Karakteristik aliran permukaan dan erosi pada perkebunan kelapa sawit dengan perlakuan teras gulud dan rorak di unit usaha Rejosari,PTP.Nusantara VII Lampung
PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
DENGAN PERLAKUAN TERAS GULUD DAN RORAK
DI UNIT USAHA REJOSARI, PTP NUSANTARA VII
LAMPUNG
Oleh :
IDA SETYA WAHYU ATMAJA
A24102001
PROGRAM STUDI ILMU TANAH
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
(2)
IDA SETYA WAHYU ATMAJA. Karakteristik Aliran Permukaan dan Erosi pada Perkebunan Kelapa Sawit dengan Perlakuan Teras Gulud dan Rorak di Unit Usaha Rejosari, PTP Nusantara VII Lampung. (Dibawah bimbingan YAYAT HIDAYAT dan SUDARMO).
Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang membutuhkan banyak air dan keterbatasan air sering menjadi faktor pembatas dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit. Teknik pengelolaan air pada areal perkebunan kelapa sawit penting dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan peresapan air ke dalam tanah yang pada akhirnya dapat meningkatkan cadangan air bawah tanah, sehingga dapat digunakan oleh tanaman pada saat musim kemarau serta untuk memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh proses erosi tanah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh penerapan teknik peresapan air (teras gulud dan rorak yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal) dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi pada areal pertanaman kelapa sawit. Penelitian dilakukan Perkebunan Kelapa Sawit Afdeling III Unit Usaha Rejosari PTPN VII, Natar, Lampung Selatan. Tindakan konservasi tanah dan air yang diterapkan adalah teras gulud yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal (micro catchment I), tanpa perlakuan (micro catchment II) dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal (micro catchment III).
Total curah hujan yang terjadi pada perlakuan teras gulud lebih besar dibanding kedua perlakuan lain. Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan total
overland flow dan total sedimen yang dihasilkan. Total overland flow yang terjadi
pada teras gulud sebesar 59.25 mm, pada perlakuan kontrol sebesar 95.82 mm dan perlakuan rorak sebesar 7.30 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya teras gulud yang dilengkapi denga n lubang resapan dan mulsa vertikal efektif menurunkan overland flow dan erosi masing- masing sebesar 46.50 % dan 41.94 %, sedangkan rorak efektif menurunkan overland flow hingga 52.86 %. Penurunan aliran permukaan yang sangat tinggi pada perlakuan rorak tidak hanya disebabkan karena keefektifan rorak dalam menghambat aliran permukaan tetapi juga disebabkan perbedaan karakteristik lahan. Tanah pada pelakuan rorak mempunyai solum yang lebih tebal dan topografi yang relatif datar.
(3)
IDA SETYA WAHYU ATMAJA. Surface Run-off and Soil Erosion Characteristic in Oil Palm Plantation with Bund Terraces and Silt Pits Treatment in Bussines Unit of Rejosari PTP Nusantara VII Lampung (Under Supervision of YAYAT HIDAYAT and SUDARMO).
Oil palm is ones of a plant that require large amount of water. Water deficits often become inhibiting factor to develope oil palm plantation in dry land area. Water management in oil palm plantation area, needs to be practiced as good as possible to minimize waterloss of surface runoff in rainy season and to ensure sufficient ava ilabilityof water during dry season and to reduce the impact of soil erosions.
Objectives of this research was to investigate of application of bund terraces and silt pits accompanied with infiltration holes and vertical mulches to reduce surface runoff and soil erosion in oil palm plantation area.The research was conducted in Oil Palm Plantation Afdeling III, Business Unit of Rejosari, PTPN VII South of Lampung. Soil and water conservation measures that applied were bund terraces accompanied with infiltration holes and vertical mulches (micro-catchment I), without treatment (micro-(micro-catchment II), and silt pits accompanied with infiltration holes and vertical mulches (micro-catchment III).
Total rainfall occurring in bund terraces treatment was greatest than the others, but on the contrary for overland flow and sediment yields. Total overland flow occurring in bund terraces, control and silt pits treatment respectively were 59.25 mm, 95.82 mm and 7.30 mm. Bund terraces accompanied with infiltration holes and vertical mulches, could effectively reduced overland flow and soil erosion by 46.50 % and 41.94 % respectively, whereas silt pits treatment effectively reduced overland flow by 52.86 %. Very high reduction in surface runoff in silt pits treatment was not only due to effectiveness of the silt pits in reducing surface runoff, but also caused by land characteristic s differences especially on soil and slope steepness. Solum of the soil in silt pits treatment is deeper and the slope is relatively flat.
(4)
PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
DENGAN PERLAKUAN TERAS GULUD DAN RORAK
DI UNIT USAHA REJOSARI, PTP NUSANTARA VII
LAMPUNG
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
IDA SETYA WAHYU ATMAJA
A24102001
PROGRAM STUDI ILMU TANAH
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
(5)
Unit Usaha Rejosari, PTP Nusantara VII Lampung Nama Mahasiswa : Ida Setya Wahyu Atmaja
Nomor Pokok : A24102001
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Ir. Yayat Hidayat, MSi Dr. Ir. Sudarmo, MSi
NIP. 132 004 798 NIP. 131 284 622
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
(6)
Penulis dilahirkan di Jombang pada tanggal 20 Agustus 1984. Penulis merupakan putri ke dua dari tiga bersaudara dari pasangan Drs. H. Suyanto dan Hj. Enty Tuyimah.
Pendidikan formal penulis dari SD sampai SMU diselesaikan di Jombang. Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Jombatan IV Jombang dan melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP 2 Jombang. Tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Darul ‘Ulum 2 BPPT Jombang dan pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan Omda IKALUM (Ikatan Mahasiswa Darul ’Ulum) dan menjadi asisten Fisika Tanah pada tahun ajaran 2005/2006 dan 2006/2007.
(7)
Bismillahirrohmanirrohimi… Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala kekuatan, kemudahan dan atas izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW, atas segala perjuangan untuk mencapai sebuah kebenaran.
Skripsi yang berjudul “Karakteristik Aliran Permukaan dan Erosi pada Perkebunan Kelapa Sawit dengan Perlakuan Teras Gulud dan Rorak di Unit
Usaha Rejosari, PTP Nusantara VII Lampung” merupakan bagian dari tugas
akhir untuk memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Direksi dan Staff Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan yang telah mendanai penelitian ini.
2. Manager dan Staff Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung beserta Sinder dan Staff Afdeling III.
3. Ir. Yayat Hidayat, MSi selaku Dosen Pembimbing I atas segala bimbingan dan saran yang telah diberikan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.
4. Dr. Ir. Sudarmo, MSi selaku Dosen pembimbing II yang telah bersedia memberikan nasehat, kritik dan saran selama pelaksanaan penelitian.
(8)
v semangat yang besar kepada penulis.
6. Staff dosen dan laboran di Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah dan Air yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.
7. Papa dan Mama, Aa (Wahyu Adi Praja) dan adek (Muchtaromy Tri Yanto) yang senantiasa menemani penulis dengan doa dan semangat yang tak henti untuk sebuah kehidupan yang harus diperjuangkan.
8. (Drh) Jian Rinda Widya Pambudi yang tak pernah berhenti memberikan semangat dan mengajarkan penulis tentang arti sebuah persahabatan, terima kasih atas kisah yang telah terbingkai indah
9. Hendra, Frans, Awal, Mala, Indri dan Weni. Semoga kita takkan pernah lupa dengan perjuanga n yang pernah kita jalani bersama.
10.Mas Beki, Pedro, Pak Guslan, Pak Mirun dan Pak Hasan atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian.
11.Imaroh crew Bekti, Galuh, Ita dan Puji serta ”WJ-ers” (Nadra, Lina, Ila) terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya.
12.Keluarga besar pondok Pesantren Darul ’Ulum IPB semoga kita tetap mampu menjaga segala amalan dan almamater yang telah diamanahkan.
Alhamdulillahirrobil’alamiina.... Wassalamu’alaikum wr.wb
Bogor, Mei 2007
(9)
Halaman
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Aliran Permukaan ... 4
Faktor-faktor ya ng Mempengaruhi Aliran Permukaan ... 5
Erosi Tanah ... 7
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Erosi... 8
Iklim ... 8
Topografi ... 9
Tanah ... 9
Vegetasi ... 10
Manusia ... 12
Sedimen ... 12
Teknik Konservasi Tanah dan Air ... 13
Teras Gulud ... 14
Rorak ... 15
Mulsa Vertikal ... 15
Kelapa Sawit ( Elaeis guinensis Jacq.) ... 16
BAHAN DAN METODE ... 19
Waktu dan Tempat ... 19
Bahan dan Alat ... 20
(10)
vii
Pengukuran Debit Aliran ... 22
Pengukuran Debit Sedimen ... 24
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 26
Letak Geografis dan Administratif ... 26
Keadaan Tanah ... 26
Topografi ... 27
Iklim ... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
Kurva Lengkung Debit Aliran ... 29
Kurva Lengkung Debit Sedimen ... 31
Curah Hujan ... 32
Hubungan Curah Hujan dan Overland flow ... 34
Intensitas Hujan dan Debit Puncak ... 37
Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air terhadap Overland flow ... 39
Pengaruh Tindakan Konservasi Tana h dan Air terhadap Erosi ... 43
KESIMPULAN DAN SARAN ... 47
Kesimpulan ... 47
Saran ... 47
DAFTAR PUSTAKA ... 48
(11)
Nomor Halaman Teks
1. Kedalaman Solum Tiap Tanah pada Setiap Microcacthment ... 26
2. Data Curah Hujan Bulanan Periode Januari- Juni 2006... 32
3. Hubungan Curah Hujan dan Overland flow pada Masing- masing Perlakuan ... 34
4. Hubungan Intens itas 30 Menit dan Debit Puncak pada Masing- masing Perlakuan ... 38
5. Overland flow pada Masing- masing Perlakuan ... 41
6. Hubungan Curah Hujan, Overland flow dan Erosi ... 43
Lampiran 1. Suhu Rata-rata Bulanan (Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung (2000-2005) ... 52
2. Data Kelembapan Rata-rata Bulanan (Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung (2000-2005) ... 54
3. Data Tinggi Muka Air dan Debit Aliran Harian ... 55
4. Data Pengukuran Sedimen ... 65
5. Curah Hujan Harian di Lokasi Penelitian ... 67
(12)
Nomor Halaman Teks
1. Tata Letak Blok dan Peralatan pada Areal Penelitian ... 19
2. Teras Gulud dan Rorak pada Lokasi Penelitian ... 21
3. Weir dan Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang digunakan dalam Penelitian ... 23
4. Kurva Lengkung Debit Aliran ... 30
5. Kurva Lengk ung Debit Sedimen ... 31
6. Curah Hujan Harian (April 2006) ... 33
7. Korelasi Antara Curah Hujan dan Overland flow pada Teras Gulud, Perlakuan Kontrol dan Rorak ... 36
8. Intensitas Hujan dan Debit Puncak pada Berbagai Perlakuan ... 38
Lampiran 1. Kurva Linier Tinggi Muka Air ... 71
(13)
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elais guinensis Jacq.) merupakan tanaman tahunan penghasil minyak nabati yang telah banyak dikembangkan di Indonesia. Areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini meningkat pesat setiap tahunnya, dan pada tahun 2004 areal perkebunan kelapa sawit Indonesia telah mencapai areal seluas 5,4 juta Ha (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006).
Tanaman kelapa sawit umumnya dikembangkan di daerah dengan curah hujan tinggi yaitu antara 2000 – 2500 mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Fauzi dkk, 2002) dan kebutuhan air tanaman ini umumnya diperoleh dari air hujan. Secara umum curah hujan di Indonesia cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman kelapa sawit, akan tetapi pada beberapa wilayah distribusi hujan yang tidak merata sepanjang tahun menyebabkan keterbatasan air menjadi masalah yang sering terjadi pada lahan kering termasuk kawasan pertanaman kelapa sawit.
Musim kemarau yang panjang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan yang berakibat pada berkurangnya jumlah ketersediaan air yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit. Hal ini memicu terjadinya defisit air yang nyata pada areal pertanaman. Menurut Siregar (1998) defisit air yang mencapai 200 mm/tahun atau lebih pada areal pertanaman akan berpengaruh terhadap penurunan produksi kelapa sawit.
Sebaliknya pada musim hujan adanya peningkatan air hujan yang jatuh menyebabkan terjadinya aliran permukaan. Aliran permukaan yang tidak proporsional selain menyebabkan terjadinya kehilangan air dengan cepat juga berpotensi menyebabkan terjadinya erosi. Khasanah dkk (2004) menjelaskan
(14)
bahwa semakin banyak air yang mengalir sebagai aliran permukaan, maka akan semakin berkurang jumlah air yang diresapkan ke dalam tanah sehingga memperbesar resiko terjadinya kekeringan. Besarnya aliran permukaan yang terjadi selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses erosi yang mampu mengikis permukaan tanah sehingga dapat menurunkan kesuburan tanah. Aliran permukaan dan erosi tersebut akan lebih mudah terjadi terutama pada wilayah dengan pengelolaan tanah yang tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air. Fenomena tersebut mendorong diperlukannya tindakan pengelolaan air sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman kelapa sawit. Teknik pengelolaan air tersebut ditujukan agar kelebihan air pada musim hujan dapat diresapkan secara maksimal dan disimpan dalam tanah sehingga dapat digunakan oleh tanaman pada saat musim kemarau.
Salah satu teknik peresapan air yang dapat diterapkan di areal pertanaman kelapa sawit adalah dengan pembuatan teras gulud dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal. Adanya guludan diharapkan mampu menghambat aliran permukaan sedangkan saluran pada guludan berfungsi untuk menampung dan meresapkan aliran permukaan, sehingga memberikan kesempatan air untuk terinfiltrasi lebih banyak.
Aliran permukaan yang masuk ke dalam saluran dan akhirnya meresap ke dalam tanah diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan air dalam tanah yang pada akhirnya dapat meningkatkan cadangan air tanah dan air bawah tanah. Selain itu adanya guludan dan saluran mampu memotong dan memperkecil panjang lereng sehingga dapat menahan dan menampung sedimen hasil erosi agar tidak hilang dari areal pertanaman (Khasanah dkk, 2004).
(15)
Pelepah dan daun kelapa sawit yang telah dipangkas dapat dimanfaatkan sebagai mulsa vertikal. Mulsa vertikal yang diletakkan dalam saluran dapat meningkatkan efektivitas peresapan sehingga dapat menurunkan aliran permukaan dan erosi. Menurut Suwardjo (1981) dalam Arsyad (2000) dari penelitiannya pada tanah Latosol di Citayam, Bogor dan tanah Podzolik di Lampung mendapatkan bahwa mulsa selain mengurangi erosi juga mempengaruhi suhu tanah, kemampuan tanah menahan air, kekuatan penetrasi, kemantapan agregat dan aerasi tanah.
Penerapan teknik peresapan air pada areal pertanaman kelapa sawit diharapkan mampu memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh aliran permukaan dan erosi. Hal ini penting dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit.
Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan teknik peresapan air (teras gulud dan rorak yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal) dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi pada areal pertanaman kelapa sawit.
(16)
Aliran Permukaan
Aliran permukaan didefinisikan sebagai bagian dari hujan yang alirannya menuju saluran-saluran sungai, danau, atau laut. Hillel (1971) menjelaskan bahwa aliran permukaan adalah bagian dari hujan yang tidak meresap ke dalam tanah dan tidak terakumulasi di permukaan tanah, tetapi bergerak ke tempat yang lebih rendah dan mengumpul dalam parit atau saluran. Aliran tersebut dapat mengalir pada permukaan tanah (overland flow) maupun melalui bawah permukaan tanah
(inter flow). Aliran permukaan terjadi pada saat intensitas hujan melebihi
kapasitas infiltrasi tanah. Schwab et al, (1981) menjelaskan bahwa aliran permukaan tidak akan terjadi sebelum proses hidrologis lainnya terpenuhi. Proses hidrologis tersebut meliputi proses infiltrasi, evaporasi, intersepsi, simpanan depresi, tambatan permukaan, dan saluran tambatan.
Menurut Haridjaja dkk (1990) hujan yang jatuh di atas permukaan tanah akan terinfiltrasi ke dalam tanah setelah ditahan oleh tajuk tanaman. Proses infiltrasi ini akan terjadi sampai kapasitas lapang terpenuhi. Apabila kapasitas lapang telah terpenuhi dan hujan masih berlangsung, maka kelebihan air hujan tersebut tetap terinfiltrasi menjadi air perkolasi dan sebagian lain akan mengisi cekungan atau simpanan depresi. Selanjutnya setelah simpanan depresi terpenuhi maka kelebihan air akan menjadi genangan air atau tambatan permukaan dan sebelum menjadi aliran permukaan maka kelebihan air di atas akan menguap atau terevaporasi walaupun jumlahnya sangat kecil.
(17)
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Aliran Permukaan
Aliran permukaan merupakan bagian dari rangkaian siklus hidrologi. Pada dasarnya terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi jumlah dan laju alian permukaan, yaitu faktor iklim dan faktor fisiografi atau kondisi daerah aliran sungai (DAS).
Secara terperinci Chow (1964) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan ke dalam dua faktor utama, yaitu (1) faktor iklim, yang meliputi presipitasi (intensitas, distribusi dan lama hujan), intersepsi (jenis, umur tanaman), evaporasi dan transpirasi, dan (2) faktor fisiografi, yang berhubungan dengan karakteristik DAS yang meliputi bentuk dan ukuran daerah aliran, kemiringan lereng, jenis tanah, dan sistem penggunaan lahan
Hujan merupakan bagian dari faktor iklim ya ng berperan dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi. Beberapa karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan adalah tipe hujan, intensitas hujan, lama hujan, distibusi hujan, dan arah hujan (Haridjaja dkk, 1990).
Pengaruh intensitas hujan mempunyai hubungan yang berbanding lurus terhadap jumlah dan laju aliran permukaan. Pada umumnya terjadi kecenderungan peningkatan jumlah aliran permukaan dengan meningkatnya intensitas hujan, tetapi hal ini juga tergantung dengan kapasitas infiltrasi tanah. Jika intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka akan terjadi peningkatan jumlah aliran permukaan sejalan dengan peningkatan intensitas hujannya. Faktor lama hujan juga berpengaruh terhadap besarnya jumlah aliran permukaan (Sukartaatmadja, 1998). Semakin lama hujan turun, maka semakin besar aliran
(18)
permukaan yang terjadi, walaupun hal ini tergantung pada intensitas hujan dan besarnya jumlah hujan.
Kecepatan aliran permukaan akan menjadi lebih besar terutama pada wilayah dengan kemiringan dan panjang lereng yang semakin besar dan tidak terputus. Sedangkan pengaruh dari faktor vegetasi terhadap aliran permukaan dapat dilihat dari kemampuannya dalam menghambat aliran permukaan dan mengurangi daya rusak air atau pukulan butir hujan yang langsung mengenai tanah. Keberadaan dari vegetasi yang tumbuh juga berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi tanah, sehingga dapat menurunkan jumlah aliran permukaan.
Dalam hubungannya dengan aliran permukaan tanah merupakan faktor yang menentukan besarnya kapasitas infiltrasi. Tanah pasir merupakan tanah yang mempunyai tekstur kasar dan mempunyai pori makro yang lebih besar dibandingkan tanah liat, sehingga mempunyai kemampuan infiltrasi tanah yang besar. Hal inilah yang menyebabkan mengapa tanah bertekstur pasir mempunyai kemampuan dalam menurunkan jumlah aliran permukaan.
Selanjutnya Arsyad (2000) menyatakan bahwa sifat aliran permukaan yang menentukan kemampuan dalam menimbulkan aliran permukaan adalah jumlah, laju, kecepatan dan gejolak aliran permukaan. Jumlah aliran permukaan merupakan jumlah air yang mengalir di permukaan untuk suatu periode hujan yang dapat dinyatakan dalam satuan tinggi air (mm) atau satuan volume air (m3). Sedangkan laju aliran permukaan merupakan volume air yang mengalir pada suatu titik yang dapat dinyatakan dalam satuan m3 detik -1 atau m3 jam -1.
(19)
Erosi Tanah
Erosi tanah didefinisikan sebagai proses berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian tanah di permukaan dari suatu tempat ke tempat yang lain (Arsyad, 2000). Secara alamiah permukaan bumi akan selalu mengalami proses erosi, dimana di suatu tempat terjadi proses pengikisan sedangkan di tempat yang lain terjadi penimbunan. Peristiwa alamiah ini dapat berlangsung sangat lambat dan tanpa adanya campur tangan manus ia proses ini mampu membentuk suatu keseimbangan dinamis.
Selanjutnya Arsyad (2000) menjelaskan bahwa proses erosi yang disebabkan oleh air merupakan kombinasi dari dua sub proses yang berbeda, yaitu (1) penghancuran struktur tanah menjadi butir – butir primer oleh energi tumbuk butiran hujan yang menimpa tanah dan perendaman oleh air yang tergenang dan penggangkutan butir-butir tanah oleh percikan hujan, dan (2) penghancuran struktur tanah yang diikuti oleh pengangkutan butir- butir tanah oleh air yang mengalir di permukaan tanah.
Erosi merupakan salah satu penyebab kerusakan tanah dan meningkatnya erosi tanah pada lahan kering umumnya disebabkan karena penggunaan lahan yang semakin intensif. Alibasyah (2000) mengemukakan bahwa besarnya erosi tanah di daerah tropika, termasuk Indonesia bukan hanya disebabkan oleh agroekosistemnya yang kondusif terhadap terjadinya erosi, tetapi juga karena pengelolaan tanah di daerah ini kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air.
Erosi yang terjadi selanjutnya akan meninggalkan dampak negatif yang tidak hanya terjadi pada pada tanah dimana proses erosi terjadi tetapi juga pada
(20)
tempat akhir dimana tanah yang terangkut tersebut diendapkan (Arsyad, 2000 ). Pada areal dimana proses erosi terjadi hilangnya lapisan atas tanah yang tererosi menyebabkan terjadinya kehilangan unsur hara dan bahan organik sehingga dapat menurunkan kesuburan dan produktivitas suatu lahan. Sedangkan pada areal diluar lokasi terjadinya erosi, sedimentasi bahan–bahan yang tererosi dapat mengakibatkan pendangkalan pada sungai dan saluran–saluran air lainnya, sehingga dapat menyebabkan banjir pada musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau ( Sinukaban dan Murtilaksono, 1991 ).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Erosi
Asdak (2004) menjelaskan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi proses erosi merupakan gabungan dari beberapa faktor yang saling berinteraksi seperti faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah dan manusia. Faktor – faktor tersebut dapat dinyatakan dalam sebuah persamaan, yaitu :
E = f ( i, r, v, t, m )
Dimana i adalah iklim, r adalah relief atau topografi, v adalah vegetasi, t adalah tanah, dan m adalah manusia.
Iklim
Faktor iklim yang dominan berpengaruh terhadap proses erosi adalah hujan yang mampu menyebabkan hancurnya agregat tanah. Karakteristik hujan yang menentukan besarnya kecepatan aliran permukaan dan erosi adalah besarnya curah hujan, intens itas hujan dan distibusi hujan (Baver, 1956).
Bennet (1955) mengemukakan bahwa erosi yang terjadi tergantung dari sifat-sifat hujan antara lain yaitu intensitas hujan. Jumlah curah hujan rata-rata
(21)
yang tinggi dalam suatu periode kemungkinan tidak menyebabkan terjadinya erosi jika intensitas hujannya rendah. Intensitas hujan yang tinggi dan terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan aliran permukaan dan erosi (Arsyad, 2000).
Topografi
Faktor topografi yang mempunyai peranan penting dalam menentukan laju erosi adalah kemiringan lereng dan panjang lereng. Faktor topografi lain yang juga berpengaruh terhadap erosi adalah keseragaman dan arah lereng (Arsyad, 2000). Kemiringan lereng mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan panjang lereng (Baver, 1959). Kemiringan lereng yang tinggi cenderung memperbesar jumlah dan kecepatan aliran permukaan sehingga memeperbesar kapasitas aliran air untuk memecah dan mengangkut bahan-bahan tanah (Sukartaatmadja, 1998). Pada wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang rendah atau daerah yang datar atau landai kecepatan aliran airnya akan lebih rendah dibanding pada tanah yang miring.
Pengaruh panjang lereng terhadap erosi tergantung pada sifat tanah dan intensitas hujan. Umumnya erosi meningkat dengan bertambahnya panjang lereng untuk intensitas yang tinggi (Banuwa, 1994). Semakin panjang lereng cenderung menyebabkan akumulasi air permukaan sehingga kecepatan aliran permukaan menjadi lebih tinggi.
Tanah
Tanah merupakan produk alami yang mempunyai sifat yang heterogen. Perbedaan sifat tanah menyebabkan adanya perbedaan tingkat kepekaan erosi (erodibilitas) tanah yang terjadi. Sifat – sifat tanah yang berpengaruh terhadap proses terjadinya erosi adalah (1) tekstur, (2) struktur, (3) bahan organik, (4)
(22)
kedalaman, (5) sifat lapisan bawah, dan (6) tingkat kesuburan tanah (Arsyad, 2000).
Tekstur merupakan perbandingan relatif butir–butir primer pengikat tanah. Butir–butir pengikat tanah tersebut terdiri dari pasir, debu dan liat. Pasir merupakan agregat tanah yang mudah pecah tetapi sulit ditransportasikan karena ukurannya yang relatif besar dan kuat. Tanah bertekstur pasir mempunyai kemampuan infiltrasi yang tinggi sehingga dapat memperkecil terjadinya erosi. Sedangkan tanah yang bertekstur liat mampu menyebabkan aliran permukaan dan erosi karena percikan butir–butir hujan yang jatuh mengakibatkan tertutupnya pori–pori permukaan tanah oleh lapisan liat. Tanah yang berstruktur granular juga mampu menurunkan peluang terjadinya erosi karena sifatnya lebih terbuka dan lebih sarang sehingga mampu menyerap air lebih banyak.
Adanya bahan organik yang berkaitan dengan aspek kesuburan tanah juga bepengaruh terhadap proses terjadinya erosi. Kartasapoetra (1998) dalam
Dzakiroh (2005) mengemukakan bahwa bahan organik yang belum hancur yaitu berupa ranting, dan dan sebagainya yang menutupi permukaan tanah akan melindungi tanah dari kekuatan perusak butir hujan yang jatuh di permukaan tanah sehingga dapat menghambat aliran air di atas tanah. Bahan organik yang telah lapuk mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap air. Keberadaan bahan organik juga mampu memantapkan agregat tanah, sehingga dapat memperbesar daya tahan tanah terhadap pukulan butir hujan.
Vegetasi
Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan merupakan faktor yang dapat dikendalikan adalah faktor vegetasi. Vegetasi penutup tanaman
(23)
dapat memperlambat terjadinya proses erosi dan dapat menghambat pengangkutan partikel tanah (Arsyad, 2000).
Perbedaan faktor vegetasi dalam mengendalikan erosi tergantung jenis tanaman, umur, perakaran, tajuk tanaman dan tinggi tanaman. Vegetasi dapat mempengaruhi terjadinya proses erosi karena dapat melindungi tanah dari kerusakan tanah yang disebabkan oleh percikan dan penghancuran tanah oleh butir–butir hujan.
Tanaman yang mempunyai akar serabut lebih efektif dalam mengendalikan proses terjadinya erosi, hal ini disebabkan karena benang–benang halus pada akar serabut mampu mengikat butir–butir tanah menjadi agregat tanah yang mantap. Fase pertumbuhan (umur) tanaman juga mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap proses pengendalian erosi. Pada awal pertumbuhan tanaman penutupan tajuk masih relatif terbuka, sehingga menyebabkan air hujan yang jatuh langsung menuju permukaan tanah. Hal ini dapat mempercepat terjadinya aliran permukaan karena kesempatan air untuk terinfiltrasi ke dalam tanah rendah. Tinggi tanaman juga berperan dalaam peningkatan efektifitas tanaman penutup dalam mengurangi erosi. Semakin rendah tajuk dan semakin rapat tajuk tanaman
maka semakin kecil energi hujan yang sampai di permukaan tanah (Arsyad, 2000).
Rahim (2003) menjelaskan bahwa vegetasi mampu mempengaruhi erosi karena adanya : (1) intersepsi hujan oleh tajuk dan absorpsi energi air hujan sehingga memperkecil erosivitasnya, (2) pengaruh terhadap limpasan permukaan, (3) peningkatan aktivitas biologi tanah, dan (4) peningkatan kecepatan kehilangan air melalui transpirasi.
(24)
Manusia
Baharsyah (1994) dalam Alibasyah (2000) mengemukakan bahwa di Indonesia lahan- lahan yang rusak akibat proses erosi telah mencapai sekitar 38 juta ha. Meningkatnya erosi pada lahan kering disebabkan karena penggunaaannya yang semakin intensif. Hal ini berkaitan dengan tindakan manusia dalam proses pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah yang salah yaitu tanpa diimbangi dengan tindakan konservasi tanah dan air dapat mempercepat proses degradasi lahan, termasuk terjadinya proses erosi. Proses erosi yang terjadi dapat menurunkan produktivitas lahan karena tanah tidak dapat melakukan fungsinya sebagai unsur produksi dan media pengatur tata air. Di lain pihak manusia juga dapat mencegah terjadinya erosi dengan tindakan pengelolaan sumber daya alam yang lebih memperhatikan keseimbangan antara proses pembentukan tanah dan laju erosi tanah.
Sedimen
Secara umum bahan tanah yang telah terangkut bersama aliran dan kemudian diendapkan disebut sebagai sedimen. Asdak (2004) mengemukakan bahwa sedimen adalah hasil proses erosi baik erosi parit, erosi permukaan maupun proses erosi lainnya. Sedimen yang terbawa bersama aliran pada umumnya merupakan produk akhir dari erosi.
Sedimen yang dihasilkan dari proses erosi dan terbawa oleh suatu aliran selanjutnya akan diendapkan pada suatu tempat apabila energi aliran permukaan yang mengangkut bahan tanah yang telah hancur mulai berkurang. Proses ini yang dikenal dengan proses sedimentasi. Proses sedimentasi sebagai rangkaian akhir dari proses erosi juga menyumbangkan dampak negatif pada tanah yang tererosi.
(25)
Hampir semua kerusakan yang menyebabkan terjadinya sedimentasi adalah hasil
dari erosi dipercepat terutama dari erosi permukaan dan erosi parit (Sukartaatmadja, 1998).
Adanya transpor sedimen dari tempat yang lebih tinggi ke daerah hilir dapat menyebabkan pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi (Asdak, 2004). Sa’ad (2004) mengemukakan bahwa kerusakan yang terjadi ditempat pengendapan adalah tertimbunnya lahan pertanian, pelumpuran dan pendangkalan waduk. Lebih lanjut Suripin (2002) mengemukakan bahwa sedimentasi mampu menimbulkan kerugian pada ekologi air sungai dan danau serta kualitas air bersih.
Teknik Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah merupakan penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan tanah yang sesuai kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat – syarat yang dibutuhkan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Usaha konservasi tanah tersebut ditujukan untuk dua hal, yaitu : (1) mencegah kerusakan tanah, dan (2) memperbaiki tanah agar dapat berproduksi optimal untuk waktu yang tidak terbatas.
Konservasi air merupakan tindakan pemanfaatan air seefisien mungkin agar tetap tersedia di musim kemarau dan tidak terbuang di musim hujan. Pada dasarnya tindakan konservasi tanah merupakan bagian dari tindakan konservasi air.
Metode konservasi tanah dan air dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : (1) metode vegetatif, (2) metode mekanik, dan (3) metode kimia. Kombinasi dari ke tiga metode tersebut dapat memberikan manfaat konservasi tanah dan air yang terbaik. Metode vegetatif terdiri dari : (1) penghutanan atau penghijauan,
(26)
(2) penanaman tanaman penutup tanah, (3) penanaman dalam strip, dan (4) penggunaan mulsa. Menurut Sitorus (2004) metode mekanik dalam konservasi
tanah mempunyai dua fungsi, yaitu (1) memperlambat aliran permukaan, dan (2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Termasuk dalam metode mekanik adalah : (1) pengolahan tanah menurut kontur, (2) pembuatan teras, (3) pembangunan saluran irigasi dan perbaikan drainase, dan (4) pembuatan waduk, dam penghambat. Sedangkan metode kimia adalah dengan menggunakan bahan-bahan kimia untuk memperbaiki struktur tanah. Bahan kimia tersebut secara umum disebut sebagai
soil conditioner Beberapa jenis soil conditioner yang digunakan adalah Krilium
dan Bitumen.
Teras Gulud
Teras Gulud merupakan tumpukan tanah yang dibuat memanjang mengikuti garis kontur atau memotong lereng dan di sebelah atas lereng guludan dibuat saluran yang mengikuti arah guludan.
Teras Gulud dapat berfungsi dalam menghambat aliran permukaan sedangkan saluran berfungsi untuk menampung dan meresapkan aliran permukaan, sehingga air akan terinfiltrasi lebih lama. Erosi yang terjadi pada guludan bersaluran umumnya akan berkurang dengan bertambahnya waktu penerapan guludan bersaluran. Kelemahan dari penerapan guludan bersaluran ini adalah apabila aliran permukaan melimpah di atas guludan (overtopping) dapat merusak guludan (Lubis, 2004).
Teras Gulud dapat dibuat pada tanah dengan kemiringan lereng sampai 12 persen (Arsyad, 2000). Jarak antara guludan tergantung pada kecuraman lereng,
(27)
kepekaan erosi tanah, dan erosivitas hujan. Ayudyaningrum (2006) mendapatkan bahwa jarak antara teras gulud yang diperpendek dari 8 m menjadi 2 m mempunyai efektivitas dalam menekan aliran permukaan sebesar 73 % dan sebesar 95 % dalam menekan erosi jika dibandingkan dengan bedengan konvensional. Penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2004) menunjukkan bahwa perlakuan teras gulud dengan penambahan mulsa vertikal dan lubang resapan mampu menekan aliran permukaan hampir 100 %.
Rorak
Rorak merupakan lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang berfungsi untuk menampung dan meresapkan aliran permukaan. Rorak dapat berfungsi untuk : (1) memperbesar peresapan air ke dalam tanah, (2) sebagai pengumpul tanah yang tererosi sehingga sedimen tanah lebih mudah dikembalikan ke bidang olah.
Noeralam dkk (2003) melaporkan bahwa air hujan yang tertampung pada rorak dapat menimbulkan aliran lateral (seepage) dan infiltrasi yang tertunda, sehingga ketersediaan air air dapat bertahan lama. Noeralam dkk (2003) juga melaporkan bahwa teknik pemanenan air berupa rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal dapat menurunkan aliran permukaan dan erosi masing-masing sebesar 6.45 cm tahun-1 dan 0.90 ton-1 ha-1 tahun dibandingkan tanah terbuka.
Mulsa Vertikal
Mulsa vertikal merupakan teknik penggunaan mulsa dengan cara memasukkan bagian dari sisa tanaman ke dalam rorak atau alur yang dibuat menurut kontur. Beberapa keuntungan penggunaan mulsa sebagai salah satu
(28)
teknik penerapan konservasi air diantaranya adalah : (1) memberi perlindungan terhadap permukaan tanah dari hantaman air hujan sehingga tidak merusak struktur tanah., (2) menghambat kecepatan dan volume aliran permukaan, (3) mengurangi terjadinya erosi, karena air hujan yang jatuh tidak langsung mengenai butir-butir tanah, (4) mengatur suhu dan temperatur tanah, (5) meningkatkan kand ungan bahan organik, dan (6) mengendalikan tanaman pengganggu. Umboh (2000) menambahkan bahwa penggunaan mulsa dapat meningkatkan kestabilan agregat dan kimia tanah, serta mengurangi penguapan langsung dari permukaan tanah (evaporasi).
Brata (1995) menjelaskan bahwa sebelum sisa tanaman yang digunakan sebagai mulsa melapuk, maka sisa tanaman tersebut dapat berfungsi untuk melindungi dinding resapan saluran dari penyumbatan oleh partikel-partikel halus yang terbawa oleh aliran permukaan dan dapat mencegah runtuhnya dinding saluran oleh pukulan butir hujan. Mulsa yang ditempatkan di dalam saluran-saluran dapat berfungsi untuk menyimpan air dan memberikannya ke tanaman yang diusahakan.
Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq.)
Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq.) merupakan tanaman tropis dari kelas
Angiospermae, sub kelas Monocotyledon, ordo Palmales, dan famili Palmaceae.
Tanaman ini dikenal sebagai tanaman penghasil minyak nabati yang berasal dari benua Afrika. Di Indonesia tanaman ini tersebar di pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Lampung, dan Aceh), Jawa, Kalimantan, dan Irian Jaya.
(29)
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah pada
keinggian 0-500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan antara 2000 – 2500 mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Fauzi dkk, 2002).Untuk
dapat tumbuh baik tanaman kelapa sawit perlu penambahan air paling sedikit 150 mm/bulan (Umana dan Chinchilla, 1991 dalam Tim Faperta IPB-PPKS Medan, 2006). Hasil penelitian dengan lisimeter di Serawak, Malaysia menunjukkan kebutuhan air untuk tanaman kelapa sawit adalah 5-6 mm/hari tergantung pada umur tanaman dan cuaca.
Keadaan topografi yang dianggap cukup baik untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah wilayah dengan topografi datar dan berombak sampai bergelombang dengan kemiringan ideal berkisar antara 0-25 %. Temperatur optimal yang mendukung pertumbuhan kelapa sawit adalah sebesar 24-28 °C dengan kelembapan optimum sebesar 80% (Harahap, 1999). Lama penyinaran matahari yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit rata-rata adalah 5-7 jam perhari.
Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti tanah Latosol, Podzolik Merah Kuning, Aluvial dan lainnya. Pertumbuhan tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh sifat-sifat tana h, yang meliputi sifat fisik dan sifat kimia tanah. Mansjur (1980) mengemukakan bahwa tanaman kelapa sawit lebih menghendaki sifat fisik yang baik dibanding sifat kimia. Hal ini disebabkan karena kekurangan unsur tertentu dapat diatasi dengan pemupukan.
Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit adalah tanah dengan pH netral, mempunyai lapisan tanah yang dalam, tidak banyak mengandung besi dan berdrainase baik (Yahya, 1990). Solum yang tebal
(30)
merupakan media yang baik bagi perkembangan akar tanaman sehinga mampu meningkatkan efisiensi penyerapan hara tanaman.
Kondisi iklim juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Unsur iklim yang cukup berpengaruh adalah curah hujan, suhu, kelembapan udara dan angin. Menurut Robertson dan Fong (1977) serta Ong (1982) dalam Siregar (1998) diantara unsur iklim ternyata curah hujan merupakan penyebab utama adanya fluktuasi produksi kelapa sawit. Caliman dan Southwort (1998) dalam Wijana (2001) mengemukakan bahwa suplai air yang cukup merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi produksi kelapa sawit. Mansjur (1980) menjelaskan bahwa curah hujan yang merata sangat dikehendaki oleh tanaman kelapa sawit, sehingga keseimbangan air dalam tanah tetap terjaga dalam batas-batas tertentu. Penguapan yang terjadi pada permukaan tanah dan tajuk dapat diimbangi dan dikurangi efek negatifnya dengan besarnya curah hujan tersebut.
(31)
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan Perkebunan Kelapa Sawit Afdeling III Unit Usaha Rejosari PTPN VII, Natar, Lampung Selatan. Daerah penelitian meliputi areal seluas ± 36.8 Ha, yang terbagi ke dalam 3 blok terpisah yaitu blok 1 (Blok 375) dengan luas 11.8 Ha , blok 2 (Blok 415) dengan luas 14.6 ha, dan blok 3 (Blok 414) dengan luas 6.3 ha. Tata letak blok-blok dan peralatan pada areal penelitian disajikan pada Gambar 1. Batas micro cacthment belum tergambar secara utuh akan tetapi dalam setiap perhitungan komponen hidrologi luas micro cacthment
yang utuh sudah dipertimbangkan.
Penelitian lapang dilakukan pada bulan Januari sampai Juni 2006, dilanjutkan dengan analisa konsentrasi sedimen yang dilakukan di Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
(32)
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan sebagai informasi dalam penelitian ini adalah : (1), material untuk pembangunan weir (2), kertas pias pencatat pulsa AWLR dan (3) suspensi sedimen.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat penakar hujan (ombrometer), current meter, sekat ukur, stopwatch, meteran, botol 600 ml, kertas saring, oven, cawan, timbangan, gelas ukur, alat tulis, komputer dengan program
Excell
Metode Penelitian Penentuan Lokasi penelitian
Lokasi penelitian berada pada tiga daerah tangkapan mikro (micro
catchment) yang identik yang terletak di Blok 375, 414 dan 415. Perlakuan yang
diuji adalah teras gulud yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal
pada micro catchment I (Blok 375), perlakuan kontrol, yaitu tanpa perlakuan
teknik peresapan air pada micro catchment II (Blok 415), dan perlakuan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal pada micro catchment
III (Blok 414).
Teras gulud dibuat mengikuti garis kontur dengan ukuran tinggi, lebar dan kedalaman saluran masing – masing ± 30 cm dan vertikal interval 80 cm. Lubang resapan dibuat di tengah-tengah saluran dengan jarak antar lubang 2 m, diameter lubang 10 cm, dan kedalaman 50 cm. Sisa tanaman berupa daun dan pelepah sawit serta serasah semak dimasukkan ke dalam lubang resapan dan saluran dalam teras gulud.
(33)
Rorak dibuat mengikuti garis kontur diantara tanaman kelapa sawit dengan ukuran panjang, lebar, dan kedalaman masing–masing 300 cm, 50 cm dan 50 cm. Lubang resapan juga dibuat pada setiap rorak berjarak 2 m antar lubang. Di dalam rorak dan lubang resapan juga ditambahkan sisa tanaman berupa daun dan pelepah sawit serta serasah semak sebagai mulsa vertikal. Teras gulud dan rorak yang diterapkan pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.
(a)
(b)
(34)
Sifat – sifat dan dinamika air diamati melalui stasiun pengamat yang dipasang pada setiap micro catchment. Sifat – sifat dan dinamika air tersebut meliputi curah hujan, aliran permukaan, dan aliran sedimen.
Pengukuran Curah Hujan
Data curah hujan diperoleh dari pengukuran alat penakar hujan (ombrometer) yang dipasang pada setiap micro catchment. Penakar hujan otomatis diletakkan di dekat blok 375 (micro catchment I), sedangkan penakar hujan tipe observatorium dipasang pada blok 414 dan 415. Alat penakar hujan (ombrometer) diletakkan pada tempat yang terbuka, dimana dalam radius ± 10 m di sekitar alat merupakan areal yang kosong agar hujan yang jatuh tidak terhalang oleh tajuk tanaman.
Volume air yang tertampung diukur dengan menggunakan gelas ukur. Selanjutnya volume air dalam satuan cm3 dikonversi ke dalam satuan tinggi kolom air (mm) dengan cara membagi dengan luas penampang masing–masing alat penakar.
Pengukuran Debit Aliran
Weir yang dilengkapi dengan AWLR (Authomatic Water Level Recorder) untuk mengukur ketinggian muka air secara otomatis dan papan duga vertikal (fiskal) untuk mengukur ketinggian air secara manual dipasang pada setiap outlet
micro catchment. Weir yang dilengkapi denganAWLR yang digunakan dalam
(35)
(a) (b)
Gambar 3. Weir (a) dan Automatic Water Level Recorder (AWLR) (b) yang digunakan dalam Penelitian.
Data yang tercatat pada pias AWLR selanjutnya dikorelasikan dengan nilai tinggi muka air dari hasil pengukuran fiskal, dimana data hasil pencatatan AWLR sebagai absis (x) dan tinggi muka air (TMA) pada fiskal sebagai ordinat (y). Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui fluktuasi ketinggian muka air yang terjadi pada areal micro catchment.
Pengukuran TMA dilanjutkan dengan pengukuran laju aliran permukaan Kecepatan aliran diukur menggunakan alat ukur arus (current meter) yang berupa baling-baling yang akan berputar bila dilalui air. Pengukuran yang dilakukan yaitu penghitungan bunyi yang dihasilkan oleh current meter, dimana alat ini akan berbunyi setiap 10 kali putaran.
Penampang basah dimensi weir diukur menggunakan meteran. Besarnya kecepatan aliran sungai dan penampang basah dimensi weir selanjutnya digunakan sebagai dasar perhitungan debit aliran permukaan, dengan menggunakan persamaan (Arsyad, 2000) :
(36)
Q = V x A
Dimana, Q adalah debit aliran (m3/detik), V adalah kecepatan aliran sungai (m/detik), dan A adalah luas penampang (m2). Kecepatan aliran dihitung dengan persamaan :
V = (0.120 x n) + 0.005
Dimana, V adalah besarnya kecepatan aliran (m/detik) dan n adalah jumlah putaran current meter per detik
Kurva lengkung debit aliran (discharge ratting curve) didapat dengan mengkorelasikan nilai tinggi muka air (m) dengan debit aliran hasil pengukuran (L/detik) pada titik outlet, dengan me nggunakan persamaan dari kurva lengkung tersebut dapat diketahui hidrograf pada setiap titik pengamatan. Volume aliran dalam waktu 10 menit diperoleh dengan cara mengkalikan debit aliran dengan waktu. Secara empiris dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
Debit aliran (m3/detik) x 10 menit x 60 detik
Pengukuran Debit Sedimen
Pengambilan contoh sedimen dilakukan bersamaan dengan pengukuran kecepatan aliran permukaan dengan menggunakan botol 600 ml. Metode yang digunakan dalam penentuan kadar sedimen adalah metode penyaringan. Sebelum dilakukan penyaringan kertas filter yang digunakan dioven terlebih dahulu pada suhu 600 C selama 24 jam dan selanjutnya ditimbang untuk mengetahui berat kering mutlaknya.
Sebelum dilakukan penyaringan sedimen dalam botol dikocok terlebih dahulu, tujuannya adalah agar suspensi sedimen dalam botol tercampur homogen.
(37)
25
Selanjutnya sampel sedimen disaring menggunakan kertas filter. Kertas filter yang berisi sedimen selanjutnya dioven pada suhu 600 C selama 24 jam.
Kadar sedimen ditentukan dengan menggunakan persamaan : Cs = G / V
Dimana Cs adalah besarnya kandungan sedimen (gr/L), G adalah bobot sedimen (gr), dan V adalah volume air (L).
Debit sedimen diperoleh dari hasil perkalian antara kandungan sedimen dalam suatu aliran dengan debit aliran. Secara empiris debit sedimen dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
Qs = Cs x Q
Dimana, Qs adalah debit sedimen (gr/detik), Cs adalah kandungan sedimen (gr/m3), dan Q adalah debit aliran (m3/detik).
Kurva lengkung sedimen didapat dengan mengkorelasikan data debit aliran (L/detik) dengan data debit sedimen (gr/detik), dimana data debit aliran sebagai absis (x) dan data debit sedimen sebagai ordinat (y). Dari persamaan kurva lengkung sedimen dapat dihitung debit sedimen pada nilai debit aliran yang berbeda. Volume sedimen dalam interval waktu 10 menit dapat dihitung dengan cara mengalikan debit sedimen dengan waktu. Secara empiris dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
Debit sedimen (gr/detik) x 10 menit x 60 detik 415)
(38)
Letak Geografis dan Administratif
Secara geografi daerah penelitian terletak pada 105º07’55.5” BT - 105º08’20.4” BT dan 5º17’01.6” LS - 5º17’27.6” LS. Sedangkan secara administrasi daerah ini termasuk dalam wilayah Desa Rejosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Jarak Unit Usaha Rejosari dari Ibukota Propinsi 12 km, dari kota Kabupaten Lampung Selatan 70 km, dari Pelabuhan Panjang 12 km, dan dari kantor Direksi 12 km (PTP Nusantara VII, 2005).
Keadaan Tanah
Macam tanah pada lokasi penelitian tergolong Podzolik Merah Kuning, sedangkan berdasarkan klasifikasi Soil Taxsonomy pada tingkat sub-group termasuk Typic Kanhapludult dan Fluventic Dystropept. Tanah bertekstur liat sampai liat berpasir, dengan solum tanah cukup dalam-dalam (Tabel 1).
Tabel 1. Kedalaman Solum Tiap Tanah pada Setiap Micro Catchment
Micro cacthment
Luas (ha) Total
(ha)
< 70 cm 0,7 - 1 m > 1 m
Micro cacthment I 1.1 0.3 10.4 11.8
Micro cacthment II 1.5 2.3 10.4 14.2
Micro cacthment III 0.0 0.0 6.3 6.3
Typic Kanhapludult termasuk ke dalam order Ultisol (Soil Survey Staff,
1992). Ultisol merupakan tanah lembab yang terbentuk di bawah iklim panas sampai tropik (Soepardi, 1983). Selanjutnya Hardjowigeno (2003) menjelaskan bahwa tanah ultisol mempunyai karakteristik berupa penimbunan liat di horizon bawah (horizon argilik), bersifat masam, dengan kejenuhan basa kurang dari 35 %.
(39)
Fluventic Dystropept termasuk dalam order Inceptisol (Soil Survey Staff, 1992). Ciri tanah ini adalah kandungan karbon organik yang berkurang dengan meningkatnya kedalaman solum tanah. Jenis tanah ini juga mempunyai penyebaran yang luas di Indonesia yang meliputi wilayah Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Penggunan lahan tanah Inceptisol umumnya diunakan untuk lahan pertanian khususnya perkebunan. Menurut Hardjowigeno (2003) tanah Inceptisol belum mengalami perkembangan lanjut sehingga sebagian besar tanah ini cukup subur.
Berdasarkan hasil analisis laboratorium, lokasi penelitian mempunyai kadar air kapasitas lapang sebesar 26 hingga 36 % dengan rataan kadar air titik layu permanen sebesar 18 sampai 26 %.
Topografi
Daerah penelitian berada pada ketinggian antara 75 sampai 200 meter di atas permukaan laut. Kondisi topografi daerah penelitian adalah datar hingga berombak dengan kemiringan lereng sebesar 3-8 %. Kedalaman solum daerah penelitian bervariasi antara 1 sampai 3 meter.
Daerah penelitian mempunyai wilaya h pelembahan yang bervariasi dimana daerah pelembahan pada blok 2 lebih luas (3.8 Ha) dibandingkan blok 1 (1.4 Ha), sedangkan blok 3 mempunyai daerah pelembahan yang paling sempit. Daerah lembah memiliki sistem drainase yang buruk dengan kedalaman solum yang dangkal dan struktur tanah yang kurang baik karena terdapat akumulasi liat sehingga tekstur tanah menjadi relatif lebih berat sehingga terjadi penggenangan, selain itu juga ditemukan lapisan kedap berupa batu pasir.
(40)
Iklim
Curah hujan di daerah penelitian berkisar antara 1500-2100 mm/tahun dengan jumlah hari hujan sebesar 77-122 ha ri/tahun. Water deficit yang terjadi di daerah penelitian mencapai 10-400 mm/tahun (PTPN VII, 2005). Berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung (2000-2005) menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara maksimum bulanan di daerah penelitian berkisar antara 31 – 36 ºC, sedangkan rata-rata suhu udara minimum bulanan berkisar antara 21 – 23 ºC, kelembaban udara rata-rata berkisar antara 69 – 87 % (Tabel Lampiran 1).
(41)
Kurva Lengkung Debit Aliran
Nilai pulsa AWLR, data tinggi muka air, dan debit aliran untuk masing-masing weir disajikan pada Tabel Lampiran 2. Pembacaan pulsa yang tercatat pada pias AWLR dan tinggi muka air hasil pengukuran lapang digunakan untuk mene ntukan kurva linier tinggi muka air (Gambar Lampiran 1). Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa nilai pulsa AWLR dan tinggi muka air mempunyai hubungan linier, dimana kenaikan pulsa AWLR akan diikuti dengan kenaikan tinggi muka air. Berdasarkan persamaan yang dihasilkan dari kurva linier tinggi muka air maka dapat diprediksi tinggi muka air secara kontinu pada masing-masing weir.
Secara umum karakteristik hubungan antara nilai pulsa AWLR dan tinggi muka air sama dengan karakteristik hubungan antara tinggi muka air dan debit aliran. Hal ini dapat dijelaskan bahwa peningkatan tinggi muka air di lapang akan diikuti oleh peningkatan debit aliran yang terjadi. Nilai tinggi muka air dan debit aliran pengukuran lapang selanjutnya digunakan untuk menentukan kurva lengkung debit aliran pada masing- masing weir (Gambar 4). Berdasarkan persamaan tersebut dapat diprediksi debit aliran yang terjadi pada berbagai tinggi muka air. Debit aliran pada AWLR 4 diprediksi dengan menggunakan karakteristik hubungan debit AWLR 3 dan AWLR 4 pada berbagai tinggi muka aliran. Hal tersebut dilakukan karena alat pencatat AWLR 4 tidak berfungsi dengan baik.
(42)
Persamaan yang dihasilkan dari kurva lengkung debit aliran yang digunakan dapat disajikan dalam persamaan berikut :
Q = a TMAb
dimana, Q adalah debit aliran (L/detik), a dan b adalah bilangan konstanta yang dalah tinggi muka air (cm).
Gambar 4. Kurva Lengkung Debit Aliran AWLR1 (a), AWLR 2 (b), AWLR 3 (c), AWLR 4 (d), dan AWLR 5 (e).
a
y = 0,0041x3,2095 R2 = 0,99
0 50 100 150 200 250 300 350
0 10 20 30 40
TMA (cm)
Debit (L/detik)
b
y = 0,003x2,9802 R2 = 0,98
0 5 10 15 20 25 30 35 40
0 5 10 15 20 25
TMA (cm)
Debit (L/detik)
c
y = 0,0062x2,9719 R2 = 0,95
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
0 10 20 30 40 50 60 70
TMA (cm)
Debit (l/detik)
d
y = 0,4149x + 2,0051 R2 = 0,89
0 5 10 15 20 25 30 35
0 20 40 60 80
Debit Aliran AWLR 3 (L/detik)
Debit Aliran AWLR 4 (L/detik)
e
y = 0,002x3,2485 R2 = 0,95
0 5 10 15 20 25 30
0 5 10 15 20
TMA (cm)
(43)
Kurva Lengkung Debit Sedimen
Pengambilan contoh sedimen dilakukan bersamaan dengan pengukuran debit aliran pada beberapa ketinggian muka air. Selanjutnya contoh sedimen tersebut ditentukan kandungan sedimen dan nilai debit sedimennya (Tabel Lampiran 3). Korelasi antara debit aliran dan debit sedimen (kurva lengkung debit sedimen) disajikan pada Gambar 5. Selanjutnya persamaan yang diperoleh dari kurva lengkung debit sedimen digunakan untuk memprediksi jumlah sedimen yang dihasilkan pada setiap microcactment.
Gambar 5. Kurva Lengkung Debit Sedimen AWLR 1 (a), AWLR 2 (b), AWLR 3 (c), AWLR 4 (d).
a
y = 0,0057x1,7734 R2 = 0,83
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
0 20 40 60 80 100 120 140
Debit aliran (L/detik)
Debit sedimen(gr/detik)
b
y = 0,002x2,0453 R2 = 0,93
0 5 10 15 20 25
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Debit aliran (L/detik)
Debit sedimen (gr/detik)
c
y = 0,0122x1,6291 R2 = 0,97
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
0 100 200 300 400 500
Debit aliran (L/detik)
Debit sedimen (gr/detik)
d
y = 0,0249x1,2583 R2 = 0,72
0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5
0 5 10 15
Debit aliran (L/detik)
(44)
Secara umum persamaan yang dihasilkan dari kurva lengkung debit sedimen disajikan sebagai berikut :
Qs = a Q b
Dimana Qs adalah debit sedimen (gr/L), a dan b adalah bilangan konstanta yang nilainya berbeda antar AWLR, dan Q adalah debit aliran (L/detik).
Curah Hujan
Hasil pengamatan lapang menunjukkan adanya 88 hari hujan yang teramati pada periode Januari sampai Juni 2006 pada masing- masing micro
cacthment. Data pengukuran hujan harian disajikan pada Tabel Lampiran 4
sedangkan data curah hujan bulanan pada masing- masing perlakuan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Curah Hujan Bulanan Periode Januari – Juni 2006
Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan
Teras Gulud Kontrol Rorak
Januari 330.11 325.24 119.66* 16
Februari 222.10 190.82 193.19 19
Maret 246.46 214.36 228.42 20
April 271.69 225.96 233.01 14
Mei 85.60 76.64 76.73 13
Juni 57.71 54.05 54.95 6
Jumlah 1213.69 1087.07 905.96 88
Catatan : * alat tidak berfungsi dengan baik
Tabel 2 menunjukkan adanya pola penurunan curah hujan pada masing-masing perlakuan pada periode musim kemarau, yaitu pada bulan Mei dan Juni. Curah hujan terbesar selama periode penelitian terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar 330.11 mm pada perlakuan teras gulud dan 325.24 mm pada perlakuan kontrol, akan tetapi perlakuan rorak mempunyai curah hujan yang lebih kecil dibanding kedua perlakuan lain yaitu sebesar 119.66 mm. Hal ini disebabkan
(45)
adanya kerusakan alat penakar hujan sehingga hujan yang jatuh pada perlakuan rorak tidak dapat terukur dengan baik. Curah hujan terkecil untuk masing- masing perlakuan terjadi pada periode yang sama yaitu pada bulan Juni, dimana curah hujan terkecil pada teras gulud sebesar 57.71 mm, perlakuan kontrol sebesar 54.05 mm dan perlakuan rorak sebesar 54.95 mm. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa selama periode Januari – Juni 2006 perlakuan teras gulud mempunyai total curah hujan terbesar dibandingkan kedua perlakuan yang lain, yaitu sebesar 1213.69 mm, diikuti perlakuan kontrol sebesar 1087.07 mm dan rorak mempunyai jumlah curah hujan terkecil yaitu sebesar 9 05.96 mm.
Gambar 6. Curah Hujan Harian (April 2006)
Gambar 6 menunjukkan distribusi hujan harian yang terjadi pada bulan April. Hujan yang terjadi selama bulan April terdistibusi secara merata pada ketiga perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa hujan yang terjadi pada salah satu perlakuan, juga terjadi pada kedua perlakuan yang lain. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada bulan April tetapi juga terjadi pada seluruh periode hujan selama penelitian (Januari - Juni 2006).
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 01/0 4/06 03/04 /06 05/04 /06 07/04 /06 09/04 /06 11/0 4/06 13/04 /06 15/04 /06 17/04 /06 19/04 /06 21/04 /06 23/04 /06 25/0 4/06 27/04 /06 29/04 /06 Tanggal
Curah Hujan (mm)
(46)
Hubungan Curah Hujan dan Overland flow
Curah hujan merupakan penyebab terjadinya overland flow. Apabila hujan yang jatuh pada suatu areal telah melebihi kapasitas infiltrasi tanah maka kelebihan air hujan tersebut akan berubah menjadi aliran air yang mengalir di permukaan (overland flow). Jumlah overland flow hasil pengukuran lapang dari 25 kejadian hujan terpilih pada masing- masingperlakuandisajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan Curah Hujan dan Overland flow pada Masing- masing Perlakuan
Tanggal
Teras Gulud Kontrol Rorak
CH OLF
koef.
limpasan CH OLF
koef.
limpasan CH OLF
koef. limpasan
(mm) (mm) (%) (mm) (mm) (%) (mm) (mm) (%)
21/02/06 18.9 0.05 0.24 23.42 0.19 0.81 24.01 0.03 0.11
24/02/06 14.68 0.08 0.57 9.02 0.00 0.00 6.39 0.00 0.00
25/02/06 98.90 32.23 32.59 93.59 57.82 61.78 88.60 2.45 2.77
27/02/06 21.88 0.09 0.39 18.79 0.81 4.30 20.12 0.26 1.29
01/03/06 39.61 2.75 6.93 42.46 6.29 14.81 35.24 0.96 2.72
04/03/06 19.74 0.29 1.47 9.72 0.00 0.00 9.87 0.00 0.00
08/03/06 23.38 0.64 2.75 23.74 0.64 2.71 15.08 0.00 0.00
11/03/06 16.09 0.04 0.23 13.06 0.18 1.36 7.49 0.00 0.00
15/03/06 36.49 1.24 3.40 31.90 1.49 4.66 26.34 0.17 0.66
21/03/06 18.25 0.06 0.33 13.81 0.11 0.79 19.49 0.10 0.50
22/03/06 14.81 0.02 0.13 13.32 0.17 1.26 18.66 0.11 0.58
28/03/06 16.36 0.001 0.01 13.07 0.11 0.83 19.49 0.10 0.53
04/04/06 32.79 2.27 6.92 25.46 0.66 2.59 31.76 0.23 0.73
05/04/06 13.89 0.05 0.36 17.36 0.14 0.80 27.64 0.19 0.70
09/04/06 15.00 0.08 0.51 14.15 0.13 0.94 12.43 0.00 0.00
10/04/06 40.26 2.27 5.64 19.74 0.18 0.91 20.29 0.12 0.57
11/04/06 18.83 0.01 0.05 29.09 0.98 3.38 26.21 0.23 0.86
19/04/06 18.60 0.30 1.61 8.22 0.00 0.00 5.75 0.00 0.00
20/04/06 19.42 0.23 1.20 23.42 0.41 1.76 15.69 0.12 0.78
22/04/06 80.52 16.14 20.04 61.80 25.17 40.73 69.54 1.98 2.85
29/04/06 16.23 0.16 0.97 11.46 0.11 0.94 12.95 0.00 0.00
26/05/06 27.92 0.001 0.00 24.52 0.00 0.00 26.42 0.10 0.38
28/05/06 34.42 0.18 0.52 30.10 0.22 0.73 26.04 0.10 0.38
06/06/06 26.75 0.08 0.28 22.92 0.03 0.13 22.49 0.03 0.13
14/06/06 10.52 0.00 0.00 15.65 0.00 0.00 16.67 0.03 0.17
Jumlah 694.24 59.25 87.16 609.79 95.83 146.23 604.66 7.30 16.70 Keterangan : CH : Curah Hujan
(47)
Berdasarkan Tabel 3, curah hujan yang terjadi pada perlakuan terasa gulud berkisar antara 10.52 mm sampai 98.90 mm dan overland flow yang terjadi berkisar antara 0.001 mm – 32.23 mm. Pada perlakuan teras gulud jumlah curah hujan tertinggi sebesar 98.90 mm yang terjadi pada tanggal 25 Februari 2006 dan menghasilkan overland flow sebesar 32.23 mm dengan nilai koefisien limpasan sebesar 32.59 %.
Pada musim hujan jumlah curah hujan terendah pada perlakuan teras gulud yang mampu menghasilkan overland flow adalah sebesar 13.89 mm dengan jumlah overland flow sebesar 0.05 mm. Sedangkan pada periode musim kemarau jumlah curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan adalah sebesar 26.75 mm dengan jumlah aliran permukaan sebesar 0.08 mm.
Karakter yang sama juga terlihat pada perlakuan kontrol dan rorak. Curah hujan tertingi yang mampu menghasilkan aliran permukaan pada perlakuan kontrol adalah sebesar 93.59 mm dan menghasilkan aliran permukaan sebesar 57.82 mm, sedangkan pada rorak curah hujan tertinggi (88.60 mm) menghasilkan aliran permukaan sebesar 2.45 mm.
Memasuki periode musim kemarau terdapat perbedaan besarnya jumlah curah hujan yang mampu menimbulkan overland flow pada perlakuan kontrol dan rorak, walaupun besarnya overland flow yang dihasilkan sama yaitu 0.03 mm. Pada perlakuan kontrol curah hujan terendah yang mampu menimbulkan overland flow adalah sebesar 22.92 mm yang terjadi pada tanggal 6 Juni 2006, sedangkan curah hujan terendah pada rorak hanya sebesar 16.67 mm yang terjadi pada tanggal 14 Juni 2006. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan kontrol aliran air telah terhenti sejak tanggal 9 Mei 2006, sehingga tanah memiliki kadar air yang
(48)
relatif lebih rendah. Rendahnya kadar air tanah awal tersebut menyebabkan curah hujan yang jatuh lebih banyak terinfiltrasi ke dalam tanah untuk memenuhi kapasitas lapang dan hanya sebagian kecil dari curah hujan yang menjadi overland flow.
Korelasi antara curah hujan dan overland flow yang terjadi pada masing-masingperlakuan disajikan pada Gambar 7. Berdasarkan ilustrasi pada Gambar 7 diperoleh bahwa aliran permukaan (overland flow) yang dihasilkan bervariasi sejalan dengan variasi curah hujan yang jatuh, dimana aliran permukaan yang dihasilkan akan meningkat dengan meningkatnya curah hujan.
Gambar 7. Korelasi Antara Curah Hujan dan Overland flow pada Teras Gulud (a), Perlakuan Kontrol (b) dan Rorak (c).
Gambar 7 juga menunjukkan bahwa pada ketiga perlakuan mempunyai pola hubungan curah hujan dan overland flo w yang sama, dimana dari persamaan
a
y = 0,3149x - 6,3746
R2 = 0,8577
0 10 20 30 40
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
Curah Hujan (mm)
Overland flow (mm)
b
y = 0,6103x - 11,054
R2 = 0,8448
0 10 20 30 40 50 60 70
- 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Curah Hujan (mm)
Overland flow (mm)
c
y = 0,0316x - 0,473 R2
= 0,90
0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0
- 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Curah Hujan (mm)
(49)
yang dihasilkan tidak mampu mewakili besarnya curah hujan di bawah 20 mm. Hal ini berarti bahwa curah hujan di bawah 20 mm tidak terdapat kecenderungan peningkatan curah hujan yang diikuti oleh peningkatan overland flow.
Walaupun pada umumnya terjadi peningkatan curah hujan yang diikuti oleh peningkatan aliran permukaan langsung (overland flow), akan tetapi terdapat beberapa faktor lain yang juga berpengaruh sehingga besarnya curah hujan tidak bisa dijadikan sebagai parameter utama dalam menentukan besarnya overland flow. Faktor lama hujan dan keadaan air tanah awal juga berpengaruh terhadap besarnya overland flow yang dihasilkan. Apabila keadaan air tanah awal rendah, maka curah hujan yang turun akan lebih banyak terinfiltrasi ke dalam tanah sampai kapasitas lapang terpenuhi, sehingga jumlah air yang keluar sebagai aliran permukaan langsung (overland flow) menjadi lebih kecil. Hal ini dapat terjadi pada kejadian hujan dengan jumlah curah hujan rendah, dimana curah hujan yang jatuh kurang dari kapasitas infiltrasi tanah. Sebaliknya apabila curah hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah maka tanah akan lebih cepat mencapai keadaan jenuh. Hal ini mengakibatkan hanya sebagian kecil dari hujan yang jatuh yang akan terinfiltrasi ke dalam tanah dan selebihnya akan mengisi cekungan-cekungan di permukaan dan pada akhirnya akan meningkatkan jumlah overland flow.
Intensitas Hujan dan Debit Puncak
Hubungan antara intensitas maksimum 30 menit dan debit puncak pada masing- masing perlakuan disajikan pada Tabel 4. Peningkatan debit puncak aliran umumnya sejalan dengan peningkatan intensitas hujan, namun pada beberapa kejadian hujan faktor lama hujan juga berpengaruh terhadap debit puncak yang
(50)
terjadi. Gambaran hubungan antara intensitas hujan dan debit puncak disajikan pada Gambar 8.
Tabel 4. Hubungan Intensitas 30 Menit dan Debit Puncak pada Masing- masing Perlakuan
Tanggal I 30
(mm/jam)
Teras Gulud Kontrol Rorak
Curah Hujan Debit Puncak Curah Hujan Debit Puncak Curah Hujan Debit Puncak
(mm) (L/dtk) (mm) (L/dtk) (mm) (L/dtk)
21/02/2006 19.66 18.9 3.04 23.42 6.77 24.01 0.64
24/02/2006 24.38 14.68 4.83 9.02 0.00 6.39 0.00
25/02/2006 55.54 98.9 711,03 93.59 720.12 88.60 20.06
27/02/2006 5.85 21.88 29.92 18.79 35.56 20.12 8.61
01/ 03/2006 37.05 39.61 32.23 42.46 211.25 35.24 13.02
04/03/2006 26.98 19.74 21.95 9.72 0.00 9.87 0.00
11/03/2006 28.73 16.09 - 13.06 17.73 7.49 0.00
15/03/2006 61.68 36.49 9.75 31.9 66.73 26.34 8.30
21/03/2006 28.79 18.25 0.47 13.81 12.36 19.49 4.48
22/ 03/2006 14.89 14.81 9.56 13.32 16.64 18.66 4.61
28/03/2006 7,86 16.36 6.05 13.07 11.44 19.49 4.48
05/04/2006 17.81 13.89 4.85 13.89 7.56 27.64 5.68
10/04/2006 60,04 40.26 58.90 19.74 12.65 20.29 4.92
11/04/2006 22.19 18.83 14.97 29.09 58.88 26.21 7.07
20/04/2006 32.28 19.42 7.96 23.42 21.48 15.69 5.33
22/04/2006 101.7 80.52 746.21 61.80 767.52 69.54 30.00
29/04/2006 29.79 16.23 7.38 11.46 10.82 12.95 0.00
26/05/2006 31.39 27.92 - 24.52 1.71 26.42 2.51
28/05/2006 49.50 34.42 - 30.10 7.59 26.04 2.55
06/06/2006 17.42 26.75 7.47 22.92 2.21 22.49 1.49
14/06/2006 12.85 14.33 0.00 15.65 0.76 16.67 0.82
Gambar 8. Intensitas Hujan dan Debit Puncak pada Berbagai Perlakuan
0 100 200 300 400 500 600 700 800
7,86 17,42 22,19 28,79 32,28 37,05 55,54 60,04 101,7
Intensitas Hujan (mm/jam)
Debit Puncak (L/Detik)
(51)
Tabel 4 menunjukkan bahwa tanggal 22 April 2006 mempunyai nilai I30
tertinggi dan menghasilkan debit puncak terbesar diantara kejadian hujan lain. Pada kejadian hujan tersebut I30 yang terjadi adalah sebesar 101.7 mm/jam dan
menghasilkan debit puncak sebesar 746.21 L/detik (teras gulud), 767.52 L/detik (kontrol) dan 30.00 L/detik (rorak).
Curah hujan terendah pada perlakuan teras gulud yang mampu menghasilkan aliran permukaan adalah sebesar 13.89 mm dan debit puncak yang dihasilkan sebesar 4.85 mm. Pada periode musim kemarau curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan adalah sebesar 26.75 mm, yang berarti bahwa curah hujan dibawah 26.75 mm tidak menghasilkan overland flow. Untuk kejadian hujan pada tanggal 11 Maret 2006, 26 Mei 2006 dan 28 Mei 2006 pada perlakuan teras gulud tidak terdapat debit puncak karena pada kejadian hujan tersebut terjadi kesalahan pengukuran. Hal ini disebabkan pada saat pengukuran laju aliran permukaan current meter tersumbat oleh serasah yang terbawa bersama aliran air, sehingga current meter berputar lebih lambat.
Pada musim hujan curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan pada perlakuan kontrol dan rorak masing- masing sebesar 11.46 mm, dan 15.69 mm. Pada periode musim kemarau curah hujan terendah yang mampu menghasilkan aliran permukaan pada perlakuan kontrol adalah sebesar 15.65 mm lebih rendah dibanding perlakuan rorak (16.67 mm) dengan debit puncak yang dihasilkan masing- masing sebesar 0.76 mm dan 0.82 mm.
Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air terhadap Overland flow
Perbedaan tindakan konservasi tanah dan air yang diterapkan pada masing-masing perlakuan menghasilkan perbedaan jumlah overland flow yang dihasilkan.
(52)
Besarnya overland flow yang terjadi sebagai akibat dari perbedaan perlakuan teknik konservasi disajikan pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa adanya teras gulud dan rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal mampu mengurangi overland flow yang terjadi.
Teknik konservasi berupa teras gulud yang dibuat searah kontur mampu memperpendek panjang lereng sehingga dapat mengha mbat aliran air yang mengalir di permukaan dan memberikan kesempatan air untuk meresap lebih banyak. Kemampuan teras gulud dalam menekan besarnya aliran permukaan menjadi lebih efektif dengan adanya lubang resapan dan mulsa vertikal.
Saluran dan lubang resapan berfungsi untuk memperbesar permukaan resapan sehingga mampu menampung serta meresapkan lebih banyak air ke dalam tanah. Mulsa vertikal juga berfungsi untuk menurunkan jumlah aliran permukaan. Sebelum sisa tanaman yang digunakan sebagai mulsa melapuk maka sisa tanaman tersebut berfungsi untuk melindungi dinding resapan saluran dari penyumbatan partikel-partikel halus yang terangkut oleh aliran permukaan (Brata, 1995). Adanya teras gulud yang dilengkapi lubang resapan dan mulsa vertikal efektif menurunkan overland flow sebesar 46.50 %. Penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2004) menunjukkan bahwa perlakuan teras gulud dengan interval 1 m dan penambahan mulsa vertikal serta lubang resapan mampu menekan aliran permukaan hampir 100 %. Hal ini menunjukkan bahwa teras gulud sangat efektif dalam menekan aliran permukaan.
(53)
Tabel 5. Overland flow pada Masing- masing Perlakuan
Tanggal
CH Rata-rata
(mm)
Overland flow
Kontrol (mm)
Teras Gulud Rorak
Aktual (mm)
Beda Kontrol (%)
Aktual (mm)
Beda Kontrol (%)
21/02/2006 22.18 0.19 0.05 75.45 0.03 86.28
24/02/2006 10.14 0.00 0.08 0.00 0.00 0.00
25/02/2006 94.08 57.82 32.23 44.25 2.45 95.76
27/02/2006 20.02 0.81 0.09 89.33 0.26 67.00
01/03/2006 39.99 6.29 2.75 56.31 0.96 98.00
04/03/2006 12.78 0.00 0.29 0.00 0.00 0.00
08/03/2006 21.70 0.64 0.64 0.13 0.00 100
11/03/2006 12.73 0.18 0.04 79.25 0.00 100
15/03/2006 32.05 1.49 1.24 16.61 0.17 88.37
21/03/2006 16.42 0.11 0.06 44.75 0.10 9.94
22/03/2006 14.96 0.17 0.02 88.78 0.11 35.72
28/03/2006 15.50 0.11 0.001 98.72 0.10 4.81
04/04/2006 29.09 0.66 2.27 71.01 0.23 64.70
05/04/2006 18.61 0.14 0.05 63.68 0.19 38.85
09/04/2006 14.02 0.13 0.08 42.39 0.00 100
10/04/2006 26.07 0.18 2.27 92.06 0.12 36.15
11/04/2006 25.34 0.98 0.01 99.13 0.23 76.97
19/04/2006 10.81 0.00 0.30 0.00 0.00 0.00
20/04/2006 20.48 0.41 0.23 43.37 0.12 70.38
22/04/2006 69.19 25.17 16.14 35.89 1.98 92.13
29/04/2006 13.24 0.11 0.16 43.19 0.00 100
26/05/2006 25.97 0.00 0.001 0.00 0.10 0.00
28/05/2006 30.50 0.22 0.18 19.17 0.10 54.75
06/06/2006 23.98 0.03 0.08 59.15 0.03 1.66
14/06/2006 14.33 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
Rata-rata 25.37 3.83 2.37 46.50 0.29 52.86
Overland flow terendah terjadi pada perlakuan rorak yang dilengkapi
dengan lubang resapan dan mulsa vertikal. Rorak yang dibuat searah kontur dapat menampung curah hujan yang jatuh dan mengalir di permukaan lahan, sehingga hanya sebagian kecil air yang mengalir dan sampai ke outlet. Adanya rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal efektif menurunkan
overland flow sebesar 52.86 %. Hasil penelitia n yang dilakukan oleh Noeralam
dkk (2003) menunjukkan bahwa perlakuan rorak dengan penambahan mulsa vertikal mampu menekan aliran permukaan sebesar 6.45 cm/tahun dibandingkan tanah terbuka, yaitu sebesar 40.22 cm/tahun.
(54)
Tabel 5 menujukkan tingkat efektivitas rorak dalam menekan aliran permukaan yang lebih tinggi dibanding teras gulud. Akan tetapi hal ini tidak bisa dijadikan gambaran bahwa rorak lebih efektif dalam menekan aliran permukaan dibanding teras gulud. Hal ini disebabkan karena bentuk rorak terputus-putus sehingga masih memungkinkan air mengalir keluar dari lahan menuju outlet
melalui sela-sela diantara rorak. Hal ini berbeda dengan bangunan teras gulud yang dibuat tidak terputus, sehingga air yang mengalir di permukaan tidak segera keluar dari lahan melainkan terhambat oleh adanya guludan sehingga memberikan kesempatan air untuk meresap lebih banyak. Rendahnya jumlah aliran permukaan yang dihasilkan perlakuan rorak tidak hanya disebabkan karena keefektifan rorak dalam menghambat aliran permukaan, tetapi juga disebabkan oleh perbedaan faktor fisik lahan. Tanah pada perlakuan rorak mempunyai kedalaman solum yang lebih tebal (2-3 meter) dibanding kedua perlakuan lain. Penyebab lain adalah topografi pada perlakuan rorak yang relatif datar (0-3%) dan tidak ada saluran air yang nyata kecuali pada ujung pembuangannya (outlet).
Perlakuan kontrol menghasilkan overland flow yang lebih besar dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Tingginya aliran permukaan tersebut disebabkan karena tidak adanya perlakuan teknik peresapan air yang diterapkan pada perlakuan kontrol. Hal ini menyebabkan aliran air yang mengalir di permukaan lebih cepat mencapai titik pembuangan (outlet) karena tidak ada hambatan yang mampu menghambat dan menampung aliran air tersebut. Jumlah
overland flow pada perlakuan kontrol menjadi bertambah besar disebabkan oleh
(55)
Pengaruh Tindakan Konservasi Tanah dan Air terhadap Erosi
Curah hujan merupakan faktor penyebab terjadinya aliran permukaan dan erosi. Hasil pengukuran curah hujan dan overland flow serta sedimen tererosi yang dihasilkan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hubungan Curah Hujan, Overland flow dan Erosi
Tanggal
CH rata-rata
(mm)
Kontrol Teras Gulud
Overland flow
(mm)
Sedimen (kg/ha)
Overland flow Sedimen Aktual (mm) Beda Kontrol (%) Aktual (kg/ha) Beda Kontrol (%)
21/02/2006 22.18 0.19 0.21 0.05 75.45 0.09 58.66
24/02/2006 10.14 0.00 0.00 0.08 0.00 0.10 0.00
25/02/2006 94.08 57.82 813.45 32.23 44.25 280.74 65.49
27/02/2006 20.02 0.81 3.45 0.09 89.33 1.44 58.26
01/03/2006 39.99 6.29 41.87 2.75 56.31 12.10 71.10
04/03/2006 12.78 0.00 0.00 0.29 0.00 1.96 0.00
08/03/2006 21.70 0.64 2.48 0.64 0.13 1.98 20.33
11/03/2006 12.73 0.18 0.97 0.04 79.35 0.62 36.05
15/03/2006 32.05 1.49 5.44 1.24 16.61 3.63 33.27
21/03/2006 16.42 0.11 0.58 0.06 44.75 0.26 55.93
22/03/2006 14.96 0.17 0.88 0.02 88.78 0.34 61.90
28/03/2006 15.50 0.11 0.44 0.001 98.72 0.14 68.39
04/04/2006 29.09 0.66 1.30 2.27 71.01 4.39 70.41
05/04/2006 18.61 0.14 0.25 0.05 63.68 0.12 53.69
09/04/2006 14.02 0.13 0.30 0.08 42.39 0.21 30.51
10/04/2006 26.07 0.18 0.48 2.27 92.06 4.59 89.53
11/04/2006 25.34 0.98 3.84 0.01 99.13 0.48 87.43
19/04/2006 10.81 0.00 0.00 0.30 0.00 0.35 0.00
20/04/2006 20.48 0.41 1.28 0.23 43.37 0.36 72.23
22/04/2006 69.19 25.17 374.79 16.14 35.89 125.27 66.58
29/04/2006 13.24 0.11 0.34 0.16 43.19 0.37 8.29
26/05/2006 25.97 0.00 0.00 0.001 0.00 0.00 0.00
28/05/2006 30.50 0.22 0.25 0.18 19.17 0.15 40.54
06/06/2006 23.98 0.03 0.00 0.08 59.15 0.18 0.00
14/06/2006 14.33 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Rata rata 25.37 3.83 50.10 2.37 46.51 17.59 41.94
Tabel 6 menunjukkan bahwa adanya teknik konservasi berupa teras gulud yang dikombinasikan dengan lubang resapan dan mulsa vertikal efektif menurunkan aliran permukaan dan sedimen tererosi sebesar 41.94 %. Teras gulud menyebabkan tanah yang terbawa bersama aliran air akan terhenti dan diendapkan di sekitar guludan. Adanya saluran pada bagian sisi guludan berfungsi untuk
(1)
68
Tabel Lampiran 5. Lanjutan …..
No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata
(mm)
Blok I Blok II Blok III
57 06/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
58 07/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
59 08/03/06 23.38 23.74 15.08 21.70
60 09/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
61 10/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
62 11/03/06 16.09 13.06 7.49 12.73
63 12/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
64 13/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
65 14/03/06 0.71 2.94 2.16 2.09
66 15/03/06 36.49 31.90 26.34 32.05
67 16/03/06 10.39 11.76 11.60 11.31
68 17/03/06 7.89 5.48 11.33 7.52
69 18/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
70 19/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
71 20/03/06 4.97 2.94 4.17 3.83
72 21/03/06 18.25 13.81 19.49 16.42
73 22/03/06 14.81 13.32 18.66 14.96
74 23/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
75 24/03/06 11.03 9.21 13.12 10.63
76 25/03/06 4.12 3.62 6.71 4.46
77 26/03/06 0.58 0.69 1.22 0.77
78 27/03/06 8.29 6.22 13.40 8.45
79 28/03/06 16.36 13.07 19.49 15.50
80 29/03/06 0.84 0.39 0.83 0.63
81 30/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
82 31/03/06 4.44 1.81 3.42 2.97
83 01/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
84 02/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata
(mm)
Blok I Blok II Blok III
85 03/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
86 04/04/06 32.79 25.46 31.76 29.09
87 05/04/06 13.89 17.36 27.64 18.61
88 06/04/06 0.55 0.70 0.72 0.66
89 07/04/06 1.42 1.69 2.18 1.72
90 08/04/06 9.81 3.78 3.79 5.60
91 09/04/06 15.00 14.15 12.43 14.02
92 10/04/06 40.26 19.74 20.29 26.07
93 11/04/06 18.83 29.09 26.21 25.35
94 12/04/06 4.06 9.07 4.06 6.44
95 13/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
96 14/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
97 15/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
98 16/04/06 0.32 0.00 0.00 0.10
99 17/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
100 18/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
101 19/04/06 18.60 8.22 5.75 10.81
102 20/04/06 19.42 23.42 15.69 20.48
103 21/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
104 22/04/06 80.52 61.80 69.54 69.19
105 23/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
106 24/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
107 25/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
108 26/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
109 27/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
110 28/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
111 29/04/06 16.23 11.46 12.95 13.24
(2)
69
Tabel Lampiran 5. Lanjutan …..
No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata
(mm)
Blok I Blok II Blok III
117 05/05/06 0.65 0.40 0.54 0.51
118 06/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
119 07/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
120 08/05/06 0.84 1.45 1.72 1.33
121 09/05/06 1.93 1.08 1.33 1.39
122 10/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
123 11/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
124 12/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
125 13/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
126 14/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
127 15/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
128 16/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
129 17/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
130 18/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
131 19/05/06 2.62 2.89 2.74 2.77
132 20/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
133 21/05/06 0.00 0.50 3.34 0.98
134 22/05/06 0.52 0.50 0.50 0.50
135 23/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
136 24/05/06 2.10 1.89 1.26 1.82
137 25/05/06 1.88 1.34 1.31 1.49
138 26/05/06 27.92 24.52 26.42 25.97
139 27/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
140 28/05/06 34.42 30.10 26.04 30.50
142 30/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
143 31/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
144 01/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
145 02/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
146 03/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
147 04/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata
(mm)
Blok I Blok II Blok III
148 05/06/06 4.68 3.09 3.14 3.58
149 06/06/06 26.75 22.92 22.49 23.99
150 07/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
151 08/06/06 1.81 1.69 1.83 1.76
152 09/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
153 10/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
154 11/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
155 12/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
156 13/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
157 14/06/06 10.52 15.65 16.67 14.33
158 15/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
159 16/06/06 10.32 7.36 7.44 8.27
167 24/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
168 25/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
169 26/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
170 27/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
171 28/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
172 29/06/06 0.00 0.00 0.00 0.00
(3)
70
Tabel Lampiran 5. Lanjutan …..
No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata
(mm)
Blok I Blok II Blok III
57 06/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
58 07/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
59 08/03/06 23.38 23.74 15.08 21.70
60 09/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
61 10/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
62 11/03/06 16.09 13.06 7.49 12.73
63 12/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
64 13/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
65 14/03/06 0.71 2.94 2.16 2.09
66 15/03/06 36.49 31.90 26.34 32.05
67 16/03/06 10.39 11.76 11.60 11.31
68 17/03/ 06 7.89 5.48 11.33 7.52
69 18/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
70 19/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
71 20/03/06 4.97 2.94 4.17 3.83
72 21/03/06 18.25 13.81 19.49 16.42
73 22/03/06 14.81 13.32 18.66 14.96
74 23/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
75 24/03/06 11.03 9.21 13.12 10.63
76 25/03/06 4.12 3.62 6.71 4.46
77 26/03/06 0.58 0.69 1.22 0.77
78 27/03/06 8.29 6.22 13.40 8.45
79 28/03/06 16.36 13.07 19.49 15.50
80 29/03/06 0.84 0.39 0.83 0.63
81 30/03/06 0.00 0.00 0.00 0.00
82 31/03/06 4.44 1.81 3.42 2.97
83 01/04/ 06 0.00 0.00 0.00 0.00
84 02/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
85 03/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
86 04/04/06 32.79 25.46 31.76 29.09
No Tanggal Curah Hujan (mm) CH Rata-rata
(mm)
Blok I Blok II Blok III
87 05/04/06 13.89 17.36 27.64 18.61
88 06/04/06 0.55 0.70 0.72 0.66
89 07/04/06 1.42 1.69 2.18 1.72
90 08/04/06 9.81 3.78 3.79 5.60
91 09/04/06 15.00 14.15 12.43 14.02
92 10/04/06 40.26 19.74 20.29 26.07
93 11/04/06 18.83 29.09 26.21 25.35
94 12/04/06 4.06 9.07 4.06 6.44
95 13/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
96 14/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
97 15/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
98 16/04/06 0.32 0.00 0.00 0.10
99 17/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
100 18/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
101 19/04/06 18.60 8.22 5.75 10.81
102 20/04/06 19.42 23.42 15.69 20.48
103 21/ 04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
104 22/04/06 80.52 61.80 69.54 69.19
105 23/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
106 24/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
107 25/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
108 26/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
109 27/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
110 28/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
111 29/04/06 16.23 11.46 12.95 13.24
112 30/04/06 0.00 0.00 0.00 0.00
113 01/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
114 02/05/06 0.00 0.00 0.00 0.00
115 03/05/06 3.12 4.68 4.18 4.10
(4)
71
Gambar Lampiran 1. Kurva Linier Tinggi Muka Air
Gambar 2. Korelasi Hubungan Pulsa AWLR dan TMA pada AWLR 1 (a),
AWLR 2 (b) dan (c), AWLR 3 (d), (e), dan (f), AWLR 5 (g).
c
y = 0,099x - 34,771
R2 = 0,56 0 5 10 15 20
350 400 450 500 550
Pulsa
TMA (cm)
b
y = 0,0684x - 8,7144
R2 = 0,88 0 5 10 15 20 25
100 150 200 250 300 350 400 450
Pulsa
TMA (cm)
d
y = 0,119x - 8,9096 R2 = 0,66
0 10 20 30 40 50 60 70
100 150 200 250 300 350 400 450 500
Pulsa
TMA (cm)
e
y = 0,2843x - 18,515
R2 = 0,90 0 5 10 15 20
70 80 90 100 110 120 130
Pulsa
TMA (cm)
f
y = 0,0074x + 3,8341
R2 = 0,88 0 5 10 15
400 500 600 700 800 900 1000
Pulsa
TMA (cm)
a
y = 0,4175x - 32,685
R2 = 0,84 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
60 100 140 180
Pulsa
TMA (cm)
g
y = 0,6437x - 48,801
R2 = 0,70 0 5 10 15 20
70 80 90 100
Pulsa
(5)
72
g
y = 0,6437x - 48,801
R2
= 0,7001
0 5 10 15 20
70 80 90 100
Pulsa
TMA (cm)
d
y = 0,119x - 8,9096 R2 = 0,66
0 10 20 30 40 50 60 70
100 150 200 250 300 350 400 450 500
Pulsa
(6)