Arahan Pengembangan Kawasan Permukiman Dalam Rangka Mengurangi Konversi Lahan Sawah Di Kota Solok

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN
DALAM RANGKA MENGURANGI KONVERSI LAHAN
SAWAH DI KOTA SOLOK

RICKY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Arahan Pengembangan
Kawasan Permukiman dalam rangka Mengurangi Konversi Lahan Sawah di Kota
Solok” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016

Ricky
NRP A156140124

RINGKASAN
RICKY. Arahan Pengembangan Kawasan Permukiman dalam rangka Mengurangi
Konversi Lahan Sawah di Kota Solok. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan
BABA BARUS.
Ketersediaan, keterjangkauan dan stabilitas merupakan unsur penting dalam
membangun ketahanan pangan, dalam hal ini setiap daerah mempunyai peranan
dengan sesuai kapasitas masing-masing. Peran ini sebenarnya tidak hanya
dijalankan oleh wilayah pedesaan, peran sebagian Kota yang masih memiliki
lahan pertanian juga tidak dapat begitu saja diabaikan. Kawasan Perkotaan adalah
kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Walaupun
secara administratif berstatus sebagai sebuah kota, Kota Solok tidak dapat begitu
saja meninggalkan sektor pertanian karena masih kuatnya pengaruh sektor

tersebut dalam pembangunan wilayah dan adanya kepentingan mempertahakan
ketahanan nasional. Pembangunan permukiman di Kota Solok perlu
memperhatikan eksistensi lahan sawah yang ada dan sebisa mungkin menghindari
alih fungsi yang tidak seharusnya dan harus benar-benar sesuai kebutuhan.
Pengembangan infrastruktur permukiman perkotaan sebaiknya tidak diarahkan
pada lokasi-lokasi sawah aktual dan lahan-lahan yang potensial untuk sawah.
Namun pengembangan permukiman pada umumnya lebih memilih untuk
mengalih fungsi lahan sawah yang ada dan lahan-lahan yang potensial untuk
sawah.
Penelitian ini bertujuan 1) memperkirakan kebutuhan lahan untuk kawasan
permukiman berdasarakan proyeksi pertumbuhan penduduk, 2) analisis
kesesuaian lahan untuk komoditas padi sawah dan 3) mensimulasikan perubahan
penggunaan lahan dengan mempertimbangkan infrastruktur sebagai faktor yang
berpengaruh. Metoda yang digunakan adalah Model Saturasi, Analisis Spasial,
Markov Chain dan Cellular Automata (CA).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1) Perkiraan populasi penduduk
kota Solok dengan model saturasi pada tahun 2031 mencapai 71.524 jiwa yang
akan membutuhkan lahan seluas 223,08 Ha untuk kawasan permukiman, 2) Luas
lahan sawah aktual sebanyak 971,27 Ha, sebagian terkategorikan tidak sesuai
karena faktor lereng, namun faktor penghambat tersebut telah diatasi dengan

pembangunan terasering, 3) Diperkirakan akan terjadi pengurangan luas lahan
sawah lebih dari 150 Ha pada tahun 2024. Rencana perluasan jaringan jalan di
Kota Solok terbukti cenderung mengikuti kecenderungan pasar yang diarahkan
pada lokasi sawah-sawah aktual dan potensial, alih fungsi lahan sawah
diperkirakan tetap akan terjadi dalam jumlah yang cukup tinggi terutama pada
lahan-lahan berkesesuaian baik.
Kata kunci: Konversi Lahan Sawah, Model Kejenuhan, Perubahan Penggunaan
lahan, Kesesuaian Lahan, Markov Chain, Cellular Automata

SUMMARY
RICKY. Study of Attemps for Directing the Orientation of Settlement Area
Development in order to Reduce Wetland Conversion in Solok. Supervised by
ERNAN RUSTIADI and BABA BARUS.
Availability, affordability and stability are key factors to national food
security. Each region in a country has it’s own role on the national food security.
The role was mostly played by the rural area, but some urban regions have
significant role especially those with sufficient amount of remaining farm lands.
The city of Solok, despite of being a growing urban area, cannot entirely abandon
the agricultural sector due to its influence on the development of the region and its
contribution on maintaining national food security. The urban settlement

development in the city of Solok needs to pay attention on the existing paddy
fields while avoiding unnecessary conversion and should really fits the needs. The
infrastructure development should not be directed to the existing rice field and
potential areas for rice field, since the settlement development tends to convert
those areas.
The aims of this study were 1) to estimate the amount of land requirement
for settlement area according to prediction of population growth, 2) to assess land
suitability for rice field by employing spatial analysis and 3) to simulate of land
use change considering infrastructure as driving factor. The methods used in this
study was Saturation Model, Spatial Analysis, Markov Chain and Cellular
Automata (CA) analysis.
The results showed that : (1) in 2031 the estimated population through
saturation model was at 71,524 inhabitants which would require 223.08 Ha for
settlement area, (2) The actual paddy field area were 971.27 Ha, some part the
area was categorized as not suitable due to slope factor but was overcomed by the
construction of terraces and (3) The Markov Chain and CA analysis predicted
more than 150 Ha of the of paddy field area conversion in Solok by 2024. Road
development plan in City of Solok tends to follow the market trend that directed at
the existing and potential paddy field areas, it was predicted that the significant
loss of paddy field area will still occure especially on lands with better suitability

for paddy fields.
Keywords: Paddy Fields Conversion, Landuse Change, Saturation Model, Land
Suitability, Markov Chain, Cellular Automata.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN
DALAM RANGKA MENGURANGI KONVERSI LAHAN
SAWAH DI KOTA SOLOK

RICKY


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc.Agr

Judul Tesis : Arahan Pengembangan Kawasan Permukiman dalam rangka
Mengurangi Konversi Lahan Sawah di Kota Solok
Nama
: Ricky
NIM
: A156140124


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ernan Rustiadi M.Agr
Ketua

Dr Ir Baba Barus M.Sc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Ernan Rustiadi M.Agr

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 1 Juni 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Arahan Pengembangan Kawasan
Permukiman dalam rangka Mengurangi Konversi Lahan Sawah di Kota Solok” ini
berhasil diselesaikan.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr sebagai Ketua
Komisi Pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
dan Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing
dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan
dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Disamping itu
penghargaan juga penulis sampaikan kepada segenap dosen dan staf manajemen
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Pimpinan dan staf Pusbindiklatren
Bappenas dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas
bantuan baik moril maupun materil selama studi dan penulisan tesis ini.


Bogor,

Juni 2016

Ricky

i

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

iv


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
3
6
6
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Tinjauan Studi Terdahulu

8

8
12

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Bahan

14
14
14
14

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

26

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

29

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

56
56
57

DAFTAR PUSTAKA

58

LAMPIRAN

61

RIWAYAT HIDUP

70

ii

DAFTAR TABEL
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

13
14
15
16
17
18

Kebutuhan luas lahan untuk sarana pelayanan umum utama
tingkat RW, Kelurahan dan Kecamatan pada kawasan
permukiman di Kota Solok
Kebutuhan luas lahan untuk sarana pelayanan umum pada
kawasan permukiman di Kota Solok
Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah
Dasar penentuan kelas bahaya banjir
Pengelompokan Kelas bahaya banjir
Klasifikasi penggunaan lahan.
Jenis data dan metoda analisis data
Perbandingan antara proyeksi kebutuhan lahan permukiman
tahun 2031 dengan Rencana Pola Ruang (RTRW) di Kota Solok
Luas lahan menurut kelas kesesuaian lahan untuk permukiman.
Sebaran permukiman aktual pada setiap kelas kesesuaian lahan
untuk permukiman
Karakteristik lahan pada masing masing SPT (satuan peta tanah)
Kelas kesesuaian lahan untuk komoditas padi sawah di Kota
Solok (luas lahan sebelum dikurangi lahan terbangun dan
kawasan lindung)
Lahan tersedia/potensial untuk komoditas padi sawah dan kelas
kesesuaian pada lahan sawah aktual.
Perbandingan lahan sawah aktual dengan pola ruang
Perbandingan luas lahan sawah aktual terhadap perkiraan luas
lahan sawah hasil analisis CA.
Perbandingan kelas kesesuaian lahan sawah aktual dan proyeksi
2024.
Perkiraan penyusutan lahan sawah di Kota Solok berdasarkan
Kelas Kesesuaian lahan.
Luas lahan dari masing-masing opsi dalam rekomendasi arahan
pengembangan wilayah Kota Solok.

18
19
21
22
22
23
25
32
34
34
36

39
41
43
51
52
52
56

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Kerangka pikir penelitian
Skema penyaluran insentif LP2B
Bagan alir tahapan penelitian
Bagan alir proyeksi kebutuhan lahan permukiman di Kota Solok
Hasil estimasi non linear terhadap pertumbuhan penduduk Kota
Solok menggunakan model saturasi
Bagan alir proses analisis spasial untuk menentukan kelas
kesesuaian lahan untuk komoditas padi sawah.
Bagan alir proses simulasi perubahan penggunaan lahan dengan
metoda Markov Chain dan Cellular Automata
Peta Administrasi Kota Solok.

7
11
15
16
17
22
24
27

iii

9
10
11
12
13

14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

36
37

38

Perkembangan jumlah penduduk Kota Solok tahun 1990 – 2013
Perkiraan perkembangan jumlah penduduk Kota Solok tahun
2014 – 2031 dengan model saturasi
Perkiraan titik jenuh pertumbuhan penduduk Kota Solok dengan
model saturasi
Perkiraan kebutuhan kavling minimum bangunan tak bertingkat
di Kota Solok tahun 2014 – 2031
Perkiraan kebutuhan luas lahan minimum permukiman dan
fasilitas pendukung permukiman di Kota Solok tahun 2014 –
2031
Kawasan permukiman aktual dan alokasi lahan untuk kawasan
permukiman dalam Pola Ruang Kota Solok
Kesesuaian lahan untuk permukiman di Kota Solok
Sebaran permukiman aktual terhadap kelas kesesuaian lahan
untuk permukiman
Peta satuan lahan Kota Solok
Peta Curah hujan tahunan di Kota Solok
Peta sebaran bulan kering di Kota Solok
Peta lereng Kota Solok
Peta daerah rawan banjir di Kota Solok
Peta kelas bahaya banjir pada daerah rawan banjir di Kota Solok
Peta kesesuaian lahan untuk komoditas padi sawah di Kota
Solok
Peta ketersediaan lahan untuk komoditas padi sawah di Kota
Solok
Peta lahan sawah aktual di Kota Solok per 2014
Peta lahan sawah aktual di Kota Solok per 2014 dan Kelas
keseuaian lahan pada area yang ditempatinya
Perbandingan sawah aktual dengan alokasi sawah dalam pola
ruang di Kota Solok
Peta penggunaan lahan Kota Solok tahun 2004
Peta penggunaan lahan Kota Solok tahun 2010
Peta penggunaan lahan Kota Solok tahun 2014
Peta jalan raya aktual Kota Solok
Buffer 100 meter jalan raya aktual Kota Solok
Peta rencana pengembangan jaringan jalan di Kota Solok
Buffer 100 meter rencana pengembangan jalan raya di Kota
Solok
Matriks transisi / kemungkinan dan matriks area perubahan
penggunaan lahan di Kota Solok tahun 2014 hasil analisis
Markov Chain
Estimasi perubahan penggunaan lahan di Kota Solok tahun 2014
hasil analisis Cellular Automata.
Nilai akurasi hasil perbandingan prediksi penggunaan lahan di
Kota Solok tahun 2014 hasil analisis CA dengan peta
penggunaan lahan tahun 2014
Matriks transisi / kemungkinan perubahan penggunaan lahan di
Kota Solok tahun 2024 hasil analisis Markov Chain

29
30
30
31

31
32
33
33
35
37
37
38
38
39
40
41
42
42
43
44
45
45
46
46
47
47

48
48

49
49

iv

39
40

41

42
43

Estimasi perubahan penggunaan lahan di Kota Solok tahun 2024
Skenario “Business as Usual” hasil analisis Cellular Automata
Estimasi perubahan penggunaan lahan di Kota Solok tahun 2024
Skenario “Pengembangan Infrastruktur” hasil analisis Cellular
Automata
Perbandingan visual antara Estimasi sebaran lahan sawah di
Kota Solok tahun 2024 Skenario “Business as Usual” (Tanpa
peningkatan infrastruktur) dengan “Skenario Peningkatan
Infrastruktur”.
Bagan Alir Arahan Pengembangan Wilayah di Kota Solok.
Peta Rekomendasi Arahan Pengembangan Wilayah di Kota
Solok.

50

50

52
53
55

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Panduan wawancara untuk perkiraan kelas bahaya banjir
Kumpulan Foto Dokumentasi Penelitian
Kelas Kesesuaian lahan sawah aktual di Kota Solok dan faktor
penghambat
Kriteria Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

61
64
67
68

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Prinsip “Never put all your eggs in one basket” yang dikenal di kalangan
investor dan manajemen resiko sepatutnya juga menjadi perhatian dalam
mengelola ketahanan pangan. Prinsip tersebut menekankan kepada pentingnya
menyebarkan aset pada lebih dari satu titik, sebagai bagian dari manajemen resiko.
Menggantungkan semua kebutuhan pangan nasional/daerah pada suatu titik
produksi -walaupun memiliki tingkat produksi tinggi- akan memperbesar resiko
timbulnya kerawanan pangan, gangguan seperti kekeringan, serangan hama dan
bencana alam pada titik produksi tersebut dapat menjadi ancaman terhadap
ketahanan pangan nasional. Terkadang dalam pengembangan usaha termasuk
budidaya pertanian adanya berbagai faktor resiko adalah sesuatu yang tidak dapat
dihindari atau dihilangkan sama sekali, namun bukan berarti tidak dapat dikelola
untuk menurunkan seminimal mungkin tingkat resiko yang ada. Salah satu
kemungkinan penerapannya dalam membangun ketahanan pangan adalah dengan
membangun suatu jaringan lumbung pangan nasional yang tersebar di berbagai
daerah potensial dimana gangguan pada satu daerah tidak mempengaruhi atau
setidaknya hanya sedikit berpengaruh terhadap daerah lain.
Kunci dari ketahanan pangan terletak pada ketersediaan, keterjangkauan dan
stabilitas pengadaaannya. Ketersediaan berkaitan dengan aspek produksi dan
suplai yang ketersediaan pangannya selalu ada sepanjang waktu, keterjangkauan
aspek akses baik secara ekonomi maupun keamanan, sedangkan stabilitas
merupakan aspek distribusi (Arsyad dan Rustiadi, 2008). Ada dua pendekatan
utama yang mengelola ketahanan pangan: pendekatan lingkungan dengan
berupaya untuk membangun sistem pangan yang berkelanjutan, dan pendekatan
keadilan sosial bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan. Kedua pendekatan
sesuai dengan dua dimensi utama ketahanan pangan: produksi dan pasokan dari
kualitas yang memadai dan kuantitas makanan, dan kemampuan orang untuk
mengakses makanan (Longo, 2016). Dari segi kebijakan ada beragam pandangan
mengenai ketahanan pangan. Sebagian menekankan pada pasar, sebagian pada
penduduk. sebagian memandang peran negara sebagai fasilitator, yang lain
menganggapnya opresif. sebagian menilai harga sebagai gabungan semua nilai,
sebagian lain sebagai eksternalisasi biaya yang harus diinternalisasi. Sebagian
memandang isu ketahanan pangan hanya terbatas pada negara-negara berkembang,
yang lain menganggapnya tantangan untuk sistem pangan dunia dengan persoalan
berbeda pada setiap tingkat perkembangan negara (Lang dan Barling, 2012).
Dalam jangka panjang keberlanjutan produksi pangan suatu daerah
menemui tantangan dalam bentuk terus berlangsungnya alih fungsi lahan. Seiring
bertambahnya populasi penduduk dan meningkatnya aktifitas perekonomian
masyarakat mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan lahan. Untuk
memenuhi kebutuhan lahan yang terus meningkat maka diperlukan pembukaan
lahan-lahan baru, namun jika pembukaan lahan baru tidak memungkinkan
misalnya karena adanya penetapan kawasan lindung maka konversi lahan menjadi
pilihan. Konversi lahan terjadi pada berbagai kawasan mulai dari pedesaan hingga
perkotaan. Khusus pada kawasan kota yang sedang berkembang konversi lahan

2
adalah suatu hal yang sulit untuk dihindari. Namun dengan menerapkan upayaupaya konservasi lahan diharapkan laju konversi lahan dapat dikurangi.
Pengendalian alih fungsi lahan pangan merupakan bagian penting dari
pembangunan ketahanan pangan nasional. Hal yang sama juga berlaku di tingkat
daerah, tidak hanya untuk menjamin ketahanan pangan di daerah itu sendiri
namun juga untuk bersinergi dengan daerah lain dimana pada hakikatnya produksi
pangan nasional adalah akumulasi dari produksi pangan daerah di seluruh
Indonesia. Contoh upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah yang dapat
ditempuh antara lain dengan penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(LP2B), Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) dan Kawasan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B). Penetapan tersebut dilakukan
berdasarkan penilaian terhadap kondisi aktual pada lokasi yang dianggap
berpotensi.
Beragam faktor dapat menjadi penyebab alih fungsi lahan sawah, menurut
Ilham et al. (2005) beberapa penelitian lingkup mikro menunjukkan bahwa harga
lahan, aktivitas ekonomi suatu wilayah, pengembangan pemukiman, dan daya
saing produk pertanian merupakan faktor-faktor ekonomi yang menentukan
konversi lahan sawah. Sementara itu dalam lingkup makro: konversi lahan sawah
berkorelasi positif dengan pertumbuhan PDB/PDB; konversi lahan sawah
berkorelasi negatip dengan nilai tukar petani. Kedua hal ini sejalan dengan temuan
pada lingkup mikro. Secara mikro, berkembangnya pemukiman mempengaruhi
konversi lahan sawah, namun secara makro pengembangan pemukiman yang
diproksi dengan peningkatan jumlah penduduk tidak menunjukkan hubungan
yang positif. Hal ini mengindikasikan adanya trend pemilikan rumah bukan hanya
sebagai tempat tinggal tetapi sebagai investasi.Faktor sosial yang berlaku di
masyarakat kecenderungannya justru memicu terjadinya konversi lahan sawah.
Sementara itu perangkat peraturan pertanahan yang berlaku belum mampu
mengendalikan laju konversi lahan sawah.
Sebagian dari konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian
merupakan kejadian yang sulit dihindarkan, misalnya untuk memenuhi kebutuhan
lahan untuk permukiman. Dalam konteks demikian, laju konversi lahan sawah
dapat dikurangi secara tidak langsung melalui kebijakan dan implememtasi
pelaksanaan tata tuang yang dilandasi visi jangka panjang yang intinya adalah
bahwa zonasi dalam penataan ruang harus secara cermat mempertimbangkan arah
perubahan struktur perekonomian, pertumbuhan penduduk dan perubahan sosial
budaya (Sumaryanto et al. 2001). Irawan (2005) menyatakan konversi lahan
sawah di luar Jawa (132.000 Ha/tahun) melebihi di pulau Jawa (56.000 Ha/tahun),
sekitar 58,68 % ditujukan untuk kegiatan non pertanian, sisanya usaha tani bukan
sawah. Sebagian besar kegiatan non pertanian tersebut ditujukan untuk
pembangunan perumahan (48,96%) dan sarana publik (28,29%). Konversi lahan
sawah menjadi perumahan sangat dominan terjadi di pulau Jawa (74,96%)
sedangkan di luar Jawa sebagian besar ditujukan untuk pembangunan sarana
publik (45,59%). Menurut Pasandaran (2006) ada tiga alternatif kebijakan dalam
pengendalian konversi lahan sawah beririgasi, yaitu kebijakan pengendalian
melalui otoritas sentral, pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan
pemilik sawah beririgasi yang perlu dilindungi, dan pembangunan kemampuan
kolektif masyarakat tani setempat dalam mengendalikan konversi lahan sawah.

3
Sebagai sumber pangan utama sebagian besar masyarakat Indonesia lahan
padi sawah memerlukan perhatian lebih dalam upaya menjaga ketahanan pangan
dan keberlanjutan ketersediaannya. Menurut Nurmalina (2008) ada tujuh faktor
kunci atau faktor dominan yang sangat berpengaruh dalam sistem ketersediaan
beras yaitu produksi, produktivitas, konversi lahan, pencetakan sawah, kesesuaian
lahan, konsumsi per kapita dan jumlah penduduk. Nurmalina (2008)
menambahkan dari segi keberlanjutan wilayah Jawa dan Sumatera termasuk
kategori status cukup berkelanjutan dalam sistem ketersediaan beras, sedangkan
Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah lainnya kategori kurang berkelanjutan dalam
sistem ketersediaan beras. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan wilayah
padi/beras selain fokus di Jawa juga sebaiknya diarahkan ke Sumatera. Menurut
Mulyani et al. (2011) Laju konversi lahan sawah intensif di Jawa dan kota-kota
besar selama dua dekade terakhir tidak dapat diimbangi dengan laju pencetakan
sawah baru di luar Jawa. Kedua hal tersebut akan mengancam ketahanan dan
kedaulatan pangan nasional. Oleh karena itu, selain mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya lahan dan menerapkan berbagai teknologi untuk mendukung
Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN), konversi lahan harus dapat
dikendalikan dan pencetakan sawah baru terus ditingkatkan. Pada tahun 2050,
untuk memenuhi kebutuhan pangan, secara kumulatif diperlukan perluasan areal
sawah seluas 6,08 juta ha dan lahan kering 11,75 juta ha.
Perlindungan lahan sawah sangat terkait dengan ketahanan pangan baik
ditingkat nasional maupun di tingkat daerah. Ketahanan pangan merupakan suatu
isu yang sangat sensitif hingga di tingkat nasional. Secara umum terganggunya
ketersediaan pangan akan berakibat terganggunya berbagai aspek mulai dari
kehidupan masyarakat secara umum hingga terganggunya stabilitas nasional.
Karena sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai
makanan pokoknya maka tanpa perlindungan lahan sawah akan sulit untuk
mempertahankan ketersediaan pangan pada tingkat yang dapat mengimbangi
pertumbuhan penduduk. Semakin sedikit bahan pangan yang dapat dipenuhi
secara lokal akan berakibat semakin tingginya ketergantungan terhadap impor dan
semakin rapuhnya ketahanan pangan nasional. Setiap daerah mempunyai peran
dan tanggungjawab terhadap ketahanan pangan nasional dengan porsi peranannya
dapat bervariasi sesuai dengan kondisi tiap daerah. Sumatera Barat khususnya
dalam hal ini Kota Solok merupakan bagian dari rangkaian daerah penghasil beras
(Kabupaten Solok dan sekitarnya) dengan luas area sawah yang tidak sedikit
untuk ukuran Kota Kecil memiliki peran dan tanggungjawab yang tidak bisa
dibilang kecil terhadap ketahanan pangan nasional setidaknya dengan memenuhi
kebutuhan setempat.

Perumusan Masalah
Menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 Kawasan Perkotaan adalah
kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Namun
dalam penerapannya sebagian kota terutama kota kecil berkembang di tengah
kawasan sentra pertanian sehingga tidak dapat begitu saja meninggalkan sektor

4
pertanian karena sejumlah besar penduduknya masih bekerja di sektor pertanian
bahkan terdapat luas area pertanian yang signifikan di dalam wilayah administratif
kota tersebut.
Sejumlah kota di Indonesia berawal dari kawasan pertanian yang kemudian
tumbuh menjadi pusat berbagai aktivitas lain seperti perdagangan, jasa dan
permukiman seiring bertambahnya populasi penduduk dan meningkatnya aktivitas
perekonomian yang mengikutinya. Contoh kota-kota yang berkembang dari
kawasan pertanian dan masih memiliki aspek agraris yang kuat setelah tumbuh
menjadi wilayah perkotaaan atau sebagai pusat pemerintahan kabupaten antara
lain Sukabumi, Tasikmalaya dan Kota Solok yang menjadi lokasi dimana
penelitian ini dilaksanakan. Pada kota yang masih mempunyai aktivitas agraris
yang kuat mempertahankan sebagian lahan sawah masih perlu dilakukan terutama
jika masih terdapat penduduk yang mata pencarian utamanya di sektor pertanian
dalam jumlah yang signifikan. Alih fungsi lahan sawah dalam jumlah besar akan
menimbulkan efek sosial dan ekonomi terutama jika terjadi secara cepat atau
dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu jika didapati situasi dimana
pertanian masih merupakan suatu sektor yang tidak dapat diabaikan pada suatu
wilayah kota maka dalam pengembangan kota tersebut diperlukan suatu desain
pengembangan kota yang tetap menjalankan fungsi utamanya sebagai pusat
kegiatan perdagangan dan jasa namun di satu sisi tetap memperhatikan sektor
pertanian.
Kota Solok secara geografis maupun sosial budaya dan ekonomi tumbuhdari, dikelilingi-oleh dan berinteraksi-dengan Kabupaten Solok. Secara umum
Kabupaten Solok dikenal sebagai kawasan sentra produksi beras solok sekaligus
merupakan salah satu kawasan penghasil padi utama di Sumatera Barat. Kota
Solok, walaupun dari segi luas wilayah dan kuantitas produksi padi terbilang kecil
dibandingkan wilayah kabupaten yang mengelilinginya, merupakan kota yang
tumbuh dan berkembang dari kombinasi antara aktifitas pertanian dan
perdagangan/jasa sehingga tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari sektor
pertanian. Salah satu faktor yang signifikan adalah masih banyaknya tenaga kerja
usia produktif yang beraktifitas di sektor pertanian. Menurut data BPS Kota Solok
pada tahun 2013 mayoritas tenaga kerja usia produktif di Kota Solok bergerak di
sektor perdagangan (33,43%) dan jasa (32,41%) dan langsung diikuti oleh sektor
pertanian di posisi ketiga dengan menyerap 10,14% tenaga kerja usia produktif.
Disamping aspek serapan tenaga kerja sektor pertanian juga masih berkontribusi
terhadap PDRB Kota Solok hingga mencapai sekitar 8,31 %. Pengembangan
sektor perhatian juga mendapat perhatian serius dalam penyusunan pola ruang
yang dituangkan dalam RTRW Kota Solok tahun 2012 -2031 dimana perwujudan
kawasan pertanian yang dapat mendukung pengembangan agribisnis di Kota
Solok merupakan salah satu bagian dari kebijakan penataan ruang wilayah.
Selanjutnya kembali dari segi kuantitas, kontribusi Kota Solok terhadap
produksi padi di tingkat propinsi memang tergolong relatif kecil. Berdasarkan data
BPS Sumatera Barat total produksi padi Sumatera Barat tahun 2013 sebanyak
2.430.384 Ton sedangkan Kota Solok hanya berkontribusi 15.225 Ton (0,63 %).
Namun kontribusi kota Solok tidak hanya dapat dinilai secara kuantitas, dari segi
kualitas beras yang dihasilkan dari daerah Solok (Kabupaten dan Kota Solok)
merupakan komoditas favorit dalam perdagangan beras di Sumatera Barat. Salah
satu varietas lokal yang menjadi andalan Kota Solok adalah varietas Anak Daro

5
yang merupakan varietas unggul lokal yang ditetapkan melalui Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 73 Tahun 2007. Dari analisis oleh Irawati (2009)
ditemukan bahwa terdapat dua varietas padi yang lebih disukai petani di Kota
Solok yaitu Varietas Cisokan dan Varietas Anak Daro, faktor pendorong petani
lebih memilih kedua varietas tersebut antara lain harga jual yang lebih tinggi
dibanding varietas lain dan rasa yang lebih enak sehingga lebih disukai konsumen.
Khusus varietas anak daro merupakan varietas asli Kota Solok dimana lisensi
untuk pengembangan benih dipegang oleh pemerintah Kota Solok. Kegiatan
penyediaan benih padi varietas anak daro merupakan salah satu program
pengembangan pertanian di Kota Solok yang mulai diarahkan kepada usaha
penangkaran benih mengingat keterbatasan dan semakin berkurangnya lahan
sawah mulai kurang mendukung bagi usaha mengembangan tanaman padi untuk
keperluan konsumsi.
Sebagaimana kecenderungan wilayah kota setiap tahun terjadi konversi
lahan pertanian terutama dari lahan sawah menjadi bentuk lain seperti
permukiman dan pertokoan. Menurut data BPS luas lahan sawah di Kota Solok
pada tahun 2013 seluas 876 Ha atau sekitar 15,2 % dari total luas Kota Solok.
Luas tersebut jauh berkurang dibandingkan luas lahan sawah tahun 2010 sebanyak
1.254 Ha atau menurun 378 Ha (30,14 %). Dalam RTRW Kota Solok tahun 2012
-2031 belum dirumuskan batasan konversi lahan sawah yang dapat ditoleransi,
namun pengendalian laju konversi lahan sawah tetap diperlukan dalam rangka
pengembangan kawasan pertanian dan pengembangan sektor agribisnis di Kota
Solok.
Semakin berkembangnya kawasan kota dan pertumbuhan penduduk di Kota
Solok mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk permukiman
dan perumahan serta sarana dan prasana ekonomi, pendidikan, kesehatan,
transportasi dan sebagainya. Sementara luas lahan yang tersedia untuk kebutuhan
tersebut tidak bertambah sehingga lahan pertanian terutama sawah menjadi pilihan
untuk dialihfungsikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Lahan sawah
lebih dilirik untuk alihfungsi karena umumnya memiliki lokasi mudah terjangkau
dan dekat dengan berbagai fasilitas umum di daerah ini. Mengingat bahwa pada
kawasan perkotaan alih fungsi lahan adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, maka
upaya untuk mengendalikan dan mengarahkannya adalah langkah yang cukup
rasional untuk ditempuh. Dalam rangka mempertahankan lahan sawah salah satu
langkah yang dapat ditempuh dengan memancing kecenderungan alih fungsi lahan
kepada lahan terbuka non sawah seperti tegalan dan pertanian lahan kering
lainnya. Dengan demikian diharapkan lahan sawah terutama yang beririgasi teknis
dapat dipertahankan semaksimal mungkin. Salah satu pendekatan yang dapat
ditempuh untuk mendorong kecenderungan konversi lahan ke lahan pertanian non
sawah adalah dengan pengembangan infrastruktur pendukung permukiman
perkotaan seperti jalan raya pada kawasan yang dituju sehingga kawasan tersebut
menyediakan kemudahan yang dapat menarik berkembangnya permukiman.
Karena pentingnya keseimbangan antara pengembangan kawasan
permukiman dengan upaya perlindungan lahan sawah di Kota Solok yang masih
memiliki kultur agraris yang kuat maka perlu dirumuskan arahan pengembangan
wilayah Kota Solok yang tetap dapat memenuhi kebutuhan lahan permukiman
yang tetap memperhatikan konservasi lahan sawah. Penelitian ini dimaksudkan
untuk melihat sejauh mana pengembangan infrastruktur jalan mempengaruhi pola

6
spasial pertumbuhan permukiman di Kota Solok yang selama ini tumbuh dengan
mengkonversi lahan lahan-lahan sawah eksisting dan potensial.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan :
1. Proyeksi ketersediaan dan kebutuhan lahan permukiman di Kota Solok.
2. Identifikasi kesesuaian fisik lahan dan kondisi aktual lahan sawah untuk
pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) di Kota Solok.
3. Simulasi perubahan penggunaan lahan dengan implementasi rencana
pengembangan infrastruktur jalan.
4. Rekomendasi arahan pengembangan kawasan permukiman di Kota Solok

Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
perencanaan pengembangan Kota Solok ke depan dengan menyediakan data
mengenai proyeksi perkembangan kebutuhan lahan untuk permukiman dan
kemungkinan perubahan lahan pertanian serta ketersediaan lahan potensial untuk
pengembangan LP2B.

Kerangka Pemikiran
Berdasarkan data BPS Kota Solok jumlah penduduk Kota Solok cenderung
terus meningkat setiap tahun, penurunan hanya terjadi satu kali pada peralihan
2009 ke 2010 setelah terjadinya bencana gempa bumi yang melanda sebagian
wilayah propinsi Sumatera Barat, disamping korban jiwa saat kejadian juga
diikuti eksodus sebagian penduduk. Namun di luar itu secara umum jumlah
penduduk Kota Solok cenderung meningkat, pada tahun 2003 berjumlah 53.862
jiwa dalam waktu 10 tahun pada tahun 2013 menjadi 63.541 jiwa (meningkat
17,97%). Peningkatan ini tentunya diikuti peningkatan kebutuhan hidup seperti
pangan, permukiman dan fasilitas pendukung seperti fasilitas pendidikan dan
kesehatan. Pada masa yang akan datang dengan tingkat pertumbuhan penduduk
yang relatif sama semua kebutuhan diatas tentu akan lebih meningkat lagi, untuk
mengantisipasi hal itu perlu dilakukan proyeksi pertumbuhan penduduk dan
proyeksi pertumbuhan kebutuhan hidup yang mengikutinya, dalam konteks
penelitian ini yaitu kebutuhan pangan dan permukiman.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan
maka terjadi peningkatan kebutuhan lahan. Hal tersebut juga berlangsung di Kota
Solok yang merupakan kota kecil yang masih terus berkembang. Peningkatan
tersebut tidak diikuti dengan penambahan luas lahan yang ada sehingga akan
berdampak kepada meningkatnya laju konversi lahan terutama lahan pertanian
karena berbagai sebab seperti kemudahan akses, kemudahan proses konstruksi
karena lahan pertanian umumnya belum terdapat bangunan apapun di atasnya dan
keinginan mendapat keuntungan ekonomi yang lebih tinggi. Jika konversi lahan
tersebut terus berlangsung tanpa terkendali maka suatu saat lahan pertanian yang

7
ada dapat menjadi habis terkonversi. Jika hal itu terjadi maka pemenuhan
kebutuhan pangan masyarakat akan terpengaruh dan selanjutnya akan berimbas
pada ketahan pangan.
Untuk mengantisipasi peningkatan laju konversi lahan sawah perlu
dilakukan upaya-upaya perlindungan lahan, antara lain dengan penetapan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan pengembangan infrastruktur
pendukung untuk menarik arah konversi lahan dari lahan sawah ke lahan
pertanian non sawah. Pada wilayah kota yang sedang berkembang konversi lahan
merupakan sesuatu yang tak terhindarkan, namun dengan upaya yang tepat dapat
dikendalikan sehingga efek negatif yang ditimbulkan dapat diperkecil.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Perkembangan Permukiman dan Peranan Pengembangan
Infrastruktur
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia permukiman adalah daerah tempat
bermukim (bertempat tinggal) atau perihal bermukim (kbbi.web.id). Dalam
Undang-Undang No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
dinyatakan pengertian dari permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian
yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana,
sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di
kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
Infrastruktur merupakan bangunan dasar yang tidak dapat dibangun sendiri
oleh warga, infrastruktur meliputi tempat-tempat umum, bangunan-bangunan
umum, jalan raya, jaringan pipa dan berbagai sistem yang harus dikelola bersama
dalam perencanaan, pembiayaan dan perawatannya. Contoh infrastruktur dalam
masyarakat modern adalah bangunan penting berskala besar yang digunakan
bersama dan dibiayai serta dibangun secara publik. Infrastruktur membutuhkan
biaya yang besar dan hanya dapat dibangun melalui peran serta pemerintah.
Karena faktor biaya tersebut infrastruktur biasanya dibangun dalam jumlah
sebatas yang dibutuhkan dan biasanya dimiliki dan dioperasikan oleh instansi
pemerintah. Fasilitas yang harus disediakan atau dijamin ketersediaannya oleh
pemerintahan setempat secara berlanjut, efisien dan merata meliputi 1) Fasilitas
yang berkaitan dengan sistem lingkungan yaitu pengelolaan air dan sampah,
2) Jalan raya dan transportasi, 3) fasilitas umum dan 4) Energi dan telekomunikasi
(Elmer dan Leigland, 2014).
Selanjutnya dalam Elmer dan Leigland (2014) Mushchamp (1995)
mendefinisikan infrastruktur sebagai jaringan penghubung yang menyatukan
orang, tempat, institusi sosial dan lingkungan alami menjadi hubungan urban yang
koheren. Sedangkan Tarr (1984) mendefinisikannya sebagai “urat” dari sebuah
kota meliputi : jaringan jalan, jembatan dan terminal, jaringan saluran drainase
dan fasilitas pengolahan sampah, sistem pembangkit listrik, bangunan publik,
serta taman dan fasilitas rekreasi.
Sifat dan jenis infrastruktur yang diperlukan suatu bangsa dipengaruhi oleh
karakteristik alam dan pola persebaran penduduk. Peran infrastruktur bagi bangsa
Indonesia menjadi sangat strategis, mengingat Indonesia yang merupakan negeri
kepulauan dengan sebaran penduduk yang tidak merata, berbeda dengan pola
sebaran sumber daya alam yang relatif merata di berbagai pulau dan perairan
NKRI. Karena itu pembangunan nasional yang berkeadilan harus mampu
memberdayakan segenap potensi alam dan penduduk Indonesia. Infrastruktur
diperlukan guna menjangkau sebagian rakyat yang hidup di pelosok negeri, bukan
hanya untuk meningkatkan daya saing demi mendorong peningkatan investasi,
produksi dan perdagangan, tetapi juga untuk mempercepat pemerataan
pembangunan sehingga tingkat kemiskinan dan pengangguran dapat diturunkan
(Saleh, 2014). Menurut Jubaedi (2003) aksesibilitas merupakan salah satu faktor
yang sering dijadikan pertimbangan dalam memilih lokasi untuk tempat tinggal

9
dan tempat usaha, sehingga kedekatan dengan infrastruktur transportasi darat
menjadi sesuatu yang sangat penting. Pengaruh kedekatan ini mengakibatkan
sering terjadi perbedaan nilai tanah antara satu tempat dengan tempat lainnya,
termasuk juga tanah permukiman. Adapun yang dimaksud dengan kedekatan
dengan infrastruktur transportasi adalah kedekatan dengan terminal bis dan
kedekatan dengan jalan.

Konsep Keberlanjutan
Istilah sustainability (keberlanjutan) berasal dari kata latin sustinere yang
secara harfiah berarti “menahan”. Sesuatu dikatakan berkelanjutan jika dapat terus
memikul, terus berlangsung atau terus bertahan dari waktu ke waktu.
Keberlanjutan merupakan suatu seni adaptif yang dikawinkan dengan ilmu
pengetahuan dalam rangka mencapai suatu visi etis. Keberlanjutan meliputi upaya
mencukupi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesejahteraan masa
depan yang dilakukan melalui upaya berimbang untuk mencapai kelestarian
ekologi, kesejahteraan ekonomi, pemberdayaan sosial dan kreativitas budaya.
Keberlanjutan bukan berarti menjaga segala sesuatunya tetap sama persis,
perubahan merupakan suatu bagian penting. Namun perubahan tersebut harus
dapat dikelola sehingga berlangsung dalam lingkup, skala dan laju yang
seharusnya (Thiele, 2013).
Thiele (2013) menambahkan bahwa dalam prakteknya keberlanjutan
menekankan pada dua poin penting. Pertama keberlanjutan adalah suatu aktivitas.
Kedua keberlanjutan adalah sesuatu yang terus kita kejar tapi tidak akan pernah
dapat disempurnakan. Mempraktekkan keberlanjutan itu seperti berlatih
menggunakan alat musik, selalu ada sesuatu yang dapat diperbaiki.
Pembangunan berkelanjutan merupakan perubahan positif sosial ekonomi
yang tidak mengabaikan sistim ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung
kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan
proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitasnya tergantung pada dukungan
penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya dan kegiatan
dunia usahanya (Sumarwoto, 2006 dalam Sugandhy et al., 2009). Selanjutnya
Sugandhy et al. (2009) menambahkan bahwa keberlanjutan pembangunan harus
memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam, sumber daya manusia,
serta pengembangan sumberdaya buatan dan menjadi sarana untuk mencapai
keberlanjutan pembangunan, serta menjadi jaminan bagi kesejahteraan serta mutu
hidup generasi masa kini dan generasi mendatang.
Pertanian berkelanjutan dapat diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya
untuk menghasilkan kebutuhan pokok manusia (sandang, pangan dan papan),
sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan dan
melestarikan sumber daya alam. Gips (1986) dalam Arsyad dan Rustiadi (2008)
menjabarkannya sebagai berikut :
1. Mantap secara ekologis, berarti mempertahankan kualitas sumberdaya,
termasuk lahan, serta meningkatkan kemampuan agroekosistem secara
keseluruhan baik itu manusia, lahan, tanaman, hewan maupun organisme
tanah.

10
2. Bisa berlanjut secara ekonomis, petani harus bisa cukup menghasilkan
untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri beserta keluarganya dan
mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga
dan biaya yang telah mereka keluarkan.
3. Adil, yang berarti bahwa sumberdaya lahan dan kekuasaan harus
didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua
anggota masyarakat dapat terpenuhi, dan hak-hak mereka di dalam
penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis dan peluang
pemasaran lebih terjamin.
4. Manusiawi, yang berarti semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan
manusia) harus dihargai.
5. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan dapat mempu
menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang
berlangsung secara terus menerus, misalnya pertambahan jumlah
penduduk, kebijakan dan permintaan pasar.

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Indonesia
Dari segi perundang-undangan untuk mengantisipasi laju konversi lahan
sawah diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Berdasarkan
Undang-Undang tersebut definisi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah
bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan
secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan,
dan kedaulatan pangan nasional. Sedangkan Lahan Cadangan Pertanian Pangan
Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar
kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Selanjutnya
dijelaskan definisi Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai lahan
potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya
tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Kemudian Kawasan Pertanian
Pangan Berkelanjutan didefinisikan sebagai wilayah budi daya pertanian terutama
pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan
Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Tujuan dari diterbitkannya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan antara lain untuk melindungi
dan menjamin ketersediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan,
mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan serta melindungi
kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani. Dalam peraturan menteri
pertanian Nomor 7 tahun 2012 dijabarkan kriteria sebagai syarat penetapan lahan
pertanian pangan berkelanjutan. Rincian dari kriteria lahan tersebut dapat dilihat
pada Lampiran 4.

11
Insentif Bagi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Insentif bagi perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang bertujuan antara lain untuk
mendorong perwujudan LP2B , meningkatkan upaya pengendalian alih fungsi
LP2B, mendukung pemberdayaan petani dan memberikan kepastian hak atas
tanah bagi petani. Penyaluran Insentif dilakukan secara terkoordinir mulai dari
tingkat Nasional, Propinsi hingga Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Pemerintah
di atas diatur mulai dari mengenai mekanisme penyaluran insentif hingga
kewajiban bagi petani penerima insentif.
Di sisi petani sebagai penerima insentif terdapat kewajiban untuk
memanfaatkan lahan sesuai peruntukannya, menjaga dan meningkatkan kesuburan
tanah, mencegah kerusakan lahan dan memelihara kelestarian lingkungan, serta
dalam hal pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terdapat jaringan irigasi
dan jalan usaha tani, Petani penerima Insentif wajib memelihara dan mencegah
kerusakan jaringan irigasi dan jalan usaha tani.

Gambar 2 Skema penyaluran insentif LP2B (sumber : Ditjen PSP
Kementerian Pertanian Republik Indonesia)
Markov Chain dan Cellular Automata
Eastman (2012) menyatakan bahwa proses Markov sebagai keadaan dari
suatu sistem pada waktu ke-2 yang dapat diprediksi dari keadaan sistem tersebut
pada wakti ke-1 dengan menyusun matriks kemungkinan perubahan (probability
matrix) dari suatu kelas tutupan lahan ke setiap kelas-kelas lain. Menurut ElHallaq dan Habboub (2015) penerapan analisis Markov pada dasarnya digunakan
untuk mempelajari perkiraan perubahan penggunaan lahan dan pengaruh
penggunaan lahan. Saat ini analisis Markov dari perubahan penggunaan lahan
telah dikombinasikan dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) sehingga

12
menghasilkan tool untuk memvisualisasikan dan memproyeksikan kemungkinan
perubahan antar kategori penggunaan lahan.
Dalam teori ilmu komputer, Markov Chain memainkan peran kunci dalam
pengambilan sampel dan kalkulasi perkiraan algoritma. Seringkali tujuannya
adalah untuk membuktikan bahwa waktu pencampuran bersifat polinomial dalam
logaritma dari ukuran suatu keadaan ruang (Levin et al., 2009).
Menurut El-Hallaq dan Habboub (2015) salah satu kekurangan dari Markov
Chain adalah kurangnya orientasi spasial sehingga melengkapinya dengan model
Cellular Automata lebih dianjurkan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Mynt
dan Wang (2006) bahwa terdapat satu kekurangan yang signifikan pada analsis
markov yaitu metode ini tidak mempertimbangkan posisi spasial dari masingmasing kelas yang diamati. Agar output dari analisis markov dapat bersifat lebih
informatif dan lebih mudah dipahami maka perlu dilengkapi dengan pendekatan
Cellular Automata (CA). Hal ini karena tahapan CA memastikan perubahan
penggunaan lahan muncul di sekitar kelas sejenis dan tidak muncul secara acak
sebagaimana jika hanya mengandalkan analisis Markov Chain. Selanjutnya secara
umum Mynt dan Wang (2006) menyimpulkan bahwa kombinasi antara analisis
Markov Chain dan filter CA sederhana cukup efektif untuk memprediksi
kemungkinan perubahan penggunaan ataupun tutupan lahan. Menurut Wang et al.
(2012) CA adalah sejenis jaringan model dinamis diskrit, dimana waktu, ruang
dan keadaan semua bersifat diskrit, dan interaksi spasial dan kausalitas waktu
seluruhnya ditentukan dalam konteks hubungan lokal. CA cocok untuk
mempelajari sistem geografis kompleks yang bersifat spasial-temporal, terutama
untuk penggunaan lahan perkotaan, dan CA telah menjadi alat penting dan fokus
penelitian untuk permodelan perubahan penggunaan/tutupan lahan perkotaan.
Tinjauan Studi Terdahulu
Pengembangan infrastruktur memiliki peranan yang penting dalam proses
pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah. Purwoto dan Kurniawan
(2009) menemukan bahwa investasi dalam pengembangan infrastruktur terutama
jalan raya memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi pada berbagai daerah
di Indonesia. Dalam penelitian tersebut dikaji pengaruh dua jenis investasi
infrastruktur jalan raya yaitu 1) pemeliharaan serta peningkatan dan
2) pembangunan jalan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Pada daerah yang
infrastruktur jalannya telah berkembang bentuk investasi infrastruktur yang paling
berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah pengembangan dan
perawatan. Sementara daerah yang kondisi infrastrukturnya belum cukup
berkembang kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi ada pada
pembangunan jalan. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan pengembangan
infrastruktur terutama jalan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang
selanjutnya menjadi daya tarik untuk berkembangnya berbagai aktivitas penduduk
seperti perdangan dan permukiman.
Sakti, Sunarminto, Maas, Indradewa, dan Kertonegoro (2013) dalam
penelitian mengenai pemetaan LP2B di Kabupaten Purworejo menggunakan data
berupa 1) Peta penggunaan lahan aktual hasil interpretasi citra satelit resolusi
tinggi skala 1:25.000, 2) Peta topografi, 3) Peta kesesuaian lahan untuk padi
sawah, 4) Peta batas administrasi kecamatan, 5) Peta lahan baku sawah, 6) Data

13
series jumlah penduduk 5 tahun terakhir, 7) Data series kinerja usahatani tanaman
pangan tahun terakhir (luas panen; produksi; produktivitas; Indeks Pertanaman/IP),
8) Data series neraca bahan makanan 5 terakhir dan 9) Data alih fungsi lahan
sawah 5 tahun terakhir.
Sakti et al. (2013) melaksanakan penelitian mereka dalam 4 tahap yaitu
1) persiapan penelitian, 2) pengumpulan dan penyusunan data/peta, 3) analisis
data/peta meliputi kebutuhan pangan, ketersediaan pangan, neraca pangan, alih
fungsi lahan sawah, proyeksi jumlah penduduk, kebutuhan luas lahan pertanian
pangan, prediksi kondisi pangan masa depan, peta penggunaan lahan pertanian,
identifikasi lahan pangan produktif pada Peta RTRW dan 4) Interpretasi dan
sinkronisasi data/peta meliputi KP2B, LP2B dan LCP2B. Secara garis besar
penelitian tersebut dibagi menjadi dua bagian utama yaitu pemetaan dan analisis
data sekunder. Dari analisis yang dilaksanakan diperoleh proyeksi kebutuhan
LP2B, pemetaan LP2B dan LPC2B lahan sawah dan lahan kering di Kabupaten
Purworejo.
Syamson (2011) meneliti tentang identifikasi lahan untuk pengembangan
KP2B di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Metode yang digunakan juga berupa
analisis spasial, data yang digunakan terdiri dari data/peta tematik seperti RBI,
citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2008, peta administrasi, peta tekstur tanah,
peta kedalaman tanah, peta kelas lereng, peta drainase, peta ketinggian, peta
penutupan dan penggunaan lahan (Land Use) peta infrastruktur jalan, dan peta
paduserasi Kabupaten Barru. Data atribut berupa data Kabupaten Barru dalam
Angka. Data spasial dan atribut tersebut diolah dengan menggunakan SIG untuk
memudahkan dalam mendeteksi/mengidentifikasi dan mendeliniasi lokasi-lokasi
lahan yang berpotensi untuk direkomendasikan sebagai KP2B. Selanjutnya
dilakukan analisis kesesuaian lahan dan pengamatan lapangan ke lokasi yang
teridentifikasi