Karakteristik aliran permukaan pada perkebuanan kelapa sawit dengan perlakuan teras gulud dan rorak Di Unit Usaha Rejosari PT. Perkebunan Nusantara VII, Lampung

KARAKTERISTIK ALIRAN PERMUKAAN PADA
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN PERLAKUAN
TERAS GULUD DAN RORAK DI UNIT USAHA REJOSARI
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII, LAMPUNG

Oleh :
SRI MALAHAYATI YUSUF
A24102002

PROGRAM STUDI ILMU TANAH
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

RINGKASAN
SRI MALAHAYATI YUSUF. Karakteristik Aliran Permukaan pada Perkebunan
Kelapa Sawit dengan Perlakuan Teras Gulud dan Rorak di Unit Usaha Rejosari
PT. Perkebunan Nusantara VII, Lampung. Dibawah bimbingan SUDARMO dan
YAYAT HIDAYAT.
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman yang membutuhkan air dalam

jumlah yang banyak. Pengelolaan air di perkebunan kelapa sawit perlu dilakukan
sebaik mungkin yang ditujukan untuk meminimalkan terjadinya kelebihan air
(aliran permukaan) pada musim hujan dan cukup tersedia air pada saat musim
kemarau, sehingga pertumbuhan kelapa sawit menjadi optimal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penerapan teras
gulud dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal dalam
menekan aliran permukaan di lahan perkebunan kelapa sawit. Penelitian
dilakukan di perkebunan Kelapa Sawit Unit Usaha Rejosari PTP Nusantara VII,
Lampung dari bulan Februari 2006 hingga Juni 2006. Perlakuan yang diterapkan
adalah pembuatan teras gulud yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa
vertikal pada blok 375 (Micro catchment I, 11.8 ha), tanpa perlakuan pada blok
415 (Micro catchment II, 14.6 ha) dan rorak yang dilengkapi dengan lubang
resapan dan mulsa vertikal pada blok 414 (Micro catchment III, 6.3 ha).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa total curah hujan pada perlakuan
teras gulud, kontrol dan rorak selama masa penelitian (18 Februari – 30 Juni
2006) adalah sebesar 841.49 mm, 731.17 mm dan 751.63 mm dengan curah hujan
maksimum dan minimum harian sebesar 98.90 mm dan 0.50 mm. Total aliran
permukaan yang terjadi pada perlakuan teras gulud, kontrol dan rorak adalah
sebesar 479.61 mm, 527.59 mm dan 300.10 mm dengan koefisien aliran
permukaan pada masing-masing perlakuan yaitu sebesar 0.57, 0.72 dan 0.40.

Koefisien overland flow untuk masing-masing perlakuan relatif lebih kecil
daripada koefisien aliran permukaan yaitu sebesar 0.07, 0.13 dan 0.01.

Overland flow pada perlakuan teras gulud terjadi pada curah hujan lebih
besar dari 13.89 mm. Pola yang sama juga terjadi pada perlakuan kontrol dan
rorak dengan curah hujan lebih dari 11.46 mm dan 15.69 mm. Teknik konservasi
teras gulud dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal
efektif dalam menekan aliran permukaan dibandingkan kontrol sebesar 9.09 %
dan 43.12 %

SUMMARY
SRI MALAHAYATI YUSUF. Surface Runoff Characteristic in Oil Palm
Plantation with Bund Terraces and Silt Pits Treatment in Business Unit of
Rejosari, PT Perkebunan Nusantara VII, Lampung. (Under Supervision of
SUDARMO and YAYAT HIDAYAT).
Oil palm is ones plant that requires large amount of water.

Water

management in oil palm plantation area, needs to be practiced as good as possible

to minimize loss of water of surface runoff in rainy season and to ensure sufficient
water availability during dry season, so that oil palm growth optimally.
Objective of this research was to investigate effectiveness of application of
bund terraces and silt pits accompanied with infiltration holes and vertical
mulches to reduce surface runoff in oil palm plantation area. The research was
conducted in oil palm plantation, business unit of Rejosari, PT Perkebunan
Nusantara VII, Lampung, from February 2006, to Juny 2006.

The applied

treatments were bund terraces accompanied with infiltration holes and vertical
mulches in block 375 (microcatchment I, 11.8 ha), without treatment in block 415
(microcatchment II, 14.6 ha), and silt pits accompanied with infiltration holes and
vertical mulches in block 414 (microcatchment III, 6.3 ha).
The results of this research showed that total rainfall in bund terraces,
control and silt pits treatments, during research period (18 Februari – 30 Juni
2006) were 841.49 mm, 731.17 mm, and 751.63 mm respectively, with maximum
and minimum daily rainfall were 98.90 mm and 0.50 mm. Total runoff occurring
in bund terraces, control and silt pits treatment were respectively 479.61 mm,
527.59 mm, and 300.10 mm; and runoff coefficient on those treatment were

respectively 0.57, 0.72 and 0.40. Overland flow coefficient in each treatment
relatively lower than runoff coefficient, that were 0.07, 0.13, and 0.01
respectively.
Overland flow in bund terraces treatment only occurred if rainfall more
than 13.89 mm. The same patterns were occurred also in control and silt pits
treatment which rainfall more than 11.46 mm and 15.69 mm respectively.
Comparing with control, the application of bund terraces and silt pits treatment
were combined with infiltration hole and vertical mulches were effectively reduce
surface runoff were 9.09 % and 43.12 % respectively.

KARAKTERISTIK ALIRAN PERMUKAAN PADA
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN PERLAKUAN
TERAS GULUD DAN RORAK DI UNIT USAHA REJOSARI
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII, LAMPUNG

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor


Oleh :
SRI MALAHAYATI YUSUF
A24102002

PROGRAM STUDI ILMU TANAH
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

JUDUL

: Karakteristik Aliran Permukaan pada Perkebunan
Kelapa Sawit dengan Perlakuan Teras Gulud dan
Rorak di Unit Usaha Rejosari PT. Perkebunan
Nusantara VII, Lampung

Nama Mahasiswa

: Sri Malahayati Yusuf


Nomor Pokok

: A24102002

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Ir. Sudarmo, M. Si

Ir. Yayat Hidayat, M. Si

NIP. 131 284 622

NIP. 132 004 798

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr
NIP. 131 124 019

Tanggal lulus :

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul Karakteristik Aliran Permukaan pada Perkebunan Kelapa
Sawit dengan Perlakuan Teras Gulud dan Rorak di Unit Usaha Rejosari PT
Perkebunan Nusantara VII, Lampung. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan studi pada Program Sarjana Ilmu Tanah, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima
kasih penulis tujukan kepada :
1. Direksi dan Staf Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan yang telah mendanai
penelitian ini.

2. Manager dan Staf Unit Usaha Rejosari PTP Nusantara VII Lampung beserta
Sinder dan Staf Afdeling III yang telah memfasilitasi lokasi penelitian.
3. Bapak Dr. Ir. Sudarmo, M. Si dan Ir. Yayat Hidayat, M. Si sebagai dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M. S sebagai dosen penguji sidang yang
telah memberikan bimbingan selama penelitian dan penyempurnaan skripsi.
5. Bapak Dr. Ir. Widiatmaka M. Sc sebagai pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan dan bimbingan selama kuliah di IPB.
6. Papah, mamah, K’Elsa dan D’Onal serta seluruh keluarga atas do’a, cinta dan
kasih sayang yang tiada terputus dalam mendukung penulis.

7. Bapak Dr. Ir. DPT Baskoro M. Sc, Ibnu Umar, Pedro dan P’Lan yang telah
membantu selama di lapangan.
8. Teman-teman sepenelitian : Indri, Weni, Awal, Hendra, Ida dan Frans yang
telah banyak membantu selama penelitian dan penyelesaian skripsi.
9. Teman-teman DENIM (Dian, Emma, Danis dan Fika) yang tiada bosan
memberikan semangat dan motivasi selama masa kuliah dan penyelesaian
skripsi ini.
10. Keluarga besar Asrama Mahasiswi Aceh Malahayati (K’Ika, Misna, Dessy,

Desna, Andria, Fajar) dan Asrama Mahasiswa Aceh Leuser (Hakim, Oji,
Riyan, Saidul, Pinem, Faisal, Aki Syahrul, B’Rahmat, B’Rifki), Oky dan Eko
atas segala dukungan dan kebersamaannya.
11. Soiler’s 39, K’Beki dan Staf Lab. Fisika dan Konservasi Tanah dan Air dan
Bu Rustini sebagai pegawai Perpustakaan Departemen Ilmu Tanah atas
bantuan dan semangat yang diberikan kepada penulis
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, walaupun
demikian, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca
sekalian.
Bogor, Mei 2007
Penulis

v

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 10 Juni 1984 dari
keluarga M. Yusuf dan Betty Ibo Haryati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara.
Penulis memulai pendidikan formalnya di TK Pertiwi Bireuen pada tahun
1989, lalu melanjutkan pendidikan ke SD Negeri 4 Bireuen pada tahun 1990. Pada

tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikannya di SLTP Negeri 1 Bireuen,
kemudian melanjutkan pendidikannya di SMU Negeri 1 Bireuen dan lulus pada
tahun 2002.
Penulis diterima sebagai mahasiswi program studi Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk
IPB) pada tahun 2002. Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis aktif di unit
kegiatan mahasiswa KSR (Korps Sukarela) IPB (2003-2004). Penulis juga aktif
sebagai pengurus Asrama Mahasiswi Aceh Malahayati (2003-2007), organisasi
IMTR (Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong) (2002-2006) dan Komite Peduli
Aceh – Bogor (KPA –B) (2004-2005). Penulis juga menjadi asisten mata kuliah
Fisika Tanah pada tahun ajaran 2006 – 2007.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .........................................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................


ix

PENDAHULUAN..........................................................................................

1

Latar Belakang ........................................................................................

1

Tujuan .....................................................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................

4

Aliran Permukaan ...................................................................................

4

Peranan Teras Gulud dalam Menekan Aliran Permukaan ......................

5

Peranan Rorak dalam Menekan Aliran Permukaan ................................

7

Peranan Mulsa dalam Menekan Aliran Permukaan ................................

8

Kelapa Sawit ...........................................................................................

11

BAHAN DAN METODE ..............................................................................

13

Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................

13

Bahan dan Alat ........................................................................................

13

Metode ....................................................................................................

13

Perlakuan ...........................................................................................

13

Pengukuran Aliran Permukaan .........................................................

15

Pengolahan Data ...............................................................................

16

Analisis Data .....................................................................................

17

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ..........................................

18

Letak Geografis .......................................................................................

18

Keadaan Tanah dan Iklim .......................................................................

18

Tanah .................................................................................................

18

Topografi ...........................................................................................

20

Iklim dan Curah Hujan ......................................................................

21

HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................

22

Curah Hujan ............................................................................................

22

Kurva Lengkung Debit Aliran ................................................................

23

Aliran Permukaan ...................................................................................

24

Hubungan Hujan dan Aliran Permukaan ................................................

27

Curah Hujan dan Overland flow .............................................................

30

Hubungan Curah Hujan, Intensitas Maksimum dan Debit Puncak
Overland flow ..........................................................................................

34

KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................

37

Kesimpulan .............................................................................................

37

Saran........................................................................................................

38

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

39

LAMPIRAN ...................................................................................................

42

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman
Teks

1. Kedalaman Solum Tanah pada Setiap Perlakuan.................................

19

2. Total Curah Hujan Bulanan pada Masing-masing Perlakuan ..............

22

3. Komponen Hidrologi pada Setiap Micro catchment............................

25

4. Curah Hujan dan Overland flow pada Masing-masing Perlakuan .......

32

5. Curah Hujan, Intensitas Maksimum dan Debit Puncak
Overland flow .......................................................................................

35

Lampiran
1. Hasil Analisis Sifat Fisik Tanah Daerah Penelitian .............................

43

2. Data Suhu Udara Rata-rata Maksimum dan Rata-rata Minimum Bulanan
Daerah Branti .......................................................................................
44
3. Data Curah Hujan Harian pada Ketiga Blok ........................................

45

4. Tinggi Muka Air dan Debit Aliran pada Tiap AWLR ..........................

47

5. Data Harian Komponen Aliran Permukaan pada Tiap Blok ................

57

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman
Teks

1.

Teras Gulud (a) dan Rorak (b) yang dilengkapi dengan Lubang
Resapan dan Mulsa Vertikal ................................................................

14

2. Stasiun Pengukur Arus Air : (a) Weir, (b) AWLR dan (c) Pengukuran
Kecepatan Arus ....................................................................................

16

3.

Curah Hujan Bulanan ...........................................................................

23

4. Kurva Lengkung Debit Aliran pada AWLR I (a), AWLR II (b),
AWLR III, AWLR IV (d) dan AWLR V .................................................

24

5.
6.
7.

Efektivitas Perlakuan Teras Gulud dan Rorak yang dilengkapi
Lubang Resapan dan Mulsa Vertikal ...................................................

27

Hubungan Curah Hujan dan Aliran Permukaan pada Perlakuan
Teras Gulud (a), kontrol (b) dan Rorak (c) ..........................................

30

Grafik Hubungan Curah Hujan dan Overland flow pada Perlakuan
Teras Gulud (a), Kontrol (b) dan Rorak (c) .........................................

34

Lampiran
1.

Peta Afdeling III Unit Usaha Rejosari .................................................

66

2.

Tata Letak Blok dan Micro catchment .................................................

67

3.

Kurva Linier Tinggi Muka Air AWLR I (a), AWLR II (b dan c),
AWLR III (d,e dan f), AWLR V (g) .......................................................

68

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) merupakan salah satu tanaman
perkebunan penting di Indonesia. Pertumbuhan tanaman kelapa sawit dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan
tanaman kelapa sawit adalah iklim. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada
daerah beriklim tropis dengan kisaran suhu 22-32°C (Hartley, 1970 dalam
Muchtadi dan Nuraida, 1986), curah hujan antara 2000-3000 mm/tahun dan
menyebar sepanjang tahun tanpa bulan kering yang nyata (Mansjur, 1980).
Kebutuhan air bagi tanaman kelapa sawit dapat terpenuhi dari hujan. Pada
musim hujan, dengan pasti dapat dikatakan bahwa tanaman kelapa sawit
mendapatkan air dalam jumlah yang cukup. Disamping itu, musim hujan juga
memberikan masalah baru yaitu terjadinya kelebihan air di atas permukaan tanah.
Hal ini terjadi karena pada musim hujan, tanah lama kelamaan akan menjadi jenuh
sehingga tanah tidak mampu lagi meresapkan air. Dengan demikian, kelebihan air
akan mengalir sebagai aliran permukaan.
Aliran permukaan yang terjadi pada lahan perkebunan kelapa sawit dapat
mengakibatkan kehilangan air dengan cepat sehingga mengurangi jumlah air yang
dapat disimpan di tanah. Apabila hal ini terjadi, maka akan merugikan tanaman
kelapa sawit karena pada saat tidak terjadi hujan (musim kemarau) tanaman akan
mencukupi kebutuhan akan air dari cadangan air yang ada di dalam tanah.
Sedikitnya jumlah cadangan air dalam tanah menyebabkan tanaman kekurangan
air dari hari ke hari sehingga menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman
yang pada akhirnya dapat menurunkan produksi kelapa sawit.

2

Kebutuhan akan air bagi tanaman kelapa sawit akan terpenuhi bila
pengelolaan air dilakukan dengan baik. Pengelolaan air pada perkebunan kelapa
sawit ditujukan agar kelebihan air pada musim hujan dapat disimpan dalam tanah
sehingga dapat digunakan oleh tanaman pada saat musim kemarau.
Tindakan konservasi air yang dapat dilakukan di perkebunan kelapa sawit
diantaranya adalah pembuatan teras gulud dan rorak yang dilengkapi dengan
lubang resapan dan mulsa vertikal. Adanya saluran yang berfungsi sebagai
penampung air dapat mengurangi kelebihan air di permukaan karena air masuk ke
dalam saluran. Sedangkan guludan dapat menghambat aliran permukaan sehingga
air akan tertahan lebih lama di sekitar guludan. Tertahannya air di sekitar guludan
akan memberikan kesempatan lebih lama kepada air untuk meresap ke dalam
tanah sehingga jumlah kelebihan aliran permukaan yang hilang dari petakan
berkurang (Rama et al., 1978 dalam Brata, 1998). Pembuatan rorak diharapkan
dapat menampung sebagian air aliran permukaan yang secara perlahan akan
meresap ke dalam tanah (Agus dan Rujitor, 2004). Aliran permukaan yang
meresap ke dalam tanah tersebut diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan air
yang pada akhirnya mampu meningkatkan cadangan air tanah dan air bawah tanah
yang dapat digunakan oleh tanaman pada waktu musim kemarau. Dengan
demikian masalah kekurangan air pada lahan perkebunan kelapa sawit dapat
diatasi dan pertumbuhan kelapa sawit menjadi optimal.

3

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penerapan
teknik konservasi tanah dan air berupa teras gulud dan rorak yang dilengkapi
dengan lubang resapan dan mulsa vertikal dalam menekan aliran permukaan di
lahan perkebunan kelapa sawit.

TINJAUAN PUSTAKA
Aliran Permukaan
Aliran permukaan adalah bagian dari hujan atau presipitasi yang alirannya
menuju ke saluran-saluran (sungai, danau, atau laut) (Haridjaja dkk, 1990).
Selama aliran permukaan terjadi, aliran tersebut mengangkut bagian-bagian tanah
sehingga menyebabkan terjadinya erosi (Arsyad, 2000). Aliran permukaan (run
off) dapat berupa overland flow dan sub surfaceflow atau interflow. Overland flow
adalah air yang mengalir pada permukaan tanah. Sedangkan sub surfaceflow
adalah aliran air dibawah permukaan tanah yang kemudian keluar pada suatu
tempat di bagian bawah atau masuk ke sungai (Haridjaja dkk, 1990). Aliran ini
terjadi karena adanya lapisan kedap air sehingga air tidak bisa masuk lebih jauh ke
dalam tanah.
Aliran permukaan akan terjadi apabila proses-proses hidrologi seperti
intersepsi, infiltrasi, perkolasi, simpanan permukaan, tambatan permukaan,
tambatan saluran dan evaporasi telah terjadi (Schwab et al., 1981). Setelah
mengalami proses-proses tersebut dan air hujan masih berlebih, maka akan terjadi
aliran permukaan (overland flow).
Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan yaitu faktor iklim dan
sifat-sifat daerah aliran sungai (DAS). Faktor iklim terdiri dari tipe hujan,
intensitas hujan, lama hujan, distribusi hujan, arah hujan, temperatur, angin, dan
kelembaban. Intensitas hujan berbanding lurus terhadap jumlah dan laju aliran
permukaan. Aliran permukaan akan semakin besar bila hujan terjadi pada waktu
yang lama (Haridjaja dkk, 1990). Sifat-sifat DAS yang mempengaruhi aliran

5

permukaan yaitu kadar air tanah awal, ukuran bentuk, elevasi dan topografi DAS,
vegetasi yang tumbuh di atasnya, serta geologi dan tanah.
Menurut Haridjaja dkk (1990), aliran permukaan akan tetap jika keadaan
DAS dan faktor iklim sama. Apabila faktor iklim tetap dan luas DAS berubah,
maka aliran permukaan akan berubah dan akan berbanding terbalik dengan luas
DAS. Daerah aliran sungai dengan luasan besar memiliki daerah tangkapan air
yang besar pula. Semakin luas DAS maka aliran permukaan semakin kecil karena
jarak tempuh yang harus dilalui oleh aliran permukaan lebih lama dibandingkan
aliran permukaan pada DAS yang lebih kecil. Adanya keragaman faktor iklim di
lapang juga menyebabkan pengaruh luas DAS terhadap aliran permukaan menjadi
lebih kompleks.
Sifat-sifat aliran permukaan yang menentukan kemampuan aliran
permukaan dalam menimbulkan erosi yaitu jumlah, laju, dan kecepatan aliran
permukaan (Arsyad, 2000). Jumlah aliran permukaan adalah total jumlah atau
volume air yang mengalir di atas permukaan tanah untuk suatu masa hujan dan
waktu tertentu, dinyatakan dalam ketinggian (mm) atau volume (m3). Laju aliran
permukaan adalah jumlah atau volume air yang mengalir pada suatu titik atau
tempat per satuan waktu, dinyatakan dalam m3/detik atau m3/jam. Laju aliran
permukaan dikenal dengan istilah debit (Haridjaja dkk, 1990). Kecepatan aliran
permukaan adalah jarak yang ditempuh aliran permukaan per satuan waktu,
dinyatakan dalam m/detik.
Peranan Teras Gulud dalam Menekan Aliran Permukaan
Guludan merupakan suatu bangunan konservasi tanah berupa pematang
dengan

ukuran

tinggi

dan

lebar

tertentu

yang

dibuat

sejajar

garis

6

kontur/memotong arah lereng yang dilengkapi tanaman penguat teras yang
berfungsi sebagai pengendali erosi dan aliran permukaan (Departemen Pertanian,
2006b). Adanya guludan diharapkan dapat menghambat aliran permukaan
sehingga memberikan kesempatan kepada aliran permukaan untuk meresap ke
dalam tanah lebih lama sehingga jumlah kelebihan aliran permukaan yang hilang
dari petakan berkurang (Rama et al., 1978 dalam Brata, 1998). Terhambatnya
aliran permukaan menyebabkan resapan air ke dalam tanah meningkat.
Pada saat guludan tidak mampu mengurangi erosi sampai batas yang
masih dapat dibiarkan pada lereng yang lebih curam, maka digunakan teras gulud.
Teras gulud merupakan guludan yang dilengkapi dengan saluran. Guludan dibuat
memanjang menurut arah garis kontur atau memotong lereng. Saluran dibuat
memanjang mengikuti guludan di sebelah atas lereng dari guludan. Ukuran
guludan pada teras gulud yaitu 25 sampai 30 cm tinggi tumpukan tanah dengan
lebar dasar sekitar 25 sampai 30 cm, kedalaman saluran adalah 25 sampai 30 cm,
dan lebar permukaan 30 cm (Arsyad, 2000).
Jarak antara guludan tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi
tanah, dan erosivitas hujan. Teras gulud dapat dibuat pada tanah dengan lereng
sampai 12 % (Arsyad, 2000). Guludan dapat diperkuat dengan tanaman rumput,
perdu atau pohon yang tidak begitu tinggi dan rindang.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembuatan guludan sebagai
teknik konservasi dapat mengurangi aliran permukaan. Hasil penelitian Banuwa
(1994) pada tanah Andosol Pangalengan Jawa Barat, menunjukkan bahwa
perlakuan penanaman di atas guludan searah kontur lebih efektif dalam menekan
aliran permukaan dibandingkan penanaman di atas guludan searah lereng yaitu

7

dari 24.08 mm menjadi 6.95 mm atau turun 71.14 %. Selain menekan aliran
permukaan, arah guludan juga berpengaruh terhadap produksi. Perlakuan arah
guludan sesuai kontur menghasilkan produksi tanaman tomat tertinggi dan aliran
permukaan yang terjadi kecil bila dikombinasikan dengan penutup tanah berupa
jerami sehingga erosi yang terjadi cukup kecil (Rachmat, 1979). Hal ini juga
didukung oleh penelitian Soleh dkk (2003) yang menunjukkan bahwa guludan
searah kontur dapat menekan run off menjadi 333.34 m3/ha dari run off sebesar
486.32 m3/ha pada guludan yang dibuat tegak lurus kotur.
Peranan Rorak dalam Menekan Aliran Permukaan
Usaha untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan dapat dilakukan
dengan pembuatan sistem rorak atau parit-parit kecil dengan ukuran-ukuran
tertentu sesuai dengan kemiringan lahan (Kartasapoetra, Kartasapoetra dan
Sutedjo, 2005). Rorak merupakan lubang yang digali dengan ukuran kedalaman
60 cm, lebar 50 cm dengan panjang sekitar 4 sampai 5 m. Panjang rorak dibuat
sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak dengan
rorak lainnya berkisar antara 10 sampai 15 m, sedangkan jarak horizontal berkisar
antara 20 m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng
yang lebih curam (Arsyad, 2000). Rorak yang dibuat memotong lereng dengan
jarak antara rorak 5 m, efektif berfungsi mengendalikan laju aliran permukaan dan
dapat berfungsi sebagai teknik pemanenan air/water harvesting (Noeralam,
Arsyad dan Anas, 2003).
Rorak dibuat untuk menangkap air dan tanah tererosi sehingga
memungkinkan air masuk ke dalam tanah dan mengurangi erosi (Arsyad, 2000).
Selain itu, rorak juga berfungsi memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan

8

memperlambat limpasan air pada saluran peresapan (Departemen Pertanian,
2006a). Adanya rorak sebagai penangkap air menyebabkan aliran permukaan
tertampung pada rorak sehingga tidak semua aliran permukaan sampai ke outlet.
Air yang tertampung di rorak akan terinfiltrasi secara perlahan dan dapat
dimanfaatkan oleh tanaman pada lahan tersebut. Pada daerah dengan daya serap
atau infiltrasi rendah (tanah bertekstur liat) dan curah hujan tinggi pada waktu
yang pendek, cocok apabila dibuat bangunan rorak (Agus, dan Rujitor, 2004).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembuatan rorak dapat
mengurangi aliran permukaan. Hasil penelitian Rejekiningrum dkk di Jawa
Tengah menunjukkan bahwa rorak dapat menurunkan total aliran permukaan dan
erosi masing-masing sebesar 33 % dan 62 % sehingga memungkinkan
dipercepatnya rehabilitasi lahan terdegradasi (Rejekiningrum dkk, 2000 dalam
Heryani dan Nono, 2005). Penggunaan teknik rorak yang dikombinasikan dengan
mulsa vertikal juga efektif mengurangi laju aliran permukaan yaitu 6.45 cm/tahun
dibandingkan tanah terbuka yaitu sebesar 40.22 cm/tahun (Noeralam dkk, 2003).
Hal ini menunjukkan kemampuan teknik rorak dan mulsa vertikal dalam
mengendalikan aliran permukaan. Selain itu, pembuatan rorak di dasar saluran
teras dan pengolahan tanah minimum mampu menekan besarnya erosi dari 30.2
ton/ha menjadi 16.7 ton/ha atau turun 44.8 % (Djajadi, Dalmadiyo dan Murdiyati ,
2004).
Peranan Mulsa dalam Menekan Aliran Permukaan
Mulsa adalah sisa-sisa tanaman yang ditebarkan di atas permukaan tanah
(Suripin, 2002). Beberapa keuntungan penggunaan mulsa yaitu (1) melindungi
permukaan tanah dari pukulan butiran air hujan sehingga mengurangi laju erosi,

9

(2) mengurangi volume dan kecepatan aliran permukaan, (3) memelihara
temperatur dan kelembaban tanah, (4) meningkatkan kemantapan struktur tanah,
(5) meningkatkan kandungan bahan organik tanah, dan (6) mengendalikan
tanaman pengganggu. Umboh (2000) menambahkan bahwa mulsa juga
bermanfaat untuk menjaga kestabilan agregat tanah dan mengurangi evaporasi.
Kestabilan agregat tanah terjaga karena mulsa di atas permukaan tanah memiliki
kemampuan melindungi permukaan tanah dari hantaman pukulan butiran air
hujan.
Suwardjo (1981 dalam Suripin, 2002) berdasarkan hasil penelitiannya di
Citayam, Bogor, dan tanah Podzolik di Lampung menyimpulkan bahwa selain
mengurangi erosi, mulsa juga berpengaruh terhadap suhu tanah, kemampuan
tanah menahan air, kekuatan penetrasi akar, kemantapan agregat, dan aerasi tanah.
Selain itu mulsa dapat menyebabkan perubahan sifat tanah ke arah yang
menguntungkan pertumbuhan tanaman seperti berkurangnya penguapan sehingga
tanah tetap berada dalam keadaan lembab.
Penggunaan mulsa pada lahan pertanian mampu menekan aliran
permukaan yang pada akhirnya dapat mengendalikan erosi. Efektivitas
penggunaan mulsa dalam menekan aliran permukaan tergantung pada seberapa
banyak jumlah mulsa yang digunakan. Semakin banyak mulsa yang digunakan
maka semakin efektif mulsa tersebut dalam menekan aliran permukaan dan erosi.
(Lal, 1976 dan 1980 dan Borst dan Woodburn, 1942, dalam Suripin, 2002).
Bahan mulsa yang baik untuk tindakan konservasi adalah bahan yang tidak
mudah lapuk seperti batang jagung ataupun jerami padi. Penggunaan jerami padi
sebanyak 6 ton/ha pada tanah Latosol Darmaga lebih efektif dalam menurunkan

10

aliran permukaan yaitu sebanyak 72.9 % dibandingkan penggunaan jerami padi
dengan dosis yang lebih rendah (3 ton/ha) yang menurunkan aliran permukaan
sebesar 26.0 % (Sinukaban, 1985). Hal ini dikarenakan kemampuan mulsa dalam
menahan energi hujan yang jatuh sehingga tanah terlindung dari penghancuran
agregat sehingga tidak menyumbat pori-pori tanah dan infiltrasi tidak berkurang.
Hasil penelitian Wiganda (1994) juga menunjukkan bahwa pemberian 6 ton/ha
semua jenis mulsa dapat mengurangi aliran permukaan dibandingkan tanah
terbuka.
Mulsa yang digunakan pada beberapa penelitian di atas adalah mulsa
konvensional yaitu mulsa yang disebarkan secara merata di permukaan tanah.
Selain itu, pemberian mulsa juga dapat dilakukan secara vertikal yaitu dengan
membenamkan mulsa ke dalam tanah secara vertikal untuk mengisi lubanglubang yang dibuat di dalam tanah atau menempatkannya dalam saluran (Agus,
dan Rujitor, 2004). Adapun keunggulan mulsa vertikal yaitu meningkatkan
kesuburan tanah karena menambah bahan organik, meningkatkan peresapan air,
mengurangi erosi, meningkatkan kehidupan jasad mikro, dan meningkatkan
kelembaban tanah.
Menurut Brata dkk (1994), mulsa vertikal merupakan teknik konservasi
tanah dan air tepat guna yang mudah dan lebih efektif untuk menekan aliran
permukaan dan erosi dibandingkan dengan mulsa konvensional dan teras gulud.
Mulsa vertikal tersebut dapat meningkatkan infiltrasi sampai beberapa musim
pertanaman. Farboun dan Gardner (1972 dalam Brata, 1994) juga menyatakan
bahwa alur yang diberi mulsa vertikal meningkatkan infiltrasi lebih besar daripada
alur tanpa mulsa dan dapat menurunkan laju evaporasi dari sekitarnya.

11

Peningkatan infiltrasi terjadi karena pori tanah terlindungi oleh mulsa sehingga
menghambat penyumbatan pori tanah yang dapat mempercepat peresapan air ke
dalam tanah.
Hasil penelitian Brata (1998) menunjukkan bahwa perlakuan teras gulud
yang dikombinasikan dengan perlakuan mulsa vertikal dengan nyata mampu
menekan aliran permukaan selama musim tanam jagung dibandingkan dengan
perlakuan mulsa konvensional. Pemanfaatan sisa tanaman untuk mulsa vertikal
yang dimasukkan dalam saluran teras gulud dapat menjaga dan memperbaiki
permukaan resapan pada dinding dan dasar saluran. Hasil penelitian Suryana
(1993) juga menunjukkan bahwa teras gulud berjarak 5.5 meter dan mulsa vertikal
adalah perlakuan paling efektif dalam mengurangi aliran permukaan dibandingkan
mulsa konvensional yaitu 100.7 m3/ha dibanding 381.9 m3/ha.
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal dari Nigeria, Afrika Barat.
Kelapa sawit juga cocok dikembangkan di luar daerah asalnya termasuk di
Indonesia. Tanaman ini berkembang di propinsi Aceh, Sumatera Utara, Lampung,
Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya (Lubis, 1992).
Tanaman kelapa sawit tergolong dalam family Palmae yaitu golongan
tanaman yang mempunyai akar serabut. Adapun fungsi akar tersebut yaitu sebagai
penyangga bagian atas dan menyerap zat hara (Tim Penulis Penebar Swadaya,
1994). Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman monokotil yaitu tanaman yang
tidak memiliki kambium pada batangnya dan pada umumnya tidak bercabang.
Pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh
berbagai faktor baik dari luar maupun dari dalam. Adapun faktor yang sangat

12

mempengaruhi pertumbuhan tanaman kelapa sawit adalah iklim. Secara umum,
kondisi iklim yang cocok bagi tanaman kelapa sawit terletak antara 15° LU - 15°
LS (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1994). Kelapa sawit dapat tumbuh dengan
baik pada daerah beriklim tropis dengan kisaran suhu antara 22 - 32° C dan
kelembaban udara antara 80 – 90% (Hartley, 1970 dalam Muchtadi dan Nuraida,
1986). Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada curah hujan antara 2000-3000
mm/tahun dan menyebar sepanjang tahun tanpa bulan kering (Mansjur, 1980),
dengan lama penyinaran optimum antara 5 – 7 jam per hari.
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti
podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial dan regosol. Pertumbuhan tanaman
kelapa sawit tidak terlalu dipengaruhi oleh sifat kimia tanah karena kekurangan
unsur hara dapat dipenuhi melalui pemupukan (Tim Penulis Penebar Swadaya,
1994). Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH antara 4.0 – 6.5 dengan pH optimum
antara 5.0 – 5.5.
Tanaman kelapa sawit membutuhkan sifat fisik tanah yang baik seperti
tanah yang gembur, subur, mempunyai lapisan yang dalam, teksturnya
mengandung liat dan debu 25 – 30%, datar dan berdrainase baik. Beberapa sifat
fisik tanah yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa
sawit diantaranya yaitu adanya lapisan padas , drainase yang jelek, tanah yang
dangkal, permukaan air tanah yang tinggi dan struktur tanah yang buruk (Yahya,
1990).

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kebun Kelapa Sawit Afdeling III Unit Usaha
Rejosari, PT Perkebunan Nusantara VII, Desa Rejosari, Kecamatan Natar,
Lampung Selatan (Gambar Lampiran 1). Penelitian ini berlangsung dari bulan
Februari hingga bulan Juni 2006. Daerah penelitian terdiri dari 3 micro catchment
(tangkapan mikro) yang terdapat di 3 blok yaitu micro catchment I di blok 1 (Blok
375) dengan luas 11.8 ha, micro catchment II di blok 2 (Blok 415) dengan luas
14.6 ha, dan micro catchment III di blok 3 (Blok 414) dengan luas 6.3 ha. Adapun
letak ketiga blok dan micro catchment dapat dilihat pada Gambar Lampiran 2.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan selama penelitian ini adalah kertas pias pencatat
pulsa pada AWLR. Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu
current meter untuk mengukur kecepatan aliran air, sekat ukur (fiskal) untuk
pengamatan ketinggian muka air, AWLR (Automatic Water Level Recorder),
stopwatch, kantong plastik hitam dan alat tulis.
Metode
Perlakuan
Pengukuran dilaksanakan di 3 micro catchment dengan penerapan teknik
konservasi yang berbeda. Pada micro catchment I (Blok 375) diterapkan
konservasi teras gulud dengan lubang resapan dan mulsa vertikal, micro
catchment II (Blok 415) tanpa perlakuan (kontrol), dan pada micro catchment III
(Blok 414) diterapkan konservasi rorak dengan lubang resapan dan mulsa vertikal.
Tindakan konservasi tanah dan air tersebut disajikan pada Gambar 1.

14

(a)

(b)
Gambar 1. Teras gulud (a) dan rorak (b) yang dilengkapi dengan lubang
resapan dan mulsa vertikal.
Guludan dibangun di antara tanaman dan mengikuti kontur dengan beda
tinggi (Vertikal Interval) 80 cm. Guludan yang dibuat mempunyai ukuran tinggi,
lebar dan dalam saluran masing-masing kurang lebih 30 cm. Lubang resapan
dibuat di tengah-tengah saluran dengan jarak antar lubang 2 m, diameter lubang
10 cm, dan kedalaman 50 cm. Sisa tanaman berupa pelepah sawit dan dedaunan
dimasukkan ke dalam lubang resapan dan saluran dalam guludan.
Rorak dibuat mengikuti kontur dengan ukuran panjang, lebar, dan
kedalaman masing-masing 300 cm, 50 cm dan 50 cm. Jarak antar rorak dalam satu
garis kontur adalah 2 meter. Pada setiap rorak dibuat lubang resapan dengan jarak
2 m antar lubang dengan diameter dan kedalaman yang sama seperti pada saluran

15

guludan. Di dalam rorak dan lubang resapan juga ditambahkan sisa tanaman dan
dedaunan sebagai mulsa vertikal.
Pengukuran Aliran Permukaan
Pengukuran debit aliran permukaan dilakukan setiap hari pada ketiga
micro catchment yang dibangun 5 titik pengamatan AWLR (Automatic Water
Level Recorder). Pada micro catchment I dan II masing-masing dibangun 2
AWLR yaitu di bagian outlet dan inlet karena panjang saluran pengaliran air di
micro catchment tersebut cukup panjang. Sedangkan pada micro catchment III
hanya di bangun 1 AWLR karena panjang saluran pengaliran yang pendek.
Pengukuran debit aliran permukaan dilakukan pada berbagai tinggi muka
air. Pengukuran diawali dengan membaca pulsa yang tercatat pada pias AWLR,
kemudian dilakukan pengukuran tinggi muka air menggunakan sekat ukur yang
ditempelkan pada weir (Gambar 2). Kecepatan arus air aliran permukaan diukur
dengan menggunakan alat ukur arus current meter (Gambar 2) yang dilakukan
selama ± 2 menit. Alat ini berupa baling-baling yang akan berputar bila dilalui air.
Pengukuran yang dilakukan yaitu penghitungan bunyi yang dihasilkan oleh alat
current meter dimana alat akan berbunyi setiap 10 kali putaran.
Jika arus sungai kecil, maka pengukuran debit aliran dilakukan dengan
menggunakan kantong plastik hitam berukuran besar untuk menampung aliran
dan stopwatch sebagai pencatat waktu. Kantong plastik digunakan untuk
menampung air yang mengalir selama ± 10 detik. Air yang tertampung dalam
plastik kemudian ditakar menggunakan gelas ukur untuk mengetahui debit.

16

(a) Weir

(b) AWLR

(c) Pengukuran kecepatan arus
Gambar 2. Stasiun Pengukur Arus Air : (a) Weir, (b) AWLR dan (c)
Pengukuran kecepatan arus.
Pengolahan Data
Debit aliran permukaan dihitung dengan menggunakan persamaan
(Arsyad, 2000) :
Q=VxA
dimana Q adalah debit aliran sungai (m3/detik), V adalah kecepatan aliran sungai
(m/detik) dan A adalah luas penampang (m2). Kecepatan aliran sungai dihitung
menggunakan persamaan (Soewarno,1991) :
V=aN+b
dimana :
V

: kecepatan aliran air (m/detik)

N

: jumlah putaran per detik

17

a, b

: konstanta yang telah ditentukan oleh pabrik pembuat alat ukur arus
(a = 0.120 dan b = 0.005).
Data tinggi muka air yang diperoleh dari hasil pengukuran digunakan

untuk membuat hubungan antara tinggi muka air (TMA) dengan pulsa AWLR
(kurva linier tinggi muka air) (Gambar Lampiran 3) sedangkan data debit yang
diperoleh dari hasil perhitungan digunakan untuk membuat hubungan antara
tinggi muka air dengan debit aliran (Liter/detik) (Kurva Lengkung Debit Aliran)
(Gambar 4) sehingga diperoleh nilai debit aliran. Data debit aliran digunakan
untuk menghitung volume debit aliran setiap 10 menit dengan cara mengalikan
debit aliran dengan waktu. Setelah volume debit aliran diperoleh maka dapat
dihitung total run off, base flow+interflow dan overland flow harian dan bulanan.
Data total run off, base flow+interflow, dan overland flow blok dalam satuan liter
dibagi dengan luas masing-masing micro catchment sehingga didapat data dalam
satuan tinggi air (mm). Kemudian dilakukan perhitungan besarnya proporsi total
run off dan overland flow terhadap curah hujan.
Analisis Data
Analisis data dilakukan terhadap besarnya curah hujan, total run off, base
flow+interflow, dan overland flow harian dan bulanan. Analisis juga dilakukan
terhadap curah hujan dan hubungannya dengan overland flow. Selain itu juga
dilakukan analisis terhadap nilai intensitas maksimum 30 menit dan debit puncak
yang terjadi pada setiap kejadian hujan.

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Letak Geografis
Daerah penelitian terletak pada 105°07’55.5” BT - 105°08’20.4” dan
5°17’01.6” LS - 5°17’27.6” LS. Secara administratif lokasi penelitian termasuk ke
dalam wilayah Desa Rejosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan,
Propinsi Lampung. Jarak Unit Usaha Rejosari dari Ibukota Propinsi 12 km, dari
kota Kabupaten Lampung Selatan 70 km, dari Pelabuhan Panjang 12 km, dan dari
kantor direksi PTPN VII 12 km (PTP Nusantara VII, 2005).
Keadaan Tanah dan Iklim
Tanah
Tanah pada lokasi penelitian menurut Klasifikasi Taksonomi Tanah pada
tingkat sub group termasuk dalam Typic Kanhapludults dan Fluventic
Dystropepts. Typic Kanhapludults termasuk ke dalam order Ultisol (Soil Survey
Staff, 1992). Ultisol terbentuk dibawah iklim panas hingga tropik serta kurang
subur (Soepardi, 1983). Pada horizon bawah terjadi penimbunan liat, bersifat
masam dan kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang
dari 35 % (Hardjowigeno, 2003a).
Fluventic Dystropepts adalah Dystropepts lain yang mempunyai
kandungan karbon organik yang berkurang secara tidak teratur dengan
bertambahnya kedalaman dan mempunyai lereng 25 %. Fluventic Dystropepts
termasuk dalam order Inceptisol (Soil Survey Staff, 1992). Inceptisol merupakan
tanah muda dan cukup subur karena belum berkembang lanjut (Hardjowigeno,
2003a).

19

Adapun macam tanah di lokasi penelitian adalah Podzolik Merah Kuning
(berdasarkan Klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo, 1957;1961, dalam Sistem
Klasifikasi Tanah menurut Pusat Penelitian Tanah 1983) dengan tekstur tanah
berupa liat sampai liat berpasir dan kedalaman solum tanah yang beragam seperti
disajikan pada Tabel 1. Sifat-sifat pada tanah tersebut antara lain yaitu sistem
drainase jelek dengan kedalaman solum dangkal, struktur tanah masif, dan
terdapat akumulasi liat hingga tekstur relatif berat, sehingga terjadi penggenangan
(Hardjowigeno, 2003b).
Tabel 1. Kedalaman Solum Tanah pada Setiap Perlakuan
Perlakuan/Kedalaman solum
Teras gulud
Kontrol
Rorak

< 0.7 m
1.1
1.5
0.0

0.7 - 1 m
Luas (Ha)
0.3
2.3
0.0

>1m
10.4
10.4
6.3

Luas total
(Ha)
11.8
14.2
6.3

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, daerah penelitian memiliki kadar
air kapasitas lapang antara 26-36 % dengan rataan kadar air titik layu permanen
antara 18-26 % dan memiliki pori drainase sangat cepat. Adanya pori drainase
sangat cepat menyebabkan pergerakan udara dan air terjadi sangat cepat sehingga
kesempatan air berada dalam tanah hanya sebentar dan mengakibatkan
kelembaban tanah

berkurang (Hardjowigeno, 2003a). Rataan air tersedia di

daerah penelitian berkisar antara 7.58 hingga 11.95 % volume. Tabel Lampiran 1
menunjukkan bahwa blok kontrol memiliki rataan air tersedia paling rendah
dibanding blok lainnya, dengan demikian, air tersedia di blok kontrol akan lebih
cepat habis. Lebih sedikitnya air tersedia di blok kontrol dikarenakan lapisan
kedap air yang dangkal sehingga air tidak mampu masuk terlalu jauh ke dalam
tanah karena lapisan kedap memperlambat gerakan air.

20

Topografi
Daerah penelitian memiliki topografi datar hingga berombak dengan
kemiringan lereng antara 3 hingga 8 %. Satuan lahan daerah penelitian merupakan
grup vulkan yaitu dataran vulkan berombak agak tertoreh dengan bahan induk tuf
dan lava intermedier dan basis (PPT, 1989).
Struktur geologi daerah penelitian adalah bidang perlapisan pada satuan
tufa dan struktur kekar berlembar pada satuan korok riodiasit. Satuan
geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi satuan geomorfologi dataran
kompleks (peneplain) dan satuan geomorfologi perbukitan sisa (monadnock)
(Moedjimoeljanto, 1997).
Pada daerah penelitian yaitu di bagian lembah memiliki sistem drainase
yang buruk dengan kedalaman solum yang dangkal dan struktur tanah yang
kurang baik (masif). Tanah dengan struktur masif memiliki pori-pori yang sedikit
dan apabila terjadi hujan maka pori-pori tersebut akan cepat terisi air. Apabila
hujan masih berlanjut maka tanah tidak mampu lagi menyerap air sehingga sering
terjadi penggenangan. Selain itu juga ditemukan adanya lapisan kedap. Batuan
induk dari tanah ini adalah batuan endapan bersilika, napal, batu pasir, batu liat,
batuan volkanik masam (kompleks gunung api Rajabasa) dan berasal dari formasi
Pulau Sebesi (Qvh) yang menghasilkan besi bertitan (Fe2O3,TiO2) (Direktorat
Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 2002).

21

Iklim dan Curah Hujan
Curah hujan tahunan di daerah penelitian adalah 1500-2100 mm/tahun
dengan jumlah hari hujan sebanyak 77-122 hari/tahun dan 3-4 bulan kering/tahun
(PTP Nusantara VII, 2005). Berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan
Geofisika Lampung (2006), rata-rata suhu udara maksimum bulanan di daerah
penelitian berkisar antara 31-36°C sedangkan rata-rata suhu udara minimum
bulanan berkisar antara 21-23°C (Tabel Lampiran 2).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Curah Hujan
Total curah hujan yang terukur pada perlakuan teras gulud, kontrol dan
rorak adalah sebesar 841.49 mm, 731.17 mm dan 751.63 mm dengan total curah
hujan rata-rata sebesar 769.11 mm yang berasal dari 62 hari hujan (Tabel 2). Total
curah hujan yang jatuh pada perlakuan teras gulud lebih besar dibandingkan
perlakuan lainnya dengan curah hujan maksimum harian sebesar 98.90 mm dan
curah hujan minimum harian sebesar 0.40 mm (Tabel Lampiran 3).
Tabel 2. Total Curah Hujan Bulanan pada Masing-masing Perlakuan
Bulan
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Total

Perlakuan
Rata-rata
Teras gulud
Kontrol
Rorak
...............................................mm..............................................
180.01
160.17
158.55
165.81
246.45
214.36
228.40
227.20
271.70
225.94
233.01
241.36
85.61
76.65
76.72
79.38
57.72
54.05
54.95
55.36
841.49
731.17
751.63
769.11

Jumlah hari
hujan
9
20
14
13
6
62

Hujan sering terjadi pada bulan Maret (20 hari hujan) meskipun curah
hujan total pada bulan tersebut lebih kecil dibandingkan bulan April (14 hari
hujan). Kejadian hujan semakin berkurang mendekati musim kemarau yang
ditandai dengan menurunnya jumlah curah hujan (Tabel 2). Pola curah hujan yang
terjadi pada ketiga perlakuan adalah sama (Gambar 3). Pada musim hujan, curah
hujan meningkat mulai dari bulan Februari 2006 hingga April 2006 dan pada awal
musim kemarau mengalami penurunan yaitu dari bulan Mei 2006 hingga Juni
2006.

23

Curah Hujan (mm)

300
250
200
150
100
50
0
Februari

Maret

Teras gulud

April

Kontrol

Mei

Juni

Rorak

Gambar 3. Curah Hujan Bulanan
Kurva Lengkung Debit Aliran
Hasil pengukuran tinggi muka air dan debit aliran disajikan pada Tabel
Lampiran 4. Data tinggi muka air tersebut digunakan untuk membuat kurva linier
hubungan antara tinggi muka air dengan pulsa AWLR (Gambar Lampiran 3)
sedangkan data debit aliran digunakan untuk membuat kurva lengkung debit
aliran (Rating Curve) (Gambar 4). Korelasi antara nilai pulsa AWLR dan tinggi
muka air yang dihasilkan dari kurva linier tinggi muka air diperoleh dari data yang
diamati sejak bulan Februari 2006 hingga Juni 2006. Korelasi tersebut bersifat
linier yang menunjukkan bahwa tinggi muka air semakin meningkat dengan
meningkatnya nilai pulsa AWLR. Tinggi muka air kemudian diprediksi
menggunakan kurva tersebut.
Kurva lengkung debit aliran menunjukkan karakteristik tinggi muka air
dalam hubungannya dengan debit aliran, dimana peningkatan tinggi muka air
disertai dengan peningkatan debit aliran. Debit aliran kemudian diprediksi
menggunakan kurva tersebut. Debit aliran pada AWLR 4 diprediksi dengan
menggunakan karakteristik hubungan debit AWLR 3 dan 4 pada berbagai tinggi
muka air. Hal tersebut dilakukan karena alat pencatat AWLR 4 tidak berfungsi
dengan baik.

24

(b)
40

300

35
30

250
200

Debit (L/detik)

Debit (L/detik)

(a)
350

3.2095

y = 0.0041x

150

2

R = 0.99

100

25
2.9802

y = 0.003x
2
R = 0.99

20
15
10

50

5
0

0
0

10

20

30

0

40

5

10

TMA (cm)

(c)
35

1600

30

Debit AWLR 4 (L/detik)

1800

Debit (l/detik)

1400
1200
1000

2.9719

y = 0.0062x
2
R = 0.95

800
600

15

20

25

TMA (cm)

400

(d)
y = 0.4149x + 2.0051
2
R = 0.89

25
20
15
10

200

5
0

0
0

10

20

30

40

50

60

0

70

20

40

60

80

Debit AWLR 3 (L/detik)

TMA (cm)

(e)
30

Debit (L/detik)

25
20
15
3.2485

y = 0.002x

10

2

R = 0.95

5
0
0

5

10

15

20

TMA (cm)

Gambar 4. Kurva Lengkung Debit Aliran pada AWLR I (a), AWLR II (b),
AWLR III (c), AWLR IV (d) dan AWLR V (e).
Aliran Permukaan
Tabel 3 menunjukkan komponen hidrologi pada setiap perlakuan, dimana
total aliran permukaan, overland flow dan base flow semakin tinggi dengan
semakin besarnya curah hujan. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa total aliran
permukaan tertinggi terjadi pada perlakuan kontrol. Total aliran permukaan pada
perlakuan tersebut adalah sebesar 527.59 mm, lebih tinggi 9.09 % dibandingkan
dengan perlakuan teras gulud (479.61 mm) dan lebih tinggi 43.12 % dibandingkan
perlakuan rorak (300.10 mm). Koefisien limpasan (perbandingan total run off

25

Tabel 3. Komponen Hidrologi pada Setiap Micro catchment (ada pada file
Microsoft Excell)

26

terhadap curah hujan) pada perlakuan teras gulud adalah sebesar 0.57, pada
perlakuan kontrol sebesar 0.72 dan pada perlakuan rorak sebesar 0.40. Tingginya
total aliran permukaan pada perlakuan kontrol dikarenakan tidak adanya
perlakuan konservasi. Dengan demikian, setelah terjadi hujan dan kapasitas
lapang terpenuhi, kelebihan air akan langsung menjadi aliran permukaan dan akan
segera terbuang keluar dari micro catchment.
Adanya

bangunan

konservasi

teras

gulud

yang

searah

kontur

menyebabkan air hujan yang jatuh akan tertampung dalam saluran dan terhambat
oleh guludan sehingga memberikan kesempatan kepada aliran permukaan untuk
meresap ke dalam tanah. Peresapan air ke dalam tanah menjadi lebih efektif
karena adanya mulsa vertikal. Mulsa vertikal mampu memperbaiki porositas tanah
sehingga mempercepat peresapan air ke dalam tanah. Dengan demikian, lebih
banyak air yang terinfiltrasi sehingga total aliran permukaan pada perlakuan teras
gulud lebih kecil bila dibandingkan perlakuan kontrol. Penelitian Soleh dkk,
(2003) menunjukkan bahwa guludan searah kontur dapat menekan aliran
permukaan menjadi 333.34 m3/ha dari aliran permukaan sebesar 486.32 m3/ha
atau turun sebesar 31.46 %. Adanya lubang resapan di dalam saluran juga

Dokumen yang terkait

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq. ) DI BLOK 423 AFDELING IV PT PERKEBUNAN NUSANTARA VII (Persero) UNIT USAHA REJOSARI NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

0 9 66

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq. ) DI BLOK 423 AFDELING IV PT PERKEBUNAN NUSANTARA VII (Persero) UNIT USAHA REJOSARI NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

0 13 60

Analisis Nilai Tambah dan Kapasitas Produksi Agroindustri Pengolahan Kelapa Sawit (CPO) pada PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Rejosari Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

17 51 72

EVALUASI KANDUNGAN MINERAL DAUN KELAPA SAWIT di PTPN VII UNIT USAHA REJOSARI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

0 2 2

Penentuan Kebutuhan Armada Transfortasi Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit di Unit Usaha Bekri PT. Perkebunan Nusantara VII (PERSERO), Bandar Lampung

0 9 77

Karakteristik Hujan dan Pengaruhnya terhadap Koefisien Aliran Permukaan (Overland Flow) pada Perkebunan Kelapa Sawit dengan Teknik Konservasi Teras Gulud dan Rorak.

1 11 127

Karakteristik aliran permukaan dan erosi pada perkebunan kelapa sawit dengan perlakuan teras gulud dan rorak di unit usaha Rejosari,PTP.Nusantara VII Lampung

1 19 84

Model Perhitungan Neraca Air Kebun Kelapa Sawit Di Unit Usaha Rejosari,Lampung

0 7 20

Penerapan Model Gash Untuk Pendugaan Intersepsi Hujan Pada Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung).

0 13 80

PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA PEMANEN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA VII UNIT KEBUN KELAPA SAWIT REJOSARI (Labors of Palm Fruit Reaper Productivity at PT Perkebunan Nusantara VII Unit Rejosari Palm Plantation) Adyguna WF Simamora, Wuryaningsih Dwi Sayekti, Suria

0 0 9