan menggunakan bagian-bagian vegetatif dari tanaman, seperti mahkota buah pada tanaman nanas. Menurut Hartmann et. al. (1997), bagian tanaman yang biasa digunakan sebagai bahan perbanyakan adalah batanag, cabang, daun, pucuk, serta bagian lain yang mengandung tunas yang dapat berkembang menjadi individu baru. Menurut Pusat Kajian Buah Tropika (2008), jumlah potongan daun yang dapat dihasilkan dari mahkoa lebih banyak yaitu dari satu mahkota mampu menghasilkan 20 – 25 bahan setek sehingga berpotensi untuk menghasilkan bibit lebih banyak.

Perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatifnya memiliki beberapa keuntungan, diantaranya yaitu tanaman yang diperoleh memiliki sifat yang sama dengan induknya sehingga sifat-sifat unggul yang dimiliki tanaman induk dapat dipertahankan. Selain itu, tanaman yang diperoleh dengan perbanyakan vegetatif dapat lebih cepat berbunga dan berbuah karena tanaman yang digunakan sebagai tanaman induk telah melewati masa juvenil.


(42)

Setek adalah salah satu teknik pembiakan vegetatif yang dilakukan dengan cara melakukan pemisahan atau pemotongan bagian batang, akar atau daun dari pohon induknya.

Perbanyakan yang dilakukan dengan cara setek akan terbentuk individu baru dengan genotipe sama dengan induknya (Hartmann, et al., 1997). Dengan demikian di samping bertujuan untuk perbanyakan, teknik ini juga sangat membantu program pemuliaan tanaman yang bertujuan untuk mempertahankan sifat induknya.

Perbanyakan tanaman dengan setek dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor tanaman, faktor lingkungan, dan faktor pelaksanaan. Faktor tanaman meliputi macam bahan setek (umur bahan setek, adanya tunas dan daun pada setek), kandungan bahan makanan, dan kandungan zat pengatur tumbuh pada bahan setek. Faktor lingkungan meliputi media pertumbuhan, kelembaban, temperatur, dan cahaya. Faktor pelaksanaan meliputi perlakuan sebelum pengambilan bahan setek, waktu pengambilan setek, pemotongan setek dan pelukaan, penggunaan zat pengatur tumbuh, keberhasilan, dan pemeliharaan (Hartmann, et al., 1997).

Menurut Hartmann et al. (1997), perbanyakan dengan menggunakan setek mempunyai beberapa kelebihan antara lain (1) bibit dapat diperoleh dalam jumlah besar dan waktu yang relatif singkat, (2) tanaman cukup homogen dan dapat dipilih dari bahan tanaman yang mempunyai kualitas tinggi yang diturunkan dari induknya, (3) membutuhkan bahan setek yang sedikit, (4) populasi tanaman yang dihasilkan relatif seragam, dan (5) mudah dan tidak memerlukan teknik yang rumit.

Menurut Samson (1986), bahan tanaman yang dapat digunakan sebagai bibit nanas (Gambar 1.) antara lain (1) ratoonsucker yaitu tunas yang tumbuh dari batang yang terletak di bawah permukaan tanah, (2) shoot yaitu tunas yang tumbuh dari mata tunas aksilar pada batang, (3)

slips yaitu tunas yang tumbuh di dasar buah, perkembangan dari mata tunas pada tangkai buah, dan (4) crown yaitu tunas yang tumbuh di pucuk buah.


(43)

Gambar 1. Morfologi tanaman nanas (Samson, 1986).

Keberhasilan penyetekan ditentukan oleh kemampuan bahan setek dalam membentuk akar. Perkembangan akar dipengaruhi oleh kandungan bahan makanan dalam bahan setek yang digunakan. Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), bahan setek yang mengandung

karbohidrat tinggi dan nitrogen cukup akan mempermudah terbentuknya akar. Pembentukan akar terjadi karena adanya dorongan auksin, karbohidrat, dan rooting cofactor (zat-zat yang berinteraksi dengan auksin) yang berasal dari daun atau tunas. Zat-zat tersebut akan

terakumulasi pada bagian dasar bahan setek dan akan merangsang pembentukan akar.

Menurut Hartmann et al. (1997), pada tanaman yang mengalami pelukaan sering terbentuk jaringan sel baru yang menutupi luka yang disebut kalus. Dalam kalus ini dapat terbentuk titik tumbuh akar maupun tunas baru. Pembentukan kalus merupakan gejala dari daya tumbuh baru atau regenerasi dari tanaman. Atas dasar hal tersebut dapat dinyatakan keberhasilan setek akar bergantung pada besar kecilnya daya pembentukan kalus pada potongan setek bagian bawah. Pembentukan akar adventif terjadi melalui beberapa tahap,

Slip


(44)

yaitu dediferensiasi sel-sel tertentu pada bagian dasar bahan setek, inisiasi akar di sekitar jaringan pembuluh meristematik, pembentukan primordia akar, dan pertumbuhan primordial akar menjadi akar baru. Berikut ini adalah skema pembentukan akar pada penyetekan tanaman menurut Hartmann et al. (1997) (Gambar 2).

Gambar 2. Proses pembentukan akar pada setek.

Terjadinya proses penggabungan antara co-faktor 1, co-faktor 2, co-faktor 3 (Isochlorogenic acid), co-faktor 4 (Oxygenatad terpenoids) dan auksin dalam membentuk co-faktor / IAA kompleks. Polyphenol oxydase mengontrol segala kemungkinan penghambatan atau kerusakan IAA sebelum terjadinya penggabungan. Co-faktor / IAA kompleks dan RNA merupakan awal pembentukan akar yang membutuhkan glukosa, campuran nitrogen, kalsium dan nutrisi lain.


(45)

Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik selain zat hara yang

dalam jumlah sedikit dapat mendorong (promote), menghambat (inhibit) maupun mengubah berbagai proses fisiologis tanaman. Zat pengatur tumbuh merupakan salah satu bahan sintetis atau hormon tumbuh yang mempengaruhi proses

pertumbuhan dan perkembangan tanaman melalui pembelahan sel, perbesaran sel dan diferensiasi sel (Hartmann et. al., 1997).

Salah satu zat pengatur tumbuh yang terkenal mendorong perpanjangan sel pucuk dan merangsang pertumbuhan akar adalah auksin. Auksin yang banyak digunakan adalah IAA (Indole Acetic Acid), IBA (Indole Butyric Acid) dan NAA (Naphtalene Acetic Acid). Auksin sintetik banyak digunakan untuk mendorong pertumbuhan akar dari setek tanaman berkayu dan berbatang lunak. Mekanisme kerja IAA dan IBA yaitu untuk mendorong pembelahan sel (Wattimena, 1988). Menurut Weaver (1972) terdapat tiga metode aplikasi auksin antara lain

(1) commercial powder preparation (metode pasta) ; (2) dilute solution soaking method (metode perendaman) ; (3) concentrated solution dip method (metode

celup cepat). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ramadiana (2008), konsentrasi IBA 2000 ppm menghasilkan pertumbuhan akar setek tanaman herbaceous terbaik pada variabel waktu muncul akar dan jumlah akar sedangkan tanpa IBA menghasilkan

pertumbuhan terbaik pada variabel waktu muncul tunas, persen setek bertunas dan bobot basah tunas.

2.6 Media Perbanyakan

Media tanam adalah tempat tumbuh akar tanaman serta menyuplai unsur hara yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Purwanto (2006),


(46)

media tanaman yang digunakan memiliki beberapa persyaratan, diantaranya mampu

mengikat dan menyimpan air dan hara dengan baik, memiliki aerasi dan drainase baik, tidak menjadi sumber penyakit, cukup porous sehingga mampu menyimpan oksigen yang

diperlukan untuk proses respirasi, tahan lama, serta mudah diperoleh. Pendapat lain meyatakan bahwa media perakaran yang baik adalah media yang cukup kuat dan padat sehingga bisa menahan setek tetap tegak, mengandung bahan yang dapat menahan

kelembaban, mempunyai sistem aerasi dan drainase yang baik, salinitasnya rendah, bebas dari penyakit dan dapat disterilkan tanpa mempengaruhi unsur-unsur yang terkandung di dalam media tanam (Hartmann et al., 1997).

Media tumbuh sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi tanaman optimal. Kondisi media tanam yang ideal bisa didapatkan dari kombinasi antara bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik dapat berupa cacahan pakis,

kompos, humus, serbuk gergaji, arang sekam, dan cocopeat. Bahan anorganik dapat berupa tanah, pasir, pasir malang, batu kerikil, dan hydrogel. Media tanam terdiri dari dua tipe yaitu campuran tanah (soil-mixes) yang mengandung tanah alami dan campuran tanpa tanah (soilles-mixes) yang tidak mengandung tanah (Harjadi, 1989).

Bahan campuran media tanam harus memiliki peranan khusus di dalam campuran tersebut. Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih media untuk dijadikan campuran adalah kualitas dari bahan tersebut, sifat kimia atau fisiknya, tersedia di pasaran, murah, mudah cara penggunaannya, dapat digunakan untuk berbagai macam tanaman, tidak membawa hama dan penyakit, mempunyai drainase, dan kelembaban yang baik, mempunyai pH yang sesuai dan mengandung unsur hara yang mendukung pertumbuhan tanaman (Acquaah, 2002).


(47)

Nanas membutuhkan media tanam yang sama dengan jenis tanaman sukulen lainnya. Tanaman sukulen pada umumnya tidak cocok pada media yang basah atau mengandung banyak air. Tanaman sukulen akan mudah terserang penyakit dan jamur terutama pada media yang lembab, maka dibutuhkan media yang bersifat porous dan tidak terlalu lembab sesuai dengan habitat aslinya daerah

tropis kering dan mempunyai iklim yang panas.

Keberhasilan setek tunas mahkota nanas ditunjang oleh media tanam yang baik dan sesuai dengan karakter tanaman sehingga diperlukan adanya komposisi media tanam yang tepat. Beberapa jenis bahan organik yang biasa digunakan sebagai media tanam antara lain arang sekam, dan kompos yang dicampur dengan bahan anorganik seperti pasir kali dan pasir vulkanik.

Arang sekam merupakan media yang diperoleh dari pembakaran sekam yang tidak sempurna (sebelum berubah menjadi abu). Hasil analisis Japanese Society dalam Krisantini et al. (1993), jenis arang sekam paling banyak ditempati oleh SiO2 (52%) dan C (31%), komponen lain adalah Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO dan CuO dalam jumlah sedikit serta bahan-bahan organik.

Arang sekam digunakan dalam campuran media sangat ringan (berat jenis = 0.2 kg/l), kasar sehingga sirkulasi udara tinggi (banyak pori), berwarna coklat

kehitaman sehingga dapat mengabsorpsi sinar matahari dengan efektif, dapat mengurangi pengaruh penyakit khususnya bakteri (Wuryaningsih, 1994). Media arang sekam merupakan media terbaik untuk pengakaran setek tanaman krisan (Nugroho et al., 2004). Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa media

arang sekam menghasilkan pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun terbaik pada planlet Anthurium hasil aklimatisasi (Marliana dan Rusnandi, 2007). Media


(48)

tanam arang sekam berfungsi sebagai deodorizer, yaitu penyerap bau tidak sedap dan racun dari hasil dekomposisi pada ruang perakaran, di samping itu arang mempunyai daya serap air yang tinggi.

Pasir digunakan sebagai media alternatif untuk menggantikan tanah. Pasir dianggap sesuai jika digunakan sebagai media untuk penyemaian benih, pertumbuhan bibit tanaman dan perakaran setek batang tanaman. Pasir berukuran

antara 0,5 sampai 0,2 mm sehingga cukup baik digunakan sebagai media tanam karena media tanam menjadi lebih mudah basah dan cepat kering oleh proses penguapan (Wiguna, 2007).

Pasir ditambahkan ke dalam media tanam untuk meningkatkan porositas media, tetapi pasir yang terlalu halus dapat menghalangi lubang-lubang drainase (Poerwanto, 2003). Pasir seharusnya difumigasi dan dipasteurisasi sebelum digunakan karena mengandung biji rumput liar dan berbagai patogen yang berbahaya.

Disisi lain, pasir sebagai media tanam juga memiliki kekurangan, seperti kadar garam yang tinggi pada media tanam dapat menyebabkan tanaman menjadi merana. Selain itu, organ-organ tanaman, seperti akar dan daun, juga memperlihatkan gejala terbakar yang selanjutnya mengakibatkan kematian jaringan (nekrosis) (Jiputro, 2011).

Pasir tidak menyediakan banyak unsur hara dan secara kimia pasir merupakan bagian dari media yang tidak bereaksi (Acquaah, 2002). Pasir sangat bagus digunakan sebagai media tanam nanas karena selain porositasnya tinggi, pasir mempunyai kapasitas tukar kation yang rendah sehingga sangat lambat dalam melepaskan unsur hara. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hanum (2010) bahwa komposisi media tanam campuran pasir, arang sekam, dan kompos memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan vegetatif pada


(49)

pembibitan tanaman asparagus. Pasir vulkanik merupakan salah satu media tanam yang banyak digunakan pada tanaman yang menyukai iklim kering seperti nanas, adenium, euphorbia, dan sanseviera.

Kompos adalah bahan-bahan organik yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya. Bahan-bahan organik tersebut seperti dedaunan, rumput, jerami, kotoran hewan dan lain-lain. Adapun kelangsungan hidup mikroorganisme tersebut didukung oleh keadaan lingkungan yang basah dan lembab (Murbandono, 2006).

Penggunaan kompos sebagai media tanam sangat baik, karena dapat memperbaiki mutu dan sifat tanah. Kompos mempunyai kemampuan menyediakan unsur hara mikro bagi tanaman, menggemburkan tanah, memperbaiki struktur dan tekstur tanah, memudahkan pertumbuhan akar tanaman, meningkatkan daya ikat tanah terhadap air serta mampu menyimpan air tanah lebih lama.


(50)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) berpengaruh nyata pada jumlah akar primer bibit tanaman nanas, tetapi tidak berpengaruh pada panjang akar primer, bobot basah akar, bobot kering akar, tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, dan bobot basah tajuk tanaman. Jenis media tanam tidak

berpengaruh nyata pada seluruh variabel pengamatan. Interaksi antara konsentrasi IBA dan jenis media tanam tidak berpengaruh nyata pada seluruh variabel pengamatan, kecuali pada bobot basah akar (Tabel 1).

Tabel 1. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh konsentrasi IBA dan jenis media tanam untuk semua variabel pengamatan pertumbuhan bibit tanaman nanas.

Variabel pengamatan Konsentrasi IBA (A)

Jenis Media tanam (B)

Pengaruh Interaksi AxB


(51)

Jumlah akar * tn tn

Panjang akar tn tn tn

Bobot basah akar tn tn *

Bobot kering akar tn tn tn

Tinggi tanaman tn tn tn

Jumlah daun tn tn tn

Panjang daun tn tn tn

Lebar daun tn tn tn

Bobot tajuk tanaman tn tn tn

Keterangan:

* = nyata pada α = 5% tn = tidak nyata pada α = 5%

Tabel 2. Pengaruh perlakuan konsentrasi IBA dan jenis media tanam terhadap pertumbuhan bibit tanaman nanas.

Perlakuan Variabel pengamatan Panjang akar (cm) Bobot kering akar (g) Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun (helai) Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) Bobot tajuk (g)


(52)

a0b1 19,88a 0,15a 7,01a 7,34a 26,87a 2,77a 28,98a

a0b2 19,61a 0,14a 7,96a 8,02a 26,00a 2,81a 32,77a

a1b1 18,62a 0,20a 8,20a 7,92a 27,56a 2,86a 43,96a

a1b2 21,12a 0,17a 8,13a 7,46a 27,54a 2,77a 40,28a

a2b1 21,09a 0,22a 7,36a 7,99a 27,19a 2,88a 41,39a

a2b2 19,66a 0,11a 8,43a 7,42a 28,20a 2,83a 31,27a

a3b1 20,00a 0,15a 6,38a 8,23a 25,95a 2,75a 46,34a

a3b2 20,23a 0,15a 6,89a 7,41a 26,34a 2,66a 34,71a

a4b1 20,37a 0,12a 6,38a 8,29a 24,87a 2,60a 21,08a

a4b2 19,35a 0,16a 6,06a 7,81a 24,57a 2,67a 29,22a

Rata-rata 19,99 0,16 7,28 7,79 26,51 2,76 35,00

BNT 5% 4,17 0,09 2,19 1,32 3,13 0,25 20,17

Keterangan:

a0 = Tanpa IBA b1 = Media tanam pasir kali a1 = Konsentrasi IBA 100 ppm b2 = Media tanam pasir vulkanik a2 = Konsentrasi IBA 200 ppm

a3 = Konsentrasi IBA 400 ppm a4 = Konsentrasi IBA 600 ppm

4.1.1 Jumlah akar primer (helai)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) berpengaruh terhadap jumlah akar primer. Tanaman yang diberi IBA konsentrasi 600 ppm mampu menghasilkan jumlah akar pada bibit tanaman nanas terbanyak namun tidak berbeda dengan konsentrasi 200 dan 400 ppm dan berbeda dengan konsentrasi 0 dan 100 ppm

(Gambar 7). Perbedaan jenis media tanam tidak berpengaruh pada jumlah akar primer yang dihasilkan. Interaksi antara perlakuan konsentrasi IBA dan jenis media tanam tidak


(53)

Gambar 7. Perkembangan akar bibit tanaman nanas umur 3 bulan setelah pembibitan (12 bulan dari penyetekan).

Tabel 3. Pengaruh perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam terhadap jumlah akar primer bibit tanaman nanas.

Perlakuan Nilai tengah jumlah akar

--- buah ---

Tanpa IBA 9,24 c

Konsentrasi IBA 100 ppm 10,33 bc Konsentrasi IBA 200 ppm 12,10 ab Konsentrasi IBA 400 ppm 11,20 ab Konsentrasi IBA 600 ppm 12,30 a BNT 5% 1,95 Media tanam pasir kali 11,50 a Media tanam pasir vulkanik 10,57 a BNT 5% 1,23

Keterangan: Dua nilai tengah yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda menurut

uji BNT pada α = 5%.

4.1.2 Panjang akar primer (cm)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap panjang akar bibit tanaman nanas. Nilai rata-rata panjang akar pada bibit tanaman nanas 19,99 cm dengan kisaran 18,62 cm – 21,12 cm (Tabel 2).


(54)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) terhadap bobot basah akar bergantung pada jenis media tanam (Tabel 4). Bobot basah akar yang dihasilkan oleh tanaman yang diberi IBA dengan konsentrasi 200 ppm dengan

menggunakan media tanam pasir kali nilainya tertinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi lainnya, sedangkan pada penggunaan media tanam pasir vulkanik, bobot basah akar tertinggi dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan IBA konsentrasi 600 ppm.

Tabel 4. Pengaruh perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam terhadap bobot basah akar bibit tanaman nanas.

Perlakuan

NIlai tengah bobot basah akar Media tanam

Media tanam pasir kali Media tanam pasir vulkanik Konsentrasi IBA

--- g ---

0 ppm 0,56

abc (A)

0,56ab (A)

100 ppm 0,79

ab (A)

0,59ab (A)

200 ppm 0,86

a (A)

0,41b (B)

400 ppm 0,54

bc (A)

0,57ab (A)

600 ppm 0,47

c (A)

0,77a (A) BNT 5% 0,31


(55)

Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf kecil dibaca secara vertikal dan yang diikuti dengan huruf besar dibaca secara horizontal.

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama baik secara vertikal maupun horizontal tidak menunjukkan perbedaan.

4.1.4 Bobot kering akar (gram)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap bobot kering akar bibit tanaman nanas. Nilai rata-rata bobot kering akar pada bibit tanaman nanas 0,16 gram dengan kisaran 0, 11 gram – 0,22 gram (Tabel 2).

4.1.5 Penambahan tinggi tanaman (cm)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)dan jenis media tanam serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap penambahan tinggi bibit tanaman nanas. Nilai rata-rata tinggi tanaman nanas 7,28 cm dengan kisaran 6,06 cm – 8,43 cm (Tabel. 2).

4.1.6 Penambahan jumlah daun (helai)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap penambahan jumlah daun bibit tanaman nanas. Nilai rata-rata jumlah daun tanaman nanas 7,86 helai dengan kisaran 7,34 – 8,58 helai (Tabel 2).

4.1.7 Panjang daun (cm)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap panjang daun bibit tanaman


(56)

nanas. Nilai rata-rata panjang daun bibit tanaman nanas 26,51 cm dengan kisaran 24,57 cm – 28,20 cm (Tabel 2).

4.1.8 Lebar daun (cm)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap lebar daun bibit tanaman nanas. Nilai rata-rata lebar daun bibit tanaman nanas 2,76 cm dengan kisaran 2,60 cm – 2,88 cm (Tabel 2).

4.1.9 Penambahan bobot basah tajuk (gram)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam serta interaksinya tidak berpengaruh pada penambahan bobot tajuk bibit tanaman nanas. Nilai rata-rata penambahan bobot tajuk bibit tanaman nanas 35,00 gram dengan kisaran 21,08gram – 46,34 gram (Tabel 2).

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian dan uji lanjut yang dilakukan dapat diketahui bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap beberapa variabel pengamatan yaitu panjang akar, dan bobot kering akar, tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, dan bobot tajuk bibit tanaman nanas. Menurut Irwanto (2001) bahwa IBA memiliki sifat penyebaran yang sangat kecil, sehingga apabila IBA diberikan pada akar, ia hanya akan menstimulasi pada bagian akar saja, dan kemungkinan kecil untuk mampu menstimulasi pertumbuhan pada bagian atas tanaman. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kapisa dan Sapulete (1994) bahwa pemberian zat pengatur tumbuh IBA tidak berpengaruh pada pertambahan daun dari setek pucuk Anisoptera megistocarpa. Alrasyid dan Widiarti (1990) menemukan hal yang sama


(1)

nanas. Nilai rata-rata panjang daun bibit tanaman nanas 26,51 cm dengan kisaran 24,57 cm – 28,20 cm (Tabel 2).

4.1.8 Lebar daun (cm)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap lebar daun bibit tanaman nanas. Nilai rata-rata lebar daun bibit tanaman nanas 2,76 cm dengan kisaran 2,60 cm – 2,88 cm (Tabel 2).

4.1.9 Penambahan bobot basah tajuk (gram)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam serta interaksinya tidak berpengaruh pada penambahan bobot tajuk bibit tanaman nanas. Nilai rata-rata penambahan bobot tajuk bibit tanaman nanas 35,00 gram dengan kisaran 21,08gram – 46,34 gram (Tabel 2).

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian dan uji lanjut yang dilakukan dapat diketahui bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan jenis media tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap beberapa variabel pengamatan yaitu panjang akar, dan bobot kering akar, tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, dan bobot tajuk bibit tanaman nanas. Menurut Irwanto (2001) bahwa IBA memiliki sifat penyebaran yang sangat kecil, sehingga apabila IBA diberikan pada akar, ia hanya akan menstimulasi pada bagian akar saja, dan kemungkinan kecil untuk mampu menstimulasi pertumbuhan pada bagian atas tanaman. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kapisa dan Sapulete (1994) bahwa pemberian zat pengatur tumbuh IBA tidak berpengaruh pada pertambahan daun dari setek pucuk Anisoptera megistocarpa. Alrasyid dan Widiarti (1990) menemukan hal yang sama


(2)

pada setek Khaya anthoteca yang diberi perlakuan zat pengatur tumbuh IBA, ternyata tidak mempengaruhi perkembangan tunas atau jumlah daun yang ada pada setek tersebut.

Pertumbuhan daun berkaitan erat dengan pertumbuhan tunas. Apabila pertumbuhan panjang tunas lebih cepat maka jumlah daun akan ikut bertambah pula, demikian terjadi sebaliknya. Edmond, et al. (1983) mengemukakan bahwa jika tanaman memiliki sumber karbohidrat dan nitrogen dalam jumlah yang besar dan didukung oleh faktor-faktor lingkungan yang

mendukung, maka tanaman akan memperlihatkan pertumbuhan daun. Kondisi awal bibit nanas yang digunakan sebagai bahan tanam penelitian diduga dalam keadaan kekurangan nutrisi. Hal tersebut dimungkinkan karena keterlambatan pemindahan bibit ke dalam media tumbuh baru.

Bahan tanam yang digunakan berupa bibit nanas hasil penyetekan daun mahkota yang berumur delapan bulan sejak masa semai yang ditanam dalam pot komuniti. Sedangkan tanaman nanas sebaiknya dilakukan pindah tanam pada usia tiga bulan sejak masa semai. Selain itu kemungkinan juga karena adanya perlakuan pemotongan akar tanaman nanas sebelum diberi IBA (Indole Butyric Acid).

Pemotongan akar dilakukan agar pertumbuhan akar hanya dipengaruhi oleh pemberian IBA dan tidak dipengaruhi oleh akar yang telah ada, karena dalam penelitian ini ingin dipelajari pengaruh IBA pada pembentukan akar untuk menyeragamkan pertumbuhan perakaran tersebut relatif sulit dilakukan maka semua akar dipotong. Dengan kondisi bibit yang kekurangan nutrisi dan dilakukannya pemotongan akar tanaman, diduga memacu lambatnya bibit nanas dalam penyerapan air dan unsur hara dalam tanah yang akan digunakan untuk memacu inisiasi akar dan pertumbuhan bagian atas tanaman lainnya, sehingga kurang respon terhadap pemberian IBA.


(3)

Menurut Super-Grow (2007), konsentrasi IBA yang digunakan tergantung jenis tanaman. Konsentrasi IBA yang digunakan untuk tanaman berkayu adalah 3000 – 6000 ppm, tanaman semi berkayu 2000 – 4000 ppm, tanaman berbatang lunak 2000 – 3000 ppm, dan untuk tanaman herbaceous adalah 500 - 1000 ppm.

Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi IBA hanya berpengaruh pada jumlah akar bibit tanaman nanas yang dihasilkan. Bibit tanaman nanas yang diberi IBA konsentrasi 600 ppm mampu menghasilkan jumlah akar lebih banyak dibandingkan konsentrasi 0 dan 100 ppm, namun tidak berbeda dengan konsentrasi IBA 200 dan 400 ppm. Hal ini disebabkan pemberian IBA pada tanaman nanas di pembibitan sangat berperan dalam merangsang pembentukan dan pembesaran akar. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan McCown dan Wattimena (1987) bahwa pemberian IBA mampu meningkatkan kecepatan pengakaran sehingga kualitas dan vigor tanaman akan menigkat pula. Menurut Rismunandar (1995), satu senyawa aktif yang mengandung inti indole berfungsi untuk memperbanyak dan

mempercepat perakaran. Menurut Salisbury dan Ross (1995), IBA memegang peranan penting pada proses pembelahan dan pembesaran sel, terutama di awal pembentukan akar.

Dijelaskan pula oleh Rochiman dan Harjadi (1973) dalam Lukitariati et al. (1996) bahwa jenis auksin IBA bersifat unggul dan efektif dalam merangsang aktivitas perakaran, dikarenakan sifat kimianya yang stabil dan kemampuan kerjanya lebih lama. Menurut Wiesman et al. (1989) dalam Salisbury dan Ross (1995), IBA sangat aktif pada tempat yang diberikan, sekalipun cepat dimetabolismekan menjadi IBA-aspartat dan sekurangnya menjadi suatu konjugat dengan peptida lainnya. Salisbury dan Ross (1995) menjelaskan akibat terbentuknya konjugat tersebut diduga dapat menyimpan IBA, yang kemudian secara bertahap dilepaskan. Akibatnya konsentrasi IBA yang terikat akan digunakan pada tahap pembentukan akar selanjutnya.


(4)

Pertumbuhan akar disebabkan oleh IBA yang menginisiasi pemanjangan sel dengan cara mempengaruhi pengendoran atau pelenturan dinding sel. Dijelaskan oleh Salisbury dan Ross (1995), bahwa IBA mengakibatkan sel penerima mengeluarkan H+ ke dinding sel primer yang mengelilinginya dan kemudian menurunkan pH sehingga terjadi peningkatan elastisitas dinding dan pertumbuhan yang cepat, pH rendah ini diduga mengaktifkan enzim yang dapat memutuskan ikatan pada polisakarida dinding sel, sehingga memungkinkan dinding lebih mudah merengang.

Selain memacu pemanjangan sel yang menyebabkan pertumbuhan akar, akibat pemberian zpt pada dasarnya dapat meningkatkan pemanfaatan hara diantaranya N, Mg, Fe dan Cu untuk membentuk klorofil yang sangat diperlukan untuk meningkatkan fotosintesis. Dengan fotosintesis yang semakin meningkat akan dihasilkan hasil fotosintesis yang meningkat pula dan bersamaan dengan auksin akan bergerak ke akar untuk memacu pembentukan giberelin dan sitokinin di akar yang akan membantu pembentukan dan perkembangan akar. (Wareing, 1976) dalam Lukitariati et al. (1996).

Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan George (1996) bahwa pemberian larutan atau bubuk yang mengandung auksin akan meningkatakan jumlah akar yang terbentuk dan meningkatkan keberhasilan penyetekan. Hal tersebut didukung pula oleh pernyataan Samartin (1992) dalam George (1996) bahwa tanpa perlakuan auksin, tunas Camelia yang menghasilkan akar secara ex vitro hanya 20%, tetapi yang dicelupkan ke dalam larutan IBA tunas yang berakar mencapai 95%. Dengan pertumbuhan akar dan rambut akar yang baik maka jumlah akar dan bobot basah akar secara tidak langsung akan semakin meningkat pada bibit tanaman nanas.

Hal ini disebabkan IBA yang diberikan pada akar mampu memperbaiki tingkat pertumbuhan akar yang mengakibatkan proses penyerapan air dan bahan mineral menjadi lebih baik


(5)

sehingga mempengaruhi bobot basah akar pada bibit tanaman nanas. Namun besarnya bobot basah akar bibit nanas tidak sejalan dengan bobot kering akar bibit tanaman nanas yang dihasilkan. Hal ini diduga karena selama tiga bulan masa penelitian, bibit tanaman nanas yang diberi IBA baru mengalami pemanjangan sel untuk memacu pembentukan akar, sehingga akar yang terbentuk sebagian besar hanya mengandung air. Sehingga pada saat dilakukan pengovenan untuk mendapatkan bobot kering akar, terjadi penguapan kadar air dan penyusutan bobot akar yang cukup tinggi.

Secara umum, perlakuan jenis media tanam yang digunakan yaitu campuran kompos : arang sekam : pasir kali (b1) dan campuran kompos : arang sekam : pasir vulkanik (b2) tidak

memberikan pengaruh yang nyata pada keseluruhan variabel yang diamati. Berdasarkan hasil analisis daya serap air yang dilakukan selama 3x24 jam dengan tiga kali penimbangan media menunjukkan penurunan bobot media akibat jumlah kehilangan air yang cukup signifikan antara campuran media yang mengandung pasir kali dan pasir vulkanik namun tidak berbeda antara kedua jenis media tersebut.

Besarnya penurunan bobot media yang hilang pada campuran media tanam yang

mengandung pasir kali (b1) sebesar 418,03 gram dan sebesar 474,53 gram pada campuran

media yang mengandung pasir vulkanik (b2). Selisih bobot media sebesar 56,50 gram

menunjukkan perbedaan jumlah air yang diserap. Hal ini diduga karena kedua kelompok bahan tanam yang digunakan dalam penelitian memiliki sifat fisik yang cenderung sama, seperti mampu mengikat dan menyimpan air dan hara dengan baik, memiliki aerasi dan drainase baik, tidak menjadi sumber penyakit, cukup porous sehingga mampu menyimpan oksigen yang diperlukan untuk proses respirasi.

Sesuai dengan pernyataan Yasman dan Smits (1984) dalam Irwanto (2001) bahwa struktur dan aerasi yang baik lebih mempengaruhi pertumbuhan perakaran dibandingkan dengan sifat


(6)

kimianya, seperti keasaman dan kandungan unsur hara. Oksigen yang cukup dalam media juga mampu mempercepat proses pertumbuhan.

Selain itu, digunakan kompos sebagai salah satu campuran media tanam dapat meningkatkan daya ikat media tanam terhadap air serta mampu menyimpan air tanah lebih lama. Pada prinsipnya, penggunaan kompos sebagai salah satu komposisi media tanam dapat

menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik menjadi sama dengan nisbah C/N tanah. Nisbah C/N adalah hasil perbandingan antara karbohidrat dan nitrogen yang terkandung di dalam suatu bahan.

Berdasarkan data hasil analisis media tanam yang dilakukan, didapat bahwa campuran media tanam kompos : arang sekam : pasir kali dan campuran kompos : arang sekam : pasir

vulkanik keduanya memiliki nisbah C/N ratio < 30 (Lampiran). Menurut Prihandini dan Teguh Purwanto (2007) bahwa campuran media yang mengandung bahan organik dengan nisbah C/N < 30, memungkinkan bahan tersebut dan unsur-unsur lain dapat diserap oleh tanaman sehingga dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Kondisi ini menyebabkan pengaruh penggunaan media tanam pasir kali dan pasir vulkanik terhadap pertumbuhan bibit nanas tidak terlihat.


Dokumen yang terkait

PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI LARUTAN ZPT IBA (Indole Butyric Acid) DAN MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN STEK PUCUK MENTIGI (Vaccinium varingiaefolium (Bl) Miq)

0 7 26

RESPON MATA TUNAS NANAS (Ananas comosus (L) Merr) TERHADAP BEBERAPA TEKNIK STERILISASI DAN PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH SECARA IN VITRO

0 4 2

PENGARUH PELUKAAN TITIK TUMBUH DAN PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH SITOKININ TERHADAP PERTUMBUHAN TUNAS PADA TANAMAN NANAS (Ananas comosus L. Merr) HASIL PERBANYAKAN IN VITRO��?

0 31 18

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KUALITAS “MENTEGA NENAS” (Ananas comosus L.)

0 5 1

PENGARUH PERENDAMAN DALAM BERBAGAI KONSENTRASI NaCl TERHADAP TOTAL ASAM, KADAR AIR DAN ORGAN OLEPTIK KERIPIK NANAS (Ananas comosus L. Merr)

0 6 1

PENGARUH KONSENTRASI DAN CARA APLIKASI IBA (Indole Butyric Acid) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT NANAS (Ananas comosus [L.] Merr) ASAL TUNAS MAHKOTA

4 36 45

PENGARUH KONSENTRASI IBA (Indole Butyric Acid) DAN JENIS MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT NANAS (Ananas comosus [L.] Merr) ASAL TUNAS MAHKOTA

2 28 61

PENGARUH PEMBERIAN NAA (Naphthalena Acetic Acid) DAN KONSENTRASI IBA (Indole Butyric Acid) TERHADAP KEBERHASILAN PENYETEKAN SIRIH MERAH (Piper crocatum Ruiz and Pav.)

0 21 49

PENGARUH PEMBERIAN NAA (Naphthalena Acetic Acid) DAN KONSENTRASI IBA (Indole Butyric Acid) TERHADAP KEBERHASILAN PENYETEKAN SIRIH MERAH (Piper crocatum Ruiz and Pav.)

0 3 14

PENGARUH EKSTRAK NANAS (Ananas comosus (L) Merr) SEBAGAI ANTIHELMINTIK TERHADAP WAKTU KEMATIAN CACING

0 0 57