Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalam Sosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat (Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo).

(1)

POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT TENGGER

DALAM SOSIALISASI TRADISI

ENTAS-ENTAS,

PRASWALA GARA, DAN PUJAN KAPAT

(Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo)

MAS AYU AMBAYOEN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalam Sosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan

Pujan Kapat”: Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar yang sama pada Perguruan Tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2006

Mas Ayu Ambayoen Nrp. P054030091


(3)

ABSTRAK

MAS AYU AMBAYOEN. Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalam Sosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat (Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur). Di bawah bimbingan: DJUARA P. LUBIS dan KRISHNARINI MATINDAS.

Masyarakat Tengger memiliki budaya menarik dan unik yang tetap bertahan sampai sekarang. Meskipun pengaruh luar (tingkat intensitas kunjungan wisata) cukup tinggi, namun berbagai tradisi tersebut masih tetap dijalankan, di antaranya adalah upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat. Bertahannya tradisi tersebut tidak lepas dari proses komunikasi, sehingga menarik untuk dikaji. Penelitian ini ingin menganalisis bagaimana tradisi tersebut dilaksanakan dan disosialisasikan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa upacara adat masyarakat Tengger terbagi menjadi upacara lingkup keluarga upacara lingkup desa. Pola kebudayaan dapat dilihat dari pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana kebendaan. Pola bersikap masyarakat Tengger adalah mau menerima segala apa yang bersangkut paut dengan adat. Pola kelakuan dapat dilihat dari berbagai ritual upacara yang masih selalu dilakukan. Pola sarana/kebendaan (wujud fisik) dapat dilihat dari benda-benda atau tempat sakral dan tanaman-tanaman khusus yang masih dilestarikan oleh masyarakat Tengger Ngadisari yang berkaitan dengan ketiga upacara tersebut.

Pola komunikasi yang terdapat dalam masyarakat Tengger berupa pola komunikasi yang bersifat vertikal, dimana pemimpin atau golongan yang dihormati mendapat posisi penting dan dipatuhi oleh masyarakatnya akibat pengaruh budaya paternalistik yang masih berkembang. Pola komunikasi ini dapat dilihat dari proses ajar didik yang dilakukan pada forum yang bersifat formal maupun non formal, dalam ritus kolektif, sanksi dan alokasi-alokasi posisi. Kata kunci: Masyarakat Tengger, Pola Komunikasi, Kebudayaan.


(4)

MAS AYU AMBAYOEN. Communication Pattern in Tengger Community in Socializing the tradition of Entas -Entas, Praswala Gara, and Pujan Kapat (A Case Study in Ngadisari Village, Sukapura Subdistrict, Probolinggo Regency, East Java). Under the guidance of DJUARA P. LUBIS and KRISHNARINI MATINDAS.

Tengger community has an interesting and unique culture which is still well preserved. Despite strong influencing eksternal factors (high intensity of tourism activities) some traditions have still been preserved well, some of which are Entas-Entas, Praswala Gara, and Pujan Kapat. These traditions prevail along with communication process and this become an interesting aspect to study. The objective of the research was to analylize how the tradition were practiced and socialized.

The result of the study indicates that traditional ceremonies in Tengger community are generally divided into those concerning family scope and village scope. The cultural patterns are reflected in their attitudes, behaviour, and material facilities. The people of Tengger have receptive attitude with regrad to their customs. The behavioural patterns are shown in various rituals that are still well preserved. The patterns of facilities are indicated by sacred objects or places as well as special plants that are still preserved by the community of Tengger Ngadisari in relation to the three ceremonies mentioned above.

The communication pattern practiced among the people of Tengger is a vertical one, where the leader or the respectable group has an important position and is obeyed by his people/ subordinates, which is a reflection of paternalistic culture still practiced. This kind of communication pattern can be seen in some teaching-learning process conducted both in formal and nonformal forums and in rit uals concerning groups, sunctions, and position allocations.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

SOSIALISASI TRADISI ENTAS-ENTAS, PRASWALA GARA,

DAN PUJAN KAPAT

MAS AYU AMBAYOEN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Judul Tesis : Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalam Sosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan

Pujan Kapat (Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo).

Nama : Mas Ayu Ambayoen

Nrp : P054030091

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Dra. Krishnarini Matindas, MS Ketua Anggota

Diketahui,

Tanggal Ujian: 31 Juli 2006 Tanggal lulus: Ketua Program Studi

Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dr. Ir. Sumardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana


(8)

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas Rahmat-Nya sehingga penulisan Tesis ini dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan apapun yang berarti. Tesis ini berjudul “Pola Komunikasi Masyarakat Tengger Dalam Sosialisasi Tradisi Entas -Entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat”, merupakan penelitian yang dilakukan untuk menganalisis bagaimana Pola komunikasi yang dilakukan oleh Masyarakat Tengger dalam mensosialisasikan tradisi mereka kepada masyarakat maupun generasi mudanya. Penulisan tesis ini untuk memenuhi tugas akhir dan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains (MSi) pada program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan Tesis ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, sehingga dalam ke sempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Komisi pembimbing Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Dra. Krishnarini Matindas, MS yang telah banyak mencurahkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan wawasan yang berarti bagi penulis, sehingga mampu menyelesaikan tesis ini.

2. Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MS selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan pada penulis.

3. Bapak Ibu Dosen pengajar, khususnya di program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan yang telah banyak memberikan pengetahuannya kepada penulis selama masa studi.

4. Dr. Sumardjo selaku ketua program studi yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan studi.

5. Supoyo, SH, MM selaku Kepala Desa Ngadisari dan Bapak Sutomo sela ku Dukun Desa Ngadisari yang telah memberikan ijin penelitian dan selalu siap membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian. Bapak Sarto dan Ibu Suliati sekeluarga serta para kerabat Dukun, anggota Pramuka dan masyarakat Desa Ngadisari yang banyak meluangkan waktunya untuk membantu penulis selama di tempat penelitian.

6. Mami Ika, terima kasih atas waktu yang sangat berharga untuk menemani penulis di medan penelitian. Mas Arif (om tersayang) terima kasih atas semua perhatiannya pada keponakan. Mas Irfi, special thanks untuk semua dukungan, perhatian dan segalanya bagi penulis. Keyakinan akan membuat semuanya menjadi lebih mudah.

7. Palik Mul dan Bulik Emi beserta keluarga yang banyak memberikan perhatian selama masa studi penulis yang jauh dari keluarga.


(9)

8. Bu Lili dan Bu Lela terima kasih untuk semua dukungannya. Mbak Pera, Mbak Sri, Bu Yus, Bu Yanti, Kak Is, teman-teman KMP lainnya angkatan 2003 dan 2004, teman-teman di Sabrina, Ema, Mayzar, Oty dan semuanya terima kasih atas kebersamaannya. Special my the best friend Wiwid, terima kasih atas segalanya yang tidak tergantikan. Mbak Nia, Mbak Syam, dan teman-teman TKL terima kasih atas semua cerita dan candanya.

9. Sebuah penghargaan terbesar serta tulus bagi Ayahanda tercinta yang selalu saya hormati dan saya patuhi (menurut cara saya sendiri), terima kasih telah merelakan hidupnya sebagai tempat bersandar paling kokoh dan selalu menanamkan prinsipnya sebagai landasan dalam hidup penulis hingga saat ini. Inilah sebuah karya terbesar ananda saat ini, semoga dapat mewujudkan harapan keluarga. Ibunda tersayang, yang pengorbanan dan do’anya tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Adik-adikku semua yang telah memaku persaudaraan ini dengan kasih sayang yang tulus.

Berbagai pihak yang juga telah banyak memberikan dukungan pada penulisan Tesis ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis berharap penulisan Tesis ini dapat memberikan kontribusi yang sebesar -besarnya pada peneliti yang tertarik mempelajari kebudayaan dari sudut pandang komunikasi maupun pihak-pihak lain yang memiliki perhatian di bidang ini .

Penulis sadar jika penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Agustus 2006


(10)

Penulis di lahirkan di Malang pada tanggal 16 Desember 1979 sebagai anak pertama dari pasangan Ayahanda M. Djama’ali dan Ibunda Siti Mu’awanah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Dinoyo III Malang pada tahun 1992. Selanjutnya meneruskan pendidikan di MTsN Malang I lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di MAN 3 Malang dan lulus tahun 1998.

Pada tahun itu pula penulis diterima di Fakultas Pertanian Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang melalui jalur PSB (Penjaringan Siswa Berprestasi) dan lulus tahun 2003. Selanjutnya pada tahun itu juga penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.


(11)

POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT TENGGER

DALAM SOSIALISASI TRADISI

ENTAS-ENTAS,

PRASWALA GARA, DAN PUJAN KAPAT

(Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo)

MAS AYU AMBAYOEN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalam Sosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan

Pujan Kapat”: Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar yang sama pada Perguruan Tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2006

Mas Ayu Ambayoen Nrp. P054030091


(13)

ABSTRAK

MAS AYU AMBAYOEN. Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalam Sosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat (Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur). Di bawah bimbingan: DJUARA P. LUBIS dan KRISHNARINI MATINDAS.

Masyarakat Tengger memiliki budaya menarik dan unik yang tetap bertahan sampai sekarang. Meskipun pengaruh luar (tingkat intensitas kunjungan wisata) cukup tinggi, namun berbagai tradisi tersebut masih tetap dijalankan, di antaranya adalah upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat. Bertahannya tradisi tersebut tidak lepas dari proses komunikasi, sehingga menarik untuk dikaji. Penelitian ini ingin menganalisis bagaimana tradisi tersebut dilaksanakan dan disosialisasikan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa upacara adat masyarakat Tengger terbagi menjadi upacara lingkup keluarga upacara lingkup desa. Pola kebudayaan dapat dilihat dari pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana kebendaan. Pola bersikap masyarakat Tengger adalah mau menerima segala apa yang bersangkut paut dengan adat. Pola kelakuan dapat dilihat dari berbagai ritual upacara yang masih selalu dilakukan. Pola sarana/kebendaan (wujud fisik) dapat dilihat dari benda-benda atau tempat sakral dan tanaman-tanaman khusus yang masih dilestarikan oleh masyarakat Tengger Ngadisari yang berkaitan dengan ketiga upacara tersebut.

Pola komunikasi yang terdapat dalam masyarakat Tengger berupa pola komunikasi yang bersifat vertikal, dimana pemimpin atau golongan yang dihormati mendapat posisi penting dan dipatuhi oleh masyarakatnya akibat pengaruh budaya paternalistik yang masih berkembang. Pola komunikasi ini dapat dilihat dari proses ajar didik yang dilakukan pada forum yang bersifat formal maupun non formal, dalam ritus kolektif, sanksi dan alokasi-alokasi posisi. Kata kunci: Masyarakat Tengger, Pola Komunikasi, Kebudayaan.


(14)

MAS AYU AMBAYOEN. Communication Pattern in Tengger Community in Socializing the tradition of Entas -Entas, Praswala Gara, and Pujan Kapat (A Case Study in Ngadisari Village, Sukapura Subdistrict, Probolinggo Regency, East Java). Under the guidance of DJUARA P. LUBIS and KRISHNARINI MATINDAS.

Tengger community has an interesting and unique culture which is still well preserved. Despite strong influencing eksternal factors (high intensity of tourism activities) some traditions have still been preserved well, some of which are Entas-Entas, Praswala Gara, and Pujan Kapat. These traditions prevail along with communication process and this become an interesting aspect to study. The objective of the research was to analylize how the tradition were practiced and socialized.

The result of the study indicates that traditional ceremonies in Tengger community are generally divided into those concerning family scope and village scope. The cultural patterns are reflected in their attitudes, behaviour, and material facilities. The people of Tengger have receptive attitude with regrad to their customs. The behavioural patterns are shown in various rituals that are still well preserved. The patterns of facilities are indicated by sacred objects or places as well as special plants that are still preserved by the community of Tengger Ngadisari in relation to the three ceremonies mentioned above.

The communication pattern practiced among the people of Tengger is a vertical one, where the leader or the respectable group has an important position and is obeyed by his people/ subordinates, which is a reflection of paternalistic culture still practiced. This kind of communication pattern can be seen in some teaching-learning process conducted both in formal and nonformal forums and in rit uals concerning groups, sunctions, and position allocations.


(15)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(16)

SOSIALISASI TRADISI ENTAS-ENTAS, PRASWALA GARA,

DAN PUJAN KAPAT

MAS AYU AMBAYOEN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(17)

Judul Tesis : Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalam Sosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan

Pujan Kapat (Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo).

Nama : Mas Ayu Ambayoen

Nrp : P054030091

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Dra. Krishnarini Matindas, MS Ketua Anggota

Diketahui,

Tanggal Ujian: 31 Juli 2006 Tanggal lulus: Ketua Program Studi

Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dr. Ir. Sumardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana


(18)

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas Rahmat-Nya sehingga penulisan Tesis ini dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan apapun yang berarti. Tesis ini berjudul “Pola Komunikasi Masyarakat Tengger Dalam Sosialisasi Tradisi Entas -Entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat”, merupakan penelitian yang dilakukan untuk menganalisis bagaimana Pola komunikasi yang dilakukan oleh Masyarakat Tengger dalam mensosialisasikan tradisi mereka kepada masyarakat maupun generasi mudanya. Penulisan tesis ini untuk memenuhi tugas akhir dan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains (MSi) pada program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan Tesis ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, sehingga dalam ke sempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Komisi pembimbing Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Dra. Krishnarini Matindas, MS yang telah banyak mencurahkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan wawasan yang berarti bagi penulis, sehingga mampu menyelesaikan tesis ini.

2. Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MS selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan pada penulis.

3. Bapak Ibu Dosen pengajar, khususnya di program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan yang telah banyak memberikan pengetahuannya kepada penulis selama masa studi.

4. Dr. Sumardjo selaku ketua program studi yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan studi.

5. Supoyo, SH, MM selaku Kepala Desa Ngadisari dan Bapak Sutomo sela ku Dukun Desa Ngadisari yang telah memberikan ijin penelitian dan selalu siap membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian. Bapak Sarto dan Ibu Suliati sekeluarga serta para kerabat Dukun, anggota Pramuka dan masyarakat Desa Ngadisari yang banyak meluangkan waktunya untuk membantu penulis selama di tempat penelitian.

6. Mami Ika, terima kasih atas waktu yang sangat berharga untuk menemani penulis di medan penelitian. Mas Arif (om tersayang) terima kasih atas semua perhatiannya pada keponakan. Mas Irfi, special thanks untuk semua dukungan, perhatian dan segalanya bagi penulis. Keyakinan akan membuat semuanya menjadi lebih mudah.

7. Palik Mul dan Bulik Emi beserta keluarga yang banyak memberikan perhatian selama masa studi penulis yang jauh dari keluarga.


(19)

8. Bu Lili dan Bu Lela terima kasih untuk semua dukungannya. Mbak Pera, Mbak Sri, Bu Yus, Bu Yanti, Kak Is, teman-teman KMP lainnya angkatan 2003 dan 2004, teman-teman di Sabrina, Ema, Mayzar, Oty dan semuanya terima kasih atas kebersamaannya. Special my the best friend Wiwid, terima kasih atas segalanya yang tidak tergantikan. Mbak Nia, Mbak Syam, dan teman-teman TKL terima kasih atas semua cerita dan candanya.

9. Sebuah penghargaan terbesar serta tulus bagi Ayahanda tercinta yang selalu saya hormati dan saya patuhi (menurut cara saya sendiri), terima kasih telah merelakan hidupnya sebagai tempat bersandar paling kokoh dan selalu menanamkan prinsipnya sebagai landasan dalam hidup penulis hingga saat ini. Inilah sebuah karya terbesar ananda saat ini, semoga dapat mewujudkan harapan keluarga. Ibunda tersayang, yang pengorbanan dan do’anya tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Adik-adikku semua yang telah memaku persaudaraan ini dengan kasih sayang yang tulus.

Berbagai pihak yang juga telah banyak memberikan dukungan pada penulisan Tesis ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis berharap penulisan Tesis ini dapat memberikan kontribusi yang sebesar -besarnya pada peneliti yang tertarik mempelajari kebudayaan dari sudut pandang komunikasi maupun pihak-pihak lain yang memiliki perhatian di bidang ini .

Penulis sadar jika penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Agustus 2006


(20)

Penulis di lahirkan di Malang pada tanggal 16 Desember 1979 sebagai anak pertama dari pasangan Ayahanda M. Djama’ali dan Ibunda Siti Mu’awanah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Dinoyo III Malang pada tahun 1992. Selanjutnya meneruskan pendidikan di MTsN Malang I lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di MAN 3 Malang dan lulus tahun 1998.

Pada tahun itu pula penulis diterima di Fakultas Pertanian Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang melalui jalur PSB (Penjaringan Siswa Berprestasi) dan lulus tahun 2003. Selanjutnya pada tahun itu juga penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.


(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah... 3

Tujuan Penelitian... 3

Kegunaan Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Komunikasi dan Perubahan Kebudayaan... 5

Upacara Religi ... 23

Masyarakat Tengger dan Berbagai Upacaranya... 28

Pola Komunikasi ... 35

Pengetahuan dan Sikap... 36

Pariwisata dan Kebijakan Pemerintah... 39

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS... 41

Kerangka Berpikir ... 41

Hipotesis Pengarah... 45

METODOLOGI PENELITIAN ... 46

Lokasi dan Waktu Penelitian... 46

Jenis dan Metode Penelitian... 46

Teknik Pengumpulan Data... 47

Teknik Analisis Data ... 48

Informan Penelitian... 49

Validitas dan Reliabilitas ... 50

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN... 53

Keadaan Umum Kawasan Tengger ... 53


(22)

Masyarakat Tengger Desa Ngadisari... 63 Ikhtisar ... 74 DESKRIPSI TRADISI ENTAS-ENTAS, PRASWALA GARA, DAN PUJAN KAPAT... 76

Tradisi Entas-Entas... 76 Upacara Praswala Gara... 86 Upacara Pujan Kapat... 90 Ikhtisar ... 95 POLA BERSIKAP, POLA KELAKUAN, DAN POLA SARANA/

KEBENDAAN... 98 Pola Bersikap... 98 Pola Kelakuan (wujud aktivitas) ... 100 Pola Sarana/ Kebendaan (wujud fisik) ... 103 Ikhtisar ... 108 POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT TENGGER ... 110 Proses Komunikasi dalam Pewarisan Budaya ... 110 Forum-forum Komunikasi Lain Pada Masyarakat Desa Ngadisari... 121 Proses Komunikasi Secara Non Verbal... 122 Ikhtisar ... 124 SIMPULAN ... 126 DAFTAR PUSTAKA ... 128 LAMPIRAN... 131


(23)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Luas dan Persentase Penggunaan Lahan di Desa Ngadisari... 61 2 Luas Areal dan Jumlah Produksi Beberapa Komoditi Pertanian di Desa

Ngadisari. ... 61 3 Perbandingan kosakata Tengger dengan bahasa Jawa yang lain. ... 66 4 Proses Komunikasi Pada Forum Formal ... 112 5 Proses Komunikasi Pada Forum Non Formal ... 114 6 Proses Komunikasi dalam Pelaksanaan Ritus Kolektif ... 116


(24)

Halaman 1 Model Komunikasi Linear ... 16 2 Kelima Komponen Religi... 26 3 Alur Berpikir Pola Komunikasi Masyarakat Tengger Dalam

Sosialisasi Tradisi Entas-entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat... 44 4 Lingkungan pegunungan (tana layu/ edelways) dan lingkungan hutan

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru... 53 5 Gerbang Desa Ngadisari sebagai tempat penelit ian... 62 6 Pekerjaan sehari-hari mayoritas Masyarakat Tengger Desa Ngadisari.... 64 7 Lingkungan Masyarakat Tengger Ngadisari... 65 8 Pakaian adat masyarakat Tengger... 73 9 Petra digendhong dan dibakar di tempat pembakaran ... 85 10 Salah satu prosesi dalam Upacara Praswala Gara ... 90 11 Prosesi Pujan Kapat... 95 12 Jalur pengajuan upacara lingkup keluarga ... 97 13 Peralatan yang digunakan Dukun dalam upacara adat Tengger ... 104 14 Tanaman Pembuat Petra... 105 15 Bagan Sumber dan Arah Informasi Dukun dan Masyarakat Tengger ... 118 16 Pola Komunikasi yang Te rbentuk di Desa Ngadisari ... 119


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Pedoman Observasi ... 132 2 Pedoman Wawancara Mendalam... 133 3 Pedoman Catatan Harian... 136 4 Pedoman Dokumentasi... 137 5 Sebaran Penduduk Desa Ngadisari Berdasarkan Golongan Umur ... 138 6 Sebaran Penduduk Desa Ngadisari Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 139 7 Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Ngadisari ... 140 8 Data Informan Penelitian ... 141 9 Daftar Pemateri Kegiatan Pramuka ... 142 10 Daftar Materi Dalam Kegiatan Pramuka ... 143 11 Nama-Nama Anak Rara Anteng Dan Jaka Seger... 144 12 Pasrah Pengantin ... 145 13 Mantra Pembaron (Mantra Entas-Entas) ... 150 14 Sebaran Masyarakat Tengger di Empat Kabupaten di Jawa Timur ... 159 15 Nama-Nama Pejabat Kepala Desa Yang Memimpin Desa Ngadisari ... 160 16 Jenis Dan Sumber Data Penelitian... 161 17 Peta Lokasi Penelitian... 162 18 Kalender Tengger ... 163 19 Jadwal Kegiatan Pramuka ... 164 20 Contoh Absensi Kegiatan Pramuka, Kegiatan Adat Dan Pertemuan-

Pertemuan Lain ... 168 21 Surat Ijin Penelitian... 170 22 Contoh Makalah Adat Dalam Kegiatan Pramuka... 171


(26)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pegunungan Tengger, dengan kawah Bromonya yang terkenal, merupakan kawasan wisata yang memiliki daya tarik luar biasa dan merupakan tempat berdiam masyarakat dengan tradisi unik yang disebut masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger adalah sebuah komunitas yang masih memegang unsur-unsur tradisi1. Beberapa tradisi (seperti upacara sesayut, upacara cuplak puser atau kekerik, upacara tugel gombak dan kuncung, upacara perkawinan, upacara ruwat sangkala, upacara pujan, upacara kematian dan upacara Entas-Entas) yang dilakukan oleh masyarakat adat Tengger menambah khasanah budaya lokal dan menarik wisatawan tinggal di kawasan wisata ini. Sebagai masyarakat2 yang berada di kawasan wisata Bromo-Tengger-Semeru, komunitas ini tidak dapat lepas dari pengaruh luar. Seiring dengan pembangunan, kawasan ini menjadi sebuah kawasan wisata budaya. Di samping itu kedatangan wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara juga ikut membawa masuk budaya-budaya luar yang berbeda dengan budaya mas yarakat setempat.

Keberadaan masyarakat Tengger di kawasan pegunungan Tengger diyakini sudah sangat lama, bahkan sebelum kolonial. Seiring dengan berkembangnya waktu, ternyata komunitas ini masih tetap ada. Eksistensinya tetap diakui sebagai sebuah masyarakat tradisional yang teguh memegang adat tradisi nenek moyang. Dalam perkembangannya sampai saat ini masyarakat Tengger tersebar di empat Kabupaten di Propinsi Jawa Timur, yaitu: Lumajang, Pasuruan, Malang dan Probolinggo, dimana salah satunya terletak Kecamatan Sukapura.

1

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pudjiwati Sajogyo (1985) dalam buku Sosiologi Pembangunan, bahwa arti tradisi yang paling mendasar adalah “traditum”, yaitu sesuatu yang diteruskan (transmitted) dari masa lalu ke masa sekarang: bisa berupa benda atau tindak laku sebagai unsur kebudayaan atau berupa nilai, norma, harapan dan cita-cita.

2

Definisi masyarakat menurut Talcottt Parsons (1968) sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto Sunarto (2000) dalam buku Pengantar Sosiologi Edisi Kedua, bahwa masyarakat ialah suatu sistem sosial yang swasembada (self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya.


(27)

Masyarakat Tengger yang berada di wilayah Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo berjumlah sekitar 13.565 jiwa yang terdiri dari 3.646 kepala keluarga yang tersebar di beberapa desa, di antaranya Desa Ngadisari. Sebagai salah satu desa yang didiami oleh masyarakat Tengger, Desa Ngadisari saat ini memiliki penduduk sekitar 1536 jiwa dengan mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani serta memiliki tata kehidupan masyarakat yang teguh memegang tradisi.

Masyarakat desa ini sebagian besar beragama Hindu yang berbeda dengan Hindu Dharma Bali. Perbedaan ini antara lain adalah adanya tradisi

Kasada yang merupakan pengungkapkan rasa syukur mereka dengan “membuang” hasil pertanian dan peternakan ke dalam kawah Gunung Bromo di bulan Kasada. Seiring dengan berjalannya waktu maka kehidupan masyarakat Tengger juga mengalami perubahan, sebab tidak ada satupun dari masyarakat yang tidak berubah.

Beberapa upacara yang masih sering dilakukan adalah upacara Entas-Entas yang khusus dilakukan untuk menyucikan atman atau roh orang-orang yang telah meninggal dunia. Biasanya dilakukan pada hari keseribu, walaupun pelaksanaannya tidak harus tepat pada hari tersebut. Roh atau atman yang disucikan itu dengan harapan agar dapat masuk surga. Selain itu dalam memasuki kehidupan baru masyarakat Tengger juga masih teguh melakukan tradisi perkawinan yang dilakukan menurut adat budaya Tengger, yaitu upacara

Praswala Gara yang bertujuan untuk menghilangkan sangkala dan memohon restu agar kehidupan pengantin baru selalu mendapat kebahagiaan. Selain itu juga ada upacara pujan yang dilakukan oleh masyarakat Tengger yang bertujuan untuk memohon keselamatan bagi seluruh desa, seperti acara Pujan Kapat yang dilakukan setiap bulan keempat penanggalan Tengger.

Upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat merupakan contoh tradisi yang masih dilakukan masyarakat Tengger sampai saat ini, sehingga penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana tradisi tersebut dilaksanakan dan disosialisasikan.


(28)

Rumusan Masalah

Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat merupakan tradisi yang masih ditemui hingga saat ini, sebab selalu dilaksanakan. Pola komunikasi yang terjadi dalam hal pelestarian tradisi tersebut menarik untuk dikaji. Sebagai masyarakat yang dalam kehidupannya selalu berhubungan dengan banyak ritus upacara, masyarakat Tengger memiliki pola-pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana kebendaan yang berkaitan dengan sosialisasi tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat tersebut. Sehingga masalah penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Bagaimana proses berlangsungnya upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan

Pujan Kapat pada masyarakat Tengger?

2. Bagaimana pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana/kebendaan masyarakat Tengger dalam pelestarian tradisi Entas-entas, Praswala Gara,

dan Pujan Kapat?

3. Bagaimana pola komunikasi masyarakat Tengger dalam mensosialisasikan tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat kepada warga masyarakat dan generasi muda pada Masyarakat Tengger?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk:

1. Mendeskripsikan proses berlangsungnya upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat pada masyarakat Tengger.

2. Menganalisis pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana/kebendaan masyarakat Tengger dalam pelestarian tradisi Entas -Entas, Praswala Gara,

dan Pujan Kapat.

3. Menganalisis pola komunikasi masyarakat Tengger dalam mensosialisasikan tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat kepada warga masyarakat dan generasi muda pada masyarakat Tengger.


(29)

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian adalah berupa kegunaan akademis, yaitu diharapkan penelitian yang dilaksanakan ini mampu menyumbangkan kemajuan bagi khasanah keilmuwan di bidang komunikasi, khususnya komunikasi etnografi.


(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi dan Perubahan Kebudayaan

Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Istilah

culture atau ”budaya” kembali pada kumpulan pengetahuan, bahasa, perilaku, ritual-ritual, adat kebiasaan, gaya hidup, sikap, kepercayaan dan adat istiadat yang berhubungan dan menunjukkan suatu identitas khusus dari suatu kelompok masyarakat dalam kurun waktu tertentu.

Ada beberapa definisi tentang kebudayaan menurut para ahli. Seorang antropolog E.B. Tylor yang dikutip oleh Soekanto (1990) memberikan definisi kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan perkataan lain, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola -pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola -pola berfikir, merasakan atau bertindak.

Soemardjan dan Soemardi yang dikutip oleh Soekanto (1990) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk misalnya saja agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat


(31)

yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture). Semua rasa, karya dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian atau dengan seluruh masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari, kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis.

Geertz yang dikutip oleh Sobur (2004) mengatakan bahwa kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini. Rumusan kebudayaan Geertz ini lebih menitikberatkan pada simbol, yaitu bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai; dan di sisi lain simbol merupakan acuan wawasan, memberi “petunjuk” bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas sosial.

Haviland (1985) yang dikutip oleh Endraswara (2003) bahwa ada empat ciri khas kebudayaan. Pertama, kebudayaan adalah milik bersama. Ciri semacam ini sering diteruskan sampai pemahaman bahwa kebudayaan adalah milik publik.

Kedua, kebudayaan adalah hasil belajar. Semua kebudayaan adalah hasil belajar, bukan warisan biologis. Proses penerusan budaya dari generasi ke generasi berikutnya melalui proses enkulturasi. Ketiga, kebudayaan didasarkan pada lambang. Keempat, budaya merupakan kesatuan integratif. Kebudayaan tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan sebuah paket makna.


(32)

Menurut Mulyana (2001) budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara manusia hidup. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya memiliki beberapa karakteristik, yaitu: budaya itu kompleks dan bertahap, budaya itu subjektif, budaya berubah sepanjang waktu serta budaya sebagian besar tidak nyata dan abstrak.

Semua unit sosial memba ngun sebuah budaya. Dalam suatu hubungan interpersonal antara dua orang, mereka memiliki sebuah kebiasaan bersama yang dikembangkan dalam suatu waktu. Mereka membangun sebuah adat kebiasaan, pola bahasa, ritual-ritual dan adat istiadat yang dikembangkan dalam pola hubungan yang memiliki sebuah karakter tersendiri.

Kelompok membangun sebuah budaya sendiri, demikian juga organisasi juga memiliki budaya sendiri. Seringkali mereka punya pola-pola khusus, seperti dalam hal berpakaian, tata ruang, gaya pertemuan, pola pikir, gaya bicara, gaya kepemimpinan dan sebagainya. Budaya yang lebih beragam dan kompleks biasa diasosiasikan dengan sebuah masyarakat atau negara. Sehingga istilah ”budaya” lebih umum dipakai untuk menyebut berbagai karakteristik yang meliputi ba hasa, ritual, pola perilaku dan adat istiadat. Budaya yang dibangun dari masing-masing unit sosial tersebut sangat khas dan memiliki karakter yang spesifik. Budaya memiliki beberapa fungsi yang sangat penting khususnya dalam perspektif komunikasi, yaitu: menghubungkan individu yang satu dengan yang lain; melengkapi identitas umum yang mendasar dan menciptakan konteks interaksi dan negosiasi diantara para anggota.

Banyak pendapat para sarjana tentang unsur -unsur kebudayaan. Herskovits yang dikutip oleh Soekanto (1990) mengajukan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu:

1. Alat-alat teknologi. 2. Sistem ekonomi. 3. Keluarga.


(33)

4. Kekuasaan politik.

Malinowski yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi, sebagaimana yang dikutip oleh Soekanto (1990) menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:

1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.

2. Organisasi ekonomi.

3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; dimana keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama.

4. Organisasi kekuatan.

Antropolog C Kluckhohn yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1994) menyimpulkan adanya tujuh unsur universal yang merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, yaitu:

1. Sistem religi dan upacara keagamaan. 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan. 3. Sistem pengetahuan.

4. Bahasa. 5. Kesenian.

6. Sistem mata pencaharian hidup. 7. Sistem teknologi dan peralatan.

Ketujuh unsur universal tersebut mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia dimanapun dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya. Setiap unsur universal kebudayaan tersebut memiliki tiga wujud, yaitu:

1. Wujud idiil (pola bersikap), yaitu kompleks gagasan dan nilai-nilai.

2. Wujud aktivitas (pola kelakuan), yaitu suatu kompleks tindakan berpola (terorganisasi, terstruktrur) dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud fisik (pola sarana/kebendaan), yaitu benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama adalah idiil dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala -kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan


(34)

mereka itu dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan idiil sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan.

Kebudayaan idiil dapat disebut adat tata-kelakuan, atau secara singkat

adat dalam arti khusus, atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata-kelakuan itu, maksudnya menunjukkan bahwa kebudayaan idiil itu biasanya juga berfungsi sebagai tata -kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak dan luas sampai yang paling konkret dan terbatas. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, yaitu: (1) tingkat nilai-budaya; (2) tingkat norma-norma; (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan khusus.

Tingkat adat yang pertama adalah lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide -ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi-konsepsi serupa biasanya bersifat kabur, tetapi walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia. Tingkat ini dapat disebut sistem nilai-budaya. Jumlah nilai-budaya tingkat pertama dalam suatu kebudayaan bia sanya tidak banyak.

Tingkat adat yang kedua dan lebih konkret adalah sistem norma. Norma -norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Tingkat adat yang ketiga dan yang lebih konkret lagi adalah sistem hukum (baik hukum adat maupun hukum tertulis). Selanjutnya tingkat adat yang keempat adalah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan-aturan khusus ini amat konkret sifatnya dan banyak diantaranya terkait dalam sistem hukum. Contohnya adalah peraturan lalu lintas. Contoh dari aturan khusus yang tidak tersangkut ke dalam sistem hukum adalah aturan sopan-santun.

Wujud kedua dari kebudayaan sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu sama lain,


(35)

yang dari detik ke detik, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata -kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi.

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik dan memerlukan keterangan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret dan berupa benda -benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Misalnya adalah pabrik baja, benda -benda yang besar dan indah seperti bangunan candi atau pula benda-benda kecil seperti kain batik atau bahkan kancing baju.

Setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan dimanapun juga. Sifat hakikat kebudayaan tersebut adalah: 1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.

2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu gene rasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan. 3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. 4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,

tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.

Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri setiap kebudayaan, akan tetapi bila seseorang hendak memahami sifat hakikatnya yang esensial, terlebih dahulu harus memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya, yaitu (Soekanto, 1990):

1. Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat universal, akan tetapi perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan situasi maupun lokasinya.

2. Kebudayaan bersifat stabil disamping juga dinamis dan setiap kebudayaan mengalami perubahan-perubahan yang kontinyu. Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan atau perkembangan-perkembangan, hanya kebudayaan yang mati saja yang bersifat statis.


(36)

3. Kebudayaan mengisi serta menentuka n jalannya kehidupan manusia, walaupun hal itu jarang disadari oleh manusia sendiri. Gejala tersebut secara singkat dapat diterangkan dengan penjelasan bahwa walaupun kebudayaan merupakan atribut manusia, namun tidak mungkin seseorang mengetahui dan meyakini seluruh unsur kebudayaannya.

Kebudayaan dimaksudkan sebagai hadirnya seperangkat nilai-nilai dan norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi warga pendukungnya. Nilai secara umum berkaitan dengan segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk. Nilai dalam kajian ilmu sosial (nilai sosial) dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran dan emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu obyek, gagasan atau orang (dikutip oleh Sulaeman, 1998 dari Bertrand). Norma merupakan standar-standar tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka patokan (frame of reference). Perangkat normatif ini ditanamkan pada individu-individu (baru) pendukungnya melalui proses sosialisasi. Cara yang demikian ini pada gilirannya mereka mampu menjalin dan mengembangkan interaksi dengan orang-orang lain dalam suatu pola makna tertentu yang konstan. Kebudayaan semacam ini biasa disebut sebagai kebudayaan non-material.

Kebudayaan juga dapat dilihat dari aspek material, dalam hal ini benda-benda fisik buatan manusia. Benda -benda-benda tersebut dibuat dengan tujuan dan makna tertentu. Misalnya buku, artefak, pakaian, masjid, komputer dan sebagainya adalah sebutan-sebutan yang mempunyai makna khusus.

Berdasarkan uraian di atas, kebudayaan dapat dipahami dalam beberapa rumusan. Pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat, meliputi semua pola berpikir, merasakan dan bertindak. Kedua, kebudayaan adalah sesuatu yang superorganik, artinya berada di atas sesuatu badan. Kebudayaan diturunkan dari generasi-generasi dan tetap akan hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kelahiran dan kematian. Ketiga, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan cara mempelajarinya (Kolopaking, 2003).


(37)

Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan. Kingsley Davis yang dikutip oleh Soekanto (1990) berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Dalam kehidupan sehari-hari acapkali tidak mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Sebab tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak menjelma dalam suatu masyarakat. Walaupun secara teoritis dan analitis pemisahan antara pengertian-pengertian tersebut dapat dirumuskan, namun di dalam kehidupan nyata, garis pemisah tersebut sukar dapat dipertahankan. Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama yaitu kedua -duanya bersangkut-paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada umumnya menyangkut hal-hal yang kompleks, artinya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mengenai: nilai-nilai sosial, perikelakuan, organisasi susunan lembaga -lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan sosial menunjukkan pada perubahan fenomena sosial di berbagai bidang tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual, masyarakat hingga tingkat dunia.

Perubahan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu: a. Perubahan lambat dan perubahan cepat.

Perubahan– perubahan yang memerlukan waktu lama dan rentetan-rentetan perubahan kecil ya ng saling mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar -dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat (yaitu lembaga -lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan revolusi.


(38)

Unsur-unsur pokok revolusi adalah adanya perubahan yang cepat dan perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat.

b. Perubahan kecil dan perubahan besar.

Agak sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas, karena batas-batas pembedaannya sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan bahwa perubahan-perubahan kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat.

c. Perubahan yang dikehendaki (intended-change) atau perubahan yang direncanakan (planned-change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended-change) atau perubahan yang tidak direncanakan ( unplanned-change).

Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang direncanakan terlebih dahulu oleh fihak-fihak yang hendak mengadakan perubahan masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan, merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat.

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan dapat bersumber dari dalam atau dari luar masyarakat. Sumber yang berasal dari dalam masyarakat adalah: bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan atau konflik masyarakat dan terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan sumber-sumber perubahan yang berasal dari luar masyarakat tersebut adalah: sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia (gempa, bencana alam, banjir dan lain-lain), peperangan dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Faktor-faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi antara lain (Soekanto, 1990):

a. Kontak dengan kebudayaan lain. b. Sistem pendidikan formal yang maju.


(39)

c. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju. d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang

bukan merupakan delik.

e. Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification). f. Penduduk yang heterogen.

g. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. h. Orientasi ke masa depan.

i. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.

Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan adalah: a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.

b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat. c. Sikap masya rakat yang sangat tradisional.

d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau

vested interests.

e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan. f. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup. g. Hambata n-hambatan yang bersifat ideologis.

h. Adat atau kebiasaan.

i. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki (Soekanto, 1990).

Saluran-saluran perubahan kebudayaan (avenue or channel of change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan. Umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga -lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan mana yang menjadi titik tolak, tergantung pada cultural focus

masyarakat pada suatu masa yang tertentu.

Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk hidup berkawan. Hal ini disebabkan manusa mempunyai hasrat yang kuat dalam dirinya untuk menjadi bagian dari manusia lainnya. Dalam bergaul dengan manusia lainnya dikenal adanya komunikasi. Berbicara mengenai komunikasi, banyak paradigma yang bisa kita maknai. Secara harfiahnya komunikasi merupakan


(40)

jalinan yang terjadi dalam sistem sosial dengan berbagai pendukungnya seperti adanya media-media komunikasi yang berkembang saat ini (Soekartawi, 1988). Kata komunikasi atau dalam Bahasa Inggris communication berasal dari bahasa latin communis yang berarti sama, communico, communicatio atau communicare

yang berarti membuat sama (to make common). Secara sederhana komunikasi didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Menurut Devito (1997) komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam konteks tertentu dan ada kesepakatan untuk melaksanakan umpan balik.

Rogers dan Kinchaid (1981) mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.

Menurut Mulyana (2003) terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.

Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai “definisi berorientasi sumber” (source oriented definition) yang mengisyaratkan komunikasi sebagai kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk meyampaikan rangsangan guna membangkitkan respons orang lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.

Model komunikasi linear merupakan konsep komunikasi yang paling sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak. Pada model ini komunikasi terjadi karena ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain. Pengirim pesan menstimuli sehingga penerima pesan merespon sesuai yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan intepretasi lebih lanjut. Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear yang didesain berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dikutip oleh Mulyana (2003), seperti Gambar 1.


(41)

Gambar tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi bersifat satu arah, yakni dari sumber pesan kepada penerima pesan. Model komunikasi ini lebih tepat digunakan menyampaikan informasi yang lebih bersifat instruksi atau indoktrinasi.

Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis.

Model interaktif menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi yang terjadi antar komunikan yang saling berkontribusi pada terjadinya suatu transaksi walaupun dalam beda peringkat intensitas. Teori ini digambarkan dalam tiga bentuk yaitu: (1) lingkaran tumpang tindih, (2) heliks dan (3) Ziczac. Menurut Schramm (1973) yang dikutip oleh Jahi (1993) lingkaran tumpang tindih mengindikasikan bahwa dalam setiap kegiatan komunikasi akan selalu ditemukan lebih dari dua komunikan dalam suatu situasi komunikasi. Dengan demikian akan ada pada suatu saat sejumlah lingkaran komunikan atau ruang kehidupan yang tumpang tindih.

Model heliks menurut Dance (1967) yang dikutip oleh Jahi (1993) menunjukkan kegiatan komunikasi di kalangan komunikan yang menimbulkan situasi konvergen. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu (1) komunikan bergerak menuju ke suatu arah dalam arti saling memahami pesan yang disampaikan, dan (2) seorang partisipan mungkin bergerak menuju arah berbeda. Proses konvergen tidak selalu berarti harus ada komitmen terhadap persoalan atau permasalahan yang dikomunikasikan, karena lebih merupakan suatu proses saling memahami dengan lebih baik, tentang segala sesuatu yang dikomunikasikan.

Sumber Pesan Saluran Penerima Gambar 1. Model Komunikasi Linear


(42)

Model ziczac menurut Schramm (1973) yang dikutip oleh Jahi (1993) menunjukkan situasi kegiatan komunikasi sebagai proses interaktif melalui pertukaran tanda -tanda informasi baik verbal, nonverbal, atau paralinguistik. Dalam model ini diperlukan adanya waktu untuk meyakinkan diri bahwa komunikan sedikit banyak telah memahami apa yang dimaksud yang dimungkinkan oleh persoalan pemakaian iterasi. Dengan kata lain, peristiwa komunikasi dalam model ziczac lebih mendekati dengan proses negosiasi.

Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak peran, hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal. Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi tersebut tidak membatasi komunikate pada komunikasi yang disengaja atau respon yang dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih sesuai untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan para pelaku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.

Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder (Effendy, 2003).

1. Proses Komunikasi Secara Primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan. Komunikasi berlangs ung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan perkataan lain komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan.


(43)

2. Proses Komunikasi Secara Sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak.

Terdapat dua macam bentuk komunikasi secara umum, yaitu komunikasi verbal dan non verbal (Sobur, 2004):

1. Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal secara sederhana adalah komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata -kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu. Misalnya, kata rumah, kursi, mobil atau mahasiswa. Realitas apa yang diwakili oleh setiap kata itu? Begitu banyak ragam rumah. Ada rumah bertingkat, rumah mewah, rumah sederhana dan rumah sangat sederhana.

2. Komunikasi Non Verbal

Definisi harfiah komunikasi non verbal sebagai komunikasi tanpa kata, merupakan suatu penyederhanaan berlebihan (oversimplification), karena kata yang berbentuk tulisan tetap dianggap “verbal” meskipun tidak memiliki unsur suara. Stewart dan D’Angelo (1980) yang dikutip oleh Tubbs dan Moss (2001) berpendapat bahwa bila kita membedakan verbal dari non verbal dan vokal dari non vokal, kita mempunyai empat kategori atau jenis komunikasi. Komunikasi verbal vokal merujuk pada “komunikasi melalui kata yang diucapkan”. Komunikasi verbal non vokal, yaitu “kata-kata digunakan tapi tidak diucapkan”. Komunikasi non verbal vokal be rupa vokalisasi, misalnya berupa “gerutuan”. Komunikasi yang terakhir adalah komunikasi non verbal non vokal, yaitu hanya mencakup sikap dan penampilan, komunikasi jenis ini membawa pesan-pesan


(44)

linguistik. Pesan-pesan tersebut dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Kita dapat mengacungkan tangan untuk memilih “ya” pada suatu pertemuan atau untuk menghentikan taksi. Kita menyentuh dengan halus tangan seorang teman untuk menghiburnya.

Komunikasi non verbal menurut Ekman (1965) dan Knapp (1978) yang dikutip oleh DeVito (1997) memiliki enam fungsi, yaitu:

1. Untuk menekankan.

Komunikasi non verbal digunakan untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal. Misalnya, kita mungkin tersenyum untuk menekankan atau ungkapan tertentu, atau memukulkan tangan ke meja untuk menekankan suatu hal tertentu.

2. Untuk melengkapi (complement).

Komunikasi non verbal untuk memperkuat warna atau sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, mungkin kita tersenyum ketika menceritakan kisah lucu atau menggeleng-gelengkan kepala ketika menceritakan ketidak-jujuran.

3. Untuk menunjukkan kontradiksi.

Kita dapat juga secara sengaja mempertentangkan pesan verbal kita dengan gerakan non verbal. Sebagai contoh, menyilangkan jari atau mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang kita katakan adalah tidak benar.

4. Untuk mengatur.

Gerak-gerik non verbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan untuk mengatur arus pesan verbal. Mengerutkan bibir, mencondongkan badan ke depan atau membuat gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa kita ingin mengatakan sesuatu merupakan contoh-contoh dari fungsi mengatur ini. Kita mungkin mengangkat tangan atau menyuarakan jenak (pause) kita (misalnya, dengan menggumamkan “umm”) untuk memperlihatkan bahwa kita belum selesai bicara.

5. Untuk mengulangi.

Kita dapat mengulangi atau merumuskan ulang makna dari pesan verbal. Misalnya, kita dapat menyertai pernyataan verbal “Apa benar?” dengan


(45)

mengangkat alis mata atau dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi pesan verbal “Ayo kita pergi”.

6. Untuk Menggantikan.

Komunikasi non verbal juga dapat menggantikan pesan verbal kita, misalnya, mengatakan “oke” dengan tangan tanpa berkata apa -apa. Kita dapat menganggukkan kepala untuk mengatakan “ya” atau menggelengkan kepala untuk mengatakan “tid ak”.

Ada tiga tujuan komunikasi yang dikatakan oleh Berlo (1960) yaitu untuk memberi informasi (informatif), untuk membujuk (persuasif) dan untuk tujuan menghibur (entertainment). Gorden sebagaimana yang dikutip oleh Mulyana (2001) menyatakan bahwa ada empat fungsi komunikasi yaitu komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan komunikasi instrumental.

1. Komunikasi Sosial

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi adalah penting dalam membangun konsep diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan tegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain.

2. Komunikasi Ekspresif

Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun terutama lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orangdapat menyalurkan kemarahan dengan berkacak pinggang, mengepalkan tangan memelototkan matanya.


(46)

Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual, yang biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan, perkawinan hingga upacara kematian. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus -ritus lain seperti berdo’a (shalat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran juga merupakan komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka. Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif, menyatakan perasaan terdalam seseorang3.

Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagai komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada kelompok. Bukanlah substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting, melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa kita terikat oleh sesuatu yang lebih besar daripada kita sendiri, yang bersifat :abadi”, dan bahwa kita diakui dan diterima dalam kelompok kita. Komunikasi ritual ini kadang-kadang bersifat mistik4.

4. Komunikasi Instrumental

Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan,

3

Contoh komunikasi ritual yang bersifat ekspresif ini adalah ketika orang menziarahi makam Nabi Muhammad, bahkan menangis di dekatnya untuk menunjukkan kecintaan kepadanya. Selain itu para siswa anggota Paskibraka mencium bend era merah putih, untuk menunjukkan rasa cinta mereka kepada Nusa dan Bangsa, terlepas dari kita setuju terhadap perilaku mereka atau tidak.

4

Contohnya adalah Suku Aborigin (penduduk asli Australia) yang mata pencaharian tradisionalnya adalah berburu dan mengumpulkan makaanan, melakukan upacara tahunan untuk memperoleh peningkatan rezeki. Upacara ini dimaksudkan untuk menghormati tanaman dan hewan yang juga berbagi tanah air. Menurut kepercayaan mereka, upacara itu penting dilaksanakan untuk menjamin kelestarian tanaman dan hewan yang menentukan kelestarian hidup mereka.


(47)

mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga untuk menghibur. Bila diringkas, maka kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat persuasif). Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Studi komunikasi membuat kita peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan.

Hubungan antara komunikasi dan budaya sangat kompleks dan erat. Budaya telah menciptakan sebuah komunikasi spesifik, artinya budaya dapat diartikan sebagai sebuah interaksi manusia yang cukup cermat dimana karakteristik-karakteristik budaya, apakah itu adat-istiadat, peranan, pola perilaku, ritual-ritual dan hukum diciptakan dan dipertukarkan. Dengan kata lain budaya adalah hasil dari sebuah komunikasi sosial. Tanpa komunikasi budaya tidak akan mungkin terpelihara dan bertahan dalam suatu tempat dan suatu waktu yang lain. Budaya telah tercipta, terbentuk, dipindahkan/ditransmisikan dan dipelajari melalui proses komunikasi.

Implisit da lam komunikasi sosial adalah fungsi komunikasi kultural. Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya merupakan bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunik asipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Sesuai pendapat Hall yang dikutip oleh Mulyana (2001) bahwa ”budaya adalah komunikasi” dan ”komunikasi adalah budaya”. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horisontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk suatu kelompok tertentu, misalnya ”jangan melawan orang tua”, ”bersikaplah ramah pada tamu”, dan sebagainya. Budaya bahkan mempengaruhi manusia setelah manusia mati. Mengurus orang meninggal apakah mayatnya dikafani atau dalam


(48)

peti mati, setelah itu apakah mengadakan tahlilan atau tidak, juga bergantung pada norma-norma budaya yang berlaku pada komunitas kita (Mulyana, 2001).

Upacara Religi

Durkheim dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) mendefinisikan suatu religi sebagai suatu sistem yang berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat, artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral yang disebut Umat. Banyak para ahli yang melahirkan teori-teori yang berorientasi kepada upacara religi, antara lain Smith dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) tentang upacara bersaji, dimana inti teorinya yang menganalisis azas-azas religi tidak berpangkal pada analisa sistem keyakinan atau pelajaran doktrin dari religi, tetapi berpangkal pada upacaranya. Dia menemukakan tiga gagasan penting yang menambah pengertian mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. Gagasan yang

pertama, mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupa kan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Gagasan yang kedua, adalah bahwa upacara religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena mereka mengangap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial. Sedangkan gagasan ketiga, adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada pokoknya upacara seperti itu, dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, oleh Smith (1889) yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) juga dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu dewa atau para dewa dipandang juga sebagai warga komunitas, walaupun sebagai warga yang istimewa.


(49)

Preusz yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) mengemukakan konsep-konsepnya mengenai azas-azas religi yang mendekati masalahnya dari sudut upacara. Anggapannya adalah bahwa rangkaian ritus yang paling penting dalam banyak religi di dunia adalah ritus kematian. Menurutnya ritus atau upacara religi aka n bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika. Namun secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang olehnya tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian musim dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan masalah hidup dan maut.

Hertz yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) juga mengemukakan analisanya tentang azas religi yang berorientasi kepada upacara dan khususnya upacara kematian. Dia menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian analisa terhadap upacara kematian harus lepas dari segala perasaan pribadi para pelaku upacara terhadap orang yang meninggal dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif dalam masyarakat tadi. Di sini Hertz melihat bahwa gagasan kolektif mengenai gejala kematian yang terdapat pada banyak suku-bangsa di dunia adalah gagasan bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain, yaitu kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus. Pada berbagai suku-bangsa di Indonesia upacara kematian itu terdiri dari tiga tingkat, yaitu: (1) Sepulture privisoire, (2) Periode intermediare dan (3) Ceremonie finale. Mula -mula mayat diberi suatu sepulture privisoire, yaitu pemakaman sementara. Kemudian ada suatu periode intermediaer atau masa antara yang biasanya berlangsung tiga hingga lima tahun, dalam waktu mana para kerabat dekat orang yang meninggal itu hidup dalam keadaan keramat. Kedudukan yang baru untuk roh yang meninggal itu dicapai pada ceremonie finale, yaitu pada upacara di mana tulang belulang dan sisa-sisa jasmani orang yang meninggal itu digali lagi (dan kadang-kadang setelah itu dibakar), lalu ditempatkan di pemakaman yang tetap. Sesudah analisa yang dalam tentang berbagai unsur dalam upacara-upacara kematian pada


(50)

berbagai suku bangsa di Indonesia, yang memberi kesimpulan kepadanya bahwa upacara kematian itu tidak lain daripada suatu upacara inisiasi, Hertz menunjukkan bahwa ada persamaan yang besar antara unsur-unsur upacara kematian manusia dengan unsur -unsur upacara kelahiran dan pernikahannya. Pada kelahiran, seorang individu beralih dari alam gaib ke alam hidup, pada kematian ia beralih dari alam hidup ke alam gaib.

Seorang ahli folklor Van Gennep (1908) yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Serupa dengan Hertz dalam kaitan dengan upacara kematian, Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) perpisahan atau

separation, (2) peralihan atau merge dan (3) integrasi kembali atau agregation. Dalam bagian pertama dari ritus, yaitu bagian separation, manusia melepaskan kedudukannya yang semula. Acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan itu. Bagian kedua dari ritus, yaitu bagian merge, manusia dianggap mati atau tidak ada lagi dan dalam keadaan seperti tidak tergolong dalam lingkungan sosial manapun. Sedangkan bagian ketiga dari upacara, yaitu bagian agregation, yaitu mereka diresmikan ke dalam tahap kehidupannya serta lingkungan sosialnya yang baru.

Dalam banyak kehidupan ritus peralihan sangat penting, misalnya dalam upacara hamil tua, upacara saat-saat anak-anak tumbuh (upacara memotong rambut yang pertama, upacara keluar gigi yang pertama, upacara penyentuhan si bayi dengan tanah untuk pertama kali dan sebagainya) dan dalam upacara inisiasi. Data etnografi Van Gennep menunjukkan bahwa ritus perpisahan itu sering berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara integrasi dan pengukuhan lebih sering berdiri sendiri, lepas dari kedua macam ritus tersebut. Upacara religi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) yang bersifat perpisahan menjadi satu dengan yang bersifat peralihan, diistilahkan sebagai ritus dan (2) yang bersifat integrasi dan pengukuhan, distilahkan sebagai upacara.


(51)

emosi keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, (5) umat agama (gambar 2). Pemecahan religi ke dalam lima komponen tersebut digunakan untuk memudahkan analisis. Kelimanya memiliki peranan sendiri-sendiri, tetapi tetap berkaitan satu sama lain. Emosi keagamaan menyebabkan manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Soderblom dalam Koentjaraningrat (1987) menyebutkan bahwa emosi keagamaan adalah sikap ”takut bercampur percaya” kepada hal yang gaib serta keramat, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang zaman akhirat (esykatologi), tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh, dewa dan makhluk halus lainnya. Selain itu sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran kesusilaan dan ajaran doktrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia. Sistem keyakinan ini biasanya terkandung dalam kesusasteraan suci, baik yang sifatnya tertulis maupun lisan dari religi atau agama yang bersangkutan.

Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan

Sistem keyakinan

Umat agama

Emosi keagamaan

Sistem ritus dan upacara keagamaan

Peralatan ritus dan upacara


(52)

tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa, roh atau makhluk halus lain dengan tujuan untuk berkomunikasi. Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang baik setiap hari, setiap musim atau kadang-kadang saja. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau beberapa tindakan, seperti: berdo’a, bersujud, be rsaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa, bertapa dan bersamadi. Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti: tempat atau gedung pemujaan, payung dewa, alat bunyi-bunyian suci (orgel, genderang suci, gong, seruling suci, gamelan suci, lonceng dan lain-lain). Selain itu para pelaku upacara seringkali harus mengenakan pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci, seperti jubah pendeta, jubah biksu da n lain -lain).

Komponen kelima dari sistem religi adalah umatnya atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta upacara itu. Kesatuan sosial yang bersifat umat agama itu dapat berwujud sebagai: (1) keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lain, (2) kelompok kekerabatan yang lebih besar, seperti keluarga -luas, klen, gabungan klen, suku, marga dan lain, (3) kesatuan komunitas seperti desa, gabungan desa dan lain-lain, (4) organisasi atau gerakan religi, seperti organisasi penyiaran agama, organisasi sangha, organisasi gereja, partai politik yang berideologi agama, gerakan agama, orde -orde rahasia dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1987).


(53)

Masyarakat Te ngger dalam kesehariannya tidak terlepas dari berbagai ritual upacara yang selalu dilakukan dalam rangka pemanjatan do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan keselamatan maupun sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki yang telah mereka terima. Ritual upacara mereka secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu5:

1. Upacara Lingkup Keluarga.

Upacara jenis ini terdiri dari upacara kelahiran, upacara perkawinan dan upacara kematian. Upacara ini biasanya dilakukan dalam lingkup keluarga, sehin gga penanggung jawab pelaksanaan adalah keluarga yang punya hajat. Berbagai macam upacara yang berkaitan dengan jenis ini antara lain:

a. Upacara sesayut/ upacara mitoni, yaitu upacara yang dilakukan saat bayi berumur tujuh bulan. Upacara ini menggunakan sarana berupa: tumpeng, panggang ayam, bunga di dalam air cepel/ kuwali, lawe. Tujuan mitoni ini adalah agar bayi tersebut mudah saat lahir dan selamat beserta ibunya. Pelaksanaan upacara ini yaitu: bunga di dalam kuwali dimandikan kepada ibunya, sedangkan la wenya disabukkan ke perut ibu. Mandi dengan bunga bermakna agar ibu dan bayinya dalam kandungan tetap harum dan suci. Sedangkan lawe yang disabukkan bermakna agar ibu dan bayi tetap menyatu dan lahir dengan selamat.

b. Upacara kekerik/ membersihkan, dilaksanakan setelah bayi dilahirkan dan cuplak pusernya. Maknanya adalah membersihkan ibu dan anak setelah melahirkan. Sebab sebelum upacara kekerik/ pembersihan dilaksanakan, masih ada saja gangguan-gangguan kepada ibu dan anak yang baru dilahirkan. c. Upacara among-among, dilakukan bersama upacara kekerik. Upacara ini ini

dilakukan untuk mengamongi keluarga atau saudara-saudara tertua dan orang tua dari ibu dan bapak yang baru melahirkan. Tujuannya adalah agar nantinya orang tua dan saudara-saudaranya serta para sesepuh bisa ngemong/ memberi petunjuk yang baik kepada anak yang dilahirkan supaya setelah dewasa menjadi orang yang berguna.

d. Upacara tanam ari-ari, dilakukan setelah ari-ari sudah keluar dan dilakukan oleh dukun bayi.

5

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koordinator Dukun Sekawasan Tengger (Bapak Mudjono) dan juga merupakan dokumentasi pribadi yang tidak dipublikasikan.


(54)

e. Upacara setelah bayi berumur 44 hari. Upacara ini dilakukan agar bayi dapat diajak keluar. Sebelum berumur 44 hari bayi tidak boleh dibawa keluar dari rumah atau halaman rumah termasuk ibunya.

f. Upacara tugel gombak/ tugel kuncung. Upacara ini dilakukan dengan memotong sedikit rambut, tugel kuncung adalah sebutan untuk laki-laki, sedangkan tugel gombak adalah sebutan untuk perempuan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan sengkala.

g. Upacara Ngruwat/ Ruwatan, dilaksanakan setelah anak menginjak dewasa. Dilakukan bagi anak-anak yang tidak punya saudara sama sekali. Tujuannya adalah untuk menjaga keselamatan agar tidak diganggu oleh butakala.

h. Upacara pernikahan/ Praswala Gara, yaitu upacara pernikahan yang dilakukan menurut tradisi Tengger. Secara lengkap akan diterangkan pada bagian pembahasan Upacara Praswala Gara.

i. Upacara Kematian, rangkaian upacara kematian ini dilakukan pada saat upacara penguburan di pemakaman, upacara yang dilakukan di rumah duka dan upacara Entas -Entas yang dilakukan minimal 44 hari setelah kematian. Upacara Entas -Entas ini diterangkan secara lebih lengkap pada pembahasan upacara tersebut.

2. Upacara Lingkup Desa.

Upacara jenis ini biasanya memilik i cakupan yang luas karena dilakukan oleh seluruh warga desa bahkan juga seluruh warga masyarakat Tengger. Penanggung jawab pelaksana an biasanya adalah Petinggi (Kepala Desa) sebagai pemangku adat beserta para perangkatnya serta Dukun dan para kerabatnya (Legen dan Wong Sepuh) sebagai pelaksananya. Beberapa upacara jenis ini antara lain:

a. Upacara Kasada, berupa ungkapan syukur yang dilakukan dengan membuang hasil pertanian ke kawah Gunung Bromo pada bulan ke- dua belas (bulan Kasada) waktu bulan purnama. Upacara ini diikuti oleh seluruh masyarakat Tengger yang berpusat di Pura Agung Poten di lautan pasir Gunung Bromo dan merupakan upacara terbesar dalam kehidupan masyarakat Tengger.


(55)

b. Upacara Karo, dilakukan dengan mengadakan upacara di Pura dan di desa, merupakan upacara terbesar kedua setelah Kasada.Upacara ini dilakukan pada tanggal 15 bulan kedua penanggalan Tengger (bulan Karo).

c. Upacara Unan-Unan, yaitu upacara bersih desa yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Tujuannya adalah untuk menjauhkan desa dari mara bahaya. Rangkaian upacaranya adalah: Banten Kayopan Agung, Yatnya Nguna Sasi/ korban maesa (berupa kerbau yang dikorbankan dalam upacara tersebut) dan

Yatnya Tandur Tuwuh.

d. Upacara Pujan, yaitu tradisi pemujaan yang dilakukan pada bulan-bulan tertentu untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh warga masyarakat. Pujan ini macamnya adalah Pujan Kapat (bulan keempat), Pujan Kapitu (bulan ketujuh), Pujan Kawolu (bulan kedelapan), Pujan Kesanga

(bulan ke sembilan) dan Pujan Kasada (bulan kedua belas).

Sebagaimana hasil penelitian dari Soemanto dalam buku “Agama Tradisional” menyatakan bahwa nilai budaya masyarakat Tengger terwujud dalam aturan-aturan adat yang benar-benar dipedomani oleh masyarakatnya dan hal ini didukung pula oleh pandangan agama dan kepercayaannya yang menjadi kesatuan dalam sikap kehidupan sehari-hari. Berdasarkan agama dan kepercayaan yang mereka anut, masyarakat adat Tengger selalu berusaha untuk mendekatkan diri pada Sang Hyang Agung.

Banyak hal yang ikut menentukan kepatuhan warga Tengger terhadap keberadaan nilai-nilai sosial budaya. Selain hal di atas adalah melekatnya budaya paternalistik dalam masyarakat. Pemimpin atau tokoh adat merupakan panutan sentral bagi warga, sehingga kemungkinan kecil terdapat perilaku-perilaku sosial budaya masyarakat yang menyimpang dari kebiasaan yang ada. Hasil penelitian terdahulu yang terhimpun dalam buku yang berjudul “Agama Tradisional” menjelaskan dalam sistem sosial budaya Tengger selama ini, belum pernah terjadi peristiwa sosial baru atau bentuk-bentuk budaya baru, baik yang dilakukan oleh individu atau kelompok sosial dalam masyarakat. Masyarakat (terutama generasi baru) cenderung ingin mengetahui, memahami, melaksanakan dan menghargai terhadap sistem sosial budaya yang lama. Nilai-nilai sosial budaya Tengger sudah


(56)

melembaga sedemikian kuat dalam masyarakat Tengger sehingga ketradisionalannya tetap terpelihara.

Daerah Tengger adalah daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Para wisatawan sedikit banyak akan membawa perubahan sosial dalam kehidupan yang belum diketahui oleh masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat Tengger yang banyak melakukan interaksi dengan wisatawan lambat laun juga akan mengalami perubahan karena pengaruh modernisasi yang dibawa oleh wisatawan. Dengan demikian, mereka banyak menyerap pengetahuan dan pengalaman dari orang luar Tengger. Memang dalam beberapa hal interaksi tersebut perlu untuk dilakukan, namun dalam kasus lain perlu adanya benteng dari masyarakat terhadap pengaruh budaya asing. Hal ini perlu dilakukan mengingat interaksi dengan orang asing, baik dalam negeri maupun luar negeri tidak selamanya membawa pengaruh yang positif (Anwar, 2003).

Pada akhir abad 20-an kehadiran lembaga sekolah tidak diterima secara mulus oleh masyarakat Tengger. Oleh karena itu cara penanamannya melalui penyadaran, perintah, bahkan terkadang dengan cara memaksa. Seperti adanya aturan dari pemerintah desa tentang ijin menikah yang bisa diberikan jika pasangan calon pengantin sudah lulus sekolah menengah pertama. Penerimaan pembaruan dan inovasi untuk saat sekarang ini disamping dilakukan melalui pendidikan formal atau lembaga sekolah, juga dilakukan dengan cara menghimpun kelompok-kelompok masyarakat melalui jalur-jalur nonformal, seperti Pramuka. Selain itu penerimaan pembaruan dan inovasi juga banyak dipengaruhi oleh para pendatang yang berasal dari luar Tengger dan tamu wisatawan, baik domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke Gunung Bromo.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran lembaga pendidikan, baik yang formal maupun nonformal di daerah Tengger, sedikit demi sedikit telah banyak membantu untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Tengger. Keterbukaan dalam hal pembaruan di daerah Tengger ini sedikit demi sedikit juga mengalami peningkatan, dalam artian masyarakat Tengger dapat menerima


(1)

(2)

(3)

Lampiran 20

CONTOH ABSENSI KEGIATAN PRAMUKA, KEGIATAN ADAT DAN PERTEMUAN-PERTEMUAN LAIN


(4)

(5)

Lampiran 21

SURAT IJIN PENELITIAN

Lampiran 19.

JADWAL KEGIATAN PRAMUKA

Lampiran 20.

CONTOH ABSENSI KEGIATAN PRAMUKA, KEGIATAN ADAT DAN PERTEMUAN-PERTEMUAN LAIN

Lampiran 22.

CONTOH MAKALAH MATERI ADAT DALAM KEGIATAN PRAMUKA

Lampiran 23.

CONTOH CATATAN MATERI DALAM KEGIATAN PRAMUKA


(6)